Mengenal Tafsir al-Mishbâh

21 jika kemampuan menghapal itu dibarengi dengan kemampuan analisis. Masalahnya adalah bagaimana menggabungkan dua hal ini?. 16 Pada tahun 1967, Quraish meraih gelar Lc S1 dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas al-Azhâr. Kemudian beliau melanjutkan studinya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 beliau berhasil meraih gelar MA untuk spesialis bidang Tafsir al-Qur’ân. Dengan tetisnya yang berjudul al-Ijâz al-Tasyr’I li al-Qur’ân al-Karim. 17 Quraish pulang ke Indonesia untuk mendarmabaktikan ilmunya di IAIN Alauddin Makasar. Kemudian pada tahun 1980, beliau kembali ke Kairo untuk melanjutkan studinya pada jurusan yang sama. Pada tahun 1982 beliau berhasil meraih gelar doktor dalam bidang tafsir, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Nazhm al-Durâr li al-Biqâ’iy Tahqiq wa Dirâsah. Gelar tersebut diraih dengan yudisium Summa Cum Laude disertai dengan penghargaan tingkat 1 Mumtaz ma’a martabat al- Syaraf al-‘Ula . 18

B. Mengenal Tafsir al-Mishbâh

M. Quraish Shihab merupakan sosok intelektual yang sangat produktif. Ditengah kesibukannya yang luar-biasa sebagai dosen, pejabat tinggi, dan aktifis organisasi, beliau masih sempat menulis berbagai karya ilmiah yang bernuansa sejuk, sederhana dan mudah dipahami. Karya- 16 Arif Subhan, Tafsir yang Membumi”, Tsaqafah, 2003, h,. 3 17 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h. 6 18 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h. 6 22 karyanya yang telah ditulis baik berupa artikel, rubrik, maupun buku-buku sangat bayak. 19 Diantara tulisannya yang terkenal adalah Tafsir al-Mishbâh. Buku ini dapat dikatakan sebagai karya puncak usahanya dalam tulisan. Terdiri dari 15 volume, tafsir ini mulai ditulis pada tahun 1999 hingga akhir tahun 2003. Kehadiran tafsir ini kiranya semakin mengkukuhkannya sebagai tokoh tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara dan dunia. Di bawah ini disebutkan sebahagian karya-karyanya yang lain yang juga sangat terkenal adalah: 1. Tafsir al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya. Diterbitkan di Makassar pada tahun 1984. 2. Tafsir al-Amânah. Merupakan kumpulan artikel dari rubrik tafsir yang diasuhnya pada majalah Amânah. Diterbitkan oleh Pustaka Kartini 1992. 3. Membumikan al-Qur’ân, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Karya ini merupakan kumpulan makalah yang ditulisnya dalam rentang waktu antara 1976 sampai 1992. Diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1992. 4. Tafsir al-Qur’ân al-Karîm. Isinya adalah tafsiran dari 24 surah pendek yang didasarkan pada urutan turunnya dan mengunakan metode tahlili. Karyanya ini diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1997. Dan masih banyak lagi karya tulisannya yang banyak dibaca dan dijadikan rujukan oleh orang banyak terutama para mahasiswa. 19 Hamdan anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya , Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 173 23

5. Pemilihan Nama al-Mishbâh

Karya ini diberinama al-Mishbâh: Pesan, kesan dan Keserasian al- Qur’ân. Pemilihan nama al-Mishbâh bukan tanpa dasar sama sekali, meskipun secara eksplist Quraish tidak menyebut dasar penamaan. Paling tidak ada dua hal yang mendasari panamaan tersebut. Pertama, di dalam kata pengantar ditemukan sedikit penjelasan. Sebagaimana diketahui, nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerang bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan demikian dapat diduga bahwa harapan beliau adalah memberi penerang dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al- Qur’ân secara langsung karena kendala bahasa. 20 Kedua, didasarkan pada awal kegiatan Quraish dalam menulis di Jakarta. Kendati kegiatan tulis- menulis beliau sudah terlihat di Makassar sebagaimana dibuktikan dari karyanya, namun produktifitas sebagai penulis mendapat monumennya setelah beliau bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an beliau diminta menjadi pengasuh rubrik “Pelita Hati” pada Harian Pelita. Uraian-uraian yang disajiakannya menarik banyak pihak. Itu karena dalam setiap tulisannya, beliau memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal, yaitu bila dilihat dari maknanya. Analisis yang dikemukakan adalah bahwa kumpulan tulisannya pada rubrik “Pelita Hati” 20 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, Ciputat: Lentera Hati, 2000, Vol.1, h. 176-177 24 diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan padanan kata dari pelita yang arti dan fungsinya sama-sama memberikan penerang. Dalam bahasa arab lentera, pelita atau lampu disebut dengan mishbâh dan inilah yang dipilih sebagai nama. Penerbitnya juga mempergunakan nama yang sama yakni Lentera Hati. 21 Motifasi yang melatar belakangi adalah hal yang niscaya ada pada suatu karya apa pun, Tak terkecuali Tafsir al-Mishbâh. Paling tidak ada dua alasan yang melatar belakangi penuisannya. Pertama, motivasi itu didasarkan pada tanggung jawab moral penulisnya sebagai ulama yang wajib memberikan penerangan kepada umat sesuai bidangnya. Rasa tanggung jawab ini muncul ketika menyadari bahwa al-Qur’ân yang merupakan petunjuk bagi manusia harus dipahami dan dimengerti maknanya. Tetapi kenyataan bahwa umat Islam Indonesia mempunyai keterkaitan yang besar terhadap al-Qur’ân dan hannya berarti pada pesona bacaannya adalah fakta. Hal ini disebabkan oleh kendala bahasa. Mengenai hal ini beliau menguraikan sebagai berikut: “Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al- Qur’ân dan menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sesuai dengan harapan dan kebutuhan itu”. 22 Kedua, tidak sedikit umat Islam yang mempunyai keterkaitan yang luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’ân, tetapi mengalami beberapa kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu yang mendukung, dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai dari segi kecakupan informasi dan kejelasannya. 21 Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, h. 176-177 22 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h. 12 25 Motifasi Quraish dalam menulis Tafsir Mishbâh tersebut tampak sejalan dengan penegasan yang disampaikan oleh Ibn Katsir dalam muqaddimah tafsirnya. “Adalah menjadi kewajiban para ulama untuk mengungkapkan maksud dari kalam Ilahi, menafsirkannya, mempelajarinya, dan mengajarkannya”. 23

6. Sumber Penafsiran al-Mishbâh

Tafsir al-Mishbâh dapat digolongkan sebagai ta-tafsir bi al-ra’yi. 24 Kesimpulan itu diambil dari pernyataan penulisnya yang diungkapkan pada akhir “Sekapur Sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Redaksi yang ditulisnya adalah sebagai berikut: “Akhirnya penulis perlu menyampaikan kapada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Bi’qa’i w. 885 H 1480 M yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhâr, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir Pemimpin Tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muhammad Thahir ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta pakar-pakar tafsir lainnya”. 25 Pernyataannya di atas mengisyaratkan, paling tidak dua hal. Pertama, Sumber penafsirannya adalah ijtihadnya sendiri. Kedua, adalah rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik ulama yang terdahulu maupun yang masih hidup. Sementara itu, selain mengutip pendapat para ulama, Quraish juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’ân dan hadis Nabi saw. 23 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, Kairo: Mathba’ah al-Istiq â mah, 1958, jilid. 1, h. 3 24 Kata al-ra’yi secara etimologis, berarti keyakinan, qiyas dan ‘Ijtihad. Jadi tafsir bi al- ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara ijatihad. Lihat Hamdani Anwar , OP. Cit., h. 180. Lihat juga, Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’ â n dan pengenalan Methode Tafsir, Bandung: Pustaka Islamika, 2002, h.306 25 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, Bandung: Mizan, 1992, h. xii 26 sebagai bahan dari penjelasan tafsir yang dilakukan. Karena itu, Tafsir al- Mishb âh juga dapat dikelompokan kedalam tafsir bi al-ra’yi yang mahmudah sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarqani, berlaku pada tafsir bi al- ra’yi yang memperhatikan norma-norma yang telah ditetapkannya. 26 Sedangkan yang tidak merujuk seperti semestinya, maka penafsirannya dinilai madzmumah. 27

7. Corak, Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir al-Mishbâh

Dalam litelatur studi tafsir dikenal beberapa corak tafsir. Misalnya; tafsir falsafi, tafsir ilmî, tafsir lughawi, tafsir fiqhi, tafsir adâbi, tafsir ijtimâ’i . dipandang dari sudut pandang itu, Tafsir al-Mishbâh dapat dikategorikan dalam corak tafsir ijtimâ’i atau kemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada kecenderungan tafsir ini mengupas masalah-masalah sosial dan mamberikan jalan keluar atasnya. Panilaian ini dapat menimbulkan pertanyaan mengingat istilah yang digunakan cenderung berbeda dari teori dasar tafsir yang telah dikemukakan pakar sebelumnya, yaitu corak adâb al-ijtimâ’i corak sastra dan kemasyarakatan. Hal ini sengaja dilakukan dengan pertimbangan bahwa penulis bukanlah seorang yang pakar sastra, baik sastra bahasa Indonesia maupun Arab. 28 26 al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ â n, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957, jilid. II, h. 49 27 Al-Zarkasi telah menetapkan norma-norma bagi tafsir bi al-ra’yi yang tercela ini adalah sebagai berikut: Tidak merujuk pada al-Qur’ â n dan Sunnah, tidak merujuk pada riwayat sahabat, tidak memperhatikan kaidah dan aturan kebahasaan dengan tepat, dan tidak menafsirkan sesuai dengan konteks redaksi ayat. Lihat al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ â n, Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957, jilid. II, h. 156-161 28 Lihat Hamdan Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 185 27 Dari segi metodologi, Tafsir al-Mishbâh menggunakan metode tahlili. Kesimpulan ini dapat dengan mudah dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai dengan susunan dalam mushaf. Metode ini sengaja dilakukan oleh penulisnya, karena beliau ingin mengungkapkan semua isi al-Qur’ân secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh para pembaca. Namun demikian, sebenarnya Quraish tidak begitu tertarik untuk menggunakan metode tahlili. Di dalam beberapa kesempatan, beliau selalu mengemukakan bahwa metode yang digunakannya itu memiliki beberapa kelemahan. Menyadari hal tersebut, beliau memberikan tambahan lain dalam karyanya. Beliau menilai bahwa cara yang paling baik dalam menghidangkan pasan al-Qur’ân adalah dengan metode maudhu’i, yaitu dengan mengungkapkan pesan al-Qur’ân sesuai dengan tema yang diinginkan. Selain itu metode ini memiliki beberapa keistimewaan. Dengan dasar itu, beliau berupaya menggunakan metode maudhu’i dalam tafsirnya. Sehubungan dengan upayanya itu, beliau menyatakan sebagai berikut: “Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’ân dalam buku ini, penulis berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah, atau tema pokok surah. Memang, menurut para pakar, setiap surah ada tema pokoknya”. 29 Berkaitan dengan sisitematika penulisan Tafsir al-Mishbâh, dapat dikemukakan sebagai berikut: 29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, Ciputat: Lentera Hati, 2000, Vol.1, h. vii 28 1. Tafsir dimulai dengan pengantar yang menjelaskan surah secara global. 2. Penulisan ayat-ayat dikelompokan ke dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya, kemudian diikuti dengan terjemahnya 3. Uraian kosa kata yang dipandang perlu dalam penafsiran makna ayat. 4. Ayat dan hadis yang dijadikan penguat atau bagian dari tafsirnya hanya ditulis dengan terjemahnya saja. Adapun jumlah keseluruhan Tafsir al-Mishbâh adalah 15 volume dengan pembagian sebagai berikut; Volume I berisi tafsiran surat al-Fatihah dan al-Bâqarah. Volume II; surah al-Imrân dan an-Nisâ. Volume III; surah al- Mâidah. Volume IV; surah al-An’âm. Volume V; surah al-A’râf, al-Anfâl, dan at-Taubah. Volume VI; surah Yunûs, Hûd, Yusûf, dan ar-Râ’d. Volume VII; surah Ibrâhim, al-Hijr, an-Nahâl, dan al-Isrâ. Volume VIII; al-Kahfi, Maryâm, Thâhâ, al-Anbiyâ. Volume IX; surah al-Hâjj, al-Mu’minûn,an-Nûr, dan al-Furqân. Volume X; surah asy-Syu,arâ, an-Naml, al-Qashâsh, dan al- Ankabut. Volume XI; surah ar-Rûm, Lukman, as-Sajdâh, al-Ahzâb, Sabâ, Fâthir, dan Yâsin. Volume XII; surah ash- Shâffat, ashad, az-Zumâr, Ghâfir, Fushshilât, asy Syurâ, dan az-Zukhrûf. Volume XIII; surah ad-Dhukhân, al- Jâtsiyah, al Ahqâf, Muhammad, al-Fâth, al-Hujurât, Qâf, adz-Dzâriyât, ath- Thur, an-Nujm, al-Qomâr, ar-Rahman, dan al-Wâqi’ah. Volume XIV; al- Hadid, al-Mujâdalah, al-Hasyr, al-Mumtahnah, ash-Shâff, al-Jumu’ah, al- Munâfiqun, al-Taqhâbun, ath-Thalâq, at-Tahrîm, Tabârak, al-Qalâm, al- 29 Hâqqah, al-Ma’ârij, Nûh, al-Jînn, al-Muzzammîl, al-Muddatstsîr, al-Qiyâmah, al-Insân, dan al-Mursalât. Sementara volumr XV berisi Juz ‘Ammâ. Demikian sistematika penulisan yang dilakukan M. Quraish Shihab dalam karya ini.

C. Kandungan Surat ar-Rahmân dan Dalam Tafsir al-Mishbâh