Takhrij hadis-hadis kitab tafsir al-mishbah (studi kasus Sanad dan Matan Hadis pada Surah Al-Rahman)

(1)

1

“TAKHRIJ HADIS-HADIS KITAB

TAFSIR AL-M ISHBAH

(Studi Kritik Sanad dan M atan Hadis pada Surah al-Rahm

â

n)

Skripsi

Diajukan kepada Fakult as Ushuluddin unt uk M em enuhi Persyarat an M em peroleh

Gelar Sarjana Ushuluddin (S.Ud.)

Oleh

ASEP BADRU TAKIM NIM : 102034024857

JURUSAN TAFSIR HADIS FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431 H/2010 M


(2)

TAKHRIJ HADIS KITAB TAFSIR AL-M ISHBAH

(STUDI KRITIK SANAD DAN M ATAN HADIS-HADIS SURAH AL-RAHM ÂN) PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul TAKHRIJ HADIS KITAB TAFSIR AL-MISHBAH (Studi Kualitas Sanad dan Matan Hadis-Hadis pada Surah al-Rahmân) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada hari Rabu 16 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu memperoleh gelar Sarjana Ushuluddin pada Program Studi Tafsir-Hadis.

Jakart a, 16 Juni 2010

Sidang M unaqasyah

Ket ua M erangkap Anggot a, Sekret aris M erangkap Anggot a,

Prof. Dr. M . Ihsan Tanggok, M .Si M uslim, S.Th.I. NIP. 19500804 198603 1 002

Anggot a,

Penguji I Penguji II

Dr. Bustamin, M .Si. Drs. Hasanuddin Sinaga, M .A. NIP. 19630701 199803 1 003 NIP. 19650207 199903 1 001

Pem bim bing

Dr. M . Isa H.A. Salam M .Ag NIP. 19531231 198603 1 010


(3)

LEM BAR PERNYATAAN Dengan ini saya m enyat akan bahw a:

1. Skripsi ini m erupakan hasil karya asli saya yang diajukan unt uk m em enuhi salah sat u persyarat an m em peroleh gelar st rat a 1 (S1) di UIN Syarif Hidayat ullah Jakart a. 2. Sem ua sum ber yang saya gunakan dalam penulisan ini t elah saya cant um kan sesuai

dengan ket ent uan yang berlaku di UIN Syarif Hidayat ullah Jakart a.

3. Jika kem udian hari t erbukt i bahw a karya ini bukan hasil karya asli saya at au m erupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, m aka saya bersedia menerim a sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayat ullah Jakart a.

Ciput at , 2 Juni 2010


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahiim………

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, Yang Maha Kuasa dan telah memberikan berkah dan anugerahNya kepada penulis sehingga penulis mampu melaksanakan tugas akhir untuk menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat serta salam tak terhingga juga penulis haturkan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW.

Skripsi ini penulis buat sebagai syarat kelulusan dalam menempuh pendidikan jenjang Strata-1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu juga penulis berharap apa yang penulis teliti, yang dijelaskan di dalam skripsi ini, dapat dipergunakan dengan baik oleh semua pihak yang membutuhkan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini :

1. Bapak Dr. Bust amin, M .Si. selaku ketua jurusan sekaligus pembimbing skripsi penulis.

2. Bapak Dr. M . Isa H.A. Salam M .Ag. selaku pembim bing yang telah rela

meluangkan waktunya untuk mendukung dan membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak dosen penguji yang memberikan kritik dan saran pada skripsi ini.

4. Dosen-Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah mengajarkan kepada

penulis berbagai macam ilmu yang dapat penulis terapkan dalam penulisan skripsi ini.

5. Kedua orang tua penulis, yang telah memberikan dukungan moril, semangat dan


(5)

6. Kakak dan adik penulis, yang bersama-sama dengan penulis lewati susah senang bersama.

7. Teman-Teman seperjuangan TH UIN 2002, terutama TH-B-02 atas terutama

kepada Aziz, Hadi, Ali, Fitriah Dewi, dan semua temen-teman tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini, baik penulisan maupun aplikasinya sendiri. Oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang dapat membangun skripsi ini lebih baik lagi.

Jakarta, Juni 2010

Penulis

Asep Badru Takim NIM. 102034024857


(6)

PEDOM AN TRANSLITRASI

Huruf Arab Huruf Lat in Ket erangan

ا Tidak dilam bangkan

ب B Be

ت T Te

ث Ts t e dan es

ج J Je

ح H h dengan garis baw ah

خ Kh ka dan ha

د D De

ذ Dz de dan zet

ر R Er

ز Z Zet

س S Es

ش Sy es dan ye

ص S es dengan garis baw ah

ض D de dengan garis baw ah

ط T t e dengan garis baw ah

ظ Z zet dengan garis baw ah

ع ‘ kom a t erbalik di at as, m enghadap ke kanan

غ G Ge

ف F Ef

ق Q Ki

ك K Ka

ل L El

م M Em

ن N En

و W We

ه H Ha

ء ` Apost rof

ي Y Ye

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Lat in Ket erangan

--َ

- A Fat hah

--ِ

- I Kasrah

--ُ


(7)

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Lat in Ket erangan

--َ

-ي Ai a dan i

--ِ


(8)

DAFTAR ISI

PENGESAHAN SIDANG M UNAKOSAH……...……….. i

LEM BAR PERNYATAAN………...… ii

KATAPENGANTAR………...…………. iii

PEDOM AN TRANSLITERASI………... v

DAFTAR ISI………...……….. vi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah……….……...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………..……..4

C. Kajian Pustaka………...…....5

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……….…..5

E. Metodologi Penelitian………....6

F. Sistematika Penulisan………..…………. 7

BAB II M . QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-M ISBAH A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab………..8

B. Mengenal Tafsir al-Mishbah………...11

1. Pemilihan Nama al-Mishbah……….…….13

2. Sumber Penafsiran al-Mishbah………...15 3. Corak, Metode, dan Sistematika Penulisan Tafsir


(9)

al-Mishbah………...16

C. Kandungan Surat al-Rahmân dalam Tafsir al-Mishbah...19

BAB III KEGIATAN TAKHRIJ HADIS DALAM TAFSIR AL-MISHBAH PADA SURAH AL-RAHMÂN A. Hadis Pert am a “ Pengant in al-Qur’ân adalah al-Rahmân” …...22

1. Teks Hadis dan Kegiat an Takhrij Hadis………...22

2. Kegiat an I’t ibar………...…...25

3. Kegiat an Penelit ian sanad Kualit as periw ayat sert a M enyim pulkan Hasil Penalit ian Sanad ………...27

B. Hadis Kedua “ Jaw aban jin at as ayat (fa biayyi ala’i Rabbikuma t ukadzdzihan)”………...40

1. Teks hadis dan Kegiat an Takhrij Hadis…………...………40

2. Kegiat an I’t ibar………...……..41

3. Kegiat an Penelit ian Sanad Kualit as Periw ayat sert a M enyim pulkan Hasil Penalit ian Sanad……..………...…….43

C. Hadis Ket iga “ Aku t inggalkan pada kam u at s-Tsaqalain yakni kit abullah dan Keluargaku” ………...……..50

1. Teks Hadis dan Kegiat an Takhrij Hadis………...50

2. Kegiat an I’t ibar………...………58

3. Kegiat an Penelit ian Sanad Kualit as Periw ayat sert a M enyim pulkan Hasil Penalit ian Sanad ....………...60

D. Kualitas Matan Hadis Surah al-Rahmân………..90

1. Hadis 1……….90


(10)

3. Hadis 3………...92

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan………94

B. Saran-saran………...95


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Hadis adalah segala perkataan, perbuatan, taqrir, dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi saw.1 Hadis menduduki tempat tertinggi dihati umat Islam dan mendapat legitimasi dari al-Qur’ân sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’ân. Hadis merupakan penjelasan yang nyata terhadap ayat-ayat al-Qur’ân yang masih global dan merupakan keterangan yang nyata bagi keumuman ayatnya.2 juga merupakan sebagai sumber ketentuan agama Islam sebagaimana ditentukan dalam agama Islam.3

Mengingat hadis adalah penjelas terhadap al-Qur’ân, Allah swt. telah menerangkan di dalam al-Qur’ân seperti peran Nabi Muhammad saw. sebagai mufassir al-Qur’ân Allah swt. berfirman dalam surat al-Nahl / 16: 44

َﺮْﻛﱢﺬﻟا َﻚْﯿَﻟِإ ﺎَﻨْﻟَﺰْﻧَأَو

َنوُﺮﱠﻜَﻔَﺘَﯾ ْﻢُﮭﱠﻠَﻌَﻟَو ْﻢِﮭْﯿَﻟِإ َلﱢﺰُﻧ ﺎَﻣ ِسﺎﱠﻨﻠِﻟ َﻦﱢﯿَﺒُﺘِﻟ

Artinya: “Dan kami turunkan kepada kamu al-Qur’ân agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan”.4

Ayat diatas, menjelaskan tugas Rasulullah saw. ialah menjelaskan baik dengan lisan maupun perbuatan, hal-hal yang masih gelobal dan sebagainya

1 Mudasir, Ilmu Hadis, (Bandung: Pustaka Abadi, 2005), h. 13-14

2 Fugsi hadis dalam penjelas al-Qur’ân itu bermacam-macam. Malik bin Anas

menyebutkan lima macam Fungsi; bayan al Taqri, bayan al Tafsir, baying al Tafsil, bayan al Bast, bayan al Tasyri. (Ranuwijaya, Utang. Ilmu Hadis, (Jakarta: gaya media Pratama, 1996), cet, ke-1, h. 26-27)

3 Assa’id, Sadullah, Hadis-hadis Sekte, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet, ke1, h. 6

4 Departemen Agama R.I, al-Qur’ân dan Terjemahan, (Semarang: Toha Putra, 1989), h.


(12)

yang terdapat dalam al-Qur’ân.5 Tugas ini berdasarkan perintah Allah swt., tentu saja penjelasan terhadap al-Qur’ân bukanlah sekedar membaca al-Qur’ân. Banyak ayat yang mebutuhkan penjelasan praktis dan hal itu sudah dilakukan oleh Rasulallah saw. Menolak penjelasan Rasulullah saw. sama saja dengan menolak al-Qur’ân.6

Dari segi dalalahnya al-Qur’ân sama dengan hadis, masing-masing ada yang Qath’i al Dilalah dan ada yang Zhanni al Dilalah. Hanya saja al-Qura’ân bersifat global dan hadis bersifat terperinci. Namun dari sisi periwayatanya jelas antara keduanya terdapat perbedaan. al-Qur’ân secara keseluruhan ayat-ayatnya diriwayatkan secara mutawatir.7 sedangkan hadis tidaklah demikian.

Sebagian diriwayatkan secara mutawatir sebagian diriwayatkan secara ahad.8 Pada bentuk periwayatan mutawatir tentunya tidak termasuk dalam bentuk penelitian karena telah diriwayatkan oleh banyak orang. Sebab, menurut kebiasaan mustahil mereka akan sepakat berdusta dan kesalehannya tidak diragukan lagi.9 Hadis semacam ini jelas akan ditetapkan setarap dengan al-Qur’ân dari segi kehujahan dan pengamalannya

5 Menjelaskan tentang lafaz dan peraturan peraturannya, artinya menyampaikan ayat

al-Qur’ân tampa menyembunyikan satu ayat pun, sedemikian rupa, persis sebagaiman Allah swt. telah menurunkan wahyu tersebut kepada Nabi saw. Kemudian, menjelaskan arti kata, kalimat atau ayat yang memerlukan ketrangan, atau ayat-ayat yang bersifat mutlak. (Nashiruddin, Muhammad al Bani, Kedudukan Sunnah Dalam Islam, (Jkarta: PT Gagasan Indonesia), h. 9-10)

6 M.M Azami, Hadis Nabi, Sejarah dan Modifikasinya, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 1994),

h. 27

7Mutawatir dalam Ilmu Hadis yaitu: Hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah rawi yang

tidak mungkin bersepakat untuk berdusta dari sejumlah rawi yang semisal mereka dan seterusnya sampai akhir sanad. Sedangkan untuk Al Qur’ân antara lain maksudnya yaitu ayat-ayat-Nya diturunkan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad saw. melalui Malaikat Jibril secara langsung

(DR. Nuruddin ‘ITR, Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta, Pustaka Bandung 1991), h. 196. Para ulama

membaginya menjadi dua : Mutawatir lafadznya dan Mutawatir Maknanya, Hasbi, As Siddieqy ,

Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Pustaka Rizki putra, 1997), cet,

ke-1, h. 177

8 Muhammad Ajjaj al Khatibi, Usul al Hadis Ulumuhu Wa Mustalahuhu, (Beirut: Dar el

Fikr, 199 M ), h. 302


(13)

Sedangkan yang menjadi objek penelitian adalah hadis-hadis yang diriwayatkan secara ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh sedikit orang atau beberapa orang akan tetapi tidak sampai pada derajat mutawatir,10 sehingga pemberitaannya pun masih menjadi perbincangan. Dalam konteks seperti ini jelas sekali akan muncul kesahalan-kesalahan baik dari segi periwayatan maupun dari segi penulisan dan ini dinamakan Zanni al Wurud. Walaupun demikian tidak serta merta hadis ahad ditolak, sebab yang membedakan hanyalah dari segi jumlah (kuantitas) periwayatannya saja. Sedangkan benar dan salahnya suatu berita, bukanlah ditentukan dari aspek tersebut, melainkan juga oleh tingkat kualitasnya, yaitu sejauh mana kredebilitas (‘adil dan dhabit) yang dimiliki oleh periwayat.11

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian terhadap sejumlah hadis ahad merupakan upaya para ilmuan untuk menilai apakah hadis-hadis tersebut dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya atau tidak.

Selanjutnya, kesahihan suatu hadis sangat diperlukan ketika hadis itu disampaikan kepada masyarakat. Karena masyarakat, ketika mereka menerima sebuah hadis, baik dalam ceramah agama di Majlis-Majlis ta’lim maupun yang mereka baca dari kitab-kitab atau buku-buku, Mereka hanya menerima dan memahami isi yang terkandung didalam hadis tersebut tanpa mereka mengetahui secara detail teks hadis dan bahkan status dari hadis tersebut.

Salah satu contoh dari sekian banyak kitab atau buku yang beredar dimasyarakat adalah kitab Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab. Sebuah kitab tafsir yang menggunakan bahasa Indonesia baik dalam menafsirkan

10 Drs. Fatchur Rahman, Ikhtishar Musthalah Hadis, (Bandung: Al Ma’arif, 1995), h. 67 11 M.Syuhudi Ismail. Kaidah Keshahihan Hadis, (Jakarta: Bulan Bintang,1995), h. 4


(14)

Qur’ân maupun dalam mencantumkan hadis beliau. Selain menggunakan bahasa Indonesia dalam setiap hadis yang digunakannya beliau juga tidak mencantumkan status hadis tersebut, yang padahal penggunaan hadis-hadis tersebut erat kaitannya dalam proses pemahaman ayat-ayat Allah swt., sehingga menurut hemat penulis sangat diperlukan pejelasan tentang kondisi hadis tersebut, terutama dari segi sanadnya.

Bertolak dari hal tersebut di atas, penulis akan mencoba menelaah hadis-hadis yang terdapat di dalam Tafsir al-Misbah surah ar-Rahmân dan menjadi alasan penulis memilih judul “Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Misbah” (Study Kritik Sanad dan Matan Hadis pada Surat ar-Rahmân)

A. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Agar pembatasan dan perumusan masalah ini lebih fokus serta dalam menghindari kekaburan pemahaman, maka dapat diambil beberapa pokok masalah yang akan dijadikan arah dan batasan, adapun pokok masalah adalah Bagaimanakah kualitas sanad dan matan hadis-hadis surah ar-Rahmân dalam kitab Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab?

Karena populasi hadis yang akan ditakhrij tidak merata dalam setiap ayat, yakni dalam satu ayat terdapat satu atau dua hadis namun tidak jarang pula tidak ada sama sekali, maka pengambilan sampel yang digunakan metode purposive sampling, yakni pengambilan sempel populasi yang disandarkan atas pertimbangan subjektif penulis. Dengan penetapan sampling, penulis


(15)

menetapkan kriteria hadis yang akan diteliti (takhrij) kualitas sanad sebagai berikut:

1. Hadis tersebut tidak disebut sama sekali sanadnya, yakni langsung disandarkan kepada Nabi saw., atau kepada perawi generasi sahabat. 2. Hadis tersebut dijadikan hujah oleh penafsir untuk memperkuat tafsirannya

atau sekedar bahan tulisan yang ditulis sebagai bahan perbandingan.

3. Hadis tersebut merupakan potongan matan atau kutipan hadis yang ditulis sesuai persi mufassir yang apabila dihadirkan matannya secara lengkap tentunya lebih baik.

B. Kajian Pustaka

Melalui penelusuran kepustakaan kebeberapa tempat, penulis tidak menemukan judul yang sama dengan judul yang penulis ambil. Oleh karena itu, penulis mengambil judul: “Takhrij Hadis-Hadis Kitab Tafsir al-Misbah” (Sebuah Kajian Analisis Sanad dan Matan Hadis Surah al-Rahmân)

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Sesuai dengan perumusan di atas, maka penulisan skripsi ini bertujuan untuk memberikan sumbangan untuk kajian Islam terutama dalam bidang hadis khususnya Ilmu Jarah Wa al Ta’dil, Selain itu penelitian ini mempunyai tujuan formal, yaitu untuk memenuhi persyaratan guna meraih keserjanaan Strata I (SI) pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Tafsir Hadis.


(16)

D. Meodologi Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Sedangkan cara pengumpulan data melalui studi kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengumpulkan, mengklarifikasi serta menelaah beberapa literatur yang berkaitan dengan inti permasalahan. Sedangkan pembahasan dalam skripsi ini bersifat deskriptis analitis, yaitu suatu pendekatan melalui pengumpulan data dan pendapat para ahli, kemudian ditelaah dan dianalisis sehingga menjadi sebuah kesimpulan.

Kegiatan penulisan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa buku-buku, dokumen, majalah, surat kabar. Sumber data primer adalah kitab Tafsir al-Misbah dan kitab-kitab yang berbentuk konkordasi yang merupakan rujukan utama dalam penulisan skripsi ini.

Adapun sumber data sekunder berupa buku-buku kumpulan hadis di antaranya kitab Kutubu Sitt’ah. selain itu penulis juga mengambil data dari kitab-kitab ilmu hadis sebagai landasan teori dan kerangka acuan memahami hadis. Karya-karya ini dijadikan bahan pembanding bagi sumber primer. Dari sumber primer maupun sekunder, diharapkan akan memperoleh data kualitatif sesuai yang diinginkan. Selanjutnya data-data yang telah dihimpun, diolah dengan analisis, interpretasi dan studi konfarasi sehingga dapat memberikan pengertian dan konklusi sebagai jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang menjadi objek penelitian ini.


(17)

Sedangkan teknik penulisan skripsi ini, penulis berpodoman pada buku pedoman Akademik Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007/2008.

E. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah serta agar lebih sistematis dalam penulisan skripsi ini, maka penulisan skripsi ini dilakukan dengan membaginya kedalam empat bab. Sebagai berikut:

Bab Pertama merupakan Pendahuluan dalam bab ini meliputi: Latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, metodologi penelitian, tujuan dan kegunaan penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini memberi gambaran singkat tentang masalah yang akan dibahas pada bab-bab selanjutnya.

Bab kedua adalah menjelaskan tentang M. Quraish Shihab dan Tafsir al-Misbah yang terdiri dari riwayat hidup pengaran kitab, membahas sumber, corak, metode, sistematika dalam penafsirannya terhadap al-Qur’ân, serta kandungan surat al-Rahmân Dalam Tafsir al-Mishbah.

Bab ke tiga yaitu kegiatan takhrij hadis yang terdapat dalam Tafsir al-Mishbah dalam surah al-Rahmân yang terdiri dari hadis pertama, hadis kedua, dan hadis ketiga serta membahas kualitas matan hadis-hadis tersebut.

Bab keempat adalah bab terakhir penulisan skripsi ini, berisi kesimpulan dan saran-saran yang didasarka pada seluruh pembahasan diatas.


(18)

BAB II

M. QURAISH SHIHAB DAN TAFSIR AL-MISBÂH

A. Riwayat Hidup M. Quraish Shihab

Indonesia memiliki banyak mubaligh, ulama, intelektual, dan birokrat. Akan tetapi yang menyatukan propesi itu pada satu kepribadian jelas tidak banyak. Diantara yang sedikit itu adalah Prof Dr. M. Quraish Shihab, MA. Beliau disebut mubaligh karena siraman rohani yang disampaikannya menyejukan hati. Disebut ulama karena merupakan ahli tafsir lulusan Universitas al-Azhâr. Disebut intelektual karena pandangan-pandangannya selalu didasarkan pada penalaran sosial, dan disebut birokrat karena pernah manjabat Menteri Agama, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Duta besar.

Setelah tugas Duta Besar untuk Mesir selesai, tokoh yang dikenal santun ini mengembangkan lembaga Studi al-Qur’ân, satu-satunya lembaga studi suasta di Indonesia yang secara spesifik menekuni kajian al-Quar’ân sebagai fokus utamanya.

M. Quraish Shihab lahir pada tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Beliau merupakan salah satu putra dari Abdurrahman Shihab (1905-1986), seorang wiraswasta dan ulama yang cukup popular. Ayahnya adalah guru besar dalam bidang tafsir, dan pernah menjabat Rektor


(19)

di IAIN Alauddin Makassar. Ia juga salah seorang penggagas berdirinya UMI (Universitas Muslim Indonesia), Universitas swasta terkemuka di Makassar.12

Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Makassar, Quraish melanjutkan studi ke Pondok Pesantren Darul Hadîs al-Faqihiyah, yang terletak di kota Malang, Jawa Timur. Di kota yang sejuk itu, beliau nyantri selama 2 tahun. Pada 1958, dalam usia 14 tahun, beliau berangkat ke Kairo, Mesir. Keinginan berangkat ke Kairo ini terlaksana atas bantuan beasiswa dari pemerintah daerah Sulawesi.

Sebelum melanjutkan studinya di Mesir, Quraish mendapat rintangan. Beliau tidak mendapat izin melanjutkan minat studinya pada jurusan Tafsir Hadis, karena nilai bahasa Arab yang dicapai dianggap kurang memenuhi syarat. Padahal, dengan nilai yang dicapainya itu, sejumlah jurusan lain dilingkungan al-Azhâr bersedia menerimanya, bahkan menurutnya, beliau juga bisa diterima di Universitas Kairo dan Dârul Ulum. Untuk itu, beliau mengulangi studinya selama satu tahun. Belakangan beliau mengakui bahwa studi yang dipilihnya itu ternyata tepat. Selain merupakan minat pribadi, pilihan untuk mengambil bidang studi al-Qur’ân rupanya sejalan dengan besarnya “kebutuhan umat manusia akan al-Qur’ân dan penafsiran atasnya”. Berkenaan dengan jurusan yang dipilihnya ini, sesuai dengan kecintaan terhadap bidang tafsir yang telah ditanam oleh ayahnya sejak beliau kecil. Mengenai hal ini, Quraish menulis sebagai berikut:

12

Arif Subhan, Tafsir yang Membumi”, Tsaqafah, 2003, Vol. 1, No. 3, lihat juga,


(20)

“Seringkali beliau mengajak anak-anaknya duduk bersama. Pada saat-saat seperti inilah beliau menyampaikan petuah-petuah agama. Banyak dari petuah itu- yang kemudian saya ketahui sebagai ayat-ayat al-Qur’ân atau petuah Nabi saw., sahabat, atau pakar-pakar al-Qur’ân-yang hingga detik ini masih terngiang ditelinga saya,…

dari sanalah benih kecintaan kepada studi al-Qur’ân mulai tersemai di jiwa saya”.13

Universitas al-Azhâr, seperti diketahui, selain merupakan pusat gerakan pembaharu Islam, juga merupakan tempat yang tepat untuk studi al-Qur’ân. Pelajar Indonesia yang melanjutkan studinya ke Mesir cukup banyak. Mesir menjadi tujuan studi islam yang bersaing dengan Haramayn.14

Di Mesir, Quraish tidak banyak melibatkan diri dalam aktivitas kemahasiswaan. Meskipun demikian, beliau sangat aktif memperluas pergaulan terutama dengan mahasiswa-mahasiswa dari Negara-nagara lain. Mengenai kegiatannya ini Quraish mengatakan, “bergaul dengan mahasiswa dari negara lain, ada dua manfaat yang dapat diambil. Pertama, dapat memperluas wawasan, terutama mengenai kebudayaan bangsa-bangsa lain dan kedua, memperlancar bahasa Arab”.15

Belajar di Mesir sangat menekankan aspek hapalan. Hal ini juga dialami oleh Quraish, beliau sangat mengagumi kuatnya hafalan orang-orang Mesir, khususnya dosen-dosen al-Azhâr. Belajar dengan cara ini bukan tidak ada segi positifnya, meskipun banyak mendapat kritik dari para ahli pendidikan moderen. Bahkan menurutnya, nilai positif ini akan bertambah

13 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 14

14M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 14. lihat juga,

Hamdan anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar

Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 170


(21)

jika kemampuan menghapal itu dibarengi dengan kemampuan analisis. Masalahnya adalah bagaimana menggabungkan dua hal ini?.16

Pada tahun 1967, Quraish meraih gelar Lc (S1) dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis Universitas al-Azhâr. Kemudian beliau melanjutkan studinya di fakultas yang sama, dan pada tahun 1969 beliau berhasil meraih gelar MA untuk spesialis bidang Tafsir al-Qur’ân. Dengan tetisnya yang berjudul al-Ijâz al-Tasyr’I li al-Qur’ân al-Karim.17

Quraish pulang ke Indonesia untuk mendarmabaktikan ilmunya di IAIN Alauddin Makasar. Kemudian pada tahun 1980, beliau kembali ke Kairo untuk melanjutkan studinya pada jurusan yang sama. Pada tahun 1982 beliau berhasil meraih gelar doktor dalam bidang tafsir, setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul Nazhm al-Durâr li al-Biqâ’iy Tahqiq wa Dirâsah. Gelar tersebut diraih dengan yudisium Summa Cum Laude disertai dengan penghargaan tingkat 1 (Mumtaz ma’a martabat al-Syaraf al-‘Ula).18

B. Mengenal Tafsir al-Mishbâh

M. Quraish Shihab merupakan sosok intelektual yang sangat produktif. Ditengah kesibukannya yang luar-biasa sebagai dosen, pejabat tinggi, dan aktifis organisasi, beliau masih sempat menulis berbagai karya ilmiah yang bernuansa sejuk, sederhana dan mudah dipahami.

16Arif Subhan, Tafsir yang Membumi”, Tsaqafah, 2003, h,. 3

17 M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 6

18


(22)

karyanya yang telah ditulis baik berupa artikel, rubrik, maupun buku-buku sangat bayak.19 Diantara tulisannya yang terkenal adalah Tafsir al-Mishbâh. Buku ini dapat dikatakan sebagai karya puncak usahanya dalam tulisan. Terdiri dari 15 volume, tafsir ini mulai ditulis pada tahun 1999 hingga akhir tahun 2003. Kehadiran tafsir ini kiranya semakin mengkukuhkannya sebagai tokoh tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara dan dunia.

Di bawah ini disebutkan sebahagian karya-karyanya yang lain yang juga sangat terkenal adalah:

1. Tafsir al-Manâr, Keistimewaan dan Kelemahannya. Diterbitkan di Makassar pada tahun 1984.

2. Tafsir al-Amânah. Merupakan kumpulan artikel dari rubrik tafsir yang diasuhnya pada majalah Amânah. Diterbitkan oleh Pustaka Kartini 1992. 3. Membumikan al-Qur’ân, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan

Masyarakat. Karya ini merupakan kumpulan makalah yang ditulisnya dalam rentang waktu antara 1976 sampai 1992. Diterbitkan oleh Mizan pada tahun 1992.

4. Tafsir al-Qur’ân al-Karîm. Isinya adalah tafsiran dari 24 surah pendek yang didasarkan pada urutan turunnya dan mengunakan metode tahlili. Karyanya ini diterbitkan oleh Pustaka Hidayah pada tahun 1997.

Dan masih banyak lagi karya tulisannya yang banyak dibaca dan dijadikan rujukan oleh orang banyak terutama para mahasiswa.

19

Hamdan anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish Shihab”,


(23)

5. Pemilihan Nama al-Mishbâh

Karya ini diberinama al-Mishbâh: Pesan, kesan dan Keserasian al-Qur’ân. Pemilihan nama al-Mishbâh bukan tanpa dasar sama sekali, meskipun secara eksplist Quraish tidak menyebut dasar penamaan. Paling tidak ada dua hal yang mendasari panamaan tersebut. Pertama, di dalam kata pengantar ditemukan sedikit penjelasan. Sebagaimana diketahui, nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerang bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan demikian dapat diduga bahwa harapan beliau adalah memberi penerang dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al-Qur’ân secara langsung karena kendala bahasa.20 Kedua, didasarkan pada awal kegiatan Quraish dalam menulis di Jakarta. Kendati kegiatan tulis-menulis beliau sudah terlihat di Makassar sebagaimana dibuktikan dari karyanya, namun produktifitas sebagai penulis mendapat monumennya setelah beliau bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an beliau diminta menjadi pengasuh rubrik “Pelita Hati” pada Harian Pelita. Uraian-uraian yang disajiakannya menarik banyak pihak. Itu karena dalam setiap tulisannya, beliau memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal, yaitu bila dilihat dari maknanya. Analisis yang dikemukakan adalah bahwa kumpulan tulisannya pada rubrik “Pelita Hati”

20

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,


(24)

diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan padanan kata dari pelita yang arti dan fungsinya sama-sama memberikan penerang. Dalam bahasa arab lentera, pelita atau lampu disebut dengan mishbâh dan inilah yang dipilih sebagai nama. Penerbitnya juga mempergunakan nama yang sama yakni Lentera Hati.21

Motifasi yang melatar belakangi adalah hal yang niscaya ada pada suatu karya apa pun, Tak terkecuali Tafsir al-Mishbâh. Paling tidak ada dua alasan yang melatar belakangi penuisannya. Pertama, motivasi itu didasarkan pada tanggung jawab moral penulisnya sebagai ulama yang wajib memberikan penerangan kepada umat sesuai bidangnya. Rasa tanggung jawab ini muncul ketika menyadari bahwa al-Qur’ân yang merupakan petunjuk bagi manusia harus dipahami dan dimengerti maknanya. Tetapi kenyataan bahwa umat Islam Indonesia mempunyai keterkaitan yang besar terhadap al-Qur’ân dan hannya berarti pada pesona bacaannya adalah fakta. Hal ini disebabkan oleh kendala bahasa. Mengenai hal ini beliau menguraikan sebagai berikut: “Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al-Qur’ân dan menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sesuai dengan harapan dan kebutuhan itu”.22 Kedua, tidak sedikit umat Islam yang mempunyai keterkaitan yang luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’ân, tetapi mengalami beberapa kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu yang mendukung, dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai dari segi kecakupan informasi dan kejelasannya.

21 Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish

Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, h. 176-177

22


(25)

Motifasi Quraish dalam menulis Tafsir Mishbâh tersebut tampak sejalan dengan penegasan yang disampaikan oleh Ibn Katsir dalam muqaddimah tafsirnya. “Adalah menjadi kewajiban para ulama untuk mengungkapkan maksud dari kalam Ilahi, menafsirkannya, mempelajarinya, dan mengajarkannya”.23

6. Sumber Penafsiran al-Mishbâh

Tafsir al-Mishbâh dapat digolongkan sebagai ta-tafsir bi al-ra’yi.24 Kesimpulan itu diambil dari pernyataan penulisnya yang diungkapkan pada akhir “Sekapur Sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Redaksi yang ditulisnya adalah sebagai berikut:

“Akhirnya penulis perlu menyampaikan kapada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Umar al-Bi’qa’i (w. 885 H / 1480 M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhâr, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir Pemimpin Tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi al-Sya’rawi dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muhammad Thahir ibn Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta pakar-pakar tafsir lainnya”.25

Pernyataannya di atas mengisyaratkan, paling tidak dua hal. Pertama, Sumber penafsirannya adalah ijtihadnya sendiri. Kedua, adalah rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik ulama yang terdahulu maupun yang masih hidup. Sementara itu, selain mengutip pendapat para ulama, Quraish juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’ân dan hadis Nabi saw.

23 Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Kairo: Mathba’ah al-Istiqâmah, 1958), jilid. 1, h. 3 24 Kata al-ra’yi secara etimologis, berarti keyakinan, qiyas dan ‘Ijtihad. Jadi tafsir bi

al-ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara ijatihad. Lihat Hamdani Anwar , OP. Cit., h. 180. Lihat juga, Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’ân dan pengenalan Methode Tafsir,

(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h.306


(26)

sebagai bahan dari penjelasan tafsir yang dilakukan. Karena itu, Tafsir al-Mishbâh juga dapat dikelompokan kedalam tafsir bi al-ra’yi yang mahmudah sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarqani, berlaku pada tafsir bi al-ra’yi yang memperhatikan norma-norma yang telah ditetapkannya.26 Sedangkan yang tidak merujuk seperti semestinya, maka penafsirannya dinilai madzmumah.27

7. Corak, Metode dan Sistematika Penulisan Tafsir al-Mishbâh

Dalam litelatur studi tafsir dikenal beberapa corak tafsir. Misalnya; tafsir falsafi, tafsir ilmî, tafsir lughawi, tafsir fiqhi, tafsir adâbi, tafsir ijtimâ’i. dipandang dari sudut pandang itu, Tafsir al-Mishbâh dapat dikategorikan dalam corak tafsir ijtimâ’i atau kemasyarakatan. Hal ini didasarkan pada kecenderungan tafsir ini mengupas masalah-masalah sosial dan mamberikan jalan keluar atasnya. Panilaian ini dapat menimbulkan pertanyaan mengingat istilah yang digunakan cenderung berbeda dari teori dasar tafsir yang telah dikemukakan pakar sebelumnya, yaitu corak adâb al-ijtimâ’i (corak sastra dan kemasyarakatan). Hal ini sengaja dilakukan dengan pertimbangan bahwa penulis bukanlah seorang yang pakar sastra, baik sastra bahasa Indonesia maupun Arab.28

26

al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957), jilid. II, h. 49

27 Al-Zarkasi telah menetapkan norma-norma bagi tafsir bi al-ra’yi yang tercela ini adalah

sebagai berikut: Tidak merujuk pada al-Qur’ân dan Sunnah, tidak merujuk pada riwayat sahabat,

tidak memperhatikan kaidah dan aturan kebahasaan dengan tepat, dan tidak menafsirkan sesuai dengan konteks redaksi ayat. Lihat al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957), jilid. II, h. 156-161

28

Lihat Hamdan Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsir al-Mishbah Karya M. Quraish


(27)

Dari segi metodologi, Tafsiral-Mishbâh menggunakan metode tahlili. Kesimpulan ini dapat dengan mudah dilihat dari cara penafsiran yang terdapat dalam karya ini, yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surah demi surah, sesuai dengan susunan dalam mushaf. Metode ini sengaja dilakukan oleh penulisnya, karena beliau ingin mengungkapkan semua isi al-Qur’ân secara rinci agar petunjuk-petunjuk yang terkandung di dalamnya dapat dijelaskan dan dipahami oleh para pembaca.

Namun demikian, sebenarnya Quraish tidak begitu tertarik untuk menggunakan metode tahlili. Di dalam beberapa kesempatan, beliau selalu mengemukakan bahwa metode yang digunakannya itu memiliki beberapa kelemahan. Menyadari hal tersebut, beliau memberikan tambahan lain dalam karyanya. Beliau menilai bahwa cara yang paling baik dalam menghidangkan pasan al-Qur’ân adalah dengan metode maudhu’i, yaitu dengan mengungkapkan pesan al-Qur’ân sesuai dengan tema yang diinginkan. Selain itu metode ini memiliki beberapa keistimewaan. Dengan dasar itu, beliau berupaya menggunakan metode maudhu’i dalam tafsirnya. Sehubungan dengan upayanya itu, beliau menyatakan sebagai berikut:

“Dalam konteks memperkenalkan al-Qur’ân dalam buku ini, penulis berusaha dan akan terus berusaha menghidangkan bahasan setiap surah pada apa yang dinamai tujuan surah, atau tema pokok surah. Memang, menurut para pakar, setiap surah ada

tema pokoknya”.29

Berkaitan dengan sisitematika penulisan Tafsir al-Mishbâh, dapat dikemukakan sebagai berikut:

29 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,


(28)

1. Tafsir dimulai dengan pengantar yang menjelaskan surah secara global.

2. Penulisan ayat-ayat dikelompokan ke dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya, kemudian diikuti dengan terjemahnya 3. Uraian kosa kata yang dipandang perlu dalam penafsiran

makna ayat.

4. Ayat dan hadis yang dijadikan penguat atau bagian dari tafsirnya hanya ditulis dengan terjemahnya saja.

Adapun jumlah keseluruhan Tafsir al-Mishbâh adalah 15 volume dengan pembagian sebagai berikut; Volume I berisi tafsiran surat al-Fatihah dan Bâqarah. Volume II; surah Imrân dan an-Nisâ. Volume III; surah al-Mâidah. Volume IV; surah al-An’âm. Volume V; surah al-A’râf, al-Anfâl, dan at-Taubah. Volume VI; surah Yunûs, Hûd, Yusûf, dan ar-Râ’d. Volume VII; surah Ibrâhim, al-Hijr, an-Nahâl, dan al-Isrâ. Volume VIII; al-Kahfi, Maryâm, Thâhâ, al-Anbiyâ. Volume IX; surah al-Hâjj, al-Mu’minûn,an-Nûr, dan Furqân. Volume X; surah asy-Syu,arâ, an-Naml, Qashâsh, dan al-Ankabut. Volume XI; surah ar-Rûm, Lukman, as-Sajdâh, al-Ahzâb, Sabâ, Fâthir, dan Yâsin. Volume XII; surah ash- Shâffat, ashad, az-Zumâr, Ghâfir, Fushshilât, asy Syurâ, dan az-Zukhrûf. Volume XIII; surah ad-Dhukhân, al-Jâtsiyah, al Ahqâf, Muhammad, al-Fâth, al-Hujurât, Qâf, adz-Dzâriyât, ath-Thur, an-Nujm, Qomâr, ar-Rahman, dan Wâqi’ah. Volume XIV; Hadid, Mujâdalah, Hasyr, Mumtahnah, ash-Shâff, Jumu’ah, al-Munâfiqun, al-Taqhâbun, ath-Thalâq, at-Tahrîm, Tabârak, al-Qalâm, al-


(29)

Hâqqah, al-Ma’ârij, Nûh, al-Jînn, al-Muzzammîl, al-Muddatstsîr, al-Qiyâmah, al-Insân, dan al-Mursalât. Sementara volumr XV berisi Juz ‘Ammâ. Demikian sistematika penulisan yang dilakukan M. Quraish Shihab dalam karya ini.

C. Kandungan Surat ar-Rahmân dan Dalam Tafsir al-Mishbâh

Surah ar-Rahmân adalah surah makkiyyah menurut pendapat mayoritas ulama, penamaannya dengan ar-Rahmân telah dikenal sejak zaman Nabi saw. Nama tersebut diambil dari awal kata surah ini. Hal yang unik dalam al-Qur’ân bahwa surah ini diawali dengan salah satu nama Allah swt. yaitu ar-Rahmân - sesudah Basmalah.

Surah ar-Rahmân dikenal juga dengan nama ‘Arus al-Qur’ân yang secara harfiah berarti pengantin al-Qur’ân. Penamaan surah itu karena indahnya surah ini, dan karena di dalamnya terulang sekian kali ayat fa bi ayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadzdzibân, yang diibaratkan dengan aneka hiasan yang dipakai oleh pengantin.30

Ayat pertama yakni ar-Rahmân tercantum apa adanya dan berdiri sendiri yang menerangkan keseluruhan surat dan mengatur isi baik dari segi arti maupun pesannya. Dalam surah ini Allah swt. dengan nama-Nya ar-Rahmân muncul sebagai subjek yang diikuti oleh sebuah predikat kata kerja yang mengandung arti pembatasan, dalam pengertian hannya dialah yang melakukan ini dan itu. Dalam surah ini terdapat serangkaian predikat kata

30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,


(30)

kerja yang muncul berturut-turut tampa kata sambung yang semuanya bergantung pada kata ar-Rahmân.

Pengaruh ayat pertama yakni ar-Rahmân terhadap ayat-ayat selanjutnya semakin ditekankan oleh aspek suaranya. Sebab sebagi ayat yang berdiri sendiri yang diakhiri oleh alif panjang dan nun, maka ayat ini menentukan pola fashihah atau sajak pada akhir ayat-ayat selanjutnya yang pada khususnya mengandung “an” dan pada beberapa ayat “am”, yang tidak banyak merubah pola ini mengingat “n” dan “m” keduanya berbunyi konsonan yang didengungkan (ayat 1-6 ditrasliterasikan untuk menunjukan efek ini).31

Tema surah ini adalah uraian tentang nikmat-nikmat Allah swt., bermula dari nikmatnya yang terbesar dan teragung yaitu al-Qur’ân. Thabathaba’i berpendapat bahwa surah ini mengandung isyarat tentang ciptaan Allah swt. dengan sekian banyak bagian-bagiannya di langit dan bumi, darat dan laut, manusia dan jin, di mana Allah swt. mengatur semua itu dalam satu pengaturan yang bermanfaat bagi manusia dengan jin - bermanfaat untuk hidup mereka di dunia yang akan binasa yang kekal abadi diakhirat.32

Paling tidak ada tiga hal isi surah ar-Rahmân yang di kelompokan kedalam tiga kelompok ayat yakni:

1. Ayat 1-30 membahas tentang karunia Allah swt. di dunia. Namun pada ayat ke 13 mengetengahkan tantangan terhadap lawan-lawan

31 Muhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur’ân “Pendekatan Gaya dan Tema”,

(Bandung: Marza, 2002), Cet. 1 h. 218

32M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân,


(31)

bicara-Nya (manusia dan jin) “maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustai”, yang disebut secara berulang-ulang. 2. Ayat 31-45 berisi tentang tantangan kepada lawan bicara-Nya

untuk melarikan diri dari pengadilan - orang-orang yang berdosa tidak akan mampu menyelamatkan dirinya dari hukuman yang eksistensinya telah mereka dustakan.

3. Ayat 46-77 membahas tentang berbagai nikmat yang menjadi balasan bagi dua golongan yang beriman.33

33 Muhammad Abdul Halim, Memahami al-Qur’ân “Pendekatan Gaya dan Tema”,


(32)

BAB III

KEGIATAN TAKHRIJ HADIS-HADIS DALAM TAFSIR

AL-MISHBAH PADA SURAH AL-RAHMÂN

E. Hadis Pertama “ Pengantin al-Qur’ân adalah al-Rahmân” 4. Teks Hadis dan Kegiatan Takhrij Hadis

Dalam Tafsir al-Mishbah, mufassir mengambil matan hadis tertulis sebagai berikut: Nabi saw. bersabda: “Segala sesuatu memiliki pengantin dan pengantin al-Qur’ân adalah surat al-Rahmân”34. Jika ditranslit kedalam bahasa Arab maka hadis tersebut berbunyi:

لﻮﻘﯾ ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا : ِﻟُﻜ ِﻞ َﺷ ْﻲ ِء ُﻋ ُﺮ ُسو َو ُﻋ ُﺮ ُسو ُﻘﻟا ْﺮ َآ ِن َﺮﻟا َْﺣ َﻤ ُﻦ

Untuk menetahui kejelasan hadis di atas berserta sumber-sumbernya, penulis tidak terlepas dari metode takhrij yang digunakan, sebagaimana yang telah disingung di dalam bab 1, penulis mengawali kegiatan takhrij ini dengan memilih berbagai macam cara ulama hadis dalam pembukuan hadis mereka.

Diantara metode yang digunakan oleh ulama, ada yang menyusunnya dengan abjad hijaiyah (alif, ba’,ta, dan sebagainya), ada yang menyusunnya sesuai dengan tema hadis, seperti: tentang shalat, zakat dan lain-lain, ada yang menyuusunnya menurut nama-nama perâwî terakhir, adakalanya perâwî pertama itu sahabat bila hadisnya muttasîl35,

34 M. Quraish Shihab, “Tafsir al-Misbah” Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’ân,

Ciputat: Lentera Hati, 2000, h. 491.

35 Muttasîl maksudnya ialah para perawi yang tercantum pada sanad antara murid dan

guru bertemu (liqa). Baik itu dari segi masa hidupnya, daerah tempat tinggalnya dan profesinya sebagai muhaddisin. Lihat Endang Soetari, Ilmu Hadis, (Jakarta: Amal Bakti Press, 1997), Cet. 2, h.136.


(33)

dan adakalanya tabî’in bila hadis itu mursal36. Hadis tersebut ada yang ditulis lengkap dan ada pula yang hannya potongan saja. Ada pula yang menyusun menurut kriteria-kriteria hadis.

seperti: hadis qudsi, mutawatir, maudu’37, mursal. Serta ada pula yang disusun berdasarkan lafadz-lafadz yang terdapat dalam matan hadis.38

Berangkat dari beragam ulama dalam pembukuan hadis serta penyusunannya, maka dapat diperoleh berbagai metode takhrij yaitu: a. Dengan cara mengetahui sahabat yang meriwayatkan hadis. b. Dengan cara mengetahai lafadz pertama dari matan hadis.

c. Dengan cara mengetahui lafadz matan hadis yang sedikit berlakunya. d. Dengan cara mengetahui pokok bahasan atau tema hadis.

e. Dengan cara meneliti keadaan-keadaan hadis baik dalam sanad atau matan.39

Dari kelima metode di atas, tidak mengharuskan seorang peneliti menggunakan semua metode, terkadang ditemukan hannya tiga atau dua metode saja, jika memang metode yang dipilihnya itu sudah dapat memadai usaha penelusuran hadis.

36 Yang dimaksud mursal ialah gugur pada sanad terakhir atau perawipertama (sahabat),

yakni tabi’in menisbahkan matan hadis kepada Nabi saw, tanpa menyebutkan dari sahabat mana ia

menerima hadis. Lihat:Endang Soetari, Ilmu Hadis, h. 149.

37 Hadis maudu’ ialah hadis bikinan, yang dibuat oleh orang lain selain Nabi saw., dan

merupakan bentuk hadis da’if yang terburuk yang paling parah. Lihat Imam al-Nawawi,

Dasar-Dasar Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. 1, h. 35.

38 Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Pertama, 1996), Cet. 1, h.

116-122.

39 Mahmud at-Tahhan, Metode Takhrij dan Penelitian Sanad Hadis, terj, Ridwan Nasir,


(34)

Dalam skripsi ini, penulis hanya menggunakan dua metode: Pertama, penulis menggunakan metode penelusuran hadis bi alfadz yakni penelusuran hadis dengan mengunakan kata-kata pada matan hadis, baik berupa fi’il atau isim. Adapun kitab yang digunakan adalah kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-AlFadz al-Hadîts. Kedua, metode penelusuran hadis dengan menggunakan awal khafaz matan hadis. Adapun kitab yang digunakan adalah kitab Mausua’ah Atraf al-Hadîts al-Nabawî Syarîf.40

Matan hadis di atas, dapat ditemukan melalui metode takhrij hadis pada awal matan melalui kitab Mausua’ah Atraf al-Hadîts al-Nabawî Syarîf, maka kata-kata yang dapat ditelusuri adalah: سوﺮﻋ ءﻲﺷ ﻞﻜﻟ

Dalam kitab Mausua’ah Atraf al-Hadîts al-Nabawî Syarîf Nabawî

Syarîf:41

سوﺮﻋ ءﻲﺷ ﻞﻜﻟ و نآﺮﻘﻟا سوﺮﻋ ﻦﻤﺣﺮﻟا -ةﺎﻜﺸﻣ ٢١٨ -رﻮﺜﻨﻣ ٦ : ١٤٠ -ﺰﻨﻛ ٢٦٣٨ ﻲﺒﻃﺮﻗ ١٧ : ١٥١

Dari informasi di atas, dapat diketahui bahwa riwayat tersebut terdapat di dalam kitab hadis:

1. Musyakâh al-Mashâbih li al-Tibrizî: 2180. 2. Al-Dâr al-Mantsûr li al-Suyûti: 6: 140.

40 Jika kedua metode penelusuran hadis yang digunakan tidak dapat menemukan secara

langsung hadis yang ingin diketahui, maka langkah yang akan dilakukan penulis selanjutnya adalah menelusurinya dengan berpegang kepada keterangan yang diperoleh dari kedua metode tersebut.

41 Abû Hâjir Muhammad al-Sa‘îd Basyûnî Zaglûl, Mausû’ah Atrâf al-Hadîts, (Beirut: Dar


(35)

3. Kanz al-‘Umâl li al-Muttaqî al-Hindî: 2638. 4. Tafsir al-Qurtubî: 17: 151.

Dari kitab-kitab petunjuk di atas, dapat diketahui bahwa hadis yang akan diteliti terdapat dalam kitab Syu’ab al-Îmân dan hanya memiliki satu jalur. Oleh karena itu, penelitian sanad hadis terfokus pada riwayat yang ada di dalam kitab Syu’ab al-Îmân disamping mengikuti keterangan yang terdapat dalam kitab Tafsir al-Misbah. Teks hadisnya adalah:42

ا ْﻦِﺑ ﺪَﻤْﺣَأ ﺎَﻨَﺛ داَﺪْﻐَﺒِﺑ ﻆِﻓﺎَﺤﻟا ﺮَﻔْﻌَﺟ ْﻦِﺑ ﻦْﯿَﺴُﺤﻟا ْﻦِﺑ ﻲِﻠَﻋ ﺎَﻨَﺛ ﻲِﻤَﻠُﺴﻟا ﻦَﻤْﺣَﺮﻟا ُﺪْﺒَﻋ ﻮُﺑَأ ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧَأ ﻦَﺴَﺤﻟ

ﺎَﻨَﺛ ئَﺮَْﻘُﻤَﻟا ﺲْﯿَﺑَُد ةَﺰْﻤَﺣ ْﻦِﺑ ﻲِﻠَﻋ ﺎَﻨَﺛ يِﺪْﯾِﺰَﯿﻟا مﺎَﺸِھ ﺎَﻨَﺛ يَﺮْﻘُﻤﻟا ﻲِﺋﺎَﺴِﻜﻟا ﺮَﻔْﻌَﺟ ْﻦِﺑ ﻰَﯿْﺤَﯾ ْﻦﺑ ﺪَﻤَﺤُﻣ

ﻲِﻠَﻋ ْﻦﻋ ِﮫْﯿﺑأ ْﻦﻋ ﻦﯿَﺴُﺤﻟا ْﻦِﺑ ﻲِﻠَﻋ ِْﻦَﻋ ِﮫْﯿﺑأ ْﻦَﻋ ﺮَﻔْﻌَﺟ ﮫْﯿِﺑَأ ﻦﻋ ﺮَﻔْﻌَﺟ ْﻦﺑ ﻰَﺳْﻮُﻣ ﺎَﻨَﺛ ﻲِﺋﺎَﺴِﻜﻟا َلﺎَﻗ ُﮫْﻨَﻋ ُﷲا َﻲِﺿَر :

ُﺖْﻌِﻤَﺳ ُلﻮُﻘَﯾ ﻢَﻠَﺳ َو ِﮫْﯿﻠَﻋ ُﷲا ﻰﻠَﺻ ﻲِﺒَﻨﻟا :

ُسوُﺮُﻋ َو ُسوُﺮُﻋ ِءْﻲَﺷ ِﻞُﻜِﻟ ﻦَﻤْﺣَﺮﻟا نآْﺮُﻘﻟا

5. Kegiatan I’tibar

Kegiatan i’tibar adalah memperlihatkan dengan jelas seluruh sanad hadis yang diteliti, termasuk nama-nama periwayatnya, dan metode periwayatan yang digunakan oleh masing-masing periwayat. Untuk kepentingan tersebut maka diperlukan pembuatan skema untuk seluruh sanad bagi hadis yang diteliti.

Lihat skemanya pada halaman berikut.

42 Riwayat al- Baihaqî hannya terdapat satu jalur, sebagaimana yang terdapat dalam kitab

aslinya. lihat, al-Baihaqî, Abû Bakar Ahamad bin Husain bin ‘Alî, Syu’ab al-Imân li-Baihaqî

(Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Ilmiyah, t.t.), h.257


(36)

(37)

Setelah dilihat dalam skema dapat diambil natijah bahwa: Dari segi hubungan periwayatan, tidak semua perawi yang diteliti bersambung. Dari segi perlambangan, hadis yang diteliti hampir keseluruhan sanadnya mendapatkan hadis dengan cara bertemu dan mendengar langsung, dengan menggunakan lambang ( ُﺖْﻌِﻤَﺳ, ﻦﻋ, ﺎَﻨَﺛ, ﺎَﻧَﺮَﺒْﺧَأ ).

6. Kegiatan Penelitian Kualitas Periwayat serta Menyimpulkan hasil Penelitian Sanad

Kegiatan penelitian sanad ini adalah untuk memperoleh informasi mengenai keadaan perawi termasuk metode periwayatannya. Pada bagian ini diperlukan kitab-kitab yang menerangkan keadaan perawi hadis, baik dari sisi biografinya, pribadinya, kritik terhadap perawi yang bersangkutan dan sebagainya.

Al-Baihaqî (w. 458 H)

Nama lengkap: Al-Imâm Hâfiz ‘Allâmah Jalîl, Usûlî al-Zâhid al-Wara‘, Syaikh‘ Khurasân, Sâhib al-Tasânif: Abû Bakar Ahmad bin al- Husain bin ‘Alî bin ‘Abdillah bin Mûsâ al-Baihaqî al-Naisâbûrî43.

Gurunya: Al-Hâkim Abî ‘Abdullâh al-Hâfiz, ‘Abdullâh bin Yûsuf Asbahânî, Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ibnu Rajâ` Adîb, Ishâq bin Muhammad bin Yûsuf Sûsî, Mansûr ibn Husain al-Maqra’.

43 Abî Bakr Ahmad bin al-Husain bin ‘Alî al-Baihaqî, al-Sunan al-Saghîr, jilid 1, (Beirut:

Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah,1992), h. 3.lihat Abû ‘Abdillah Syams al-Dîn Muhammad al-Dzahabî.

Tadzkirat al-Huffâz, jilid 3, (Beirût: Dar al-Kitab al-‘Ilmiyah, t.t.), h. 1132., lihat al-Dzahabî.


(38)

Muridnya: - 44

Pendapat ulama hadis tentang dirinya:

1. Al-Hâfiz ‘Abd al-Ghâfir bin ‘Ismâ‘îl di dalam târîkhnya: Al-Baihaqî adalah seorang tokoh ulama ternama, beliau juga terkenal sebagai orang yang zuhud dan wara. Beliau melanjutkan bahwa, Abû Bakar al-Faqîh, al-Hâfiz, Usuluddîn, al-Wara‘, salah seorang yang hafal pada masanya, dari pembesar al-Hâkim, beliau menambahkan berbagi macam ilmu kepada al-Hâkim, menulis, melatih al-Hâkim menghafal hadis, menguasai hingga mahir. Abû Bakar mengambil disiplin ilmu Usuluddin, beliau pergi ke Iraq, Jabal Hijaz, kemudian mulai menulis, karangannya hampir 1000 Juz, dari apa yang tidak pernah dilakukan seorangpun, beliau memadukan/ mengumpulkan ilmu fikih dan hadis, menjelaskan ‘ilal hadis, menaruh perhatian berbagai macam hadis, banyak para imam belajar dari Baihaqî sampai Naisabur, untuk mendengar berbagai macam kitab, menyelesaikan kitab selama 41 tahun 3 bulan, kemudian forum menyimpulkan untuk mendengarkan (membedah) kitab ma‘rifah dan para imam pun menghadirinya.

2. Al-Qudat Abû ‘Alî Ismâ‘îl bin al-Baihaqî: Beliau adalah seorang teman kita yang salih dan paling banyak bacaannya.45

3. Al-Sam‘ânî: Beliau imam yang faham, Hâfiz, yang mengumpulkan ilmu hadis dan fiqih.46

44 Setelah penulis melacak kebeberapa kitab Rijal dan Tarikh, penulis tidak menemukan

keterangan tentang murid-muridnya.

45 Al-Syamsyu al-Dîn bin Muhammad bin Ahmad bin ‘Ustman al-Dzahabî. Siyaru A‘lâm


(39)

4. Lahir 384 H. bulan Sya‘ban, dan meninggal pada hari ke sepuluh bulan Jumâdi al-Awal tahun 458 H.47

Terdapat pertemuan dengan gurunya Abû ‘Abd Rahmân al-Sulamî, para ulama menilainya positif (ta’dîl) tingkat pertama disamping penilaian positif lainnya, Beliau menerima hadis dengan cara takhbir (

ﺎﻧﺮﺒﺧأ ). Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulamî (w. 412 H)

Nama lengkap: Muhammad bin Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulamî, Syaikh Sufiyah, Sâhib al-Târih dan Tabaqâh.

Gurunya: Al-Asam. Muridnya: Al-Baihaqi.

Pandangan ulama kritikus hadis terhadap dirinya:

1. Al-Hâkim: Beliau adalah ahli Zuhud, tasawuf, ﺎﻨﻘﺘﻣ ,ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺮﯿﺜﻛ 2. Al-Sirâj : Insya Allah tidak tergolong pendusta.

3. Al-Khatîb :ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺐﺣﺎﺻ ,Beliau wafat bulan Sya’ban tahun 412 H.48 Terdapat kemungkinan pertemuan dengan muridnya melalui tahun wafatnya, penilaian para ulama positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping

46 Abî Sa‘ad ‘Abd al-Karîm bin Muhammad bin Mansûr al-Tamîmî al-Sam‘ânî.

Al-Ansâb, jilid 2, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, 1980), h. 381.

47 Syamsu al-Dîn Ahmad bin Muhammad bin Abî Bakr bin Khalkân. Wafâyat al-A‘yân,

jilid 1, (Beirût: Dâr Sâdr, t.t.), h. 76.

48 Al-Imam Hâfiz Syihâb Dîn Ahmad bin ‘Alî bin Hajar ‘Asqalânî. Lisân

al-Mîzân, jilid 7, h. 140. Lihat juga Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au


(40)

penilaian positif lainnya, dan Beliau juga menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ )49. Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

‘Alî bin Husein bin Ja’far al-Hâfiz (w. 276 H)

Nama lengkap: ‘Alî bin Husein bin Ja’far bin Karnîb al-Rasâfî, Abû Hasan al-Bazâr. Nama tersebut adalah nama yang digunakan oleh Ibnu Hajar.

Gurunya: Al-Baghandî, dan Hamid bin Syua’îb. Muridnya : -50

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Al-Dâruqutnî: Apabila dalam namanya diberi pangkat Hâfiz dan al-Ma’rifah maka hal tersebut benar-benar lemah. Ia wafat tahun 276 H. 2. Ibnu Abî al-Fuwaris: باﺬﻜﻟا (pembohong), dia orang yang suka

mencampur-campurkan hadis. Aku pernah melihat kitabnya yang penuh dengan kebohongan, dia memotong tulisan diawal juz dan mengganti dengan tulisannya sendiri.

3. Al-Khatîb: ﻒﯿﻌﺿ , gelar al-Hâfiz dan al-Ma’rifah adalah bohong. Tidak terdapat kemungkinan pertemuan baik dengan guru maupun muridnya, para ulamapun menilainya negatif (al-Jarh), meskipun Beliau menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ). Oleh karena itu, periwayatannya tidak diterima.

Ahmad bin Hasan Dubaisi

49 Kata ( ﺎَﻨَﺛ ) tsannâ merupakan singkatan dari kata ( ﺎﻨﺛﺪﺣ ) Hadatssannâ, oleh karena itu

kata tsanaâ termasuk kata tahdîts.

50 Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au Madînah al-Salâm,


(41)

Nama lengkap: Ahmad bin Hasan bin ‘Alî bin Husein, Abû ‘Alî al-Muqrâi yang dikenal dengan sebutan Dubaisi, atau Ahmad bin Hasan bin ‘Alî al-Muqarî Dubaisi.51

Gurunya: Muhammad bin ‘Abd al-Nûr dan Muhammad bin Musafî.

Muridnya: Abû Bakar bin al-Muqraî, Ibnu Mudzaffâr, dll. Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Al-Dâruqutnî berpendapat bahwa Ahmad bin Hasan: ﺔﻘﺛﺲﯿﻟ 2. Al-Khatîb juga menilai bahwa beliau adalah ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺮﻜﻨﻣ.52

Terdapat kemungkinan pertemuan, melalui tahun wafat antara ‘Alî bin Husein bin Ja’far al-Hâfiz (w. 276 H) dengan Muhammad bin Yahyâ bin Ja’far al-Kisâî (w. 280 H), namun para ulama menilainya negatif ( al-Jarh) tingkat kedua. Meskipun Beliau menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ), periwayatannya tidak dapat diterima.

Muhammad bin Yahyâ bin Ja’far al-Kisâî (w. 280 H)

Nama lengkap: Muhammad bin Yahyâ bin Zakariya, Abû ‘Atu tibdullâh al-Muqraî yang dikenal dengan sebutan al-Kisâî al-Sagîr.

Gurunya: Khalaf bin Qisyâm Bazzâr, ‘Alî bin Mughirah al-Atsrâm, Abâ Mishal Sâhib al-Kisaî, Abâ Hârits al-Laits bin Khâlid.

Muridnya: Abû Bakar bin Mujahid, ‘Alî Ahmad bin Hasan Dubais.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya : 1. Ibnu al-Jazarî : ﺔﻘﺛ .53

51 Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au Madînah al-Salâm,

jilid. 4, (Beirût: Dar al-Fikr, t.t.), h. 77.


(42)

Terdapat pertemuan dengan muridnya: Abû ‘Alî Ahmad bin Hasan Dubais, penilaian ulama positif (ta’dil) tingkat ketiga. Dan Beliau juga menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ). Oleh karena itu, periwayatanya dapat diterima.

Hisyâm al-Yazîdî

Setelah penulis menelusuri kitab-kitab Rijal al-Hadis dan Tarikh, penulis tidak menemukan nama tersebut, baik setelah menelusurinya melalui perawi sebelumnya maupun sesudahnya. Perawi ini oleh penulis dinilai majhul. Dia menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ).

‘Alî bin Hamzah al-Kisâî (w. 189 H)

Nama lengkap: ‘Alî Abû Hamzah bin ‘Abdullâh bin Qais al-Asadî, Abû Hasan al-Muqraî al-Kisâî.

Gurunya: Hamzah al-Ziyati, Abû Bakar bin ‘Iyâsy, Muhammad bin Sahl.

Muridnya: Abû ‘Ubaid Qâsim bin Sallâm, Abû Zakariyâ al-Farrâi, Ahmad bin Abî Suraij.54

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam kitab تﺎﻘﺜﻟا

2. Beliau adalah salah satu ulam ahli qiraat dan tajwid di Baghdad. Guru qiraatnya adalah Hamzah Ziyâti, Sulaimân bin Arqâm, Ja’far al-Sâdik, dan Ibnu ‘Uyaynah. Beliau juga menerima hadis dari guru-guru

53 Abî Bakr Ahmad ‘Alî al-Khatîb al-Baghdâdî. Târikh Baghdâd au Madînah al-Salâm,

jilid. 4, (Beirût: Dar al-Fikr, t.t.), h. 655.

54 Abî Muhamad ‘Abd Rahman bin Abî Hâtim Muhammad Idrîs bin Mundzir

al-Tamîmî al-Hanzalî al-Râzi, al-Jarh wa al-Tadîl Jilid 6, (Beirût: Dâr al-Kitab al-‘Ilmiyah,1953), h. 182.


(43)

qiraatnya. Murid-muridnya dalam qiraat cukup banyak diantaranya, Hafs bin ‘Umar al-Râzî.

3. Beliau pengarang kitab Ma’ânî al-Qurân dan al-Atsâr fî al-Qurân. 4. ‘Alî bin Hasan bin Bakar dari Ahmad bin Kamal al-Qâdî: Beliau wafat

hari Minggu tahun 189, dalam usia 70 tahun.55

Terdapat pertemuan dengan gurunya melalui tahun wafatnya, para ulama menilai positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping penilaian positif lainnya, dan Beliau menerima hadis dengan cara tahdits ( ﺎَﻨَﺛ ). Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

Mûsâ bin Ja’far (128 - 183 H)

Nama lengkap: Muhammad bin ‘Alî bin Husein bin Alî Abî Tâlib al-Quraisyî al-Hasyîmî al-‘Aluyyû (Abû Hasan al-Madânî al-Kazîm).

Gurunya: Ayahnya (Ja’far bin Muhammad al-Sâdik), ‘Abdullâh bin Dinâr, ‘Abd al-Malik bin Qudamah al-Jumanî.

Muridnya: anaknya (Ibrâhîm bin Mûsâ bin Ja’far), ‘Alî bin Hamzah al-Kasâî, Ismâ’îl bin Mûsâ bin Ja’far, Husein bin Mûsâ bin Ja’far, Sâlih bin Yazîd, Mûsâ bin Ja’far Abû Hasan Ridâ, saudaranya (Muhammad bin Ja’far), Muhammad bin Sadaqah al-Anbarî.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Abû Hâtim: قوﺪﺻ ,ﺔﻘﺛ. dan seorang Imam muslim.

2. Yûsuf bin Ya’kûb al-Syaibanî dari Zaid bin Hasan al-Hindî dari ‘Abd al-Rahmân bin Muhammad al-Qazzâz dari Abû Bakar Ahmad bin ‘Alî


(44)

bin Tsâbit al-Khabîbi mengatakan bahwa Mûsâ bin Ja’far lahir di Madinah pada tahun 128 H. dan wafat pada tahun 183 H.56

Terdapat pertemuan dengan gurunya: Ayahnya (Ja’far bin Muhammad al-Sâdik) dan muridnya: ‘Alî bin Hamzah al-Kasâî, penilaian ulama positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping penilaian positif lainnya, dan Beliau menerima hadis dengan cara ‘an‘anah ( ﻦﻋ ). Oleh karena itu,periwayatannya dapat diterima.

Abihi: Ja’far bin Muhammad al-Sâdik (80-148 H)

Nama lengkap: Ja’far bin Muhammad bin ‘Alî bin Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib al-Quraisyî al-Hasyîmî (Abû ‘Abdullâh al-Madânî al-Sâdik). Ibunya adalah Ummû Farwah binti Qâsim bin Muhammad bin Abû Bakar al-Siddîk.

Gurunya: ‘Ubaidillâh bin Râfi’ Kâtibul ‘Alî, ‘Urwah bin Zubeir, ’itâi bin Abî Rabâh, kakeknya (Qâsim bin Muhammad bin Abî Bakar al-Siddîk), ayahnya (Abî Ja’far Muhammad bin Qâsim), Muhammad bin ‘Alî al-Bâqir, Muhammad bin Muslim bin Syihâb al-Zuhrî, Muhammad al-Munkadir, Muslim bin Abî Maryam, Nâfi’ (Maulâ) Ibnu ‘Umar.

Muridnya: Abân bin Taglab, Ismâ’îl bin Ja’far, Hâtim bin Ismâ’îl, Hasan bin Sâlih bin Hayyî, Hasan bin ‘Îyâsy, Abû Bakar bin ‘Îyâsy, Hafs bin Giyâsy, Zuhair bin Muhammad al-Tamîmî’ Zaed bin Hasan al-Anmâtî, Sa’îd bin Sofyan al-Islamî, Sofyân Tsaurî, Sofyân bin ‘Uyanah, Sulaimân bin Bulâl, Mûsâ bin Ja’far al-Kadîmî, Malik bin Anas.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

56 Al-Mizî, Jamal al-Dîn Abî al-Hajjâj Yûsuf, Tahdzib al-Kamal fi Asma al-Rijal, (Beirut:


(45)

1. Ahmad bin Salâmah al-Naisâbûrî dari Ishâq bin Rahâwiyah berkata: Saya bertanya kepada Syafi’î, bagaimana menurutmu Ja’far bin Muhammad? lalu Syafi’î mejawab: ﺔﻘﺛ

2. Abbâs al-Daurî dari ‘Utsmân bin Sa’îd al-Dârimî dari Abû Bakar Ibnu Abî Khutsaimah, Ahmad bin Sa’ad bin Abî Maryam dari Yahyâ bin Ma’în berkata: ﺔﻘﺛ

3. Abû Bakar Ji’âlî, Abû Bakar bin Manjuwiyah dan Abû Qâsim al-Lalikâi. Mereka mengatakan: Ja’far bin Muhammad lahir pada tahun 80 H.

4. Hasan al-Madânî, Khalifah bin Khayyât dan Zubair bin Bakar mereka mengatakan: Beliau wafat pada tahun 148 H.57

Terdapat pertemuan dengan muridnya: anaknya (Ja’far bin Muhammad al-Sâdik) dan gurunya: ayahnya (Abî Ja’far Muhammad bin Qâsim), para ulama menilainya positif (ta’dil) tingkat kedua, beliau juga menerima hadis dengan cara ‘an‘anah ( ﻦﻋ ). Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

Abihi: Abî Ja’far Muhammad bin Qâsim (w. 114/118 H)

Nama lengkap: Muhammad bin ‘Alî bin Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib al-Quraisyî al-Hasyîmî, Abû Ja’far al-Bâqir. Ibunya adalah ‘Ummu ‘Abdullah binti Hasan bin ‘Alî bin Abî Tâlib.

Gurunya: Anas bin Mâlik, ‘Alî bin Husein bin ‘Alî, Jâbir bin ‘Abdullâh, kakeknya (Hasan dan Husein), ‘Abdullâh bin ‘Umar bin Khattab, ‘Abdullâh bin Abbâs.


(46)

Muridnya: Abân bin Taglib al-Kûfî, Abyad bin Abân, anaknya (Ja’far bin Muhammad bin ‘Alî bin Husein), Rabi’ah bin ‘Abd al-Rahmân, ‘Abdullâh bin ‘Atai, Syaibah bin Nisâh, Hakam bin ‘Utaybah. Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Muhammad bin Sa’ad: beliau adalah Tabaqah yang ketiga dari ahli Madinah, wafat tahun 118 H.

2. Al-‘Ijlî: Tabi’in Ahli Madinah, ﺔﻘﺛ

3. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam kitab تﺎﻘﺜﻟا

4. Ibnu Barqî: Beliau adalah seorang ahli fikih pada masanya, wafat tahun 114 H.58

Terdapat pertemuan dengan muridnya: anaknya (Ja’far bin Muhammad bin ‘Alî bin Husein) dan gurunya: ‘Alî bin Husein, para ulama menilai positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping penilaian positif lainnya, dan beliau juga menerima hadis dengan cara ‘an‘anah ( ﻦﻋ ). Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

‘Alî bin Husein (w. 74 H)

Nama lengkap: ‘Alî bin Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib al-Qurasyî al-Hasyîmî, Abû Husein.

Gurunya: pamannya (Hasan bin ‘Alî bin Abî Tâlib), ayahnya (Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib), Dzakwan Abî ‘Amrû (Maulâ) ‘Aisyah, Sa’îd bin Marjânah, Sa’îd bin Musayyib, ‘Abdullâh bin Abbâs, kakeknya (‘Alî bin Abî Tâlib), dll.


(47)

Muridnya: Habîb bin Abî Tsâbit, Hakam bin ‘Utaibah, anaknya (Zaed bin ‘Alî bin Husein), anaknya (‘Abdullâh bin ‘Alî bin Husein), anaknya (Abû Ja’far bin ‘Alî bin Husein), ‘Abudullâh bin ‘Abd al-Rahmân bin Mauhib, dll.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya: 1. Al-‘Ijlî : ﺔﻘﺛ

2. ‘Umar bin Syabbât dari Ibnu ‘Aisyah dari ayahnya: Berkata Tawis: Beliau adalah ﺢﻟﺎﺻ ﻞﺟر, dari ahlul Bait.

3. Ibnu Sa’ad: Wara’, ﺚﯾﺪﺤﻟا ﺮﯿﺜﻛ, ﺎﻧﻮﻣﺄﻣ ﺔﻘﺛ

4. Abu Hâtim dan yang lainya: Aku tidak pernah melihat orang Hisyam yang lebih utama yang lebih utama darinya.59

5. Al-‘Ijlî menambahkan: Aku tidak pernah melihat orang Hisyam yang lebih utama yang lebih utama dari ‘Alî bin Husein.60

6. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam kitab تﺎﻘﺜﻟا

7. Ma’mar dari Zuhrî: aku tidak pernah menemui Ahli Bait yang lebih utama dari ‘Alî bin Husein bin ‘Alî. Abû Wahbi juga berpendapat demikian.61

Terdapat pertemuan dengan gurunya ayahnya (Husein bin ‘Alî) dan muridnya anaknya (Abû Ja’far bin ‘Alî), para ulama menilainya positif (ta’dil) tingkat pertama, disamping penilaian positif lainnya, Beliau juga menerima hadis dengan cara ‘an ‘anah ( ﻦﻋ ). Oleh karena itu, periwayatannya dapat diterima.

59 Syihâb al-Dîn Ahmad bin ‘Alî bin Hajar al-‘Asqalânî. Tahdzîb al-Tahdzîb, jilid 7,

(Beirût: Dar al-Fikr, t.t.), h. 262-275.

60 Abî Hâtim Muhammad bin Hibân bin Ahmad al-Tamîmî al-Bustî. Al-Tsiqât, jilid 8,

cetakan pertama, (Haiderabâd al-Dakan: Majlis Dâirah al-Ma‘rifah, 1982), h. 514.


(48)

Abihi: Husein bin ‘Alî (w. 61 H)

Nama lengkap: Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib Qurasyî al-Hasyîmî, Abû ‘Abdullâh al-Madânî.

Gurunya: kakeknya (Rasulullah saw), ayahnya (‘Alî bin Abî Tâlib), ‘Umar bin Khattâb, ibunya (Fatimah binti Rasulullah saw).

Muridnya: anaknya (‘Alî bin Husein), Basyar bin Ghîlib al-Asadî, saudaranya (Hasan bin ‘Alî bin Abî Tâlib), ‘Ikrimah (Maulâ) Ibnu ‘Abbâs, Sa’îd bin Khâlid al-Kûfî, anak perempuannya (Fatimah binti Husein, Sukainah binti Husein).

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya :

1. Tidak hanya satu ulama yang berkata bahwa: Husein adalah cucu dari Rasulullâh saw. anak dari ‘Alî Bin Abî Tâlib.

2. Khalifah bin Khiyât: Husein lahir tahun ke empat Hijriyah.

3. Zubeir bin Bakkâr, Muhammad bin Sa’îd: Husein lahir hari kamis bulan Sya’ban tahun 4 H. wafat pada hari Jum’at bulan ‘Asyura tahun 61 H. beliau dibunuh di Karbala.

4. Ibnu Hibbân memasukkannya dalam kitab تﺎﻘﺜﻟا

5. Hafs bin Ghiyâts dari Ja’far bin Muhammad: Hasan dan Husein adalah dua orang yang tidak perlu lagi dilakukan penelitian tentang mereka. 6. ‘Abdullâh bin Ziyâd al-Asadî dari ‘Amrû bin Tsâbit dari al-A’masy

dari Abî Wail Syaqîq bin Salamah dari ‘Ummu Salamah: Husein sedang bermain-main di atas pangkuan Rasulullah ketika itu Malaikat


(49)

Jibril datang dan berkata: Ada diantara umatmu yang akan membunuh Husein. Mendengar hal itu Rasulullâh menangis.62

Dari sekian kritikus hadis tidak satu pun yang mencela Husein bin ‘Alî bin Abî Tâlib. Ia merupakan cucu Nabi, sehingga tidak diragukan lagi ketsiqahannya, terdapat pertemuan dengan gurunya ayahnya (‘Alî bin Abî Tâlib) dan muridnya anaknya (‘Alî bin Husein). Beliau menerima hadis dengan cara ‘an ‘anah ( ﻦﻋ ). Oleh karena tidak diragukan lagi ketsiqahannya, maka periwayatannya dapat diterima.

‘Alî bin Abî Tâlib ra. (w. 64 H.)

Nama lengkap: Abû Manaf bin ‘Abd Mutallib bin Hasyîm al-Quraisyî.

Gurunya: Nabi Muhammad saw., Abû Bakar, ‘Umar bin Khatâb, ‘Usman bin affan, dll.

Muridnya: Khilâs bin ‘Amr al-Hajarî, anaknya Husein bin ‘Alî, Husein bin Sofwân, Sa’îd bin Musyayyah, dll.

Pandangan ulama hadis terhadap dirinya:

1. Tidak hanya satu ulama yang berkata bahwa ‘Alî bin Abî Tâlib adalah anak bungsu Abû Tâlib. ‘Alî lebih muda dari Ja’far dengan selisih 10 tahun (Ja’far lebih muda dari ‘Aqil dengan selisih 20 tahun) ‘Aqil lebih muda dari Tâlib dengan selisih 10 tahun.

2. Abu Bakar bin ‘Abd al-Bâr berkata: Abû Ja’far Muhammad bin ‘Alî bin Husein ditannya tentang sifat-sifat ‘Alî bin Abî Tâlib, maka ia menjawab: ‘Alî adalah pria berkulit sawo matang pekat, berat tatapan


(50)

matanya, perut gendut, botak kepala bagian depan, pendek, tidak memakai semit, dan telah diriwayatkan terkadang beliau menyemir kunung janggutnya.

3. Ishâq berkata: orang yang pertama kali iman kepada Allah dan Rasulnya dari kalanyan pria adalah ‘Alî bin Abî Tâlib sebagaimana pendapat ibnu Sihab, dan ia menambahkan dari kalangan pria setelah Siti Khadizah dan demikian pendapat mayoritas tentang Khadizah ra63. Dari sekian kritikus hadis tidak satu pun yang mencela ‘Alî ra., Ia merupakan sahabat Nabi yang pertama masuk islam. Terdapat pertemuan dengan gurunya: Nabi Muhammad saw. dan muridnya: Husein bin ‘Alî. Oleh karena tidak diragukan lagi ketsiqahannya, maka periwayatannya dapat diterima.

Penalitian sanad hadis riwayat Baihaqî melalui Abû ‘Abd al-Rahmân al-Sulamî, sampai ‘Alî bin Abî Tâlib ra, dapat disumpulkan bahwa sebahagian periwayat dalam keadaan bersambung antara guru dengan muridnya, sebahagian lainnya tidak. Komentar-komentar para kritikus hadis pun menyatakan bahwa tidak semua periwayat bersifat ‘adil dan dabit, seperti ‘Alî bin Husein bin Ja’far al-Hâfiz dan Ahmad bin Hasan Dubîsi yang dinilai pendusta dan mungkar al-hadis, dan Hisyâm al-Yazîdî, yang majhul (tidak terlacak). Oleh karena tiga perarawi yang tidak memenuhi persyaratan kesahîhan sanad hadis tersebut, maka sanad hadis ini berkualitas da’if.

63 Al-Mizî, Tahdzib al-Kamal fi Asma’ al-Rijal, jilid. 13, h. 293-306. Lihat juga


(51)

B. Hadis Kedua “Jawaban jin atas ayat (fa biayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadzdzibân)”

1. Teks hadis dan Kegiatan Takhrij Hadis

Dalam Tafsir al-Mishbah mufassir mengambil matan hadis tertulis sebagai berikut: “Nabi saw. menegur sahabat-sahabatnya yang terdiam saja ketiaka dibacakan ayat ini (fabiayyi âlâ’i Rabbikumâ tukadzdzibân) kepada mereka. Beliau memuji jin yang menyambut setiap seruan dengan berkata: tidak satu pun dari nikmat-Mu – wahai Tuhan kami – yang kami ingkari, maka segala puji bagi-Mu”.64 Teks hadis di atas, sesuai dengan matan hadis yang terdapat dalam kitab Sunan al-Tirmidzî, matan hadis tersebut berbunyi:

ِﮫﱠﻠﻟا ُلﻮُﺳَر َجَﺮَﺧ

ﷲا ﻰﻠﺻ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ

َلﺎَﻘَﻓ اﻮُﺘَﻜَﺴَﻓ ِﻦَﻤْﺣﱠﺮﻟا َةَرﻮُﺳ ْﻢِﮭْﯿَﻠَﻋ َأَﺮَﻘَﻓ ِﮫِﺑﺎَﺤْﺻَأ ﻰَﻠَﻋ

ْﻮَﻗ ﻰَﻠَﻋ ُﺖْﯿَﺗَأ ﺎَﻤﱠﻠُﻛ ُﺖْﻨُﻛ ْﻢُﻜْﻨِﻣ اًدوُدْﺮَﻣ َﻦَﺴْﺣَأ اﻮُﻧﺎَﻜَﻓ ﱢﻦِﺠْﻟا َﺔَﻠْﯿَﻟ ﱢﻦِﺠْﻟا ﻰَﻠَﻋ ﺎَﮭُﺗْأَﺮَﻗ ْﺪَﻘَﻟ ِﮫِﻟ ) ِءَﻻآ ﱢىَﺄِﺒَﻓ ﱢﺬَﻜُﺗ ﺎَﻤُﻜﱢﺑَر ِنﺎَﺑ ( ُﺪْﻤَﺤْﻟا َﻚَﻠَﻓ ُبﱢﺬَﻜُﻧ ﺎَﻨﱠﺑَر َﻚِﻤَﻌِﻧ ْﻦِﻣ ٍءْﻰَﺸِﺑ َﻻ اﻮُﻟﺎَﻗ «

65

Matan hadis di atas bila ditempuh dengan metode takhrij yang digunakan, maka kata-kata yang dapat ditelusuri dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahras adalah kata “ﺖﻜﺳ”, dan dalam kitab Mausua’ah Atrâf adalah: “اﻮُﺘَﻜَﺴَﻓ ِﻦَﻤْﺣﱠﺮﻟا َةَرﻮُﺳ ِﮫِﺑﺎَﺤْﺻَأﻰَﻠَﻋ َأَﺮَﻘَﻓ ”

Adapun kata yang diperoleh dalam kitab al-Mu’jam al-Mufahrâs adalah sebagai berikut:66

ﺖﻜﺳ اﻮﺘﻜﺴﻓ ﻦﻤﺣﺮﻟا ةرﻮﺳ أﺮﻗ

64 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 503. 65

Matan hadis ini merupakan matan hadis yang ditemukan dalam kitab sunan al-Tirmidzi.

66 A.J. Wensinck, dan J.P.Mensing. Mu‘jam al-Mufahras li Alfâz al-Hadîts al-Nabawî,


(1)

Dari pendekatan bahasa, dalam Tafsir al-Mishbah teks hadisnya berbunyi: Nabi saw. bersabda: “Sesungguhnya aku tinggalkan buat kamu

ats-Tsaqlain yakni Kitab Allah dan keluargaku”.124 Ats-Tsaqalain adalah

bentuk jamak dari kata ats-Tsaqal adalah bahasa yang digunakan dalam

redaksi arabnya sudah dikenal sejak masa Nabi; bukan merupakan bahasa baru. Oleh karena itu, hadis ini secara bahasa dapat diterima.

Dilihat dari segi pengertian, ats-Tsaqalain adalah bentuk jamak

dari kata ats-Tsaqal yang berarti berat, mengindikasikan sesuatu yang

biasa ditimbang, dipikul ditanggung. Berarti ats-Tsaqalain adalah

tanggung jawab yang harus dipikul oleh setiap orang muslim. Al-Qur’ân

dan ahlul bait yang dimaksud dari kata ats-Tsaqalain adalah peninggalan

yang dititipkan oleh Nabi saw. kepada umatnya agar dilaksanakan sebaik-baiknya yakni agar umatnya benar-benar menjalankan perintah Allah swt. dan menjauhi larangan-Nya, dengan mengikuti tuntunan yang ada dalam al-Qur’ân dan hadis, serta mencintai dan menjaga menghormati ahlul bait/ keturunan Nabi saw.

Dari segi perbedaan redaksi hadis yang sejalur, sejauh ini ulama menyatakan bahwa adanya perbedaan redaksi hadis dengan hadis yang sejalur dengannya karena periwayatan secara makna dapat ditolerir, baik itu dari pengertian kata maupun karena perbedaan stuktural. Begitu juga

dengan susunan matan hadis ketiga.125 Penulis mendapatkan adanya

perbedaan hadis yang dimaksud. Untuk memperjelas adanya perbedaan matan tersebut berikut ini penulis kemukakan contohnya:

124 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 13, h. 508.

125 Perbandingan hadis dengan hadis lain yang lebih Sahîh, hanya pada hadis ketiga saja


(2)

ِﻦَﻣ ِﮫﱠﻠﻟا ُﻞْﺒَﺣ َﻮُھ ﱠﻞَﺟَو ﱠﺰَﻋ ِﮫﱠﻠﻟا ُبﺎَﺘِﻛ ﺎَﻤُھُﺪَﺣَأ ِﻦْﯿَﻠَﻘَﺛ ْﻢُﻜﯿِﻓ ٌكِرﺎَﺗ ﻰﱢﻧِإَو َﻻَأ ىَﺪُﮭْﻟﺎىَﻠَﻋ َنﺎَﻛ ُﮫَﻌَﺒﱠﺗا

ٍﺔَﻟَﻼَﺿ ﻰَﻠَﻋ َنﺎَﻛ ُﮫَﻛَﺮَﺗ ْﻦَﻣَو

« .

َةَأْﺮَﻤْﻟا ﱠنِإ ِﮫﱠﻠﻟا ُﻢْﯾاَو َﻻ َلﺎَﻗ ُهُؤﺎَﺴِﻧ ِﮫِﺘْﯿَﺑ ُﻞْھَأ ْﻦَﻣ ﺎَﻨْﻠُﻘَﻓ ِﮫﯿِﻓَو

َﮭﯿِﺑَأ ﻰَﻟِإ ُﻊِﺟْﺮَﺘَﻓ ﺎَﮭُﻘﱢﻠَﻄُﯾ ﱠﻢُﺛ ِﺮْھﱠﺪﻟا َﻦِﻣ َﺮْﺼَﻌْﻟا ِﻞُﺟﱠﺮﻟا َﻊَﻣ ُنﻮُﻜَﺗ ُﮫُﻠْﺻَأ ِﮫِﺘْﯿَﺑ ُﻞْھَأ ﺎَﮭِﻣْﻮَﻗَو ﺎ

ُهَﺪْﻌَﺑ َﺔَﻗَﺪﱠﺼﻟا اﻮُﻣِﺮُﺣ َﻦﯾِﺬﱠﻟا ُﮫُﺘَﺒَﺼَﻋَو

.َﻗ َلا : »

ُﻜﯿِﻓ ٌكِرﺎَﺗ ﻰﱢﻧِإَو ُﮫَﺒﯿِﺟُﺄَﻓ ﻰﱢﺑَر ُلﻮُﺳَر َﻰِﺗْﺄَﯾ ْنَأ ُﻚِﺷﻮُﯾ ٌﺮَﺸَﺑ ﺎَﻧَأ ﺎَﻤﱠﻧِإ ُسﺎﱠﻨﻟا ﺎَﮭﱡﯾَأ ُﺪْﻌَﺑ ﺎﱠﻣَأ ُﻢ

َﻤُﮭُﻟﱠوَأ ِﻦْﯿَﻠَﻘﱠﺜﻟا ِﮫِﺑ اوُﺬُﺧَو ِﮫﱠﻠﻟا ِبﺎَﺘِﻜِﺑ اﻮُﻜِﺴْﻤَﺘْﺳﺎَﻓ ُرﻮﱡﻨﻟاَو ىَﺪُﮭْﻟا ِﮫﯿِﻓ ِﮫﱠﻠﻟا ُبﺎَﺘِﻛ ﺎ

« .

ﻰَﻠَﻋ ﱠﺚَﺤَﻓ

َلﺎَﻗ ﱠﻢُﺛ ِﮫﯿِﻓ َﺐﱠﻏَرَو ِﮫﱠﻠﻟا ِبﺎَﺘِﻛ

: »

ﻰِﺘْﯿَﺑ ِﻞْھَأ ﻰِﻓ ﻰَﻟﺎَﻌَﺗ َﮫﱠﻠﻟا ُﻢُﻛُﺮﱢﻛَذُأ ﻰِﺘْﯿَﺑ ُﻞْھَأَو

« .

ٍتاﱠﺮَﻣ َثَﻼَﺛ

.

ُﻣ ُﮫَﺟَﺮْﺧَأ ﱢﻰِﻤْﯿﱠﺘﻟا َنﺎﱠﯿَﺣ ﻰِﺑَأ ِﺚﯾِﺪَﺣ ْﻦِﻣ ِﺢﯿِﺤﱠﺼﻟا ﻰِﻓ ٌﻢِﻠْﺴ

.

Kedua matan hadis126 di atas tampak jelas adanya perbedaan. Hal

tersebut dapat memberi petunjuk bahwa hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang sama-sama tsiqah-pun dapat terjadi perbedaan matan hadis yang diriwayatkan. Perbedaan matan hadis yang diriwayatkan oleh perawi tsiqah saja yang dapat ditolerir, sementara hadis yang diriwayatkan oleh

periwayat yang tidak tsiqah tidak termasuk hadis riwayat bi al-Ma’na yang

dapat ditolerir.127 Kedua contoh matan hadis diatas adalah matan hadis

yang diriwayaatkan oleh periwayat yang tsiqah, maka perbedaan matan hadis diatas adalah dapat ditolerir.

Matan hadis tersebut tidak pula bertentangan dengan al-Qur’ân dan dengan hadis manapun.

Dengan demikian berdasarkan kriteria diterimanya sebuah matan hadis di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa hadis ketiga ini bisa

126 Kedua matan hadis diatas adalah matan hadis riwayat Muslim dan matan hadis riwayat

al-Tirmidzî. Sebenarnya matan seluruh hadis yang ada berbeda satu sama lain, namun kedua matan hadis yang penulis ambil merupakan contoh yang cukup jelas perbedaannya disamping kedua hadis tersebut memiliki kualitas yang sama.


(3)

diterima. Hadis ini tidak bertentangan dengan prinsip pokok agama yakni tidak bertentangan dengan al-Qur’ân dan dengan hadis manapun, tidak bertentangan dengan akal sehat serta fakta sejarah apa pun.


(4)

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari tiga hadis yang penulis teliti, hadis-hadis surah al-Rahmân kitab

Tafsir al-Mishbah kualitas sanad dan matannya dalah sebagai berikut:

1. Sanad hadis kesatu riwayat ‘Alî bin Abî Tâlib adalah da‘îf. ‘Alî bin

Husein bin Ja’far al-Hâfiz dan Ahmad bin Hasan Dubaisi yang dinilai

pendusta dan mungkar al-hadis, serta Hisyâm al-Yazîdî, yang majhul

(tidak terlacak), dari tiga alasan tersebutlah yang menyebabkan sanad

hadis ini menjadi da‘îf.

2. Sanad hadis kedua riwayat Jâbir bin ’Abdullâh adalah Hasan Gharîb.

Walîd Muslim dinilai tadlis urutan keempat, namun sebagian ulama

menilainya tsiqah. Ahmad bin Hanbal mengatakan bahwa Zuhair bin

Muhammad yang menetap di Syam bukan Zuhair yang menetap di Irak. Sepertinya ada keterbalikan nama antara Zuhair bin Muhammad al-Manâkîr dengan Zuhair bin Muhammad al-Tamîmî. Muhammad bin Ismâ’îl al-Bukhârî berkata bahwa ahli Syam meriwayatkan dari Zuhair bin Muhammad al-Manâkîr, sedangkan ahli Irak meriwayatkan hadis dari ulama hadis sekitar Irak. Dan kesimpulan dari keterangan diatas saya mengikuti pendapat Hasan al-Banâ yang mengomentari kedudukan sand

hadis ini dengan penilaian Hasan Gharîb.

3. Sanad hadis ketiga riwayat Muslim, al-Tirmidzî, Ahmad bin Hanbal, dan


(5)

Muslim. Penulis mengikuti pendapat ijma‘ ulama yang menyatakan bahwa riwayat al-Bukhârî dan Muslim dalam kitab sahîhnya adalah sahîh, yang apabila ada hadis melalui jalur lain secara makana derajatnya tidak sahîh, maka akan terangkat derajatnya dengan adanya riwayat Muslim ini.

4. Matan semua hadis, baik hadis pertama, kedua, dan ketiga dinilai sahîh,

karena semua matan tersebut tidak bertentangan dengan al-Qur’ân, Hadis lain yang sahîh, akal sehat, bahasa, serta fakta sejarah.

Namun demikian, bukan berarti kesimpulan yang penulis hasilkan ini sebagai kesimpulan final. Walau bagaimana pun, kesimpulan yang penulis hasilkan merupakan kesimpulan yang bersifat subjektif. Dalam artian bahwa kesimpulan yang subjektif memungkinkan adanya ketidak sepakatan dari orang lain, yang melihat dari perspektif lain.

B. Saran-saran

1. Dalam melakukan kegiatan penelitian hadis, hendaknya memperhatikan

kaidah-kaidah yang telah ditetapkan ulama hadis, juga diperlukan kesabaran, ketekunan, dan ketelitian.

2. Hendaknya umat Islam lebih hati-hati dalam mengutip/mengungkapkan

hadis yang belum jelas kualitasnya.

3. Perlunya pengembangan sistematika penelitian hadis, supaya mahasiswa

dapat lebih mudah memahami hadis baik dari segi sanadnya, ataupun matannya.


(6)

4. Penulis berharap, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khusunya, dan umumnya bagi pembaca.