Latar belakang penelitian PENDAHULUAN
2
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
Ditinjau dari produknya, kreativitas diartikan sebagai kemampuan menghasilkan produk-
produk baru. Pengertian “baru” disini tidak perlu berarti benar-benar baru namun dapat berarti kombinasi atau gabungan
dari beberapa hal yang sebelumnya sudah ada.
Kreativitas merupakan manivestasi dari individu untuk mewujudkan dirinya yang juga termasuk salah-satu kebutuhan pokok dalam hidup. Kreativitas adalah
kemampuan ekspresi diri yang bebas dari hambatan-hambatan sehingga bisa mewujudkan diri tanpa harus ragu oleh orang lain. Dampak yang lebih diharapkan
adalah kemampuan kreatif setiap individu tersebut dapat terbawa sampai kehidupannya menuju kedewasaan untuk hidup di masyarakat, sehingga menjadi
individu yang dapat memecahkan berbagai permasalahan hidup yang dihadapinya. Pentingnya pembinaan kreativitas disebutkan juga dalam tujuan pendidikan
nasional sebagai berikut, Tujuan pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, beretika beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia, memiliki nalar maju, cakap,
cerdas, kreatif,
inovatif dan bertanggungjawab,
berkemampuan komunikasi sosial tertib dan sadar hukum, kooperatif dan kompetitif,
demokratis, dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri. Mulyasa, 2004, hlm.21
Seperti disebutkan pada bahasan sebelumnya bahwa kreativitas perlu dikembangkan pada semua peserta didik. Setiap peserta didik memiliki pribadi
serta potensi tersendiri, dimana setiap pribadi memiliki persamaan dan perbedaan dengan peserta didik lainnya. Siswa tunanetra dan tunarungu memiliki perbedaan
pribadi dan potensi tersendiri, kreativitas merupakan salahsatu potensi yang bisa dikembangkan untuk membantu kemampuan mereka dalam memecahkan
persoalan kehidupan. Oleh sebab itu, pelayanan pendidikan sudah selayaknya dapat diberikan kepada seluruh peserta didik baik yang memiliki kondisi normal
ataupun yang memiliki keterbatasan dalam hal ini adalah siswa berkebutuhan khusus yakni siswa tunanetra dan tunarungu untuk mengembangkan potensi
dirinya khususnya kreativitas. Hidayat dkk. 2006, hlm. 10 menyebutkan, Pada dekade terakhir ini pandangan masyarakat terhadap penyandang
kelainan telah bergeser ke arah yang semakin positif dan sampai pada
3
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
anggapan bahwa penyandang kelainan itu pada dasarnya tidak berbeda sama dengan yang tidak kelainan normal. Artinya mereka mempunyai
hak yang sama dengan manusia yang normal dalam menikmati kehidupan, pelayanan pendidikan yang berkualitas, dalam kehidupan sosial dan
kemasyarakatan. Siswa tunanetra dan tunarungu merupakan siswa berkebutuhan khusus
yang perlu diberikan kesempatan dan pelayanan yang sama dalam hal pendidikan dengan siswa lainnya yang normal, hal ini memiliki relevansi dengan pendidikan
multikultural. Pendidikan multikultural menekankan pada demokrasi, pelayanan yang sama, saling memahami, dan saling menghargai tanpa memandang
perbedaan yang dimiliki. Pendapat Masunah 2008, hlm. 28 tentang pendidikan multikultural adalah sebagai berikut,
An important goal of multicultural education is to develop an understanding of oneself and other. Multicultural education aims to help
individual develop an understanding of how they may shape and reshape their identity by viewing themselves from the perspectives of the cultures
Konsep multikultural sebaiknya menjadi landasan dalam pelayanan pendidikan seni tari di sekolah sehingga semua siswa dengan berbagai perbedaan yang
dimiliki khususnya siswa tunanetra dan tunarungu mendapatkan pelayanan yang sama dalam pembelajaran. Efendi 2008, hlm.1 tentang pelayanan penyandang
cacat disebutkan bahwa, Dengan memberikan kesempatan yang sama kepada anak berkelainan
untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran, berarti memperkecil kesenjangan angka partisipasi pendidikan anak normal dengan anak
berkelainan. Untuk investasi jangka panjang dengan lahirnya para penyandang cacat yang terdidik dan terampil, secara tidak langsung dapat
mengurangi biaya pos perawatan dan pelayanan kebutuhan sehari-hari.
Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa setiap siswa berkebutuhan khusus mempunyai hak yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan khususnya dalam pelayanan pendidikan. sejalan dengan pernyataan dalam Hodkinson 2009, hlm. 30 tentang hak pelayanan yang sama, yakni
sebagai berikut, 1.
All children have the right to learn together.
4
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
2. Children should not be devalued or discriminated agains by being
excluded or sent away becouse of their disability difficulty. 3.
Disabled adult, describing themselves as special school survivor, are demanding an edn to segregation
4. There are no legitimate reasons to separate children for their
education. Children belong together – with advantages and benefits
for everyone. They do not need to be protected from each other Merujuk pendapat tersebut kurikulum pendidikan seni yang dikembangkan
harus memperhatikan kebutuhan dan kondisi peserta didik khususnya siswa berkebutuhan khusus dalam hal ini siswa tunanetra dan tunarungu. Sangatlah
perlu dilakukan inovasi pembelajaran tentang pembelajaran khususnya seni tari yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan kompetensi siswa tunanetra dan
tunarungu. Khusus bagi siswa tunanetra pada saat ini tidak ada kurikulum untuk pembelajaran seni tari bagi mereka di sekolah. Sebenarnya tari dapat diajarkan
bagi siswa tunanetra. Anggapan siswa khususnya tunanetra sulit diajari menari dapat diatasi dengan melakukan inovasi tentang strategi pembelajaran yang
berorientasi pada kondisi dan kebutuhan siswa. Begitupula dengan siswa tunarungu, walaupun pada beberapa sekolah yang peneliti observasi pembelajaran
seni tari dilaksanakan namun masih perlu pengembangan dan inovasi pembelajaran seni tari yang dapat lebih berkontribusi bagi keterbatasan mereka.
Sesuai dengan pernyataan Hidayat dkk. 2006, hlm. 15 yang menyebutkan bahwa,
kurikulum seyogyanya disesuaikan dengan kebutuhan anak bukan sebaliknya. Oleh karena itu sekolah seyogyanya memberikan kesempatan
kurikuler yang disesuaikan dengan anak yang memiliki bermacam-macam kemampuan dan minat.
Berdasarkan pernyataan tersebut perlu kiranya guru sebagai pelaksana kurikulum harus mampu menjabarkan melalui menyelenggarakan proses
pembelajaran seni tari secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, kreatif, berpeluang untuk berprakarsa, dan mandiri sesuai dengan bakat, minat dan
perkembangan fisik serta psikologis siswa tunanetra dan tunarungu. Bila inovasi pembelajaran seni tari yang dapat berkontribusi terhadap perkembangan
5
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
kompetensi siswa tunanetra dan tunarungu dilakukan tentulah akan berpengaruh terhadap pengembangan kurikulum yang diberlakukan.
Dalam penelitian ini, kegiatan menari dijadikan suatu media atau alat untuk mengembangkan kemampuan kreatif melalui pengalaman yang
menyenangkan bagi siswa berkebutuhan khusus di Sekolah Dasar Luar Biasa khususnya bagi siswa tunanetra SDLB A yang meliputi buta total dan juga low
vision, juga siswa tunarungu SDLB B yang meliputi deaf tuli, dan low hearing. Sebagai media, tari dapat mengarahkan siswa tunanetra dan tunarungu
untuk mengekspresikan dirinya secara bebas namun melalui bimbingan, sehingga mereka dapat mengetahui bagaimana ia bergerak tari, memanfaatkan gerak
anggota tubuhnya sebagai media gerak, dan menemukan kekuatannya sebagai alat komunikasi. Belajar menari khususnya di sekolah dasar luar biasa tidak terpatok
pada tarian yang sudah jadi dengan tahapan-tahapan gerak bakunya, namun kegiatan menari dijadikan suatu kegiatan berekspresi dan bereksplorasi melalui
pengalaman gerak dan irama, bersifat terapis yang kegiatannya mengarah atau berpusat pada anak.Gerak yang mereka lakukan diharapkan mampu
mengembangkan beragam kepekaan yang mampu berkontribusi terhadap pengembangan dirinya, dan membantu meminimalisir kekurangan yang selama
ini mereka rasakan. Dalam Delphie 2006, hlm. 69 menyebutkan tentang fungsi gerak dan irama bagi program pendidikan luar biasa yaitu sebagai berikut:
1. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan fisik
2. Meningkatkan kesegaran jasmani dan kesehatan
3. Meningkatkan keterampilan gerak
4. Meningkatkan daya-nalar dan kecerdasan
5. Menumbuhkan kehidupan yang kreatif, reaktif, dan dapat bermasyarakat
Berdasarkan pernyataan tersebut, kondisi siswa SDLB khususnya tunanetra dan tunarungu sangat menentukan tujuan serta proses pembelajaran
pendidikan seni tari yang dilakukan oleh guru. Guru harus mampu memahami kebutuhan siswa terhadap materi tari yang diajarkan, salah satunya adalah
bagaimana guru dapat mengidentifikasi kemampuan dari siswa yang dihadapinya. Seperti diungkapkan oleh Kaufman 2006, hlm.15,
6
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
Identifying a student’s abilities is essential part of modifying instruction. When student’s ability is covered, often new talents arise that were
previously unrecognized. As a teacher, in this process is to identify the facility, talent, and skills in each student and present opportunities to use
and enhance these qualities in dance learning.
Peneliti telah melakukan observasi awal yang dilakukan terhadap siswa tunanetra di SDLB A yang bertempat di Jalan Pajajaran Bandung, dan siswa
tunarungu di SDLB B yang beralamat di Jl Cicendo Bandung pada tanggal 7 sd 14 Oktober 2009, diperoleh data bahwa siswa tunanetra cenderung kurang
memiliki rasa percaya diri, orientasi mobilitas yang kurang. Ketunanetraan menyebabkan keterbatasan yang serius pada perkembangan fungsi kognitif siswa
tunanetra yaitu dari segi pengalamannya, kemampuannya untuk bergerak di dalam lingkungannya, serta interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Tarsidi 2002, hlm. 5 tentang Kompetensi sosial anak tunanetra yakni,
Anak tunanetra bawaan congenitally blind tidak dapat meperoleh pola prilaku atas dasar peniruan secara visual. Bagi anak awas, peniruan visual
memberikan banyak kesempatan belajar secara sosial-seperti postur tubuhyang normal pada saat berjalan, cara bermain, berbagai gerakan
ekspresi serta cara melaksanakan berbagai keterampilan kehidupan sehari- hari.dengan intervensi yang tepat dari orang dewasa,keterbatasan-
keterbatasan tersebut dapat diminimalkan.
Siswa tunanetra mengalami hambatan penglihatan sehingga kondisi tersebut juga berpengaruh terhadap perkembangan kemampuan kreatif mereka.
Kecenderungan sekolah dalam mengajarkan materi secara imitatif, satu arah, tanpa memotivasi dan menggali kreativitas membuat siswa tunanetra cenderung
pasif dalam pembelajaran. Survey terhadap siswa tunarungu menunjukan kondisi siswa cenderung
agresif, individual, bahasa tubuh dan ekspresi yang kurang terkontrol. Siswa tunarungu merupakan siswa yang memiliki keterbatasan dalam pendengaran,
memiliki kedala dalam hal aspek perkembangan bahasa, perkembangan intelektual, serta interaksi sosial. Pendapat Kaufman 2006, hlm.12 yakni,
7
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
Hearing impairment : this term referm refers to a partial or total hearing loss in which the student is unable to process language through hearing,
with or with or without an amplification device. Many deaf people do not consider themselves disadbled. Being deaf today means being a member of
a subculture of society that has its role in the hearing world. Generally, deaf children equal nondeaf peers in motor skills, unless the semicircular
canals of the inner ear are damaged and balance problems exist.
Kemampuan kreativitas siswa tunarungu sebenarnya tidak mengalami hambatan apabila proses pembelajaran yang dilakukan tidak bersifat pasif dan
satu arah. Hal ini memiliki kesamaan dengan proses pembelajaran yang dialami oleh siswa tunanetra. Kondisi kreativitas siswa tunarungu pada saat peneliti
melakukan survey khususnya dalam pembelajaran seni tari sangat rendah disebabkan pola pembelajaran yang cenderung satu arah, imitatif, dan kurang
memberikan kesempatan siswa untuk bereksplorasi. Berdasarkan data tersebut peneliti menyimpulkan hasil survey bahwa guru
perlu mengenali modalitas siswa tunanetra dan tunarungu dan dijadikan orientasi dalam mengembangkan stimulus dalam pembelajaran seni tari untuk
mengoptimalkan beragam potensi dan kecerdasan. Guru dapat mengoptimalkan modalitas yang dimiliki siswa dalam hal ini indera lainnya yang dimiliki siswa
tunanetra dan tunarungu. DePorter 2007, hlm. 110 menyebutkan pengertian modalitas yakni, “ Bagaimana kita menyerap informasi modalitas”. Modalitas
yang dimiliki setiap peserta didik terdiri dari penglihatan, pendengaran, perabaan, dan kinestetik gerak. Siswa tunanetra baik yang total maupun yang low vision
memiliki indra peraba dan pendengaran dan siswa tunarungu memiliki indra penglihatan dan perabaan yang dapat dijadikan orientasi guru dalam
mengembangkan strategi dalam pembelajaran seni tari. Dalam Kaufman 2006 mengungkapkan bahwa ada lima kemampuan menari siswa ABK yang dapat
ditingkatkan hal tersebut meliputi body awarenes, spatial awarenes, waching movement cues, danvisualization skill and recall. Pendapat tersebut dapat
dijadikan rujukan pembelajaran seni tari yang mengembangkan kreativitas bagi siswa tunanetra dan tunarungu.
8
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
Selain data tentang kondisi obyektif kreativitas tunanetra dan tunarungu, peneliti juga memperoleh data yang mendukung kondisi lapangan tentang
pembelajaran seni tari di sekolah luar biasa. Dari hasil pembagian kuesioner tentang pelaksanaan pembelajaran seni budaya khususnya seni tari pada 41 guru
PLB pada saat pelatihan mata pelajaran seni budaya se-provinsi Jawa Barat pada tanggal 22 April 2010 diperoleh data bahwasekitar 15 dari jumlah peserta
adalah guru pendidikan seni serta mengajarkan seni budaya, serta 21,5 membelajarkan seni tarinamun dari hasil wawancara mereka mengajarkan dengan
sistem pembelajaran tradisional, yaitu secara peniruan. Hal tersebut diperkuat dengan hasil penelitian Tesis Ariswati 2010 tentang pembelajaran seni tari di
SLB B dan Penelitian Tesis Prasasti untuk pembelajaran seni musik di SLB B 2010, yang membuktikan bahwa sistem pembelajaran yang dilakukan dengan
model training atau pelatihan, yang lebih menekankan pada pembelajaran peniruan.Hal-hal yang terjadi di lapangan menjadi bahan kajian peneliti untuk
melakukan penelitian lebih lanjut. Berdasarkan paparan permasalah tersebut peneliti mengembangkan model
pembelajaran tari untuk meningkatkan kreativitas siswa tunanetra dan tunarungu dengan berorientasi pada model sinektik. Strategi dalam sinektik dirancang untuk
membantu para siswa memahami masalah, ide, dalam mengenalkan sesuatu yang baru
. Sinektik
merupakan model yang dapat diaplikasikan dalam pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas baik secara individual ataupun kelompok. Dalam
kelompok siswa dapat saling belajar tetang bagaimana temannya bereaksi dalam mengembangkan ide saat memecahkan masalah. Selain itu model sinektik melatih
siswa mengembangkan kemampuan imajinasi melalui bermain analogi melalui metapora dalam proses berkreativitas.
Dalam pelaksanaan pembelajaran tari dengan orientasi model sinektik ini, gerak-gerak yang dieksplorasi oleh siswa tunanetra dan tunarungu merupakan
gerak sederhana yang ditemukan secara kreatif oleh siswa sendiri dengan dibantu melalui stimulus raba melalui relief dan pendengaran melalui musik yang
dikembangkan oleh guru melalui kegiatan beranalogi. Gerak yang dikembangkan
9
Heni Komalasari, 2014 Pengembangan Model Pembelajaran Tari Untuk Meningkatkan Kreativitas Siswa Tunanetra
Dan Tunarungu Universitas Pendidikan Indonesia
| repository.upi.edu
| perpustakaan.upi.edu
berorientasi pada gerak dari bagian anggota tubuh yang dapat mengembangkan sensitivitas gerak juga membantu kemampuan orientasi mobilitas siswa tunanetra.
Sedangkan pada siswa tunarungu gerak yang ditemukan secara kreatif diawali dengan mengapresiasi gambar dan mengekspresikannya melalui gerak kreatif
yang mereka temukan dan sesuai dengan ekspresi gambar yang mereka lihat. Sistem pembelajaran tidak hanya menekankan pada eksplorasi gerak saja, namun
jugamengembangkan kecerdasan siswa secara verbal saat siswa mencoba menjelaskan gerak yang mereka temukan , spasial saat membuat pola gerak, pola
lantai, matematis saat menemukan rasa hitungan ritmis pada gerak, mencoba bekerjasama untuk menyusun gerak dan membuat desain pola lantai.