KELIMPAHAN POPULASI KUTU PUTIH

47 PENDAHULUAN Kelimpahan populasi merupakan jumlah individu per unit area Norris et al . 2003. Kelimpahan populasi selain bervariasi pada suatu tempat ke tempat yang lain, juga bervariasi secara temporal di suatu tempat Southwood 1978. Jumlah organisme di dalam populasi mengalami perubahan sepanjang waktu sebagai hasil dari berbagai faktor yang berkaitan seperti: kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi Tarumingkeng 1994; Norris et al. 2003. Populasi organisme di suatu ekosistem bisa naik atau turun dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, inang atau sumber makanan, ruang dan populasi itu sendiri Dent 1995. Faktor lainnya yang mempengaruhi perubahan populasi serangga yaitu: topografi lahan dan pola usaha tani Raharjo 2004 serta perubahan fungsi lahan Subahar 2000. Faktor iklim berpengaruh langsung terhadap komposisi spesies, habitat perkembangbiakan, kelangsungan hidup, penularan dan populasi serangga vektor Sukowati 2004. Populasi vektor menentukan berhasil tidaknya penularan penyakit oleh vektor. Menurut Stavinsky et al. 2002 peningkatan populasi vektor akan meningkatkan kejadian penyakit layu. Demikian juga dengan vektor penyakit layu nenas yaitu kutu putih D. brevipes Sulaiman 2000; Sether Hu 2002; Mau Kessing 2007. Tidak terkendalinya populasi vektor dapat mengakibatkan meningkatnya kejadian penyakit layu. Adanya virus PMWaV bersama-sama dengan tingginya populasi vektor dapat menyebabkan kematian tanaman Hernandes et al. 1999; Sether Hu 2002. D. brevipes perlu dikendalikan karena karena semua stadia kutu putih menjadi vektor yang efektif dalam penularan virus PMWaV Sether et al. 1998. Keberadaan kutu putih D. brevipes petama kali dilaporkan di Hawai pada tahun 1910 Waterhouse 1998. Penyebaran hama ini dilaporkan meluas di ber- bagai negara seperti: Fiji, Jamaica, Australia, Afrika, Mexico, Micronesia, Taiwan dan Asia Tenggara Waterhouse 1998; Mau Kessing 2007. Hama ini juga ditemukan di Indonesia terutama di pulau Jawa Kalshoven 1981. 48 Sejak adanya laporan keberadaan hama kutu putih D. brevipes di desa Bunihayu Kabupaten Subang, Jawa Barat Sartiami 2006, penelitian lanjutan mengenai kelimpahan kutu putih dan kejadian penyakit layu perlu dikembangkan di daerah ini. Penelitian ini dilakukan di tiga desa potensial penghasil nenas di Kabupaten Subang yaitu di: desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Data luas areal nenas masing-masing yaitu: Bunihayu 492 ha, Curugrendeng 268 ha dan Cimanglid 286 ha DPKS 2004. Penelitian kutu putih di tiga desa tersebut penting mengingat masih kurangnya informasi mengenai populasi D. brevipes pada berbagai daerah pertanaman nenas dan faktor-faktor lingkungan yang berperan bagi perkembangan kutu putih ini di lapang. Populasi kutu putih pada suatu lokasi pertanaman sangat dipengaruhi oleh kondisi keanekaragaman inang, kondisi habitat dan musim Geiger Daane 2001; Walton et al. 2004. Selain itu populasi kutu putih pada tanaman berbeda tergantung bagian tanaman yang diserang Khan et al. 1998 dan suhu udara Chong et al. 2008. Menurut Gruenhagen dan Backus 1999 bahwa kelimpahan populasi dan penyebaran hama pada tanaman sangat penting untuk dipelajari untuk mengungkapkan berbagai hal tentang ekologinya. Hal ini diperlukan dalam upaya pencegahan perkembangan yang lebih luas dan pengembangan upaya pengendaliannya Leksono et al. 2005. Suatu studi awal tentang perkembangan populasi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas dilakukan sejak bulan Maret 2006 sampai Februari 2007 untuk mendapatkan informasi mengenai kelimpahan populasi kutu putih pada beberapa lokasi pertanaman nenas dan pada musim yang sedang berbeda. Informasi ini diperlukan dan diharapkan dapat menjadi dasar dalam mengembangkan teknik pengendalian kutu putih yang efektif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1 kelimpahan populasi kutu putih pada tanaman nenas pada tiga desa di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang, 2 penyebaran vertikal kutu putih di tanaman nenas dan 3 kelimpahan populasi kutu putih pada musim kemarau dan musim hujan. 49 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di dua tempat yaitu di lapang dan di laboratorium. Pengambilan sampel dan pengamatan kelimpahan populasi kutu putih dilakukan pada tiga desa penghasil nenas terpenting di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang yaitu: di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Selanjutnya pengamatan kelimpahan populasi pada dua musim dilakukan di kebun petani di desa Bunihayu. Perhitungan sebaran populasi dilakukan di laboratorium. Penelitian ini berlangsung sejak bulan Maret 2006 sampai Februari 2007. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan melalui metode survei daerah penghasil nenas di Subang. Survei dilakukan di tiga desa yang potensial sebagai penghasil nenas yaitu: Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng. Selanjutnya untuk mengetahui populasi pada dua musim dilakukan pengamatanmonitoring populasi kutu putih secara berkala yaitu setiap bulan pada tanaman nenas di desa yang tingkat serangan penyakit layu lebih tinggi yaitu di desa Bunihayu. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian dilakukan melalui beberapa kegiatan yaitu: pengambilan sampel, pengamatan vertikal kutu putih, pengamatan populasi kutu putih di tiga desa dan pengamatan populasi kutu putih pada dua musim yang berbeda. Pengambilan sampel. Sampel yaitu tanaman nenas yang terserang kutu putih. Sampel yang berjumlah 20 tanaman diambil secara purposif sampling dari lahan yang terserang, kemudian sampel dimasukkan masing-masing ke dalam kantong plastik yang telah dilubangi. Sampel dibawa ke laboratorium untuk dihitung jumlah populasinya. Penelitian sebaran vertikal. Di laboratorium pengamatan populasi kutu putih dilakukan dengan menghitung jumlah populasinya pada seluruh bagian tanaman secara vertikal mulai dari bagian bawah yaitu akar sampai bagian atas tanaman yaitu mahkota. Pengamatan menggunakan mikroskop stereo: jumlah kutu putih 50 pada bagian tanaman yaitu: 1 akar, 2 daun pertama dari bawah tanaman sampai daun teratas, 3 tangkai buah, 4 buah dan 5 mahkota Gambar 4.1. Pada buah kutu putih berasosiasi pada bagian permukaan buah. Untuk mengetahui distribusinya pengamatan dibedakan atas tiga wilayah sektor buah yaitu: bawah, tengah dan atas Gambar 4.2. Untuk mengetahui kandungan kimia antar bagian tanaman dilakukan analisis kadar air menggunakan metode grafimetri dan analisis kandungan N total dengan metode Kjeldahl AOAC 1970. Selain analisis tersebut, juga dilakukan analisis glukosa sesuai metode Anthrone Rangana 1979 pada daun pertama, ke-4, ke-8 dan ke-12. Analisis dilakukan di laboratorium Biotrop dan RGCI Research Group for Crops Improvement Bogor. Gambar 4.1. Pengamatan populasi kutu putih pada tanaman nenas Gambar 4.2. Pengamatan populasi kutu putih pada buah nenas Mahkota Buah Tangkai buah Daun Akar Atas Tengah Bawah 51 Penelitian kelimpahan populasi pada tiga desa. Penelitian dilakukan pada tiga desa penghasil nenas yaitu: Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Pada setiap desa masing-masing diamati 9 kebun. Pada setiap kebun diambil 20 sampel tanaman yang dipilih berdasarkan arah diagonal kebun. Parameter pengamatan yaitu: kelimpahan populasi dan tingkat serangan kutu putih dan kejadian penyakit layu. Penelitian kelimpahan populasi pada dua musim yang berbeda. Pengamatan dilakukan di kebun petani nenas di desa Bunihayu yang telah terserang hama kutu putih D. brevipes. Luas kebun petani yang dijadikan petak pengamatan adalah sekitar 2000 m 2 . Teknik budidaya nenas yang diterapkan di kebun percobaan sesuai dengan kebiasaan petani. Cara petani setempat dalam budidaya nenas dilakukan secara polikultur. Nenas ditanam bersama dengan kencur dan singkong. Jarak tanam yang dilakukan petani setempat dengan pola dua baris double row yaitu: jarak antar tanaman dalam baris 40 cm, jarak baris 50 cm dan jarak antar baris 100-150 cm. Tanaman tumpangsari seperti kencur dan singkong ditanam di bagian antar baris. Penentuan petak pengamatan yang ditentukan dengan membagi kebun percobaan atas 4 petak. Pada setiap petak ditentukan 5 tanaman sampel diberi tanda ajir mengikuti arah diagonal petak lahan sehingga jumlah sampel yang diamati yaitu 20 sampel. Pengamatan jumlah populasi dilakukan pada tanaman nenas secara kontinyu sepanjang dua musim hujan dan kemarau pada bulan April 2006 sampai bulan Februari 2007. Pengamatan pertama dilakukan pada tanaman yang berumur 4 bulan setelah tanam dan diamati setiap bulan sekali selama 10 bulan. Pengamatan dilakukan dengan menghitung jumlah kutu putih pada tiap tanaman dengan menggunakan loup. Parameter lainnya yang diamati yakni tingkat serangan hama dan kejadian penyakit layu. Selain itu sebagai penunjang dilakukan pengamatan terhadap suhu, kelembaban udara dan keadaan tanaman di sekitar lokasi. Data lainnya seperti curah hujan diambil dari Kantor Irigasi, Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. 52 Analisis Data Hasil pengamatan dianalisis menggunakan sidik ragam Anova. Apabila diperoleh beda nyata dilakukan uji lanjut dengan uji Tukey pada taraf 95. HASIL DAN PEMBAHASAN Penyebaran Vertikal Kutu Putih pada Tanaman Nenas Kutu putih D. brevipes dapat hidup dan berkembangbiak pada beberapa bagian tanaman nenas. Hasil pengamatan penyebaran kutu putih pada bagian tanaman nenas dari akar sampai ke mahkota disajikan pada Gambar 4.3. Gambar tersebut menunjukkan kutu putih dapat ditemukan pada semua bagian tanaman nenas dengan jumlah populasi yang beragam. Dari informasi tersebut dapat diketahui bahwa kutu putih dapat dijumpai pada seluruh masa pertumbuhan nenas yaitu sejak fase vegetatif sampai fase generatif. Kutu putih memanfaatkan bagian-bagian tanaman nenas sebagai tempat berlindung dan mendapatkan makanan. Hasil ini sama seperti laporan Waterhouse 1998 bahwa kutu putih dapat menyerang pada bagian tanaman seperti: akar, daun, tangkai dan buah. Kutu putih dapat hidup pada bagian mahkota tanaman, dengan demikian jika bagian mahkota yang terinfeksi dijadikan bibit, dapat berperan sebagai sumber infeksi kutu putih di lapang. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kutu putih lebih tinggi pada bagian daun nenas 56.45±6.83 individu dan berbeda nyata dengan populasi yang terdapat pada bagian akar 9.40±2.16 individu, tangkai buah 2.10±2.1 individu, buah 9.95±2.81 individu dan mahkota 2.70±0.86 individu. Hasil ini sesuai dengan laporan bahwa D. brevipes banyak ditemukan hidup pada bagian daun Khan et al. 1996; Sether Hu 2002. Kutu putih lebih menyukai hidup pada daun dibandingkan bagian tanaman lainnya karena fisik daun lebih lunak, lebih mudah menusukkan stiletnya untuk mengisap cairan makanannya. Selain itu pada bagian daun cukup mengandung air dan Nitrogen yang dibutuhkan kutu putih untuk kehidupannya Lampiran 4. 53 Gambar 4.3. Penyebaran vertikal kutu putih pada bagian akar, daun, tangkai buah, buah dan mahkota n = 20, one way anova, Tukey test α 0.05. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah kutu putih berbeda pada posisi daun yang berbeda F=7.14;db=14;P=0.00 Gambar 4.4. Pada daun pertama sampai daun ke-6 populasi kutu putih lebih tinggi, namun tidak berbeda nyata dengan daun ke-7 sampai daun ke-9. Populasi kutu putih cenderung menurun pada daun yang terletak di bagian atas. Kandungan nutrisi antar bagian daun ditampilkan pada Tabel 4.1. Hasil analisis kadar air F=1.10;db=3;P0.05 dan kandungan glukosa F=0.35;db=3;P0.05 pada daun tidak menunjukkan perbedaan nyata antar bagian daun. Tabel tersebut menunjukkan bahwa kandungan air padadaun pertama cenderung lebih tinggi, walaupun tidak berbeda nyata dengan bagian daun lainnya. Kandungan glukosa cenderung lebih tinggi pada daun muda walaupun tidak menunjukkan perbedaan nyata dengan daun tua. Kandungan Nitrogen total antar bagian daun menunjukkan perbedaan yang nyata F=7.46;db=3;P0.05. Kandungan Nitrogen pada daun pertama dan daun ke-8 lebih tinggi, berbeda nyata dengan daun ke-12. Hasil ini menunjukkan pada daun pertama sampai daun ke-8 lebih sesuai bagi kehidupan kutu putih dibandingkan daun ke-12. Kandungan Nitrogen yang cukup tersedia pada daun tua dekat akar lebih disukai kutu putih untuk efisiensi penggunaan makanannya. Schoonhoven et. al. 1998 menyatakan pemberian diet makanan Nitrogen tinggi pada serangga membantu serangga makan lebih efisien dibanding pada diet makanan dengan kandungan Nitrogen rendah. 10 20 30 40 50 60 70 Akar Daun Tang kai buah Buah Mahkota Bagian Tanaman J u m lah k u tu put ih indiv id u b b b b a 54 Kutu putih selain menyerang pada bagian daun, juga dapat menyerang bagian buah mulai dari sektor bawah, tengah dan atas. Hasil analisis menunjukkan populasi kutu putih berbeda pada sektor buah yang berbeda F=5.50;db=2;P=0.01 Gambar 4.5. Kutu putih lebih menyukai hidup pada bagian bawah buah karena lebih terlindung dari terpaan angin maupun air hujan serta serangan musuh alami. Kutu putih yang menyerang buah sangat merugikan karena dapat mengurangi minat konsumen. Selain itu kutu putih yang menyerang buah merupakan media penyebaran kutu putih pada saat diperdagangkan. Hal ini perlu diperhatikan oleh petugas karantina atau instansi terkait untuk mencegah penyebaran kutu putih antar daerah atau antar pulau semakin meluas. Gambar 4.4. Rataan populasi kutu putih pada bagian daun pertama sampai daun ke-15 n= 20, one way anova, Tukey test α 0.05 Tabel 4.1. Hasil analisis kadar air, glukosa dan N total pada bagian daun nenas Variabel Bagian daun ke- 1 4 8 12 Kadar air 83.61 ± 0.48 a 81.93 ± 1.24 a 81.85 ± 2.48 a 79.91 ± 0.64 a Glukosa 3.31 ± 0.98 a 3.77 ± 1.06 a 4.51 ± 1.34 a 4.46 ± 0.13 a N Total 0.123 ± 0.01 a 0.117 ± 0.01 ab 0.130 ± 0.00 a 0.100 ± 0.00 b Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5 menurut uji Tukey. 2 4 6 8 10 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Daun ke- J u m lah k u tu put ih i ndi v idu a abc a a a a a ab abc b b c c c 55 Gambar 4.5. Rataan populasi kutu putih pada tiga sektor buah n=20, one way anova, Tuckey test α 0.05 Kelimpahan Populasi Kutu Putih di Tiga Desa Penghasil Nenas Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa kelimpahan populasi kutu putih lebih tinggi dijumpai di desa Bunihayu dibandingkan di desa Curugrendeng dan Cimanglid. Kelimpahan populasi kutu putih di pertanaman nenas di desa Bunihayu sekitar 11-174 individutanaman. Sedangkan di Cimanglid mencapai 1- 28 individutanaman dan Curugrendeng mencapai 5-90 individutanaman. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rataan populasi kutu putih berbeda pada setiap lokasi P0.05 Gambar 4.6.. Rataan populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individutanaman, Cimanglid 1.76 individutanaman dan Curugrendeng 6.64 individutanaman. Perbedaan populasi kutu putih pada tanaman nenas di tiga desa ini mungkin dipengaruhi perbedaan faktor iklim Tabel 4.2, cara budidaya nenas yang diterapkan oleh petani setempat dan kondisi agroekosistem pertanaman Gambar 4.7. Di desa Cimanglid, nenas di tanam di daerah yang lebih tertutup yaitu di bawah pohon-pohon berkayu sehingga kondisi di lokasi tersebut agak teduh karena terlindung dengan pohon-pohon seperti: albisia, jeruk dan durian serta pohon-pohon peneduh lainnya. Kurangnya sinar matahari yang masuk ke area kebun dan kelembaban sekitar 66 kurang sesuai bagi kehidupan kutu putih ini. 2 4 6 8 10 12 Atas Tengah Bawah Sektor buah J um lah k ut u put ih ind iv idu b b a 56 Kondisi agroekosistem di desa Curugrendeng lebih cocok untuk kutu putih dapat berkembang dibandingkan di desa Cimanglid. Pertanaman nenas di daerah ini cukup terbuka dan jenis tanaman relatif sedikit yang ditemukan di sekeliling lahan tersebut. Lokasi perkebunan nenas di desa ini umumnya berada dekat dengan perkebunan teh. Di sekeliling kebun nenas yang umum dijumpai adalah tanaman pisang dan tanaman pohon lain yang berfungsi sebagai batas kebun. Sebaliknya di Bunihayu umumnya kondisi agroekosistem kebunnya lebih bervariasi. Beberapa petani menanam nenas secara polikultur dengan tanaman seperti kencur, pisang, singkong, cabe, jahe, kunyit dan pohon buah-buahan seperti durian. Populasi di Bunihayu lebih tinggi karena tingginya keragaman tanaman inang kutu putih yang ada di kebun. Tanaman seperti pisang, singkong, kunyit, jahe dan cabe Dove 2005 serta kencur hasil penelitian sebelumnya, yang ditanam petani umumnya merupakan tanaman inang kutu putih. Keberadaan tanaman inang lebih banyak di kebun yang berada di desa Bunihayu menyebabkan tingginya sumber infeksi kutu putih. Selain itu, kondisi iklim di Bunihayu Tabel 4.2 mungkin lebih sesuai bagi perkembangan kutu putih. Perbedaan kondisi iklim di lokasi pertanaman nenas mempengaruhi populasi kutu putih. Hasil penelitian di Subang menunjukkan populasi kutu putih dapat mencapai 174 individu per tanaman, berbeda dengan hasil penelitian Hernandes et al. 2004 yang melaporkan populasi kutu putih di Hawai sekitar 157 individutanaman. Gambar 4.6. Rataan populasi kutu putih pada tiga desa n=27, one way anova, Tuckey test α 0.05 a 5 10 15 20 25 Bunihayu Cimanglid Curugrendeng De sa R a ta a n p opu la s i k ut u pu ti h i nd iv id u t a na m a n a c b 57 Tabel 4.2. Hasil pengukuran rataan berbagai variabel lingkungan pada tiga lokasi pengamatan Variabel Desa Bunihayu Cimanglid Curugrendeng Suhu o C 34.59 33.73 34.41 Kelembaban 51.67 65.67 52.00 Ketinggian tempat dpl 539.44 520.00 588.00 A B C Gambar 4.7. Kondisi agroekosistem kebun nenas di desa Bunihayu A, Cimanglid B dan Curugrendeng C Tingkat Serangan Kutu Putih Tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di tiga lokasi pertanaman nenas ditampilkan pada Gambar 4.8. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya perbedaan tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di tiga desa yang diamati P0.05. Tingkat serangan kutu putih pada tanaman nenas di desa Bunihayu berbeda nyata dengan tingkat serangan kutu putih di desa Cimanglid dan Curugrendeng. Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi di desa Bunihayu 70.56 dibandingkan Cimanglid 27.22 dan Curugrendeng 42.78. Tingkat serangan kutu putih di Bunihayu hampir sama dengan laporan Asbani 2005. Tingginya tingkat serangan kutu putih di desa Bunihayu ada kaitannya dengan tingginya populasi kutu putih di lokasi tersebut, keanekaragaman tanaman inang dan kesesuaian berbagai faktor lingkungan fisik untuk perkembangan kutu putih. 58 10 20 30 40 50 60 70 80 Bunihayu Cimanglid Curugrendeng T in g k at S e ra n g a n Desa Gambar 4.8. Rataan tingkat serangan kutu putih pada tiga desa n=27, one way anova, Tuckey test α 0.05 Kejadian Penyakit Layu Gejala serangan virus penyebab penyakit layu pada tanaman nenas ditemukan pada 3 lokasi yang diamati. Tingkat serangan penyakit layu berbeda pada lokasi yang berbeda P0.05. Serangan penyakit layu di Bunihayu mencapai 50.56, lebih tinggi dibandingkan di Cimanglid 15.56 dan Curugrendeng 31.67 Gambar 4.9. Tingginya serangan penyakit layu di Bunihayu disebabkan tingginya populasi vektor penyakit layu yaitu D. brevipes dan ketersediaan sumber inokulum penyakit layu. Petani menanam nenas secara terus-menerus dan bibit yang digunakan kurang bermutu sehingga sumber inokulum selalu tersedia di pertanaman. Selain itu sumber penyebaran dari penyakit layu nenas diduga berasal dari bibit yang digunakan petani. Bibit tanaman yang digunakan oleh petani yaitu: anakan, tunas dan mahkota dari tanaman nenas umumnya tanpa seleksi, sehingga ada kemungkinan bibit nenas yang digunakan telah terinfeksi. Selain itu beberapa kebun yang diamati terlihat kurang terawat, banyak gulma yang tumbuh dan serangan kutu putih tinggi. Menurut Sether et al. 1998 serangan penyakit layu dipertanaman nenas disebabkan tersedianya sumber inokulum yaitu tanaman yang terinfeksi PMWaV dan adanya vektor penyakit layu. Gejala penyakit layu nenas dapat ditemukan pada semua masa pertumbuhan tanaman. Gejala layu muncul mulai dari tanaman muda yaitu bibit nenas, tanaman pada masa vegetatif sampai tanaman yang telah berbuahgeneratif Gambar 4.10. Tingkat s erangan ku tu p u ti h Desa c b a 59 10 20 30 40 50 60 70 Bunihayu Cimanglid Curugrendeng Desa Ti ngk a t s e ra nga n pe ny a k it Tanaman yang terserang virus penyakit layu sangat jelas gejalanya jika dibandingkan dengan tanaman sehat. Pada umumnya tanaman yang terserang virus penyakit layu akan menunjukkan gejala seperti: pertumbuhan terhambat, ujung daun mengering, daun berubah warnanya dari hijau berubah hijau kekuningan sampai kemerah-merahan, bagian pelepah daun melengkung ke bawah dan keseluruhan daun menjadi layu. Gejala penyakit layu tersebut sesuai dengan yang telah dilaporkan Sether et al. 1998; CABI 2003. Gambar 4.9. Rataan tingkat serangan penyakit layu pada tiga desa n=27, one way anova, Tuckey test α 0.05 Gambar 4.10. Gejala penyakit layu pada tiga fase pertumbuhan tanaman A= fase pertumbuhan awal, B= fase vegetatif dan C= fase generatif a c b 60 Perbandingan Kelimpahan Populasi Kutu Putih pada Musim Kemarau dan Musim Hujan Pengamatan kelimpahan populasi kutu putih dilakukan selama dua musim. Hasil menunjukkan bahwa jumlah populasi kutu putih di pertanaman nenas di desa Bunihayu pada awal pengamatan berkisar 1-51 individutanaman dengan rataan sekitar 9.20±3.07 individutanaman. Populasi kutu putih mengalami tren kenaikan selama 7 bulan pengamatan sejak pengamatan pada bulan April sampai Oktober 2006. Kelimpahan populasi kutu putih mencapai puncaknya pada bulan Oktober 2006 Gambar 4.11. Populasi kutu putih yang ditemukan sekitar 1-115 individutanaman dengan rataan tertinggi yaitu: 34.60 individutanaman. Populasi kutu putih mengalami penurunan pada bulan November dan Desember, dan pada pengamatan tiga bulan terakhir menunjukkan pola perkembangan populasi yang hampir sama. Kelimpahan populasi tinggi terlihat pada bulan September dan Oktober, hal terjadi ini karena musim kemarau yang cukup lama yang berlangsung dari bulan Juni sampai Oktober 2006. Pembagian musim didasarkan pada jumlah curah hujan bulanan menurut pembagian iklim oleh Oldeman tahun 1975 yaitu bahwa bulan kering apabila curah hujan kurang dari 100 mm, bulan lembab 100-200 mm dan bulan basah jika lebih dari 200 mm Regariana 2004. Gambar 4.11 menunjukkan selama penelitian, terjadi musim kemarau yang sangat panjang data bulan kering memiliki curah hujan bulanan 100 mm sejak bulan Juni-November 2006 dan musim penghujan curah hujan bulanan 100 mm terjadi pada bulan: April-Mei 2006 dan Desember-Februari 2007. Hasil analisis menunjukkan bahwa populasi kutu putih pada tanaman nenas berbeda pada musim yang berbeda P0.05. Rataan populasi kutu putih pada musim kemarau 28.60±3.21 individutanaman lebih tinggi 2.5 kali lipat dibandingkan populasi kutu putih pada musim hujan 12.32±1.70 individu tanaman Gambar 4.12. Tingginya populasi pada musim kemarau tersebut merupakan fenomena umum yang telah lama dikenal pada banyak serangga tropik Rauf 1996. Hasil penelitian ini sama dengan laporan Geiger dan Daane 2001 menyatakan bahwa perkembangan populasi kutu putih Pseudococcus maritimus Hemiptera: Pseudococcidae dipengaruhi musim yang sedang berlangsung. Hasil 61 yang sama dilaporkan Boavida dan Neuenschwander 1995 bahwa populasi kutu putih Rastrococcus invadens Hemiptera: Pseudococcidae mencapai puncaknya pada musim panas dan mampu menyelesaikan perkembangan hidupnya selama beberapa generasi. Di lahan pengamatan, rata-rata suhu udara selama musim kemarau mencapai lebih dari 30 C sangat cocok bagi perkembangan kutu putih. Hal ini didukung oleh penelitian Chong et al. 2008 bahwa perkembangan kutu putih pada suhu 30-30.4 C lebih maksimal dibandingkan pada suhu 20-25 C. Gambar 4.11. Perkembangan populasi kutu putih D. brevipes pada tanaman nenas pada pengamatan April 2006-Februari 2007 Gambar 4.12. Kelimpahan populasi kutu putih pada musim kemarau dan musim hujan di desa Bunihayu t test α 0.05 a 5 10 15 20 25 30 35 40 Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nov Des Jan Feb Bulan P opu la si k ut u pu tih in di vi du ta na m an 100 200 300 400 500 600 700 Populasi Curah hujan C u ra h hu ja n m m b u la n 10 20 30 40 50 Hujan Kemarau Musim Ju m la h ku tu p u ti h i nd iv id u t an am a n a b 62 KESIMPULAN Kelimpahan populasi kutu putih D. brevipes lebih tinggi di desa Bunihayu dibandingkan di desa Cimanglid dan Curugrendeng. Populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individutanaman, Cimanglid 1.76 individutanaman dan Curugrendeng 6.64 individutanaman. Tingkat serangan kutu putih lebih tinggi di desa Bunihayu 70.56 dibandingkan di desa Cimanglid 27.22 dan Curugrendeng 42.78. Serangan penyakit layu PMWaV di desa Bunihayu mencapai 50.56, lebih tinggi dibandingkan di desa Cimanglid 15.56 dan desa Curugrendeng 31.67. Sebaran vertikal kutu putih pada tanaman nenas mulai dari akar, daun, tangkai buah dan buah serta mahkota. Bagian pangkal daun merupakan bagian tanaman nenas yang terbanyak dijumpai kutu putih. Populasi kutu putih nenas menunjukkan perbedaan pada dua musim yang berbeda. Jumlah populasi kutu putih lebih tinggi dijumpai pada musim kemarau dari pada musim hujan. 63 DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 1970. Official Methods Analysis of the Association of Official Analytical Chemist. Association of Official Analytical Chemist. Washington DC. Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudococcidae serta keanekaragaman semut pada tanaman nanas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Boavida C, Neuenschwander. 1995. Population dynamics and life tables of the mango mealybug, Rastrococcus invadens Williams, and its introduced natural enemy Gyranusoidea tebygi Noyes in Benin. Biocontrol Sci and Tech 5:495-508. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2003. Crop Protection Compendium. Welling fort. Nosworthy Way. Wallingford. Oxfordshire. OX10 8DE. Chong JH, Roda AL, Mannion CM. 2008. Life history of mealybug, Maconellicoccus hirsutus Hemiptera: Pseudococcidae at constant temperature. Environ Entomol 372:323-332. Dent D. 1995. Principles of Integrated Pest Management. Dent D, editor. Integrated Pest Management . London: Chapman Hall. hlm188-259. Dove B. 2005. Catalogue Query Results Dysmicoccus brevipes Cockerell. http: www.sel.barc.usda.gov catalogs pseudoco Dysmicoccusbrevipes. htm. [12 Feb 2008 ]. [DPKS] Dinas Pertanian Kabupaten Subang. 2004. Profil Nenas di Kabupaten Subang. www.nenas\Direktorat Tanaman Buah, Ditjen Bina Produksi Hortikultura_files\Kab_subang.htm. Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Subang. Geiger CH, Daane KM. 2001. Seasonal movement and distribution of grape mealybug Homoptera: Pseudococcidae: developing sampling program for San Joaquin valley vineyards. J Econ Entomol 941:291-301. Gruenhagen NM, Backus EA. 1999. Diel Settling Pattern of Female and Male Potato Leafhopper Homoptera: Cicadellidae on Alfalfa. J Econ Entomol 926:1321-1328. Hernandez HG, NJ Reimer, Jhonson MW. 1999. Survey of natural enemies of Dysmicoccus mealybugs on pineapple in Hawaii. Bio Control 44:47-58. Kalshoven LGE. 1981. The Pest of Crops in Indonesia. Laan PA van der, penerjemah.Terjemahan dari De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. Jakarta. Ichtiar Baru-van Hoeve. 701 hlm. Khan AA, Avesi GM, Masud SZ, Rizvi SWA. 1998. Incidence of mealybug Dysmicoccus brevipes Cockerell on pineapple. Tr J Zool 22:159-161. 64 Leksono AS, Nakagoshi N, Takada K, Nakamura K. 2005. Vertical and Seasonal variation in the abundance and the richness of Attelabidae and Cantharidae Coleoptera in suburban mixed forest. Entomol Science 8:235-243. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes Cockerell Pink Pineapple Mealybug . http:www.extento.hawaii.edu Kbasecrop Type d_brevip. htm. [15 Feb 2008 ]. Norris RF, Chen EPC, Kogan M. 2003. Concept in Integrated Pest Management. New Jersey: Prentice Hall. 586 hlm. Pitaksa C, Chantarasuwan A, Kongkanjana A. 2000. Ant control in pineapple field. Act Hort 529:309-316. Raharjo S. 2004. Dinamika populasi Sanurus indecora J. pada tanaman jambu mete Anacardium occidentale L. di Nusa Tenggara Barat. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI. Rangana S. 1979. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. Tata Mc. Grawhill ND. Rauf A. 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional . Jatisari: 2-19 Jan 1996. Regariana CM. 2004. Atmosfir Cuaca dan Iklim. http:www.elcom.umi.ac.id. [10 November 2009]. Sartiami D. 2006. Keberadaan Dysmicoccus brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudococcidae sebagai vektor pineapple mealybug wilt assosiated virus PMWaV pada tanaman nanas. J Pert Indon 111:1-6. Schoonhoven LM, Jermy T, Van Loon JJA. 1998. Insect Plant Biology from Physiology to Evolution . London: Chapman Hall. 409 hlm. Sether DM, Ulman DE, Hu JS. 1998. Transmission of pineapple mealybug wilt- associated virus by two species of mealybug Dysmicoccus spp. Phytopathology 88:1224-1230. Sether DM, Hu JS. 2002. Yield impact and spread of pineapple mealybug wilt associated virus-2 and mealybug wilt of pineapple in Hawaii. Plant Disease 86:867-874. Southwood TRE. 1978. The construction, description and analysis of age specific life tables. In. Ecological methods with particular reference to study of insect population, 2 nd ed. London: Chapman Hall. Stavinsky J, Funderburk J, Brodbeck BV, Olson SM, Andersen PC. 2002. Population dynamics of Frankniella spp. and tomatto spotted wilt incidence as influenced by cultural management tactics in tomato. Hort Entomol 956:1216-1221. 65 Subahar SST. 2000. Pengaruh perubahan fungsi lahan terhadap struktur komunitas arthropoda tanah, studi kasus di Bandung Utara. Di dalam. Prosiding Simposium Keanekaragaman Hayati Artropoda pada Sistem Produksi Pertanian. Cipayung: 16-18 Okt 2000. hlm 69-73. Sukowati S. 2004. Dampak perubahan lingkungan terhadap penyakit tular nyamuk vektor di Indonesia. Di dalam Prosiding Seminar Nasional Entomologi dalam Perubahan Lingkungan dan Sosial. Bogor: 5 Oktober 2004. PEI. hlm 1-16. Sulaiman SFM. 2000. Implication of the use of excess coir dust mulch in pineapple cultivation on the mealybug wilt disease of pineapple. Acta Hort 529: 321-335. Tarumingkeng RC. 1994. Dinamika Populasi Kajian Ekologi Kuantitatif. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Universitas Kristen Krida Wacana. Walton VM, Daane KM, Pringle KL. 2004. Monitoring Planococcus ficus in South African vineyards with sex pheromone-baited trap. Crop Protect 23:1089-1096. Waterhouse DF. 1998. Biological Control of Insect Pest, Southeast Asian prospects Monograph 51 Canberra: ACIAR. 66

BAB V BIOLOGI KUTU PUTIH

Dysmicoccus brevipes COCKERELL HEMIPTERA: PSEUDOCOCCIDAE PADA TANAMAN NENAS DAN KENCUR ABSTRAK Biologi hama kutu putih D. brevipes Cockerell diamati pada dua jenis tanaman inang pada kondisi laboratorium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui beberapa parameter biologi pada tanaman nenas A. comosus Linn. Merr. dan kencur Kaempferia galanga Linn.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis tanaman berpengaruh terhadap beberapa parameter kehidupan kutu putih. Perkembangan hidup kutu putih mengalami tiga instar nimfa sebelum menjadi imago. Lama perkembangan nimfa instar 1 sampai 3 pada nenas berturut- turut: 11.45±0.29 hari, 9.85±0.29 hari dan 10.80±0.31 hari. Sedangkan lama perkembangan nimfa pada kencur berturut-turut yaitu: 12.95±0.33 hari, 11.05±0.34 hari dan 11.55±0.20 hari. Total lama perkembangan nimfa masing- masing: 32.10±0.33 hari dan 35.55±0.43 hari pada nenas dan kencur. Pada nenas kutu putih lebih cepat bereproduksi dan waktu yang dibutuhkan untuk bereproduksi lebih lama dibandingkan pada kencur. Lama hidup imago masing- masing: 20.40±0.74 hari dan 20.20±0.57 hari pada nenas dan kencur. Kemampuan reproduksi betina kutu putih lebih tinggi pada nenas dibanding kencur. Rata-rata kemampuan reproduksi betina kutu putih masing-masing: 72.50±5.17 nimfa betina dan 23.40±2.61 nimfabetina pada nenas dan kencur. Hal ini menunjukkan kencur merupakan salah satu tanaman inang dari D. brevipes. Kata kunci: kutu putih, Dysmicoccus brevipes, tanaman inang, nenas, kencur, biologi. ABSTRACT The biological study of pineapple mealybug D. brevipes Cockerell was conducted under laboratory conditions using two plants, pineapple A. comosus Linn. Merr. and lesser galangale K. galanga Linn.. The objective of this study was to determine biological characters of D. brevipes. Mean development time of first, second and third instars of nymphs in pineapple were 11.45±0.29 days, 9.85±0.29 days and 10.80±0.31 days, respectively. On the other hand, the mean development period in lesser galangale were 12.95±0.33 days, 11.05±0.34 days and 11.55±0.20 days, respectively. The nymph’s development period on pineapple 32.10±0.33 days was shorter than those of lesser galangale 35.55±0.43 days. The adult life time in pineapple and lesser galangale were 20.40±0.74 days and 20.20±0.57 days, respectively. Mean fecundity of mealybug in pineapple 72.50±5.17 nymphs was higher than those of lasser galangale 23.40±2.61 nymphs. It was conclude from the results that lesser galangale can act as mealybug host plant. Word keys: mealybug, D. brevipes, host plant, pineapple, lesser galangale, biology. 67 PENDAHULUAN Kutu putih Dysmicoccus brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudococcidae merupakan hama utama pada pertanaman nenas di dunia Hernandes et al. 1999; Culik et al. 2005; CABI 2008. Kutu putih D. brevipes sangat merugikan pertanaman nenas karena peranannya sebagai vektor virus penyebab penyakit layu nenas Sether et al. 2004; 2005. Serangan hama ini dapat menyebabkan penurunan hasil buah baik kualitas maupun kuantitas Rohrbach Johnson 2003. Hama D. brevipes mula-mula dilaporkan Carter tahun 1935 dan merupakan spesies asli yang berasal dari Amerika Selatan Waterhouse 1998. Selanjutnya kutu putih ini menyebar ke berbagai negara di dunia yaitu di daerah subtropis sampai ke daerah tropis Williams dan Watson 1988. Hama ini sudah ditemukan di Indonesia yaitu: menyerang selain nenas, juga menyerang tanaman lainnya seperti: tebu, palem, kopi, pisang, kedele, kacang tanah dan pandan Kalshoven 1981. Hama ini bersifat polifag dan dilaporkan dapat menyerang lebih dari 100 genus pada 53 famili tanaman Dove 2005; CABI 2008. Kesesuaian serangga hama terhadap tanaman inang dapat diukur dari kemampuan populasi serangga yang berkaitan dengan bertahan hidup survival, pola pertumbuhan populasi dan lama perkembangan hidup spesies hama Tarumingkeng 1994. Menurut Hashimoto 2001 perkembangan kutu putih tergantung dari spesies, lingkungan dan kecocokan inang sebagai sumber makanan. Selain itu perkembangannya tergantung pada kultivar nenas Cecilia et al. 2004; Kumar 2006. Pada tanaman nenas di Hawai kutu putih dapat berkembangbiak secara partenogenesis Beardley 1965 dalam Waterhouse 1998 dan di Malaysia serta Brasil berkembangbiak secara sexual Lim 1973 dalam Waterhouse 1998; Mau Kessing 2007. Informasi biologi kutu putih D. brevipes di Indonesia masih terbatas, baik pada nenas maupun tanaman lainnya. Dari survei di perkebunan nenas rakyat di Subang, pola tanam polikultur tanaman nenas bersama kencur menunjukkan populasi kutu putih cukup tinggi. Sampai saat ini belum ada laporan tentang kencur sebagai tanaman inang kutu putih. Laporan terakhir tentang tanaman inang kutu putih, kencur belum teridentifikasi sebagai tanaman inang Dove 2005. Tiga