IDENTIFIKASI TEKNIK PENGENDALIAN KUTU

25 PENDAHULUAN Budidaya nenas merupakan usaha pertanian rakyat yang menjadi andalan Kabupaten Subang Propinsi Jawa Barat. Luas areal panen nenas di Kabupaten Subang mencapai 3253 ha dengan produksi 123 067 ton. Kondisi agroklimat yang cocok untuk budidaya nenas dan ketersediaan lahan-lahan yang belum dimanfaatkan memungkinkan peningkatan luas area dan produksi nenas di daerah ini. Kondisi suhu rata-rata daerah penanaman nenas di Subang sekitar 21-27 o C, pH tanah berkisar antara 5.5-7 dan terletak di daerah dengan ketinggian tempat 300-500 m di atas permukaan laut DPKS 2004. Pola usahatani nenas di daerah Subang pada umumnya masih skala kecil yaitu: tumbuh pada lahan-lahan pekarangan, lahan-lahan kosong, lahan bersama tanaman lainnya polikultur seperti di bawah pohon buah-buahan atau pohon- pohon kayu dan pada kebun-kebun yang ukurannya relatif kecil DPKS 2004. Usahatani nenas di daerah ini pada umumnya merupakan usaha pertanian rakyat yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Usahatani seperti ini memang umum ditemukan di pertanian Indonesia Mubyarto 1994. Masalah dalam produksi dan budidaya banyak dihadapi petani nenas antara lain : belum tersedianya varietas yang tahan, belum tersedianya bibit dalam jumlah banyak dan seragam, teknologi budidaya dan pasca panen yang belum tepat serta adanya serangan hama dan penyakit DPTP 1994. Hama utama pada tanaman nenas adalah kutu putih D. brevipes Petty et al. 2002. Kutu putih sangat berbahaya karena berperan sebagai penular virus penyakit layu nenas PMWaV Mau Kessing 2007. Tingkat serangan hama ini di Kabupaten Subang dilaporkan dapat mencapai 70 Asbani 2005. Masalah yang dihadapi petani adalah belum tersedianya tanaman yang tahan terhadap hama kutu putih. Untuk pengendalian hama umumnya petani berusaha melakukan pengendalian berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya. Namun dalam pengambilan keputusan pengendalian umumnya petani berdasarkan kondisi ekonomi saat itu. Petani akan mengadopsi teknik pengendalian hama yang sesuai dengan perekonomiannya, mencari teknik yang murah tetapi berhasil. Latar belakang petani baik pendidikan dan ketrampilannya mempengaruhi petani untuk mengambil sikap dan selanjutnya bertindak untuk mengambil 26 keputusan pengendalian hama dan penyakit. Upaya pengendalian hama dan penyakit dikembangkan berdasarkan kebiasaan ataupun informasi yang terbatas. Teknik pengendalian hama dan penyakit yang umum digunakan adalah dengan menggunakan tanaman tahan, cara budidaya, fisik mekanik, penggunaan parasitoid dan predator dan penggunaan pestisida Untung 1996. Berbagai teknik pengendalian sudah ada ditingkat petani. Namun teknik pengendalian yang dibutuhkan petani adalah pengendalian yang ekonomis, efektif dan ramah lingkungan. Teknik pengendalian yang sudah terbukti keberhasilannya adalah pengendalian hama terpadu PHT. Program PHT telah dikembangkan dan diimplementasikan untuk mengendalikan hama kutu putih dan penyakit layu di Hawai, USA. Komponen PHT meliputi: perbanyakan in vitro untuk mendapatkan bibit bebas virus, memilih area penanaman bebas virus, memusnahkan tanaman terserang, mengendalikan semut dan kutu putih, dan rotasi tanaman Agridep 2000; IPM 2008. Program PHT memiliki empat prinsip dasar yaitu: budidaya tanaman yang sehat, melestarikan dan mendayagunakan fungsi musuh alami, monitoring dan petani menjadi manager di lahannya sendiri. Tujuan PHT yaitu mengupayakan populasi hama dan kerusakan tanaman tetap berada pada tingkat yang tidak merugikan dan mengurangi pencemaran lingkungan oleh pestisida Untung 1996. Selain itu yang menjadi tujuan utama PHT adalah untuk meningkatkan keuntungan bagi petani Gallagher 1991. Faktor petani yang bertindak sebagai pelaku pengendalian di lapangan merupakan salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan PHT Untung 1996. Program pengendalian hama berhasil jika tindakan atau keputusan pengendalian hama yang dilakukan oleh petani tepat. Pengambilan keputusan pengendalian oleh petani ditentukan oleh empat faktor yaitu: permasalahan hama yang menyangkut tingkat serangan dan kehilangan hasil yang ditimbulkan, pilihan pengendalian yang tersedia bagi petani, persepsi petani terhadap permasalahan hama dan terhadap ketersediaan serta keefektifan dari berbagai pengendalian dan motivasi berusahatani. Dalam upaya penanggulangan hama tanaman nenas di Kabupaten Subang melalui program PHT, perlu diidentifikasi dan dianalisa secara menyeluruh 27 berbagai informasi mengenai berbagai faktor baik internal maupun ekternal yang berkaitan dengan petani setempat, masalah hama dan penyakit dan tindakan pengendalian yang dilakukan oleh petani. Untuk memperoleh informasi tersebut dilakukan penelitian dengan metode survei kepada petani di sentra produksi nenas yaitu: di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Teknik survei yang dilakukan yaitu survei diagnostik yang merupakan survei sederhana dan singkat yang bertujuan untuk mengidentifikasi keadaan dan masalah yang dihadapi petani dalam usaha taninya, termasuk dalam aspek pengendalian hama dan penyakit Burdani et al. 2001. Menurut Rauf 1996 survei dasar pada petani mencakup survei pengetahuan, sikap dan tindakan petani sangat penting dalam membuat rekomendasi teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk: 1 mendalami aspek-aspek yang berkaitan dengan petani dan teknik pengendalian D. brevipes yang diterapkan petani dan 2 identifikasi teknik pengendalian kutu putih dan penyakit layu pada tingkat petani. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret sampai April 2006 pada petani nenas di tiga desa yaitu : Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang. Penentuan tiga desa tersebut sebagai lokasi penelitian ditentukan secara purposif sampling yaitu : memiliki area nenas yang luas dan merupakan sentra produksi nenas di Kabupaten Subang serta banyak terserang oleh hama kutu putih D. brevipes. Peta lokasi penelitian disajikan pada Gambar 3.1. PE T A LO K AS I PE N E L ITIAN D E S A C IM A N G L ID , B U N IH A Y U , D A N C U R U G R E N D E N G U S k a la 1 :1 0 0. 0 0 0 10 0 0 10 0 0 20 0 0 M J ala n A rt e ri J ala n L a in J ala n L o k a l S u n g ai K e t e ra n ga n P eta P e m a n d a n ga n P ro p in s i Ja w a B ar a t Lo k a si P e n e li tia n N S u m b e r : P e t a A d m in is tr a s i K a b u p e ta n S u ba n g P RO G R A M S T U D I E N T O M O L O G I- FIT O P A T O L O G I S E K O L A H P A S CA S A R J A N A IN S T ITU T P E R T A NIA N B O G O R D e sa B u n iha yu D e sa C im a n gl id D e sa C u ru g re nd e ng Y Y Ib u k o ta K e c a m a ta n B og or Ba nd ung 6° 46 6° 44 6° 4 2 6° 40 6° 38 10 7 °3 8 10 7 °4 0 10 7 °4 2 10 7 °4 4 LS B T 7° 7° 10 7 ° 10 7 ° 10 8 ° 10 8 ° Su ba ng Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian 28 29 Metode Penelitian Penelitian menggunakan metode survei yaitu melakukan wawancara kepada petani responden dengan menggunakan kuesioner Lampiran 2. Penentuan Sampel Petani di tiga desa yang terpilih ditentukan secara purposive sampling yaitu petani yang sedang bekerja di kebun nenas sekitar pukul 8.00–15.00 WIB. Jumlah petani responden pada masing-masing desa Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng 10 orang. Jadi jumlah keseluruhan petani responden yang terpilih dari ketiga desa tersebut berjumlah 30 orang. Parameter Penelitian Parameter yang ditanyakan kepada petani mencakup faktor-faktor internal petani seperti: pendidikan, jumlah anggota keluarga, keikutsertaan dalam penyuluhan dan kelompok tani, kepemilikan lahan dan luas lahan yang dikelola. Selain itu ditanyakan teknik-teknik budidaya yang dilakukan petani mencakup verietas, asal bibit, jarak tanam, pemupukan dan lain-lain. Metode Analisis Data yang diperoleh berupa data primer dari petani, kemudian di rekapitulasi dan ditabulasi untuk mendapatkan persentase atau gambaran tentang pengetahuan karakter petani, sistem budidaya, masalah hama dan penyakit dan tindakan petani secara keseluruhan dalam pengendalian hama kutu putih. Untuk mengetahui keuntungan atau kerugian usahatani nenas yang dilakukan petani di tiga lokasi penelitian, dilakukan analisis RC rasio. Nilai RC rasio atau ReturnCost adalah hasil pembagian antara jumlah hasil yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Jika RC rasio 1 menujukkan usahatani tersebut menguntungkan, sebaliknya RC rasio 1 menujukkan usahatani tersebut rugi. 30 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Petani Nenas Umur seseorang pada umumnya dapat mempengaruhi aktivitas petani dalam pengelolaan usahataninya. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap petani responden, diketahui umumnya 63.33 umur petani nenas berkisar 20-50 tahun Tabel 3.1. Hasil ini hampir sama dengan laporan Rauf 1999 yang melaporkan bahwa lebih dari 60 petani kentang berusia 20-50 tahun. Jika dilihat dari penggolongan umur maka umur petani produktif berkisar antara 15-55 tahun Palebangan et al. 2006. Oleh sebab itu hasil survei ini menunjukkan petani nenas di Subang umumnya masih dalam kisaran umur produktif sehingga masih berpotensi untuk mengembangkan dirinya dalam meningkatkan produksi nenasnya. Menurut Soekartawi 1998 dalam kaitan dengan adopsi inovasi bahwa penerimaan inovasi paling tinggi adalah petani berusia paruh baya. Petani usia muda umumnya mempunyai semangat yang lebih besar untuk bekerja dan terlibat penuh dalam kegiatan yang berkaitan dengan usaha pertaniannnya. Jadi petani nenas di Jalancagak mempunyai peluang untuk menerima inovasi melalui penyuluhan-penyuluhan. Sebagian besar petani memiliki jumlah anggota keluarga 3-4 orang 76.66 responden. Jumlah anggota keluarga erat kaitannya dengan jumlah tanggungan petani sebagai kepala keluarga, terutama anggota keluarga non produktif. Tanggungan keluarga akan berkurang apabila anggota keluarga sudah berusia produktif dan ikut membantu dalam usahataninya. Tabel 3.1. Sebaran umur dan jumlah anggota keluarga tiap petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang n=30 Karakteristik petani Jumlah orang Persentase Umur Petani 20-30 4 13.33 31-40 10 33.33 41-50 5 16.67 51-60 3 10.00 61-70 8 26.67 Jumlah keluarga 0-2 2 6.67 3-4 23 76.66 4 5 16.67 31 Dari segi pendidikan, umumnya petani 66.67 hanya tamat SD. Petani yang tidak tamat SD berjumlah 23.33, hanya sedikit petani yang dapat mengenyam bangku SMP 3.33 dan SMA 6.67 Tabel 3.2. Tabel tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar petani memiliki tingkat pendidikan SD. Hasil ini sama seperti pernyataan Mulyadi 2006 yang menyatakan bahwa potret petani umumnya di Indonesia berpendidikan SD. Menurut Palebangan et al. 2006 makin tinggi tingkat pendidikan formal petani diharapkan makin rasional pola pikir dan daya nalarnya. Salikin 2003 menyatakan bahwa pengembangan SDM pertanian sebagai pelaku utama pembangunan pertanian sangat diharapkan dan merupakan suatu investasi masa depan menuju pertanian berkelanjutan. Oleh karena itu kegiatan pelatihan pemberdayaan petani dan penyuluhan bagi petani hendaknya ditingkatkan. Tabel 3.2. Pendidikan, penyuluhan dan keikutsertaan responden dalam kelompok tani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang n=30. Karakteristik petani Jumlah orang Persentase Pendidikan Tidak tamat SD 7 23.33 Tamat SD 20 66.67 SMP 1 3.33 SMA keatas 2 6.67 Penyuluhan Tidak pernah 6 20.00 Pernah 24 80.00 Kelompok tani Tidak ikut 4 13.33 Ikut 26 86.67 Selain faktor pendidikan formal, pendidikan non formal merupakan pendidikan di luar sistem formal dan bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat dalam arti luas Tampubolon 2004. Bentuk pendidikan non formal tersebut antara lain adalah penyuluhan dan pelatihan yang diselengarakan oleh kelompok tani. Umumnya petani 80 reponden pernah mengikuti kegiatan penyuluhan yang diselenggarakan oleh petugas penyuluh lapangan. Walaupun demikian berbagai inovasi yang disuluhkan belum tentu diterima oleh petani. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani. Oleh karena itu materi penyuluhan 32 di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang hendaknya disesuaikan dengan tingkat pendidikan petani di daerah ini. Selain itu juga sebagian besar petani berpartisipasi dalam kegiatan kelompok tani. Hal ini menunjukkan petani nenas pada umumnya memiliki pandangan positif terhadap manfaat kegiatan penyuluhan maupun kelompok tani. Petani sadar bahwa dengan mengikuti kegiatan penyuluhan maupun kelompok tani, mereka mendapatkan informasi yang berkaitan dengan upaya peningkatan sistem usahataninya sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dengan karakteristik petani yang didapatkan dalam penelitian ini maka pengelolaan usahatani nenas dapat ditingkatkan dengan penyuluhan yang sesuai karakteristik tersebut. Luas Lahan Garapan dan Kepemilikan Lahan Dari hasil wawancara dengan petani diperoleh data luas lahan garapan dan kepemilikan lahan petani, seperti ditampilkan pada Tabel 3.3. Lahan merupakan salah satu faktor produksi utama bagi petani sebagai sumber daya untuk menghasilkan pendapatan utama Palebangan et al. 2006. Lahan garapan yang sempit berkaitan dengan pendapatan petani yang terbatas. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar petani hampir 50 responden hanya memiliki lahan garapan yang relatif sempit atau kurang dari 0.25 ha. Sempitnya luas garapan nenas tersebut berkontribusi terhadap kemiskinan dan keterbatasan modal untuk mengembangkan usahataninya. Menurut Mubyarto 1994 rata-rata luas lahan garapan umumnya petani di Indonesia sangat sempit sekitar 0.10–0.49 ha. Menurut penelitian Purwoto 1993 luas lahan garapan mempengaruhi perilaku petani di Jawa Tengah dalam mengambil resiko. Petani yang memiliki luas garapan padi yang cukup luas dan lahan yang digarapnya relatif menyatu cenderung lebih berani dalam mengambil resiko usahataninya dibandingkan petani yang memiliki luas garapan yang sempit dan letaknya terpencar-pencar. Berdasarkan kepemilikan lahan, sebagian besar petani 80 responden menggarap tanahnya sendiri, tetapi ada juga sebagian petani hanya sebagai penyewa dan penggarap. Keterbatasan modal kerja menyebabkan petani yang tidak memiliki lahan atau petani penggarap hanya mengandalkan tenaganya dan 33 memanfaatkan lahan yang dimiliki perseorangan atau perusahaan perkebunan yang ada di sekitar desa tersebut. Dari gambaran umum kondisi sosial petani menunjukkan bahwa rata-rata petani di tiga desa penghasil nenas merupakan petani yang memiliki modal yang terbatas. Hasil ini merupakan potret petani di Indonesia, seperti dikemukakan Mulyadi 2006 bahwa pertanian yang ada sekarang didominasi oleh pertanian yang bercorak skala usaha kecil, yaitu 60 usahatani hanya memiliki lahan berukuran kurang dari 0.3 ha usahatani ”gurem” dengan lokasi usahatani yang terpencar-pencar. Tabel 3.3. Luas lahan garapan dan kepemilikan lahan oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang n=30 Lahan garapan dan kepemilikan lahan Jumlah orang Persentase Luas lahan garapan 0.25 14 46.67 0.25-0.5 9 30.00 0.5 7 23.33 Pemilikan lahan Penggarap 2 6.67 Penyewa 4 13.33 Pemilik 24 80.00 Sistem Budidaya Nenas Petani nenas di Subang umumnya 40 responden menggunakan jarak tanam yang bervariasi. Umumnya sistem pertanaman nenas dilakukan petani dengan sistem dua baris yaitu: jarak dalam baris 25-40 cm, jarak baris 25-50 cm Tabel 3.4 dan jarak antar baris bervariasi antara 100-150 cm. Jumlah tanaman ±30 000 tanamanha. Jarak tanam menurut standar operasional dalam produksi nenas SOP tergantung dari pada sistem tanam dan varietas yang digunakan PKBT 2007b, juga tergantung kesuburan tanah Ristek 2002. Menurut SOP, jarak tanam sistem dua baris adalah jarak dalam baris 30 cm, jarak baris 30 cm dan jarak antar baris 100 cm sehingga jumlah tanaman sekitar 50 000 tanamanha. Pada golongan Smooth Cayenne jarak tanam lebih lebar dibandingkan pada golongan Queen. Kepadatan tanaman yang ideal berkisar 44 000-77 000 bibit tanamanha Ristek 2002. Jadi, keputusan penanam nenas dengan jarak tanam 34 yang digunakan petani di Jalancagak dan populasi tanaman per ha hanya 30 000 tanaman jelas lebih rendah dari yang dianjurkan. Keputusan petani tersebut ada kaitan dengan kebiasaan petani setempat yang menanam tanaman tumpangsari diantara baris tanaman yang dapat menghasilkan sebelum panen nenas. Tabel 3.4. Hasil wawancara jarak tanam, varietas dan asal bibit yang ditanam oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang n=30 Uraian Jumlah orang Persentase Jarak tanam cm 25x25 5 16.67 25x30 7 23.33 30x40 4 13.33 40x50 14 46.67 Varietas yang ditanam Smooth Cayenne 27 90.00 Queen 0 0.00 Queen Smooth Cayenne 3 10.00 Pengambilan bibit dari Petani 24 80.00 Beli 6 20.00 Asal bibit Lahan sebelum tanpa seleksi 22 73.33 Lahan sebelum seleksi 2 6.67 Lahan lain tanpa seleksi 6 20.00 Lahan lain seleksi 0 0.00 Bibit yang digunakan petani responden umumnya varietas Smooth Cayenne 90 responden, yang berasal dari kebunnya sendiri 80 responden dan dibeli dari petani lainnya 20 responden. Menurut petani umumnya bibit yang ditanam tidak melalui seleksi bibit 73.33 responden, karena mereka yakin bahwa bibit yang berasal dari kebun mereka sendiri memiliki kualitas baik. Menurut Rohrbach dan Schmitt 2003 bibit merupakan salah satu media pembawa kutu putih, karena dapat terbawa melalui perpindahan bibit yang digunakan seperti: anakan, tunas dan mahkota. Oleh sebab itu penggunaan bibit yang sehat merupakan upaya penting untuk mencegah penyebaran hama kutu putih pada kebun yang lain ataupun ke daerah lainnya. Penerapan pemupukan oleh petani ditampilkan pada Tabel 3.5. Hasil wawancara menunjukkan bahwa dalam upaya peningkatan produksi, petani telah 35 menerapkan usahatani nenas dengan penggunaan pupuk baik pupuk dasar maupun pupuk lanjutan. Beberapa petani hanya menerapkan pupuk dasar, namun umumnya petani menerapkan aplikasi pupuk lanjutan dengan dosis aplikasi satu kali dalam setahun. Menurut petani dosis pupuk yang digunakan oleh petani hanya berdasarkan pengalaman budidaya nenas 60 responden. Sebagian petani responden menerapkan dosis yang mereka terima dari tim penyuluh dalam kegiatan budidaya nenas 40 responden. Tabel 3.5. Hasil wawancara tentang pemupukan, jumlah aplikasi dan informasi pemupukan n=30 Uraian Jumlah orang Persentase Pemupukan Ada 30 100.00 Tidak ada 0.00 Aplikasi pupuk Dasar organik 8 26.67 1 x setahun 13 43.33 2 x setahun 9 30.00 Informasi pemupukan Penyuluhan 12 40.00 Pengalaman sendiri 18 60.00 Dari hasil wawancara diketahui bahwa sebagian besar petani nenas melakukan pemupukan. Pemberian pupuk kandang sekitar satu kgtanaman setelah penanaman dilakukan oleh sebagian petani. Umumnya petani melakukan pemupukan lanjutan hanya sekali yaitu dengan pupuk urea 200 kgha dan SP-36 100 kgha. Sebagian petani juga telah menerapkan pemupukan dua kali sampai panen. Manurut SOP pemberian pupuk kandang dilakukan setelah penanaman, sekitar dua kgtanaman dan pemberian pupuk lanjutan dua kali dalam setahun yaitu: pemupukan pertama dilakukan tiga bulan setelah tanam BST dengan pupuk Urea 300 kgha, SP-36 100 kgha dan KCl 100 kgha. Pemberian pupuk kedua dilakukan menjelang pembungaan dengan Urea 150 kgha, SP-36 50 kg dan KCl 300 kg PKBT 2007b. Perbandingan pemupukan tanaman nenas menurut SOP PKBT 2007b dan petani responden di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang disajikan pada 36 Tabel 3.6. Dari segi pemupukan maka petani di Jalancagak masih belum mengikuti rekomendasi SOP baik dosis maupun frekuensi. Tabel 3.6. Pemupukan tanaman nenas menurut SOP dan rata-rata implementasi oleh petani di Kecamatan Jalancagak, Kabupaten Subang Pemupukan SOP Petani Dosis kgha Waktu pemberian BST Dosis kgha Waktu pemberian BST Pemupukan pertama Urea SP-36 KCl Pemupukan kedua Urea SP-36 KCl 300 100 100 150 0-50 300 3 3 3 10-14 10-14 10-14 200 100 100 25 100 3 3 12-14 12-14 12-14 Umumnya petani 73.33 menanam nenas secara polikultur Tabel 3.7. Penanaman nenas secara polikultur ini dipilih petani disebabkan lahan garapannya sempit dan tiadanya pendapatan sebelum panen. Untuk memenuhi kebutuhan hariannya petani terutama di Bunihayu menanam singkong, pisang, cabe atau kencur sebagai tanaman tumpangsari. Petani di Curugrendeng juga menanam tanaman lainnya seperti pisang dan singkong di pertanaman nenas. Sebelum panen, petani mengharapkan pendapatan dari tanaman tumpangsari tersebut. Beberapa petani terutama di Cimanglid menanam nenas di bawah pohon-pohon penghasil kayu seperti: jati dan sengon, buah-buahan seperti: durian, nangka, pisang dan rambutan. Tabel 3.7. Hasil wawancara pola tanam dan jenis tanaman polikultur pada tanaman nenas n=30 Uraian Jumlah orang Persentase Pola tanam Polikultur 22 73.33 Monokultur 8 26.67 Tanaman sela Pisang 7 23.33 Kencur 9 30.00 Singkong 2 6.67 Tanaman lain 4 13.33 37 Proses usahatani nenas di Subang meliputi: pengolahan tanah dan penyiapan bibit. Selanjutnya bibit ditanam sesuai jarak lubang tanam yang telah disiapkan. Pemupukan tanaman nenas dilakukan sesuai dengan kebiasaan petani. Umumnya petani melakukan penanaman secara polikultur yaitu menanam nenas bersama dengan tanaman lain seperti kencur dan tanaman hortikultura lainnya atau tanaman tumpangsari lainnya. Pemeliharaan tanaman oleh sebagian petani dilakukan dengan melakukan sanitasi lingkungan pertanaman yaitu mengeluarkan gulma dari kebunnya, namun sebagian petani kebunnya kurang terpelihara. Pengendalian hama terutama kutu putih umumnya dilakukan dengan menggunakan insektisida yang tersedia. Pemeliharaan tanaman berlangsung sampai tanaman menghasilkan buah. Selanjutnya panen dilakukan dan petani mensortir buah-buah berdasarkan ukurannya kemudian dijual kepada pedagang pengumpul atau langsung dijual di kios-kios buah atau ke pasar Gambar 3.2. A B C D E F G H Gambar 3.2. Proses usahatani nenas: pengolahan tanah A, penanaman bibit B, penanaman tanaman tumpangsari C, masa vegetatif D, masa generatif E, panen F, pengumpulan buah G, pemasaran buah nenas H. Hama dan Penyakit Tanaman Nenas Hasil wawancara dengan petani menunjukkan bahwa pada umumnya petani telah memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang hama. Hasil wawancara terhadap petani responden menunjukkan umumnya petani 66.67 responden 38 mengemukakan masalah hama nenas adalah hama kutu putih. Hama kutu putih umumnya sudah diketahui petani karena pernah mengikuti penyuluhan pertanian oleh tim penyuluh setempat. Para petani menyatakan bahwa hama kutu putih merupakan hama utama tanaman nenas dan adanya hama kutu putih dapat merugikan petani 66.67 responden. Beberapa petani menganggap hama yang merugikan adalah tikus 23.33 responden Tabel 3.8. Sikap petani terhadap hama umumnya ditunjukkan petani adalah sikap negatif artinya petani tidak menyukai kehadiran hama. Oleh sebab itu bagi petani semua serangga yang ditemukan di lapang dikatakan sebagai hama. Petani bersikap negatif karena menganggap semua serangga yang ditemukan dapat menyebabkan hasil panen berkurang yang nantinya berpengaruh pada menurunnya pendapatan petani. Akibatnya petani akan melakukan berbagai upaya pengendalian karena merasa terganggu dengan kehadiran serangga. Tabel 3.8. Hasil wawancara mengenai masalah hama dan tingkat serangan hama kutu putih n=30 Uraian Jumlah orang Persentase Masalah hama Kutu putih 20 66.67 Hama lundi 3 10.00 Tikus 7 23.33 Hama lain Tingkat serangan kutu putih 0-25 9 30.00 26-50 11 36.67 51-75 6 20.00 76-100 4 13.33 Menurut Rohrbach Johnson 2003 hama utama pada tanaman nenas yaitu: kutu putih D. brevipes, D. neobrevipes Hemiptera: Pseudococcidae, kutu perisai Diaspis bromeliea Hemiptera: Diaspididae, tungau Dolichotetranychus sp. Acarina: Tetranichidae dan lundi Lepidiota spp. Coleoptera: Scarabaeidae. Selain itu hama lainnya antara lain: trips Holopothrips anenasi Thysanoptera: Phlaeothripidae, lalat buah Antherigona sp. Diptera: Anthomyiidae, penggerek buah Thecla basilides Lepidoptera: Lycaenidae dan kumbang Carphophilus 39 hemipterus Coleoptera: Nitidulidae, rayap Ordo Isoptera dan tikus Rattus spp. Deptan 2006b. Pada saat wawancara, petani diminta untuk memperkirakan tingkat serangan hama kutu putih. Umumnya petani 56.67 responden menyatakan bahwa tingkat serangan kutu putih di kebun mereka antara 26-75. Sebagian responden 13.33 menyatakan tingkat serangan kutu putih di lahannya sangat tinggi sekitar 76-100. Umumnya petani menyatakan bahwa adanya hama kutu putih dan penyakit layu dapat menurunkan hasil nenasnya. Menurut petani responden, rata-rata kerugian akibat adanya hama kutu putih dan penyakit layu dapat merugikan hasil panennya sekitar 25. Petani umumnya menyatakan adanya serangan hama kutu putih dan penyakit layu akan menyebabkan buah yang dihasilkan ukurannya kecil atau kadang-kadang tidak berbuah. Menurut wawancara dengan petani, kejadian penyakit layu selalu ditemukan di lokasi kebun nenas. Penyakit sudah ditemukan oleh petani baik di desa Bunihayu, Curugrendeng dan Cimanglid. Kepada petani ditanyakan penyebab penyakit layu, jawaban petani menyatakan bahwa penyebab layu antara lain oleh: semut, cacing, hama kutu putih, kekurangan air dan pupuk Tabel 3.9. Tabel 3.9. Hasil wawancara pemahaman petani tentang masalah penyakit layu pada tanaman nenas n=30 Uraian Jumlah orang Persentase Kejadian penyakit layu Tidak ada 2 6.67 Jarang 12 40.00 Selalu ada 16 53.33 Tidak tahu Penyebab layu Semut 2 6.67 Cacing 2 6.67 Hama kutu putih 18 60.00 Kurang pupuk 3 10.00 Kurang air 5 16.66 Tidak tahu Peranan kutu putih sebagai vektor penyakit layu Tidak tahu 12 40.00 Ya 18 60.00 40 Sebagian besar petani 60 sudah mengetahui bahwa hama kutu putih berkaitan dengan penyakit layu. Pengetahuan ini diperoleh petani dari mengikuti penyuluhan yang diberikan oleh penyuluh pertanian lapangan. Peran serta petani dalam kelompok tani, memudahkan petani menerima informasi yang baru mengenai hama dan penyakit di tanaman mereka. Petani menerima informasi yang diberikan dengan mudah apabila penyuluh memberikan pengetahuan berdasarkan adanya gambar atau contoh hama dan atau bagian tanaman yang terserang. Petani menerima pengetahuan dari penyuluh pertanian bahwa penyebab penyakit layu tanaman nenas adalah virus yang dapat ditularkan oleh kutu putih, namun karena kekurangan modal menyebabkan tindakan penanggulangannya hama ini kurang mendapat perhatian. Hasil wawancara mendapatkan bahwa musuh alami seperti parasitoid dan predator belum dikenal oleh sebagian besar petani 90 Tabel 3.10. Saat ditanya tentang peran belalang sembah dan capung di pertanam nenas, banyak petani menganggap bahwa belalang sembah dan capung merupakan hama. Umumnya petani memahami bahwa semua serangga bersifat sebagai hama, sehingga semua musuh alami baik predator maupun parasitoid dianggap sebagai organisme yang menyebabkan kerugian. Sikap negatif petani terhadap musuh alami, menyebabkan ketidakperdulian terhadap musuh alami, bahkan berusaha untuk mengendalikannya. Tabel 3.10. Hasil wawancara dengan petani tentang peranan musuh alami dan perlunya pengendalian kimia n=30 Uraian Jumlah orang Persentase Peranan musuh alami bagi pengendalian kutu putih Tidak tahu 27 90.00 Ya 3 10.00 Perlu pengendalian kimia Tidak 12 40.00 Perlu 18 60.00 Persepsi petani bahwa semua serangga yang ada dipertanaman perlu dikendalikan. Untuk itu upaya yang dilakukan petani pada umumnya 60 responden adalah melakukan pengendalian dengan menggunakan bahan-bahan 41 kimia. Pestisida dianggap bahan yang ampuh untuk mengendalikan hama apapun. Pestisida yang sering digunakan oleh petani nenas di Subang umumnya berasal dari golongan organofosfat antara lain: Elsan 60 EC dan Dharmasan 600 EC b.a Fentoat, Diazinon 60 EC b.a Diazinon dan golongan piretroid seperti Decis 2.5 EC b.a Deltametrin 25 gl dan Azodrin. Untuk pengendalian penyakit petani menggunakan Dithane M45 80 WP b.a Mankozeb. Semua jenis pestisida yang digunakan petani diperoleh dari toko-toko yang menjual alat dan bahan pertanian. Penggunaan jenis tertentu untuk pengendalian hama umumnya didasarkan atas pengalaman pribadi, pendidikan orang tua, mendengar informasi dari teman- teman petani, penjual bahan pestisida dan informasi dari penyuluh pertanian. Menurut petani, penggunaan pestisida ini disebabkan cara penggunaannya mudah, sudah umum digunakan dan cepat terlihat hasilnya. Pengetahuan petani yang masih kurang tentang pengendalian hama terpadu PHT menyebabkan petani masih mengandalkan insektisida. Petani mengambil tindakan penggunaan insektisida dalam pengendalian karena pengetahuannya yang terbatas yang menganggap semua serangga adalah hama, dan menganggap jika hama dibiarkan dapat beresiko terhadap kegagalan hasil usahataninya. Kalau dibandingkan dengan SOP, pengendalian kutu putih dapat digunakan insektisida sesuai dosis anjuran dan dilakukan pada saat populasi kutu putih meningkat. Insektisida yang disarankan untuk pengendalian kutu putih adalah Paration, Ferfection dan Azodrin PKBTb 2007. Dalam pengendalian kutu putih petani lainnya memilih tindakan untuk mencabut dan membuang tanaman sakit. Petani tersebut sudah benar dalam hal memisahkan tanaman sakit dari yang sehat, namun usaha tersebut kurang bermanfaat karena tanaman tersebut dibuang di sekeliling pertanaman. Tanaman tersebut dapat menjadi sumber penularan kutu putih dan penyakit layu pada tanaman lainnya. Berdasarkan tindakan pengendalian yang dilakukan petani di atas yang cenderung mengandalkan pengendalian secara kimia, maka perlu tindakan dan upaya penyuluhan lebih terarah pada tindakan pengendalian secara terpadu. Tindakan pengendalian penyakit layu dapat dilakukan melalui tindakan prefentif seperti: perendaman bibit nenas dalam larutan pestisida sebelum ditanam dan 42 menghindari penanaman nenas di sekitar tanaman inang dari vektor D. brevipes seperti tebu, padi, kopi, pisang kedelai dan kacang tanah PKBT 2007b, melakukan eradikasi pada tanaman yang sudah terserang dan membersihkan lahan secara teratur dari gulma dan tanaman yang terserang. Untuk pengendalian kutu putih D. brevipes dapat dilakukan dengan teknik pengendalian hama secara terpadu PHT IPM 2008; Ohmart 2008. Analisis Keuntungan Budidaya Nenas Wawancara dengan petani mengungkapkan harga nenas di Subang pada tingkat petani umumnya berkisar Rp 400-1000 per buah. Harga buah nenas di tingkat petani sangat tergantung dari kualitas buah dan masa panen. Pada saat produksi nenas meningkat dan tersedia buah-buahan lain maka harga akan turun. Harga nenas di tingkat pedagang pengumpul sekitar Rp 1000-1500 per kg tergantung ukuran dan mutu buah nenas. Harga nenas di kios-kios buah yang terdapat di pinggir jalan berkisar antara Rp 2000-4000 per buah. Sedangkan untuk nenas yang berkualitas baik seperti nenas madu, harganya lebih mahal, dapat mencapai Rp 5000-6000 per buahnya. Menurut petani usahatani nenas memberikan keuntungan bagi mereka. Untuk menunjukkan keberhasilan usahatani dilakukan analisis terhadap jumlah pendapatan R dan jumlah pengeluaran C dalam usahatani nenas. Hasil analisis menunjukkan usahatani nenas oleh petani di desa Bunihayu RC rasio 1.22, Cimanglid RC rasio 1.43 dan Curugrendeng RC rasio 1.23 Lampiran 3. Sebanding dengan laporan dinas pertanian bahwa usahatani standar Jawa Barat RC rasio 1.28 DPKS 2004. Hasil analisis tersebut menyatakan bahwa usahatani di tiga lokasi penelitian cukup memberi keuntungan, dengan demikian usahatani nenas bisa dikembangkan dengan menekankan pada praktek budidaya yang baik dan penerapan pengendalian yang ramah lingkungan. Untuk itu diperlukan peran aktif dari para penyuluh pertanian lapangan PPL untuk menginformasikan dan membantu petani menerapkan program pengendalian hama secara terpadu PHT pada tanaman nenas. 43 KESIMPULAN Petani nenas umumnya berpendidikan relatif rendah dan tergolong dalam petani produktif berumur 20-50 tahun serta memiliki lahan garapannya relatif sempit di bawah 0.25 ha. Teknik budidaya yang diterapkan petani umumnya belum optimal seperti: belum menggunakan bibit sehat, jarak tanam yang belum seragam, pemupukan belum mengikuti standar operasional dan pola tanam nenas secara polikultur. Masalah utama petani dalam budidaya nenas adalah kutu putih D. brevipes. Tingkat serangan kutu putih menurut petani yang terjadi di lahannya bervariasi, umumnya serangannya sekitar 26-75. Tindakan petani dalam pengendalian kutu putih dan penyakit layu lebih berorientasi pada penggunaan pestisida. DAFTAR PUSTAKA [AGRIDEP] Agriculture Departement 2000. Production on high yield and quality most varities. [terhubung berkala]. http:www.agridep.gov.lk news newsindx.htm. [12 Feb 2008]. Asbani N. 2005. Kelimpahan dan parasitoid kutu putih Dysmicoccus brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudococcidae serta keanekaragaman semut pada tanaman nenas. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Burdani, DH, Supramana, Widodo. 2001. Studi lini penyakit busuk umbi pada talas Colocasia esculenta L. Schott. di wilayah Bogor. Bul Hama dan Penyakit 131:6-14. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Nenas Ananas comosus. Direktorat Budidaya Tanaman Buah. Direktorat Jenderal Hortikultura Departemen Pertanian. 70 hal. [DPKS] Dinas Pertanian Daerah Kabupaten Subang. 2004. Profil Nenas di Kabupaten Subang. www.nenas\Direktorat Tanaman Buah, Ditjen Bina Produksi Hortikultura_files\Kab_subang.htm. [DPTP] Dinas Pertanian Tanaman Pangan. 1994. Penuntun Budidaya Hortikultura Nenas . Proyek Peningkatan Produksi Tanaman Pangan. Dinas Pertanian Tanaman Pangan. Propinsi Daerah Tingkat I Bengkulu. 238 hal. Gallaher KD. 1991. Old and New Consept of IPM. Discussion Paper. Bogor: 19 Sept 1991. Institut Pertanian Bogor. 44 [IPM] Integrated Pest Management. 2008. Crop Profile for Pineapple in Hawaii. [terhubung berkala]. http:www.ipmcenter.orgCropProfiledocspineapples. html. [12 Feb 2008 ]. Mau RFL, Kessing JLM. 2007. Dysmicoccus brevipes Cockerell pink pineapple mealybug. http:www.extento.hawaii.eduKbasecropType d_brevip. htm. [15 Feb 2008]. Mubyarto. 1994. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia. 305 hlm. Mulyadi S. 2006. Ekonomi Sumber Daya Manusia dalam Perspektif Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 247 hlm. Ohmart C. 2008. What is Integrated Pest Management. [terhubung berkala]. http:www . protected harvest. orglearnmoreipm.htm. [15 Feb 2008]. Palebangan S, Hamzah F, Dahlan, Kaharuddin. 2006. Persepsi petani terhadap pemanfaatan bokasi jerami pada tanaman ubi jalar dalam penerapan sistem pertanian organik. J Agrisistem l21: 46-53. Petty GJ, Stirling GJ, Bartholomew DP. 2002. Pest of pineapple. Di dalam: Pena JE, Shap J, Wisoki M. editor. Tropical fruit pests and pollinators. USA: CAB International Publ. [PKBT] Pusat Kajian Buah-buahan Tropika. 2007. Acuan Standar Operasional Produksi Nenas . Bogor: Pusat Kajian Buah-buahan Tropika LPPM-IPB. Purwoto A. 1993. Sikap petani terhadap resiko produksi padi dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. J Agro Ekonomi Vol 122. Bogor: Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Rauf A, 1996. Analisis ekosistem dalam pengendalian hama terpadu. Di dalam: Pelatihan Peramalan Hama dan Penyakit Tanaman Padi dan Palawija Tingkat Nasional . Jatisari: 2-19 Jan 1996. Rauf A, 1999. Persepsi dan tindakan petani terhadap lalat penggorok daun Liriomyza huidobrensis Blanchard Diptera: Agromyzidae. Buletin HPT 111:1-13. [Ristek] Perindustrian dan Teknologi. 2002. Nanas. Jakarta: Kantor Deputi Menegristek Bidang Pemberdayaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. httpwww.ristek.go.id. [20 Maret 2008]. Rohrbach KG, Schmitt D. 2003. Disease of Pineapple. CAB International. Di dalam : R.C Ploetz, editor. Disease of tropical Fruit Crop. South Applefield Circle, Elizabeth USA: CABI Publ. Rohrbach KG, Johnson M. 2003. Pest Disease and Weeds. Di dalam Bartholomew DP, Paull RE Rohrbach KG. Pineapple Botani, Production and Uses. Wallingford Oxon: CABI Publ. Hlm 203-251. Salikin KA. 2003. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Jogjakarta: Karnisius. 45 Soekartawi. 1998. Pembangunan Pertanian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Tampubolon M. 2004. Problematik dan Prospek Pembangunan Masyarakat Desa Ditinjau dari Segi Pendidikan Non Formal. www. Depdiknas.go.idjurnal. htm [12 Agt 2006]. Untung K. 1996. Pengantar Pengelolaan Hama Terpadu. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 271 hlm. 46

BAB IV KELIMPAHAN POPULASI KUTU PUTIH

Dysmicoccus brevipes COCKERELL PADA TANAMAN NENAS DI TIGA DESA DAN DUA MUSIM YANG BERBEDA ABSTRAK Kutu putih D. brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudococcidae telah tersebar di beberapa kebun di sentra produksi nenas di Kabupaten Subang. Suatu rangkaian penelitian survei kelimpahan populasi kutu putih telah dilakukan dari bulan Maret 2006 sampai Februari 2007. Lokasi penelitian yaitu beberapa kebun di desa penghasil nenas di Subang yaitu desa Bunihayu, Cimanglid dan Curugrendeng. Pengamatan mula-mula dilakukan untuk melihat penyebaran kutu putih pada bagian tanaman yang terserang. Hasil penelitian menunjukkan penyebaran vertikal kutu putih tanaman mulai dari akar, daun, tangkai buah, buah dan mahkota. Populasi kutu putih yang ditemukan lebih tinggi pada bagian daun terutama bagian pangkal daun dibandingkan pada bagian tanaman lainnya. Populasi kutu putih di Bunihayu 16.72 individutanaman, Cimanglid 1.76 individutanaman dan Curugrendeng 6.64 individutanaman. Tingkat serangan kutu putih di desa Bunihayu 70.56 lebih tinggi dibandingkan di desa Cimanglid 27.22 dan Curugrendeng 42.78. Tingkat serangan virus penyakit layu nenas PMWaV lebih tinggi ditemukan di desa Bunihayu, berkaitan dengan tingginya serangan kutu putih di daerah ini. Di Bunihayu, kelimpahan populasi diamati selama musim hujan dan kemarau pada tahun 20062007. Hasil penelitian menunjukkan kelimpahan populasi kutu putih rendah selama musim hujan dan meningkat selama musim kemarau. Kata kunci: D. brevipes, kutu putih, nenas, kelimpahan populasi, penyebaran vertikal, penyakit layu, musim. ABSTRACT The pineapple mealybug, D. brevipes Cockerell Hemiptera: Pseudo- coccidae, has been distributed in several areas of center production of pineapple at Subang Regency. A serial survey study of mealybug populations was monitored in field during March 2006-February 2007. There were several farmer fields locations: Bunihayu, Cimanglid and Curugrendeng. The vertical distribution of the pineapple mealybug was found on all parts of pineapple plants such as root, leaf, fruit and crown. The mealybug population on the leaf were found to be higher than that of the other parts of plant. The mealybug population and damage level in field at Bunihayu village were higher compared to those of Cimanglid and Curugrendeng. Pineapple mealybug wilt disease incidence was higher in field at Bunihayu than that of the other areas. Mealybug population was found to be higher in Bunihayu during dry seasons than in rainy seasons during the period 2006-2007. Keyword: D. brevipes, mealybug, pineapple, population abundance, vertical distribution, pineapple mealybug wilt disease, season. 47 PENDAHULUAN Kelimpahan populasi merupakan jumlah individu per unit area Norris et al . 2003. Kelimpahan populasi selain bervariasi pada suatu tempat ke tempat yang lain, juga bervariasi secara temporal di suatu tempat Southwood 1978. Jumlah organisme di dalam populasi mengalami perubahan sepanjang waktu sebagai hasil dari berbagai faktor yang berkaitan seperti: kelahiran, kematian, imigrasi dan emigrasi Tarumingkeng 1994; Norris et al. 2003. Populasi organisme di suatu ekosistem bisa naik atau turun dipengaruhi oleh faktor lingkungan fisik, inang atau sumber makanan, ruang dan populasi itu sendiri Dent 1995. Faktor lainnya yang mempengaruhi perubahan populasi serangga yaitu: topografi lahan dan pola usaha tani Raharjo 2004 serta perubahan fungsi lahan Subahar 2000. Faktor iklim berpengaruh langsung terhadap komposisi spesies, habitat perkembangbiakan, kelangsungan hidup, penularan dan populasi serangga vektor Sukowati 2004. Populasi vektor menentukan berhasil tidaknya penularan penyakit oleh vektor. Menurut Stavinsky et al. 2002 peningkatan populasi vektor akan meningkatkan kejadian penyakit layu. Demikian juga dengan vektor penyakit layu nenas yaitu kutu putih D. brevipes Sulaiman 2000; Sether Hu 2002; Mau Kessing 2007. Tidak terkendalinya populasi vektor dapat mengakibatkan meningkatnya kejadian penyakit layu. Adanya virus PMWaV bersama-sama dengan tingginya populasi vektor dapat menyebabkan kematian tanaman Hernandes et al. 1999; Sether Hu 2002. D. brevipes perlu dikendalikan karena karena semua stadia kutu putih menjadi vektor yang efektif dalam penularan virus PMWaV Sether et al. 1998. Keberadaan kutu putih D. brevipes petama kali dilaporkan di Hawai pada tahun 1910 Waterhouse 1998. Penyebaran hama ini dilaporkan meluas di ber- bagai negara seperti: Fiji, Jamaica, Australia, Afrika, Mexico, Micronesia, Taiwan dan Asia Tenggara Waterhouse 1998; Mau Kessing 2007. Hama ini juga ditemukan di Indonesia terutama di pulau Jawa Kalshoven 1981.