crime tidak semudah membalikan telak tangan, maka dari itu penentuan locus delicti menggunakan teori yang ada yaitu: teori perbuatan materiil, teori alat
yang digunakan dalam kejahatan, dan teori akibat. Penyebutan tempus dan locus delicti penting untuk menakar kadar daluwarsa suatu perkara, jangan
sampai terlewat waktu, unsur locus menentukan menentukan kompetensi pengadilan untuk mengadili. Selain itu dalam kepolisian untuk mengungkap
kejahatan mayantara dalam menentukan locus delicti perlunya ahli forensik telematika dalam kepolisian untuk melacak kejahatan tersebut dan alat khusus
untuk melacak kejahatan tersebut dan dalam persidangan nanti jaksa juga perlu adanya saksi ahli telematika untuk dihadapkan sebagai saksi di
persidangan. Dalam persidangan pun penentuan locus delicti juga salah satu pertimbangan hakim juga dalam mengambil keputusan dalam suatu tindak
pidana.
4.2 Pengaturan kewenangan Pengadilan terhadap kejahatan cyber
crime
Kekuasaan dalam mengadili ada dua hal, yang biasa disebut dengan kompetensi yaitu yang pertama kompetensi relatif yakni kewenangan wilayah
hukum suatu Pengadilan Negara untuk mengadili suatu perkara pidana, kata lain Pengadilan Negara mana yang berwenang mengadili suatu peristiwa
pidana, sedangkan yang kedua kompetensi absolut yaitu kewenangan pengadilan untuk mengadili perkara berdasarkan atas tingkatan pengadilan
lain. Dalam penentuan suatu pengadilan, jaksa penuntut umum melihat dari domisili si pelaku, dan banyaknya saksi yang ada untuk mempermudah dalam
proses peradilan nantinya. Pengaturan Pengadilan Negeri yang berhak untuk mengadili diatur dalam KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana tetapi pengaturan tempus dan locus delicti tidak diatur dalam KUHAP maupun di luar Undang-undang lainnya, karena KUHAP hanya mengatur
sebagai berikut: Pasal 84 KUHAP :
1. “Pengadilan Negeri berwenang mengadili segala perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumya.
2. Pengadilan Negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, di tempat ia diketemukan atau
ditahan, hanya berwenang mengadili perkara terdakwa tersebut, apabila tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih
dekat pada tempat Pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang di dalam daerahnya tindak pidana itu
dilakukan.
3. Apabila seorang terdakwa melakukan bebebrapa tindak pidana dalam daerah hukum Pengadilan Negeri, maka tiap Pengadilan Negeri itu
masing-masing berwenang mengadili perkara pidana itu. 4. Terhadap beberapa perkara pidana yang satu sama lain ada sangkut
pautnya dan dilakukan oleh seorang dalam daerah hukum berbagai Pengadilan Negeri, diadili oleh masing-masing Pengadilan Negeri
dengan ketentuan dibuka kemungkinan penggabungan perkara tersebut”.
Pasal 85, KUHAP: “Dalam hal keadaan daerah tidak mengizinkan suatu Pengadilan Negeri
untuk mengadili suatu perkara, maka atas usul ketua Pengadilan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan, Mahkamah Agung
mengusulkan kepada Menteri Kehakiman untuk menetapkan atau menunjuk Pengadilan Negeri lain daripada yang tersebut pada Pasal 84
untuk mengadili perkara yang dimaksud”.
Pasal 86, KUHAP: “Apabila seorang melakukan tindak pidana diluar negeri yang dapat
diadili menurut hukum Republik Indonesia, maka Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang berwenang mengadilinya.”
Menurut keterangan Kepala Unit Informasi dan cyber crime Badan
Reserse Kriminal Khusus Polda Jawa Tengah, Kompol Iswanto penyidik kejahatan khusus mayantara dalam wawancara penelitian, pada 9 September
2012 pukul 17.00 WIB, menerangkan bahwa: “Dalam proses penyidikan dalam kepolisian penyidik hanya menentukan
tempus dan locus delicti tindak pidana yang telah terjadi dengan menggunakan teori yang ada, ada 4 teori yakni sebagai berikut:
1. Teori tempat dimana tindak pidana tersebut dilakukan
2. Alat yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
3. Akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut
Untuk menentukan pengaturan pengadilan yang berhak untuk mengadili tindak pidana cyber crime didalam kepolisian tidak menentukan hal tersebut
melainkan hanya menentukan tempus dan locus cyber crime karena untuk penentuan kewenangan pengadilan yang berhak untuk mengadili tindak
pidana adalah kewenangan dari pihak kejaksaan bukan dari pihak kepolisian.
Hasil penelitian di Kejaksaan Negeri Semarang mengenai penentuan kewenangan relatif atau kewenangan Pengadilan yang berhak untuk mengadili
kejahatan yang berhubungan dengan kejahatan dunia mayantara yang bersangkutan tentang penyalahgunaan teknologi dan informatika. Bapak
Agung Dhedy, S.H., M.H selaku jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Semarang yang menangani tindak pidana khusus mengungkapkan bahwa:
“Kewenangan untuk mengadili pelaku kejahatan biasa maupun kejahatan khusus seperti kejahatan cyber crime itu sama seperti tempat pelaku
melakukan kejahatannya, domisili pelaku, akibat yang ditimbulkan pelaku,
dan banyaknya saksi-saksi, namun yang membedakan nantinya adalah kejahatan biasa penentuan tempus dan locus delicti dan kewenangan
pengadilan mudah diketahui dan dilacak namun tindak pidana cyber crime kebalikannya. Setelah berkas dari kepolisian dilimpahkan ke Penuntut umum
dan penuntut umum mengeluarkan P-21, maka penentuan pengadilan yang mengadili kejahatan tersebut ditentukan oleh penuntut umum yang didasarkan
pada domisili terdakwa tinggal, tempat terjadinya perkara dilakukan dan banyaknya saksi-saksi dan bukti-bukti dalam kejahatan yang dilakukan oleh
terdakwa”. Dari paparan di atas, bahwa penentuan tempus dan locus delicti cyber
crime dalam tingkat penuntutan memang perlu dianalisis kembali setelah mendapatkan berkas dari kepolisian penyidik karena tidak cukup di
kepolisian saja menganalisis tempus dan locus tindak pidana cyber crime karena nantinya penentuan tempus dan locus delicti tersebut berperan penting
untuk pembuatan surat dakwaan yang menentukan sah atau tidaknya surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum. Mengingat kejahatan tersebut
dilakukan menggunakan teknologi yang memerlukan saksi ahli khusus telematika untuk membantu jaksa penuntut umum dalam menangani kasus
cyber crime, untuk membantu penuntut umum dalam menyelesaikan dan membuktikan kejahatan tersebut. Selain itu penentuan tempus dan locus
delicti dalam Pasal 15 Undang-undang No.8 tahun 1981 KUHAP, menyatakan bahwa penuntut umum menuntut perkara tindak pidana yang
terjadi dalam daerah hukumnya menurut ketentuan undang-undang. Dari tingkat penyidikan di kepolisian dan prapenuntutan di kejaksaan tersebut
nantinya berpengaruh pada menentukan kewenangan pengadilan yang berhak untuk mengadili suatu tindak pidana.
Dari hasil putusan Pengadilan Negeri Semarang Kasus tersebut sudah diputus dengan putusan Nomor: 363PidB2012PN.Smg, pada tanggal 26
Juni 2012, oleh hakim Pengadilan Negeri Semarang yang sebagai berikut: “pertimbangan tersebut dapat dianalisis bahwa penentuan tempus dan locus
delicti yang berhubungan dengan pemanfaatkan teknologi informatika yang disalah gunakan untuk melakukan kejahatan yang meresahkan dan merugikan
orang lain yakni dengan melakukan penghinaan, mencemarkan orang lain dengan menggunakan hand phone yang dilakukan tersangka “A” yang
menjadi terdakwa yang mengirim sms kepada saksi korban “B” dengan kata- kata yang tidak pantas, yang dilakukan di rumah terdakwa. Penentuan
kewenangan pengadilan tersebut didasarkan atas domisili pelaku, banyaknya saksi-saksi, dan barang bukti, alat bukti yang dipergunakan oleh pelaku yang
berada di Semarang. Penentuan tempus dan locus delicti dalam putusan tersebut tersangka melakukan kejahatan tersebut di rumah di jalan Karangroto
Rt04II,Semarang, yang daerah tersebut masih dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Semarang, maka dari itu jelas penentuan tempus dan locus
delicti tersebut berpengaruh penting dalam surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum dan juga penting dalam penentuan daerah kewenangan
Pengadilan Negeri Semarang yang berhak untuk mengadili”. Wawancara dengan Mujahri, S.H sebagai hakim kasus tindak pidana
umum, 27 Januari 2013, pukul 10.00 WIB, beliau menyatakan sebagai berikut:
“Dalam hal pengaturan Pengadilan yang berwenang dalam mengadili suatu perkara tindak pidana diatur dalam Pasal 84,85,dan Pasal 86 KUHAP,
namun apabila dalam hal pengadilan yang berwenang tidak berhak untuk mengadili perkara tersebut, maka dari itu hakim ketua sidang karena
jabatannya walaupun tidak ada perlawanan, setelah pendengar pendapat penuntut umum dan terdakwa dengan surat penetapan yang memuat alasannya
dapat menyatakan pengadilan tidak berwenang dan persidangan tidak dapat dilanjutkan. Dan atas perkaranya atas izin dari Ketua Pengadilan Negeri
perkara tersebut dikembalikan ke Kejaksaan untuk dapat dilimpahkan ke
Pengadilan Negeri yang berhak untuk mengadili kasus tersebut”. Dalam pengaturan kewenangan pengadilan itu sendiri sudah diatur dalam
Pasal 84-86 KUHAP Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana di pasal tersebut sudah diatur secara jelas pengaturan kewenangan pengadilan terhadap
tindak pidana. Dari hasil penelitian penetuan tempus dan locus delicti kejahatan cyber crime yang dilakukan oleh kejaksaan hanya berpatokan pada
teori yang pertama yaitu teori perbuatan materiilnya tempat dimana pelaku melakukan kejahatan, begitu juga dalam penentuan kewenangan pengadilan
yang ditentukan oleh penuntut umum yang didasarkan pada ketentuan- ketentuan tertentu yang telah sesuai dengan Pasal 84-86 KUHAP Kitab
Undang-undang Hukum Pidana. Dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang KUHAP tidak membahas mengenai tempus dan locus delicti, tetapi
menentukan kompetensi relatif Pengadilan Negeri. Pasal 84 Undang-undang No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, Pengadilan Negeri berwenang mengadili
perkara pidana yang dilakukan di daerah hukumnya forum delik comissi, sehingga ketua Pengadilan Negeri dapat menetapkan:
Pengadilan Negeri berwenang mengadili: menunjuk hakim yang mengadili kasus tersebut, dan menetapkan hari sidang.
Pengadilan Negeri berwenang mengadili: dengan surat penentapan penyerahan surat pelimpahan perkara ke PN lain yang dianggap
berwenang mengadili, dan berkas dikembalikan kepada penuntut umum.
78
BAB 5 PENUTUP
5.1 Simpulan