Faktor- Faktor Penyebab Agresivitas

a. Frustrasi Frustrasi bisa mempengaruhi kemungkinan untuk melakukan serangan terbuka, mereka bisa menjadi agresif meskipun hanya menemui rintangan yang sifatnya legal atau tak sengaja. Dorongan agresif mungkin tidak selalu tampak mata, akan tetapi bisa juga rintangan yang tidak bertentangan dengan kaidah sosial menyebabkan kecenderungan agresi. b. Perasaan negatif Perasaan negatif merupakan akar dari agresi emosional. Salah satu bentuk dari perasaan negatif adalah inferiority feeling. Inferiority feeling adalah suatu bentuk perasaan negatif terhadap dirinya sendiri Jalaludin, 1977:98. Berko- witz 1995: 75 yang mengatakan bahwa individu mengamuk baik secara ver- bal maupun secara fisik karena merasa terhina atau merasa harga dirinya ter- singgung. c. Pikiran atau kognitif Penilaian mungkin tidak begitu penting, tetapi jelas bisa mempunyai pengaruh besar. Paling tidak, interpretasi bisa menentukan apakah kejadian emosional menyenangkan atau tidak menyenangkan, seberapa kuat perasaan yang ditim- bulkan dan apakah faktor penahan memainkan peranan. Dengan demikian, pikiran dapat mempengaruhi agresivitas seseorang dengan menentukan kejadi- an emosionalnya terlebih dahulu. Berkowitz 1995:112 menyatakan bahwa kita menjadi marah hanya ketika kita berkeyakinan bahwa ada yang berbuat salah pada kita atau sengaja mengancam kita, dan kemudian kita ingin menyakiti orang itu karena kemarahan kita. d. Pengalaman masa kecil Pengalaman pada waktu masih kecil memiliki kemungkinan untuk menjadikan anak bertinda agresi emosional, sehingga waktu dewasa menjadi agresif dan anti sosial. e. Pengaruh teman Teman merupakan salah satu agen sosialisasi yang dijumpai anak-anak dalam kehidupan, dari waktu kecil hingga dewasa. Teman ini mengajari cara bertin- dak dalam situasi tertentu, dengan berperan sebagai model dan dengan mem- beri suatu penerimaan atau dukungan apabila mereka bertindak dengan cara yang dianggap pas. f. Pengaruh kelompok geng Dalam kelompok atau geng, anak-anak merasa dapat penerimaan dan status, mereka merasa penting dalam geng, sementara di tempat lain tidak berharga. Mereka juga mendapatkan dukungan bahwa pandangan dan sikap mereka ber- sama itu benar, bahkan bahaya yang mereka takuti dapat diatasi. Dukungan ini memainkan peran penting pada perilaku agresif anak. Seorang anak yang men- galami penyimpangan sosial mungkin tidak berani melanggar hukum, tetapi ji- ka bersama teman-teman anggota geng, ia merasa berani dan aman. g. Kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orang tua Kondisi tidak menyenangkan ini dapat berupa memberikan sikap dingin, acuh, tidak konsisten terhadap apa yang diinginkan dari si anak, serta memberikan hukuman yang brutal jika si anak tidak mematuhi perintah. Dari kondisi tak menyenangkan tersebut, dapat dipastikan bahwa anak akan menjadi relatif agresif apabila berada di luar lingkungan keluarga. h. Konflik keluarga Banyak yang beranggapan bahwa banyak anak nakal merupakan korban penyimpangan sosial dari kondisi keluarga abnormal. Hal tersebut dikarenakan mereka tidak hanya tumbuh dalam kemiskinan tetapi juga hanya mempunyai satu orang tua dan bukan dua sehingga mereka belajar untuk tidak menerima norma dan nilai-nilai tradisional masyarakat. i. Pengaruh Model Pengaruh model terhadap anak juga bisa mempengaruhi kecenderungan agresif anak, tidak perduli apakah orang lain itu ingin ditiru atau tidak. Dalam psikolo- gi, fenomena ini disebut dengan modeling dan mendefinisikannya sebagai pengaruh yang timbul ketika orang lain melihat orang lain model bertindak dengan cara tertentu dan kemudian meniru perilaku model. Berdasarkan dari penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa perilaku agresif memiliki banyak faktor penyebab, yaitu faktor yang berasal dari diri individu sendiri maupun dari luar diri individu. Adapun faktor yang berasal dari diri individu, yaitu faktor perasaan frustrasi, perasaan negatif, pikiran atau kognisi, dan pengalaman masa kecil. Sedangkan faktor yang berasal dari luar individu yaitu serangan, pengaruh teman, pengaruh kelompok, kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orang tua, konflik keluarga, dan pengaruh model.

2.2 Inferiority Feeling

2.2.1 Pengertian Inferiority Feeling

Adler dalam Suryabrata, 2007:188 menyatakan bahwa Inferiority feeling adalah rasa diri kurang atau rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam penghidupan apa saja. Inferiority feeling merupakan suatu teori dari Alfred Adler, seorang ilmuan sekaligus penemu dari individual psikologi berawal dari ide yang berasal dari in- feriority organ yaitu kekurangsempurnaan organ atau bagian tubuhnya pada dae- rah-daerah tertentu baik karena bawaan atau kelainan dalam perkembangan. Infe- riority organ membutuhkan pengkompensasian melalui latihan-latihan untuk memperkuat bagian tubuh tersebut dalam Suryabrata, 2007:187. Maeterlinck dalam Bischof. 1964:233 mengatakan Inferiority organ berarti bahwa seseorang pada dasarnya terlahir dengan inferiority organ dalam tubuhnya. Organ ini men- jadi lebih lemah dari bagian tubuh lainnya berfungsi sebagai perangkat kompen- sasi untuk mengatasi hambatan. Disempurnakan lebih lanjut oleh Adler bahwa inferiority feeling merupa- kan suatu perasaan diri kurang atau rendah diri yang ada pada setiap diri individu karena pada dasarnya manusia diciptakan atau dilahirkan dengan keadaan lemah tak berdaya. Dilanjutkan olehnya bahwa semua orang memiliki rasa rendah diri inferi- or, namun tidak perlu dikhawatirkan karena inferiority feeling adalah kondisi umum yang dimiliki oleh setiap orang bukan sebagai tanda dari kelemahan atau- pun suatu tanda abnormal dalam Schultz, 1986:103. jadi inferiority feeling bukanlah tanda ketidakmampuan seseorang namun ini hanya suatu bentuk perasaan ketidakmampuan pada dirinya, dilanjutkan lagi oleh Adler dalam Schultz, 1986:103 bahwa inferiority feeling adalah sumber dari semua kekuatan manusia. Semua orang berproses, tumbuh, dan berkembang hasil dari usaha untuk mengkompensasikan perasaan inferioritasnya. Bisa diartikan bahwa inferiority feeling adalah sebuah motivasi yang dimiliki oleh seseorang untuk berperilaku berproses, tumbuh, dan berkembang menuju perasaan superior. Inferiority feeling diartikan sebagai segala rasa ketidakmampuan psikologis, negatif, dan keadaan jasmani yang kurang sempurna yang dirasa secara subjektif. Melalui inferiority feeling, individu berjuang untuk menjadi pribadi yang unggul dan mandiri superior. Menurut Adler dikutip Suryabrata, 2007:191, individu yang mandiri adalah individu yang kreatif, yakni individu yang mengetahui potensinya, mampu menetapkan tujuan hidupnya, serta mampu mengembangkan potensinya untuk mencapai tujuan hidupnya, jadi ketika seseorang berada pada saat dimana dia melihat orang lain jauh lebih besar dan lebih baik darinya saat itu dia akan me- rasa inferior, tidak memuaskan atau tidak sempurna sehingga dia akan berusaha untuk mencapai satu level lebih tinggi dari posisinya sekarang sehingga dia akan merasa superior sesaat, dan akan terus berputar seperti itu. Kartono 2010:154 mengatakan bahwa inferiority feeling atau muncul se- jak usia kanak-kanak yang umumnya perasaan ini tidak bisa diterima individu yang bersangkutan karena dirasakan sangat menghimpit dirinya, menyiksa batin, dan juga menyiksa batinnya. Sehingga muncul dorongan-dorongan untuk mengkompensasikan atau menyelesaikannya. Sedangkan menurut Freud dalam