KORELASI TIPE KOMUNIKASI AYAH-ANAK DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS X JURUSAN TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN SMK NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

ABSTRAK
KORELASI TIPE KOMUNIKASI AYAH-ANAK DENGAN
KONSEP DIRI SISWA KELAS X JURUSAN
TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN
SMK NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG
TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh
DEFIANA

Masalah dalam penelitian ini adalah konsep diri siswa negatif. Rumusan
permasalahannya adalah ”apakah terdapat korelasi pola komunikasi ayah-anak
dengan konsep diri?”. Tujuan penelitian untuk mengetahui korelasi pola
komunikasi ayah-anak dengan konsep diri siswa.
Metode penelitian bersifat deskriptif kuantitatif dengan populasi sebanyak 70
siswa kelas X jurusan Teknik Komputer dan Jaringan SMK Negeri 4 Bandar
Lampung. Instrumen yang dipakai, yaitu instrumen konsep diri dan instrumen tipe
komunikasi. Data dianalisis secara deskriptif dan uji korelasi Pearson.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara tipe
komunikasi ayah-anak dengan konsep diri, yang ditunjukkan dengan indeks
korelasi r=0,393. Artinya, ketika tipe komunikasi anak dengan ayahnya adalah

tipe consensual atau pluralistic, konsep diri anak cenderung positif. Sebaliknya,
ketika tipe komunikasi anak dengan ayahnya adalah tipe protective dan laissezfaire, konsep diri anak cenderung negatif. Sementara itu, siswa dengan konsep
diri negatif cenderung memiliki tipe komunikasi laissez- faire dan protective
sedangkan siswa dengan konsep diri positif rata-rata memiliki tipe komunikasi
consensual dan pluralistic.
Saran yang diberikan adalah (1) siswa dapat lebih meningkatkan konsep diri
dengan memperbaiki tipe komunikasi dengan ayah mereka, (2) guru Bimbingan
dan Konseling dapat menjadi mediator ayah dan anak demi terbentuknya konsep
diri positif, (3) peneliti selanjutnya dapat melihat perbandingan komunikasi antara
ayah dan ibu.

Kata kunci: ayah-anak, konsep diri, tipe komunikasi

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah .................................................................

1. Latar Belakang Masalah........................................................ .............
2. Identifikasi Masalah ...........................................................................
3. Pembatasan Masalah ...........................................................................
4. Rumusan Masalah ...............................................................................
B. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...............................................................
1. Tujuan Penelitian................................................................... .............
2. Manfaat Penelitian ..............................................................................
C. Ruang Lingkup penelitian ......................................................................
1. Ruang Lingkup Objek Penelitian .......................................................
2. Ruang Lingkup Subjek Penelitian......................................................
3. Ruang Lingkup Tempat dan Waktu Penelitian ..................................
D. Kerangka Pikir ......................................................................................
E. Hipotesis Penelitian....................................................................... ........

1
1
7
7
8
8

8
8
9
9
9
9
9
12

II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Diri dalam Bimbingan Pribadi-Sosial ....................................... 13
1. Pengertian Bimbingan Pribadi-Sosial…………………..………..… 13
2. Tujuan Bimbingan Pribadi-Sosial………………………..……….... 14
3. Pengertian Konsep Diri …… ........................................................... 15
4. Aspek-Aspek Konsep Diri................................................................ 16
5. Jenis-Jenis Konsep Diri………………………………………….. .. 17
6. Perkembangan Konsep Diri……………………………………… .. 20
B. Bimbingan Konseling Keluarga dan Sosial Learning Theory ............... 22
1. Pengertian Bimbingan Konseling Keluarga……………… .............. 22
2. Tujuan Bimbingan Konseling Keluarga……………………. .......... 23

3. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)……………. ............ 24
C. Komunikasi Ayah-Anak ........................................................................ 26
1. Pengertian Komunikasi…………………………… ........................ 26
2. Pengertian Keluarga dan Ayah ......................................................... 27
3. Komunikasi Ayah-Anak ................................................................... 28
4. Peran Komunikasi Ayah-Anak………………………..................... 29
5. Tipe Komunikasi Ayah-Anak…………………………………….. 31

D. Tipe Komunikasi Ayah-Anak pada Konsep Diri .................................. 34
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian…………………………………. ..........
B. Metode Penelitian ..................................................................................
C. Populasi dan Sampel..............................................................................
1. Populasi…………………………………………………………….
2. Sampel…………………………………………………………… ...
D. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Penelitian ......................
1. Variabel Penelitian................................................................. ............
2. Definisi Operasional Penelitian.............................................. ...........
E. Teknik Pengumpulan Data…………………………………….. ..........
1. Questionnaire……………………………………………………………..

2. Wawancara…………………………………………………………
F. Uji Validitas dan Realibilitas Instrumen ................................................
1. Instrumen Konsep Diri .......................................................................
2. Instrumen Tipe Komunikasi ..............................................................
G. Teknik Analisis Data .............................................................................

36
36
36
36
37
38
38
38
39
39
39
40
40
44

47

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian………………………………………. ........................
1. Karakteristik Siswa………………………………………………... .
2. Konsep Diri Siswa………………………………………………… .
3. Tipe Komunikasi Ayah dan Anak……………………………… ......
4. Hasil Uji Korelasi……………...........................................................
5. Hasil Analisis Silang Tipe Komunikasi dan Konsep Diri……….. ...
B. Pembahasan ...........................................................................................

49
49
49
50
51
52
55

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan………………………………………. .............................. 61
B. Saran ...................................................................................................... 63

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang dan Masalah

1. Latar Belakang Masalah
Setiap individu memiliki gambaran mengenai bagaimana dirinya, yakni
secara fisik, psikologis, sosial, emosional aspiratif, dan prestasi yang
mereka capai. Gambaran ini disebut dengan konsep diri (Ghufron dan
Rini, 2010:13). Konsep diri ada dua, yaitu konsep diri positif dan konsep
diri negatif.

Konsep diri merupakan salah satu aspek yang cukup penting bagi individu
dalam berperilaku. Siswa yang memiliki konsep diri positif akan memiliki
dorongan mandiri yang lebih baik,


dapat mengenal serta memahami

dirinya sendiri sehingga dapat berperilaku efektif dalam berbagai situasi
(Sitohang, 2012:2).

Calhaoun dan Acocella (Ghufron dan Rini, 2010:14) mengatakan bahwa
ketika lahir manusia tidak memiliki konsep diri, pengetahuan pada diri
sendiri, harapan terhadap diri sendiri, dan penilaian pada diri sendiri.
Semua hal tersebut didapat secara proses. Dalam menjalani suatu proses
perkembangan, selalu terjadi interaksi dengan lingkungan. Lingkungan
yang dimaksud adalah orang dan benda-benda di sekelilingnya.

2

Lingkungan tersebut berperan dalam memberikan norma sosial dan
meregulasi perilaku dengan menggunakan kontrol sosial (Jogiyanto,
2007:260). Dapat disimpulkan bahwa konsep diri terbentuk karena hasil
interaksi individu dengan lingkungannya (Ghufron dan Rini, 2010:16).


Meskipun merupakan bagian terkecil dalam masyarakat, keluarga
merupakan lingkungan terpenting bagi proses belajar. Seperti yang
dikatakan oleh Gerungan (2004:41) bahwa ”Keluarga merupakan
kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia, tempat ia belajar dan
menyatakan diri sebagai manusia sosial dalam hubungan interaksi dengan
kelompoknya.”
Mengingat bahwa keluarga berpengaruh kuat bagi terbentuknya konsep
diri anak, peran orang tua haruslah sesuai. Kesesuaian ini terlihat dalam
bentuk pemenuhan tanggung jawab oleh ayah dan ibu. Penelitian oleh R.
Stury pada tahun 1998 (Gerungan, 2004:199) menunjukkan bahwa 63%
anak yang mengalami gangguan tingkah laku berasal dari keluarga tidak
utuh. Keluarga tidak utuh yang dimaksud di sini adalah keluarga yang
tidak memiliki ayah atau ibu, serta ayah atau ibu jarang pulang ke rumah
sehingga terdapat hubungan yang kurang intim antara orang tua dan anak.

Perlu dipahami bahwa intim atau tidaknya hubungan antara orang tua dan
anak tidak ditentukan dengan hadirnya orang tua di rumah. Dagun
(2002:15) mengatakan bahwa, ”Kuantitas atau jumlah waktu juga
bukanlah faktor penentu dalam menimbulkan pengaruh orang tua pada
anaknya.” Kualitas yang dibentuk dari proses interaksi, keterlibatan, dan


3

intensitas pertemuanlah yang akan mempengaruhi anak (Santrock,
2003:207; Dagun, 2002:15). Keintiman hubungan ini (Santrock, 2003:176)
juga harus bersifat diadik (melibatkan dua orang; ibu-anak, ayah-anak)
dan triadik (ayah-ibu-anak).

Pada kenyataannya, terjadi ketidakseimbangan pada hubungan yang
terjalin antara ibu dan anak dengan hubungan yang terjalin antara ayah dan
anak. Pemahaman yang beredar (Dagun, 2002:5), yaitu kemungkinan
bentuk kehidupan keluarga adalah ibu mengurus rumah dan mengasuh
anak sedangkan ayah aktif di luar rumah mencari nafkah. Berdasarkan
pernyataan tersebut, tidak perlu diragukan bahwa ibu biasanya memiliki
hubungan erat dengan anak dibanding ayah dengan anak, baik karena
alasan biologis maupun stereotip (Dagun, 2002:9). Anak lebih sering
berkomunikasi dengan ibu daripada ayah. Artinya, keluarga cenderung
melupakan hubungan diadik (ayah-anak) yang seharusnya terjalin.

Meskipun beberapa budaya seperti pada suku Trobrianders di Kepulauan

Melanesia, suku Taira di Okinawa dan suku Ilocos di Filipina melibatkan
ayah secara aktif membangun hubungan dengan anak (Dagun, 2002:10),
hampir seluruh belahan bumi lainnya memegang teguh pandangan ayahuang, ibu-rumah. Di Indonesia, yang merupakan daerah timur sangat
menjunjung tinggi seorang ibu. Secara klasik, ayah digambarkan sebagai
orang yang tidak pernah ikut dalam pemeliharaan anak secara langsung
(Dagun, 2002:1).

4

Lebih lanjut, gambaran ini membuat peran ayah dan ibu berjalan dengan
tidak seimbang. Ayah dianggap sebagai pencari nafkah, sedangkan anak
sepenuhnya menjadi urusan ibu.

Itulah mengapa banyak kasus

pelanggaran yang dilakukan oleh anak dituduh karena kelalaian ibu
mereka. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikatakan John W. Santrock
(2003:206), ”Ketika anak dan remaja tidak berhasil atau mereka membuat
masalah,

masyarakat kita cenderung menganggap kekurangberhasilan

atau terjadinya masalah tersebut adalah disebabkan oleh satu sumber-ibu.”

Pandangan tersebut mengakibatkan kesadaran ayah untuk membangun
komunikasi dan interaksi dengan anak mereka menjadi rendah (Dagun,
2002:2; Santrock, 2003:207). Padahal perkembangan sosial remaja dapat
sangat diuntungkan oleh ayah yang penyayang,

dapat dihubungi, dan

dapat diandalkan, yang mendorong tumbuhnya kepercayaan dan
keyakinan (Santrock, 2003:207).

Sejak tahun 1970-an,

mulai diteliti hubungan ayah dan anak,

dampaknya terhadap sikap dan perilaku anak.

serta

Hasilnya membuktikan

bahwa peran ayah dalam keluarga sangat penting bagi anak (Dagun,
2002:2). Di daerah Barat, khususnya Amerika Serikat semakin
bermunculan penelitian mengenai peran orang tua,

terutama ayah

terhadap perkembangan anak, baik dalam akademi, kepribadian, dan
perilaku,

seperti yang dilakukan oleh Jones pada tahun 2004 dan

Hakoama & Brian pada tahun 2011.

Penelitian-penelitian tersebut

menyebutkan bahwa anak-anak yang mengalami masalah dalam

5

pendidikan, konsep diri, dan interaksi sosial rata-rata memiliki hubungan
yang buruk dengan ayah mereka. Hubungan buruk yang dimaksud adalah
kurangnya komunikasi,

perhatian,

dan keterlibatan ayah dalam

keseharian anak mereka.

Dalam PPPPTK Penjas dan BK (2009:22),

guru BK harus memiliki

kinerja yang baik terhadap pelayanan bimbingan dan konseling yang
dilakukan. Kinerja yang dimaksud adalah pengelolaan yang difokuskan
pada

empat

pilar

pengorganisasian

kegiatan,

(organizing-O),

yaitu

perencanaan

pelaksanaan

(planning-P),

(actuating-A),

dan

pengontrolan (controlling-C). Tanggung jawab yang diselenggarakan
sebagai bentuk kinerja yang didasarkan pada POAC ini salah satunya
adalah bagaimana guru BK mengorganisasikan kerjasama dan hubungan
dengan orang tua.

Hal ini sesuai dengan pernyataan dalam PPPPTK

Penjas dan BK (2009:22), ”Bagaimana guru BK mengorganisasikan
unsur-unsur dan peralatan yang dilibatkan dalam kegiatan. Unsur-unsur
ini meliputi unsur-unsur personal (seperti peranan pimpinan sekolah, wali
kelas, guru, orang tua), sarana fisik dan lingkungan (seperti ruangan dan
meubelair, alat bantu seperti komputer, film, dan objek-objek yang
dikunjungi), urusan administrasi, dana, dll.”
Oleh karena itu, guru BK harus dapat memahami komunikasi keluarga
yang terjadi dalam kehidupan siswanya. Hal ini akan bermanfaat bagi
guru BK dalam menyusun program bimbingan dan konseling, menjalin

6

kerjasama dengan orang tua siswa, serta mengentaskan masalah yang
dialami siswa (PPPPTK Penjas dan BK, 2009:23).

Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yang dilakukan peneliti pada
siswa kelas X SMK Negeri 4 Bandarlampung, terdapat siswa yang
memiliki konsep diri negatif. Penelitian ini dilakukan dengan wawancara
yang kemudian diperkuat dengan hasil penyebaran instrumen konsep diri.
Terdapat beberapa gejala yang nampak, yaitu membolos, membuat gaduh
saat pelajaran, berpakaian tidak sesuai peraturan, hasil belajar yang
rendah, memiliki perasaan rendah diri, dan perasaan tidak mampu
mengerjakan tugas.

Dari uraian masalah di atas, timbullah ketertarikan peneliti untuk meneliti
tentang pola komunikasi yang terjalin pada siswa yang memiliki konsep
diri negatif. Dengan diketahuinya hal ini, diharapkan bahwa pandangan
mengenai ibu yang lebih penting dapat tersingkir karena sesungguhnya
mengenai perkembangan seorang anak,

orang tua tidak dapat

mengurutkan ranking atas dirinya. Kedua orang tua sama-sama
bertanggung jawab akan anak mereka. Walaupun seorang ayah dituntut
untuk memenuhi nafkah di keluarga, mereka menyadari bahwa dasar dari
tugas tersebut adalah terbentuknya anak dengan konsep diri yang positif.
Dengan konsep diri yang positif,

anak dapat berperilaku efektif dan

berkembang secara optimal. Pembentukan konsep diri yang positif
melibatkan interaksi dengan orang lain, secara lebih khusus komunikasi
yang terjalin dengan ayah mereka.

7

2. Identifikasi Masalah
Terdapat beberapa identifikasi masalah, antara lain:
a. Terdapat siswa yang enggan berbicara di depan kelas saat diminta guru
untuk menyampaikan pendapat,
b. Terdapat siswa yang enggan bertanya saat guru memberi kesempatan
untuk bertanya,
c. Terdapat siswa yang merasa tidak mampu mengerjakan tugas yang
diberikan oleh guru,
d. Terdapat siswa yang enggan menegur lebih dulu saat bertemu guru,
e. Terdapat siswa yang mengaku jarang berbicara dengan ayah mereka,
f. Terdapat siswa yang tinggal jauh dengan ayah mereka,
g. Ayah cenderung tidak memenuhi surat panggilan orang tua ketika
siswa bermasalah,
h. Siswa tidak mengetahui tanggal lahir, usia, dan hal yang menjadi
kesukaan ayah mereka,
i. Siswa enggan bercerita kepada ayahnya mengenai masalah yang
dialaminya.

3. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka peneliti
membatasi masalah mengenai ”Korelasi tipe komunikasi ayah-anak
dengan konsep diri siswa kelas X jurusan Teknik Komputer dan Jaringan
SMK Negeri 4 Bandar Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.”

8

4. Rumusan Masalah
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah konsep diri negatif.
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah “apakah terdapat
korelasi tipe komunikasi ayah-anak dengan konsep diri siswa kelas X
jurusan Teknik Komputer dan Jaringan SMK Negeri 4 Bandar Lampung
Tahun Pelajaran 2012/2013?”

B. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Penelitian yang akan dilaksanakan ini mempunyai tujuan untuk
mengetahui korelasi tipe komunikasi ayah-anak dengan konsep diri siswa
kelas X jurusan Teknik Komputer dan Jaringan SMK Negeri 4 Bandar
Lampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan:
a. Bagi peneliti, dapat menjadi pedoman dalam pelaksanaan konseling,
terutama saat menangani konselee yang memiliki konsep diri negatif.
Selain itu, sebagai referensi peneliti lain yang melakukan penelitian
serupa.
b. Bagi

konselor,

dapat

menjadi

pertimbangan

untuk

lebih

memperhatikan siswa yang memiliki konsep diri negatif, dengan
menanganinya dari segala aspek, terutama melalui terjalinnya
kerjasama yang baik dengan ayah mereka.

9

c. Bagi subjek penelitian, dapat menyadari pentingnya membangun
komunikasi yang sangat berpengaruh pada proses pembentukan
konsep diri siswa.

C. Ruang Lingkup Penelitian

Agar tidak terlalu melebar maka peneliti memberi batasan ruang lingkup
adalah sebagai berikut:
1. Ruang Lingkup Objek Penelitian
Ruang lingkup objek dari penelitian ini adalah tipe komunikasi ayah-anak
dengan konsep diri.
2. Ruang Lingkup Subjek Penelitian
Ruang lingkup subjek penelitian ini adalah siswa-siswa kelas X jurusan
Teknik Jaringan dan Komputer SMK Negeri 4 Bandar Lampung Tahun
Pelajaran 2012/2013.
3. Ruang Lingkup Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)

Negeri 4

Bandarlampung Tahun Pelajaran 2012/2013.

D. Kerangka Pikir

Konsep diri yang merupakan aspek cukup penting bagi individu dalam
berperilaku, terbentuk karena hasil interaksi dengan orang lain,

terutama

orang tua (Ghufron dan Rini, 2010:13-16). Sebagai orang tua, baik ayah
maupun ibu harus dapat berperan secara seimbang dalam proses pembentukan

10

konsep diri anak. Konsep diri yang terbentuk bergantung dari bagaimana
individu mencerna perkataan, penilaian, dan gambaran yang diberikan orang
lain terhadap dirinya sejak kecil.

Hal-hal tersebut tentunya disampaikan

secara frekuentif melalui komunikasi.

Saat berkomunikasi terjadi proses dimana ayah mengajarkan nilai-nilai,
memberikan pengertian akan pendisiplinan yang dilakukan,

memberikan

dorongan kepada anak untuk berusaha, menanamkan keyakinan bahwa anak
mampu dan berharga. Selain itu, melalui komunikasi yang terjadi, ayah juga
dapat memberikan penilaian dan penyaringan (filterisasi) terhadap perkataan
atau penilaian yang dilakukan orang lain terhadap anaknya. Melalui proses
ini, ayah dapat memastikan bahwa pendapat, pandangan, dan keyakinan
yang anak terima dari orang lain maupun yang anak yakini dalam dirinya
dapat membentuk konsep diri yang positif.

Berdasarkan hasil penelitian terbukti bahwa anak belajar banyak hal secara
berbeda dari ayah dan ibu.

Pada ibu,

anak belajar seperti kelembutan,

kontrol emosi, dan kasih sayang. Pada ayah, anak belajar ketegasan, sifat
maskulin, kebijaksanaan, keterampilan kinestetik dan kemampuan kognitif.
Dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang terjalin antara ayah dan anak
sangat berpengaruh terhadap pembentukan konsep diri anak.

Sebagai guru BK, adalah tanggung jawab untuk membantu siswa memiliki
konsep diri yang positif. Untuk mencapai hal ini, dapat dilakukan beberapa
pelayanan, seperti layanan informasi, orientasi, bimbingan mengenai konsep
diri. Bagi siswa yang memiliki konsep diri negatif, dapat dilakukan layanan

11

konseling. Dalam memberikan pelayanan tersebut, guru BK dituntut untuk
memiliki pemahaman yang cukup tentang apa yang diberikannya, termasuk
hal-hal yang mempengaruhi terbentuknya konsep diri.

Dalam membantu siswa menyelesaikan masalah, misalnya, berkaitan dengan
fungsi pemahaman, guru BK harus dapat memahami masalah yang dihadapi
siswa. Pemahaman ini bukan hanya terbatas pada jenis masalah tetapi juga
pemahaman individu seutuhnya dimana kondisi keluarga siswa pun harus
dipahami, termasuk komunikasi siswa dengan ayah mereka. Hal ini juga
sesuai dengan kinerja yang harus dipenuhi seorang guru BK yang tertuang
dalam PPPPTK Penjas dan BK (2009:22) bahwa guru BK harus menjalin
kerjasama dengan berbagai pihak, termasuk orang tua.

Ketika guru BK memahami bahwa komunikasi yang terjalin antara ayah dan
anak merupakan aspek yang mempengaruhi konsep diri, diharapkan bahwa
guru BK semakin sadar untuk menjalin kerjasama yang lebih baik dengan
orang tua, terutama ayah. Dalam membantu siswa mengentaskan masalah,
guru BK juga dapat melihat masalah dari berbagai sisi,

salah satunya

hubungan siswa dengan orang tua mereka, termasuk ayah. Dengan begitu,
guru BK dapat memberikan pelayanan yang semakin baik. Gambar berikut ini
menjelaskan tentang tipe komunikasi dan konsep diri siswa:

Tipe komunikasi
ayah-anak

Konsep diri

Gambar 1.1. Kerangka Pikir

12

E. Hipotesis Penelitian

Ha (Hipotesis Alternatif)

: “Terdapat korelasi yang positif antara tipe
komunikasi ayah-anak dengan konsep diri siswa
kelas X jurusan Teknik Komputer dan Jaringan
SMK Negeri 4 Bandar Lampung Tahun Pelajaran
2012/2013.”

Ho (Hipotesis Nol)

: “Tidak terdapat korelasi yang positif antara tipe
komunikasi ayah-anak dengan konsep diri siswa
kelas X jurusan Teknik Komputer dan Jaringan
SMK Negeri 4 Bandar Lampung Tahun Pelajaran
2012/2013.”

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Diri dalam Bimbingan Pribadi-Sosial

1. Pengertian Bimbingan Pribadi-Sosial

Berdasarkan rumusan Winkel, bimbingan pribadi-sosial berarti bimbingan
dalam menghadapi keadaan batinnya sendiri dalam mengatur drinya
sendiri di bidang kerohanian, perawatan jasmani, pengisian waktu luang,
penyaluran nafsu seksual dan sebagainya, serta bimbingan dalam membina
hubungan kemanusiaan dengan sesama di berbagai lingkungan (Sukardi
2008:53).

Yusuf dan Nurihsan (2005:11) merumuskan bimbingan pribadi-sosial
sebagai suatu upaya membantu individu dalam memecahkan masalah yang
berhubungan dengan keadaan psikologis dan sosial klien sehingga
individu memantapkan kepribadian dan mengembangkan kemampuan
individu dalam menangani masalah-masalah dirinnya.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan pribadi-sosial
merupakan upaya layanan yang diberikan kepada siswa agar mampu
mengatasi permasalahan-permasalahan yang dialaminya, baik yang

14

bersifat pribadi maupun sosial, sehingga mampu membina hubungan
sosial yang harmonis di lingkungannya. Bimbingan pribadi-sosial
diberikan dengan cara menciptakan lingkungan yang kondusif, interaksi
pendidikan yang akrab, mengembangkan system pemahaman diri, dan
sikap-sikap yang positif, serta kemampuan-kemampuan pribadi sosial
yang tepat.

2. Tujuan Bimbingan Pribadi-Sosial

Syamsu Yusuf dan Juntika Nurihsan (2005:14), merumuskan beberapa
tujuan bimbingan dan konseling yang terkait dengan aspek pribadi-sosial
sebagai berikut :

a. Memiliki komitmen yang kuat dalam mengamalkan nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, baik dalam
kehidupan pribadi, keluarga, pergaulan dengan teman sebaya, sekolah,
tempat kerja, maupun masyarakat pada umumnya,
b. Memiliki sikap toleransi terhadap umat beragama lain, dengan saling
menghormati dan memelihara hak dan kewajibannya masing-masing,
c. Memiliki pemahaman tentang irama kehidupan yang bersifat fluktuatif
antara yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, serta mampu
meresponnya secara positif sesuai dengan ajaran agama yang dianutnya,
d. Memiliki pemahaman dan penerimaan diri secara objektif dan
konstruktif, baik yang terkait dengan keunggulan maupun kelemahan,
baik fisik maupun psikis,

15

e. Memiliki sifat positif atau respek terhadap diri sendiri dan orang lain,
f. Memiliki kemampuan melakukan pilihan secara sehat,
g. Bersikap respek terhadap orang lain, menghormati atau menghargai
orang lain, tidak melecehkan martabat atau harga dirinya,
h. Memiliki rasa tanggung jawab yang diwujudkan dalam

bentuk

komitmen, terhadap tugas dan kewajibannya,
i. Memiliki kemampuan berinteraksi sosial (human relationship), yang
diwujudkan dalam bentuk persahabatan, persaudaraan atau silaturahmi
dengan sesama manusia,
j. Memiliki kemampuan dalam menyelesaikan konflik (masalah) baik
bersifat internal (dalam diri sendiri) maupun orang lain,
k. Memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan secara efektif.

3. Pengertian Konsep Diri
Ada beberapa ahli yang memberikan definisi tentang konsep diri. Salah
satunya adalah Santrock dalam pernyataannya,
“Konsep diri (self-concept) merupakan evaluasi terhadap domain yang
spesifik dari diri. Remaja dapat membuat evaluasi terhadap berbagai
domain dalam hidupnya-akademik, atletik, penampilan fisik, dan
sebagainya.” (Santrock, 2003:336)
Pernyataan hampir serupa menurut Hurlock (Ghufron dan Rini, 2010:13),
konsep diri merupakan gambaran seseorang mengenai diri sendiri yang
merupakan gabungan dari keyakinan fisik, psikologis, sosial, emosional
aspiratif, dan prestasi yang mereka capai.

16

Lebih jelas lagi, Rogers (Thalib, 2010:121) menyatakan bahwa konsep
diri adalah konsep kepribadian yang paling utama,

berisi ide-ide,

persepsi, dan nilai-nilai yang mencakup tentang kesadaran diri. Artinya,
pandangan tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh diri sendiri tetapi juga
dipengaruhi oleh orang lain.

Burn (Ghufron dan Rini, 2010:13) mendefinisikan konsep diri sebagai
kesan terhadap diri sendiri secara keseluruhan yang mencakup
pendapatnya terhadap diri sendiri, pendapat tentang gambaran diri di mata
orang lain dan pendapatnya tentang hal-hal yang dicapai.

Berdasarkan pernyataan dari beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan
bahwa konsep diri adalah gambaran, pandangan seseorang terhadap
dirinya dimana gambaran/pandangan ini dibentuk melalui proses interaksi
dengan orang lain.

4. Aspek-Aspek Konsep Diri
Calhoun dan Acocella (1995) mengatakan konsep diri terdiri dari tiga
dimensi atau aspek, antara lain:
a. Pengetahuan
Pengetahuan adalah apa yang inidividu ketahui tentang dirinya,
seperti: jenis kelamin, suku, pekerjaan, agama, fisik, dan lain-lain.

17

b. Harapan
Harapan merupakan pandangan tentang kemungkinan dirinya menjadi
seperti apa di masa depan. Setiap individu memiliki harapan bagi
dirinya yang ideal.
c. Penilaian
Individu adalah penilai bagi dirinya sendiri. Hasil penilaian ini disebut
harga diri. Semakin sesuai harapan dengan standar diri, semakin
tinggi harga diri seseorang.

5. Jenis-Jenis Konsep Diri
Ada dua jenis konsep diri menurut Calhoun (1995:72-74), yaitu:
a. Konsep diri positif
Konsep diri positif bukanlah kebanggaan yang besar tentang diri tetapi
lebih berupa penerimaan diri. Kualitas ini lebih mungkin mengarah ke
kerendahan hati dan ke kedermawanan daripada keangkuhan dan
keegoisan. Orang dengan konsep diri positif memiliki pengharapan
dan tujuan, serta usaha untuk mencapai tujuannya tersebut. Individu
dengan konsep diri positif dapat mengenal dirinya dengan sangat baik.
Pengenalan yang disertai dengan penerimaan diri merupakan konsep
diri yang positif.

18

Calhoun dan Acocella (Ghufron dan Rini, 2010:19) menyebutkan ciriciri konsep diri positif, yakni:
1. Yakin terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mengatasi
masalah,
2. Merasa sejajar dengan orang lain,
3. Menerima pujian tanpa rasa malu,
4. Sadar bahwa tiap orang mempunyai keragaman perasaan, hasrat,
dan perilaku yang tidak disetujui oleh masyarakat,
5. Mampu mengembangkan diri karena sanggup mengungkapkan
aspek-aspek kepribadian yang buruk dan berupaya mengubahnya.

b. Konsep diri negatif
Bertentangan dengan pengertian konsep diri positif,

konsep diri

negatif merupakan kondisi dimana individu tersebut tidak dapat
menerima diri, tidak mampu mengevaluasi diri, dan bersikap pesimis.

Menurut Calhoun dan Acocella (Ghufron dan Rini, 2010:19), ciri-ciri
konsep diri negatif adalah:
1. Peka terhadap kritik,
2. Cenderung merasa tidak disukai orang lain,
3. Pesimistis terhadap kompetisi.

Ada dua jenis konsep diri negatif menurut Calhoun (1995:72), yakni:
a. Pandangan seseorang tentang dirinya sendiri yang tidak teratur,

19

b. Tidak memiliki perasaan kestabilan dan keutuhan diri, individu
benar-benar tidak tahu siapa dia, apa kekuatan dan kelemahannya,
atau apa yang dia hargai dalam hidupnya.

Erikson mengatakan bahwa konsep diri mereka kerap kali menjadi
tidak teratur untuk sementara waktu dan terjadi pada masa transisi dari
peran anak ke peran dewasa (Calhoun, 1995:72).

Pada kedua tipe konsep diri negatif,

informasi baru tentang diri

hampir pasti menjadi penyebab kecemasan atau rasa terancam terhadap
diri. Tidak satu pun dari konsep diri cukup bervariasi untuk menyerap
berbagai macam informasi tentang diri.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua jenis
konsep diri, yaitu: konsep diri positif dan konsep diri negatif.
Individu dengan konsep diri positif dapat mengenal siapa dan
bagaimana dirinya, memiliki pengharapan dan tujuan, serta berupaya
untuk mencapai harapan dan tujuannya. Sebaliknya, individu dengan
konsep diri

negatif

tidak mengenal

dirinya,

tidak memiliki

pengharapan dan tujuan, bersikap pesimis, merasa takut gagal dan
cemas. Individu yang memiliki konsep diri negatif bersifat sementara,
memiliki perasaan tidak stabil, teratur, atau terlalu teratur.

20

6. Perkembangan Konsep Diri
Calhoun (1975:77) mengemukakan ada empat faktor yang mempengaruhi
pembentukan konsep diri pada individu, yaitu:
a. Orang tua
Orang tua adalah kontak sosial yang paling awal kita alami dan yang
paling kuat. Individu tergantung pada orang tuanya untuk makanan,
perlindungan, dan kenyamanan. Orang tua memberi kita informasi
yang konstan tentang diri kita.

Coopersmith (Calhoun, 1995:77) menyatakan bahwa perasaan nilai
diri sebagai individu berasal dari nilai yang diberikan orang tua kepada
individu tersebut.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa konsep diri seseorang
bergantung pada nilai dan informasi yang diberikan orang tua kepada
dirinya. Pemberian informasi dan nilai ini dilakukan melalui
komunikasi yang terjalin.
b. Teman sebaya
Kelompok teman sebaya menempati urutan kedua setelah orang tua
dalam mempengaruhi konsep diri. Untuk sementara mereka merasa
cukup mendapatkan cinta dari orang tua, tetapi kemudian anak
membutuhkan penerimaan anak-anak lain di kelompoknya. Jika
penerimaan ini tidak datang,

anak digoda terus,

dibentak,

atau

21

dijauhi maka konsep diri akan terganggu. Di samping penerimaan atau
penolakan, peran yang diukir anak dalam kelompok sebayanya
memiliki pengaruh yang dalam pada pandangannya tentang dirinya
sendiri.
c. Masyarakat
Anak-anak mulai mementingkan ras mereka,

kenyataan bahwa

mereka hitam atau putih, orang Indonesia atau Belanda, anak direktur
atau anak pemabuk. Tetapi masyarakat menganggap hal tersebut
penting. Fakta-fakta dan penilaian itu akhirnya sampai kepada anak
dan masuk ke dalam konsep diri.
d. Belajar
Konsep diri dapat diperoleh dengan belajar yang berlangsung setiap
hari. Sesuai dengan pernyataan Hilgart dan Bower, “Konsep diri kita
adalah hasil belajar.” (Calhoun, 1995:79).
Pengalaman belajar tentunya melibatkan interaksi dengan orang lain
dan lingkungan yang lebih luas. Individu belajar untuk mendengar
pendapat dan penilaian orang lain tentang dirinya,

belajar untuk

memilah mana penilaian yang benar dan mana yang hanya
meremehkannya. Di saat seperti ini, komunikasi orang tua merupakan
hal yang penting untuk membantu anak menyaring segala pandangan
dan menentukan ke arah mana konsep dirinya akan dibawa.

22

B. Bimbingan Konseling Keluarga dan Social Learning Theory

1. Pengertian Bimbingan Konseling Keluarga

Ada beberapa pengertian tentang bimbingan konseling keluarga. Menurut
Willis (2009:83) bimbingan konseling keluarga adalah upaya bantuan
yang diberikan kepada individu kepada anggota keluarga (pembenahan
komunikasi keluarga) agar potensinya berkembang seoptoimal mungkin
dan masalahnya dapat diatasi atas dasar kemauan membantu dari semua
anggota keluarga berdasarkan kerelaan dan kecintaan terhadap keluarga.
Sedangkan menurut Perez (Willis, 2009:131) bimbingan konseling
keluarga adalah suatu proses interaktif untuk membantu keluarga dalam
mencapai keseimbangan dimana setiap anggota keluarga merasakan
kebahagiaan.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bimbingan konseling
keluarga adalah usaha untuk membantu individu anggota keluarga untuk
mengaktualisasikan potensinya atau mengantisipasi masalah yang
dialaminya melalui sistem kehidupan keluarga dan mengusahakan agar
terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri individu yang akan
memberi dampak positif pula terhadap anggota keluarga yang lain. Dalam
hal ini diharapkan anggota keluarga dapat memberikan kontribusi positif
terhadap perkembangan kehidupan keluarga selanjutnya.

23

2. Tujuan Bimbingan Konseling Keluarga
Ada dua klasifikasi tujuan dari bimbingan konseling keluarga. Menurut
Wilis (2009:89), yaitu: tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan

bimbingan konseling keluarga tersebut dapat dilihat dibawah ini.
a. Tujuan umum bimbingan konseling keluarga
1. Membantu anggota-anggota keluarga belajar dan menghargai secara
emosional bahwa dinamika keluarga adalah kait-mengait diantara
anggota keluarga,
2. Untuk membantu anggota keluarga agar menyadari tentang fakta
jika satu anggota keluarga bermasalah maka akan memperngaruhi
kepada persepsi, ekspektasi dan interaksi anggota-anggota lain,
3. Agar tercapai keseimbangan yang akan membuat pertumbuhan dan
peningkatan setiap anggota,
4. Untuk mengembangkan penghargaan penuh sebagai pengaruh
hubungan parental.

b. Tujuan khusus bimbingan konseling keluarga
1. Untuk meningkatkan toleransi dan dorongan anggota-anggota
keluarga terhadap cara-cara yang istimewa (idiocyncratic ways)
atau keunggulan-keunggulan anggota lain,

24

2. Mengembangkan toleransi terhadap anggota-anggota keluarga yang
mengalami frustasi/kecewa, konflik dan rasa sedih yang terjadi
karena faktor sistem keluarga atau diluar sistem keluarga,
3. Mengembangkan motif dan potensi-potensi setiap anggota keluarga
dengan cara mendorong (men-support), memberi semangat dan
mengingatkan anggota tersebut,
4. Mengembangkan keberhasilan persepsi diri orang tua secara
realistik dan sesuai dengan anggota-anggota lain.

3. Social Learning Theory (Teori Belajar Sosial)
Fokus bimbingan sosial adalah membantu siswa mengenal lingkungan,
membina relasi sosial yang sehat, serta berprilaku dengan benar (PPPPTK
Penjas dan BK, 2009:9). Oleh karena itu, guru BK perlu memahami
tentang proses belajar menurut teori belajar sosial.

Santrock dalam

bukunya Adolesence (2003:53) mengatakan bahwa teori belajar sosial
adalah pandangan psikolog yang menekankan tingkah laku, lingkungan,
dan kognisi sebagai faktor utama perkembangan.

Perilaku manusia

muncul karena adanya proses pengamatan terhadap apa yang dilakukan
orang lain (modeling atau imitasi).

Lingkungan, kognisi, dan perilaku saling mempengaruhi. Ketiga hal ini
dapat digambarkan sebagai “triadic reciprocality” atau timbal balik
segitiga (Santrock, 2003:53; Jogiyanto, 2007:260) yang tampak pada
gambar berikut ini.

25

Orang atau kognitif
(Person or
cognitive)

Perilaku
(Behavior)

Lingkungan
(Environment)

Gambar 2.1. Timbal Balik Segitiga

Dari gambar tersebut dapat diketahui bahwa perilaku dapat dipengaruhi
oleh

lingkungan

dan

kognisi.

Sebaliknya,

perilaku

juga

dapat

mempengaruhi kognisi dan lingkungan seseorang. Relasi ini juga berlaku
bagi lingkungan dan kognisi. Dalam hal ini, tak hanya perilaku tetapi
gambaran diri seorang anak dapat terbentuk karena adanya pengaruh dari
lingkungan dimana ia berada. Awalnya, sang anak hanya memperhatikan
apa yang ada di hadapannya. Kemudian kognisinya bekerja dan
membentuk keyakinan diri atau self-efficacy, seperti yang dikatakan
Bandura (Jogiyanto, 2007:262). Keyakinan diri ini yang akan menentukan
keputusan bentuk perilaku yang muncul.

Seorang anak hidup bukan hanya di lingkungan keluarga. Mereka hidup di
sekolah dan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, banyak sekali bentuk
perilaku, penilaian, penghargaan yang mereka terima. Dengan keragaman
penilaian yang ada, terdapat penilaian yang tidak boleh diyakini oleh anak,
misalnya penilaian tentang betapa buruk dirinya. Penilaian inilah yang

26

disebut dengan konsep diri (Ghufron dan Rini, 2012:3). Agar konsep diri
yang diyakini benar, diperlukan lingkungan dan kognisi yang tepat. Di
sini,

peran ayah dibutuhkan. Ayah hendaknya dapat menjadi seorang

pemimpin untuk mengawasi, mendengarkan, dan memahami bagaimana
anak menghadapi setiap penilaian yang diterimanya. Melalui komunikasi,
ayah juga dapat menyaring penilaian yang berpotensi memojokkan anak
dan bersama anak memahami mana keyakinan yang benar dan salah
sehingga anak dapat memiliki konsep diri yang positif (Balswik dan Pipper,
2012:42-45, Lestari 2012:61-62).

C. Komunikasi Ayah-Anak

1. Pengertian Komunikasi
Istilah komunikasi berasal dari bahasa Inggris, yakni communication yang
artinya hubungan, komunikasi. Sementara itu menurut kamus KBBI,
komunikasi berarti pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara
dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami;
hubungan; kontak.

Komunikasi adalah proses penyampaian gagasan,

harapan, dan pesan

yang disampaikan melalui lambang tertentu yang mengandung arti,
dilakukan oleh penyampai pesan (sumber, komunikator sendiri) ditujukan
kepada penerima pesan (receiver, komunikan, audience).

27

Koerner dan Fitzpatrick (2002:5) menjelaskan bahwa komunikasi
merupakan suatu proses penggunaan simbol atau lambang dengan cara
tertentu agar orang lain dapat mengerti makna simbol dan lambang
tersebut.

Berdasarkan pernyataan ahli di atas,

dapat disimpulkan bahwa

komunikasi bukan hanya proses penyampaian pesan,

ide,

perasaan

melalui media dan berbagai simbol tetapi juga proses untuk membuat
penerima pesan memahami maksud pemberi pesan.

2. Pengertian Keluarga dan Ayah
Keluarga merupakan kelompok sosial pertama dalam kehidupan manusia
dimana ia belajar menyatakan dirinya sebagai manusia sosial, dalam
interaksi dengan kelompoknya (Gerungan, 2004).

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 1994 (BKKBN 1994)
menjelaskan tentang keluarga yang merupakan unit terkecil dalam
masyarakat yang terdiri dari suami-isteri, atau suami-isteri dan anaknya,
atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Dalam keluarga terdapat
delapan fungsi yang harus dipenuhi oleh keluarga, termasuk ayah. Fungsi
tersebut antara lain: fungsi keagamaan, fungsi sosial dan budaya, fungsi
cinta kasih, fungsi melindungi, fungsi reproduksi, fungsi melindungi,
fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi dan pendidikan, fungsi ekonomi,
serta fungsi pembinaan lingkungan.

28

Wikipedia menyebutkan bahwa ayah adalah orang tua laki-laki seorang
anak. Seorang ayah dapat merupakan ayah kandung (ayah biologis) atau
ayah angkat. Peran ayah dalam tumbuh kembang anak sangat diperlukan.
Dalam menjalankan perannya,

komunikasi merupakan hal yang tidak

pernah terlepaskan. Melalui proses ini, dapat terlihat penerimaan dan
penolakan yang dilakukan ayah. Penerimaan ayah secara signifikan
mempengaruhi penyesuaian diri remaja,

salah satu faktor yang

memainkan peranan penting bagi pembentukan konsep diri dan harga diri.

3. Komunikasi Ayah-Anak
Berdasarkan PP No. 21 tahun 1994, komunikasi merupakan hal yang
harus dibina dalam keluarga.

Komunikasi dalam keluarga melibatkan

ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain. Komunikasi sedikitnya
bersifat diadik (melibatkan dua orang), yang dalam penelitian ini lebih
lanjut akan meneliti tentang komunikasi diadik antara ayah dan anak.
Komunikasi setiap keluarga bersifat khas. Setiap keluarga memiliki pola
komunikasi yang berbeda satu dengan lainnya (Awalia, 2010:3).

Dalam komunikasi keluarga terdapat proses intersubjektivitas dan
interaktivitas.

Intersubjektivitas terkait dengan kemampuan kognitif

dalam menangkap dan menerima pesan antar anggota keluarga, sedangkan
interaktivitas terkait dengan perilaku keluarga yang membuat bentuk
interaksi dan memelihara unit sosial (Koerner dan Fitzpatrick, 2002).

29

Lestari (2012:24) menjelaskan tentang bagaimana komunikasi yang baik,
yaitu:
Komunikasi yang baik merupakan faktor yang penting bagi
keberfungsian dan kelentingan keluarga. Komunikasi mencakup
transmisi keyakinan, pertukaran informasi, pengungkapan perasaan,
dan proses penyelesaian masalah. Keterampilan yang menjadi elemen
dari komunikasi yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar,
mengungkapkan diri, memperjelas pesan, menyinambungkan jejak,
menghargai, dan menghormati.”

Berdasarkan pemaparan di atas,

dapat dimengerti bahwa komunikasi

dalam keluarga berarti proses penyampaian dan pemahaman, ide,
pendapat, perasaan, pengalaman yang dilakukan sedikitnya oleh dua
orang (bersifat diadik).

4. Peran Komunikasi Ayah-Anak
Komunikasi memegang peranan penting dalam kelangsungan hidup
berkeluarga. Hal ini sesuai dengan pernyataan Koerner dan Fitzpatrick
(2002:3), yakni:
“The ability of family to survive theses changes suggests that
families are flexible and that their flexibility is aided by how family
members communicate. Futhermore, although a number of the functions
of the family have been delegated to other social agencies, families are
expected to nurture one another and provide caregiving and support.”

Pernyataan tersebut berarti “Kemampuan keluarga untuk menghadapi
berbagai macam perubahan menunjukkan bahwa keluarga bersifat
fleksibel

yang

dipengaruhi

oleh

bagaimana

anggota

keluarga

berkomunikasi. Meskipun fungsi keluarga kini banyak dilakukan oleh

30

agen-agen sosial lainnya, keluarga tetap dituntut untuk dapat memberikan
kasih sayang dan dukungan.”

Shek dalam Lestari (2012:61) mengatakan bahwa hasil penelitian telah
menegaskan bahwa komunikasi tentang orang tua-anak memengaruhi
fungsi keluarga secara keseluruhan dan kesejahteraan psikososial pada diri
anak.

Penelitian Amato dan Gilberth dalam Hakoama (2011:4)

membuktikan bahwa, “It is believed that emotionally close relationships
benefit childs well-being because fathers can more effectively monitor,
communicate with, and teach children the characteristics they value.”
Artinya adalah dapat dipercayai bahwa relasi yang dekat secara emosional
mendukung perkembangan anak karena ayah dapat mengawasi secara
lebih efektif, berkomunikasi, dan mengajarkan anak tentang nilai-nilai
yang mereka pegang.”

Lebih jauh, Lestari (2012:62) menjelaskan bahwa komunikasi orang tuaanak, dalam hal ini ayah-anak memang memegang peranan penting bagi
orang tua untuk melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada
anak.

Tindakan orang tua untuk mengontrol,

memantau,

dan

memberikan dukungan dapat dipersepsi positif atau negatif oleh anak, di
antaranya dipengaruhi oleh cara orang tua berkomunikasi.

Berdasarkan penyataan yang diungkapkan oleh beberapa ahli,
dimengerti bahwa komunikasi dalam keluarga,

dapat

khususnya ayah-anak

merupakan cara untuk memenuhi fungsi keluarga sebagai penyedia kasih

31

sayang

dan

dukungan.

Selain

itu,

komunikasi

ayah-anak

juga

memengaruhi kesejahteraan keluarga, khususnya kesejahteraan psikologis
anak. Hal ini mungkin karena selama proses komunikasi berlangsung,
terjadi kedekatan antara ayah-anak dimana pengajaran tentang nilai,
pengawasan yang efektif dapat dilakukan.

5. Tipe Komunikasi Ayah-Anak
Fitzpatrick dan Badzinki (Lestari, 2012:61-62) menyebutkan dua
karakteristik yang menjadi fokus penelitian komunikasi keluarga dalam
relasi orang tua-anak. Pertama, komunikasi yang mendukung, yang
mencakup persetujuan, membesarkan hati, ekspresi afeksi, pemberian
bantuan, dan kerjasama. Kedua, komunikasi yang mengontrol yakni
tindakan yang mempertegas otoritas orang tua atau egalitarianisme orang
tua-anak.

Berdasarkan Family Communication Pattern Theory (FCPT) yang
dikembangkan oleh McLeod dan Chafee (1972) Fizpatrick dan Ritchie
(1994), terdapat dua pola komunikasi, yaitu conversation orientation dan
conformity orientation. (Koerner dan Fitzpatrick, 2002:20).
a. Conversation orientation
Conversation orientation merupakan pola dimana anggota keluarga
dapat terlibat dalam interaksi atau topik pembicaraan yang luas.
Dalam dimensi ini, anggota keluarga bebas dan terbuka untuk saling

32

berinteraksi tanpa adanya batasan waktu atau topik yang dibicarakan.
Mereka saling berbagi tentang pendapat, ide, pengalaman, perasaan
satu sama lain.

Segala keputusan merupakan keputusan bersama,

bukan hasil dominasi satu pihak saja.

Dalam konteks penelitian kali ini, saat pola komunikasi antara ayahanak tinggi dalam dimensi conversation orientation,

baik anak

maupun ayah merasa bebas dan terbuka dalam menyampaikan ide,
pendapat, perasaan, serta pengalaman mereka. Meskipun sebagai
kepala keluarga, proses pengambilan keputusan, terutama yang
berkaitan dengan anak tidak hanya berasal dari ayah melainkan
berdasarkan kesepakatan keduanya. Berdasarkan pola ini, ayah
meyakini bahwa komunikasi dengan anak mereka berarti mendidik dan
bersosialisasi dengan anak tersebut (Koerner dan Fitzpatrick, 2002:20).
b. Conformity orientation
Pada pola ini, pendapat, sikap, dan keyakinan bersifat sama. Keluarga
dengan pola ini fokus pada keharmonisan, minimnya konflik, serta
saling ketergantungan antara anggota keluarga.

Komunikasi ini

menggambarkan kepatuhan kepada orang tua, biasanya anak mengikuti
apa yang diyakini oleh orang tua mereka. Anak umumnya menjadi
tergantung pada apa yang dilakukan oleh orang tua mereka (Koerner
dan Fitzpatrick, 2002:21).

33

Pola komunikasi ini banyak dipegang oleh keluarga tradisional, yakni
keluarga yang memegang teguh hierarki, nilai-nilai adat (Lestari,
2012:53-54).

Berdasarkan dua orientasi tersebut, terdapat empat tipe keluarga yang
dikelompokkan berdasarkan hasil perhitungan skor dalam instrumen pada
masing-masing pola (Krisnatuti dan Putri, 2012:103).

Empat tipe di

bawah ini yang akan menjadi fokus pada penelitian, antara lain:
1. Consensual
Tipe jika keluarga tersebut tinggi di conversation dan conformity
orientation. Komunikasi yang terjadi pada tipe ini bersifat terbuka
dalam eksplorasi ide,

perasaan, dan pengalaman setiap anggota

keluarga tanpa menganggu struktur kekuatan keluarga. Dalam nilai
masyarakat Indonesia, dikenal dengan musyawarah mufakat (Anna,
2012).
2. Pluralistic
Tipe jika keluarga tersebut tinggi di conversation tetapi rendah di
conformity.

Dalam tipe ini,

komunikasi keluarga masih bersifat

terbuka dalam membahas ide-ide, menghormati minta anggota lain,
dan saling mendukung. Fokus komunikasi keluarga ini adalah
pendapat yang mandiri dan kemampuan komunikasi anak.

34

3. Protective
Tipe jika keluarga tersebut rendah di conversation tetapi tinggi di
conformity. Pada tipe ini keluarga memegang teguh kepatuhan dan
nilai-nilai keluarga, keyakinan terhadap kebebasan perubahan ide dan
perkembangan kemampuan komunikasi sedikit diterapkan. Anak-anak
memiliki pendapat tetapi mudah dibujuk karena tidak belajar membela
dan mempertahankan pendapat sendiri. Akhirnya, anak-anak patuh
terhadap apa kata orang tua mereka.
4. Laissez-faire
Tipe ini jika keluarga tersebut rendah di conversation dan conformity.
Anak

tidak

diarahkan

untuk

mandiri

dan

terbuka

dalam

menyampaikan ide, bahkan cenderung tidak membina keharmonisan
hubungan dalam bentuk interaksi dengan orang tua (Anna, 2012).
Anggota keluarga pada tipe ini jarang melibatkan diri dalam
percakapan atau diskusi keluarga.

D. Tipe Komunikasi Ayah-Anak pada Konsep Diri

Tipe komunikasi ayah dan anak terbentuk melalui proses pengasuhan seharihari (Dagun, 2002:13; Santrock, 2003:207; Balswik dan Pipper, 2012:26).
Dalam komunikasi sehari-hari banyak terjadi perbincangan,

baik secara

kuantitas maupun kualitatif, yang berpengaruh pada pembentukan konsep diri
anak. Hal ini disebabkan oleh adanya proses belajar sosial, baik secara

35

langsung maupun tidak langsung, misalnya interaksi, pengajaran, dan imitasi
mengenai konsep diri yang positif maupun negatif (Santrock, 2003:53).

Beberapa penelitian sejenis tentang ayah-anak dan pengaruhnya kepada anak,
antara lain:
1. Penelitian Hakoama dan Brian S. Ready pada tahun 2011 membuktikan
bahwa relasi yang dekat secara emosional mendukung perkembangan anak
karena ayah dapat mengawasi secara lebih efektif, berkomunikasi, dan
mengajarkan anak tentang nilai-nilai yang mereka pegang.
2. Jones dalam penelitiannya di tahun 2004 membuktikan bahwa anak-anak
yang mengalami masalah dalam pendidikan, konsep diri, dan interaksi
sosial rata-rata memiliki relasi yang buruk dengan ayah mereka. Relasi
buruk yang dimaksud adalah kurangnya komunikasi, perhatian, dan
keterlibatan ayah dalam keseharian anak mereka.
3. Penelitian yang dilakukan oleh banyak ahli yang dirangkum oleh Health
(Allien, 2001) membuktikan bahwa anak yang terlibat dalam komunikasi
yang baik dengan ayahnya mengalami kematangan secara psikologis.
Mereka merasa puas dengan hidup, terhindar dari stres, dan lebih mampu
dalam memahami diri, orang lain, serta perasaan mereka dengan cara
yang benar.
4. Hasil penelitian Putri W. Sari tahun 2012 tentang Family Communication,
Self Esteem, and Academic Achievement memaparkan bahwa komunikasi
keluarga bepen

Dokumen yang terkait

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN PILIHAN KARIER PADA SISWA KELAS X SMA NEGERI 5 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2010/2011

1 10 69

PEMBELAJARAN APRESIASI DRAMA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 16 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

1 7 80

MENINGKATKAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL MENGGUNAKAN TEKNIK ASSERTIVE TRAINING PADA SISWA KELAS VII MTS NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN AJARAN 2012/2013

2 23 58

HUBUNGAN POWER OTOT TUNGKAI POWER OTOT LENGAN KELENTUKAN DAN KESEIMBANGAN DENGAN HASIL BELAJAR KAYANG PADA SISWA KELAS X SMK YAGSMI BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

1 19 67

PENGARUH PEMBELAJARAN SOFT SKILLS DAN LINGKUNGAN KELUARGATERHADAP MINAT BERWIRAUSAHA SISWA KELAS XI JURUSAN TEKNIK AUDIO VIDEO DI SMK NEGERI 2 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

0 10 86

PENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG MATA PELAJARAN KEWIRAUSAHAAN DAN LINGKUNGAN KELUARGA MELALUI MOTIVASI DIRI TERHADAP MINAT BERWIRASWASTA SISWA KELAS IX PROGRAM KEAHLIAN PEMASARAN SMK NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2013/2014

0 45 101

PENGARUH KONSEP BUDAYA ORGANISASI INTRA SEKOLAH TERHADAP KETERAMPILAN SOSIAL SISWA KELAS X SMA XAVERIUS PAHOMAN BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 12 46

KORELASI TIPE KOMUNIKASI AYAH-ANAK DENGAN KONSEP DIRI SISWA KELAS X JURUSAN TEKNIK KOMPUTER DAN JARINGAN SMK NEGERI 4 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 8 62

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI INTERPERSONAL PADA SISWA KELAS XI SMA NEGERI 8 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2015/2016

4 47 92

STUDI PERBANDINGAN HASIL BELAJAR EKONOMI ANTARA MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TAKE AND GIVE DAN TIPE MIND MAPPING DENGAN MEMPERTIMBANGKAN KONSEP DIRI SISWA KELAS X SMA NEGERI 15 BANDAR LAMPUNG TAHUN PELAJARAN 2014/2015

0 7 90