PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION DAN PAKEM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VB SD NEGERI 8 METRO TIMUR TAHUN PELAJARAN 2012/2013

(1)

(2)

ABSTRAK

PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION DAN PAKEM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR

MATEMATIKA SISWA KELAS VB SD NEGERI 8 METRO TIMUR

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh

VITA NURVATIMAH

Penelitian dilatarbelakangi oleh hasil observasi peneliti yang menemukan bahwa proses pembelajaran matematika di kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur belum dilaksanakan secara optimal, sehingga berdampak pada rendahnya aktivitas dan hasil belajar matematika siswa. Hal ini ditunjukkan dengan persentase ketuntasan hasil belajar matematika siswa yaitu 37,03% siswa yang memperoleh nilai memenuhi KKM (≥55). Tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa dengan menerapkan pendekatan Realistic Mathematics Education dan PAKEM.

Metode penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang terdiri dari empat tahapan setiap siklusnya yaitu perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Penelitian dilaksanakan sebanyak tiga siklus yang setiap siklusnya terdiri dari tiga pertemuan. Alat pengumpul data penelitian adalah lembar observasi dan soal tes. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis kualitatif dan kuantitatif.

Hasil penelitian pada siklus I rata-rata komponen aktivitas siswa secara klasikal sebesar 66,34 dengan persentase siswa aktif 40,74% (kategori sedang), siklus II sebesar 70,99 dengan persentase siswa aktif 51,85% (kategori sedang), dan siklus III sebesar 84,69 dengan persentase siswa aktif 81,48% (kategori sangat tinggi). Sementara ketuntasan hasil belajar siswa pada siklus I sebesar 48,15% (kriteria sedang) dengan rata-rata kelas sebesar 61,52, siklus II sebesar 62,96% (kriteria tinggi) dengan rata-rata kelas sebesar 61,95, dan siklus III sebesar 88,89% (kriteria sangat tinggi) dengan rata-rata kelas 82,34. Dengan demikian, pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan Realistic Mathematics Education dan PAKEM dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa.

Kata kunci: pendekatan realistic mathematics education dan PAKEM, aktivitas siswa, hasil belajar.


(3)

REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION AND JOYFUL LEARNING APPROACH FOR INCREASING ACTIVITY AND RESULT OF

MATHEMATICS LEARNING IN FIFTH GRADE OF SDN 8 METRO TIMUR

2012/2013rd

ABSTRACT

By

VITA NURVATIMAH

The study aims at increasing the activity and result of mathematics learning of fifth grade of SDN 8 Metro Timur trough realistic mathematics education and joyful learning approach.

The data collection tehnique of this classroom action research is based on the type of data as desired. Data collection tool to describe the activities of the student in learning mathematics were assesment sheet and questionary sheet (observation sheet). Qualitative and quantitative technique were used to analyze data.

The result show that the using realistic mathematics education and joyful learning increased the learn out come in each cycle. The first cycle average of indicator activity was 66,34 with the students’ activity percentation 40,74% (in medium range), in the second cycle 70,99 with students’ activity percentation 51,85% (in medium range) and the third cycle 84,69 with students’ activity percentation 81,48% (in very high range). While the students’ learning result in the first cycle was 48,15% (in medium range) with the average class in 61,52, the second cycle II 62,96% (in high range) with the average class in 61,95, and the third cycle 88,89% in very high range) with the average class in 82,34.

Key word: realistic mathematics education and joyful learning, activity, learning result.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 6

1.3 Rumusan Masalah ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

II. KAJIAN PUSTAKA ... 10

2.1 Realistic Mathematics Education ... 10

2.1.1Pengertian Realistic Mathematics Education ... 10

2.1.2Karakteristik Realistic Mathematics Education ... 13

2.1.3Langkah-langkah Penerapan Realistic Mathematics Education ... 15

2.1.4Kelebihan dan Kelemahan Realistic Mathematics Education ... 17

2.1.5Peran Guru dalam Penerapan Realistic Mathematics Education ... 18

2.2 Pembelajaran PAKEM ... 20

2.2.1Pengertian PAKEM ... . 20

2.2.2Karakteristik dan Prinsip Penerapan PAKEM ... . 22

2.2.3Kelebihan dan Kelemahan PAKEM ... . 25

2.3 Penerapan Kolaborasi RME dan PAKEM dalam Pembelajaran ... 28

2.4 Belajar ... 30

2.4.1Pengertian Belajar ... 30

2.4.2Aktivitas Belajar ... 32

2.4.3Hasil Belajar ... 34

2.5 Matematika ... 36

2.5.1Pengertian Matematika ... 36


(7)

3.1 Rancangan Penelitian ... 40

3.2 Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 42

3.3 Teknik Analisis Data ... 45

3.4 Prosedur Penelitian ... 49

3.5 Indikator Keberhasilan ... 59

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 60

4.1 Hasil Penelitian ... 60

4.1.1Profil SD Negeri 8 Metro Timur ... 60

4.1.2Prosedur Pelaksanaan Kegiatan Penelitian ... 61

4.1.3Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Penelitian Siklus I ... 62

4.1.4Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Penelitian Siklus II ... 80

4.1.5Pelaksanaan Kegiatan dan Hasil Penelitian Siklus III ... 93

4.2 Pembahasan Hasil Penelitian ... 105

4.2.1Kinerja Guru dalam Penerapan Kolaborasi Pendekatan RME dan PAKEM ... 106

4.2.2Aktivitas Siswa ... 108

4.2.3Hasil Belajar Siswa ... 110

V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

5.1 Kesimpulan ... 113

5.2 Saran ... 114

DAFTAR PUSTAKA ... 116

LAMPIRAN ... 120


(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia atau lazim disebut dengan proses humanisasi. Proses humanisasi ini tidak diperoleh dengan begitu saja, melainkan melalui pengalaman diberbagai lingkungan yang berlangsung sepanjang hayat dan berpengaruh positif bagi perkembangan individu. Hal ini sesuai dengan prinsip pendidikan yang tercantum dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal 4 ayat 3 tertulis bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Salah satu bentuk perwujudan proses tersebut ialah melalui pembelajaran.

Pernyataan lebih jelas tertulis dalam Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan terutama pasal 19 ayat 1. Dalam pasal tersebut dituliskan bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.


(9)

Berdasarkan landasan tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah melalui dinas pendidikan mengupayakan sistem pendidikan yang berpusat pada siswa dan bersifat sepanjang hayat. Disisi lain, pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan potensi dan kreasi siswa sebagai generasi bangsa dimasa mendatang. Pembentukan generasi yang siap tantangan tersebut, diperlukan adanya inovasi yang senantiasa menyesuaikan dengan perkembangan. Salah satu bidang yang berperan besar dalam upaya tersebut adalah bidang pendidikan. Oleh sebab itu, telah banyak ditemui berbagai inovasi di bidang pendidikan yang mengarah pada tujuan pendidikan nasional.

Peran pendidikan dalam upaya pembentukan generasi dimasa mendatang menuntut guru sebagai bagian dari elemen pendidikan untuk proaktif dalam meningkatkan mutu pembelajaran di kelas sehingga terjadi peningkatan pengetahuan dan keterampilan yang mengarah pada tujuan pendidikan. Jenjang pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang paling fundamental dalam pemberian konsep. Salah satu mata pelajaran yang telah dibelajarkan di sekolah dasar adalah matematika. Oleh sebab itu, matematika turut memiliki andil dalam pencapaian tujuan pendidikan. Hal ini terlihat pada tujuan mata pelajaran matematika dalam kurikulum 2006 (Depdiknas, 2011: 22) untuk jenjang sekolah dasar adalah agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut.

a. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.

b. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.


(10)

c. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

d. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.

e. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.

Berdasarkan rumusan tujuan matematika di atas, tujuan akhir dari mata pelajaran matematika adalah adanya paradigma peserta didik terhadap kegunaan matematika dalam kehidupan. Namun, tidak mudah untuk dapat menumbuhkan sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sebab konsep matematika disajikan dalam bentuk abstrak. Sebagaimana diungkapkan oleh Adji (2006: 37) bahwa substansi materi pelajaran matematika bersifat abstrak, karena sifat abstraknya itu maka guru harus memulai dalam belajar matematika dari konkret menuju abstrak.

Berdasarkan hasil observasi yang telah dilakukan peneliti pada tanggal 24 Oktober 2012, 12 November 2012, dan 23 November 2012 dengan materi notasi waktu dan sudut diperoleh informasi bahwa proses pembelajaran matematika di kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur belum dilaksanakan secara optimal dan merujuk pada tujuan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Dalam proses pembelajaran, guru masih mendominasi sebagai sumber utama dan cara penyampaian materi ajar masih terpaku pada apa yang tertulis dalam buku pelajaran. Guru masih mengutamakan pemberian materi matematika secara formal dan mengarahkan siswa untuk memahami sesuatu yang abstrak tanpa melalui proses realisasi, sehingga dalam pelaksanaannya siswa hanya mengerjakan latihan dengan prosedur yang terdapat dalam buku. Selain itu,


(11)

prosedur dalam pembelajaran matematika kurang bervariasi sehingga suasana belajar cenderung menegangkan dan stagnan dalam setiap pertemuan. Hal ini memperkuat pola pikir siswa bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang sulit dan membosankan. Pola pikir siswa terhadap matematika ini menyebabkan rendahnya motivasi untuk mempelajarinya.

Rendahnya motivasi tersebut mempengaruhi keaktifan siswa dalam proses pembelajaran. Sebagian besar siswa khawatir atau takut jika melakukan kesalahan atau berbeda pendapat dalam mencoba memecahkan masalah matematika, sehingga berdampak pada kurang berkembangnya keterampilan siswa dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang lain. Siswa juga mengalami kesulitan ketika mengerjakan tes yang bentuknya sedikit dimodifikasi dari contoh soal yang diberikan guru.

Masalah-masalah yang dialami oleh siswa tersebut berdampak pada hasil belajar yang kurang maksimal. Berikut ini disajikan persentase ketuntasan pembelajaran matematika siswa kelas VB pada mid semester ganjil.

Tabel 1. Persentase Ketuntasan Pembelajaran Matematika Siswa Kelas VB.

KKM Jumlah Siswa

Jumlah siswa yang

tuntas

Persentase ketuntasan

Jumlah siswa yang tidak

tuntas

Persentase ketidaktuntasan

≥55 27 10 37,03 17 62,96

Berdasarkan tabel 1, diketahui bahwa dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang telah ditentukan yaitu ≥55, dari 27 orang siswa di kelas VB hanya 10 orang siswa yang tuntas. Melihat fakta-fakta yang telah


(12)

dipaparkan, maka perlu diadakan perbaikan pembelajaran agar aktivitas dan hasil belajar siswa dapat meningkat. Upaya perbaikan pembelajaran dapat diwujudkan melalui penerapan pembelajaran yang menyenangkan dan bermakna. Namun, perlu diperhatikan bahwa tidak semua strategi, model, atau metode dapat digunakan untuk semua mata pelajaran. Lebih baik apabila guru memilih model pembelajaran yang benar-benar tepat untuk memperbaiki mutu pembelajarannya. Mengingat kembali teori kognitif yang dipaparkan oleh Jean Piaget (Sumantri, 2007: 1.15) bahwa siswa pada usia 7 – 11 tahun berada pada tahap operasional konkret, sehingga dalam pembelajaran siswa harus dihadapkan dengan permasalahan yang konkret dan relevan dengan kehidupannya.

Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan, penerapan pendekatan Realistic Mathematics Education (RME) dan Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan (PAKEM) merupakan alternatif perbaikan pembelajaran yang tepat. Hal ini didukung oleh pendapat Tarigan (2006: 4) bahwa RME menekankan pada pemerolehan pemahaman mengenai matematika sebagai suatu proses bukan sebagai bahan jadi yang siap pakai, sehingga diharapkan siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir secara matematis melalui ekstraksi konsep dari situasi yang konkret. Alasan lebih lanjut yang mendasari pemilihan PAKEM salah satunya adalah pendapat Budimansyah (2010: 9) yang menyatakan bahwa PAKEM menekankan pada suasana pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning). Penerapan PAKEM membantu guru untuk dapat melaksanakan pembelajaran secara variatif sehingga tercipta suasana belajar yang rileks dan terarah.


(13)

Pembelajaran yang bervariasi dapat membuat siswa akan merasa belajar sebagai sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi, sehingga dalam diri setiap individu akan tumbuh kecintaan terhadap aktivitas belajar seumur hidup dan meminimalisir pola pikir siswa bahwa matematika itu sulit. Oleh sebab itu, penerapan konsep pembelajaran realistik akan lebih bermakna dan komprehensif bila berkolaborasi dengan PAKEM.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka perlu dilakukan perbaikan kualitas pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pendekatan RME dan PAKEM pada pembelajaran matematika siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013.

1.2 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat diidentifikasi masalah penelitian sebagai berikut.

a. Guru masih mendominasi proses pembelajaran sebagai sumber utama. b. Guru belum menampakkan adanya pengonkretan materi pembelajaran,

sedangkan tahap perkembangan kognitif siswa sekolah dasar masih berada pada tahap operasional konkret yang dalam pembelajarannya diperlukan objek dan penyampaian konsep secara real.

c. Proses pembelajaran kurang bervariasi, sehingga membuat suasana pembelajaran yang terkesan menegangkan dan membosankan.

d. Siswa kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran, sebab masih adanya ketakutan siswa apabila salah atau berbeda pendapat dalam mencoba menyelesaikan masalah.


(14)

e. Siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakan soal yang bentuknya dimodifikasi dari contoh yang disampaikan guru.

f. Rendahnya hasil belajar matematika yang dibuktikan dengan nilai siswa mayoritas masih di bawah KKM yaitu kurang dari 55.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut.

a. Bagaimanakah penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013?

b. Bagaimanakah penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran matematika untuk meningkatkan hasil belajar siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013?

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah:

a. Untuk meningkatkan aktivitas belajar melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013.

b. Untuk meningkatkan hasil belajar matematika melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran matematika pada siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur Tahun Pelajaran 2012/2013.


(15)

1.5 Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis

Apabila penelitian ini diterima kebenarannya oleh guru, kepala sekolah, aktivis pendidikan, dan peneliti lainnya, diharapkan dapat menambah khasanah pustaka kependidikan. Selain itu, dapat memberikan kontribusi informasi bagi dunia pendidikan.

b. Manfaat Praktis 1. Bagi siswa

Meningkatnya aktivitas siswa dalam proses pembelajaran yang ditandai dengan kemampuan siswa dalam bekerja sama, memiliki keberanian untuk bertanya dan mengajukan pendapat, serta memecahkan masalah matematika. Selain itu, manfaat penelitian ini bagi siswa adalah meningkatnya hasil belajar yang ditunjukkan melalui penguasaan pegetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik.

2. Bagi guru

Proses pelaksanaan dan hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan sekaligus pengalaman guru dalam upaya melakukan inovasi pembelajaran. Sehingga sebagai feedback dari penelitian ini guru diharapkan dapat melakukan inovasi pada proses pembelajaran yang lainnya.

3. Bagi sekolah

Hasil dari penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi bagi pihak sekolah dalam upaya peningkatan mutu pembelajaran


(16)

matematika maupun pelajaran lainnya di SD Negeri 8 Metro Timur. Sehingga diharapkan sekolah akan lebih terbuka dan berupaya untuk beradaptasi terhadap perubahan dan pembaharuan dalam dunia pendidikan.

4. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan motivasi peneliti untuk terus belajar dan menemukan berbagai perkembangan dunia pendidikan yang dinamis guna menambah wawasan dan pengalaman. Hingga nantinya dapat menjadi guru yang memiliki kredibilitas tinggi.


(17)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Realistic Mathematics Education (RME) 2.1.1 PengertianRME

Secara harfiah Realistic Mathematics Education diterjemahkan sebagai pendidikan matematika realistik yaitu pendekatan belajar matematika yang dikembangkan atas dasar gagasan Frudenthal. Menurut Frudenthal (Wijaya, 2012: 20) matematika merupakan suatu bentuk aktivitas manusia. Gagasan ini menunjukkan bahwa RME tidak menempatkan matematika sebagai produk jadi, melainkan suatu proses yang sering disebut dengan guided reinvention. Oleh sebab itu, RME menjadi suatu alternatif dalam pembelajaran matematika dalam penelitian ini.

Selain itu, alasan pemilihan tersebut didasarkan pada fakta dan konsep ontologi bidang kajian dalam penelitian ini. Salah satunya adalah substansi materi pelajaran matematika bersifat abstrak, sehingga pembelajaran matematika hendaknya dimulai dari konkret menuju abstrak. Penjelasan tersebut mendukung RME sebagai pendekatan pembelajaran khusus untuk matematika yang mendasarkan pembelajaran berawal dari hal yang konkret.


(18)

Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh Van den Heuvel (Wijaya, 2012: 20) bahwa penggunaan kata ”realistik” sebenarnya berasal dari bahasa Belanda ”zich realiseren” yang berarti untuk dibayangkan. Jadi, RME tidak hanya menunjukkan adanya keterkaitan dengan dunia nyata tetapi lebih mengacu pada fokus pendidikan matematika realistik yaitu penekanan pada penggunaan situasi yang dapat dibayangkan oleh siswa.

Hadi (2005: 19) menjelaskan bahwa dalam matematika realistik dunia nyata digunakan sebagai titik awal untuk pengembangan ide dan konsep matematika. Penjelasan lebih lanjut bahwa pembelajaran matematika realistik ini berangkat dari kehidupan anak, yang dapat dengan mudah dipahami oleh anak, nyata, dan terjangkau oleh imajinasinya, dan dapat dibayangkan sehingga mudah baginya untuk mencari kemungkinan penyelesaiannya dengan menggunakan kemampuan matematis yang telah dimiliki. Tarigan (2006: 3) menambahkan bahwa pembelajaran matematika realistik menekankan akan pentingnya konteks nyata yang dikenal siswa dan proses konstruksi pengetahuan matematika oleh siswa sendiri.

Selaras dengan pendapat-pendapat ahli di atas, Aisyah (2007: 7.1) mengemukakan bahwa pendekatan matematika realistik merupakan suatu pendekatan belajar matematika yang dikembangkan untuk

mendekatkan matematika kepada siswa. Oleh sebab itu, masalah-masalah nyata dari kehidupan sehari-hari yang dimunculkan


(19)

realistik ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa matematika sebenarnya dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa.

Rahayu (2010) mengemukakan bahwa pendidikan matematika realistik merupakan suatu pendekatan pembelajaran matematika yang lebih menekankan realitas dan lingkungan sebagai titik awal dari pembelajaran. Selain itu, RME menekankan pada keterampilan proses matematika, berdiskusi dan berkolaborasi, beragumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan sendiri dan akhirnya menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah baik secara individu maupun kelompok. Namun, perlu diketahui bahwa dalam RME tidak hanya berhenti pada penggunaan masalah realistik. Masalah realistik hanyalah pengantar siswa untuk menuju proses matematisasi.

Matematisasi adalah suatu proses untuk mematematikakan suatu fenomena. Dalam penerapan RME terdapat dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal berkaitan dengan proses generalisasi (generalizing) yang diawali dengan pengidentifikasian konsep matematika berdasarkan keteraturan (regularities) dan hubungan (relation) yang ditemukan melalui visualisasi dan skematisasi masalah. Jadi, pada matematisasi horizontal ini siswa mencoba menyelesaikan soal-soal dari dunia nyata, dengan menggunakan bahasa dan simbol mereka sendiri, dan masih bergantung pada model. Berbeda dengan matematisasi vertikal yang merupakan bentuk proses formalisasi (formalizing) dimana model matematika yang diperoleh pada matematisasi horizontal menjadi


(20)

landasan dalam pengembangan konsep matematika yang lebih formal melalui proses matematisasi vertikal. Dengan kata lain, kedua jenis matematisasi ini tidak dapat dipisahkan secara berurutan, tetapi keduanya terjadi secara bergantian dan bertahap (Wijaya, 2012: 41 – 43).

Jadi, dalam RME masalah realistik digunakan sebagai stimulator utama dalam upaya rekonstruksi pengetahuan peserta didik. Selain itu, penerapan RME diiringi oleh penggunaan model agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar dapat dibayangkan oleh siswa (imaginable), sehingga mengacu pada penyelesaian masalah dengan berbagai alternatif melalui proses matematisasi yang dilakukan oleh siswa sendiri.

2.1.2 Karakteristik Realistic Mathematics Education

Salah satu karakteristik mendasar dalam RME yang diperkenalkan oleh Frudenthal adalah guided reinvention sebagai suatu proses yang dilakukan siswa secara aktif untuk menemukan kembali suatu konsep matematika dengan bimbingan guru (Wijaya, 2012: 20). Sejalan dengan pendapat Frudenthal, Gravemeijer (Tarigan, 2006: 4) mengemukakan empat tahap dalam proses guided reinvention, yaitu; (a) tahap situasional, (b) tahap referensial, (c) tahap umum, (d) tahap formal.

Namun, konsep guided reinvention dianggap masih terlalu global untuk menjadi karakteristik dari RME. Oleh sebab itu, perlu adanya karakteristik yang lebih khusus untuk membedakan antara RME dengan


(21)

pendekatan lain. Dengan dasar itulah dirumuskan lima karakteristik RME sebagai pedoman dalam merancang pembelajaran matematika, yaitu:

a. Pembelajaran harus dimulai dari masalah yang diambil dari dunia nyata. Masalah yang digunakan sebagai titik awal pembelajaran harus nyata bagi siswa agar mereka dapat langsung terlibat dalam situasi yang sesuai dengan pengalaman mereka. Sebab pembelajaran yang langsung diawali dengan matematika formal cenderung menimbulkan kecemasan matematika (mathematics anxiety). b. Dunia abstrak dan nyata harus dijembatani oleh model. Model harus

sesuai dengan abstraksi yang harus dipelajari siswa. Model dapat berupa keadaan atau situasi nyata dalam kehidupan siswa. Model dapat pula berupa alat peraga yang dibuat dari bahan-bahan yang juga ada di sekitar siswa.

c. Siswa memiliki kebebasan untuk mengekspresikan hasil kerja mereka dalam menyelesaikan masalah nyata yang diberikan guru. Siswa memiliki kebebasan untuk mengembangkan strategi penyelesaian masalah sehingga diharapkan akan diperoleh berbagai varian dari pemecahan masalah tersebut.

d. Proses pembelajaran harus interaktif. Interaksi baik antar guru dan siswa maupun siswa dengan siswa merupakan elemen yang penting dalam pembelajaran matematika. Siswa dapat berdiskusi dan bekerja sama dengan siswa lain, bertanya, dan menanggapi pertanyaan serta mengevaluasi pekerjaan mereka.


(22)

e. Hubungan diantara bagian-bagian dalam matematika, dengan disiplin ilmu lain, dan dengan masalah lain dari dunia nyata diperlukan sebagai satu kesatuan yang saling terkait dalam menyelesaiakan masalah (Aisyah, 2007: 7.18 – 7.19).

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa RME memiliki karakteristik khusus yang membedakan RME dengan pendekatan lain. Ciri khusus ini yaitu adanya konteks permasalahan realistik yang menjadi titik awal pembelajaran matematika, serta penggunaan model untuk menjembatani dunia matematika yang abstrak menuju dunia nyata.

2.1.3 Langkah-langkah Penerapan Realistic Mathematics Education Setiap model, pendekatan, atau teknik pembelajaran memiliki prosedur pelaksanaan yang terstruktur sesuai dengan karakteristiknya. Begitupun dengan RME, berikut ini langkah-langkah penerapan RME dalam pembelajaran yang dikemukakan oleh Zulkardi (Aisyah, 2007: 7.20), yaitu:

a. Hal yang dilakukan diawal adalah menyiapkan masalah realistik. Guru harus benar-benar memahami masalah dan memiliki berbagai macam strategi yang mungkin akan ditempuh siswa dalam menyelesaikannya.

b. Siswa diperkenalkan dengan strategi pembelajaran yang dipakai dan diperkenalkan kepada masalah realistik.

c. Kemudian siswa diminta untuk memecahkan masalah tersebut dengan cara mereka sendiri.


(23)

d. Siswa mencoba berbagai strategi untuk menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan pengalamannya, dapat dilakukan secara individu maupun kelompok.

e. Kemudian setiap siswa atau kelompok mempresentasikan hasil kerjanya di depan kelas, siswa atau kelompok lain memberi tanggapan terhadap hal kerja penyaji.

f. Guru mengamati jalannya diskusi kelas dan memberi taggapan sambil mengarahkan siswa untuk mendapatkan strategi terbaik serta menemukan aturan atau prinsip yang bersifat lebih umum. g. Setelah mencapai kesepakatan tentang strategi terbaik melalui

diskusi kelas, siswa diajak menarik kesimpulan dari pelajaran saat itu. Pada akhir pembelajaran siswa harus mengerjakan soal evaluasi dalam bentuk matematika formal.

Lain halnya dengan Wijaya (2012: 45) memaparkan proses matematisasi untuk menyelesaikan masalah realistik dalam penerapan RME sebagai berikut.

a. Diawali dengan masalah dunia nyata (Real World Problem). b. Mengidentifikasi konsep matematika yang relevan dengan

masalah, lalu mengorganisir masalah sesuai dengan konsep matematika.

c. Secara bertahap meninggalkan situasi dunia nyata melalui proses perumusan asumsi, generalisasi, dan formalisasi. Proses ini bertujuan untuk menerjemahkan masalah dunia nyata ke dalam masalah matematika yang representatif.

d. Menyelesaikan masalah matematika (terjadi dalam dunia matematika).

e. Menerjemahkan kembali solusi matematis ke dalam solusi nyata, termasuk mengidentifikasi keterbatasan dari solusi.


(24)

Berdasarkan uraian pendapat di atas, diketahui bahwa penerapan RME diawali dengan pemunculan masalah realistik. Dilanjutkan dengan proses penyelesaian masalah yang terjadi dalam dunia matematika dan diterjemahkan kembali ke dalam solusi nyata. Hasil dari proses ini, kemudian dipublikasikan melalui diskusi kelas dan diakhiri dengan penyimpulan atas penyelesaian masalah tersebut.

2.1.4 Kelebihan dan Kelemahan Realistic Mathematics Education

Kelebihan dan kelemahan selalu terdapat dalam setiap model, strategi, atau metode pembelajaran. Namun, kelebihan dan kelemahan tersebut hendaknya menjadi referensi untuk penekanan-penekanan terhadap hal yang positif dan meminimalisir kelemahan-kelemahannya dalam pelaksanaan pembelajaran. Berikut ini Asmin (Tandililing, 2012) menjelaskan secara rinci kelebihan dan kelemahan RME dalam tabel di bawah ini.

Tabel 2. Kelebihan dan Kelemahan RME.

Kelebihan Kelemahan

a. Siswa membangun sendiri pengetahuan, sehingga siswa tidak mudah lupa dengan pengetahuannya.

b. Suasana proses pembelajaran menyenangkan karena menggunakan realitas

kehidupan, sehingga siswa tidak cepat bosan belajar matematika. c. Siswa merasa dihargai dan

semakin terbuka, karena setiap jawaban siswa ada nilainya. d. Memupuk kerja sama dalam

kelompok.

a. Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka siswa masih kesulitan dalam

menemukan sendiri

jawaban dari permasalahan. b. Membutuhkan waktu yang

lama terutama bagi siswa yang lemah.

c. Siswa yang pandai kadang- kadang tidak sabar menanti temannya yang belum selesai.


(25)

Kelebihan Kelemahan e. Melatih keberanian siswa dalam

menjelaskan jawabannya. f. Melatih siswa untuk terbiasa

berpikir dan mengemukakan pendapat.

a. Pendidikan budi pekerti.

d. Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu.

Bila Tandililing memaparkan kelebihan dan kelemahan RME, Warli (2010) memberikan solusi dalam upaya meminimalisir kelemahan dalam penerapan RME antara lain:

a. Peranan guru dalam membimbing siswa dan memberikan motivasi harus lebih ditingkatkan.

b. Pemilihan alat peraga harus lebih cermat dan disesuaikan dengan materi yang sedang dipelajari.

c. Siswa yang lebih cepat dalam menyelesaikan soal atau masalah kontekstual dapat diminta untuk menyelesaikan soal-soal lain dengan tingkat kesulitan yang sama bahkan lebih sulit.

d. Guru harus lebih cermat dan kreatif dalam membuat soal atau masalah realistik.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan para ahli, dapat diketahui bahwa RME memiliki beberapa kelebihan dan kelemahan. Kelebihan tersebut hendaknya menjadi hal yang harus dipertahankan dan dikembangkan, sedangkan kelemahannya harus diminimalisir. Terdapat beberapa cara untuk dapat meminimalisir kelemahan RME, yang terpenting adalah guru hendaknya mempersiapkan rencana pembelajaran secara matang.

2.1.5 Peran Guru dalam Penerapan Realistic Mathematics Education Guru adalah perencana sekaligus pelaksana proses pembelajaran. Kualitas pembelajaran bergantung pada besarnya upaya guru untuk memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa. Peran guru


(26)

dalam RME lebih dominan pada pemberian motivasi, fasilitator, dan pemberi stimulus agar siswa aktif dalam kegiatan pembelajaran. Oleh sebab itu, guru hendaknya dapat memutakhirkan materi dengan masalah-masalah baru yang menantang bagi siswa.

Gravemeijer (Tarigan, 2006: 5) menjelaskan bahwa peran guru harus berubah dari seorang validator (menyalahkan/membenarkan) menjadi pembimbing yang menghargai setiap kontribusi (pekerjaan dan jawaban) siswa. Pendapat lain tentang peran guru dalam RME diungkapkan oleh Aisyah (2007: 7.6) antara lain:

a. Guru harus berperan sebagai fasilitator belajar.

b. Guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif. c. Guru harus memberi kesempatan kepada siswa untuk aktif

memberi sumbangan pada proses belajarnya.

d. Guru harus secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan masalah-masalah dari dunia nyata.

e. Guru harus secara aktif mengaitkan kurikulum matematika dengan dunia nyata, baik fisik maupun sosial.

Jadi, peran guru dalam penerapan RME adalah sebagai pembimbing dan fasilitator bagi siswa dalam merekonstruksi ide dan konsep matematika bukan sebagai hakim atas pekerjaan siswa. Hal ini dapat mendorong siswa untuk memiliki aktivitas baik dengan dirinya sendiri maupun bersama siswa lain (interaktivitas).

Berdasarkan teori-teori yang dikemukakan para pakar tersebut, maka yang dimaksud dengan RME pada penelitian ini adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang berawal dari masalah realistik sebagai sarana untuk mengonkretkan materi dan menghimpun konsep matematika. Pengongkretan materi ini diwujudkan melalui penggunaan model dan proses matematisasi, sehingga merujuk pada


(27)

kebermaknaan matematika dalam kehidupan. Adapun indikator pencapaian penerapan RME adalah adanya penekanan penggunaan situasi yang dapat dibayangkan melalui masalah realistik, penggunaan model, variasi strategi penyelesaian masalah, interaksi individu, dan keterkaitan antar konsep matematika.

2.2 Pembelajaran PAKEM 2.2.1 Pengertian PAKEM

PAKEM merupakan istilah yang memuat pengertian sebagai Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Menurut Rusman (2011: 321) PAKEM adalah pembelajaran yang berakar dari konsep bahwa pembelajaran harus berpusat pada anak (student centered learning) dan pembelajaran harus bersifat menyenangkan (learning is fun). Hal ini bertujuan agar siswa termotivasi untuk terus belajar sendiri tanpa diperintah dan tidak merasa terbebani atau takut. Definisi dari masing-masing komponen penyusun PAKEM adalah sebagai berikut. a. Aktif

Belajar bukanlah suatu proses pasif pembelajar yang hanya menerima informasi dalam bentuk ceramah dari pendidik. Oleh sebab itu, dalam proses pembelajaran hendaknya menampakkan suatu proses aktif dari si pembelajar dalam mengonstruksi pengetahuannya.

b. Kreatif

Komponen kreatif ini lebih menekankan pada usaha guru sebagai perencana pembelajaran. Guru hendaknya dapat


(28)

menciptakan kegiatan yang beragam sehingga memenuhi berbagai tingkat kemampuan siswa.

c. Efektif

Setiap pembelajaran tentu memiliki tujuan pembelajaran yang hendak dicapai. Keefektifan suatu proses pembelajaran dilihat dari penguasaan siswa setelah pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan, sehingga, pembelajaran yang aktif, kreatif, dan menyenangkan hanya akan menjadi pembelajaran bermain biasa tanpa tujuan yang jelas.

d. Menyenangkan

Penciptaan suasana pembelajaran yang menyenangkan dan menarik minat siswa. Sehingga siswa lebih memusatkan perhatiannya secara penuh. Sehingga waktu curah siswa benar-benar dipergunakan untuk kegiatan yang positif (Budimansyah, 2010: 70).

Secara singkat Siswono (Aisyah, 2007: 2.6) mengemukakan bahwa PAKEM berorientasi pada penciptaan suasana lingkungan belajar yang lebih melengkapi peserta didik dengan keterampilan-keterampilan, pengetahuan dan sikap bagi kehidupan kelak. Hal ini selaras dengan pendapat Rosdijati, dkk (2010: 16) bahwa PAKEM merupakan strategi dalam proses pembelajaran yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan belajar yang interaktif serta dapat mengembangkan keterampilan pengetahuan dan sikap yang dibutuhkan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, PAKEM menekankan pada bagaimana anak merasa senang dan tidak menganggap belajar sebagai


(29)

beban melainkan suatu proses yang harus dilaluinya yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat diketahui bahwa PAKEM berorientasi pada pemusatan proses pembelajaran pada siswa. Proses pembelajaran yang dilaksanakan menekankan pada prinsip pembelajaran yang menyenangkan (joyful learning) dengan tidak meninggalkan kebermaknaan suatu pembelajaran.

2.2.2 Karakteristik dan Prinsip Penerapan PAKEM

Perbedaan antar pendekatan, model, dan metode dapat terlihat dalam karakteristik dan prinsipnya. Meskipun sepintas terlihat sama, tetapi masing-masing pasti memiliki ciri khusus yang menjadi pembeda. Begitu pula dengan pendekatan PAKEM, ciri-ciri khusus atau karakteristik pembelajaran PAKEM secara rinci adalah sebagai berikut.

a. Adanya sumber belajar yang beraneka ragam.

b. Desain skenario pembelajaran mengacu pada sumber dan kegiatan pembelajaran yang beragam.

c. Adanya apresiasi terhadap buah karya siswa. d. Kegiatan belajar bervariasi secara aktif.

e. Optimalisasi kreativitas siswa baik secara individu maupun kelompok dalam kegiatan pembelajaran.

f. Adanya refleksi terhadap pelaksanaan proses pembelajaran yang telah dilaksanakan (Budimansyah, 2010: 73).


(30)

Selain dari karakteristik di atas, terdapat pula prinsip-prinsip yang harus diterapkan dalam pelaksanaan PAKEM, yaitu:

a. Memahami sifat peserta didik.

b. Mengenal peserta didik secara perorangan.

c. Memanfaatkan perilaku peserta didik dalam pengorganisasian belajar.

d. Mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif serta mampu memecahkan masalah.

e. Menciptakan ruangan kelas sebagai lingkungan belajar yang menarik.

f. Memanfaatkan lingkungan sebagai lingkungan belajar.

g. Memberikan umpan balik yang baik untuk meningkatkan kegiatan. h. Membedakan antara aktif fisik dan aktif mental (Ismail, 2008:

54 – 56).

Selain prinsip di atas, terdapat satu prinsip PAKEM yang harus diperhatikan. Prinsip tersebut dikemukakan oleh Rosdijati, dkk (2010: 29) bahwa dalam penerapannya, PAKEM tidak mematok model pembelajaran tertentu sebagai satu-satunya model yang harus dipakai, sehingga guru diberi ruang yang luas untuk menggunakan berbagai model atau metode pembelajaran. Namun, perlu ditekankan bahwa setiap pembelajaran yang dilaksanakan guru harus menampilkan ciri umum dari PAKEM, yakni aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan.

Selain itu, terdapat empat aspek yang mempengaruhi pelaksanaan PAKEM dalam pembelajaran. Apabila dalam sebuah pembelajaran


(31)

terdapat keempat aspek tersebut, maka kriteria PAKEM terpenuhi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Aspek-aspek dalam pembelajaran PAKEM a. Pengalaman

Aspek ini siswa diajarkan untuk dapat belajar mandiri. Siswa belajar banyak melalui berbuat dan melalui pengalaman langsung, sehingga dapat mengaktifkan banyak indra yang dimiliki siswa tersebut.

b. Komunikasi

Aspek komunikasi ini melatih siswa untuk dapat mengomunikasikan apa yang telah diperolehnya. Komunikasi dapat dilakukan dengan beberapa bentuk antara lain mengemukakan pendapat, presentasi, dan memajang hasil karya.

c. Interaksi

Aspek interaksi sebagai sarana untuk mengoreksi kesalahan makna yang diperbuat oleh peserta didik sehingga makna yang terbangun semakin mantap. Aspek interaksi ini mengarah pada pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa melalui pelibatan siswa dalam penggunaan media dan model PAKEM yag diterapkan.

PAKEM

Komunikasi

Pengalaman Interaksi


(32)

d. Refleksi

Aspek refleksi merupakan sarana untuk memikirkan kembali apa yang telah diperbuat/dipikirkan oleh siswa selama mereka belajar (Rusman, 2010: 327 – 328).

Berdasarkan pendapat para ahli tentang karakteristik PAKEM, dapat diketahui bahwa PAKEM memberikan keleluasaan yang pada guru untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan secara bervariasi. Di samping itu, siswa diberi ruang yang luas untuk mengeksplor pengetahuan, keterampilan, dan pembentukan sikap.

2.2.3 Kelebihan dan Kelemahan Penerapan PAKEM

Setelah pemaparan karakteristik dan prinsip-prinsip penerapan dalam PAKEM, sebagai salah satu pendekatan pembelajaran yang cukup familiar PAKEM memiliki beberapa kelebihan sebagai berikut. a. Pembelajaran dengan model PAKEM membuat siswa benar-benar

lebih senang belajar, karena guru tidak berperan sebagai sumber utama melainkan sebagai fasilitator yang dinamik dan kreatif.

b. Memungkinkan munculnya berbagai potensi siswa.

c. Menunjukkan sistem demokrasi melalui pemberian kebebasan pada siswa untuk mengaktualisasikan apa yang mereka miliki.

d. Mendorong maksimalnya daya serap siswa terhadap materi pembelajaran.

e. Mendorong perkembangan intelektual siswa (intelectual growth). f. Membantu perkembangan fisik (physical development).


(33)

g. Membangun keterampilan sosial siswa (building social skills). h. Membantu perkembangan emosi siswa (emotional development). i. Mendorong perkembangan kemampuan membaca dan berbahasa

siswa (language and literacy development). j. Menumbuhkan kreativitas siswa (creativity).

k. Mendorong siswa mencintai belajar sepanjang hayat. l. Mendorong kreativitas dan dedikasi guru.

m.Mendorong keterlibatan orang tua melalui dukungan dan pengawasan terhadap jalannya pendidikan dan kualitas pendidikan (Rosdijati, dkk., 2010: 33 – 36).

Selain kelebihan, PAKEM juga memiliki kelemahan. Secara garis besar kelemahan PAKEM dikemukakan oleh Anisah (Hafid, 2011) bahwa dalam pembelajaran model PAKEM, seorang guru mau tidak mau harus berperan aktif, proaktif, dan kreatif untuk mencari dan merancang media/bahan ajar alternatif yang mudah, murah dan sederhana. Namun tetap memiliki relevansi dengan tema mata pelajaran yang sedang dipelajari siswa. Hal ini jelas sekali dapat menjadi sebuah penghambat, ketika seorang guru tidak memiliki kemampuan untuk memanajemen dan menguasai hal-hal yang harus ada untuk menerapkan pembelajaran PAKEM.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diketahui bahwa PAKEM memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Kelebihan PAKEM tidak hanya berdampak pada diri siswa sebagai subjek pembelajaran. Tetapi juga untuk guru dan orang tua, sehingga terjadi hubungan yang sinergis,


(34)

sedangkan kelemahannya terdapat dalam kemampuan guru sebagai perencana sekaligus pelaksana pembelajaran untuk menciptakan pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif, kreatif, dan menyenangkan dengan tidak mengesampingkan efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran.

Berdasarkan kajian teori yang telah dikemukakan para ahli, maka yang dimaksud PAKEM dalam penelitian ini adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berakar dari konsep student center dengan menciptakan lingkungan belajar yang interaktif untuk mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan sikap yang berguna bagi kehidupan peserta didik. Fleksibilitas menjadi karakteristik utama, sebab PAKEM menuntut adanya variasi pembelajaran. Adapun indikator ketercapaian PAKEM antara lain adanya pemberian pengalaman dalam pembelajaran, pemberian kesempatan untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dan adanya interaksi antar komponen pembelajaran (siswa, guru, dan media) yang mengarah pada oembelajaran yang menyenangkan. Kemudian, diakhiri dengan refleksi terhadap proses pembelajaran.

2.3 Penerapan Pendekatan RME dan PAKEM dalam Pembelajaran

Penelitian ini mengimplementasikan RME dan PAKEM, sehingga dalam pelaksanaannya tertuang karakteristik dan langkah-langkah dari keduanya. Adapun langkah-langkah dalam penerapan pendekatan RME dan PAKEM adalah sebagai berikut.


(35)

a. Persiapan

Pada tahap persiapan, aktivitas yang dilakukan oleh guru adalah:

1) Menganalisis Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar serta menentukan materi yang akan dipelajari.

2) Berdasarkan hasil analisis, guru menentukan dan menganalisis masalah realistik, model atau media yang akan digunakan, dan model pembelajaran PAKEM yang akan diterapkan.

3) Pembuatan perangkat pembelajaran yang diperlukan. 4) Menyusun instrumen penilaian yang akan digunakan. b. Pelaksanaan

Proses pembelajaran dilaksanakan dengan mengintegrasikan indikator-indikator yang menjadi acuan dalam penerapan RME dan PAKEM. Berikut ini gambaran secara umum pelaksanaan pembelajaran dengan pendekatan RME dan PAKEM.

1) Pendahuluan

a) Menyiapkan peserta didik secara fisik dan psikis untuk mengikuti proses pembelajaran.

b) Apersepsi

c) Memberi motivasi dan menyampaikan tujuan pembelajaran. 2) Inti

a) Guru memberikan masalah realistik untuk mengetahui pengalaman dan pengetahuan siswa.

b) Kemudian siswa menggali informasi dan mengidentifikasi kosep matematika yang relevan dengan masalah realistik, kemudian


(36)

menyelesaikannya dengan menggunakan pengalaman serta pengetahuan yang dimilikinya.

c) Siswa berdiskusi secara berkelompok untuk memecahkan masalah yang terdapat dalam LKS.

d) Dalam memecahkan masalah siswa diberi kebebasan untuk menggunakan berbagai macam strategi.

e) Untuk mengerjakan LKS siswa diberikan media atau model serta bahan ajar.

f) Hasil diskusi kelompok akan menjadi bahan diskusi kelas yang dipimpin oleh guru. Melalui diskusi kelas siswa diajak untuk menarik kesimpulan mengenai strategi terbaik yang berlaku secara umum.

g) Refleksi pembelajaran dan pemberian umpan balik serta penguatan.

3) Penutup

a) Penyimpulan hasil pembelajaran secara menyeluruh. b) Evaluasi dalam bentuk matematika formal.

c) Merencanakan kegiatan tindak lanjut.

d) Menginformasikan materi/bahan belajar pertemuan berikutnya.

Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan ialah menerapkan pendekatan RME dan PAKEM, maka penulis mendefinisikan bahwa pembelajaran dengan pendekatan RME dan PAKEM adalah pembelajaran yang berakar dari konsep student center dan penggunaan masalah realistik, untuk mengonkretkan materi sehingga memahami konsep dengan


(37)

penciptaan lingkungan belajar yang interaktif, guna pembentukan sikap dan kompetensi siswa. Indikator pencapaian penerapan RME dan PAKEM adalah ketepatan pemilihan masalah realistik, adanya pemberian pengalaman melalui masalah realistik, penggunaan model, strategi yang bervariasi, pemberian kesempatan untuk mengembangkan komunikasi interpersonal, interaksi antara guru, siswa dan media, keterkaitan antar konsep matematika, dan refleksi terhadap proses pembelajaran.

2.4 Belajar

2.4.1 Pengertian Belajar

Belajar bukanlah istilah baru. Pengertian belajar ini terkadang diartikan secara common sense atau pendapat umum saja. Menurut Asra (2007: 5.3) belajar adalah perilaku sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungan untuk mencapai tujuan.

Penjelasan lebih lanjut bahwa untuk memahami konsep belajar secara utuh perlu digali terlebih dahulu bagaimana para pakar psikologi dan pakar pendidikan dalam mengartikan konsep belajar. Sebab perilaku belajar merupakan bidang telaah dari kedua bidang keilmuan tersebut. Pakar psikologis memandang belajar sebagai proses psikologis individu dalam interaksinya dengan lingkungan secara alami, sedangkan pakar pendidikan memandang belajar sebagai proses psikologis pedagogis yang ditandai adanya interaksi individu dengan lingkungan belajar yang sengaja diciptakan. Jadi, terdapat penekanan yang berbeda mengenai pengertian belajar, yaitu suatu aktivitas yang akan menghasilkan perubahan (Winataputra, 2008: 1.4 – 1.5).


(38)

Perubahan ini tidak terjadi dengan sendirinya melainkan melalui proses yang sengaja diciptakan. Pendapat Winataputra di atas sejalan dengan pendapat Hamalik (2005: 27) bahwa belajar merupakan suatu proses, suatu kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi lebih luas dari itu, yakni mengalami.

Berdasarkan uraian di atas, teori belajar yang sesuai dengan konsep belajar tersebut adalah teori belajar konstruktivisme. Menurut Budiningsih (2005: 59) konstruktivisme menekankan bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengonstruksi pengetahuannya sendiri. Konstruktivisme beraksentuasi belajar sebagai proses operatif, menekankan pada belajar autentik, dan proses sosial. Belajar operatif merupakan prinsip belajar yang tidak hanya menekankan pada pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang apa), namun pengetahuan struktural (pengetahuan tentang mengapa), serta pengetahuan prosedural (pengetahuan tentang bagaimana). Sedangkan belajar autentik adalah proses interaksi seseorang dengan objek yang dipelajari secara nyata. Belajar operatif dan belajar autentik dapat berlangsung dalam proses sosial melalui belajar kolaboratif dan kooperatif (Suprijono, 2010: 39 – 40).

Teori belajar konstruktivisme merupakan teori yang tepat untuk melandasi penelitian ini. Sebab prinsip belajar operatif dan autentik terdapat dalam penerapan RME, sedangkan prinsip belajar kolaboratif dan kooperatif terdapat dalam penerapan PAKEM.


(39)

Jadi, dapat disimpulkan bahwa belajar ialah proses perubahan melalui interaksi individu dengan lingkungan yang terjadi dalam suatu aktivitas. Aktivitas ini dapat bersifat psiko, fisik, dan sosio. Proses belajar tidak hanya menekankan pada pengetahuan deklaratif, namun lebih luas hingga pengetahuan struktural dan prosedural yang diperoleh melalui proses sosial.

2.4.2 Aktivitas Belajar

Proses belajar erat kaitannya dengan aktivitas, sebab aktivitas berlangsung dalam proses belajar. Keterkaitan tersebut dikemukakan oleh Poerwanti (2008: 7.4) bahwa selama proses belajar berlangsung dapat terlihat aktivitas siswa dalam mengikuti pembelajaran, seperti aktif bekerjasama dalam kelompok, memiliki keberanian untuk bertanya atau mengungkapkan pendapat.

Menurut Sardiman (2010: 100) aktivitas belajar adalah aktivitas yang bersifat fisik maupun mental. Sejalan dengan pendapat Sardiman, Kunandar (2010: 277) mengemukakan bahwa aktivitas belajar adalah keterlibatan siswa dalam bentuk sikap, pikiran, perhatian, dan aktivitas dalam kegiatan pembelajaran guna menunjang keberhasilan proses belajar mengajar dan memperoleh manfaat dari kegiatan tersebut.

Penjelasan lebih lanjut mengenai pembagian jenis aktivitas dalam kegiatan belajar dikemukakan oleh Paul D. Dierich (Hamalik, 2011: 90) sebagai berikut.

1. Kegiatan-kegiatan visual, yaitu membaca, melihat gambar-gambar, mengamati eksperimen, demonstrasi, pameran, dan mengamati orang lain bekerja atau bermain.


(40)

2. Kegiatan-kegiatan lisan (oral): mengemukakan suatu fakta atau prinsip, menghubungkan suatu kejadian, mengajukan pertanyaan, memberi saran, mengemukakan pendapat, berwawancara, diskusi.

3. Kegiatan-kegiatan mendengarkan: mendengarkan penyajian bahan, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan percakapan atau diskusi kelompok, mendengarkan suatu permainan, atau mendengarkan radio. 4. Kegiatan-kegiatan menulis, yaitu menulis cerita, menulis

laporan, memeriksa karangan, bahan-bahan copy, membuat out line atau rangkuman, dan mengerjakann tes, serta mengisi angket.

5. Kegiatan-kegiatan menggambar yaitu menggambar, membuat grafik, chart, diagram, peta, dan pola.

6. Kegiatan-kegiatan metrik, yaitu melakukan percobaan, memilih alat-alat, melaksanakan pameran, membuat model, menyelenggarakan permainan, serta menari dan berkebun. 7. Kegiatan-kegiatan mental, yaitu merenungkan, mengingat,

memecahkan masalah, menganalisa faktor-faktor, melihat hubungan-hubungan dan membuat keputusan.

8. Kegiatan-kegiatan emosional, yaitu minat, membedakan, berani, tenang, dll.

Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud aktivitas dalam penelitian ini adalah serangkaian kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa guna memperoleh perubahan perilaku sebagai hasil dari proses belajar baik secara fisik maupun mental. Adapun indikator aktivitas yang ingin dikembangkan dalam penelitian ini adalah siswa dapat mengajukan pertanyaan, mengemukakan pendapat, kerja sama atau diskusi kelompok, memecahkan masalah, memperhatikan penyajian bahan, dan keberanian berpendapat.

2.4.3 Hasil Belajar

Hasil belajar merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah proses pembelajaran, umumnya hasil belajar berupa nilai baik berupa nilai


(41)

mentah ataupun nilai yang sudah diakumulasikan. Namun, tidak menutup kemungkinan hasil belajar ini bukan hanya berupa nilai melainkan perubahan perilaku siswa. Seperti yang diungkapkan oleh Sukmadinata (2007: 103) bahwa hasil belajar (achievement) merupakan realisasi atau pemekaran dari kecakapan-kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan hasil belajar dapat dilihat dari perilakunya, baik perilaku dalam bentuk penguasaan pengetahuan, keterampilan berpikir maupun keterampilan motorik.

Hasil belajar menurut Bloom (Sudjana, 2011: 22 – 31) mencakup kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, análisis, síntesis, dan evaluasi. Dua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan perilaku atau respon yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. Sedangkan ranah psikomotorik berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak. Ada enam aspek ranah psikomotorik yakni, gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, kemampuan di bidang fisik (kekuatan, keharmonisan, dan ketepatan), gerakan-gerakan skill (mulai dari keterampilan sederhana sampai keterampilan yang kompleks), dan kemampuan yang berkenaan dengan komunikasi non-decursive seperti gerakan ekspresif dan interpretatif.


(42)

Berbeda halnya dengan Shimpson yang mengemukakan jenjang hasil belajar psikomotor meliputi persepsi, kesiapan, gerakan terbimbing, gerakan terbiasa, gerakan kompleks, gerakan pola penyesuaian, dan kreativitas (Sukiman, 2011: 73 – 74). Namun perlu diperhatikan bahwa tidak semua perubahan perilaku sebagaimana digambarkan oleh para ahli merupakan hasil belajar. Sebab menurut Sumiati (2009: 38) hasil belajar ada yang diperoleh dengan sendirinya melalui proses perkembangan dan pertumbuhan, seperti halnya kematangan atau maturation.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa pengertian hasil belajar dalam penelitian ini adalah perubahan perilaku siswa setelah mengikuti pembelajaran secara keseluruhan. Perubahan ini tidak dilihat secara parsial melainkan terhubung secara komprehensif baik dari domain kognitif, afektif, dan psikomotorik. Adapun indikator hasil belajar yang ingin dicapai dalam penelitian ini dari aspek kognitif meliputi pengetahuan, pemahaman, aplikasi, dan análisis. Untuk aspek afektif meliputi penerimaan, penanggapan atau responding, dan sikap atau valuing, sedangkan dari ranah psikomotor adalah kreativitas.

2.5 Matematika

2.5.1 Pengertian Matematika

Matematika sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah dasar bukanlah hanya pelajaran yang menghimpun angka-angka tanpa makna. Adji (2006: 34) mengemukakan bahwa matematika adalah bahasa,


(43)

sebab matematika merupakan bahasa simbol yang berlaku secara universal dan sangat padat makna dan pengertian. Berbeda halnya dengan Wijaya (2012: 86) yang menyatakan bahwa matematika bukanlah ”suatu ilmu yang berisi tentang ” melainkan ”suatu ilmu yang tersusun dari”. Paradigma yang sering tampak pada fakta, bahwa matematika merupakan ilmu yang berisi tentang geometri, bilangan, statistik, aljabar, dll (gambar a), bukan sebagai ilmu yang merupakan keterpaduan konsep (gambar b). Sehingga bila diilustrasikan dalam gambar akan tampak sebagai berikut.

Gambar 2. Domain dalam matematika.

Dimodifikasi dari Wijaya (2012: 86)

Berbeda halnya dengan pendapat Suwangsih (2006: 3) bahwa Matematika terbentuk dari pengalaman manusia dalam dunianya secara empiris. Kemudian, pengalaman itu diproses di dalam dunia rasio, diolah secara analisis dengan penalaran dalam struktur kognitif sehingga terbentuklah konsep-konsep matematika yang dimanipulasi melalui bahasa matematika atau notasi matematika yang bernilai universal.

Selain pendapat-pendapat di atas, Wale (2006: 13) mendefinisikan matematika sebagai ilmu yang memiliki pola keteraturan dan urutan yang logis. Dari definisi singkat ini menunjukkan bahwa matematika

Statistik

Bilangan

Trigonometri Geometri

Aljabar

a b

Geometri

Statistik

Aljabar

Bilangan

Trigonome-tri


(44)

bukanlah ilmu pengetahuan yang didominasi oleh perhitungan-perhitungan yang tanpa alasan. Sehingga dengan

menginterpretasikan dan mengaplikasikan pola keteraturan inilah akan muncul makna dari belajar matematika.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu yang tersusun dari konsep-konsep yang memiliki pola dan urutan. Pola dan urutan ini diwujudkan dalam bahasa matematika atau notasi matematika dan bersifat universal. Konsep-konsep matematika tersebut diperoleh melalui proses berpikir yang sistematis.

2.5.2 Pembelajaran Matematika di SD

Pembelajaran matematika di sekolah dasar tentulah berbeda dengan pembelajaran matematika di sekolah menengah dan sekolah lanjut. Dalam teori pembelajaran matematika ditingkat sekolah dasar yang diungkapkan oleh Heruman (2008: 4 – 5) bahwa dalam proses pembelajaran diharapkan adanya reinvention (penemuan kembali) secara informal dalam pembelajaran di kelas dan harus menampakkan adanya keterkaitan antar konsep. Hal ini bertujuan untuk memberikan pembelajaran yang bermakna bagi siswa.

Kebermaknaan ini dapat terjadi bila siswa mencoba menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka yang berupa konsep matematika. Selain itu, penanaman konsep mengenai tujuan ilmu matematika menjadi poin penting untuk membangun kebermaknaan. Menurut Ollerton (2010: 25) penguasaan


(45)

konsep ini diawali dengan penggunaan situasi-situasi yang berada di luar atau dari kehidupan sehari-hari siswa, dengan demikian siswa mampu mengenali tujuan ilmu matematika di dalam dan di luar konteks kehidupan mereka.

Konsep pembelajaran matematika di SD yang telah dikemukakan di atas, sesuai dengan ciri-ciri pembelajaran matematika di SD menurut Suwangsih (2006: 25 – 26) sebagai berikut.

a. Pembelajaran matematika menggunakan metode spiral. Metode spiral ini melambangkan adanya keterkaitan antar materi satu dengan yang lainnya. Topik sebelumnya dapat menjadi prasyarat untuk memahami topik berikutnya atau sebaliknya.

b. Pembelajaran matematika diajarkan secara bertahap. Materi pembelajaran matematika diajarkan secara bertahap yang dimulai dari konsep-konsep yang sederhana, menuju konsep yang lebih kompleks.

c. Pembelajaran matematika menggunakan metode induktif, sedangkan matematika merupakan ilmu deduktif. Namun, karena sesuai tahap perkembangan siswa maka pembelajaran matematika di SD digunakan pendekatan induktif.

d. Pembelajaran matematika menganut kebenaran konsistensi.

e. Pembelajaran matematika hendaknya bermakna. Konsep matematika tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi sebaliknya siswalah yang harus mengonstruksi konsep tersebut.


(46)

Berdasarkan beberapa pendapat di atas penulis menyimpulkan bahwa dalam pembelajaran matematika di SD hendaknya merujuk pada pemberian pembelajaran yang bermakna melalui konstruksi konsep-konsep yang saling berkaitan hingga adanya reinvention (penemuan kembali). Meskipun penemuan ini bukan hal baru bagi individu yang telah mengetahui sebelumnya, namun bagi siswa penemuan tersebut merupakan sesuatu yang baru.

2.6 Hipotesis Tindakan

Berdasarkan kajian teori di atas dapat dirumuskan hipotesis penelitian tindakan kelas ini adalah ”Apabila dalam proses pembelajaran matematika menerapkan pendekatan RME dan PAKEM sesuai konsep dan langkah-langkah yang tepat, maka dapat meningkatkan aktivitas dan hasil belajar matematika siswa kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur tahun pelajaran 2012/2013”.


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan Classroom Action Research atau yang lebih familiar disebut Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Muslikah (2010: 32) mendefinisikan penelitian tindakan kelas sebagai suatu bentuk penelitian yang bersifat reflektif dengan melakukan tindakan-tindakan tertentu agar dapat memperbaiki dan meningkatkan praktek-praktek di kelas secara lebih profesional.

Oleh sebab itu, sebelum pelaksanaan PTK, peneliti telah mempersiapkan berbagai input sesuai dengan penerapan kolaborasi pendekatan RME dan PAKEM yang digunakan untuk memberi perlakuan dalam PTK, berupa perangkat pembelajaran matematika sebagai acuan dalam pelaksanaan PTK. Adapun materi pokok dalam PTK ini antaralain; (1) penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk pecahan, (2) perkalian dan pembagian berbagai bentuk pecahan, dan (3) menyelesaikan masalah perbandingan dan skala yang menggunakan pecahan. Selain itu juga dibuat perangkat penelitian berupa lembar aktivitas siswa, lembar kinerja guru, dan lembar hasil belajar afektif dan psikomotor.


(48)

Penjelasan lebih lanjut diungkapkan oleh Muslich (2012: 7) bahwa penelitian tindakan kelas dilaksanakan secara partisipatif (dilakukan sendiri oleh peneliti) dan kolaboratif (melibatkan teman sejawat dalam pengamatannya). Hal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya subjektivitas dalam pelaksanaan penelitian.

PTK ini dilaksanakan melalui tiga siklus untuk melihat peningkatan aktivitas dan hasil belajar siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan RME dan PAKEM.

Gambar 3. Prosedur PTK

Adopsi dari Arikunto (2007: 16)

Perencanaan

Pelaksanaan Refleksi

Observasi

SIKLUS I

SIKLUS II

Perencanaan Observasi

Pelaksanaan Refleksi


(49)

3.1.1 Seting Penelitian a. Tempat Penelitian

Penelitian tindakan kelas ini dilaksanakan di SD Negeri 8 Metro Timur. Tepatnya di jalan Stadion No. 24 Tejosari kecamatan Metro Timur, Kota Metro.

b. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada semester genap dengan lama penelitian 6 bulan, terhitung dari bulan Desember 2012 sampai dengan Mei 2013.

3.1.2 Subjek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah siswa dan guru kelas VB SD Negeri 8 Metro Timur. Jumlah siswa dalam kelas tersebut adalah 27 siswa yang terdiri dari 12 orang siswa laki-laki dan 15 orang siswa perempuan.

3.1.3 Faktor yang Diteliti

Faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah perubahan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM terhadap aktivitas dan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika.

3.2 Teknik dan Alat Pengumpulan Data 3.2.1 Teknik Pengumpulan data

Data-data yang berkaitan dengan penelitian dikumpulkan melalui dua teknik, yaitu nontes dan tes.


(50)

a. Teknik Nontes

Variabel yang diukur dengan menggunakan teknik non tes ini yaitu aktivitas siswa, kinerja guru, hasil belajar afektif dan psikomotor dalam penerapan pendekatan RME dan PAKEM. Data aktivitas siswa diperoleh dengan memberikan skor 1 – 4 pada lembar observasi. Data kinerja guru diperoleh dengan memberikan skor 1 – 5 pada lembar observasi, sedangkan pada hasil belajar afektif dan psikomotor observer menggunakan skala 1 – 3.

b. Teknik tes

Teknik tes ini digunakan untuk mendapatkan data yang bersifat kuantitatif. Tes ini dilaksanakan pada pertemuan terakhir tiap siklus dalam bentuk soal tes formatif. Melalui soal tes formatif ini dapat diketahui peningkatan hasil belajar kognitif siswa dalam pembelajaran matematika melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM.

3.2.2 Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Lembar observasi

Kegiatan observasi ini dilakukan untuk mengetahui aktivitas selama proses pembelajaran baik yang ditunjukkan oleh guru maupun siswa sesuai dengan indikator-indikator yang telah


(51)

ditentukan. Selain aktivitas, observasi dilakukan untuk memperolah data mengenai hasil belajar afektif dan psikomotor.

Adapun instrumen yang digunakan untuk memperoleh data kinerja guru adalah sebagai berikut.

Tabel 3. Indikator Kegiatan Guru Berkenaan dengan RME dan PAKEM.

No Indikator Skor

(1-5) 1 Ketepatan pemilihan masalah realistik.

2 Pemberian pengalaman melalui masalah realistik 3 Penggunaan model dan media

4 Memfasilitasi siswa untuk mengembangkan gagasan baru dan relatif berbeda dalam menyelesaikan masalah (variasi stretegi)

5 Memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi melalui diskusi.

6 Memfasilitasi terjadinya interaksi komponen pembelajaran (siswa, guru, media) melalui pembelajaran kooperatif dan kolaboratif.

7 Memunculkan keterkaitan konsep matematika. 8 Memfasilitasi siswa melakukan refleksi

Instrumen yang digunakan untuk memperoleh data aktivitas siswa adalah sebagai berikut.

Tabel 4. Indikator Aktivitas Siswa.

No Kegiatan siswa Skor

1 2 3 4 5 1 memperhatikan penyajian bahan

2 mengajukan pertanyaan 3 mengemukakan pendapat 4 kerjasama atau diskusi 5 memecahkan masalah 6 keberanian berpendapat

Instrumen untuk memperoleh data hasil belajar afektif dan psikomotor adalah sebagai berikut.


(52)

Tabel 5. Indikator Hasil Belajar Afektif dan Psikomotor Siswa.

No Ranah Indikator Skor

(1-3)

1. Afektif

Kesadaran untuk menerima perbedaan pendapat

Partisipasi Sikap 2. Psikomotor Kreativitas

Pada penelitian ini, terdapat dua orang observer yaitu guru kelas VB dan mahasiswa PGSD yang menjadi teman sejawat peneliti. Observer diberi keleluasaan untuk membuat catatan jika terdapat aspek yang tidak tercantum dalam lembar observasi. Namun, cukup berpengaruh selama proses pembelajaran.

b. Tes Hasil Belajar

Tes hasil belajar kognitif dilaksanakan sebanyak tiga kali yaitu pada setiap pertemuan ketiga. Jenis tes yang diberikan adalah isian dan essay. Jumlah soal pada siklus I adalah 8 butir, siklus II berjumlah 9 butir, dan siklus III berjumlah 4 butir. Setiap butir soal memiliki skor tertentu. Namun, tidak semua indikator pembelajaran dimunculkan dalam soal tes, karena keterbatasan alokasi waktu tes yang disediakan.

3.3 Teknik Analisis Data

Data-data yang telah diperoleh melalui alat pengumpul data di atas, tidak akan bermakna apabila tidak dilakukan analisis terhadap data tersebut sesuai dengan teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian. Analisis data dilakukan dengan menyeleksi dan mengelompokkan data, memaparkan atau


(53)

mendeskripsikan data dalam bentuk narasi, tabel, dan atau grafik (Aqib, 2009: 11).

3.3.1 Teknik analisis data kualitatif

Data kualitatif diperoleh melalui kegiatan pengamatan (observasi). Dalam penelitian ini yang termasuk dalam data kualitatif adalah aktivitas siswa, kinerja guru, hasil belajar afektif, dan psikomotor.

a. Aktivitas Siswa

1) Aktivitas tiap individu diperoleh dengan rumus:

N =

x 100

N : Nilai

R : Jumlah skor yang diperoleh SM : Skor maksimal

(Sumber: modifikasi Purwanto, 2008: 102)

Berdasarkan nilai yang diperoleh secara individu dapat diketahui tingkat aktivitas siswa sesuai kategori berikut ini.

Tabel 6. Kategori Peningkatan Aktivitas Siswa.

Nilai Kategori

N>75 Aktif

50<N≤75 Cukup aktif 25<N≤50 Kurang aktif

N≤25 Pasif


(54)

2) Persentase siswa aktif secara klasikal diperoleh melalui rumus:

P

=

x 100%

Tabel 7. Kategori Keaktifan Kelas dalam Persen (%).

Siswa aktif (%)

Kriteria

≥80 Sangat tinggi/sangat aktif 60-79 Tinggi/aktif

40-59 Sedang

20-39 Rendah/kurang aktif <20 Sangat rendah/pasif (sumber: Adaptasi Khotimah dalam Aqib, dkk 2009: 41)

b. Pencapaian indikator dalam penerapan pendekatan RME dan PAKEM yang dilakukan oleh guru.

Ketercapaian penerapan pendekatan RME dan PAKEM diperoleh melalui pengamatan dengan berpedoman pada lembar observasi yang mengacu pada indikator-indikator keberhasilan dari kedua pendekatan tersebut. Penilaian penerapan proses pembelajaran ini menggunakan skala 1 – 5. Tingkat pencapaian tersebut diperoleh dengan menggunakan rumus:

Nilai =

x 100

(Sumber: modifikasi Sudijono, 2011: 318)

Dari perolehan nilai tersebut, akan diketahui peningkatan penerapan pendekatan RME dan PAKEM dengan kategori sebagai berikut.


(55)

Tabel 8. Kategori Keberhasilan Guru dalam Menerapkan pendekatan RME dan PAKEM.

Rentang nilai Kategori N>80 Sangat baik 60<N≤80 Baik 40<N≤60 Cukup baik 20<N≤40 Kurang baik

N<20 Sangat kurang (Sumber: adaptasi Poerwanti, 2008: 7.8)

c. Pemberian skor pada hasil belajar afektif dan psikomotor menggunakan skala 1 – 3. Untuk menentukan nilai menggunakan rumus:

Nilai =

x 100

3.3.2 Teknik analisis data kuantitatif

Data kuantitatif adalah data yang berupa angka-angka. Oleh sebab itu dalam analisis data kuantitatif menggunakan analisis statistik deskriptif. Dalam penelitian ini yang termasuk dalam analisis data kuantitatif yaitu hasil belajar siswa.

a. Nilai hasil belajar kognitif siswa secara individu diperoleh dengan rumus:

Nilai =

x 100

(Sumber: modifikasi Sudijono, 2011: 318)

b. Perolehan hasil belajar siswa merupakan akumulasi dari hasil belajar kognitif, afektif, dan psikomotor dengan persentase kognitif 70%, afektif 10%, dan psikomotor 20%. Sehingga nilai akhir hasil belajar siswa diperoleh dengan rumus:


(56)

NA = 70% C + 10% A + 20% P

Bila nilai akhir yang diperoleh ≥55 maka dikategorikan tuntas, sedangkan jika <55 dikategorikan tidak tuntas.

c. Persentase ketuntasan belajar klasikal.

P =

x 100%

(Sumber: adopsi Khotimah dalam Aqib, dkk 2009: 41)

d. Hasil analisis data tersebut akan dijadikan penentuan tingkat keberhasilan belajar siswa secara klasikal sesuai kriteria berikut ini. Tabel 9. Kriteria Keberhasilan Belajar Siswa Secara Klasikal dalam

Persen (%).

Tingkat Keberhasilan Kategori ≥80%

60-79% 40-59% 20-39% <20%

Sangat tinggi Tinggi Sedang Rendah Sangat rendah

(Sumber: adopsi dari Khotimah dalam Aqib, dkk 2009: 41)

3.4 Prosedur Penelitian

Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan dalam tiga siklus, dengan berbagai kemungkinan yang dianggap perlu. Setiap siklus yang dilaksanakan terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi.

3.4.1 Siklus I

a. Tahap Perencanaan

Ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh guru dan peneliti dalam tahap perencanaan, antara lain:


(57)

1. Menganalisis standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk menentukan materi dengan berpedoman pada permendiknas nomor 22 tahun 2006 tentang standar isi.

2. Berdasarkan hasil analisis, guru menentukan dan menganalisis masalah realistik, model atau media yang akan digunakan, model pembelajaran PAKEM yang akan diterapkan.

3. Pembuatan perangkat pembelajaran yang diperlukan (pemetaan, silabus, RPP, dan instrumen tes) yang berpedoman pada permendiknas nomor 41 tahun 2007 tentang standar proses.

4. Menyiapkan lembar observasi aktivitas, kinerja guru, hasil belajar afektif dan psikomotor.

b. Tahap Pelaksanaan

Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini adalah mengelola proses pembelajaran matematika melalui penerapan pendekatan RME dan PAKEM. Kompetensi dasar pada pembelajaran siklus I adalah ”menjumlahkan dan mengurangkan berbagai bentuk pecahan”. Pertemuan 1 membahas materi pokok tentang “penjumlahan berbagai bentuk pecahan” dan pertemuan 2 membahas materi pokok tentang “pengurangan berbagai bentuk pecahan”. Penerapannya mengacu pada hasil dari tahap perencanaan. Secara rinci pelaksanaan pembelajaran adalah sebagai berikut.


(58)

1. Pendahuluan

a) Pengondisian kelas dan menata ruang kelas sesuai prosedur PAKEM yang digunakan serta menertibkan siswa.

b) Membentuk kelompok belajar siswa menjadi 7 kelompok dengan tiap kelompok berjumlah 4 orang siswa. Kelompok bersifat heterogen dengan kemampuan siswa bervariasi yang telah dibuat oleh peneliti dan teman sejawat.

c) Membagikan topi bernomor untuk memudahkan dalam mengamati aktivitas siswa.

d) Guru menyampaikan apersepsi.

e) Guru menyampaikan tujuan pembelajaran. f) Guru memberikan motivasi.

2. Inti

Penerapan pendekatan RME dan PAKEM dalam pembelajaran tampak pada kegiatan inti ini. Adapun langkah-langkah penerapan dalam pembelajaran memunculkan karakteristik dari kedua pendekatan tersebut. Berikut ini langkah-langkah pembelajaran dengan pendekatan RME dan PAKEM.


(59)

a) Eksplorasi

1) Menggali pengetahuan dengan memberikan masalah realistik yang berkaitan dengan materi ”penjumlahan dan pengurangan berbagai bentuk pecahan”.

2) Siswa dibimbing untuk mencari informasi dan menggali pengetahuannya tentang masalah yang disajikan oleh guru melalui tanya jawab dan penjelasan guru secara klasikal.

b) Elaborasi

1) Siswa berdiskusi antar individu dalam kelompoknya untuk menyelesaikan masalah realistik yang terdapat dalam LKS. Pelaksanaan diskusi memunculkan model PAKEM yang digunakan. Pada siklus I guru mengkreasikan kepala bernomor dan snowball drilling dalam pembelajaran.

2) Untuk menyelesaikan masalah siswa diberi bahan ajar dan alat peraga lainnya.

3) Selesai berdiskusi dengan kelompoknya, siswa mempresentasikan hasil diskusi sebagai bahan diskusi kelas dengan membandingkan hasil kerja kelompok lainnya yang dipimpin oleh guru.

4) Berdasarkan hasil diskusi kelas yang dilakukan, siswa diarahkan untuk menarik kesimpulan tentang konsep,


(60)

prinsip, atau prosedur terkait dengan masalah yang baru diselesaikan.

5) Pemberian penghargaan kelompok. c) Konfirmasi

1) Guru memberikan umpan balik dalam bentuk lisan, tulisan, isyarat maupun hadiah terhadap keberhasilan siswa.

2) Penguatan dengan penyempurnaan terhadap beberapa hal yang diinformasikan pada diskusi kelas.

3) Siswa dibimbing untuk melakukan refleksi untuk memperoleh pengalaman belajar.

3. Penutup

a) Siswa dengan bimbingan guru membuat kesimpulan dari pembelajaran.

b) Memberikan tugas rumah sebagai tindak lanjut.

c) Menyampaikan materi pembelajaran pada pertemuan berikutnya.

c. Tahap Observasi

1. Melakukan pengamatan proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru dalam menerapkan pendekatan RME dan PAKEM. 2. Mengamati setiap kegiatan dan perubahan yang terjadi saat penerapan pendekatan RME dan PAKEM dengan lembar observasi yang telah dibuat dengan memberikan skor antara 1 – 4.


(1)

dengan nilai rata-rata kelas 61,95, dan pada siklus III sebesar 88,89% (kriteria sangat tinggi ) dengan nilai rata-rata kelas 82,34.

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan di atas, peneliti memberikan saran dalam menerapkan pendekatan RME dan PAKEM pada pembelajaran, antara lain:

a. Bagi siswa

Siswa harus mempersiapkan bahan materi yang akan dipelajari terlebih dahulu. Kemudian, siswa harus berani untuk berpartisipasi aktif dalam diskusi, sebab diskusi adalah tempat belajar memahami konsep. b. Bagi guru

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan guru sebagai pelaksana pembelajaran dalam menerapkan pendekatan RME dan PAKEM. Secara umum hal-hal yang perlu dipersiapkan yaitu, kelengkapan pembelajaran (pemetaan, silabus, RPP, dan soal tes) maupun penunjang pelaksanaan pembelajaran (LKS, bahan ajar, dan media). Secara khusus dalam penerapan RME perlu diperhatikan beberapa hal, diantaranya yaitu pemilihan masalah realistik, persiapan berbagai sumber belajar, perlunya bimbingan bagi siswa untuk menemukan variasi strategi, serta pemberian tindak lanjut baik pengulangan terhadap materi yang telah dipelajari maupun dasar-dasar untuk materi berikutnya.

Selanjutnya dalam penerapan PAKEM terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu guru hendaknya dapat melibatkan siswa selama proses pembelajaran, mengembangkan kemampuan komunikasi dan


(2)

115

interaksi, penggunaan metode pembelajaran yang bervariasi, dan refleksi terhadap kegiatan pembelajaran. Selain itu, pengenalan terhadap karakter dan latar belakang siswa diperlukan untuk memberikan perlakuan tertentu terhadap siswa.

c. Bagi sekolah

Dinamisasi dunia pendidikan menuntut adanya inovasi, salah satunya adalah inovasi pembelajaran. Bentuk inovasi pembelajaran dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti penggunaan media dan LKS dalam pembelajaran serta implementasi variasi model pembelajaran. Selain itu, penyediaan terhadap sarana dan prasarana pembelajaran dan panduan penggunaannya perlu dioptimalkan pihak sekolah.

d. Bagi peneliti

Berdasarkan hasil penelitian penulis menyarankan pada peneliti berikutnya untuk dapat melakukan penelitian dengan mengimplementasikan RME dan PAKEM pada materi yang berbeda. Selain itu, kedua pendekatan ini dapat diterapkan secara terpisah, misalnya penerapan RME pada materi dan kelas yang berbeda atau PAKEM pada mata pelajaran lain.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Nahrowi & Maulana. 2006. Pemecahan Masalah Matematika. UPI PRESS. Bandung. 364 hlm.

Aisyah, Nyimas. 2007. Pengembangan Pembelajaran Matematika SD. Dikjen Dikti Depdiknas. Jakarta. 308 hlm.

Andayani, dkk. 2009. Pemantapan Kemampuan Profesional. Universitas terbuka. Depdiknas. 108 hlm.

Aqib, Zainal, dkk. 2009. Penelitian Tindakan Kelas (PTK) untuk Guru SD, SLB, TK. CV Yrama Widya. Bandung. 258 hlm.

Arikunto, Suharsimi. 2007. Penelitian Tindakan kelas. Bumi Aksara. Jakarta. 152 hlm.

Asra, dkk. 2007. Komputer dan Media Pembelajaran di SD. Dikjen Dikti Depdiknas. Jakarta. 290 hlm.

Budimansyah, Dasim, dkk. 2010. PAKEM: Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Genesindo. Bandung. 238 hlm.

Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Rineka Cipta. Jakarta. 128 hlm.

Djamarah & Aswan Zain. 2006. Strategi Belajar Mengajar. Rineka Cipta. Jakarta. 226 hlm.

Depdiknas. 2011. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah Kelas V. Kemendiknas. Jakarta. 30 hlm. Hadi, Sutarto. 2005. Pendidikan Matematika Realistik dan Implementasinya.

Tulip. Banjarmasin. 168 hlm.

Hamalik, Oemar. 2005. Proses Belajar Mengajar. Bumi Aksara. Jakarta. 242 hlm. , 2011. Kurikulum dan Pembelajaran. Bumi Aksara. Jakarta. 185 hlm.


(4)

117

Hafid, Abd. 2011. Pembelajaran Aktif Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan sebagai Alternatif Pembelajaran yang Inovatif. http://digilib.unm.ac.id. (diakses pada 16 Desember 2012 @07:02).

Hanafiah, Nanang & Cucu Suhana. 2010. Konsep Strategi Pembelajaran. Refika Aditama. Bandung. 236 hlm.

Heruman. 2008. Model Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar. Remaja Rosdakarya. Bandung. 194 hlm.

Ismail. 2008. Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM. Rasail Media Group. Semarang. 150 hlm.

Kunandar. 2010. Langkah Mudah Penelitian Tindakan Kelas sebagai Pengembangan Profesi Guru. Rajawali Pers. Jakarta. 311 hlm.

Kusumah, Wijaya. 2009. Mengenal Penelitian Tindakan Kelas. PT Indeks. Jakarta. 427 hlm.

Muslich, Masnur. 2012. Melaksanakan PTK Itu mudah (Classroom Action Research): Pedoman Praktis bagi Guru Profesional. Bumi Aksara. Jakarta. 290 hlm.

Muslikah. 2010. Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. Interprebook. Yogyakarta. 133 hlm.

Nasar. 2006. Merancang Pembelajaran Aktif dan Kontekstual Berdasarkan

“SISKO”. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. 82 hlm.

Ollerton, Mike. 2010. Panduan Guru Mengajar Matematika. Terjemahan Bob Sabran dari Mathematics Teacher’s Handbook. Erlangga. Jakarta. 144 hlm.

Poerwanti, Endang, dkk. 2008. Assesmen Pembelajaran SD. Dirjen Dikti Depdiknas. Jakarta. 430 hlm.

Purwanto, Ngalim. 2008. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Remaja Rosdakarya. Bandung. 165 hlm.

Rahayu, Tika. 2010. Pengaruh Pendekatan RME (realistic mathematics education) Terhadap Peningkatan Prestasi Belajar Matematika Siswa Kelas II SD Negeri Penaruban 1 Purbalingga (Skripsi). http//: www. blogspot. com. (diakses pada 18 Desember 2012 @11:43).

Rosdijati, dkk. 2010. Panduan PAKEM IPS SD. Penerbit Erlangga. Jakarta. 79 hlm.


(5)

Rusman. 2011. Model-model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalisme Guru. Rajawali Pers. Jakarta. 420 hlm.

Sardiman. 2010. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Rajawali Pers. Jakarta. 236 hlm.

Sudijono, Anas. 2011. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 488 hlm.

. 2011. Pengantar Statistik Pendidikan. Rajawali Pers. Jakarta. 406 hlm.

Sudjana, Nana. 2011. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Remaja Rosdakarya. Bandung. 168 hlm.

Sukiman. 2011. Pengembangan Sistem Evaluasi. Insan Madani. Yogyakarta. 286 hlm.

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Remaja Rosdakarya. Bandung. 286 hlm.

Sumantri, Mulyani & Nana Syaodih. 2007. Materi Pokok Perkembangan Peserta Didik. Universitas Terbuka. Jakarta. 294 hlm.

Sumiati & Asra. 2009. Metode Pembelajaran. CV Wacana Prima. Bandung. 254 hlm.

Suprijono, Agus. 2010. Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 189 hlm.

Suwangsih, Erna & Tiurlina. 2006. Model Pembelajaran Matematika. UPI PRESS. Bandung. 213 hlm.

Tandililing, Edy. 2012. Implementasi Realistic Mathematics Education (RME) di Sekolah. http://jurnal.untan.ac.id/index.php/jgmm/article/download/208/ 202 (diakses pada 10/11/2012 @09.30).

Tarigan, Daitin. 2006. Pembelajaran Matematika Realistik. Dirjen Pendidikan Tinggi Depdiknas. Jakarta. 167 hlm.

Tim Penyusun. 2003. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sinar Grafika. Jakarta. 227 hlm.

Tim Penyusun. 2005. PP No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Kemendiknas. Jakarta. 95 hlm.

Wale, John A. 2006. Matematika Sekolah Dasar dan Menegah. Terjemahan Suyono dari Elementary and Middle School Mathematics. Erlangga. Jakarta. 273 hlm.


(6)

119

Warli. 2010. Pembelajaran Matematika Realistik Materi Geometri Kelas IV MI. http:// ejournal.unirow.ac.id/ojs/files/journals/2/articles/4/public/JURNAL-WARLI-4.pdf. (diakses pada 11 November 2012 @ 09:41).

Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik: Suatu Alternatif Pendekatan Pembelajaran Matematika. Graha Ilmu. Yogyakarta. 98 hlm. Winataputra, Udin S. 2008. Materi Pokok Teori Belajar dan Pembelajaran.


Dokumen yang terkait

PENERAPAN METODE DISCOVERY UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN KETERAMPILAN BERCERITA SISWA KELAS VB SD NEGERI 10 METRO TIMUR

1 18 131

PENERAPAN METODE INKUIRI UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN IPS KELAS IVA SD NEGERI 8 METRO TIMUR TAHUN PELAJARAN 2010/2011

0 8 53

PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS IVA SD NEGERI 11

0 11 46

UPAYA MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK KELAS III SD NEGERI 08 METRO SELATAN TAHUN PELAJARAN 2009/2010

0 3 5

PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION DAN PAKEM UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VB SD NEGERI 8 METRO TIMUR TAHUN PELAJARAN 2012/2013

1 17 73

PENERAPAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE TWO STAY TWO STRAY UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN PKn KELAS VB SD NEGERI 1 METRO BARAT TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 8 40

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE THINK PAIR SHARE (TPS) SISWA KELAS VB SD NEGERI 3 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2012/2013

0 3 47

PENERAPAN MODEL PROBLEM POSING UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VA SD NEGERI 10 METRO TIMUR TAHUN PELAJARAN 2014/2015

0 6 71

PENINGKATAN AKTIVITAS DAN HASIL BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN MATEMATIKA MELALUI PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION PADA SISWA KELAS IVB SD NEGERI 3 METRO PUSAT TAHUN PELAJARAN 2014/2015

3 24 99

PENGARUH PENDEKATAN PEMBELAJARAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) DAN SELF-EFFICACY SISWA TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA KELAS VII SMP

2 3 8