IMPLEMENTASI UU PERKAWINAN TENTANG PERNIKAHAN USIA MUDA DI DESA PRINGOMBO KELURAHAN PRINGSEWU TIMUR KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2015
ABSTRAK
IMPLEMENTASI UU PERKAWINAN TENTANG PERNIKAHAN USIA MUDA DI DESA PRINGOMBO KELURAHAN PRINGSEWU
TIMUR KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU
TAHUN 2015 Oleh Elisa Seftriyana
Tujuan penelitian Implementasi UU Perkawinan Tentang Pernikahan Usia Muda di Desa Pringombo, Kelurahan Pringsewu Timur Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu untuk mendekripsikan pencatatan perkawinan, prosedur nikah, dan syarat administrasi nikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini deskriptif kualitatif dengan subjek penelitian pelaku pernikahan usia muda, orang tua pelaku pernikahan usia muda, dan aparat yang terlibat proses pernikahan. Teknik pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman dokumentasi sedangkan analisis data menggunakan uji kredibilitas dengan perpanjangan waktu dan triangulasi.
Hasil penelitian ini menunnjukkan terdapat perkawinan yang tidak dicatat yaitu sekitar 17% dari kasus pernikahan usia muda, kemudian terdapat penyimpangan administrasi yang dilakukan pihak kelurahan dengan pemalsuan usia calon mempelai, kesalahan pemahaman mengenai prosedur nikah dimana surat model N menjadi tidak terawasi oleh PPN. Berdasarkan hal tersebut menyimpulkan bahwa implementasi UU Perkawinan masih kurang atau belum dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat.
(2)
(3)
IMPLEMENTASI UU PERKAWINAN TENTANG PERNIKAHAN USIA MUDA DI DESA PRINGOMBO KELURAHAN PRINGSEWU
TIMUR KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU
TAHUN 2015
(Skripsi)
Oleh
ELISA SEFTRIYANA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2015
(4)
(5)
(6)
(7)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pringsewu, pada tanggal 9 September 1992, anak ketiga dari enam bersaudara buah cinta kasih dari pasangan Bapak Hartoyo dengan Ibu Sari.
Penulis menyelesaikan pendidikan di TK Aisiyah II pada tahun 1998, Sekolah Dasar Negeri II Pringsewu pada tahun 2004, kemudian Sekolah Menengah Pertama Negeri 2 Pringsewu pada tahun 2007, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Pringsewu pada tahun 2010.
Tahun 2010 penulis bekerja di Toko Sepatu Bata Pringsewu sebagai Pramuniaga selama satu tahun. Sampai kemudian pada tahun 2011 dapat melanjutkan ke jenjang Perguruan Tinggi dan tercatat sebagai mahasiswa Program Studi PPKn Jurusan Pendidikan IPS Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN. Penulis juga merupakan penerima Bidik Misi.
Penulis ikut serta sebagai anggota aktif Koperasi Mahasiswa Unila pada tahun 2012, menjadi Ketua Bidang Pendidikan Fordika pada tahun 2013, selain itu penulis pernah mewakili Universitas Lampung dalam berbagai event berskala nasional seperti Indonesia Entrepreneur Camp di Universitas Brawijaya Malang pada tahun 2013, Youth Educators Regional Training (YERT) pada tahun 2013, Finalis Olimpiade Ekonomi Syariah Nasional di Universitas Gunadarma Depok pada tahun 2014, penulis juga pernah meraih Juara III Debat Mahasiswa
(8)
Se-Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) dengan tujuan Jogjakarta-Bandung- Jakarta pada bulan Februari 2012 serta melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa Tampang Muda Kecamatan Pematang Sawa Kabupaten Tanggamus dan melaksanakan Program Pengalaman Lapangan (PPL) di SMP Negeri 2 Pematang Sawa pada bulan Juli-September 2014.
(9)
MOTO
“Pernikahan yang baik adalah hal yang memungkinkan perubahan dan perkembangan bagi seseorang dan di dalam
cara mereka mengekspresikan cinta mereka” (Perl S.Buck)
“Sabar Bukan Berarti Selalu Menerima Kesusahan, Tapi Bagaimana Kita Mampu Berpikir Kreatif Untuk
Melepaskan Diri dari Kesusahan” (Elisa Seftriyana)
(10)
PERSEMBAHAN
Dengan kerendahan hati dan rasa syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT, Kupersembahkan karya ini
kepada :
Kedua orang tuaku, Mamak Bapak yang sangat Kucintai, Kusayangi, dan Kubanggaan, terimakasih atas kasih sayang,
do’a, dukungan, semangat, dan pengorbanan demi keberhasilanku.
Kepada seluruh rakyat Indonesia dan Pemerintah yang telah membiyai kuliahku sampai semester delapan melalui program Bidik Misi. Semoga dengan ilmu ini, Aku dapat mengemban amanah untuk mengabdi pada Negeri tercinta.
Keluarga besarku yang terus memberikan dukungan dan do’a dan menanti keberhasilanku
Seluruh Dosen yang telah dengan sabar membimbing dan mengarahkan aku hingga aku berhasil
(11)
SANWACANA
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “IMPLEMENTASI UU PERKAWINAN TENTANG PERNIKAHAN USIA MUDA DI DESA PRINGOMBO KELURAHAN PRINGSEWU TIMUR KECAMATAN PRINGSEWU KABUPATEN PRINGSEWU TAHUN 2014”. Skripsi ini dibuat guna memenuhi syarat untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan di Universitas Lampung.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada berbagai pihak atas segala bantuan baik berupa pemikiran, fasilitas, motivasidan lain-lain demi terselenggaranya penulisan skripsi ini dari awal sampai akhir terutama kepada Ibu Dr. Adelina Hasyim, M.Pd., selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing I dan Ibu Yunisca Nurmalisa, S.Pd., M.Pd., selaku pembimbing II, serta ucapan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Hi. Bujang Rahman, M.Si., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;
2. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si. Wakil Dekan Bidang Pendidikan dan Kerja Sama Universitas Lampung;
3. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.Si., selaku Wakil Dekan Bidang Umum Keuangan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;
(12)
Universitas Lampung;
5. Bapak Drs. Zulkarnain, M.Si., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung;
6. Bapak Hermi Yanzi, S.Pd., M.Pd., selaku pembahas I sekaligus Ketua Program Studi PPKn, terima kasih atas saran dan masukannya;
7. Bapak Tubagus Ali Rachman, S.Pd., M.Pd., selaku pembahas II terima kasih atas saran dan masukannya;
8. Bapak Drs. Holilulloh, M.Si., Bapak M. Mona adha, S.Pd., M.Pd., Bapak Susilo, S.Pd., M.Pd. dan Bapak Rohman, S.Pd., M.Pd. serta Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung terimakasih atas segala ilmu yang telah diberikan, saran, masukan serta segala bantuan yang diberikan:
9. Kedua orang tuaku tercinta serta ayunda dan adindaku juga seluruh keluarga besarku dan saudara-saudaraku tercinta (Mbak Efri, Mbak Eva, Sely, Rio, dan Akbar) terimakasih atas doa, senyum, airmata, bahagia, dukungan, kasih sayang yang telah diberikan dan semua pengorbanan kalian untukku yang tiada terkira benilaianya dari segi apapun untukku; 10.Seluruh Bapak Ibu Guruku terimakasih atas segala yang telah kalian
(13)
(Yesi, Dio, Mahmudah, Novita, Dian, Devi, Iis, dan Muklish), seseorang yang selalu memeberikan motivasi dan pencerahan, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang selalu memberikan masukan dan motivasi serta tempat untuk mengadu dikala gundah gulanah;
11.Teman-teman seperjuanganku di Prodi PPKn angkatan 2011 baik ganjil maupun genap serta kakak tingkat dan adik tingkat, dari angkatan 2009 – 2014 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan yang kalian berikan;
12.Keluarga besar Ayunda Fitiyani dan Bapak Widodo S.Pd., serta keluarga besar SMPN 2 Pematang Sawa, juga tak terlupa teman-teman KKN dan PPL (Bayu, Yuli, Resi, Eka, Anggun, Tami, Kiki) terimakasih atas saran, serta motivasinya yang selalu kalian berikan kepadaku;
13.Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan penyajiannya. Akhirnya penulis berharap semoga dengan kesederhanaanya skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Bandar Lampung, Februari 2015 Penulis
Elisa Seftriyana NPM 1113032015
(14)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1.1. Jumlah Anak Yang Melakukan Pernikahan Usia Muda di Desa Pringombo Tahun 2011 s.d. 2014 ... 8 4.1. Jadwal Wawancara, Observasi, Dokumentasi di Kelurahan Pringsewu Timur,Kantor Urusan Agama, dan Disdukcapil ... 49 4.2. Daftar Kecamatan di Kabupaten Pringsewu Berdasarkan Batas
Wilayah ... 72 4.3. Daftar Kelurahan di Kabupaten Pringsewu... 72 4.4. Luas Wilayah Kelurahan Pringsewu Timur ... 73 4.5. Jumlah Penduduk Berdasarkan Data Kelurahan di Kabupaten Pringsewu Tahun 2014 ... 74 4.6. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama di Kabupaten Pringsewu Tahun 2014 ... 75 4.7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Produktif di Kabupaten Pringsewu Tahun 2014 ... 75 4.8. Jumlah Penduduk Menurut Klasifikasi Pemeluk Agama... 77 4.9. Sarana dan Prasarana Peribadatan di Desa Pringombo ... 79 4.10.Sarana dan Prasarana Peribadatan di Desa Pringombo
4.11.Jumlah Kasus Pernikahan Usia Muda Setelah Konfirmasi ... 78 4.12.Presentase Jumlah Kasus Pernikahan Usia Muda ... 81 4.13.Keterangan Surat Model N... 90
(15)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.Bagan Kerangka Pikir ... 55
2.Triangulasi Menurut Delzin ... 62
3.Analisis Data Menurut Miles dan Huberman ... 66
4.Rencana Penelitian Kualitatif ... 67
5.Diagram Kasus Pernikahan Usia Muda ... 79
(16)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Surat Izin Penelitian Pendahuluan 2. Surat Keterangan dari PD 1 FKIP Unila 3. Surat Izin Penelitian
4. Surat Telah Melaksanakan Penelitian 5. Kisi-Kisi Wawancara
6. Kisi-Kisi Observasi 7. Kisi-Kisi Dokumentasi 8. Instrumen Wawancara 9. Instrumen Observasi 10.Instrumen Dokumentasi
11.Lampiran Hasil Penelitian (Wawancara, Observasi, Dokumentasi) 12.Surat Model N dari KUA
13.SOP Prosedur Nikah dari KUA 14.Jumlah Pernikahan dari KUA
(17)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
ABSTRAK ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN ... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
SURAT PERNYATAAN ... v
RIWAYAT HIDUP ... vi
MOTO ... viii
PERSEMBAHAN... ix
SANWACANA ... x
DAFTAR ISI ... xv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 7
C. Fokus Masalah... 8
D. Rumusan Masalah ... 10
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10
1. Tujuan Penelitian ... 10
2. Kegunaan Penelitian ... 10
a. Kegunaan Teoritis ... 10
b. Kegunaan Praktis ... 11
F. Ruang Lingkup Penelitian ... 12
1. Ruang Lingkup Ilmu... 12
2. Ruang Lingkup Objek Penelitian ... 12
3. Ruang Lingkup Subjek Penelitian ... 12
4. Ruang Lingkup Wilayah Penelitian... 12
5. Ruang Lingkup Waktu Penelitian... 13
II. TINJUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka ... 14
1. Pengertian Pernikahan ... 14
a. Pernikahan Menurut Hukum Perdata ... 16
b. Pernikahan Menurut Perpsektif Hukum Islam ... 19
c. Pernikahan Menurut UU Perkawinan... 20
d. Perkawinan Menurut Hukum Adat ... 24
(18)
a. Tujuan Perkawinan ... 26
b. Syarat Perkawinan... 28
3. Pengertian Usia Muda ... 29
4. Pengertian Pernikahan Usia Muda ... 31
a. Pernikahan Usia Muda Menurut UU Perkawinan ... 33
b. Pengertian Dispensai Nikah ... 37
5. Teori Kesadaran Hukum... 39
B. Kajian Penelitian Yang Relevan... 46
1. Tingkat Lokal ... 46
2. Tingkat Nasional... 48
3. Tingkat Internasional ... 59
C. Kerangka Pikir... 51
III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ... 53
B. Lokasi Penelitian ... 54
C. Definisi Konseptual dan Operasional ... 55
1. Definisi Konseptual ... 55
2. Definisi Operasioanal ... 55
D. Informan dan Unit Analisis ... 56
E. Instrumen Penelitian ... 57
F. Teknik Pengumpulan Data... 57
1. Observasi ... 57
2. Wawancara ... 58
3. Dokumentasi ... 58
G. Uji Kredibilitas ... 59
1. Memperpanjang Waktu ... 59
2. Triangulasi ... 59
H. Teknik Pengolahan Data ... 60
1. Editing ... 60
2. Tabulating dan Coding ... 60
3. Intrepetasi Data ... 61
I. Teknik Analisis Data ... 61
1. Reduksi Data (Data Reduction) ... 61
2. Penyajian Data (Data Display) ... 62
3. Verifikasi (Conclusion Drawing)... 63
4. Rencana Penelitian ... 65
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tahapan Penelitian ... 67
1. Persiapan Pengajuan Judul ... 67
2. Penelitian Pendahuluan ... 67
3. Pengajuan Rencana Penelitian... 68
4. Penyusunan Kisi dan Instrumen Penelitian... 68
5. Pelaksanaan Penelitian ... 69
B. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 71
1. Sejarah Lokasi Penelitian ... 71
(19)
C. Deskripsi Data ... 80
D. Uji Kredibilitas Data ... 83
E. Analisis Hasil Penelitian... 83
F. Pembahasan ... 84
1. Pencatatan Perkawinan... 84
2. Prosedur Nikah... 86
3. Syarat Administrasi Nikah ... 88
G. Keunikan Hasil Penelitian ... 91
V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 100
B. Saran ... 102 DAFTAR PUSTAKA
(20)
I.PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai makhluk sosial, manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk menjalankan kehidupannya. Selain membutuhkan orang lain manusia juga membutuhkan pendamping hidup. Pedamping hidup dapat diwujudkan melalui proses perkawinan. Bukan hanya untuk mendapatkan pendamping hidup, perkawinan merupakan suatu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan manusia, baik dalam menjalin rumah tangga maupun mendapatkan keturunan. Dengan melaksanakan perkawinan manusia dapat memenuhi esensi dari perannya sebagai makhluk sosial. Perkawinan mempunyai tujuan bersifat jangka panjang sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri dalam rangka membina kehidupan yang rukun, tenteram dan bahagia.
Perkawinan selain memenuhi kebutuhan manusia sebagai makhluk sosial, perkawinan juga merupakan pemenuhan terhadap hak-hak manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Salah satu wujud kebesaran Tuhan Yang Maha Esa bagi manusia ciptaan-Nya adalah diciptakannya manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan berpasang-pasangan. Manusia diberikan sebuah wadah untuk berketurunan sekaligus beribadah dengan cara melaksanakan perkawinan sesuai tuntunan agama. Dalam hal ini aturan mengenai perkawinan juga sangat diperhatikan sehingga erat kaitannya dengan dasar
(21)
negara Indonesia. Secara otentik Hukum Perkawinan telah mengatur tentang dasar perkawinan, seperti dalam pasal 1 Undang-undang Perkawinan ditegaskan mengenai pengertian bahwa “perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Di dalam penjelasan ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, dimana sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.
Selain itu hubungan antara suami dan istri dalam perkawinan ini mempunyai akibat hukum yang luas. Hubungan hukum antara suami dan isteri ini mengandung nilai-nilai agama dan moral. Dengan perkawinan tersebut akan timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban, seperti kewajiban untuk bertempat tinggal yang sama, saling setia satu sama lain, kewajiban untuk memberi nafkah, hak waris dan sebagainya. Berdasarkan kewajiban dan hak yang timbul akibat perkawinan, negara yang melindungi hak-hak warga negaranya, terdapat undang-undang nasional yang mengatur tentang perkawinan.
Perkawinan juga sesungguhnya merupakan ikatan yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia bukan saja antara suami dan isteri serta keturunannya akan tetapi juga kepada keluarga dan masyarakat pada
(22)
umumnya. Dalam pergaulan hidup antara suami dan isteri yang kasih mengasihi, akan berpindah kebajikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihak, sehingga merekapun akan menjadi satu dalam segala urusan tolong menolong antara sesama dalam menjalankan kebajikan dan menjaga dari kejahatan. Lebih dalam lagi secara filosofis perkawinan juga dimaksudkan atau berfungsi bagi kemaslahatan umat manusia. Disamping itu semua, selain untuk pemenuhan kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani, perkawinan juga ditujukan untuk melanjutkan keturunan, sebagai generasi penerus bagi kelangsungan keberadaan manusia.
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta kompilasi hukum islam (KHI) mempunyai tujuan yang sama arti perkawinan itu sendiri yakni bahwa pernikahan mempunyai tujuan yang mulia dalam melestarikan dan menjaga keseimbangan hidup dalam rumah tangga yang baik, namun bukan suatu hal yang mudah untuk dijalankan, karena akan banyak sekali permasalahan yang akan timbul dalam sebuah pernikahan. Perkawinan suami isteri sering kali adanya permasalahan, maka dari itu dalam berumah tangga jangan cepat mengambil keputusan yang besar, bersikap tenang dan sabar dalam berbagai hal, karena menerima kelebihan dan kekurangan pasangan adalah hal yang paling baik untuk mengurangi konflik dalam berumah tangga. Karena sesungguhnya konflik dalam berumah tangga yang sering muncul ketika ego tidak dapat dikendalikan, seringkali ego yang muncul karena faktor usia, oleh sebab itu pernikahan cukup usia atau usia yang matang akan lebih baik untuk menjalani sebuah pernikahan.
(23)
Tidak sejalan dengan hal tersebut di era modern yang mengarah ke liberalisme ini pernikahan tidak lagi dijadikan sebagai tujuan yang mulia. Pernikahan hanya dijadikan sebab akibat dari kondisi dan perbuatan seseorang. Hal tersebut menyebabkan pernikahan menjadi kemudharatan karena diawali dengan keterpaksaan dan ketidaksiapan pasangan suami isteri untuk menjalani rumah tangga. Ketidakmatangan usia pernikahan atau yang sering disebut dengan pernikahan usia muda menjadi salah satu bukti bahwa pernikahan tidak dipahami dengan sebenar-benarnya. Tidak dapat dipungkiri pernikahan usia muda ini menimbulkan dampak yang negatif bagi pelaku. Pernikahan usia muda ini memiliki akibat hukum yang luas. Hal ini berkaitan dengan keberadaan perkawinan di mata hukum atau diakui tidaknya perkawinan oleh negara.
Menurut data statistik pada tahun 2013 menunjukkan bahwa dari seluruh jumlah perkawinan di Indonesia, 4,8% perkawinan dilakukan oleh pasangan yang masih di bawah umur. Perkawinan usia muda ini masih menjadi ancaman bagi generasi muda bangsa. Bukan hanya di perkotaan, pernikahan usia muda ini justru banyak terjadi di pedesaan. Dan masih banyak terjadi di lingkungan sekitar kita. Misalnya, yang terjadi di desa Pringombo kelurahan Pringsewu Timur Kabupaten Pringsewu, di mana di desa tersebut menurut catatan kelurahan pada tahun 2011 sampai 2014 terdapat 33 orang yang melakukan pernikahan dini.
(24)
Tabel 1.1. Jumlah Anak Yang Melakukan Pernikahan Usia Muda di Desa Pringombo Tahun 2011 s.d. Tahun 2014
No. Desa Jumlah
Pernikahan
Kasus Pernikahan Usia Muda L Rentang
Umur (th)
P Rentang Umur (th)
1. Pringombo I 47 4 16-18 2 14-16
2. Pringombo II 36 3 15-18 7 15-16
3. Pringombo III 45 4 17-18 13 13-16
Jumlah 125 11 22
Jumlah Pernikahan Usia Muda 33 Sumber : Observasi dan Data Kelurahan
Berdasarkan data tersebut membuktikan bahwa dari 125 jumlah perkawinan terdapat 33 perkawinan di bawah umur atau 26% dari perkawinan selama empat tahun terakhir dilakukan oleh pasangan atau dari salah satu pihak yang masih di bawah umur. Selain itu, pada satu tahun terakhir ini di desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kabupaten Pringsewu, tepatnya di Lingkungan III terdapat 4 kasus pernikahan dini. Dari hasil wawancara dengan kepala desa, diperoleh informasi mereka terpaksa menikah karena dampak pergaulan bebas yang menyebabkan hamil diluar nikah atau MBA (Married By Accident). Hal tersebut sangat memprihatinkan, karena sebagian dari mereka adalah pelajar yang masih berusia sekitar 13 sampai 16 tahun dan semuanya masih duduk di bangku SMP dan SMA.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab 2 Pasal 7 Ayat (1) berbunyi “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah
(25)
mencapai umur 16 (enambelas) tahun”. Mengenai kasus di atas, sudah jelas pernikahan di bawah umur melanggar Undang-Undang Perkawinan. Namun, Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ternyata tidak kaku dan cukup memberikan ruang toleransi, hal ini bisa terlihat dari Pasal 7 Ayat (2) berbunyi “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita”. Artinya dalam kasus tersebut, orang tua/wali para calon pengantin harus mengajukan ijin dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah kabupaten di daerah calon pengantin tinggal.
Perihal pengajuan dispensasi nikah tersebut sangat erat kaitannya dengan arti pernikahan itu sendiri, pada Pasal 2 Ayat (2) bahwa “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Hal tersebut menunjukkan pernikahan diartikan sebagai ikatan yang kemudian memiliki legalitas hukum (pencatatan perkawinan). Di mana agar perkawinan dicatat maka harus memenuhi syarat administratif, antara lain akta kelahiran, KTP, dan dispensasi nikah tersebut. Orang tua memiliki peran sangat penting dalam hal pernikahan putra-putrinya. Bukan hanya sebagai wali nikah, keberadaan orang tua kemudian menjadi penentu dari legalitas hukum pernikahan tersebut. Namun, yang terjadi sekarang ini mencerminkan bahwa orang tua cenderung pasrah terhadap keadaan yang terjadi pada anak mereka dan lebih mengabaikan prosedur pernikahan yang telah ditetapkan undang-undang. Telebih lagi bahwa pengajuan dispensasi nikah ini harus melalui proses yang
(26)
panjang dan memerlukan pemahaman yang mendalam bukan hanya dari orang tua, tetapi pegawai pencatat nikah atau penghulu di daerah tersebut.
Pernikahan usia muda ini kemudian memberikan dampak luas, seperti laju penduduk yang semakin cepat, resiko kematian ibu yang semakin besar karena melahirkan di usia muda, dan perceraian karena ketidaksiapan usia dalam menjalani rumah tangga. Kurangnya pemahaman masyarakat, khususnya para pelaku tentang bahaya pernikahan dini akan berimbas dengan terabaikannya UU Perkawinan. Tidak dapat dipungkiri bahwa perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka yang masih di bawah umur menyebabkan beberapa perkawinan dilakukan di bawah tangan atau yang dikenal dengan kawin sirri. Hal tersebut tentu akan merugikan kedua belah pihak mengingat bahwa pernikahan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum.
Pemaparan di atas menjadi bukti bahwa dalam kasus pernikahan usia muda ini, esensi hukum menjadi hal yang harus diperhatikan. Oleh sebab itu, disini peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Implementasai UU Perkawinan Tentang Pernikahan Usia Muda di Desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut :
1. Pemahaman masyarakat tentang UU Perkawinan. 2. Banyaknya kasus pernikahan usia muda.
(27)
3. Dampak pernikahan usia muda menyebabkan laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, resiko kematian ibu ketika melahirkan, dan perceraian.
4. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang Dispensai Nikah di Bawah Umur.
5. Terdapat kasus pernikahan usia muda yang tidak melaksanakan perkawinan resmi.
C. Fokus Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah tersebut, maka fokus masalah dalam penelitian ini, yaitu Implementasi UU Perkawinan Tentang Pernikahan Usia Muda di Desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kabupaten Pringsewu. Implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 hanya mengacu pada:
a. Pasal 2 Ayat (1), “Perkawinan adalah sah apabilah dilaksanakan menurut agama dan kerpercayaannya itu.” Artinya perkawinan dikatakan sah apabila sudah memenuhi syarat dan ketentuan agama dan kepercayaan masing-masing.
b. Pasal 2 Ayat (2), “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Artinya perkawinan kemudian dapat disebut pernikahan jika sudah dicatatkan.
c. Pasal 7 Ayat (1), dimana pasal tersebut mengatakan bahwa “Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enambelas)
(28)
tahun.” Artinya, baik mempelai laki-laki maupun mempelai wanita yang tidak mencapai usia tersebut dapat dikatakan melanggar UU Perkawinan dan perkawinan tidak diijinkan.
d. Pasal 7 Ayat 2, dimana pada pasal tersebut mengatakan “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria ataupun pihak wanita”. Artinya, untuk hal tertentu pernikahan usia muda ini dapat dilaksanakan dengan catatan orang tua calon mempelai pria atau orang tua calon mempelai wanita harus mengajukan permohonan Dispensasi Nikah kepada Pengadilan Agama.
Berdasarkan beberapa fokus masalah yang tertuang dalam UU Perkawinan tersebut, peneliti juga melihat aturan hukum lain yang sejalan dengan focus masalah tersebut, seperti PP Nomor 9 Tahun 1975 Tantang Pelaksanaan UU Perkawinan yaitu Pasal 6 Ayat (3), “Pegawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang.” Sejalan pula, pada Pasal 6 Ayat (1) RUU-HM-PA-BPerkwn Tahun 2007 menentukan bahwa “ Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh Pejabat Pencatat Nikah.” Artinya untuk dapat melaksanakan pernikahan calon pengantin harus memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Undang-undang, seperti kutipan akta kelahiran dan KTP agar perkawinan tersebut dapat dicatatkan dan mendapat akta nikah . Kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa fokus penelitian ini merupakan implementasi syarat administratif nikah pada
(29)
pernikahan usia muda dengan informan pelaku pernikahan usia muda yang melaksanakan pernikahan secara resmi dan secara agama di Desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka rumusan masalah penelitian ini adalah “Bagaimanakah Implementasi UU Perkawinan Tentang Pernikahan Usia Muda di Desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu?”
E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah mendekripsikan sejauh mana Implementasi UU Perkawinan Tentang Pernikahan Usia Muda di Desa Pringombo Kecamatan Pringsewu Timur Kabupaten Pringsewu dapat dipatuhi masyarakat.
F. Kegunaan Penelitian
1. Kegunaan Secara Teoritis
a. Penelitian ini secara teoritis berguna untuk mengembangkan konsep ilmu pendidikan, wilayah kajian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai pendidikan hukum dan kemasyarakatan. Kajian penelitian ini sangat berkaitan dengan upaya membina
(30)
pengetahuan hukum dan kemasyarakatan karena masalah pernikahan merupakan masalah yang sering terjadi dalam masyarakat.
b. Memperkaya ilmu pendidikan bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya.
c. Memberikan sumbangan penting dan memperluas kajian ilmu hukum dan pendidikan kemasyarakatan.
d. Menambah konsep baru yang dapat dijadikan bahan rujukan lebih lanjut bagi pengembangan ilmu hukum.
2. Kegunaan Praktis
a. Diharapkan dapat menjadi masukan bagi masyarakat, lembaga pemerintah terkait, dan tentunya generasi muda di desa tersebut untuk dapat lebih meningkatkan pemahaman terhadap hukum sehingga implementasi hukum tersebut dapat bejalan secara maksimal.
b. Menambah informasi dan pemahaman masyarakat tentang adanya permohonan surat ijin dispensasi nikah sebagai salah satu syarat pelaksanaan pernikahan usia muda.
c. Semua pihak yang berkepentingan untuk memperoleh informasi secara teoritis serta bahan acuan dan pertimbangan dalam penelitian selanjutnya.
(31)
G. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Ilmu
Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup pendidikan khususnya pendidikan kewarganegaraan dengan wilayah kajian pendidikan hukum dan kemasyarakatan sebagai bentuk pemahaman terhadap aturan hukum yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Ruang Lingkup Subjek Penelitian
Adapun ruang lingkup subjek penelitian ini adalah anak yang melakukan pernikahan usia muda, orang tua anak yang melakukan pernikahan usia muda, aparat desa, dan lembaga terkait yang berwenang memberikan surat dispensasi nikah.
3. Ruang Lingkup Objek Penelitian
Adapun ruang lingkup objek penelitian ini adalah implementasi Pasal 7 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu Tahun 2014.
4. Ruang Lingkup Wilayah Penelitian
Ruang lingkup wilayah dari penelitian ini adalah Desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu.
(32)
5. Ruang Lingkup Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan sejak dikeluarkannya surat izin penelitian pendahuluan bernomor 5447/UN26/3/PL/2014 oleh dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung sampai dengan selesainya penelitian ini.
(33)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A.Deskripsi Teori
Dalam deskripsi teori ini berisi tentang uraian teori yang menjelaskan variabel yang akan di teliti yaitu dengan cara mendekripsikan variabel tersebut melalui pendefinisian, serta menguraikan secara lengkap dari berbagai referensi yang aktual sehingga dapat memperkuat penelitian ini. Berikut akan diuraikrai mengenai teori-teori dari variabel penelitian yang akan diteliti.
1. Pengertian Pernikahan
Menurut Ensiklopedia bebas (http://id.wikipedia.org/wiki/Perkawinan), pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan. Perihal pencatatan nikah tersebut, dalam Peraturan Menteri Agama Tentang Pencatatan Nikah Pasal 2, menegaskan bahwa “Pegawai Pencatat Nikah (PPN) adalah pejabat yang melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan perkawinan.” Artinya, nikah memiliki arti secara administratif dan legalitas
(34)
hukum dimana peristiwa nikah tersebut kemudian dicatat melalui akta autentik (akta nikah).
Pernikahan yang sering diartikan sebagai fitrah manusia menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi manusia itu sendiri. Sebagai salah satu mahluk yang mulia di muka bumi, tentu manusia harus menjalani fitrahnya tersebut. Selain menjadi fitrah pernikahan juga menjadi salah satu tujuan hidup manusia. Menurut Wiryono (2009:214) (dalam Darnita) menjelaskan bahwa “perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat tertentu, dimana akan ada persetujuan antara calon suami dan calon istri karenanya berlangsung melalui ijab dan qobul atau serah terima”. Artinya pernikahan memiliki ikatan secara lahiriyah dan tanpa paksaan. Mengandung arti pula apabila akad nikah tersebut telah dilangsungkan, maka mereka telah berjanji dan bersedia menciptakan rumah tangga yang harmonis, akan sehidup semati dalam menjalani rumah tangga bersama-sama .
Sejalan dengan pengertian di atas, menurut Ramulyo (2010:67) menjelaskan bahwa, “pernikahan adalah suatu akad yang dangannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dan wanita. Bahwa hakikat dari pernikahan merupakan suatu perjanjian saling mengikat antara laki-laki dan perempuan dengan suka rela untuk mewujudkan kebahagiaan dalam rumah tangga”.
(35)
Selain itu menurut Ihsan (2009:72) menjelaskan pernikahan dalam perspektif islam bahwa:
Pernikahan ialah suatu akad atau perjanjian mengikat antara seorang laki-laki dan perempuan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak dengan sukarela dan kerelaan kedua belah pihak merupakan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman (sakinah) dengan cara-cara diridhoi Allah SWT.
Menurut Dariyo (2009:85), “Perkawinan merupakan ikatan kudus antara pasangan dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang telah menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa”. Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus (holly relationship) karena hubungan pasangan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan telah diakui secara sah dalam hukum agama.
Perkawinan itu sendiri memiliki arti status dari mereka yang terikat dalam perkawinan pada saat pencacahan, baik tinggal bersama maupun terpisah. Dalam hal ini tidak saja mereka yang kawin sah secara hukum (adat, agama, negara, dan sebagainya) tetapi mereka yang hidup bersama dan oleh masyarakat sekelilingnya dianggap sah sebagai suami istri (BPS, 2010). Menurut Sigelman (2009:216) mendefinisikan “Perkawinan sebagai sebuah hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami istri”. Dalam hubungan tersebut terdapat peran serta tanggung jawab dari suami dan istri yang di dalamnya terdapat unsur keintiman, pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orang tua.
(36)
Ahmad dan Heriyanti , mendefinisikan “Perkawinan adalah sebagai ikatan antara laki-laki dan perempuan atas dasar persetujuan kedua belah pihak yang mencakup hubungan dengan masyarakat di lingkungan dimana terdapat norma-norma yang mengikat untuk menghalalkan hubungan antara kedua belah pihak”. Artinya perkawinan disini memilki suatu pola sosial yang disetujui dengan cara mana dua orang atau lebih membentuk keluarga. Atau dengan kata lain perkawinan adalah penerimaan status baru, serta pengakuan atas status baru oleh orang lain. Dalam hal ini aspek hukum perkawinan dikatakan sebagai akad, yaitu perikatan dan perjanjian luhur antara suami dan istri untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Dengan akad yang sah dimata Agama dan Negara, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri serta perlindungan dan pengakuan hukum baik Agama maupun Negara.
Berdasarkan beberapa definisi pernikahan di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa pernikahan merupakan upacara pengikatan janji nikah yang dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan di hadapan penghulu dan pegawai pencatat nikah dengan maksud untuk mendapatkan akta autentik tentang pencatatan peristiwa perkawinan.
(37)
a. Pernikahan Menurut Hukum Perdata
Dalam hukum perdata tidak ditemukan definisi tentang perkawinan. Tetapi istilah perkawinan sendiri digunakan dalam hukum perdata barat menjadi 2 arti, yaitu:
(1) Sebagai suatu perbuatan “melangsungkan perkawinan” (Pasal 104 BW). Selain itu juga dalam arti “setelah perkawinan” (Pasal 209 sub 3 BW). Dengan demikian perkawinan adalah perbuatan hukumyang dilakukan pada suatu saat tertentu;
(2) Sebagai suatu “keadaan hukum” yang keadaan bahwa seorang pria dan seorang wanita terikat oleh suatu hubungan perkawinan.
Ketentuan tentang perkawinan diatur dalam KUH Perdata Pasal 26 sampai Pasal 102 BW. Ketentuan umum tentang perkawinan hanya terdiri atas satu pasal yang disebutkan dalam 26 BW, bahwa “ undang-undang memandang perkawinan hana dalam hubungan keperdataan saja”. Hal ini berimplikasi bahwa suatu perkawinan hanya sah apabila memenuhi persyaratan yng ditetapkan dalam Kitab Undang-Undang (BW) sementara itu persyaratan menurut agama di kesampingkan.
Menurut Vollmar (2008:101) (dalam Mardi), maksud dari ketentuan tersebut bahwa “undang-undang hanya mengenal perkawinan dalam arti perdata, ang itu perkawinan dilangsungkan di hadapan seorang pegawai catatan sipil”. Sedangkan menurut Soetojo Prawirohamidjodjo (2008:101), berttik tolak dari Pasal 26 BW, bahwa “undang-undang
(38)
tidak memandang penting unsur-unsur kegamaan, selama tidak diatur dalam hukum perdata.
Namun demikian, menurut Ali Affandi (2008:101) (dalam Triwulan Titik) mengatakan bahwa menurut KUH Perdata, “perkawinan merupakan persatuan seorang laki-laki dan seorang perempuan secara hukum untuk hidup bersama-sama selama –lamanya. Ketentuan demikian, tidak tegas dijelaskan dalam salah satu pasal, tetapi dismpulakan dari esensi mengenai perkawinan.” Maksud perkawinan dalam KUH Perdata sendiri bukan semata-mata untuk mendapatkan keturunan dan tidak pula menunjukkan mengenai senggama, meskipun yang menjadi dasar dalam perkawinan adalah kebolehan berhubungan badan. Bahkan dalam perkawianan, dapat dilakukan perkawinan antara sesorang yang sudah lanjut usia. Ketentuan hukum demikian jelas telah melepaskan diri dari dasarnya yang bersifat biologis dan psikologis. Artinya, perkawinan dalam hukum perdata lebih mengarah pada pernikahan dalam arti sekarang dimana terdapat legalitas antara suami dan istri.
b. Pernikahan Dalam Perspektif Hukum Islam
Ketentuan perkawinan dalam KUP Perdata berbeda dengan Hukum Islam. Istilah yang digunakan dalam bahasa Arab pada istilah-istilah fiqih tentang perkawinan adalah munakahat atau nikah, yang berarti melakukan akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan seorang wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin
(39)
antara kedua belah pihak, dengan dasar suka rela dan keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketenteraman dengan cara-cara yang diridhai oleh Allah. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa Ayat 24, “Dan dihalalkan (dibolehkan) kepada kamu mengawini perempuan-perempuan selain dari tersebu itu, jika kamu menghendaki mereka dengan mas kawin untuk perkawinan dan bukan untuk perbuatan jahat.”
Begitu pula dengan pendapat Kaelany H.D (dalam Mardi) yang mengatakan bahwa perkawianan adalah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syari’at. Dengan akad itu kedua calon akan diperbolehkan bergaul sebagai suami istri. Berdasarkan pengertian nikah tersebut, maka dapat disimpulakan bahwa pernikahan merupakan persetujuan atau perjanjian ataupun suatu akad antara seorang pria dan seorang wali pihak wanita yang didasari dengan kesukarelaan dan dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh agama yang terdapat dalam hukum fikih.
c. Pernikahan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dalam Undang-Undang Perkawinan mendefinisikan pada Pasal 1 Ayat (1) bahwa, “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
(40)
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dari penjelasan tersebut terlihat bahwa dalam sebuah perkawinan memiliki dua aspek yaitu:
(1) Aspek Formil (Hukum), hal yang dinyatakan dalam kalimat „ikatan lahir batin’, artinya bahwa perkawinan di samping mempunyai nilai ikatan secara lahir, juga mempunyai ikatan batin yang dapat dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan iktan batin ini inti dari perkawinan itu;
(2) Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya „membentuk keluarga’ dan „bedasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’, artinya perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmanitapi unsur batin juga berperan penting.
Sebagai bentuk perikatan dalam sebuah perkawinan menunjukkan adanya kerelaan dua belah pihak yang bertekad, dan akibatnya adalah kewajiban dan hak yang mereka tentukan. Oleh karena suatu perikatan perkawinan hanya dikatakan sah apabila dialkukan menurut aaran agama masing-masing, yang mana dalam Islam sahnya suatu perkawinan apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya.
Di samping itu apabila definisi pernikahan tersebut dijabarkan dan ditelaah, maka terdapat lima unsur perkawinan di dalamnya, yaitu : a) Ikatan Lahir Batin
Dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya secara sinergis dan
(41)
terpadu erat. Ikatan lahir batin merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan hukum antara sesorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri (hubungan formal). Sedangkan ikatan batin merupakan hubungan nonformal, suatu ikatan yang tidak tampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oelh pihak-pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir, sehingga dijadikan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.
b) Antara Seorang Pria dengan Seorang Wanita
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian undang-undang ini tidak mengakui atau melegalkan hubungan perkawinan antara pria dengan pria , wanita dengan wanita, atau waria dengan waria. Selain itu juga bahwa unsur ini mengandung asas perkawinan monogamy.
c) Sebagai Suami Istri
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, persekutuan antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami istri, apabila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Perkawinan dianggapsah, apabila memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang, baik syarat-syarat intern maupun syarat-syarat ekstern. Syarat intern adalah syarat yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan
(42)
perkawinan, yaitu kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat ekstern adalah syarat yang menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan perkawinan.
d) Membentuk Keluarga (Rumah Tangga) yang Bahagia dan Kekal
Keluarga adalah satu kesatuan yng terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sangat penting artinya kesejahteraan dan kebahagiaan kaluarga karena tidak dapat lain, masyarakat yang berbahagia kan terdiri keluarga-keuarga yang bahagia pula. Membentuk keluarga yang bahagia erat hubungannya engan keturunan yang merupakan pula tujuna perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai hal lain, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan, yaitu bahwa banyak sekali orang melakukan perkawinan, tidak akan bercerai unuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian.
e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Berbeda dengan konsepsi perkawinan menurut KUH Perdata maupun Ordonansi Perkawinan Kristen Bumiputra yang memandang perkawinan perkawinan sebagai hubungan keperdataan saja (lahiriah), Undang-Undang Perkawinan mendasarkan hubungan
(43)
perkawinan atas dasar kerohanian. Suatu konsekuensi logis yang berdasarkan Pancasila terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir (jasmani), akan tetapi unsur batin (rohani) juga mempunyai peranan penting.
d. Pernikahan Menurut Hukum Adat
Perkawinan dalam masyarakat adat dipandang sebagai salah satu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyrakat. Perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (suami istri), tetapi juga orang tua, saudara-saudara, dan keluarga dari kedua belah pihak. Menurut Soekanto (2008:106), “perkawinan adat tidak dapat dengan tepat dipastikan bilakah saat perkawinan dimulai.” Hal ini berbeda dengan hukum Islam maupun Kristen waktu ini ditetapkan adalah waktu pasti.
Pada umumnya suatu perkawinan dalam menurut hukum adat di dahului dengan lamaran. Suatu lamaran bukan merupakan perkawinan tetapi lebih bersifat pertunangan dan baru terikat apabila dari pihak laki-laki sudah diberikan panjer atau peningset (Jawa Tengah dan Jawa Timur), tanda kong narit (Aceh), panyancang (Jawa Barat), paweweh
(Bali). Tetapi, ada juga perkawinan tanpa lamaran yaitu dengan jalan laki-laki dan wanita yang bersangkutan melarikan diri bersama-sama (Lampung). Perkawinan adat di Indonesa senri terbagi atas tiga
(44)
kelompok: Pertama, perkawinan adat berdasarkan masyarakat berdasarkan kebapakan (patrilial). Kedua, perkawinan adat berdasarkan masyarakat keibuan (matrilial). Ketiga , perkawinan adat berdasarkan keibu-bapakan (parental).
e. Dasar Hukum Pernikahan
1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
2. PP Nomor 9 Tahun 1975 Tentang PekasanaanUndang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946
4. RUU HM-PA-BPerkwn Tahun 2007
2. Pencatatan Perkawinan Dalam Undang-Undang 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Pada bagian pencacatan perkawinan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, menjelaskan kembali bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk rumah tangga (keluraga) yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Penjelasan Pasal 1 menjelaskan bahwa :
Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan hanya mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi juga unsur batin/rohani juga mmepunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan
(45)
keturunan yang pula merupakan tujuan perkawinan, pemeliharaan, dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bersifat universal bagi seluruh warga Negara Indonesia. Meskipun demikian, Undang-Undang Perkawinan juga bersifat deferensial, karena sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut masing-masing hukum agama yang dipeluknya.
Perkawinan menurut hukum masing-masing agamanya berdasarkan Pasal 2 Ayat (1) adalah merupakan “peristiwa hukum”. Peristiwa hukum yang tidak dianulir oleh adanya “peristiwa penting” yang ditentukan oleh Pasal 2 Ayat (2), bahwa “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Berdasarkan hal tersebut, yang dimaksud hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang. Artinya, pencacatan perkawinan tidak dapat dikatakan sebagai peristiwa hukum dan hanya sebatas peristiwa penting.
3. Tujuan dan Syarat Pernikahan a. Tujuan Perkawinan
Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Perkawinan, bahwa perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti
(46)
perkawinan berarti berlangsung seumur hidup, untuk bercerai diperlukan cara-cara yang ketat dan merupakan jalan terakhir, dan suami istri membantu mengembangkan diri.
Dalam hal ini suatu kelurga dikatakan bahagia apabila terpenuhi dua kebutuhan pokok, aitu kebutuhan jasmaniah dan kebutuhan rohaniah. Yang termasuk kebutuhan jasmaniah, seperti sandang, papan, dan pangan, kesehatan, dan pendidikan. Sedangkan yang termasuk kebutuhan lahiriah adalah seperti seorang anak yang berasal dari darah daging mereka sendiri.
Hukum Islam memberikan panadangan yang dalam tentang pengaruh perkawinan dan kedudukannya dalam membentuk hidup perorangan, rumah tangga, dan umat. Oleh sebab itu, islam memandang bahwa perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian dan persetujuan biasa, cukup diselesaikan dengan ijab qabul dan saksi, sebagaimana persetujuan-persetujuan lain.
Selain itu, perkawinan amat penting sebagai suatu bentuk perikatan karena makna yang terkandung dalam perkwinan itu sendiri. Dalam hukum Islam dikemukakan tentang makna perkawinan dalam praktik, antara lain:
1) Mendapatkan dan melangsungkan keturunan;
2) Memenuhi hajat manusia menyalurkan syahwatnya dan menumpahkan kasih sayangnya;
(47)
3) Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan, dan kerusakan;
4) Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab.
b. Syarat Perkawinan
Menurut undang-undang bahwa untuk dapat melangsungkan perkawinan harus dipenuhi syarat-syarat pokok demi sahnya suatu perkawinan, antara lain syarat materiil dan syarat formil. Syarat materiil disebut juga dengan syarat inti atau internal, yaitu syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberiakn oleh pihak ketiga dalam hal yang telah ditentukan oleh undang-undang. Syarat ini antara lain mengatur usia perkawinan, latar belakang calon pengantin (keturunan), izin perkawinan dari pihak ketiga, dan kehendak perkawinan.
Kemudian syarat formil merupakan syarat eksternal yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan. Menurut Undang-Undang Perkawinan syarat tersebut antara lain persetujuan kedua belah pihak, umur kedua belah pihak, izin dan wali dari kedua belah pihak.
Syarat nikah kemudian juga dilihat berdasarkan syarat administratif, dimana pernikahan tersebut dapat memiliki legalitas hukum atau perkawinan yang dicatat.
(48)
4. Pengertian Usia Muda
Usia muda didefinisikan sebagai masa peralihan dari masa kanak kanak ke masa dewasa. Batasan usia muda berbeda-beda sesuai dengan sosial budaya setempat. Menurut WHO batasan usia remaja adalah 12-24 tahun. Sedangkan dari segi program pelayanan, definisi yang digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah mereka yang berusia 10-19 tahun dan belum kawin. Sementara itu menurut BKKBN batasan usia muda adalah 10-21 tahun (BKKBN, 2010).
WHO Expert Comitte memberikan batasan-batasan pertama tentang definisi usia muda bersifat konseptional. Dalam hal ini ada 3 kategori yaitu biologis, psikologis dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap defenisi tersebut tersembunyi sebagai berikut, usi muda adalah suatu masa dimana :
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekunder sampai ia mencapai kematangan sendiri.
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dari masa kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif mandiri.
Berdasarkan batasan usia muda di atas ditetapkan batasan usia muda antara 11-19 tahun, dimana di antara usia tersebut sudah menunjukan tanda-tanda seksualnya. Bila hal ini ditinjau dari sudut kesehatan maka masalah utama yang dirasakan mendesak adalah mengenai kesehatan pada usia muda khususnya wanita yang kehamilannya terlalu awal. Di samping
(49)
itu menurut Sarwono, terdapat beberapa definisi usia muda, salah satunya adalah definisi usia muda untuk masyarakat Indonesia yang mengemukakan batasan antara usia 11-24 tahun dan belum menikah dengan pertimbangan sebagai berikut :
1. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual sekunder mulai tampak (kriteria sosial).
2. Banyak masyarakat Indonesia mengganggap usia 11 tahun sudah dianggap akil baligh menurut adat maupun agama sehingga masyarakat tidak lagi memperlakukan mereka sebagai anak-anak (kriteria sosial).
3. Pada usia tersebut mulai ada tanda-tanda penyimpangan perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri.
4. Bila batas usia 24 tahun merupakan batasan usia maksimal yaitu untuk memberi peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak penuh sebagai orang dewasa (adat atau tradisi) belum bisa memberikan pendapat sendiri.
5. Status perkawinan sangat menentukan karena arti perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara menyeluruh. Seorang yang telah menikah di usia berapapun dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh baik secara hukum di keluarga maupun masyarakat.
(50)
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud usia muda adalah usia yang masih dikaegorikan usia belia dan remaja, dimana sering diklasifikasin dalam usia yang berkisar antara 11-18 tahun.
5. Pengertian Pernikahan Usia Muda
Perkawinan usia muda dapat didefenisikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri pada usia yang masih muda/remaja. Sehubungan dengan perkawinan usia muda, maka ada baiknya kita terlebih dahulu melihat pengertian dari pada remaja (dalam hal ini yang dimaksud rentangan usianya). Golongan remaja muda adalah para gadis berusia 13-17 tahun, ini pun sangat tergantung pada kematangan secara seksual, sehingga penyimpangan-penyimpangan secara kasuistik pasti ada. Dan bagi laki-laki yang disebut remaja muda berusia 14-17 tahun. Dan apabila remaja muda sudah menginjak 17-18 tahun mereka lazim disebut golongan muda/ anak muda. Sebab sikap mereka sudah mendekati pola sikap tindak orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum matang sepenuhnya (Soerjono, 2008).
Menurut Aimatun (2009:216) (dalam Nurhayati), “perkawinan usia muda adalah pernikahan yang dilakukan oleh usia muda antara laki-laki dengan perempuan yang mana usia mereka belum ada 20 tahun, berkisar antara 17-18 tahun”. Sedangkan menurut BKKBN (2010), “perkawinan usia muda adalah perkawinan yang dilakukan di bawah usia 20 tahun”. Hal yang sama disampaikan sebelumnya, perkawinan usia muda adalah nama yang lahir
(51)
dari komitmen moral dan keilmuan yang kuat, sebagai sebuah solusi alternatif, sedangkan batas usia dewasa bagi laki-laki 25 tahun dan bagi perempuan 20 tahun, karena kedewasaan seseorang tersebut ditentukan secara pasti baik oleh hukum positif maupun hukum Islam. Namun dari segi kesehatan, Soerjono (2004:17) menjelaskan bahwa “perkawinan usia muda itu sendiri yang ideal adalah untuk perempuan di atas 20 tahun sudah boleh menikah, sebab orang dewasa, walaupun dari sudut perkembangan mental belum matang sepenuhnya”.
Perkawinan usia muda yang identik dengan usia muda dari pasangan yang menikah tersebut menimbulkan berbagai macam pendapat dan persepsi mengenai definisi pernikahan usia muda atau yang mungkin sering disebut dengan pernikahan dini. Menurut Riyadi (2009:98) (dalam Yusnidar Rahma) menjelaskan “perkawinan usia muda adalah perkawinan yang para pihaknya masih sangat muda dan belum memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditentukan dalam melakukan perkawinan”. Hal ini sejalan dengan pendapat Nukman (2009:87) (dalam Nurhayati), “ perkawinan usia muda adalah perkawinan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan”.
Pernikahan dini atau kawin muda sendiri adalah pernikahan yang dilakukan oleh pasangan ataupun salah satu pasangannya masih dikategorikan remaja yang berusia dibawah 19 tahun (WHO, 2009). Perkawinan usia muda merupakan perkawinan remaja dilihat dari segi umur masih belum cukup
(52)
atau belum matang dimana di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 7 Ayat (1) yang menetapkan sebagai berikut.
Batas maksimun pernikahan di usia muda adalah perempuan umur 16 tahun dan laki-laki berusia 19 tahun itu baru sudah boleh menikah. Jika mengacu pada UU Perkawinan tersebut, usia ideal itu 21 tahun, namun toleransi bagi yang terpaksa menikah di bawah usia 21 tahun ada batas 16 tahun untuk anak perempuan dan 19 tahun untuk laki– laki dengan persetujuan wali.
Jika mengacu pada UU Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002, perkawinan di usia 18 tahun ke bawah termasuk pernikahan dini.
Dari beberapa definisi di atas pengertian pernikahan dini secara umum, pernikahan dini yaitu: merupakan pernikahan untuk mengikat dua insan lawan jenis yang masih remaja dalam satu ikatan keluarga. Pengertian pernikahan dini tentunya tidak sebatas pengertian secara umum saja, tapi juga ada pengertian lain, pengertian pernikahan dini diantaranya: Pernikahan dini adalah sebuah nama yang lahir dari komitmen moral dan keilmuan yang sangat kuat, sebagai sebuah solusi alternative. Artinya, pernikahan dini bisa dilakukan sebagai solusi untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan dikalangan remaja.
a. Pelaksanaan Pernikahan Usia Muda Menurut Undang-Undang Perkawinan
Hukum menurut Undang-Undang, usia minimal untuk suatu perkawinan adalah 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria (Pasal 7 UU No. 1/1974 tentang Perkawinan). Berdasarkan
(53)
Undang-Undang tersebut menganggap orang di atas usia tersebut bukan lagi anak- anak sehigga mereka sudah boleh menikah, batasan usia ini dimaksud untuk mencegah perkawinan terlalu dini. Walaupun begitu selama seseorang belum mencapai usia 21 tahun masih diperlukan izin orang tua untuk menikahkan anaknya. Setelah berusia di atas 21 tahun boleh menikah tanpa izin orang tua).
Berdasarakan uraian tersebut menegaskan bahwa walaupun Undang-Undang tidak menganggap mereka yang di atas usia 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria bukan anak-anak lagi, tetapi belum dianggap dewasa penuh. Sehingga masih perlu izin untuk mengawinkan mereka. Ditinjau dari segi kesehatan reproduksi, usia 16 tahun bagi wanita, berarti yang bersangkutan belum berada dalam usia reproduksi yang sehat. Meskipun batas usia kawin telah ditetapkan UU, namun pelanggaran masih banyak terjadi dimasyarakat terutama dengan menaikkan usia agar dapat memenuhi batas usia minimal tersebut (Sarwono, 2009).
Pernikahan dini merupakan pernikahan di bawah usia yang seharusnya belum siap untuk melaksanakan pernikahan. Sehingga seharusnya pernikahan dilakukan pada saat remaja sudah memasuki usia dewasa, karena ketidaksiapan dalam pernikahan berdampak pada kehidupan berumah tangga. Kurangnya pendidikan dapat memicu terjadinya pernikahan usia dini, karena tanpa dibekali pendidikan yang cukup
(54)
remaja tidak bisa berpikir panjang dalam menentukan pilihan sehingga memilih untuk cepat-cepat menikah.
Pernikahan dini banyak terjadi dikalangan masyarakat dan bukan merupakan fenomena yang muncul belakangan ini, tapi sudah banyak terjadi dari dulu hingga sekarang. Fenomena tersebut juga sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang, bahkan sudah menjadi hal yang dianggap biasa disuatu masyarakat, salah satunya di Desa Pringombo Kabupaten Pringsewu. Pernikahan dini dilakukan oleh para pasangan yang berumur kurang dari 19 tahun yang mungkin terjadi karena faktor-faktor tertentu.
Batas usia nikah ialah suatu batasan umur untuk menikah atau kawin. Batasan usia nikah disini menurut aturan hukum yang berkaitan dengan perkara atau masalah perkawinan, seperti pengajuan permohonan nikah di bawah umur, penulis akan paparkan batas usia nikah di bawah ini dalam hukum positif, yaitu sebagai berikut:
1) Batas usia nikah menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat dalam BAB II Syarat-syarat Perkawinan pasal 6 ayat (2), yaitu: “Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”. Sedangkan Pada pasal 7 ayat (1) Undang-undang Perkawinan: “Perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dan
(55)
pada ayat (2) “Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi nikah kepada Pengadilan Agama atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita. Dan pada ayat (3) “Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orangtua tersebut dalam pasal 6 ayat (3), dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).
2) Batas Usia Nikah menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 15 ayat (1), yaitu: “Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yakni calon suami berumur sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurang- sekurang-kurangnya berumur 16 tahun. Dan pada ayat (2), “bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin yang sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
3) Sedangkan batasan usia nikah menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer), BAB IV perihal Perkawinan pasal 29, yakni: “Laki-laki yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun penuh dan perempuan yang belum mencapai umur 15 (lima belas) tahun penuh, tidak diperkenankan mengadakan perkawinan.
(56)
Namun jika ada alasan-alasan penting, pemerintah berkuasa menghapuskan larangan ini dengan memberikan “Dispensasi”.
b. Dsipensasi Nikah Di Bawah Umur
Dispensasi Nikah ialah pernikahan yang terjadi pada pasangan atau salah satu calon yang ingin menikah pada usia di bawah standar batas usia nikah yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum perkawinan. Perkawinan di bawah umur tidak dapat diizinkan kecuali pernikahan tersebut meminta izin nikah atau dispensasi nikah oleh pihak Pengadilan Agama untuk bisa disahkan pernikahannya di Kantor Urusan Agama (KUA), dan sebelum mengajukan permohonan izin menikah di Pengadilan Agama terlebih dahulu kedua calon pasangan yang ingin menikah harus mendapat izin dari kedua orang tua.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada Bab II pasal 7 disebutkan bahwasannya perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 19 tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur sekurang-kurangnya 16 tahun. Dalam batas usia pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) sama dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 15 ayat 2 menegaskan bahwa untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai batas usia 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-undang
(57)
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Keterangan di atas, memberikan petunjuk bahwa pasal di atas menjelaskan arti dispensasi atau batasan umur dapat dilihat dari:
1. Bahwa umur 19 tahun bagi usia pria adalah batas usia pada masa SLTA, sedangkan untuk wanita usia 16 tahun adalah batas usia pada masa SLTP, dari masa di atas adalah masa dimana kedua pasangan masih sangat muda. Oleh sebab itu peran orang tua sangat penting disini dalam membimbing, menolong dan memberi arahan untuk masa depan bagi si anak.
2. Izin orang tua sangat diperlukan. Tanpa izin orang tua, perkawinan tidak dapat dilaksanakan, khusus bagi calon wanita wali orang tua harus ada sebagai syarat yang sudah ditentukan oleh aturan hukum perihal syarat pernikahan.
Penjelasan umum mengenai Undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dijelaskan sebagai berikut: Prinsip Undang-undang ini bahwa calon (suami isteri) itu harus siap jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Terbukti bahwa batas umur yang lebih rendah bagi seorang wanita untuk menikah, mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan batas umur seseorang yang menikah pada usia yang lebih matang atau usia yang lebih tinggi.
(58)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tidak ada aturan hukum yang menjelaskan batasan minimal usia bagi para pelaku nikah di bawah umur, sehingga dalam hal ini Hakim mempunyai Ijtihad atau pertimbangan hukum sendiri untuk bisa memutuskan perkara permohonan nikah di bawah umur, dan hakim mempunyai wewenang penuh untuk mengabulkan sebuah permohonan baik mengabulkan maupun menolak sebuah permohonan penetapan nikah di bawah umur tersebut. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dalam hal ini menyimpulkan pendapat bahwa hal ini menjadi suatu kelemahan terhadap Undang-undang Perkawinan itu sendiri. Dan ditafsirkan bahwa pemberian dispensasi nikah di bawah umur, untuk putusan sepenuhnya diserahkan kepada pejabat yang berwenang yaitu hakim dalam Peradilan Agama setempat.
6. Teori Kesadaran Hukum
Sudikno Mertokusumo (Artikel , 2008: 2) mengatakan bahwa kesadaran hukum menunjuk pada kategori hidup kejiwaan pada individu, sekaligus juga menunjuk pada kesamaan pandangan dalam lingkungan masyarakat tertentu tentang apa hukum itu, tentang apa yang seyogyanya kita lakukan atau perbuat dalam menegakkan hukum atau apa yang seyogyanya tidak kita lakukan untuk terhindar dari perbuatan melawan hukum. Problema dari kesadaran hukum sebagai landasan memperbaiki sistem hukum adalah, kesadaran hukum bukan merupakan pertimbangan rasional, atau produk pertimbangan menurut akal, namun berkembang dan dipengaruhi oleh
(59)
pelbagai faktor seperti faktor agama, ekonomi, politik dan sebagainya, dan pandangan ini selalu berubah.
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah (1980) (dalam Husin) mengajukan 4 (empat) indikator, yaitu; kesadaran tentang ketentuan hukum; kesadaran tentang pengakuan terhadap ketentuan hukum; kesadaran akan penghargaan terhadap ketentuan-ketentuan hukum; dan kesadaran pada penaatan atau kepatuhan terhadap ketentuan-ketentuan hukum. Mengenai (empat) indikator itu masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahapan berikutnya, dalam menuju adanya pengetahuan hukum, pemahaman hukum; sikap dan pola prilaku/penerapan hukum. yang bukan saja menjadi milik bagi sarjana hukum, atau penegak hukum, tetapi milik semua masyarakat, karena dimasyarakat hukum dilaksanakan.
Sejalan dengan pendapat di atas Sudikno Mertokusumo (2008:2-3) menawarkan 2 (dua) sikap penting untuk dipelihara dalam membangun kesadara hukum, karena kedua hal itu berimplikasi positip terhadap cara berhukum seseorang sebagai akibat dari pembinaan kesadaran hukum, yaitu “sikap tepo sliro dan kesadaran akan kewajiban hukum”. Tepo sliro, berarti bahwa seseorang harus mengingat, memperhatikan, memperitungkan dan menghormati kepentingan orang lain, dan terutama tidak merugikan orang lain, karenanya penyalah gunaan hak atau abus de droit bertentangan dengan sikap tepo sliro. Adapun kesadaran akan kewajiban hukum artinya tidak semata-mata berhubungan dengan kewajiban hukum untuk taat
(60)
terhadap ketentuan undang-undang saja, tetapi juga kepada hukum yang tidak tertulis., yang dalam bahasa reformasi hukum adalah menghargai dan memelihara kearifan lokal.
Paul Scholten (Soerjono Soekanto), mengatakan istilah kesadaran hukum, tidak dipandangnya sebagai penilaian hukum mengenai suatu kejadian konkrit, melainkan suatu kesadaran yang hidup pada manusia mengenai apa itu yang hukum, atau apa yang seharusnya hukum. Fenomena kesadaran hukum di masyarakat kita, cenderung menurun untuk menghindari ungakapan semakin karuan. Menurunnya kesadaran hukum dari bangsa ini, menyemntuh semua elemen dan lapisan masyarakat, mulai dari hilir .sampai hulu, alias dari rakyat jelata hingga penguasa, dari yang kaum terdidik hingga kaum putus sekolah.
Dalam hal tersebut kesadaran hukum mempunyai beberapa konsepsi, salah satunya konsepsi mengenai kebudayaan hukum. Konsepsi ini mengandung ajaran ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia, baik secara individual maupun kolektif. Konsepsi ini berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang sering kali dianggap sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Setiap masyarakat senantiasa mempunyai kebutuhan-kebutuhan utama atau dasar, dan para warga masyarakat menetapkan pengalaman-pengalaman tentang
(61)
faktor-faktor yang mendukung dan yang mungkin menghalang-halangi usahanya untuk memenuhi kebutuhan utama atau dasar tersebut.
Apabila faktor-faktor tersebut dikonsolidasikan, maka tercipta sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi atau patokan-patokan abstrak tentang apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk. Sistem nilai-nilai yang mencakup konsepsi-konsepsi antara lain sebagai berikut:
a. Merupakan abstraksi dari pada pengalaman-pengalaman pribadi, b. Akibat dari pada proses interaksi sosial yang terus menerus.
c. Senantiasa harus diisi dan bersifat dinamis, oleh karena didasarkan pada interaksi sosial yang dinamis pula.
d. Merupakan suatu kriteria untuk memilih tujuan-tujuan di dalam kehidupan sosial.
e. Merupakan sesuatu yang menjadi penggerak manusia ke arah pemenuhan hasrat hidupnya, sehingga nilai-nilai merupakan faktor yang sangat penting di dalam pengarahan kehidupan sosial maupun kehidupan pribadi manusia.
Hal-hal di atas dapat dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui nilai- nilai warga masyarakat maupun golongan-golongan dan individu-individu tertentu walaupun sistem nilai-nilai timbul dari proses interaksi sosial, namun pada akhirnya apabila sistem tersebut telah melembaga dan menjiwai, maka sistem nilai-nilai tersebut dianggap sebagai seolah-olah berada di luar dan di atas para warga masyarakat yang bersangkutan. Sistem nilai-nilai menghasilkan patokan-patokan untuk proses yang
(62)
bersifat psikologis, antara lain pola-pola berfikir yang menentukan sikap mental manusia.
Sikap mental tersebut pada hakikatnya merupakan kecenderungan kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola perilaku maupun kaidah- kaidah. Dari proses tersebut nyatalah bahwa manusia sebagai warga masyarakat senantiasa berusaha untuk mengarahkan dirinya ke suatu keadaan yang dianggap wajar yang terwujud di dalam pola-pola perilaku dan kaidah-kaidah tertentu. Dengan demikian manusia hidup di dalam suatu struktur pola perilaku dan struktur kaidah untuk hidup, struktur mana sekaligus merupakan suatu pola hidup, walaupun kadang-kadang manusia tidak menyadari keadaan tersebut. Pola-pola hidup tersebut merupakan suatu susunan dari pada kaidah-kaidah yang erat hubungannya dengan adanya dua aspek kehidupan, yaitu kehidupan pribadi dan kehidupan antara pribadi.
Apabila pola-pola tersebut sudah mulai tidak dapat menjamin kepentingan-kepentingan manusia, maka niscaya dia akan berusaha untuk mengubahnya atau di dalam bentuknya yang paling ekstrim dia akan menyimpang dari pola-pola tersebut. Dengan demikian maka sebetulnya pola-pola yang mengatur pergaulan hidup manusia terbentuk melalui suatu proses pengkaidahan yang tujuannya sangat tergantung pada obyek pengaturannya yaitu aspek hidup pribadi.
Apabila arah proses pengkaidahan tersebut tertuju pada hubungan antar pribadi atau dasar ketertiban dan ketentraman yang dihadapkan, maka
(63)
proses tersebut menuju pada pembentukan kaidah-kaidah hukum. Proses pengkaidahan tersebut mungkin terjadi oleh para warga masyarakat atau oleh bagian kecil dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang. Maka adanya hukum yang berproses di dalam masyarakat bukanlah semata-mata tergantung dari adanya suatu ketetapan, walaupun ada hukum yang memang berdasarkan oleh penguasa.
Di lain pihak, apabila hukum tersebut memang sudah ada, maka ketetapan dari mereka yang mempunyai kekuasaan dan wewenang mungkin hanyalah merupakan suatu ketegasan terhadap berlakunya hukum tersebut. Di dalam hal pemegang kekuasaan dan wewenang mempelopori proses pengkaidahan tersebut, maka terjadilah proses social engineering.
Sedangkan apabila yang dilakukan adalah menegaskan hukum yang telah ada, maka yang dilakukan adalah pengendalian sosial atau social control. Dari di atas bahwa hukum merupakan kontribusi daripada sistem nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Dengan demikian nyatalah bahwa masalah kesadarah hukum sebenarnya masalah nilai-nilai.
Maka kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat mentaati hukum bukan karena paksaan, melainkan karena hukum itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini telah terjadi internalisasi hukum dalam masyarakat.
(64)
Validitas hukum diletakkan pada nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Dalam literatur lain dikatakan bahwa masalah kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai, maka kesadaran hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau sepantasnya. Indikator- indikator dari masalah kesadaran hukum tersebut adalah:
a) Pengetahuan tentang peraturan-peraturan hukum. b) Pengetahuan tentang isi peraturan-peraturan hukum. c) Sikap terhadap peraturan-peraturan hukum.
d) Pola prikelakuan hukum.
Setiap indikator tersebut di atas menunjukkan pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Pada masyarakat-masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan sederhana, maka hukum timbul dan tumbuh sejalan dengan pengalaman warga-warga masyarakat di dalam proses interaksi sosial. Pada masyarakat dengan struktur sosial dan kebudayaan pra modern/modern agak sulit untuk mengidentifisir kesadaran hukum, yang timbul dan tumbuh dari warga-warga masyarakat yang kepentingan- kepentingannya sangat berbeda yang satu dengan yang lainnya. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa prilaku tertentu yang diatur oleh hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Pengetahuan hukum berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun prilaku yang
(65)
diperbolehkan oleh hukum. Pemahaman hukum adalah sejumlah informasi yang dimilki seseorang mengenai isi peraturan dari suatu hukum tertentu, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.
Dalam hal pemahaman hukum seseorang tidak disyaratkan seseorang untuk mengetahui terlebih dahulu akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga masyarakat. Adapun yang dimaksud dengan sikap hukum adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermanfaat atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Dengan demikian kesadaran hukum di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan hukum berlaku atau tidak dalam masyarakat. Terkait dengan pernikahan usia muda di desa Pringombo tersebut maka kesadarah hukum masyarakat dapat dilihat dari eraturan hukum masyarakat terhadap Undang-Undang Perkawinan.
B.Kajian Penelitian Yang Relevan 1. Tingkat Lokal
Penelitian dilakukan oleh Frisca Aprilisa, Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaran Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung dengan judul penelitian”Implementasi Tugas Badan Permusyawaratan Desa Dalam Pelaksanaan Pemerintah Desa Menurut
(1)
66
Rencana penelitian digmbarkan dengan maksud agar pembaca dapat dengan mudah menangkap bagaimanakah penelitian ini akan dilakukan dengan teknik analisis yang telah dijelaskan di atas. Penelitian diawali dari mencari data sebanyak-banyaknya yaitu tentang pelaksanaan perkawinan yang dicatat atau pernikahan resmi yang dilakukan oleh pasangan di bawah umur. Hal tersebut berkaitan dengan kesadaran hukum mengenai legalitas perkawinan terhadap pernikahan usia muda atau kepemilikan akta nikah. Data tersebut diperoleh melalui observasi dan catatan lapangan (field notes) yang memungkinkan didapatnya semua data mengenai jumlah pernikahan usia muda jumlah pasangan yang tidak memiliki akta nikah, jumlah pasangan yang memiliki akta nikah dan indikasi penggunaan dispensasi nikah di bawah umur. Kemudian berdasarkan batasan masalah maka dilakukan reduksi data (data reduction) dengan memilih dan membatasi hal pokok yang akan diteliti, peneliti hanya akan meneliti pernikahan usia muda yang berkaitan dengan pelaksanaan dispensai di bawah umur . Setelah itu data akan disajikan melalui data display yaitu menjelaskan dengan data deskriptif secara rinci mengenai keasadaran hukum masyarakat terhadap aturan hukum perkawinan nasional dan proses pelaksanaan dispensasi nikah di bawah umur, dan bagaimana kesesuaian pelaksanaan antara praktek dan aturan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Langkah terkahir adalah verifikasi yaitu penarikan kesimpulan dari penelitian kualitatif yang telah sesuai dengan fakta dan data yang telah dianalisis.
(2)
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Undang-Undang Perkawinan khususnya Pasal 2 Ayat (1), Pasal 2 Ayat (2), Pasal 7 Ayat (1), dan Pasal (2) belum diimplementasikan sepenuhnya. Terdapat kasus perkawinan usia muda yang tidak dicatat yaitu sekitar 17% dari seluruh jumlah pernikahan usia muda. Prosedur pencatatan perkawinan yang dilaksanakan meskipun sudah sesuai dengan undang-undang, namun masih memungkinkan terjadi pelanggaran administrasi karena PPN tidak memeriksa berkas calon pengantin. Pihak KUA ternyata hanya memeriksa surat (Model N1,N2,N3,N4,N5) yang dikeluarkan dari kelurahan.
Syarat administrasi nikah pada pelaku pernikahan usia muda yang melaksanakan nikah resmi tidak memiliki surat dispensasi nikah. Akta kelahiran yang menjadi syarat nikah sering diabaikan oleh kelurahan, dan kemudian proses dipermudah hanya dengan menunjukkan KK dan keterangan domisili sebagai pengganti KTP.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang sudah dikemukakan di atas, dapat disampaikan saran-saran yang perlu menjadi bahan masukan bagi semua pihak yang
(3)
102
memiliki kewenangan dalam rangka mengimplementasikan UU Perkawinan di Desa Pringombo Kelurahan Pringsewu Timur Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu, pada umumnya sebagai berikut.
1. Orangtua memanfaatkan pembuatan akte kelahiran gratis dengan membiasakan mendaftarkan surat keterangan lahir dari bidan atau dokter setempat.
2. Kelurahan harus jujur dalam melaksanakan tugasnya, pemalsuan data merupakan tindak kriminal dan dapat dipidanakan.
3. Pelayanan KUA tingkat kecamatan harus disesuaikan, termasuk PPN dalam memeriksa syarat administrasi nikah pelaku.
4. Perlu diadakan sosialisasi oleh aparat desa, pihak sekolah, atau PKK mengenai bahaya pernikahan usia muda. Sosialisasi ini dapat dilakukan dalam pengajian yang belangsung di desa Pringombo tersebut.
5. Bukti kelengkapan syarat nikah dalam bentuk N1, N2, N3, N4, dan N5, perlu dikaji ulang mengenai siapa yang mengeluarkan surat tersebut. Selama ini surat tersebut di keluarkan oleh kelurahan sehingga memungkinkan terjadi penyimpangan pemalsuan data.
6. Kasus pernikahan usia muda ini menjadi tanggung jawab semua pihak, terutama keluarga dan lembaga pendidikan. Dalam hal ini pemerintah perlu melakukan gerakan pencegahan sedini mungkin. Pemerintah atau lembaga terkait melakukan bimbingan dan sosialisasi mengani bahaya pernikahan usia muda dan pendidikan kesehatan reproduksi.
(4)
103
7. Orangtua seharusnya melakukan pengawasan, memberikan pemahaman tentang bahaya pergaulan bebas, dan menanamkan nilai-nilai agama kepada putra-putri mereka.
8. Pada kasus pernikahan usia muda, untuk dapat melaksanakan nikah resmi atau pencatatan perkawinan adalah dengan membuat dispensasi nikah. Mengingat bahwa banyaknya kasus pernikahan usia muda yang terjadi disebabkan karena hamil diluar nikah. Pasal 7 Ayat (2) mengenaii Dispensasi Nikah tersebut perlu dikaji ulang, karena bagaiamanapun pernikahan usia muda tidak dapat dilaksanakan apapun alasannya dan dispensasi nikah ini hanya akan menjadi bom waktu.
(5)
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 2009. Metodelogi Penelitian. Jakarta : Sinar Grafika. Ali, Zainudin. 2009. Sosiologi Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Dariyo, Agoes. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Darnita.2013. Faktor-Faktor Penyebab Pernikahan Usia Muda. Aceh: Kebidanan STIKes U’Budiyah Banda Aceh. Equality Vol.11. hlm. 36.
Djubaedah, Neng. 2012. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat. Jakarta: Sinar Grafika
Herdiyansyah, Haris. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu. Sosial. Jakarta:Salemba Humanika
Husin, M. 2006. Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Upaya Hukum. Jurnal Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh.
Mardi. 2010. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah. Jakarta: Sinar Grafika
Mariyah. 2009. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulloh.
Nurhayati. 2008. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Hukum. Jurnal Humaniora Vol.8. hlm.25.
Nurihsan. 2011. Dinamika Perkembangan Anak dan Remaja Tinjauan Psikologi. Pendidikan, dan Budaya. Jakarta:Refika Aditama.
Rahman, Yusnidar. 2006. Pembatalan Perkawinan Serta Akibat Hukumnya di Pengadilan Agama Slawi. Semarang: Universitas Diponegoro Ramulyo, Idris. 2004. Hukum Perkawinan, Kewarisan, Hukum Acara Pidana,
(6)
Rasyid, Roihan. 2006. Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT Grafindo. Sarwono, Wirawan. 2006. Psikologi Remaja. Jakarta:Rajawali Pers.
Sari, Nurmilah. 2011. Dispensasi Nikah Di Bawah Umur (Skripsi). Jakarta: Sinar Grafika Persada .
Soekamto, Soerjono. 2009. Sosiologi Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Rajawali. Soekamto, Soerjono dan Purnadi Purbacaraka. 2005. Filsafat Sebgaai Landasan
Filsafat Hukum. Jakarta:Rajawali.
Sudarsono. 2010. Hukum Perkawinan Nasional. Jakarta:Rineka Cipta. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R & D. Bandung:Alfabeta.
Mertokusumo, Sudikno.2005. Hukum Acara Perdata Indonesia Edisi Keenam. Jakarta: Rajawali.
Triwulan, Titik. 2008.Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana.