Trauma penetrasi merupakan keadaan yang gawat untuk bola mata karena pada keadaan ini kuman akan mudah masuk ke dalam bola mata
selain dapat mengakibatkan kerusakan susunan anatomik dan fungsional jaringan intraokular Ilyas, 2009.
Perforasi benda asing yang terdapat pada kornea dapat menimbulkan gejala berupa rasa pedas dan sakit pada mata. Keluhan ini
mungkin terjadi akibat sudah terdapatnya keratitis atau tukak pada mata tersebut Ilyas, 2009.
2.2. Keratitis
2.2.1. Definisi
Keratitis merupakan kelainan akibat terjadinya infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Akibat terjadinya
kekeruhan pada media kornea ini, maka tajam penglihatan akan menurun. Mata merah pada keratitis terjadi akibat injeksi pembuluh darah perikorneal yang dalam
atau injeksi siliar. Keratitis biasanya diklasifikasikan dalam lapis yang terkena seperti
keratitis superfisial dan profunda atau interstisial Ilyas, 2004.
2.2.2. Etiologi
Keratitis dapat disebabkan oleh banyak faktor Ilyas, 2004, diantaranya: 1.
Virus. 2.
Bakteri. 3.
Jamur. 4.
Paparan sinar ultraviolet seperti sinar matahari. 5.
Iritasi dari penggunaan berlebihan lensa kontak. 6.
Mata kering yang disebabkan oleh kelopak mata robek atau tidak cukupnya pembentukan air mata.
7. Adanya benda asing di mata.
8. Reaksi terhadap obat seperti neomisin, tobramisin, polusi, atau partikel
udara seperti debu, serbuk sari Wijaya, 2012.
2.2.3 Klasifikasi
Menurut Biswell 2010, keratitis dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal.
1. Berdasarkan lapisan yang terkena
Keratitis dibagi menjadi:
a. Keratitis Pungtata Keratitis Pungtata Superfisial dan Keratitis Pungtata
Subepitel Keratitis pungtata adalah keratitis dengan infiltrat halus pada kornea yang
dapat terletak superfisial dan subepitel Ilyas, 2004. Etiologi
Keratitis Pungtata ini disebabkan oleh hal yang tidak spesifik dan dapat terjadi pada Moluskum kontangiosum, Akne rosasea, Herpes simpleks, Herpes
zoster, Blefaritis neuroparalitik, infeksi virus, vaksinisia, trakoma, trauma radiasi, dry eye, keratitis lagoftalmos, keracunan obat seperti neomisin, tobramisin dan
bahaya pengawet lainnya.
Gambar 2.2. Keratitis Pungtata Sumber: Thygeson 1950
Gejala klinis dapat berupa rasa sakit, silau, mata merah, dan merasa
kelilipan.
Pemeriksaan laboratorium
Penyakit ini ditandai kekerutan epitel yang meninggi berbentuk lonjong dan jelas yang menampakkan bintik-bintik pada pemulasan dengan fluoresein,
terutama di daerah pupil. Uji fluoresein merupakan sebuah tes untuk mengetahui terdapatnya kerusakan epitel kornea. Dasar dari uji ini adalah bahwa zat warna
fluoresein akan berubah berwarna hijau pada media alkali. Zat warna fluoresein bila menempel pada epitel kornea maka bagian yang terdapat defek akan
memberikan warna hijau karena jaringan epitel yang rusak bersifat lebih basa. Kekeruhan subepitelial dibawah lesi epitel sering terlihat semasa penyembuhan
epitel ini, uji sensibilitas kornea juga diperiksa untuk mengetahui fungsi dari saraf trigeminus dan fasial. Pada umumnya sensibilitas kornea juga akan menurun
Ilyas, 2003. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada ketratitis pungtata superfisial pada prinsipnya adalah diberikan sesuai dengan etiologi. Untuk virus dapat diberikan idoxuridin,
trifluridin atau asiklovir. Untuk bakteri gram positif pilihan pertama adalah cafazolin, penisilin G atau vancomisin dan bakteri gram negatif dapat diberikan
tobramisin, gentamisin atau polimixin B. Pemberian antibiotik juga diindikasikan jika terdapat sekret mukopurulen yang menunjukkan adanya infeksi campuran
dengan bakteri. Untuk jamur pilihan terapi yaitu natamisin, amfoterisin atau fluconazol.
Selain terapi berdasarkan etiologi, pada keratitis pungtata superfisial ini sebaiknya juga diberikan terapi simptomatisnya agar dapat memberikan rasa
nyaman seperti air mata buatan, sikloplegik dan kortikosteroid Ilyas, 2003.
b. Keratitis Marginal Merupakan infiltrat yang tertimbun pada tepi kornea sejajar dengan
limbus. Penyakit infeksi lokal konjungtiva dapat menyebabkan keratitis kataral atau keratitis marginal ini. Keratitis marginal kataral biasanya terdapat pada
pasien setengah umur dengan adanya blefarokonjungtivitis Ilyas, 2004.
Etiologi Strepcoccus pneumonie, Hemophilus aegepty, Moraxella lacunata dan
Esrichia. Gejala klinis
Penderita akan mengeluhkan sakit, seperti kelilipan, lakrimasi, disertai fotofobia berat. Pada mata akan terlihat blefarospasme pada satu mata, injeksi
konjungtiva, infiltrat atau ulkus yang memanjang, dangkal unilateral dapat tunggal ataupun multipel, sering disertai neovaskularisasi dari arah limbus.
Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan Gram
maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri Biswell, 2010.
Penatalaksanaan Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika yang sesuai dengan
penyebab infeksi lokalnya dan steroid dosis ringan. Pada pasien dapat diberikan vitamin B dan C dosis tinggi Ilyas, 2004.
c. Keratitis Interstisial Keratitis interstitial adalah kondisi serius dimana masuknya pembuluh
darah ke dalam kornea dan dapat menyebabkan hilangnya transparansi kornea. Keratitis interstitial dapat berlanjut menjadi kebutaan. Sifilis adalah penyebab
paling sering dari keratitis interstitial Hollwich, 1993. Etiologi
Keratitis Interstisial dapat terjadi akibat alergi atau infeksi spiroket ke dalam stroma kornea dan akibat tuberkulosis Ilyas, 2004.
Gejala klinis Biasanya akan memberikan gejala fotofobia, lakrimasi, dan menurunnya
visus. Menurut Hollwich 1993 keratitis yang disebabkan oleh sifilis
kongenital biasanya ditemukan trias Hutchinson mata: keratitis interstisial, telinga: tuli labirin, gigi: gigi seri berbentuk obeng, sadlenose, dan pemeriksaan
serologis yang positif terhadap sifilis. Pada keratitis yang disebabkan oleh tuberkulosis terdapat gejala
tuberkulosis lainnya Ilyas, 2004 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan kerokan kornea yang dipulas dengan pewarnaan gram maupun Giemsa dapat mengidentifikasi organisme, khususnya bakteri Biswell,
2010. Penatalaksanaan
Penatalaksanaannya dapat diberikan kortikosteroid tetes mata jangka lama secara intensif setiap jam dikombinasi dengan tetes mata atropin dua kali
sehari dan salep mata pada malam hari Hollwich, 1993.
2. Berdasarkan penyebabnya Keratitis diklasifikasikan menjadi:
a. Keratitis Bakteri Etiologi
Menurut American Academy of Ophthalmology 2009.
Tabel 2.1. Penyebab Keratitis Bakterial Causes of Bacterial Keratitis
Common Organisms Uncommon Organisms
Staphylococcus aureus Neisseria spp
Staphylococcus epidermidis Moraxella spp
Streptococcus pneumoniae and other Streptococcus spp
Mycobacterium spp Pseudomonas aeruginosa most
common organism in soft contact lens wearers
Nocardia spp
Enterobacteriaceae Proteus, Enterobacter, Serratia
Non-spore-forming anaerobes Corynebacterium spp
Gejala klinis Pasien keratitis biasanya mengeluh mata merah, berair, nyeri pada mata
yang terinfeksi, penglihatan silau, adanya sekret dan penglihatan menjadi kabur Kanski, 2005. Pada pemeriksaan bola mata eksternal ditemukan hiperemis
perikornea, blefarospasme, edema kornea, infiltrasi kornea. Pemeriksaan laboratorium
Menurut Kanski 2005 pemeriksaan kultur bakteri dilakukan dengan menggores ulkus kornea dan bagian tepinya dengan menggunakan spatula steril
kemudian ditanam di media cokelat untuk Neisseria, Haemophillus dan Moraxella sp, agar darah untuk kebanyakan jamur, dan bakteri kecuali
Neisseria dan agar Sabouraud untuk jamur, media ini diinkubasi pada suhu kamar. Kemudian dilakukan pewarnaan Gram Biswell, 2010.
Penatalaksanaan Diberikan antibiotik spektrum luas sambil menunggu hasil kultur bakteri.
Berikut tabel pengobatan inisial antibiotik yang dapat diberikan American Academy of Ophthalmology, 2009:
Tabel 2.2.Penatalaksanaan Awal untuk Keratitis Bakterial Initial Therapy for Bacterial Keratitis
Organism Antibiotic
Topical Dose Subconjunctival
Dose Gram-positive
cocci Cefazolin
Vancomycin Moxifloxacin or
gatifloxacin 50 mgmL
25-50 mgmL 5or 3 mgmL,
respectively 100 mg in 0,5 mL
25 mg in 0,5 mL Not available
Gram-negative rods
Tobramycin Ceftazimidine
Fluoroquinolones 9-14 mgmL
50 mgmL 3 mgmL
20 mg in 0,5 mL 100 mg in 0,5 mL
Not available
No organism or multiple types of
organisms Cefazolin with
Tobramycin or fluoroquinolones
50 mgmL 9-14 mgmL
3 or 5 mgmL 100 mg in 0,5 mL
20 mg in 0,5 mL
Gram-negative cocci
Ceftriaxone Ceftazimidine
50 mgmL 50 mgmL
Not available 100 mg in 0,5 mL
Mycobacteria Clarithromycin
Moxifloxacin or gatifloxacin
10 mgmL 0,03 5 or 3 mgmL,
respectively
b. Keratitis Jamur Infeksi jamur pada kornea yang dapat disebut juga mycotic keratitis
Dorland, 2000. Etiologi
Menurut Susetio 1993, secara ringkas dapat dibedakan : 1 Jamur berfilamen filamentous fungi : bersifat multiseluler dengan
cabang-cabang hifa. 2 Jamur bersepta : Furasium sp, Acremonium sp, Aspergillus sp,
Cladosporium sp, Penicillium sp, Paecilomyces sp, Phialophora sp, Curvularia sp, Altenaria sp.
3 Jamur tidak bersepta : Mucor sp, Rhizopus sp, Absidia sp. 4 Jamur ragi yeast yaitu jamur uniseluler dengan pseudohifa dan tunas :
Candida albicans, Cryptococcus sp, Rodotolura sp. 5 Jamur difasik. Pada jaringan hidup membentuk ragi sedang media
pembiakan membentuk miselium : Blastomices sp, Coccidiodidies sp, Histoplastoma sp, Sporothrix sp.
Gejala klinis Menurut Susetio 1993 untuk menegakkan diagnosis klinik dapat
dipakai pedoman berikut : 1 Riwayat trauma terutama tumbuhan, pemakaian steroid topikal lama.
2 Lesi satelit. 3 Tepi ulkus sedikit menonjol dan kering, tepi yang ireguler dan tonjolan
seperti hifa di bawah endotel utuh. 4 Plak endotel.
5 Hipopion, kadang-kadang rekuren. 6 Formasi cincin sekeliling ulkus.
7 Lesi kornea yang indolen. Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis laboratorik sangat membantu diagnosis pasti, walaupun negatif belum dapat menyingkirkan diagnosis keratomikosis. Hal yang utama adalah
melakukan pemeriksaan kerokan kornea sebaiknya dengan spatula Kimura yaitu dari dasar dan tepi ulkus dengan biomikroskop. Kemudian dapat dilakukan
pewarnaan KOH, Gram, Giemsa atau KOH + Tinta India, dengan angka keberhasilan masing-masing ± 20-30, 50-60, 60-75 dan 80.
Sebaiknya melakukan biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan Periodic Acid Schiff atau Methenamine Silver, tetapi memerlukan biaya yang
besar. Akhir-akhir ini dikembangkan Nomarski differential interference contrast microscope untuk melihat morfologi jamur dari kerokan kornea metode
Nomarski yang dilaporkan cukup memuaskan. Selanjutnya dilakukan kultur dengan agar Sabouraud atau agar ekstrak maltosa Susetio, 1993.
Penatalaksanaan Menurut Susetio 1993 terapi medikamentosa di Indonesia terhambat
oleh terbatasnya preparat komersial yang tersedia, tampaknya diperlukan
kreativitas dalam improvisasi pengadaan obat. Hal yang utama dalam terapi keratomikosis adalah mengenai jenis keratomikosis yang dihadapi, dapat dibagi:
1 Belum diidentifikasi jenis jamur penyebabnya. Topikal amphotericin B 1,02,5 mgml, thiomerosal 10 mgml, natamycin
10 mgml, golongan imidazole. 2 Jamur berfilamen.
Untuk golongan II : Topikal amphotericin B, thiomerosal, natamycin obat terpilih, imidazole obat terpilih.
3 Ragi yeast. Amphoterisin B, natamycin, imidazole
4 Golongan Actinomyces yang sebenarnya bukan jamur sejati. Golongan sulfa, berbagai jenis antibiotik.
c. Keratitis Virus Etiologi
Herpes simpleks virus HSV merupakan salah satu infeksi virus tersering pada kornea. Virus herpes simpleks menempati manusia sebagai host, merupakan
parasit intraselular obligat yang dapat ditemukan pada mukosa, rongga hidung, rongga mulut, vagina dan mata. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan
cairan dan jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus Ilyas, 2004.
Gejala klinis Pasien dengan HSV keratitis mengeluh nyeri pada mata, fotofobia,
penglihatan kabur, mata berair, mata merah, tajam penglihatan turun terutama jika bagian pusat yang terkena Ilyas, 2004.
Infeksi primer Herpes simpleks pada mata biasanya berupa konjungtivitis folikularis akut disertai blefaritis vesikuler yang ulseratif, serta pembengkakan
kelenjar limfe regional. Kebanyakan penderita juga disertai keratitis epitelial dan dapat mengenai stroma tetapi jarang. Pada dasarnya infeksi primer ini dapat
sembuh sendiri, akan tetapi pada keadaan tertentu dimana daya tahan tubuh sangat lemah akan menjadi parah dan menyerang stroma.
Pemeriksaan laboratorium Menurut Biswell 2010 dilakukan kerokan dari lesi epitel pada keratitis
HSV dan cairan dari lesi kulit mengandung sel-sel raksasa. Virus ini dapat dibiakkan pada membran korio-allantois embrio telur ayam dan pada banyak jenis
lapisan sel jaringan misal sel HeLa, tempat terbentuknya plak-plak khas. Terapi
1 Debridement
Cara efektif mengobati keratitis dendritik adalah debridement epithelial, karena virus berlokasi didalam epitel. Debridement juga mengurangi beban
antigenik virus pada stroma kornea. Epitel sehat melekat erat pada kornea namun epitel yang terinfeksi mudah dilepaskan. Debridement dilakukan dengan aplikator
berujung kapas khusus. Obat siklopegik seperti atropin 1 atau homatropin 5 diteteskan kedalam sakus konjungtiva, dan ditutup dengan sedikit tekanan. Pasien
harus diperiksa setiap hari dan diganti penutupnya sampai defek korneanya sembuh umumnya dalam 72 jam Biswell, 2010.
2 Terapi Obat menurut Ilyas, 2004: IDU Idoxuridine analog pirimidin terdapat dalam larutan 1 dan
diberikan setiap jam, salep 0,5 diberikan setiap 4 jam. Vibrabin: sama dengan IDU tetapi hanya terdapat dalam bentuk salep.
Trifluorotimetidin TFT: sama dengan IDU, diberikan 1 setiap 4 jam. Asiklovir salep 3, diberikan setiap 4 jam.
Asiklovir oral dapat bermanfaat untuk herpes mata berat, khususnya pada orang atopi yang rentan terhadap penyakit herpes mata dan kulit agresif.
3 Terapi Bedah Keratoplasti penetrans mungkin diindikasikan untuk rehabilitasi
penglihatan pasien yang mempunyai parut kornea yang berat, namun hendaknya dilakukan beberapa bulan setelah penyakit herpes nonaktif Biswell, 2010.
d. Keratitis Acanthamoeba Etiologi
Keratitis yang berhubungan dengan infeksi Acanthamoeba yang biasanya disertai dengan penggunaan lensa kontak Dorland, 2002.
Gejala klinis Rasa sakit yang tidak sebanding dengan temuan kliniknya yaitu
kemerahan, dan fotofobia. Tanda klinik khas adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan infiltrat perineural. Bentuk-bentuk awal pada penyakit ini, dengan
perubahan-perubahan hanya terbatas pada epitel kornea semakin banyak ditemukan. Keratitis Acanthamoeba sering disalah diagnosiskan sebagai keratitis
herpes Biswell, 2010. Pemeriksaan laboratorium
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan kerokan dan biakan di atas media khusus. Biopsi kornea mungkin diperlukan. Sediaan histopatologik
menampakkan bentuk-bentuk amuba kista atau trofozoit. Larutan dan kontak lensa harus dibiak. Sering kali bentuk amuba dapat ditemukan pada larutan kotak
penyimpan lensa kontak Biswell, 2010. Penatalaksanaan
Terapi dengan obat umumnya dimulai dengan isetionat, propamidin topikal larutan 1 secara intensif dan tetes mata neomisin. Bikuanid
poliheksametilen larutan 0,01-0,02 dikombinasi dengan obat lain atau sendiri, kini makin populer.
Agen lain yang mungkin berguna adalah paromomisin dan berbagai imidazol topikal dan oral seperti ketokonazol, mikonazol, itrakonazol. Terapi juga
dihambat oleh kemampuan organisme membentuk kista didalam stroma kornea, sehingga memerlukan waktu yang lama.
Kortikosteroid topikal mungkin diperlukan untuk mengendalikan reaksi radang dalam kornea. Keratoplasti mungkin diperlukan pada penyakit yang telah
lanjut untuk menghentikan berlanjutnya infeksi atau setelah resolusi dan terbentuknya parut untuk memulihkan penglihatan.
Jika organisme ini sampai ke sklera, terapi obat dan bedah tidak berguna Biswell, 2010.
BAB 3 KERANGKA KONSEP PENELITIAN DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah:
Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
3.2. Definisi Operasional
1. Pasien keratitis adalah semua data rekam medis yang telah didiagnosis oleh dokter di poli mata RSUP H.Adam Malik yang mengalami keratitis.
2. Karakteristik pasien keratitis adalah data yang tercantum dalam rekam medis yang dapat menjadi faktor risiko terjadinya keratitis, antara lain:
umur, jenis kelamin, pekerjaan, riwayat penggunaan lensa kontak dan riwayat trauma kornea.
3. Umur adalah jumlah tahun hidup pasien sejak lahir sampai terdiagnosa menderita keratitis yang sesuai dengan rekam medis tahun 2010-2011.
4. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien keratitis yang tertulis di rekam medis tahun 2010-2011.
Karakteristik individu penderita:
1. Umur 2. Jenis kelamin
3. Pekerjaan 4 Riwayat penggunaan
lensa kontak 5. Riwayat trauma
kornea Keratitis