BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Perusahaan memiliki tujuan untuk meningkatkan nilainya, yaitu untuk memakmurkan pemilik pemegang saham. Kemakmuran pemilik perusahaan
ditentukan oleh semakin meningkatnya harga saham. Harga saham menunjukkan nilai perusahaan. Semakin tinggi harga saham, maka semakin
tinggi nilai perusahaan. Untuk memperoleh nilai perusahaan yang diharapkan, pemilik pemegang saham memberikan kepercayaan kepada professional
manajer dan komisaris untuk mengelola dan menjalankan perusahaan Brigham Gapenski, 2001 : 79
Pengendalian perusahaan ini diserahkan kepada manajer profesional karena pemilik perusahaan tidak mampu lagi mengelola perusahaan, pemilik
perusahaan kemampuannya terbatas untuk mengendalikan perusahaan yang semakin besar dan kompleks. Dengan demikian, manajemen dapat dipandang
sebagai agen dari pemilik perusahaan prinsipal yang mempekerjakan mereka, memberikan wewenang, dan kekuasaaan untuk mengambil keputusan
terbaik yang dapat meningkatkan kemakmuran pemilik perusahaan Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, 2002 : 11.
Manajemen bertujuan untuk memaksimumkan kesejahteraan pemilik shareholders melalui keputusan atau kebijakan investasi, pendanaan dan
dividen yang tercermin dalam harga saham di pasar modal. Semakin tinggi
1
harga saham di pasar modal berarti kesejahteraan pemilik semakin meningkat Mugiharta, 2003: 2. Dalam menjalankan dan mengelola perusahaan, manajer
memerlukan dana untuk memenuhi kebutuhan perusahaan, baik untuk kegiatan operasional maupun untuk ekspansi perusahaan. Dan salah satu
alternatif perusahaan untuk memperoleh dana adalah dengan kebijakan hutang Sukmaja, 2009 : 26.
Penerbitan hutang juga rawan terhadap masalah keagenan. Menurut Brigham dan Daves dalam Masdupi 2005 : 3, manajer seharusnya
memperhatikan kepentingan pemilik perusahaan. Tetapi dalam kenyataannya, manajemen juga berkepentingan terhadap kemakmuran dirinya sehingga
mernbuat manajer enggan untuk mengambil keputusan yang lebih beresiko. Jika investasi yang beresiko tersebut gagal, maka laba perusahaan akan turun.
Padahal, ukuran kinerja manajerial adalah laba yang dihasilkan. Dengan demikian, kegagalan investasi tersebut dapat mengakibatkan manajer tidak
memperoleh insentif atau bonus seperti yang diharapkan. Akibatnya, manajer tidak lagi memaksimumkan kemakmuran pemegang saham melainkan
mengambil jalan tengah dengan meminimumkan kerugian potensial dari pemilik perusahaan.
Penyebab lain konflik antara manajer dengan pemegang saham adalah keputusan investasi. Para pemegang saham hanya peduli terhadap resiko
sistematis dari saham perusahaan. Oleh karena itu, mereka akan melakukan diversifikasi portofolio asetnya untuk meminimalkan resiko. Sedangkan
2
manajer lebih mempertimbangkan resiko perusahaan secara keseluruhan. Dalam konteks keuangan, masalah tersebut muncul antara prinsipal dan agen.
Masalah keagenan tersebut dapat terjadi antara pemilik shareholders dengan manajer, manajer dengan debtholder, serta manajer dan shareholders dengan
debtholder . Konflik tersebut dikenal sebagai masalah keagenan agency
problem Suad Husnan dan Enny Pudjiastuti, 2002: 12.
Fama dalam penelitian yang dilakukan Masdupi 2005 : 3, teori keagenan merupakan konsekuensi dari pemisahan fungsi kontrol dengan fungsi
kepemilikan. Agency problem akan terjadi bila proporsi kepemilikan manajer atas saham suatu perusahaan kurang dari seratus persen, sehingga manajer
mendapatkan insentif dan kesempatan untuk melakukan tindakan yang tidak menguntungkan bagi pemilik lain, melainkan cenderung bertindak untuk
mengejar kepentingan dirinya. Insentif tersebut ada karena manajer memperoleh keuntungan dari tindakan mereka tanpa harus menanggung
semua biaya finansial atas kesalahan dalam pengambilan keputusan dan tidak berdasarkan maksimalisasi nilai dalam keputusan pendanaan. Sedangkan
kesempatan peluang muncul sebagai akibat ketidakmampuan pemegang saham luar untuk melakukan pengawasan atas semua tindakan yang dilakukan
oleh pihak manajemen.
Konflik kepentingan antara manajemen dan pemegang saham dapat diminimalkan dengan suatu rnekanisme pengawasan yang dapat
mensejajarkan kepentingan-kepentingan tersebut. Namun adanya mekanisme
3
pengawasan akan menimbulkan biaya yang disebut sebagai agency cost. Untuk menekan hal itu, Jensen dan Meckling dalam Sukmaja 2009 : 32
menyarankan agar manajer dan komisaris diikutsertakan dalam kepemilikan saham perusahaan. Dengan demikian, pertimbangan kepemilikan dapat
menciptakan kehati-hatian para manajer dan komisaris dalam mengelola perusahaan. Kebangkrutan perusahaan bukan hanya menjadi tanggung jawab
pemilik utama, namun para manajer dan komisaris juga akan ikut menanggungnya. Sehingga konsekuensinya para manajer dan komisaris akan
bertindak hati-hati dalam mengelola perusahaan. Oleh karena itu, kepemilikan saham oleh para manajer dan komisaris menjadi pertimbangan penting ketika
hendak meningkatkan nilai perusahaan.
Kepemilikan saham oleh institusi juga merupakan sarana efektif untuk memonitoring perilaku manajer dalam perusahaan. Dengan adanya
konsentrasi kepemilikan, maka para pemegang saham besar, seperti institutional investors
akan dapat memonitor perilaku manajemen secara lebih efektif dan dapat meningkatkan nilai perusahaan jika terjadi takeover.
Meningkatnya kepemilikan saham oleh institusi juga dapat mengimbangi kebutuhan terhadap hutang.
Moh’d, et. al dalam Sukmaja 2009 : 37, bentuk distribusi saham antara pemegang dari luar outside shareholder yaitu kepemilikan institusional dan
kepemilikan publik dapat mengurangi biaya keagenan. Hal ini karena kepemilikan institusional dan kepemilikan publik memiliki hubungan negatif
4
dan signifikan dengan kebijakan hutang. Artinya jika kepemilikan publik memiliki proporsi saham yang tinggi dalam perusahaan, maka akan membantu
kepemilikan institusional untuk mengawasi kinerja manajer dalam menggunakan hutang dan aktifitas operasional perusahaan. Sehingga pada
akhirnya dapat mengurangi biaya keagenan.
Kebijakan hutang juga bergantung pada pertumbuhan asset yang dimiliki perusahaan. Perusahaan yang mempunyai asset besar tentu lebih mudah
memperoleh hutang atau pinjaman dari pada perusahaan yang tidak mempunyai asset yang besar. Menurut Gapenski dan Daves dalam Sukmaja
2009 : 42, perusahaan yang memiliki jaminan terhadap hutang akan lebih mudah mendapatkan hutang dari pada perusahaan yang tidak memiliki
jaminan terhadap hutang.
Kebijakan hutang juga perlu didukung oleh kemampuan perusahaan dalam memperoleh laba. Para investor menanamkan dananya pada perusahaan adalah
untuk mendapatkan return. Return terdiri dari yield dan capital gain. Semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk memperoleh laba, maka semakin besar
return yang diharapkan oleh investor. Oleh karena itu, perusahaan yang
memiliki profitabilitas tinggi akan diminati sahamnya oleh investor. Karena investor tersebut mengharapkan tingkat return yang seimbang dengan tingkat
resiko yang diambilnya. Selain itu, semakin tinggi laba yang diperoleh maka semakin banyak cadangan dana yang disiapkan untuk membayar hutang
tersebut.
5
Penelitian mengenai hubungan kepemilikan dengan hutang perusahaan telah dilakukan oleh banyak peneliti. Kim dan Sorensen 1986, Agrawal dan
Mendelker 1987 dan Mehran 1992, sebagaimana diungkapkan oleh Wahidahwati 2001, menemukan hubungan positif antara kepemilikan
manajerial dengan rasio hutang perusahaan. Sedangkan penelitian Frend dan Hasbrouk 1988 dan Jensen et al 1992, sebagaimana juga diungkapkan oleh
Wahidahwati 2001, menemukan hubungan negatif antara persentase saham yang dipegang oleh manajer dengan rasio hutang perusahaan. Penelitian
Bathala et al 1994, sebagaimana diungkapkan oleh Wahidahwati 2001, menemukan bukti bahwa institusional mempunyai pengaruh negatif terhadap
rasio hutang dan kepemilikan manajerial. Demikian pula penelitian Moh’d et al
1998, sebagaimana diungkapkan oleh Masdupi 2005, menemukan bukti bahwa kepemilikan saham oleh pihak institusional mempunyai hubungan
negatif dan signifikan dengan debt ratio.
Penelitian tentang pengaruh kepemilikan manajerial terhadap kebijakan hutang juga telah dilakukan oleh beberapa peneliti Indonesia. Wahidahwati
2001 menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang. Tetapi dalam
penelitian selanjutnya, Wahidahwati 2002 menemukan bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh positif terhadap kebijakan hutang
perusahaan. Penelitian Hanafi dan Ismiyanti 2003 menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional berpengaruh positif
terhadap kebijakan hutang. Sedangkan penelitian Tarjo 2005 menemukan
6
bukti bahwa kepemilikan manajerial mempunyai pengaruh negatif terhadap level hutang.
Atas pertimbangan penelitian sebelumnya, maka penelitian kali ini mencoba menggabungkan beberapa variabel yang mempengaruhi kebijakan
hutang, yaitu : struktur kepemilikan manajerial, struktur kepemilikan institusional, struktur kepemilikan publik, jumlah pemegang saham,
profitabilitas, dan pertumbuhan perusahaan. Peneliti juga ingin melakukan penelitian dengan objek perusahaan yang berbeda yaitu industri perbankan.
Peneliti mengambil sampel perusahaan perbankan karena pemilik suatu bank pasti menginginkan manajemen dari banknya dapat mengoptimalkan sumber
daya yang ada pada bank tersebut, sehingga manajemen mampu menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Tujuan akhir dari pengelolaan bank adalah
profit yang tercermin dengan adanya kinerja yang bagus dari bank tersebut.
Untuk mencapai tujuan yang bersifat profit motives dari pemegang saham atau pemilik bank tersebut, maka pemilik bank senantiasa akan memilih
manajemen yang diharapkan mampu menjalankan usaha bank tersebut dengan baik dan menguntungkan. Secara umum pemilik bank tidak akan memilih
manajemen yang diperkirakan akan merugikan banknya. Oleh sebab itu, dalam hubungan antara pemilik bank dengan manajemen selalu ada
“performance contract” di mana pemilik bank mempersyaratkan manajemen
yang dipilih oleh pemilik untuk memaksimalkan keuntungan untuk kepentingan pemilik bank tersebut.
7
Keberhasilan suatu bank untuk dapat menghasilkan suatu keuntungan merupakan suatu prestasi yang dilakukan oleh pihak manajemen dalam
mengelola banknya secara baik dan benar. Dengan demikian maju tidaknya kegiatan operasional suatu bank sangat tergantung dengan kemampuan dari
manajemen tersebut mengelola banknya masing-masing. Di samping besarnya peran manajemen dalam mengelola bank agar dapat menghasilkan kinerja
yang baik, peran dari pemilik bank itu sendiri juga cukup besar untuk memberikan kontribusi dalam memilih manajemen yang bagus. Pemilik suatu
bank seperti halnya pemilik usaha lainnya maupun investor senantiasa berkeinginan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dengan
meminimalkan resiko usaha yang sekecil mungkin risk-averse Firmansyah Raditya, 2006 : 11 .
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Analisis Pengaruh Struktur Kepemilikan, Profitabilitas, dan
Pertumbuhan Perusahaan terhadap Kebijakan Hutang pada Perusahaan Perbankan Nasional”.
B. Perumusan Masalah