Parestesi Sebagai Komplikasi Dari Anestesi Blok Pada Mandibula.

(1)

PARESTESI SEBAGAI SALAH SATU KOMPLIKASI DARI

ANESTESI BLOK PADA MANDIBULA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi

Oleh :

BENNY HANDOYO NIM : 040600052

DEPARTEMEN BEDAH MULUT DAN MAKSILOFASIAL

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2009


(2)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2009

Benny Handoyo

Parestesi Sebagai Komplikasi Dari Anestesi Blok Pada Mandibula Vii + 31 halaman

Anestesi blok pada mandibula adalah anestesi yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk melumpuhkan N. alveolaris inferior, N. lingualis, N. mentalis dan N. insisivus. Anestesi ini sering digunakan dokter gigi untuk pencabutan gigi posterior dan untuk pencabutan lebih dari satu gigi di regio mandibula serta daerah anestesi yang dihasilkan cukup luas meliputi satu kuadran.

Tetapi anestesi ini juga memiliki beberapa komplikasi walaupun dalam melakukannya telah mengikuti petunjuk yang benar. Adapun komplikasi tersebut adalah parestesi, kolaps, efek toksik, trismus, hematoma dan lain-lain.

Parestesi merupakan suatu sensasi kebas atau mati rasa, rasa terbakar yang dirasakan pasien. Penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya parestesi adalah trauma pada saraf dan bahan-bahan kimia sewaktu melakukan perawatan pada gigi dan mulut. Kebanyakan kasus parestesi dapat sembuh dengan sendirinya tanpa dilakukan perawatan. Namun bila perbaikan tidak juga terlihat maka dapat dilakukan perawatan yang meliputi perawatan nonbedah dan bedah.


(3)

PERNYATAAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi

Medan, Agustus 2009

Pembimbing Tanda tangan


(4)

TIM PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi Pada tanggal 11 September 2009

TIM PENGUJI

KETUA : Olivia Avryanti H, drg., Sp.BM

ANGGOTA : 1. Abdullah, drg

2. Shaukat O. Hasbi, drg., Sp.BM 3. Indra Basar S, drg


(5)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dalam rangka memenuhi kewajiban penulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

Skripsi ini penulis persembahkan kepada kepada kedua orang tua penulis, ayah penulis Suyadi dan ibu penulis Puspawarni yang telah memberiakn dukungan dan bimbingan kepada penulis selama ini. Skripsi ini juga penulis persembahkan kepada kelima saudara penulis yang tersayang, abang penulis M. Syahri, kakak penulis Lusiana Dewi, Yusmawati, Leli Budiati dan adik penulis Boby Harmoyo yang telah memberikan doa, semangat, dan dukungan kepada penulis. Untuk itu dengan hati yang tulus dan ikhlas, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar – besarnya kepada :

1. Eddy Anwar Ketaren, drg., Sp.BM, selaku ketua Departemen Bedah Mulut Dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.

2. Abdulah drg, selaku dosen pembimbing skripsi yang sudah banyak memberikan bimbingan dan saran kepada penulis dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. 3. Arida Jan Dalmer, drg, selaku dosen penasihat akademik Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Sumatera Utara.

4. Seluruh staf pengajar / dosen, pegawai dalam lingkungan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.


(6)

Syauri Ervansyah, Herlin, bang Ibob, kak Elis dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

6. Teman-teman penulis stambuk 2004, teman-teman penulis di SMU N 3 Medan, bimbingan belajar Adzkia, Avin, M2C, terimakasih atas segala dukungan dan doa kalian selama ini.

Akhir kata, penulis berharap kiranya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan penulis terutama bagi bidang kedokteran gigi.

Medan, Agustus 2009

Penulis,

(Benny Handoyo)


(7)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...……… HALAMAN PERSETUJUAN ...………. HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...….………

KATA PENGANTAR ……….…... iv

DAFTAR ISI ……….…………... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

BAB 1 PENDAHULUAN ………... 1

BAB 2 ANESTESI BLOK PADA MANDIBULA 2.1 Anatomi dan persarafan mandibula ...………... 3

2.2 Anatomi sel saraf ... 9

2.3 Proses penghantaran impuls ... 10

2.4 Anestesi blok mandibula ... 12

2.5 Komplikasi ...……….... 14

BAB 3 PARESTHESIA 3.1 Definisi ...……….…... 17

3.2 Etiologi ...…...………...…... 17

3.3 Patofisiologi ...………...…. 20

3.4 Pencegahan ... 22

BAB 4 PERAWATAN 4. 1 Penatalaksanaan ... 24

BAB 5 KESIMPULAN ……….. 29


(8)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Percabangan N. trigeminus ………. 6 2. Saraf-saraf wajah N. trigeminus, N. fasialis,N. glosoparingeus,

N. maksilaris, N. alveolaris inferior dan percabangan nya .……… 9 3. Lokasi, anatomi, dan cara kerja sinaps ………... 12 4. Daerah anestesi yang dilumpuhkan ………. 14


(9)

Fakultas Kedokteran Gigi

Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Tahun 2009

Benny Handoyo

Parestesi Sebagai Komplikasi Dari Anestesi Blok Pada Mandibula Vii + 31 halaman

Anestesi blok pada mandibula adalah anestesi yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk melumpuhkan N. alveolaris inferior, N. lingualis, N. mentalis dan N. insisivus. Anestesi ini sering digunakan dokter gigi untuk pencabutan gigi posterior dan untuk pencabutan lebih dari satu gigi di regio mandibula serta daerah anestesi yang dihasilkan cukup luas meliputi satu kuadran.

Tetapi anestesi ini juga memiliki beberapa komplikasi walaupun dalam melakukannya telah mengikuti petunjuk yang benar. Adapun komplikasi tersebut adalah parestesi, kolaps, efek toksik, trismus, hematoma dan lain-lain.

Parestesi merupakan suatu sensasi kebas atau mati rasa, rasa terbakar yang dirasakan pasien. Penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya parestesi adalah trauma pada saraf dan bahan-bahan kimia sewaktu melakukan perawatan pada gigi dan mulut. Kebanyakan kasus parestesi dapat sembuh dengan sendirinya tanpa dilakukan perawatan. Namun bila perbaikan tidak juga terlihat maka dapat dilakukan perawatan yang meliputi perawatan nonbedah dan bedah.


(10)

BAB 1 PENDAHULUAN

Perkembangan anestesi lokal hampir sejalan dengan anestesi umum. Seperti halnya anestesi umum, maka perkembangan anestesi lokal juga dimulai dari bentuk sederhana. Sebuah buku pengobatan tua dari inggris berjudul Lacnunga yang diterbitkan pada tahun 1050, telah menuliskan cara anestesi lokal yang paling sederhana yaitu penggunaan air dingin untuk meredakan rasa nyeri akibat abses. Anestesi berasal dari kata A= tidak dan estesia= rasa. Anestesi lokal adalah suatu anestesi yang dihasilkan dengan menempatkan obat di salah satu tempat sepanjang perjalanan saraf, obat akan menghambat penjalaran impuls baik aferen maupun eferen dibagian distal yang dilayani oleh segmen saraf yang bersangkutan.

Popularitas anestesi dan analgesia lokal yang makin meluas dan meningkat dalam bidang kedokteran gigi merupakan cerminan dari efisiensinya, kenyamanannya dan sedikitnya kontraindikasi dari bentuk anestesi ini.

1

Teknik-teknik anestesi lokal dapat dipelajari dengan mudah dan peralatan yang diperlukan tidak terlalu banyak, ekonomis serta mudah dibawa-bawa. Penggunaan bentuk anestesi ini juga tidak mengganggu saluran pernapasan dan anestesi ini dapat dilakukan oleh dokter gigi biasa.

Keuntungan lain dari anestesi lokal adalah memungkinkan diperolehnya kerjasama yang baik antara pasien dan dokter gigi selama dilakukannya perawatan gigi. Persiapan praoperatif dari pasien umumnya tidak diperlukan bila digunakan anestesi lokal dan pasien dapat dibiarkan pulang sendiri tanpa perlu ditemani dan bahkan sudah dapat kembali bekerja. Karena alasan inilah, anestesi lokal sering digunakan untuk pembedahan atau pencabutan gigi.


(11)

Kontraindikasi terpenting dari anestesi lokal adalah adanya infeksi akut pada daerah operasi. Suntikan larutan anestesi lokal ke daerah peradangan akut akan menyebabkan infeksi menyebar melalui aliran darah dan efek anestesi yang didapat jadi berkurang.

Anestesi blok adalah salah satu dari beberapa teknik anestesi lokal yang digunakan dibidang kedokteran. Istilah anestesi blok berarti bahwa bahan anestetikum dideponer pada suatu tempat diantara sentrum saraf dan daerah operasi. Anestesi pada mandibula dikenal dengan anestesi blok mandibula dan anestesi ini adalah yang paling penting untuk kedokteran gigi. Disini kita melumpuhkan N. Alveolaris inferior yang dicapai sebelum masuk ke kanalis mandibula. Salah satu komplikasi dari anestesi blok mandibula adalah terjadinya parastesia.

2

Dalam penulisan skripsi ini akan dibahas mengenai parestesi yaitu definisi, etiologi, patofisiologi, dan perawatannya.

3


(12)

BAB 2

ANESTESI BLOK PADA MANDIBULA

2. 1 Anatomi dan persarafan mandibula

Memahami anatomi saraf mandibula sangat penting dalam keberhasilan untuk memblok saraf ini. Persarafan mandibula terdiri dari saraf sensorik yang paling banyak dijumpai dan motorik. Saraf motorik terdiri dari saraf pterigoid eksterna, maseter dan temporalis.

Nervus trigeminus muncul dipertengahan bagian lateral pons sebagai akar sensoris dan akar motorik.

3

1. Somato sensoris umum a. Eksteroseptif

Neuron sensoris pertama terdapat didalam ganglion semilunar gaseri. Menerima rangsang dari kulit dan selaput lender muka. Akson-aksonnya masuk sebagai akar sensorik ke nukleus sensibilis pontis N. V dan ke nucleus spinalis N. V. Dari kedua nukleus ini, impuls kemudian diteruskan ke thalamus.

Cabang pertama dan cabang kedua akar sensoris, yaitu N. Optalmikus dan N. maksilaris, juga melalui dinding lateralis sinus kavernosus.

b. Proprioseptif

Nukleus sensoris pertama terletak dalam nukleus mesensepalon nervus trigeminus. Menerima rangsang melalui cabang-cabang N. V dan juga dari N. III, IV, VI, dan VII. Serabut-serabut eferen dari nucleus mesensepalikus berhubungan dengan cerebellum dan juga dengan nukleus motorik N. V untuk refleks mengunyah.


(13)

2. Brakio motoris

Nukleus mastikatorius atau nukleus motoris N. V terdapat dibagian rostral pons, medial terhadap nukleus sensibilia pontis N. V. Aksonnya muncul dipermukaan pons sebagai akar motorik dan kemudian bersama N. mandibularis melalui foramen ovale di basis kranii menuju ke otot-otot pengunyah.

Bersama dengan saraf motorik, saraf sensorik bukal bercabang untuk menginervasi kulit dan membran mukosa pipi, mukosa dan gingiva pada daerah bukal molar dan mukosa pada daerah trigonum retromolar. Saraf bukal yang panjang melintasi ramus anterior kira-kira pada level dataran oklusal gigi molar. Sampai pada level tersebut saraf ini kemudian menurun ke arah anterior dan lateral di antara otot-otot pterigoid eksternal dan bergerak di bawah tepi anterior otot maseter menyilang ke posisi lateral ke tepi anterior ramus, syaraf ini menjadi aksesibel untuk blok intra oral.

4

Persarafan mandibula, memiliki kelompok percabangan yang mensarafi divisi posterior yaitu saraf aurikulotemporal dan saraf lingual. Saraf aurikulotemporal adalah saraf sensorik dan memiliki ujung cabang yang menginervasi kelenjar parotis, sendi temporomandibula, bagian anterior telinga, meatus auditorius eksternus, membran timpani dan kulit kepala pada daerah temporal.

Teknik blok intraoral tidak dapat menganestesi saraf ini dan hanya dapat dicapai dengan blok ekstraoral. Sebaliknya, cabang saraf lingual pada umumnya dianestesi dengan jalur intraoral. Saraf lingual berjalan ke bawah medial menuju otot pterigoid eksternal dan lateral menuju otot pterigoid internal tetapi diantara kduanya dan ramus mandibula ada suatu daerah yang dinamakan ruang pterigomandibular. Hal ini berarti daerah tersebut paling aksesibel untuk blok anestesi lokal. Dari ruang pterigomandibular, saraf bergerak lebih dalam ke posisi di


(14)

samping dasar lidah (di bawah dan belakang molar ketiga), dimana saraf melintas di anterior dan medial. Distribusinya adalah sensorik pada 2/3 anterior lidah, mukosa dasar mulut serta mukosa dan gingiva permukaan lingual mandibula.

Selanjutnya saraf mandibula bergerak dalam arah menurun, mencapai ruang pterigomandibular dimana saraf ini terletak di antara ligamen spenomandibular dan permukaan medial ramus. Pada titik ini, saraf memasuki foramen mandibula ke kanalis mandibula, dan saraf ini menjadi nervus alveolaris inferior. Sebelum memasuki saluran ini, saraf melepaskan cabang motorik yang menginervasi otot milohioid.

Saraf mandibula merupakan cabang terbesar dari N. trigeminal, saraf ini berjalan dari kepala keluar melalui foramen ovale dan menginervasi regio mandibula, faring, 2/3 anterior lidah dan regio posterior aurikula. Nervus mandibularis terbagi atas cabang yang kecil anterior dan cabang yang besar posterior. Cabang anterior adalah saraf motoris utama. Kedalamnya hampir seluruh bagian yang asli yaitu N. maseterikus, N. temporalis profundi, dan N. pterigoideus eksternus, yang mengandung hanya beberapa serabut yang tidak motoris, yaitu saraf sensori sejati N. bukinatorius.

3


(15)

Cabang-cabang dari bagian anterior N. mandibularis ini adalah:

a. N. Maseterikus dan N. pterigoideus lateralis biasanya keluar bersama-sama N. temporalis profundus posterior, melalui bagian horizontal lateral fasial infra temporalis dari tulang spenoid dan kemudian terus kebagian lateral dan bawah melalui insisura mandibula ke permukaan medial m. masseter dan memberikan 1-2 hubungan untuk persendian rahang.

2

b. N. Temporalis profundi, biasanya 3 buah yaitu posterior, intermedius dan anterior yang kadang-kadang timbul bersama dengan N. maseterikus. Nervus ini mula-mula berjalan horizontal lateral seperti N. masentrikus dan kemudian membelok vertikal keatas dan akhirnya terpencar beranastomose dengan yang lain dalam m. temporalis.

c. N. Bukinatorius berjalan kebawah, ke depan dan ke lateral. Nervus ini berada diantara kedua kepala M. pterigoideus atau diantara kedua mm. pterigoideus tiba diatas permukaan lateral m. bukinator dan disana ia beranastomose dengan cabang bukalis N. fasialis. nervus ini memberikan cabang-cabangnya melalui m. bukinator kepada membrana mukosa daripada pipi, kekulit sudut mulut dan kulit yang menutupi m. bukinator. ini adalah saraf sensoris yang asli.

Gambar 1 Percabangan N. trigeminus (V) (Sobotta. atlas anatomi manusia. Bagian 1. Edisi 20. Jakarta. EGC. 1994; 78-02)


(16)

Cabang dari bagian posterior N. mandibularis adalah:

1. N. Aurikulotemporalis, muncul agak di bawah foramnen ovale dari pinggir posterior N. mandibularis. Nervus ini mula-mula berjalan ke belakang dan agak ke bawah pada permukaan medial N. pterigoideus eksternus dan prosesus kondiloideus mandibula di atas arteri maksilaris interna, membengkok (melengkung) di sekeliling kolum prosesus kondiloideus, mula-mula ke bagia lateral kemudian ke atas melalui kelenjar parotis atau tertutup oleh kelenjar parotis di depan kartilago akustikus eksternus dan akhirnya menuju bersama-sama dengan arteri temporalis superfisialis, ke atas ke kulit pelipis, bergabung dengan ganglion optikum dalam beberapa hubungan dengan membawa ke jaringan sekret dari kelenjar parotis.

2

2. N. Lingualis, berjalan pada sisi medial dari M. pterigoideus eksternus dan arteri maksilaris interna, kemudian diantara M. pterigoideus internus dan ramus mandibularis, sedikit membelok, ke bawah dan ke depan melalui bagian bawah M. miloparingeus dan di bawah membrana mukosa dasar mulut, berjalan ke depan diatas M. milohioideus dan kelenjar submaksilaris, mengelilingi duktus submaksilaris (Wartoni) sebelah lateral dan kebawah, kemudian berpencar menjadi cabang-cabang terminalnya. Diatas M. Pterigoideus bergabung dengan khorda timpani yang menghampiri nervus ini dengan membuat sudut yang tajam dari belakang dan atas. Nervus lingualis merupakan serabut-serabut sensoris yang asli dan serabut-serabut perasa dari 2/3 anterior lidah dan juga menginervasi bagian lingual mandibula.

3. N. alveolaris inferior, merupakan cabang terbesar, mula-mula melalui permukaan medial dari M. pterigoideus eksternus dan dari arteri maksilaris interna, kemudian diantara ramus


(17)

mandibula dan M. pterigoideus internus sedikit membelok kebawah menuju foramen mandibula kemudian kebagian depan di dalam kanalis mandibula bersama artei dan vena. Nervus ini mengadakan cabang-cabang:

a. N. milohioideus, berasal dari N. alveolaris inferior tepat sebelum masuk ke foramen mandibularis dan turun kebawah dan kedepan didalam sulkus milohioideus mandibula, mula-mula lateral dari m. pterigoideus internus, kemudian dibawah M. milohioideus dan akhirnya mensuplai venter anterior m. digastrikus.

b. Rami dentalis inferior dan rami ginggivalis inferior, yang berjalan didalam kanalis mandibula dan masuk ke tiap-tiap akar gigi yang akhirnya ke alveolus dan masuk ke gingiva, mereka membentuk pleksus diatas N. mandibularis.

c. N. mentalis, adalah cabang yang terbesar meninggalkan kanalis mandibula melalui foramen mentalis, ditutupi M. triangularis. Nervus ini membelah menjadi rami mentalis, yang menerobos otot-otot tersebut pergi kekulit dagu dan rami labialis inferior yang berjalan kebagian atas untuk kulit dan membrana mukosa bibir bawah.2


(18)

2. 2 Anatomi sel saraf (neuron)

Sebuah sel saraf atau neuron biasanya terdiri dari tiga bagian utama yaitu: badan sel, dendrit dan akson, walaupun terdapat variasi dalam struktur, bergantung pada lokasi dan fungsi dari neuron yang bersangkutan. Nukleus dan organel-organel sel berada pada badan sel, tempat berasalnya sejumlah besar tonjol yang dikenal sebagai dendrit, biasanya berbentuk seperti antena untuk meningkatkan luas permukaan yang memungkinkan penerimaan sinyal dari saraf lain. Dendrit membawa sinyal ke arah badan sel. Pada sebagian besar neuron, membran plasma badan sel, dan dendrit mengandung reseptor-reseptor protein untuk mengikat zat kimiawi dari neuron lain. Akson atau serat saraf adalah tonjolan tunggal, memanjang, dan berbentuk pipa yang menghantarkan potensial aksi menjauhi badan sel dan akhirnya berakhir di sel lain. Akson sering mengeluarkan cabang-cabang sisi atau kolateral sepanjang perjalanannya. Bagian pertama akson ditambah bagian dari badan sel tempat akson tersebut keluar dikenal sebagai axon hillock (bukit akson) ini adalah tempat potensial aksi bermula di sebuah neuron (kecuali untuk neuron-neuron yang mengkhususkan diri untuk menyalurkan informasi sensorik). Impuls kemudian menyebar di sepanjang akson menuju ujung akson yang biasanya sangat bercabang pada terminal akson. Terminal-terminal ini mengeluarkan zat-zat perantara kimiawi yang secara simultan mempengaruhi banyak sel lain yang berhubungan erat dengan terminal tersebut.

Gambar 2. Saraf-saraf wajah,N. trigeminus (V), N. fasialis (VII), N.glosoparingeus (IX), N. maksilaris, N. alveolaris inferior dan bercabangannya (Sobotta. atlas anatomi manusia. Bagian 1. Edisi 20. Jakarta. EGC. 1994; 78-02)


(19)

Panjang akson bervariasi, mulai dari yang kurang dari 1mm pada neuron-neuron yang hanya berhubungan dengan sel-sel tetangganya sampai lebih dari 1m pada neuron-neuron yang berhubungan dengan bagian-bagian sistem saraf yang jauh atau dengan organ perifer. 6

Impuls dapat dihantarkan melalui beberapa cara, di antaranya melalui sel saraf dan sinapsis. Berikut ini akan dibahas secara rinci kedua cara tersebut.

2.3 Proses penghantaran impuls

2. 3. 1. Penghantaran Impuls Melalui Sel Saraf

Penghantaran impuls baik yang berupa rangsangan ataupun tanggapan melalui serabut saraf (akson) dapat terjadi karena adanya perbedaan potensial listrik antara bagian luar dan bagian dalam sel. Pada waktu sel saraf beristirahat, kutub positif terdapat di bagian luar dan kutub negatif terdapat di bagian dalam sel saraf. Diperkirakan bahwa rangsangan (stimulus) pada indra menyebabkan terjadinya pembalikan perbedaan potensial listrik sesaat. Perubahan potensial ini (depolarisasi) terjadi berurutan sepanjang serabut saraf. Kecepatan perjalanan gelombang perbedaan potensial bervariasi antara 1 sampai dengart 120 m per detik, tergantung pada diameter akson dan ada atau tidaknya selubung mielin.

Bila impuls telah lewat maka untuk sementara serabut saraf tidak dapat dilalui oleh impuls, karena terjadi perubahan potensial kembali seperti semula (potensial istirahat). Untuk dapat berfungsi kembali diperlukan waktu 1/500 sampai 1/1000 detik.

Energi yang digunakan berasal dari hasil pemapasan sel yang dilakukan oleh mitokondria dalam sel saraf.

Stimulasi yang kurang kuat atau di bawah ambang (threshold) tidak akan menghasilkan impuls yang dapat merubah potensial listrik. Tetapi bila kekuatannya di atas ambang maka


(20)

impuls akan dihantarkan sampai ke ujung akson. Stimulasi yang kuat dapat menimbulkan jumlah impuls yang lebih besar pada periode waktu tertentu daripada impuls yang lemah.

2. 3. 2. Penghantaran Impuls Melalui Sinapsis

Titik temu antara terminal akson salah satu neuron dengan neuron lain dinamakan sinapsis. Setiap terminal akson membengkak membentuk tonjolan sinapsis. Di dalam sitoplasma tonjolan sinapsis terdapat struktur kumpulan membran kecil berisi neurotransmitter; yang disebut vesikula sinapsis. Neuron yang berakhir pada tonjolan sinapsis disebut neuron pra-sinapsis. Membran ujung dendrit dari sel berikutnya yang membentuk sinapsis disebut post-sinapsis. Bila impuls sampai pada ujung neuron, maka vesikula bergerak dan melebur dengan membran pra-sinapsis. Kemudian vesikula akan melepaskan neurotransmitter berupa asetilkolin. Neurontransmitter adalah suatu zat kimia yang dapat menyeberangkan impuls dari neuron pra-sinapsis ke post-sinapsis. Neurontransmitter ada bermacam-macam misalnya asetilkolin yang terdapat di seluruh tubuh, noradrenalin terdapat di sistem saraf simpatik, dan dopamin serta serotonin yang terdapat di otak. Asetilkolin kemudian berdifusi melewati celah sinapsis dan menempel pada reseptor yang terdapat pada membran post-sinapsis. Penempelan asetilkolin pada reseptor menimbulkan impuls pada sel saraf berikutnya. Bila asetilkolin sudah melaksanakan tugasnya maka akan diuraikan oleh enzim asetilkolinesterase yang dihasilkan oleh membran post-sinapsis.

Antara saraf motor dan otot terdapat sinapsis berbentuk cawan dengan membran pra-sinapsis dan membran post-pra-sinapsis yang terbentuk dari sarkolema yang mengelilingi sel otot. Prinsip kerjanya sama dengan sinapsis saraf-saraf lainnya.7


(21)

Gbr 3. Lokasi, anatomi, dan cara kerja sinapsis

2. 4. Anestesi blok mandibula

Anestesi blok mandibula merupakan anestesi yang paling penting untuk kedokteran gigi. Saraf-saraf yang dilumpuhkan antara lain:

1. Nervus alveolaris inferior

8

2. Nervus mentalis 3. Nervus lingualis 4. Nervus insisivus

Daerah yang teranestesi meliputi:

1. Gigi mandibula setengah kuadran

8, 9

2. Badan mandibula dan ramus bagian bawah

3. Mukoperiosteum bukal dan membran mukosa di depan foramen mentalis 4. dasar mulut dan dua pertiga anterior lidah


(22)

5. jaringan lunak lingual dan periosteum Indikasi penggunaan teknik anestesi ini yaitu:

1. Diperlukannya daerah anestesi yang luas, misalnya pencabutan gigi posterior rahang bawah atau pencabutan beberapa gigi pada satu kuadran,

8

2. Pada saat diperlukannya anestesi pada jaringan lunak bagian bukal dan juga lingual. Adapun kontra indikasi penggunaan teknik anestesi ini yaitu adanya inflamasi pada daerah suntikan dan pada pasien yang tidaak kooperatif.

Petunjuk penyuntikan intra oral:

10

a. Krista buksinatoria

11

b. Margo anterior ramus asendens c. Fosa retro molaris

Gejala bahwa anestesi berhasil adalah bibir (N. alveolaris inferior) dan lidah sampai ujung (N. lingualis) pada area penyuntikan terasa kebas. Bila N. alveolaris inferior dan N. lingulis telah lumpuh, maka pencabutan gigi pada setengah rahang bawah dapat dilakukan tanpa rasa sakit. Namun adakalanya pada ginggiva regio molar masih terasa sakit karena adanya N. buksinatorius yang menginervasi pipi sampai dengan mukosa regio molar satu dan terkadang sampai molar dua atau molar tiga. Untuk menghilangkan rasa sakit ini biasanya cukup dengan infiltrasi anestesi mukosa bagian bukal dari gigi yang akan dicabut.


(23)

Gambar 4. Daerah anestesi yang

dilumpuhkan

2.5.Komplikasi

Beberapa komplikasi dari anestesi blok pada mandibula adalah: 1. Cedera saraf

a. Sakit selama dan setelah penyuntikan

Tidak diragukan lagi bahwa ada beberapa pasien yang takut terhadap suntikan. Walaupun pada beberapa kasus ketakutan ini hanya merupakan salah satu aspek dari sikap hidup pasien umumnya dan terhadap perawatan gigi khususnya, sungguh disayangkan bahwa pada beberapa kasus lainnya ketakutan disebabkan karena pengalaman suntikan yang sakit di masa lalu. Dokter gigi berkewajiban untuk memastikan bahwa metode pengontrolan rasa sakit yang digunakannya benar-benar tidak menimbulkan rasa kurang enak dan bahwa metode tersebut dapat digunakan senyaman mungkin.

Tajamnya jarum merupakan faktor penting dan karena itulah, perlu dipastikan bahwa dokter gigi hanya menggunakan jarum disposibel berkualitas tinggi yang dipasarkan oleh industri farmasi yang sudah ternama. Bila jaringan tegang dan ujung yang tajam dari jarum diinsersikan tegak lurus terhadap mukosa, penetrasi dapat terjadi segera. Tindakan lain yang dapat memperkecil rasa tidak enak yaitu menghangatkan larutan dan menyuntikannya perlahan-lahan.


(24)

Sakit dapat ditimbulkan dari penyuntikan larutan nonisotonik atau larutan yang sudah terkontaminasi. Penggunaan catridge yang tepat akan dapat menghilangkan kemungkinan ini. Pemberian suntikan blok gigi inferior kadang-kadang menyebabkan pasien mengalami sakit neuralgia yang hebat pada jaringan yang disuplai oleh saraf tersebut. Simtom ini merupakan indikator bahwa jarum sudah menembus selubung saraf dan harus segera ditarik keluar. Bila dokter gigi tetap bersikeras untuk mendepositkan larutan anestesi pada situasi seperti ini, akan terjadi gangguan sensasi labial yang berlangsung cukup lama. Digunakannya tekanan yang cukup besar untuk mendepositkan larutan pada jaringan resisten juga akan menimbulkan rasa sakit, dan karena itu harus dihindari sebisa mungkin.

b. Parestesi

25

Parestesia didefenisikan sebagai suatu fenomena sensorik berupa kebas, rasa terbakar dari kulit tanpa adanya stimulus yang jelas.Parestesi dapat disebabkan oleh trauma, tumor, penyakit jaringan kolagen, infeksi dan penyakit-penyakit idiopatik. 12, 13

2. Sinkope (kolaps)

Sinkope atau kolaps merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dari penggunaan anestesi lokal di kedokteran gigi. Kolaps merupakan bentuk dari syok neurogenik yang disebabkan oleh iskeminya jaringan serebral sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh darah perifer disertai penurunan tekanan darah.

3. Efek toksik

14

Pada umumnya semakin potensialnya suatu anestetikum semakin besar pula memberikan efek toksik. Dosis toksik bagi kebanyakan anestetikum yang digunakan dalam bedah mulut yaitu berkisar 300-500mg. 15


(25)

4. Trismus

Trismus merupakan hal biasa terjadi pada pasie, dan pasien merasa sulit untuk membuka mulutnya setelah pemberian anestesi blok mandibula. Trismus biasanya disebabkan oleh trauma tusukan jarum pada serabut otot pterigoideus medial.

5. Hematoma

16

Biasanya hematoma disebabkan oleh injeksi yang menembus pembuluh arteri dan vena pada saat injeksi blok saraf alveolar inferior atau saraf alveolar posterior superior.8


(26)

BAB 3

PARESTESI

3. 1 Defenisi

Parestesi didefenisikan sebagai suatu fenomena sensorik berupa kebas, rasa terbakar dari kulit tanpa adanya stimulus yang jelas dan salah satu manifestasi klinis adanya sensasi yang tidak normal, hal ini terjadi akibat adanya perubahan sensasi pada sistem saraf perifer, dapat bersifat sementara atau menetap. Parestesi disebabkan oleh cedera saraf yang dapat mengenai N alveolaris inferior, N lingualis, N bukalis, N milohioideus dan N mentalis. Cabang-cabang saraf tersebut mempunyai fungsi sensoris. Terkadang pasien merasakan kebas (beku) beberapa jam setelah pemberian anestesi lokal yang terjadi pada bagian-bagian wajah tertentu seperti bibir, gusi, ujung lidah atau dagu. Hal ini tidak menjadi masalah, namun ketika parestesia tetap ada selama beberapa hari, minggu atau bulan, akan menjadi masalah. Parestesi atau anestesi yang persisten merupakan komplikasi yang mengganggu dari pemberian anestesi lokal yang terkadang tidak dapat dicegah. Parestesi juga merupakan salah satu penyebab dari tuntutan malpraktek yang paling sering.8, 13, 17

3. 2 Etiologi

3. 2. 1 Trauma pada saraf

Penyebab timbulnya parestesi secara umum adalah karena trauma yang mengenai saraf. Trauma pada saraf manapun dapat mengakibatkan parestesi. Injeksi larutan anestesi lokal yang terkontaminasi alkohol atau larutan sterilisasi, menimbulkan edema dan peningkatan tekanan pada regio saraf, mengakibatkan parestesi. Selain itu faktor variasi letak dari molar tiga rahang


(27)

bawah terhadap kanalis mandibula juga dapat menyebabkan parestesi. Bahan-bahan kontaminan, terutama alkohol, bersifat neurolitik dan dapat menghasilkan trauma jangka panjang terhadap saraf (parestesi berlangsung selama beberapa bulan atau tahun).

Trauma pada selubung saraf dapat dihasilkan oleh jarum sewaktu injeksi dilakukan. Pasien melaporkan sensasi kejutan listrik selama distribusi pada saraf yang terlibat. Meskipun sulit untuk benar-benar mencederai batang saraf atau bahkan serat-seratnya dengan jarum kecil yang digunakan dalam kedokteran gigi, trauma pada saraf yang dihasilkan oleh kontak dengan jarum adalah hal yang mungkin untuk mengakibatkan parestesi. Trauma seperti ini paling sering berhubungan dengan ekstraksi, terutama apabila N. alveolaris inferior sangat dekat oleh akar gigi posterior mandibula.

8, 17

Cedera saraf yang disebabkan karena ekstraksi molar tiga terpendam (odontektomi) bervariasi sekitar 0,2% sampai 22% untuk saraf lingual dan antara 0,4% sampai 7% untuk saraf alveolar inferior. Perbedaan ini dapat di karenakan oleh perbedaan prosedur dan teknik, cara melihat evaluasi klinik dan kriteria diagnosa, perbedaan pengalaman dalam pembedahan. Meskipun putusnya saraf relatif jarang tetapi tekanan mungkin terjadi selama pengeluaran gigi molar tiga yang impaksi, hal ini juga dapat menimbulkan saraf cedera. N lingualis paling sering cedera selama pencabutan molar tiga terpendam. Hal ini terjadi karena penyingkapan flep lingual, fraktur dataran lingual, atau penembusan bur melalui korteks lingual pada waktu memecah gigi.

8, 18

18, 19

Penyebab lain terjadinya parestesi dapat disebabkan perdarahan kedalam atau disekitar selubung saraf. Adanya perdarahan dapat meningkatkan tekanan pada saraf,sehingga menimbulkan parestesi.


(28)

Hal-hal lain dapat disebabkan karena:

1. Insisi yang luas sampai ke foramen mentalis dan vestibulum lingualis.

2. Pembuangan tulang dengan bur tanpa adanya irigasi menyebabkan sensasi panas berlebih oleh saraf yang dekat dengan tulang.

3. Akar gigi molar ketiga bawah yang menembus kanalis mandibularis. 4. Tekanan yang berlebihan pada jaringan lunak yang dijahit terlalu kencang. 3. 2. 2. Akibat perawatan ortodonti

17, 20

Hal ini terjadi pada kasus maloklusi klas III dimana akar distal molar dua kiri bawah letaknya dekat atau kontak degan kanalis mandibula.

3. 2. 3. Akibat perawatan saluran akar

21

Parestesia dapat disebabkan oleh perawatan saluran akar berupa bedah periapikal, over instrumen, iritasi dari obat-obatan saluran akar, pengisian bahan saluran akar yang berlebih. 3. 2. 4. Kerusakan sistem saraf pusat atau perifer

22

Hal ini disebabkan karena adanya gangguan atau kerusakan metabolisme seperti pada diabetes melitus, hipotiroid, kekurangan vitamin B12.23

3. 3. Patofisiologi

Kerusakan saraf dan gejala klinis

Secara fisiologis menurut Seddon dan Sunderland kerusakan saraf dapat di bagi kedalam tiga kelompok besar yaitu:


(29)

Kerusakan saraf tanpa kehilangan kontinuitas akson. Dalam hal ini terdapat gangguan penghantaran impuls yang bersifat sementara. Prognosanya baik, karena perbaikan fungsi sensoris terjadi secara spontan, cepat dan sempurna. Perbaikan paling lambat berlangsung selama 4 minggu. Kerusakan saraf ini terjadi akibat gangguan pada selubung mielin sedangkan akson tidak rusak. Penyebabnya dapat berupa tekanan tumpul, peradangan disekeliling saraf atau jaringan granulasi.

2. Aksonotmesis

Kerusakan saraf yang cukup berat, dimana terjadi kehilangan kontinuitas akson tetapi selubung endonerium tetap utuh. Sehingga diperlukan regenerasi akson dalam proses perbaikannya. Proses perbaikan biasanya berlangsung cukup lama dapat terjadi 2 sampai 6 bulan, tetapi fungsi sensoris dapat kembali secara sempurna. Keadaan ini dapat disebabkan oleh kompresi yang panjang atau adanya iskemi lokal yang mengganggu mielin dan akson.

3. Neurotmesis

Kerusakan saraf yang parah dimana semua susunan dan struktur saraf terputus. Penyembuhan dapat berlangsung lama hingga 2 tahun, bahkan kehilangan sensasi biasanya bersifat menetap. Keadaan ini biasanya disebabkan trauma benda tajam.

Proses perbaikan pada pembuluh saraf perifer mempunyai harapan besar untuk mengadakan regenerasi, bila kedua ujung saraf yang terpotong berdekatan dan tidak ada penghalang serta tidak terjadi infeksi. Secara klinis dan elektromiografi regenerasi spontan akson dan mielin tidak mungkin terjadi pada kerusakan neurotmesis. Sehingga diperlukan intervensi bedah untuk penyembuhannya.

Proses degenerasi dan regenerasi saraf yang cedera merupakan aktifitas gabungan dari perineurium, endoneurium, akson, mielin serta proliferasi sel-sel schwan. Sel-sel schwan


(30)

mempunyai peranan penting dalam proses multiplikasi dan migrasi yang dibantu oleh sel-sel fibroblas dari endoneurium sehingga terbentuk serat yang kuat untuk membentuk jembatan sebagai penghubung antar kedua ujung saraf yang terputus.

Mekanisme terjadinya parestesia sebagai respon terhadap kerusakan saraf perifer dapat dijelaskan melalui proses Wallerian degeneration bahwa kerusakan anatomi saraf menyebabkan kelainan sensasi, sentuhan ringan saja dapat menimbulkan kelainan sensasi.

Pada sistem saraf perifer, jika terjadi kerusakan maka ujung akson pada sisi distal akan mengalami degenerasi. Makrofag akan bermigrasi untuk melaksanakan fungsi fagositosis terhadap debris maupun benda-benda asing di daerah kerusakan. Sel-sel Schwan tidak berdegenerasi tetapi berproliferasi dan berubah membentuk sel yang solid menyerupai bentuk sel yang asli seperti sel-sel schwan pada akson bagian proksimal. Kemudian akson distal sebagai akson baru yang dibungkus oleh sel-sel Schwan, akan masuk dan bersatu dengan akson proksimal. Jika pembentukan berlangsung terus secara normal maka akan terbentuk akson baru yang akan menghubungkannya dengan sinaps. Dengan terbentuknya kembali selubung akson maka peristiwa penghanteran impuls akan kembali normal. Selama fase regenerasi didaerah kerusakan maka peristiwa penghantaran impuls tidak sebaik sebagaimana mestinya.

Kelainan sensasi pada daerah penyembuhan jaringan yang teriritasi kronis oleh karena adanya kontak jaringan saraf baru dengan jaringan saraf semula disekitarnya, dapat menyebabkan penghentian penghantaran impuls saraf secara spontan selama fase regenerasi saraf. Jembatan saraf yang dihasilkan oleh fase regenerasi saraf biasanya tidak sama dalam hal bentuk dan ukuran semula sehingga sifat dan kemampuan jaringan saraf yang baru dalam penghantaran impuls jadi berubah. Disamping itu daya regenerasi dari pembuluh saraf


(31)

tergantung atas sifat gen dan umur individu. Pada individu yang lebih tua respon badan sel biasanya lebih lambat dari yang lebih muda.

4. 1 Pencegahan

17

Tidak ada suatu metode yang dapat mencegah terjadinya parestesi. Operator memerlukan anestesi blok mandibula untuk memposisikan jarum dekat dengan N. alveolaris inferior dan N. lingualis. Usaha operator untuk memposisikan jarum dekat dengan kedua saraf ini tanpa sengaja dapat mencederainya, hal ini dapat menyebabkan terjadinya sensasi kejut listrik dan dapat mengakibatkan parestesi oleh pasien.

Adapun cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya parestesi adalah:

24

1. Jika pasien merasakan sensasi kejut listrik pada saat melakukan anestesi, maka keluarkan jarum tersebut dari area penyuntikan.

2. Tidak memakai jarum anestesi lokal yang telah diberikan larutan disinfektan.

3. Dokter gigi harus memberikan perhatian dan penjelasan pada pasien bahwa keadaan seperti ini dapat saja terjadi dan biasanya dapat sembuh.

4. Dokter gigi juga harus mencatat semua simtom dan tetap berkomunikasi dengan pasien. 5. Untuk pencabutan molar tiga terpendam pada wktu memotong gigi usahakan untuk tidak

melubangi tulang lingual, karena letak N. lingualis yang menempel pada aspek medial mandibula pada regio molar.18, 24


(32)

BAB 4

PERAWATAN

Kebanyakan parestesi sembuh setelah delapan minggu tanpa perawatan. Jika terjadi kerusakan yang parah pada syaraf maka parestesi akan menjadi permanen, dan hal itu jarang terjadi. Haas dan Lennon dalam penelitian retrospektif selama 21 tahun pada dokter gigi Kanada, melaporkan bahwa kebanyakan parestesi melibatkan lidah, dengan bibir bawah merupakan daerah yang paling sering terlibat.8

4. 2 Penatalaksanaan

Kerusakan saraf yang tergolong dalam neuropraksia akan sembuh paling lama 4 minggu, sedangkan kerusakan aksonotmesis berlangsung antara 2 sampai 6 bulan. Beberapa tindakan dapat dilakukan untuk mempercepat penyembuhan cedera saraf yaitu:

1. Pemijatan

Pemijatan dapat dilakukan dengan jari tangan yang bertujuan untuk mengurangi cairan inflamasi dilokasi peradangan dan juga dapat mengurangi pertumbuhan jaringan ikat fibrinogen. Terlalu banyak jaringan ikat fibrous akan menimbulkan scar pada lokasi saraf yang rusak. Selama fase regenerasi, pemijatan ikut membantu remodeling jaringan ikat kolagen.

2. Terapi elektrik

Terapi elektrik yang dilakukan untuk kasus parestesi, menunjukkan bahwa metoda ini dapat membantu percepatan proses penyembuhanan pada cedera saraf. Sedangkan kompres hangat berpengaruh pada perbaikan vaskularisasi di daerah kerusakan, dapat dilakukan selama 30 menit setiap hari.


(33)

3. Penggunaan obat – obatan neurotropik

Terapi dengan obat – obatan selain bertujuan mempercepat proses regenerasi saraf, juga bertujuan untuk mengatasi penyebab terjadinya parestesi. Parestesi yang disebabkan oleh peradangan atau infeksi, maka dianjurkan penggunan antibiotik dan antiinflamasi. Sedangkan penggunaan golongan neurotropik dapat membantu fase regenerasi saraf. Pemakaian multivitamin B komplek atau methycobalt selama 6-8 minggu, memberikan pengaruh yang baik pada penyembuhan cedera saraf. Carbalho pada tahun 2002 melaporkan terapi dengan methycobalt sebanyak 1500 mg/hari ditambah sediaan B kompleks yang dikombinasi dengan vitsmin E setiap hari selama 2 bulan memberikan hasil yang memuaskan. Secara biokimia, aksi kandungan Mecobalamin (Koenzim B12+metil base aktif) dari methycobal memberikan reaksi yang positif pada metabolisme asam nukleat, protein dan lipid sel ketika proses aksonal degenerasi dan demielinisasi berlangsung, hal ini sangat menguntungkan untuk suatu keadaan cedera jaringan saraf.

Pada kasus-kasus cedera saraf yang tidak kunjung sembuh dengan perawatan nonbedah maka direkomendasikan intervensi bedah. Faktor waktu menjadi alasan utama dilakukannya perbaikan secara bedah. Meskipun banyak pendapat berbeda mengenai patokan waktu untuk segera dilakukan tindakan bedah, namun pada umumnya setelah 6 sampai 12 bulan perbaikan spontan tidak memberikan hasil yang baik maka dapat dilakukan perawatan secara bedah.

Pertimbangan lainnya adalah berdasarkan keterangan yang diperoleh dari pasien, pemeriksan klinis serta pemeriksaan penunjang radiografi dan CT Scan.

Beberapa metode perbaikan secara bedah antara lain: 1. Dekompresi saraf


(34)

Dekompresi saraf dilakukan dengan membuka jaringan lunak hingga kedaerah cedera saraf, eksplorasi ini bertujuan menghilangkan jaringan tulang yang menekan pembuluh saraf. Hampir mirip dengan cara ini yaitu menghilangkan konstriksi akibat jaringan scar yang berlebih dan menekan pembuluh saraf.

2. Penjahitan saraf

Penjahitan saraf dilakukan pada pembuluh saraf yang terputus dengan jarak antara kedua ujung saraf sekitar 1 cm. Selain itu penjahitan dilakukan bila saraf terpotong lurus dan tidak terdapat jaringan yang hancur. Penyambungan kedua ujung saraf yang terputus digunakan benang nilon ukuran 8.0 atau 9.0. Penjahitan dilakukan pada lapisan terluar pembuluh saraf perifer yaitu epinerium. Pada perkembangan bedah rekonstrusi saraf selanjutnya, dilaporkan penjahitan meliputi struktur perineum. Metoda penjahitan hanya dapat dilakukan pada pembuluh-pembuluh saraf yang lurus yang terputus dan berada pada jaringan lunak, sehingga metoda ini sulit dilakukan untuk menyambung N. alveolaris inferior yang terputus. Pada pembuluh saraf yang terputus manifestasi klinis lebih berupa suatu paralisis.

3. Graft saraf

Teknik graft saraf dilakukan bila rekonstruksi mengharuskan pengambilan jaringan saraf yang rusak sehingga memberikan jarak cukup panjang antara kedua ujung saraf yang rusak, dan tidak mungkin dilakukan penyambungan jaringan saraf dengan penjahitan. Terdapat beberapa jenis graft saraf diantaranya adalah; Autogenous graft, dimana saraf donor diambil dari N. auricularis. Graft dari jaringan lainnya, dengan saraf donor dari pembuluh vena atau jaringan kolagen. Jenis graft lainnya adalah Alloplastik graft, dengan menggunakan bahan silicon tube atau asam poligolis.17


(35)

McCarthy merekomendasikan urutan tindakan berikut dalam penatalaksanaan kerusakan sensorik persisten setelah anestesi lokal:

1. Pastikan kembali.

Pasien biasanya menelepon pada hari setelah dilakukan prosedur dental dan mengeluhkan perasaan masih sedikit kebas.

a. Bicara secara pribadi dengan pasien tersebut, jangan menyerahkan kewajiban tersebut kepada orang lain.

b. Jelaskan bahwa parestesi merupakan hal yang biasa setelah pemberian anestesi lokal. Sisk dkk melaporkan bahwa parestesi dapat terjadi hingga 22% pasien dalam keadaan-kedaan tertentu.

c. Jadwalkan pertemuan untuk memeriksa pasien. d. Catat keluhan tersebut dalam kartu status. 2. Periksa pasien.

a. Tentukan derajat parestesi yang terjadi.

b. Jelaskan kepada pasien bahwa parestesi normalnya terjadi selama dua bulan sebelum penyembuhan.

c. Catat semua penemuan dalam kartu status pasien.

3. Lakukan penjadwalan ulang untuk pemeriksaan setiap dua bulan selama kerusakan sensorik masih terjadi.

4. Jika kerusakan sensorik tetap terjadi hingga satu tahun setelah kejadian, konsultasikan dengan ahli bedah mulut atau neurologis.


(36)

5. Perawatan dental dapat dilanjutkan, tetapi hindari pemberian anestesi lokal ke daerah yang sebelumnya mengalami trauma syaraf. Gunakan teknik anestesi alternatif jika memungkinkan.

6. Pada kasus yang disebabkan oleh infeksi disekitar saraf, nanah yang terbentuk harus didrainase dan harus segera diberikan terapi antibiotik. 8, 25


(37)

BAB 5

KESIMPULAN

Anestesi blok pada mandibula adalah anestesi yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk melumpuhkan N. alveolaris inferior, N. lingualis, N. mentalis dan N. insisivus. Anestesi ini sering digunakan dokter gigi untuk pencabutan gigi posterior dan untuk pencabutan lebih dari satu gigi di regio mandibula serta daerah anestesi yang dihasilkan cukup luas meliputi satu kuadran. Tetapi anestesi ini juga memiliki bebersps komplikasi walaupun dalam melakukannya telah mengikuti petunjuk yang benar. Adapun komplikasi tersebut adalah parestesi, kolaps, efek toksik, trismus, hematoma dan lain-lain.

Parestesi merupakan suatu sensasi kebas atau mati rasa, rasa terbakar yang dirasakan pasien. Sensasi ini dapat terjadi beberapa jam atau hari setelah dilakukan anestesi blok mandibula. Biasanya sensasi ini dirasakan pada regio wajah tertentu seperti bibir, ginggiva, ujung lidah dan dagu. Penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya parestesi adalah trauma pada saraf yang disebabkan sewaktu melakukan anestesi blok mandibula, odontektomi, perawatan akar, penarikan flep, perawatan ortodontis dan lain-lain. Penyebab lainnya dapat dikarenakan oleh bahan-bahan kimia yang mengenai saraf seperti alkohol, bahan disinfektan dan juga obat-obatan sewaktu melakukan perawatan saluran akar.

Kebanyakan kasus parestesi dapat sembuh dengan sendirinya tanpa dilakukan perawatan. Namun bila perbaikan tidak juga terlihat maka dapat dilakukan perawatan yang meliputi perawatan nonbedah dan bedah. Perawatan nonbedah meliputi pemijatan, terapi elektrik dan penggunaan obat-obatan, sedangkan perawatan bedah meliputi dekompresi saraf, penjahitan saraf dan graft saraf. Parestesi juga dapat dicegah dengan mengupayakan tidak mencedai saraf


(38)

dalam setiap melakukan perawatan kasus dalam bidang kedokteran gigi. Dengan demikian diharapkan kasus parestesi dapat dicegah.


(39)

DAFTAR PUSTAKA

1. Lubis Yahya M. Anestesi Lokal, edisi 2, Medan, Pustaka Widyasarana, 1994;1-3 2. Tjiptono TR, dkk. Ilmu bedah mulut. Edisi 6. Medan, Percetakan Cahaya Sukma, 1989;

52-4

3. Cousins MJ, Bridenbaugh PO. Neural blockade in clinical anesthesia and management of pain. JB Lippincott Company, Philadelphia, 1980:437-42.

4. Marino B. Susunan Saraf Pusat. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bagian Anatomi. Bandung, 1975: 25

5. Vincent JC. Priciple of anesthesiology general and regional anesthesiology. 3th ed. Lea & Febriger. Philadelphia, 1993:1357-9.

6. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari sel ke system. Edisi 2, Jakarta, EGC, 1996; 82-3

8. Malamed, SF. Hand book of local anestesia. 4th

9. Kaiin AH. Anestesi blok mandibula. Sub. Bagian Anestesi, Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung.

ed. Mosby. ST. Louis, Missouri. 1997: 194-49

10.Malamed, SF. Hand book of local anestesia. 5th ed. Elsevier Mosby. ST. Louis, Missouri. 2004: 228-9


(40)

11.Abdullah. Anestesi blok mandibular konvensional: kegagalan dan alternative

penanggulangan. Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2005

12.Torreira MG, Lopez DR, Garcia AG, Rey JG. Mandibular nerve paresthesia caused by endodontic treatment. Med Oral 2003; 8: 299-03

13.Nakamura, Tamura S, at all. Treatment and prevention of paresthesia comprising co-therapy with anticonvulsant derivatives and potassium. Eur. J. Pharmacol. 1994, 254., 83-9

14.Monheim’s LM. Local anaesthesia and pain control in dental practice. 7th

15.Laskin DM. Oral maxillofacial surgery. Vol 1. New Delhi. CV. Mosby Company. 2000; 647

ed. India, 1990:57-20.

16.Kaufman L, Sowray JH, Rood JP. General anesthesia, local analgesia and sedation in dentistry. Blackwell Scientific Publications, London, 1982: 87

17.Hendayana H, Kasim A. Parestesi sebagai komplikasi pasca bedah molar tiga bawah impaksi. Jurnal Kedokteran Gigi Edisi Khusus KOMIT KG-2004.

18.Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Kota. EGC. Thn: 92-3

19.Caissie R et all. Iatrogenic paresthesia in third division of the trigeminal nerve. Journal of the Canadian Dental Association. 2005: 71(3): 185-90.


(41)

21.Krogstad O, Omland G. Temporary paresthesia of the lower lip: a complication of orthodontic treatment. A case report. Oslo. British Journal of Orthodontics. 1997: 24: 13-5.

22.Yatsuhashi T, Nakagawa KI, Matsumoto M. Inverior alveolar nerve paresthesia relieved by microscopic endodontic treatment. Vol 44. Tokyo. 2003: 209-12

23.Marks PW, Zukerberg LR. Case 30-2004: A- 37-year- old man with paresthesia of the arms and legs. N Engl J Med 2004; 351: 1333-41.

24.Haas DA. Localized complications from local anesthesia. Journal of the California Dental Association. 1998; 1-3

25.Howe GL, Whitehead FIH. Anestesi lokal. Edisi 3. Alih Bahasa L.Yuwono. Jakarta. Hipokrates, 1992. 83-0

26.Sobotta. Atlas anatomi manusia. Bagian 1, Edisi 20. Jakarta, EGC, 1994; 78-02


(1)

5. Perawatan dental dapat dilanjutkan, tetapi hindari pemberian anestesi lokal ke daerah yang sebelumnya mengalami trauma syaraf. Gunakan teknik anestesi alternatif jika memungkinkan.

6. Pada kasus yang disebabkan oleh infeksi disekitar saraf, nanah yang terbentuk harus didrainase dan harus segera diberikan terapi antibiotik. 8, 25


(2)

BAB 5

KESIMPULAN

Anestesi blok pada mandibula adalah anestesi yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi untuk melumpuhkan N. alveolaris inferior, N. lingualis, N. mentalis dan N. insisivus. Anestesi ini sering digunakan dokter gigi untuk pencabutan gigi posterior dan untuk pencabutan lebih dari satu gigi di regio mandibula serta daerah anestesi yang dihasilkan cukup luas meliputi satu kuadran. Tetapi anestesi ini juga memiliki bebersps komplikasi walaupun dalam melakukannya telah mengikuti petunjuk yang benar. Adapun komplikasi tersebut adalah parestesi, kolaps, efek toksik, trismus, hematoma dan lain-lain.

Parestesi merupakan suatu sensasi kebas atau mati rasa, rasa terbakar yang dirasakan pasien. Sensasi ini dapat terjadi beberapa jam atau hari setelah dilakukan anestesi blok mandibula. Biasanya sensasi ini dirasakan pada regio wajah tertentu seperti bibir, ginggiva, ujung lidah dan dagu. Penyebab yang sering mengakibatkan terjadinya parestesi adalah trauma pada saraf yang disebabkan sewaktu melakukan anestesi blok mandibula, odontektomi, perawatan akar, penarikan flep, perawatan ortodontis dan lain-lain. Penyebab lainnya dapat dikarenakan oleh bahan-bahan kimia yang mengenai saraf seperti alkohol, bahan disinfektan dan juga obat-obatan sewaktu melakukan perawatan saluran akar.

Kebanyakan kasus parestesi dapat sembuh dengan sendirinya tanpa dilakukan perawatan. Namun bila perbaikan tidak juga terlihat maka dapat dilakukan perawatan yang meliputi perawatan nonbedah dan bedah. Perawatan nonbedah meliputi pemijatan, terapi elektrik dan


(3)

dalam setiap melakukan perawatan kasus dalam bidang kedokteran gigi. Dengan demikian diharapkan kasus parestesi dapat dicegah.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

1. Lubis Yahya M. Anestesi Lokal, edisi 2, Medan, Pustaka Widyasarana, 1994;1-3 2. Tjiptono TR, dkk. Ilmu bedah mulut. Edisi 6. Medan, Percetakan Cahaya Sukma, 1989;

52-4

3. Cousins MJ, Bridenbaugh PO. Neural blockade in clinical anesthesia and management of pain. JB Lippincott Company, Philadelphia, 1980:437-42.

4. Marino B. Susunan Saraf Pusat. Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bagian Anatomi. Bandung, 1975: 25

5. Vincent JC. Priciple of anesthesiology general and regional anesthesiology. 3th ed. Lea & Febriger. Philadelphia, 1993:1357-9.

6. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari sel ke system. Edisi 2, Jakarta, EGC, 1996; 82-3

8. Malamed, SF. Hand book of local anestesia. 4th

9. Kaiin AH. Anestesi blok mandibula. Sub. Bagian Anestesi, Bagian Bedah Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjajaran Bandung.

ed. Mosby. ST. Louis, Missouri. 1997: 194-49

10. Malamed, SF. Hand book of local anestesia. 5th ed. Elsevier Mosby. ST. Louis,


(5)

11. Abdullah. Anestesi blok mandibular konvensional: kegagalan dan alternative

penanggulangan. Departemen Bedah Mulut dan Maksilofasial Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara. 2005

12. Torreira MG, Lopez DR, Garcia AG, Rey JG. Mandibular nerve paresthesia caused by endodontic treatment. Med Oral 2003; 8: 299-03

13. Nakamura, Tamura S, at all. Treatment and prevention of paresthesia comprising co-therapy with anticonvulsant derivatives and potassium. Eur. J. Pharmacol. 1994, 254., 83-9

14. Monheim’s LM. Local anaesthesia and pain control in dental practice. 7th

15. Laskin DM. Oral maxillofacial surgery. Vol 1. New Delhi. CV. Mosby Company. 2000; 647

ed. India, 1990:57-20.

16. Kaufman L, Sowray JH, Rood JP. General anesthesia, local analgesia and sedation in dentistry. Blackwell Scientific Publications, London, 1982: 87

17. Hendayana H, Kasim A. Parestesi sebagai komplikasi pasca bedah molar tiga bawah impaksi. Jurnal Kedokteran Gigi Edisi Khusus KOMIT KG-2004.

18. Pedersen GW. Buku ajar praktis bedah mulut. Alih bahasa Purwanto, Basoeseno. Kota. EGC. Thn: 92-3

19. Caissie R et all. Iatrogenic paresthesia in third division of the trigeminal nerve. Journal of the Canadian Dental Association. 2005: 71(3): 185-90.


(6)

21. Krogstad O, Omland G. Temporary paresthesia of the lower lip: a complication of orthodontic treatment. A case report. Oslo. British Journal of Orthodontics. 1997: 24: 13-5.

22. Yatsuhashi T, Nakagawa KI, Matsumoto M. Inverior alveolar nerve paresthesia relieved by microscopic endodontic treatment. Vol 44. Tokyo. 2003: 209-12

23. Marks PW, Zukerberg LR. Case 30-2004: A- 37-year- old man with paresthesia of the arms and legs. N Engl J Med 2004; 351: 1333-41.

24. Haas DA. Localized complications from local anesthesia. Journal of the California Dental Association. 1998; 1-3

25. Howe GL, Whitehead FIH. Anestesi lokal. Edisi 3. Alih Bahasa L.Yuwono. Jakarta. Hipokrates, 1992. 83-0

26. Sobotta. Atlas anatomi manusia. Bagian 1, Edisi 20. Jakarta, EGC, 1994; 78-02 27.