BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jumlah penduduk yang semakin meningkat, kebutuhan dan tuntutan hidup juga meningkat, serta teknologi dan informasi yang terus berkembang, sedangkan
sumber daya alam, sumber-sumber penghasilan, dan sumber daya manusia yang tidak bisa mengimbangi peningkatan-peningkatan tersebut, menyebabkan
munculnya permasalahan-permasalahan sosial yang begitu banyak dan kompleks. Hampir di setiap daerah di Indonesia khususnya di Kota Medan, permasalahan
sosial ini ada dengan jenis yang beragam.
1
Kesejahteraan sosial merupakan suatu keadaan terpenuhinya kebutuhan hidup yang layak bagi masyarakat, sehingga mampu mengembangkan diri dan
dapat melaksanakan fungsi sosialnya yang dapat dilakukan pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial yang meliputi
rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial Pasal 1 dan
2. Akhir-akhir ini, semakin sering dijumpai banyaknya gelandangan,
pengemis, maupun pekerja anak yang berada di tengah kota, fasilitas-fasilitas umum, traffic light bahkan hingga masuk pada wilayah kampus dan pemukiman
1
Wildan Sari Nugroho, Makalah tentang Pengemisan, http:www.academia.edu8020154diakses tanggal 1 Mei 2015.
warga. Sekelompok orang yang hidupnya di bawah batas ukuran cukup akan melakukan hal yang disebut mengemis. Pengemis ini akan menggunakan gelas,
kotak kecil, topi ataupun benda lainnya yang dapat dimasuki oleh uang dan yang sering pula ditemui sekarang ini adalah dengan menggunakan amplop yang
berisikan keluh kesah mereka, seperti masalah pendidikan, susu untuk anaknya, atau permasalahan tempat tinggal.
2
Munculnya gelandangan di lingkungan perkotaan merupakan gejala sosial budaya yang relatif menarik. Pada umumnnya gejala tersebut dihubungkan
dengan perkembangan lingkungan perkotaan. Kondisi semacam ini membawa implikasi terhadap semakin kuatnya. Akan tetapi, anak jalanan bukanlah tipe
anak-anak yang gampang menyerah begitu saja. Mengetahui gelagat kurang baik, mereka pun bersiasat laiknya prajurit di medan perang. Mereka tidak lagi atau
jarang menampakkan diri di tempat-tempat yang membuat mereka mudah ditangkap.
Di sinilah letak kekhasan karakter anak jalanan di Medan. Meskipun banyak juga di antara mereka yang turun ke jalan karena dikurung kemiskinan,
namun ada alasan lain yang mengakar kuat di kepala, yaitu alasan sosial-budaya. “Tertanam di benak mereka untuk mendirikan “kerajaan” mereka sendiri. Karena
itulah mereka merantau,” ungkap Taufan. Seiring dengan “meroketnya” kemunculan anak jalanan di Indonesia pada tahun 1970-an, banyak anak-anak
jalanan yang datang dari daerah-daerah di sekitar Medan. Perkembangan anak
2
http:adln.lib.unair.ac.idfilesdisk1550gdlhub-gdl-s1-2013-pradnyapas-27491- 13.penda--.pdf, diakses tanggal 12 Mei 2015.
jalanan di Medan tergolong cukup pesat, setelah Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta.
3
Mengemis itu sendiri adalah kegiatan meminta-minta bantuan, derma, sumbangan baik kepada perorangan atau lembaga yang identik dengan
penampilan pakaian yang serba kumal sebagai sarana untuk mengungkapkan kebutuhan apa adanya dan dengan berbagai cara lain untuk menarik simpati orang
lain. Cara yang dimaksudkan yaitu dengan mengamen, atau bahkan dengan mengatasnamakan suatu yayasan panti asuhan yang ilegal untuk mendapatkan
sejumlah uang dari masyarakat. Mengemis atau meminta-minta dapat dilakukan dengan meminta-minta melalui cara lisan, tertulis atau memakai gerak-gerik,
termasuk juga dalam kategori pengertian ini adalah menjual lagu-lagu dengan jalan menyanyi dengan menggunakan berbagai alat musik, misalnya adalah gitar,
angklung, seruling, botol aqua. Pengemis adalah seorang yang tidak mempunyai penghasilan yang tetap, dan pada umumnya hidup dengan cara mengandalkan
belas kasihan dari orang lain. Mengemis menjadi sebuah budaya saat ini, karena banyak sekali orang yang sebenarnya masih dalam keadaan sehat memilih jalan
untuk mengemismeminta-minta. Karena kondisi tersebutlah, maka praktek dalam mengemis dikatakan sebagai perilaku yang menyimpang dari norma dan nilai
yang berlaku dalam masyarakat. Anak jalanan bukanlah komunitas yang seragam. Berbagai latar belakang
mendesak mereka tinggal dan bekerja selama 12 jam di jalan. Tak jarang, selama
3
Ibid
24 jam mereka hidup di sana jumlahnya pun tak sedikit. Berdasarkan data yang diperoleh beberapa tahun terakhir, koordinator Program Advokat Anak Jalanan
Yayasan Pusaka Indonesia, Haspin Yusuf Ritonga, menaksir jumlah anak jalanan di Sumatra Utara mencapai 5.000 anak dan 2.000 di antaranya berada di Kota
Medan.
4
Perserikatan Perlindungan Anak Indonesia PPAI Sumatra Utara menghimpun angka lebih banyak, yaitu 6.000 anak jalanan berada di seluruh
Sumatera Utara dan 4.000 dari jumlah tersebut tinggal di kota Medan. Pada tahun 2006, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak PKPA mencatat, ada 4.525 anak
jalanan dan sekitar 2.000 berada di seputar Medan. Sedangkan, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM anak yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-20,
Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak KKSP, memperkirakan ada sekitar 5.000 anak jalanan di seluruh Sumatra Utara, pada tahun 2007.
5
Data Pusdatin Kementerian Sosial tahun 2014 menunjukan jumlah pengemis sebanyak 31.1793 jiwa, sementara jumlah gelandangan tahun 2009
sebanyak 54.028 jiwa, keterkaitan ini sangat jelas bahwa faktor kemiskinanlah yang menyebabkan mereka hidup seperti itu. Untuk mengurangi penduduk miskin
yang berjumlah 34 juta, tahun 2010 disediakan anggaran Rp 1,8 triliun. Jumlah mereka terus bertambah bahkan semakin meroket pasca krisis
moneter, apalagi anak jalanan di Medan banyak yang berasal dari kota Medan sendiri. Perekonomian yang terpuruk memaksa sebagian anak-anak menyimpan
4
Katarara.com201506ranperda-gepeng-sapu-anak-jalanan-di.html, diakses tanggal 11 Mei 2015.
tas sekolah mereka dan turut bertanggung jawab mempertahankan keuangan keluarga, atau setidaknya mereka diharapkan mampu membiayai diri mereka
sendiri. Fenomena merebaknya masyarakat miskin sebenarnya telah lama menjadi
masalah tersendiri bagi pemerintah maupun masyarakat para pengguna jalanan. Hampir di setiap jalan kita selalu melihat dan menyaksikan anak jalanan,
gelandangan, dan pengamen yang memberikan citra buruk, selalu merusak keindahan Kota Medan dan sebagainya.
Perkembangan permasalahan Kesejahteraan Sosial di Kota Medan cenderung meningkat ditandai dengan munculnya berbagai fenomena sosial yang
spesifik baik bersumber dari dalam masyarakat maupun akibat pengaruh globalisasi, industrialisasi dan derasnya arus informasi dan urbanisasi, Kota
Medan sementara masalah sosial menjadi konvensional masih berlanjut termasuk keberadaan anak jalanan, serta adanya pelaku eksploitasi, merupakan beban bagi
Pemerintah.
6
Kritik dalam perjalanan Perda ini tak terbilang lagi, dari yang rasional sampai yang ngawur. Ada yang mengkritik pasal kriminalisasi terhadap orang
yang bersedekah kepada Gepeng, ada juga yang protes pemidanaan bagi orang yang melakukan penggelandangan dan pengemisan. Alasannya karena tidak ada
dasar yang kuat bagi pemidanaan itu, bahkan melanggar norma-norma agama dan sosial yang berlaku di tengah masyarakat. Namun ada juga kritik negatif ketika
5
Ibid.
6
Ibid.
satu kelompok masyarakat menolak Perda ini dengan alasan peraturan ini adalah proyek legislasi Gubernur terdahulu.
Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur
fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan
penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat wanita-wanita yang
sering disebut Wanita Tuna Susila selanjutnya disebut WTS menjajakan dirinya. Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif masa
depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak teridentifikasi oleh pemerintah Kota Medan.
Hukum adalah sebuah ketentuan sosial yang mengatur perilaku mutual antar manusia, yaitu sebuah ketentuan tentang serangkaian peraturan yang
mengatur perilaku tertentu manusia dan hal ini berarti sebuah sistem norma.
7
7
Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2006, hal 24.
Teori hukum Menurut Hans Kelsen tersebut menunjukkan apresiasi yang tinggi terhadap eksistensi dari kehidupan sosial yang tentu tidak bisa dilepaskan dari
norma-norma dan kaidah yang ada. Manusia sebagai bagian dari kehidupan masyarakat tentu akan bersinergi dengan dinamika sosial yang terjadi. Tidak
jarang bahwa dalam proses interaksi sosial tersebut pada akhirnya dapat menimbulkan efek tertentu yang dapat mengakibatkan munculnya berbagai
penyakit sosial. Penyakit sosial pada prinsipnya merupakan suatu kondisi tingkah laku individu dan masyarakat yang telah bergeser pada norma-norma atau kaidah
yang ada. Pada umumnya perilaku kontradiktif tersebut hanya dilakukan oleh segolongan minoritas masyarakat namun akibat dari penyakit sosial tersebut dapat
menimbulkan dampak yang luas bagi masyarakat lainnya. Keterkaitan masalah interdepence yang terjadi tentu tidak sepenuhnya
membuat sekelompok masyarakat mayoritas menjadi kacau chaos. Dinamika yang terjadi pada masyarakat pada prinsipnya telah membuat masyarakat itu
sendiri dapat mengantisipasi keadaan baik dengan meletakkan dasar-dasar kearifan lokal, mengkaitkan norma agama atau bahkan menegakkan norma
hukum. Oleh sebab itulah maka norma-norma dan kaidah yang ada selalu bisa mengikuti perkembangan zaman dalam mengatur tingkah laku di masyarakat.
Sejatinya, tidak ada jumlah yang pasti mengenai mereka. Mereka bergerak seperti udara. Sekali waktu mereka bermukim di jalanan, lain waktu mereka
mendapat pekerjaan tetap atau pindah ke luar kota. Definisi tentang anak jalanan itu pun cair.
Ketua Yayasan Pusat Pendidikan dan Informasi Hak Anak selanjutnya KKSP, Ahmad Taufan Damanik. Belakangan ini Satpol PP sedang gencar-
gencarnya melakukan razia. KKSP mengidentifikasi ada sejumlah titik tempat mereka biasa bekerja, antara lain simpang Ramayana Jalan Brigjen Katamso,
simpang Buana Plaza Jalan Letda Sudjono, simpang Jalan AH Nasution kawasan Titi Kuning, Warung Harapan di seputaran Jalan Imam Bonjol, Terminal Terpadu
Amplas di Jalan Panglima Denai, warung kopi di seputaran lapangan di Jalan Gajah Mada, Simpang Sei Sikambing di Jalan Kapten Muslim, simpang Jalan
Guru Patimpus, Pasar Pringgan, Pasar Petisah, Pusat Pasar, dan Pasar Brayan.
8
Di lain pihak banyak masyarakat yang serba sulit akibat keadaan, banyak masyarakat yang miskin dan dimiskinkan oleh sistem. Akibatnya selain menjamur
fenomena gepeng dan pengamen di kota Medan juga menjamur praktek prostitusi di berbagai tempat. Akibatnya adalah ketakutan yang kemudian menjadi alasan
penulis melihat fenomena tersebut sudah terang benerang dan terjadi pembiaran sehingga tak jarang di pinggir jalan Kota Medan terdapat WTS menjajakan
dirinya. Alangkah bahayanya jika ini terus terjadi karena akan berdampak negatif masa depan kota Medan, apalagi para WTS merupakan illegal dan tidak
teridentifikasi oleh pemerintah Kota Medan. Berdasarkan hukum positif di Indonesia, pengaturan mengenai yuridiksi
penegakan hukum mengenai pengaturan masalah sosial selain diselenggarakan oleh pemerintah pusat juga diselenggarakan secara otonom pengaturannya kepada
pemerintah daerah. Peraturan daerah adalah salah satu bentuk kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah untuk mengatur ketentuan-ketentuan tertentu di
daerah dapat memuat sanksi-sanksi sebagaimana layaknya undang-undang namun sanksi tersebut bersifat limitatif. Beberapa pengaturan daerah tersebut berwenang
untuk membuat peraturan daerah untuk mengatasi persoalan sosial di daerah masing-masing. Namun apakah, secara yuridiksi baik kompetensi dan urgensi
8
Ibid.
peraturan daerah dapat mengatur secara penuh permasalahan penyakit sosial masih menjadi suatu kontradiksi.
Berdasarkan latar belakang di atas merasa tertarik memilih judul Kajian Hukum Administrasi Negara Tentang Larangan Gelandangan dan Pengemisan
Serta Praktek Tuna Susila Berdasarkan Perda No. 6 Tahun 2003 Studi Pemko Medan.
B. Perumusan Masalah