Interpretasi Data Keterbatasan Penelitian Profil Informan

Melalui wawancara, peneliti akan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam fenomena yang terjadi, dimana hal itu tidak bisa ditemukan hanya dengan teknik observasi. Dalam hal ini peneliti akan mewawancarai tokoh-tohoh adat parhata dan masyarakat Suku Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Data ini sebagai salah satu aspek pendukung keabsahan suatu penelitian. Data sekunder dapat berupa sumber ataupun referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam poenelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku, referensi, majalah, jurnal, maupun bahan dari situs-situs internet dan hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Menginterpretasikan data merupakan kegiatan mengorganisasikan data dalam susunan-susunan tertentu yang menuju pada kegiatan analisis data. Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik melalui pengamatan, wawancara atau catatan lapangan lainnya yang telah ada melalui penelitian terdahulu yang kemudian dipelajari dan ditelaah. Pada tahap selanjutnya adalah penyusunan data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan. Kategori tersebut berkaitan satu sama lain dan diinterpretasikan secara kualitatif. Interpretasi data merupakan proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan apa yang terjadi dilapangan.

3.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Terkait dengan keterbatasan waktu dan kendala dalam melakukan observasi. Terlepas dari kendala diatas peneliti mneyadari keterbatasan dalam proses penelitian yang dilakukan. Meskipun demikian peneliti berusaha untuk melaksanakan peneletian semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil yang akurat. BAB IV DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA

4.1. Deskripsi Lokasi

4.1.1. Sejarah Silindung

Silindung pada awalnya adalah daerah yang dihuni oleh Guru Mangaloksa Hasibuan yang datang merantau dan akhirnya menikah dengan yang boru Pasaribu. Mereka memiliki keturunan yang kemudian memakai nama anak-anaknya tersebut menjadi marga-marga baru yang sampai saat ini menjadi marga asli dari daerah Silindung. Marga-marga tersebut antara lain adalah Hutagalung, Hutabarat, Hutatoruan, Lumbantobing, dan Panggabean. Mereka dikenal dengan sebutan “ Si Opat Pusoran”. Saat ini masyarakat yang bermukim dalam kawasan Silindung sudah lebih bervariasi karena banyaknya perantau yang datang untuk bekerja ke daerah tersebut. Masyarakat Silindung sampai saat ini masih mempertahankan adat istiadat yang berlaku dalam kebudayaan Batak, terlihat dengan banyaknya kumpulan-kumpulan marga Batak. Masyarakat beranggapan bahwa mengikuti kegiatan-kegiatan adat adalah sebuah kewajiban. Pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara kematian di daerah Silindung dan daerah Batak lainnya memang memiliki perbedaan, seperti dalam buku Jambar Hata yang ditulis oleh T.M Sihombing yang meyebutkan tata cara pelaksanaan upacara tersebut yang tersebut berlaku di daerah Silindung, belum tentu di daerah lain menjalankan hal yang sama. Untuk sejarah nama “Tarutung”, berasal dari Bahasa Batak Toba yang artinya durian. Sampai pada awal abad ke-19 kota Tarutung dulunya sudah ramai dikunjungi oleh orang yang datang dari daerah Silindung, Humbang, Samosir, Toba , Dairi, termasuk dari arah selatan seperti Pahae, Sipirok, maupun sekitar Sibolga dan Barus untuk melakukan transaksi dagang. Pada awalnya transaksi perdagangan tradisional ini dilakukan disebuah lokasi perkampungan yang berpusat di bawah pohon beringin rindang yang disebut dengan Onan Sitahuru di Desa Sait Ni Huta. Konon beringin tersebut masih tumbuh dan berusia sekitar 200 tahun. Perdagangan pada masa itu masih dominan menggunakan sistem barter. Komoditi barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, ternak, ikan asin, garam, beras, tembakau, umbi-umbian, termasuk juga komoditi ekspor saat itu, seperti kemenyan yang berasal dari daerah Humbang, Pahae, dan Silindung. Semasa bergejolaknya Perang Paderi 1816 - 1833 maka kegiatan perdagangan di pasar tradisional ini terhenti karena pasukan Bonjol yang dikomandoi oleh orang-orang Batak dari selatan meluluhlantakkan kehidupan masyarakat Batak Utara yang dimulai dari kawasan Silindung dan menyebar sampai ke kawasan Batak lainnya di Toba. Perang yang membawa bencana peradaban Bangsa Batak ini meruntuhkan keangkuhan orang yang berada di kawasan pusat Tanah Batak yang merasa dirinya sebagai titisan para dewa. Perampasan harta benda, pemerkosaan, pengajaran ajaran-ajaran Islam menggantikan kepercayaan atas satu Tuhan yang disebut dengan Mula Jadi Nabolon, dan pembumihangusan perkampungan yang khas dengan rumah-rumah Bataknya, termasuk produk-produk ilmu pengetahuan seperti karya tulis. Oleh karena itu, di kawasan Silindung sangat jarang terlihat bangunan rumah khas Batak. Pasukan Paderi meninggalkan Silindung karena banyak dari mereka yang mati tanpa diketahui sebnya. Mereka beranggapan itu merupakan kutukan, sehingga mereka pergi menyelamatkan diri dari kematian misterius tersebut. Kepergian pasukan Paderi membuat daerah Silindung seperti daerah tak berpenghuni . Lambat laun penduduk turun dari gunung dan kembali membuka perkampungannya. Seiring berjalannya waktu, penduduk semakin ramai dan hal itu membuat bangkitnya semangat hidup masyarakat untuk melakukan kegiatannya. Namun, pada saat yang sama tanah Batak mulai dikuasai oleh Tentara Belanda. Mereka mendirikan markasnya dipusat Kota Tarutung yang sekarang disebut Tangsi. Setelah itu datanglah Nommensen dengan ajaran Kristen pada tahun 1864. Nommensen merasa aman melakukan tugasnya karena di Daerah Silindung hampir tidak ada yang melakukan perlawanan. Namun ada satu kejadian dimana Nommensen diikat dipohon beringin Onan Sitahuru dan nyaris dibunuh oleh orang-orang Batak yang merasa peradabannya sudah tercemar akibat keatangan bangsa berkulit putih. Perdagangan yang yang dulunya berkembang di Onan Sitahuru mulai menampakkan kesibukannya, namun tempatnya sudah berganti menjadi di bawah kawasan Tangsi yang dikuasai Belanda dan disekitar itu berdiri perkampungan yang bernama Hutatoruan. Para pedangang melakukan aktivitasnya di dekat tangsi yang tentu saja menguntungkan para militer Belanda dan keluarganya yang tinggal di kawasan tangsi tersebut. Kawasan itu resmi menjadi pusat perdagangan, dan Belanda menanam sebuah pohon durian Tarutung pada tahun 1877. Setelah sekitar 60 tahun lamanya maka dibukalah kembali kegiatan pasar tradisional dibawah pohon durian tersebut yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang disebut dengan Kota Tarutung.

4.1.2. Keadaan Geografis

Secara geografis Kecamatan Tarutung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pahae Julu, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita dan Kecamatan Sipahutar. Secara astronomis, Kecamatan Tarutung sendiri berada pada posisi 01 54” – 02 07” Lintang Utara dan 98 52” – 99 04” Bujur Timur.

4.1.3. Luas Wilayah

Kecamatan Tarutung sendiri berada pada ketinggian 900 sd 1.200 meter di atas permukaan laut serta memiliki luas 107,68 Km 2 . Kecamatan ini meliputi 24 Desa dan 7 Kelurahan.

4.1.4. Jumlah Penduduk

Komposisi penduduk Kecamatan Tarutung berdasarkan jenis kelamin terlihat pada Tabel 4.1 di bawah ini: Tabel 4.1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin No Desa Kelurahan Lk Pr Total 1 Siandor-andor 296 50,16 294 49,83 590 2 Hutapea Banuarea 464 46,03 544 53,96 1008 3 Parbubu Pea 236 49,06 245 50,93 481 4 Parbubu II 309 45,77 366 54,22 675 5 Parbubu Dolok 613 53,39 535 46,60 1148 6 Hutatoruan VIII 225 46,39 260 53,60 485 7 Parbubu I 546 49,81 550 50,18 1096 8 Hutatoruan I 880 47,64 967 52,35 1847 9 Sosunggulon 442 44,33 555 55,66 997 10 Parbaju Toruan 628 50,56 614 49,43 1242 11 Hapoltahan 413 47,96 448 52,03 861 12 Hutatoruan IV 437 48,82 458 51,17 895 13 Aek Siansimun 519 48,01 562 51,98 1081 14 Hutatoruan V 323 46,87 366 53,12 689 15 Hutatoruan VI 330 50,38 325 49,61 655 16 Hutatoruan XI 736 48,07 795 51,92 1531 17 Hutatoruan IX 594 48,37 634 51,62 1228 18 Hutatoruan X 2234 48,71 2352 51,28 4586 19 Hutatoruan VII 2682 48,48 2850 51,51 5532 20 Partali toruan 1389 48,04 1502 51,95 2891 21 Parbaju Tonga 538 48,33 575 51,66 1113 22 Simamora 1193 48,85 1249 51,14 2442 23 Hutagalung Siwalu Ompu 623 49,76 629 50,23 1252 24 Siraja Oloan 653 49,17 675 50,82 1328 25 Hutauruk 305 53,04 270 46,95 575 26 Parbaju Julu 495 48,81 519 51,18 1014 27 Partali Julu 582 48,90 608 51,09 1190 28 Sitampurung 418 50,30 413 49,69 831 29 Jambur Nauli 557 50,54 545 49,455 1102 30 Sihujur 243 52,71 218 52,71 461 31 Hutatoruan III 162 50,94 156 49,05 318 Total 20065 48,80 21079 51,26 41114 Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2015 Data terakhir yang di ambil pada tahun 2015 oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Tarutung sebanyak 41. 144 jiwa yang terdiri dari 20.065 berjenis kelamin laki-laki dan 21.079 yang berjenis kelamin perempuan.

4.1.5. Mata Pencaharian penduduk

Kecamatan Tarutung memiliki penduduk yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian. Selanjutnya adapula masyarakat yang bekerja padasektor lainnya, seperti PNS, Guru, dan Wiraswasta. Selengkapnya dapat dilihat pda tabel berikut: Tabel 4.2.Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian No Mata Pencaharian Jumlah 1 Petani 11846 2 PNS 163 3 Guru 888 5 Wiraswasta 1042 Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2014 Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan tarutung bermata pencaraharian sebagai petani yakni 11848 orang, 163 berprofesi sebagai PNS, 888 sebagai guru, dan sebanyak 1042 orang adalah Wiraswasta.

4.1.6. Sarana dan Prasara

Sarana dan Prasarana yang ada dalam sebuah wilayah adalah suatu pelengkap yang berfungsi sebagai fasilitas bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan fungsinya. Adapun yang menjadi sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Tarutung dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tabel 4.3.Jumlah Sarana Pendidikan Kecamatan Tarutung No Sekolah Negeri Swasta Jumlah 1 TK 2 8 10 2 SD 34 6 40 3 SMP 6 1 7 4 SMA 3 4 7 5 SMK 2 2 6 Universitas 1 1 Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara Tabel diatas menunjukkan bahwa TK yang ada di Kecamatan Tarutung berjumlah 10 sekolah yakni, 2 Negeri dan 8 Swasta. Ada sebanyak 40 Sekolah SD yang terdiri dari 34 SD Negeri dan 6 SD Swasta. Pada tingkat SMP ada 7 sekolah yang terdiri dari 6 Negeri dan 1 Swasta.Selanjutnya SMA berjumlah 7 sekolah yakni, 3 SMA Negeri dan 1 SMA SWASTA. Sekolah SMK diri dari 2 SMK Swasta. Pada tingkat Perguruan tinggi ada sebuah Universitas. Selanjutnya, sarana peribadatan yang ada di Kecamatan Tarutung terdiri dari 3 Masjid, 2 Langgar Musollah, 2 Gereja Katolik, dan 85 Gereja Protestan. Banyaknya Gereja Protestan di Tarutung secara tidak langsung menunjukkan bahwa mayoritas penduduk yang bermukim di daerah tersebut beragama Protestan. Gereja sebagai rumah ibadah terbanyak yang terdapat di Kecamatan Tarutung dapat di lihat pada tabel berikut: Tabel 4.4. Jumlah Sarana Peribadatan Kecamatan Tarutung No Rumah Ibadah Jumlah 1 Masjid 3 2 Langgar Musollah 2 3 Gereja Katolik 2 4 Gareja Protestan 85 Total 92 Sumber: BPS Tapanuli Utara 2014

4.1.7. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tarutung

Tarutung yang dikenal sebagai salah satu daerah asal marga yang ada pada masyarakat BatakToba, yakni Si Opat pusoran yang terdiri dari marga Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutapea, dan Lumban Tobing. Kegiatan adat merupakan bagian penting dalam keseharian masyarakat Tarutung. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat menghadiri setiap kegiatan adat yang melibatkan dirinya. Padaawalnya, upacara adat yang berlaku pada seluruh masyarakat Batak Toba adalah sama, namun seiring perkembangan zaman, muncul perbedaan pelaksanaan adat pada masih masing daerah Batak, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya. Adapun tahapan-tapan tahapan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan etnis Batak Toba, yaitu: 1. Pasahat Ulos Tondi Acara ini dilakukan pada saat usia kandungan memasuki tujuh bulan, ditandai dengan pemberian ulos oleh pihak parboru. 2. Manaruhon Aek Ni Utte Kegiatan ini dilakukan setelah si anak lahir, hal ini berutujuan agar si ibu dan anak selalu sehat, asinya lancar, dan darahnya u bersih. 3. Pemberian nama Mangalap Goar Bagi masyarakat yang beragama Kristen acara ini disebut dengan Tardidi, dan untuk masyarakan yang beragama Islam, disebut dengan Aqiqah atau mengayun anak. 4. Malua 5. Marunjuk Pernikahan 6. Upacara Kematian Di wilayah Tapanuli Utara, dibentuk sebuah lembaga yang musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. Lembaga ini disebut dengan LADN Lembaga Adat Dalihan Na Tolu. Lembaga tersebut beranggotakan parhata-parhata dari berbagai marga. Lembaga ini bertugas melaksanakan kegiatan dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebuadayaan daerah, yakni adat istiadat. Beberapa tradisi dalam masyarakat Batak yang masih dipertahankan hingga pada saat ini, antara lain: 1. Bagi sebagian masyarakat pertanian di Tarutung masih menganut sistem marsiadapari, yaitu saling gotong royong mengerjakan lahan pertanian dengan menggunakan tenaga tanpa digaji dan sistemnya bergantian ketempat lahan yang lain. 2. Apabila ada ternak mati, maka akan disembelih oleh masyarakat setempat. Daging akan dibagi rata kepada seluruh warga yang turut berpartisiapasi dalam kegiatan tersebut. Setiap masyarakat yang mendapatkan daging akan dikenakan biaya. 3. Marsihiol-sihol, apabila seseorang yang kembali dari tanah perantauan, haruslah membawa makanan mamboan sipanganon, dan mengajak tetannga di sekitar rumah untuk makan bersama.

4.2. Profil Informan

Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak sepuluh orang, dimana informan tersebut dianggap memahami bagaimana pelaksanaan upacara kematian pada adat Batak. 1. P. Lumban Gaol Lk, 57 tahun P. Lumban Gaol merupakan salah seorang parhata dari Punguan PATOMBOR Parsadaan Toga Marbun Boru Bere Ibebere dan PORLUGABE Pomparan Lumban Gaol Boru, Bere kota Tarutung. Ayah dari seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki ini juga merupakan seorang Sintua di HKBP Huta Gur-Gur. Informan mengaku sering terlibat dalam ulaon-ulaon adat Saur Matua baik sebagai Hasuhuton, Parhata, maupun hanya sebagai hadirin yang ada di wilayah Tarutung dan Sipoholon. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan informan, kebanyakan perubahan yang terjadi pada pelaksanaan dikarenakan oleh pengaruh agama yang sedikit banyaknya telah mengubah pola pikir masyarakat Batak yang sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan Batak. 2. Manganar Togatorop Lk, 71 tahun Pria yang sekarang menjabat sebaga Ketua Umum PATOGAB Punguan Togatorop Boru, Bere Rura Siliindung ini merupakan ayah dari lima orang anak dan 6 orang cucu. Informan bukan merupakan penduduk asli Silindung melaikan perantau dari luar daerah. Mereka tinggal di Tarutung karena ditugaskan untuk bekerja di Bank BRI Cabang Tarutung. Komplek tempat mereka tinggal sebagian besar penduduknya adalah pendatang, mereka membentuk STM yang sampai saat ini mempertahankan pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat Batak Toba yang berlaku didaerah Silindung. Mereka tidak mempunyai ParrajaonRaja Huta atau yang sering disebut dengan Raja Bius karena mereka adalah pendatang. Saat ini informan hanya tinggal berdua dengan istrinya Boru Sitompul yang merupakan seorang pensiunan guru. Setelah pesiun informan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan adat dan aktif di Gereja. Orang tua dari informan dulu dinyatakan meninggal pada posisi Saur Matua, meskipun masih ada anaknya yang belum menikah. Pihak keluarga tahu bahwa sebenarnya orangtuanya masih berada pada posisi Sari Matua. Dalam pelaksanaan Tonggo Raja informan dan pihak keluarga yang lain mengajukan permohonan agar Raja-Raja Bius dan peserta Tonggo Raja yang lain bersedia menaikkannya menjadi Saur Matua. Dalam wawancara yang dilakukan dengan informan menyebutkan bahwa selain kerap kali mengahadiri upacara Saur Matua, keluarganya pun melakukan upacara tersebut. 3. Parulian Lumban Tobing Lk, 57 tahun Informan ini merupakan seorang salah satu penduduk asli dari Desa Aek siansimun, Tarutung yang lazim disebut dengan Raja Huta. Untuk daerah tempat tinggalnya ini mengaku sudah banyak perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Kalau untuk sekarang ini sudah jarang ditemui orang yang benar-benar mati dalam posisi Saur Matua ataupun Mauli Bulung. Perubahan ini terjadi karena adanya anggapan syarat-syarat yang dibuat sebagai acuan agar seseorang dikatakan Saur Matua untuk sekarang sudah sangat sulit untuk dipenuhi. Segala kekurangan tersebut sudah dapat ditutupi dengan ukuran Hasangapon seseorang. 4. Drs. Ebsan Sinaga Lk, 77 tahun Pria yang khas dengan rambut putihnya ini merupakan seseorang tokoh yang cukup dikenal di Kota Tarutung karena keaktifannya dalam berbagai organisasi. Informan sangat sulit dijumpai kerena kesibukannya dalam kegiatan-kegiatan adat yang berada dalam wilayah Tapanuli Utara. Informan merupakan Sekretaris Lembaga Adat Dalihan Na Tolu Tapanuli Utara LADN Taput yang berpusat di Tarutung. Informan juga pernah menjabat sebagai Kadis Pendidikan Kabupaten Dairi. Sampai saat ini informan juga masih aktif sebagai parhata di dalam Punguan Marga Sinaga. Informan berpendapat bahwa sangatlah penting menjaga Dalihan Na Tolu, membina hubungan baik dengan seluruh masyarakat yang berada disekitarnya. Apabila hubungan telah terjalin dengan baik akan terbuka kemungkinan permohonan penaikan status kematian dapat dinaikkan menjadi Saur Matua. Pada intinya dalam kehidupan bermasyarakat yang paling penting adalah kebersamaan dan saling menghormati, maka masing-masing individu harus menjaga etikanya. 5. Hulman P. Sinambela Lk, 54 tahun Informan berikut bertempat tinggal di Desa Parbubu Pea Tarutung. Menurut pengakuannya, informan merupakan salah seorang tokoh adat yang sering di jadikan sebagai narasumber oleh peneliti maupun mahasiswa yang melakukan penelitian tentang budaya Batak, karena dianggap memberikan jawaban yang sesuai untuk memecahkan masalah- masalah yang ditanyakan oleh sipeneliti. Untuk sekarang ini selain sebagai Guru informan juga merangkap sebagai Parhata dari Punguan marga Sinambela dan juga Sintua di Gerejanya. Dalam Ulaon Saur Matua sendiri, informan pernah menjadi Boru dalam upacara kematian mertuanya. Mereka selaku keluarga menginginkan status kematian mertuanya tersebut adalah Saur Matua. Karena dianggap sebagai seseorang yang yang dituakan dalam lingkungannya, maka permohonan tersebut dikabulkan oleh Bius. 6. Belman Panjaitan Lk, 44 tahun Informan adalah seorang suami dari Boru Aritonang yan juga merupakan seorang guru di SMP N 1 Tarutung. Pria yang setahun belakangan menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMA N.2 Tarutung ini memiliki tiga orang anak, yakni dua putera dan satu puteri. Informan membenarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara Saur matua, misalnya waktu waktu pelaksanaan yang sekarang lebih dipersingkat. Agama-agama yang dianut oleh masyarakat Batak juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut 7. Saut Hutabarat Lk, 67 tahun Informan ini merupakan seorang Parhata dari Punguan Marga Hutabarat ini beralamat di Desa Parbaju Julu, Tarutung. Informan adalah suami dari Boru Nainggolan. Sebelum pensiun, informan bekerja di Dinas Perhubungan, Kabupaten Tapanuli Utara. Untuk saat ini informan bekerja dengan meneruskan usaha pertanian. Informan adalah penduduk asli dari Silindung mengingat bahwa marga Hutabarat merupakan salah satu marga Si Opat Pusoran yang memang berasal dari Silindung. Pelaksanaan kegiatan adat khususnya di daerah Silindung memang mengalami perubahan jika dibandingkan dengan yang dulu, salah satunya mengenai tingkatan kematian yang ada dalam masyarakat Batak. Menurut informan yang merupakan penggemar batu akik ini penaikan status kematian seseorang menjadi Saur Matua bukan sebuah hal yang aneh lagi. Dapat dikatakan hampir semua orang yang meninggal dalam usia 50 tahun keatas melakukan hal tersebut. Hal ini terjadi pada hampir semua upacara kematian yang dihadirinya termasuk pada keluarganya sendiri. Apabila dalam Tonggo Raja menyetujui penaikan status tersebut maka itu dianggap sah. 8. R D Sianturi Lk, 58 tahun Pria yang pada tahun ini genap berusia 58 tahun ini sehari-harinya berprofesi sebagai wiraswasta bersama isterinya Boru Nainggolan. Semenjak pensiun sebagai PNS di Kantor Bupati Tapanuli Utara informan memang lebih memilih untuk berusaha wiraswasta bersama isterinya yang telah terlebih dahulu menggeluti kegiatan tersebut. Kegiatan yang tidak sepadat ketika informan masih aktif bekerja membuat informan lebih leluasa mengikuti kegiatan-kegiatan adat yang sedang berlangsung di sekitarnya. Kegiatan-kegiatan adat yang diikuti oleh informan bukan hanya di seputaran daerah Silindung saja. Informan melihat bahwa memang benar adanya banyak perbedaan-perbedaan pelaksanaan upacara adat pada daerah-daerah Batak. Untuk Ulaon Saur Matua sendiri informan mengatakan bahwa dalam kasus penaikan status kematian seseorang menjadi Saur Matua sudah menjadi hal yang biasa di daerah Silindung. Hal seperti ini bisa terjadi apabila sudah ada kesepakatan dari penatua-penatua pada hari pelaksanaan Tonggo raja dengan aturan-aturan tertentu yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar. 9. Rusmina Lumban Gaol Pr, 49 tahun Informan yang merupakan ibu dari seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Pada tahun 1986 informan ditempatkan sebagai PNS di Tarutung dan selang beberapa tahun kemudian menikah. Sejak menikah informan beserta suami sudah ikut serta dalam kegiatan adat yang dilaksanakan di lingkungan tempat tinggal mereka di Pardangguran. Informan yang sejak awal banggapan bahawa kegiatan-kegiatan adat sangat penting untuk diikuti, karena merupakan kewajiban sebagai seorang yang bersuku Batak Toba dan tinggal didaerah adat. Informan melihat adanya beberapa perbedaan pelaksanaan adat yang terjadi didaerah tempat tinggal orang tuanya yang berada di daerah Toba dengan yang terjadi di Silindung. Hal ini yang membuat informan rajin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan adat. Informan aktif dalam kegiatan-kegiatan adat baik sebagai pelaksana, maupun hanya sebagai peserta. Pada tahun 2011 yang lalu Ibu dari informan meninggal pada usia 82 tahun di Tarutung. Secara adat kematian tersebut adalah Sori Matua karena sudah ada dua orang puteranya yang meninggal. Namun, yang terjadi pada saat pelaksaan upacaranya adalah Adat Na Gok, yakni adat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mati dalam posisi Saur Matua dan Mauli Bulung. Posisi tersebut akhirnya disetujui menjadi Saur Matua karena dalam Tonggo Raja disebutkan bahwa umurnya sudah panjang, semasa hidup dikenal memiliki pergaulan yang baik dan sudah memiliki banyak keturunan. 10. Marnaek Hutasoit Lk, 72 tahun Pria yang dulunya berprofesi sebagai wartawan di salah satu media cetak ini kemudian beralih profesi menjadi penjual batu akik. Terlihat dari banyaknya pengunjung yang memadati kios yang dibukanya di Simpang Empat Tarutung. Informan membuka usaha ini karena melihat tingginya minat masyarakat Indonesia sekarang ini terhadap berbagai jenis batu alam ini. Meskipun hari-harinya disibukkan dengan urusan batu-batu ini, informan mengaku tidak pernah meninggalkan kegiatan-kegiatan adat. Memgingat bahwa pria ini juga merupakan salah satu parhata dari Punguan Marga Huta Soit. Marnaek juga salah satu informan yang sepakat bahwa ulaon Saur Matua merupakan sebuah adat yang wajib dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Batak, karena ini merupakan agar hutang-hutang adat selama dia hidup dapat dibayarkan. Matriks 4.1. Informan berdasarkan Nama, Jenis Kelamin, Suku, Usia, Pekerjaan dan Agama No Nama Jenis Kelamin Suku Usia Tahun Pekerjaan Agama Alamat 1 P. Lumban Gaol Lk Batak Toba 57 Guru Protestan Jl.Mayjen Yunus Samosir 2 Manganar Togatorop Lk Batak Toba 71 Pensiunan Prorestan Komp. Aek Ristop 3 Parulian Lumban Tobing Lk Batak Toba 57 Wiraswasta Protestan Aek Siansimun 4 Drs. Ebsan Sinaga Lk Batak Toba 77 Sekretaris LADN Taput Protestan Komp. Stadion 5 Hulman P. Sinambela Lk Batak Toba 54 Guru Protestan Parbubu Pea 6 Belman Panjaitan Lk Batak Toba 44 Guru Protestan Jl. SM Raja 7 Saut Hutabarat Lk Batak Toba 67 Pensiunan PNS Protestan Partali Julu 8 R.D. Sianturi Lk Batak Toba 58 Pensiunan PNS Protestan Siwaluompu 9 Rusmina Lumban Gaol Pr Batak Toba 49 Guru Katolik Jl. Balige 10 Marnaek Hutasoit Lk Batak Toba 72 Wiraswasta Protestan Jl. SM Raja

4.4. Interpretasi Data