disahkan apabila semua Raja-Raja Bius menyetujuinya dan keluarga dianggap sanggup untuk melaksanakan Adat Na Gok. Masyarakat beranggapan bahwa
penaikan status kematian tersebut bukan merupakan sebuah pelanggaran. Karena dalam Adat batak yang dikatakan pelanggaran adalah segala sesuatu yang tidak
mendapatkan persetujuan dari Raja-Raja Bius. Pada awalnya yang menunjukkan makna simbol status pada pelaksanaan
upacara Saur Matua terlihat dari lama pelaksanaan upacara tersebut, jenis ternak
yang disembelih, penempatan mayat di Tugu ataupun Tambak, dan jenis peti mati yang digunakan. Namun yang terjadi pada saat ini, beberapa dari simbol tersebut
sudah tidak dipakai lagi sebagai mana mestinya, sehingga masyarakat semakin tidak tahu apa syarat yang sesungguhnya.
Untuk masyarakat Batak yang beragama Islam, upacara Saur Matua tetap dilaksanakan dengan catatan penguburan dilakukan sesuai dengan ketentuan
agama tersebut. Sedangkan pada aliran Kharismatik upacara berjalan seperti biasa, hanya saja jambar yang dibagikan hanya berupa potongan danging.
b. Saran
Kegiatan-kegiatan adat khususnya upacara kematian yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba memberikan manfaat positif, karena
menjadi motivasi untuk selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik di dalam lingkungan sosialnya.
Alangkah baiknya apabila masyarakat tetap mempertahankan tradisi-tradisi tersebut, karena selain merupakan sebuah
kearifan lokal kegiatan seperti ini juga dapat mempererat hubungan diantara masyarakat.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Masyarakat dan Nilai Budaya
Budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena meliputi seluruh aspek hidup yang ada dalam diri individu berupa
kemaampuan berpikir, bertindakdan berperilaku, serta dilaksanakan guna kelangsungan hidup bermasyarakat. Widiastuti, 2013.
Kebudayaan merupakan hasil dari suatu masyarakat, kebudayaan hanya akan bisa lahir, tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat.
2.1.1. Masyarakat Batak Toba dan Adat
Kehidupan adat masyarakat Batak Toba diatur dalam sistem hubungan sosial Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga
terdapat hubungan sosial yang harmonis dan saling menghargai dan menghormati. Norma-norma tersebut wajib dilaksanakan orang orang Batak meskipun di berda
di tanah rantau Tano Parserahan.Sianipar, 1991. Ada lima bentuk kehidupan sosial pada masyarakat Batak, yakni:
a. Kehidupan dalam adat
Dalam setiap kegiatan adat Batak, semua orang yang hadir dalam acara tersebut pasti memiliki kedudukan masing-masing. Keberadaan
seseorang dalam adat, harus menunjukkan tanggung jawab karena dalam setiap kedudukan tersebut memiliki tugas dan kewajiban masing-masing.
1. Hasuhuton Suhut orang yang menyelenggarakan acara.
2. Hula-hula Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-
masing saudara perempuan. 3.
Boru Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan suhut.
b. Kehidupan dalam marga
Seorang Batak dapat menempatkan dirinya dalam masyarakat berdasarkan marga.
c. Kehidupan dalam huta
Punguan Parsahutaon atau sekarang yang lebih dikenal dengan STM Serikat Tolong Menolong berkewajiban meringankan dan membantu beban
anggota STM tersebut dalam masalah adat atau bukan adat. STM menunjukkan bahwa seluruh masyarakat yang menjadi anggota dari
kelompok tersebut merupakan sebuah keluarga besar yang harus saling tolong menolong.
d. Kehidupan dalam kebersamaan
Setiap keluarga yang melaksanakan kegiatan adat, maka dia harus berusaha agar setiap orang yang dikenalnya turut serta didalam adat tersebut,
meskipun tidak ikut berperan tetapi ikut merasakan baiknya dan nikmatnya adat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Batak harus memiliki rasa
kebersamaan. Kebersamaan tersebut tampak pada setiap kegiatan yang dilakukannya, baik itu dalam pekerjaan, kegiatan adat, maupun ketika adanya
musibah dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam kebersamaan tersebut tidak ada bantuan yang diberikan secaracuma-cuma, karena semua yang kita
terima harus dibayar.
Masyarakat Batak juga memiliki tiga nilai nilai budaya yang dijadikan sebagai tujuan hidup masyarakatnya. Setiap masyarakat Batak akan berusaha
untuk mencapai ketiga nilai tersebut demi tercapainya kesempurnaan hidup. a.
Hagabeon, berarti bahagia dan sejahtera. Bagi masyarakat Batak kebagaiaan utama akan didapatkan pada saat memiliki anak laki-laki
dan perempuan. Anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga. Sistem patrilinear yang berlaku pada masyarakat Batak
membuat keberadaan anak laki-laki menjadi sangat penting dan dianggap sebagai anggota keluarga penuh. Sebaliknya anak perempuan
akan menikah dan menjadi anggota keluarga dari pihak marga suaminya. Seseorang yang meninggal tanpa memiliki anak laki-laki
dianggap kurang bermakna ataupun sempurna. b.
Hamoraon, berarti kekayaan yaitu kepemilikan harta yang berwujud materi maupun non materi yang di peroleh melalui usaha sendiri
ataupun dari warisan yang diterimanya. Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan hidup seorang Batak mensejahterakan kehidupan
keluarganya. c.
Hasangapon, yang berarti kehormatan, dalam hal ini masyarakat akan berusaha meraih status sosial yang dianggap berpengaruh, misalnya
menduduki posisi ataupun jabatan di pekerjaan, di lingkungan masyarakat, maupun di punguan-punguan yang diikuti.
2.1.2. Tradisi Upacara Kematian dalam Masyarakat Batak Toba
Pelaksanaan upacara kematian pada masyarakat Batak toba sangatlah penting, oleh sebab itu dibuatlah penggolongan ataupun pembagian posisi-
posisi kematian. Berikut ini adalah pembagian posisi kematian seseorang
yang diatur dalam adat Batak:
a. Mate di Bortian, sebutan bagi anak yang meninggal dalam kandungan
ibunya. Kematian ini belum menadapatkan perlakuan adat. b.
Mate Poso-poso adalah meninggal ketika masih bayi. c.
Mate Dakdanak adalah meninggal ketika masih anak-anak. d.
Mate Bulung adalah meninggal saat remaja. e.
Mate Ponggol adalah meninggal ketika sudah dewasa tapi belum menikah.
f. Mate Mangkar, kematian jenis ini terbagi lima, yaitu:
1. Mate Matompas Tataring sebutan bagi Ibu yang telah berumah tangga
dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil. 2.
Mate Namatipul Ulu sebutan bagi Ayah yang telah berumah tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.
3. Mate naso marpahompu dope, yaitu mati dengan belum memiliki
cucu. 4.
Mate Punu, sebutan bagi orang yang hanya memiliki anak perempuan. 5.
Mate Pupur, sebutan bagi orang yang tidah mempunyai anak laki-laki dan perempuan. T.M. Sihombing, 1989
Selanjutnya ada pula jenis kematian yang pada masyarakat Batak menunjukkan prestise ataupun memiliki status yang dianggap terhormat di
tengah-tengah masyarakat. Upacara kematian tersebut menurut Sianipar 1991 dibagi kedalam tiga kategori bentuk menurut adat, yaitu:
a. Sari Matua
Seorangtua meningal dunia disebut Sari Matua, apabila sudah mempunyai cucu dari anak laki-kali dan anak perempuannya. Tidak jadi
masalah walaupun masih ada yang belum berumah tangga. b.
Saur Matua Seorangtua meninggal disebut Saur Matua apabila sudah semua anaknya
berumah tangga dan telah mempunyai cucu, tidak masalah apakah masih ada keluarga anakmya yang belum mempunyai anak.
b. Mauli Bulung
Seorangtua disebut Mauli Bulung, apabila orangtua itu sudah mempunyai nini dan nono, punya cucu, dan semua anak-anaknya sudah berumah
tangga.
2.2. Nilai Prestise di dalam Masyarakat
Stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimiliki. Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sadar maupun tidak
sadar manusia akan berada dalam stratifikasi sosial. Menurut Max Weber stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu
sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan prestise. Ada banyak sistem yang digunakan untuk
menganalisis stratifikasi sosial salah satunya adalah menganalisis sistem penghormatan prestise dan reward yang diciptakan oleh suatu kelompok sosial
komunitas. Analisis ini diarahkan pada respon yang diberikan kepada suatu kelompok tertentu, dengan mengutamakan pada interaksi sosial yang terbentuk.
Simbol yang dianggap memiliki nilai yang dihargai dalam suatu kelompok sosial tertentu akan digunakan sebagai dasar untuk membentuk stratifikasi sosial yang
bersifat kumulatif Doddy Sumbodo,2011. Masalah kehormatan sifatnya relatif. Dalam arti bahwa kehormatan harus
kita kaitkan dengan suatu kebudayaan atau sistem sosial tertentu. Weber dalam Kamanto, 2000 mengatakan bahwa gaya hidup berarti persamaan status
kehormatan yang di tandai dengan konsumsi terhadap simbol-simbol gaya hidup yang sama. Sebuah kelompok status merupakan pendukung adat, yang
menciptakan dan melestarikan semua adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.
2.3. Interaksionisme Simbolik
Interaksionisme simbolik menunjuk pada sikap khas dari interaksi antar manusia. artinya manusia saling menerjemahkan dan mendefenisikan tindakannya
baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Proses interaksi yang terbentuk melibatkan simbol-simbol, bahasa, ketentuan adat
istiadat, agama dan pandangan-pandangan lain. Menurut Herbert Blumer dalam Kamanto Sunarto, 2004 pokok
pemikiran interaksionisme simbolik ada tiga, yang pertama ialah bahwa manusia bertindak act terhadap sesuatu thing atas dasar makna meaning yang
dipunyai sesuatu tersebut baginya, dimana makna tersebut muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya.
Interaksionisme simbolik digunakan untuk menjelaskan suatu tindakan bersama, pada saatnya nanti akan membentuk struktur sosial atau kelompok-
kelompok melalui interaksi yang khas. Menurut Soeprapto dalam Dadi Ahmad, 2008, teori ini mengasumsikan bahwa individu-individu melaui aksi dan
interaksinya yang komunikatif, dengan menggunakan simbol-simbol bahasa serta isyarat lainnya yang akan mengonstruk masyarakatnya.
Menurut Herbert Blumer Poloma, 2010 interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:
1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka. 2.
Makna tersebut berasal dari interaksi sosial dengan orang lain. 3.
Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.
Menurut Blumer Poloma, 2010 Interaksionisme simbolis yang diketengahkan mengandung sejumlah ide-ide dasar, yang dapat diringkas sebagai
berikut: 1.
Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan-kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa
yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial. 2.
Interaksi terdiri dari bebrbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nin simbolis
mencakup stimulus, respon-respon yang sederhana.
3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih
merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori yang luas: a obyek fisik,
seperti meja, tanaman, atau mobil; b obyek sosial seperti ibu, guru, menteri, atau teman; dan c obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan
peraturan 4.
Manusia hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek
5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretasi yang dibuat oleh
manusia itu sendiri 6.
Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota- anggota kelompok, hal ini yang disebut sebagai tindakan bersama yang
dibatasi sebagai organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia. Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-
ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut oleh para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”
2.4. Defenisi Konsep