Analisis Prestise dalam Upacara Kematian pada Etnis Batak Toba di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara

(1)

ANALISIS PRESTISE DALAM UPACARA KEMATIAN PADA ETNIS BATAK TOBA DI KECAMATAN TARUTUNG KABUPATEN TAPANULI

UTARA

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Diajukan Oleh: KATHY SABRINA L T

110901036

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Pengasih, atas segala limpahan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Analisis Prestise dalam Upacara Kematian pada Etnis Batak Toba di Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara” disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tanpa dukungan dari berbagai pihak skripsi ini tidak akan terselesaikan. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu dengan sepenuh hati, baik berupa ide, semangat, doa, bantuan moril maupun materil sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Penghargaan yang tinggi dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada kedua orangtua tercinta ayah saya M. Togatorop dan ibu saya R. Lumban Gaol yang telah melahirkan, membesarkan, mendidik penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta selalu memberikan doa, pengertian, pengorbanan yang tulus, nasehat, semangat dan mendidik saya, memberikan dukungan moril dan materil kepada saya selama perkuliahan. Dukungan orangtua tidak pernah terlepas dari kehidupan penulis, dimana ketika penulis mengalami masa yang sulit orangtua selalu ada dan mengingatkan penulis untuk selalu berdoa dan dekat kepada Tuhan. Akhirnya inilah yang dapat saya berikan sebagai tanda ucapan terimakasih dan tanda bakti saya. Semoga Tuhan memberikan limpahan RahmatNya dan berkatNya kepada orang tua penulis.


(3)

Dalam penulisan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tulus dan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si selaku dosen wali penulis sejak tahun 2011 hingga 2015 dan sebagai dosen pembimbing skripsi penulis yang telah bersedia membimbing penulis sejak awal hingga akhir perkuliahan.

3. Bapak Drs. Henry Sitorus, M.Si, selaku dosen penguji yang telah bersedia menjadi penguji skripsi ini dan telah memberi masukan-masukan dalam perbaikan skripsi ini.

4. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

5. Drs. Muba Simanihuruk, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

6. Para dosen di Departeman Sosiologi yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu-persatu yang telah membekali, memberikan ilmu, mengarahkan dan membimbing saya selama mengikuti perkuliahan di Departemen Sosiologi sehingga selesainya skripsi ini.

7. Ernita dan Bang Abel di jurusan sosiologi serta seluruh staf yang berada di FISIP USU yang telah memberikan kemudahan dalam mengurus segala administrasi dalam skripsi ini.

8. Saudara-saudara saya yang selalu memberikan doa dan semangat kepada saya, terkhusus adik kak Nina tercinta, Adrian Van Gouda Togatorop dan


(4)

Ridho Febrian Hendrikus Togatorop, serta adik sepupu saya Marnaek Alfred Siagian.

9. Ompung Raja Doli Lumbangaol/br.Hutagalung, Ompung Ompung Ami Togatorop/br. Simanjuntak, dan Ompung Ian Simanjuntak/br Harianja, yang sudah menjadi kakek dan nenek yang selalu mendoakan serta menjadi penyemangat mulai dari saya kecil hingga saat ini.

10. Sahabat-sahabat saya terkasih, yang mulai dari awal perkuliahan hingga akhir perkuliahan ini selalu menemani saya dalam suka maupun duka, Carlina Abrianingsih Panjaitan, S.Sos, Devi Sihotang, S.Sos, Fransisca Sinaga, S. Sos, Elsa Elonika Tarigan dan Vera Novelina Sirait, atas semua dukungan dan bantuan kalian selama ini, serta kebersamaan kita yang tidak terlupakan.

11. Kiki, Marta, dan Andre yang sudah menjadi teman berbagi dalam suka maupun duka, dan selalu memberikan semangat bagi saya dalam perkuliahan selama ini.

12. Teman-teman Sosiologi seperjuangan lainnya, Erawati Siagian, Repita Simamora, Emilia Simangunsong, Hendrikson Siahaan, Yusni Malau, Wawan, Defasari, Angela, Silvia dan teman-teman sosiologi lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu-persatu yang telah banyak membantu penulis dalam berdiskusi hingga penulis dapat menyelesaikan penelitian.. 13. Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi yang

sangat dibutuhkan dalam penulisan skripsi ini, serta atas waktu dan kesediaan para informan.


(5)

Penulis merasa bahwa dalam penulisan skripsi masih terdapat berbagai kekurangan dan keterbatasan, untuk itu penulis sangat mengharapkan masukan dan saran-saran yang sifatnya membangun demi perbaikan tulisan ini. Demikianlah yang dapat penulis sampaikan, harapan saya agar tulisan ini dapat berguna bagi pembacanya, dan akhir kata dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu penulisan skripsi ini.

Medan, Desember 2015 (Penulis)

Kathy Sabrina NIM : 1110901036


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ... i

Daftar Isi...iv

Abstrak ...vii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang...1

1.2. Perumusan Masalah...7

1.3. Tujuan Penelitian...8

1.4. Manfaat Penelitian...8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA 2.1. Masyarakat dan Nilai Budaya...9

2.1.1. Masyarakat Batak Toba dan Adat...9

2.1.2. Tradisi Upacara Kematian dalam Masyarakat Batak Toba...11

2.2. Nilai Prestise di dalam Masyaraka...13

2.3. Interaksionisme Simbolik...14

2.4. Defnisi Konsep...16

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian...20

3.2. Lokasi Penelitian...20 3.3. Unit Analisis dan Informan


(7)

3.3.1. Unit Analisis...20

3.3.2. Informan... ...21

3.4. Data dan Teknik Pengumpulan Data...22

3.5. Data Sekunder...23

3.6. Interpretasi Data...23

3.7. Keterbatasan Penelitian...24

BAB.IV. DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA 4.1. Deskripsi Lokasi 4.1.1. Sejarah Kecamatan Tarutung...25

4.1.2. Keadaan Geografis... ...28

4.1.3. Luas Wilayah...28

4.1.4. Jumlah Penduduk... ...28

4.1.5. Mata Pencaharian... ...30

4.1.6. Sarana dan Prasarana... ...30

4.1.7. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tarutung...32

4.2. Profil Informan... ...34

4.3. Interpretasi Data 4.3.1. Tingkatan Kematian Bagi Masyarakat Batak Toba...42

4.3.1.1. Kematian pada Orang-orang yang Belum Menikah...42

4.3.1.2. Kematian pada Orang-orang yang Sudah Menikah...43

4.3.1.3. Kematian pada Orang Tua...46 4.3.2. Makna Saur Matua bagi Masyarakat


(8)

Batak Toba...52 4.3.3. Makna Prestise / Nilai Hasangapon Bagi Masyarakat

Batak Toba...59 4.3.4. Makna Simbol Status pada Upacara Saur Matua ...62 4.3.5. Pergeseran Tradisi Upacara Kematian

di Daerah Silindung...64 4.3.6. Adat Saur Matua dalam Agama Islam

dan Kharismatik...75 BAB V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan... ...78 5.2. Saran...78


(9)

Abstrak

Kematian dalam masyarakat Batak Toba selalu diikuti dengan rangkaian upacara adat, yang diatur berdasarkan status dan umur orang yang bersangkutan. Upacara-upacara tersebut berkaitan erat dengan pandangan hidup ideal menurut masyarakat Batak, yaitu Hagabeon (keturunan), Hamoraon (kekayaan), dan Hasangapon (kehormatan/ prestise). Seseorang dikatakan mampu mencapai pandangan tersebut apabila dia mati pada posisi Saur Matua. Adanya kecenderungan nilai prestise yang diperoleh dalam tingkatan kematian Saur Matua membuat banyak keluarga maupun kerabat dari orang mati menginginkan agar status dari orang yang mati tersebut dinaikkanmenjadi Saur Matua.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian pada masyarakat Batak Toba, karena adanya nilai prestise dan bagaimana masyarakat memaknai pergeseran tersebut. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara mendalam, dan studi kepustakaan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat batak cenderung mengejar posisi kematian Saur Matua, karena: (1) menunjukkan Hasangapon, (2) sebagai kewajiban untuk melunasi hutang-hutang adat selama yang bersangkutan hidup.


(10)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebudayaan merupakan sebuah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat dan diwariskan secara turun temurun dari generasi kegenerasi berikutnya. Indonesia merupakan sebuah negara yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa dan kaya akan budaya. Keanekaragaman budaya tersebut menjadi identitas yang menunjukkan karakter dari masing-masing budaya yang ada di Indonesia.

Keragaman budaya Indonesia memiliki lebih dari 1000 suku bangsa bermukim di wilayah yang tersebar di ribuan pulau terbentang dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing dari suku bangsa tersebut memiliki nilai budaya yang berbeda-beda pula dan dijadikan sebagai pedoman dan pendorong perilaku yang dianggap memberikan manfaat bagi pada masyarakat penganutnya. Wujud dari kebudayaan itu sendiri tampak jelas pada pelaksanaan upacara-upacara adat yang senantiasa dipertahankan oleh masyarakat yang dianggap sebagai sebuah kewajiban yang harus selalu dilaksanakan. Sebagian besar suku bangsa yang ada di Indonesia melaksanakan berbagai bentuk upacara tradisional. Berbagai bentuk dan corak yang dilakukan dalam pelaksanaan upacara tersebut, mulai dari yang profan sampai ke hal-hal yang bernuansa sakral (Hotmaida, 2014).

Salah satu suku yang masih mempertahankan kebudayaannya adalah suku Batak Toba. Seluruh tahapan kehidupan masyarakatnya diikuti dengan kegiatan adat, mulai dari dalam kandungan, kelahiran, pernikahan, bahkan sampai


(11)

kematian. Kegiatan adat tersebut wajib diikuti oleh seluruh anggota masyarakat baik itu dari pihak penyeleggara kegiatan adat tersebut maupun dari sanak saudara dan kerabat-kerabatnya. Sama halnya yang terjadi di Tapanuli Utara, hingga saat ini masyarakatnya masih berpedoman pada pandangan hidup ideal Batak Toba, serta masih tetap menjalankan kegiatan-kegiatan adat tersebut. Mengingat bahwa wilayah ini merupakan salah satu daerah asal suku Batak toba.

Masyarakat Batak Toba sendiri memiliki beberapa pandangan hidup yang merupakan pedoman dan didalamnya terkandung konsep nilai kehidupan yang dicita-citakan oleh masyarakatnya, yakni:

1. Hagabeon, berarti bahagia dan sejahtera. Kebahagiaan yang

dimaksudkan di sini adalah kebahagiaan dalam hal keturunan. Keturunan dipandang sebagai pemberi harapan hidup, karena keturunan itu adalah suatu kebahagiaan yang tidak ternilai bagi orang tua, keluarga dan kerabat. Kebahagiaan akan terasa lengkap dalam sebuah keluarga apabila keluarga itu memiliki anak laki-laki dan perempuan. Keturunan dalam budaya Batak Toba dianggap sebagai harta yang paling berharga (Harahap dan Siahaan, 1987). Keberadaan anak yang sangat didambakan oleh keluarga suku Batak Toba adalah untuk, pencapaian tujuan hidup yang ideal, pelengkap adat Dalihan Na Tolu, penambah wibawa orangtua, pewaris harta kekayaan, penerus garis keturunan (marga).

2. Hamoraon, yaitu kepemilikan harta yang berwujud materi maupun

non materi yang di peroleh melalui usaha sendiri ataupun dari warisan yang diterimanya.


(12)

3. Hasangapon, yaitu pengakuan dan penghormatan atas wibawa dan martabat seseorang.

Metode pencapaian pandangan hidup ini diatur oleh struktur sosial “Dalihan Na Natolu”.Ketiga unsur kehidupan ideal tersebut harus berjalan bersamaan dan diaplikasikan dalam kepercayaan dan adat istiadatnya. Hasangapon yang sesungguhnya akan terlihat pada saat seseorang mati. Kematian dalam budaya suku Batak Toba mendapatkan perlakuan adat yang berbeda-beda berdasarkan umur dan status dari orang tersebut. Seseorang yang mati dengan mencapai ketiga unsur tersebut dianggap telah mencapai sebuah kedudukan terhormat yang merupakan dambaan dari setiap masyarakat Batak Toba. Adanya pandangan hidup ideal seperti ini membawa dampak positif bagi masyarakatnya, karena setiap anggota masyarakat akan berusaha mencapai kedudukan tersebut.

Sebagaimana kita ketahui, dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan-lapisan sosial, karena setiap masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu terhadap bidang-bidang tertentu pula. (Soerjono Soekanto, 2012). Adanya pandangan hidup ideal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba memunculkan penggolongan anggota masyarakat ke dalam lapisan-lapisan sosial yang terlihat dari klasifikasi upacara kematiannya. Jenis kematian tersebut terbagi atas dua karena memiliki perbedaan makna, yang pertama adalah upacara adat sebagai given, yang memiliki arti bahwa upacara kematian itu merupakan suatu kegiatan yang wajib dilaksanakan oleh masyarakatnya karena sudah terikat pada sebuah aturan yang telah dianut secara turun-temurun. Perlakuan adat yang akan di terima oleh orang mati tersebut dilakukan sebagai ungkapan penghormatan terakhir.


(13)

Berikut ini adalah pembagian posisi kematian seseorang yang diatur dalam adat Batak:

a. Mate di Bortian, sebutan bagi anak yang meninggal dalam kandungan

ibunya. Kematian ini belum menadapatkan perlakuan adat. b. Mate Poso-poso adalah meninggal ketika masih bayi.

c. Mate Dakdanak adalah meninggal ketika masih anak-anak.

d. Mate Bulung adalah meninggal saat remaja.

e. Mate Ponggol adalah meninggal ketika sudah dewasa tapi belum

menikah).

f. Mate Mangkar, kematian jenis ini terbagi lima, yaitu:

1. Mate Matompas Tataring sebutan bagi Ibu yang telah berumah

tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

2. Mate Namatipul Ulu sebutan bagi Ayah yang telah berumah tangga dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

3. Mate naso marpahompu dope, yaitu mati dengan belum memiliki

cucu.

4. Mate Punu, sebutan bagi orang yang hanya memiliki anak

perempuan.

5. Mate Pupur, sebutan bagi orang yang tidah mempunyai anak

laki-laki dan perempuan. (T.M. Sihombing, 1989)

Selanjutnya, ada pula jenis kematian yang tidak hanya semata-mata mendapatkan perlakuan adat tetapi juga menunjukkan prestise ataupun kehormatan. Prestise sendiri merupakan pengakuan sosial terhadap kedudukan tertentu pada posisi-posisi yang dihormati. Prestise akan diperoleh pada saat


(14)

seseorang berhasil memperoleh kedudukan dengan perjuangan dan usaha-usaha yang disengaja dilakukannya. Hal ini sama seperti apa yang ada dalam pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba, seseorang akan berusaha memiliki hagabeon, hamoraon, serta hasangapon, dan hal tersebut akan terlihat pada saat dia mati. Jenis kematian yang menunjukkan prestise seseorang, yakni:

a. Mate Sari Matua, sebutan bagi seseorang yang sudah mempunyai

cucu dari anak laki-laki dan anak perempuannya. Tidak menjadi masalah apabila masih ada diantara anak-anaknya yang belum menikah.

b. Mate Sori Matua, sebutan bagi orang yang semua anaknya sudah

menikah dan memiliki cucu, namun sudah ada anaknya yang meninggal sebelum dia (tilaha)

c. Mate Saur Matua, sebutan bagi seseorang yang semua anaknya sudah

menikah dan telah mempunyai cucu. Seseorang dapat juga dikatakan Mate Saur Matua meskipun masih ada diantara anaknya yang belum memiliki anak.

d. Mate Mauli Bulung, sebutan bagi seserorang semua anaknya sudah

menikah, memiliki cucu, serta nini dan nono. Dalam pelaksanaan upacara kematiannya, pihak keluarga harus mampu melaksankan pesta besar.

Selain menunjukkan hasangapon dari seseorang, mati dengan cara seperti ini akan dilakukan dengan menyelenggarakan pesta besar yang akan semakin menunjukkan status sosial orang tersebut. Jenis kematian ini memberikan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat karena dianggap sempurna karena tidak


(15)

memiliki tanggungan lagi. Dalam upacara kematian tertinggi dalam masyarakat Batak Toba, biasanya akan di sembelih seekor kerbau yang menunjukkan tingginya status orang meninggal tersebut di dalam adat maupun kehidupan sosial dan ekonominya. Upacara ini biasanya disertai dengan alunan musik khas Batak yaitu Gondang, memberikan piso-piso (sejumlah uang ataupun kebau) kepada pihak hula-hula sebagai tanda penghormatan. Upacara kematian ini akan dilanjutkan dengan penguburan, dimana tempat penguburan ini terbagi menjadi beberapa tingkatan berdasarkan status dari orang mati. Seseorang yang mati dengan telah mencapai pandangan hidup ideal dalam masyarakat Batak Toba berhak dikuburkan di dalam Tugu ataupun Tambak, sementara orang yang mati tanpa memiliki anak laki-laki tidak berhak dimasukkan ke dalam Tugu atau Tambak. Upacara adat yang berupa pesta dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur karena diberikan umur panjang kepada orang yang mati Saur Matua dan Saur Mauli Bulung. Jenis kematian seperti ini pada umumnya diharapkan oleh suku Batak Toba, karena akan menunjukkan sebuah kehormatan.

Adanya kecenderungan nilai prestise yang diperoleh dalam tingkatan kematian Saur Matua membuat banyak keluarga maupun kerabat dari orang mati menginginkan agar status dari orang yang mati tersebut dinaikkan dari Sari Matua menjadi Saur Matua meskipun secara adat istiadat dia masih berada dalam tahap Sari Matua dan Sori Matua. Hal seperti ini bisa saja terjadi pada keluarga yang memiliki status ekonomi tinggi, dan memiliki status terhormat yang layak dijadikan sebagai panutan didalam masyarakatnya. Sementara itu, bagi masyarakat yang memiliki tingkat ekonomi menengah kebawah ada kecenderungan sulit untuk direalisasikan. Dinaikkannya status kematian seseorang


(16)

bisa saja terjadi, misalnya ketika orang tersebut mati dengan memiiki umur yang sangat panjang, terhormat di dalam masyarakat, serta memiliki status ekonomi tinggi, namun dia masih memiliki anak yang belum menikah. Keluarga dapat meminta kepada Raja-raja setempat (Hula-hula, Boru, dan Bius) agar status orang mati tersebut dinaikkan menjadi Mate Saur Matua. Permintaan ini dapat dikabulkan sebagai penghargaan atas jasa-jasanya ataupun jabatan yang membuat dia disegani oleh masyarakat, serta faktor ekonomi ataupun kekayaannya. Sebaliknya, ada orang-orang tertentu yang memilih untuk mempertahankan posisinya sesuai ketentuan adat yang ada, meskipun sudah ada persetujuan dari Raja-raja setempat dan masyarakat untuk menaikkan statusnya menjadi Saur matua, sebagai bentuk balas jasa atau penghormatan atas jasa-jasa yang pernah dilakukannya. Adanya peluang bagi orang yang mati untuk dinaikkan statusnya kedalam tingakatan kematian ideal menjadi indikasi munculnya pergeseran adat istiadat yang yang sebelumnya di anggap baku dan harus ditaati mengalami perubahan.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian yang terjadi pada masyarakat Etnis Batak Toba karena adanya nilai prestise?

2. Bagaimana masyarakat di Kecamatan Tarutung memaknai pergeseran tradisi pada upacara kematian?


(17)

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pergeseran tradisi upacara kematian pada Etnis Batak Toba, karena adanya nilai prestise dan bagaimana masyarakat memaknai pergeseran tersebut.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi peneliti maupun bagi orang lain. Khususnya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Untuk dapat menambah wawasan kajian ilmiah bagi mahasiswa, khususnya mahasiswa sosiologi serta dapat memberikan kontribusi bagi ilmu sosial dan masyarakat yang membutuhkannya.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis ilmiah dapat menambah referensi dari pada hasil penelitian dan dapat dijadikan sebagai bahan rujukan bagi peneliti berikutnya.


(18)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Masyarakat dan Nilai Budaya

Budaya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia karena meliputi seluruh aspek hidup yang ada dalam diri individu berupa kemaampuan berpikir, bertindakdan berperilaku, serta dilaksanakan guna kelangsungan hidup bermasyarakat. (Widiastuti, 2013). Kebudayaan merupakan hasil dari suatu masyarakat, kebudayaan hanya akan bisa lahir, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.

2.1.1. Masyarakat Batak Toba dan Adat

Kehidupan adat masyarakat Batak Toba diatur dalam sistem hubungan sosial Dalihan Na Tolu, yang dibuat dalam bentuk norma-norma sehingga terdapat hubungan sosial yang harmonis dan saling menghargai dan menghormati. Norma-norma tersebut wajib dilaksanakan orang orang Batak meskipun di berda di tanah rantau (Tano Parserahan).(Sianipar, 1991). Ada lima bentuk kehidupan sosial pada masyarakat Batak, yakni:

a. Kehidupan dalam adat

Dalam setiap kegiatan adat Batak, semua orang yang hadir dalam acara tersebut pasti memiliki kedudukan masing-masing. Keberadaan seseorang dalam adat, harus menunjukkan tanggung jawab karena dalam setiap kedudukan tersebut memiliki tugas dan kewajiban masing-masing.


(19)

2. Hula-hula (Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan).

3. Boru (Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan suhut).

b. Kehidupan dalam marga

Seorang Batak dapat menempatkan dirinya dalam masyarakat berdasarkan marga.

c. Kehidupan dalam huta

Punguan Parsahutaon atau sekarang yang lebih dikenal dengan STM (Serikat Tolong Menolong) berkewajiban meringankan dan membantu beban anggota STM tersebut dalam masalah adat atau bukan adat. STM menunjukkan bahwa seluruh masyarakat yang menjadi anggota dari kelompok tersebut merupakan sebuah keluarga besar yang harus saling tolong menolong.

d. Kehidupan dalam kebersamaan

Setiap keluarga yang melaksanakan kegiatan adat, maka dia harus berusaha agar setiap orang yang dikenalnya turut serta didalam adat tersebut, meskipun tidak ikut berperan tetapi ikut merasakan baiknya dan nikmatnya adat tersebut. Dalam kehidupan masyarakat Batak harus memiliki rasa kebersamaan. Kebersamaan tersebut tampak pada setiap kegiatan yang dilakukannya, baik itu dalam pekerjaan, kegiatan adat, maupun ketika adanya musibah dalam kelompok masyarakat tersebut. Dalam kebersamaan tersebut tidak ada bantuan yang diberikan secaracuma-cuma, karena semua yang kita terima harus dibayar.


(20)

Masyarakat Batak juga memiliki tiga nilai nilai budaya yang dijadikan sebagai tujuan hidup masyarakatnya. Setiap masyarakat Batak akan berusaha untuk mencapai ketiga nilai tersebut demi tercapainya kesempurnaan hidup.

a. Hagabeon, berarti bahagia dan sejahtera. Bagi masyarakat Batak kebagaiaan utama akan didapatkan pada saat memiliki anak laki-laki dan perempuan. Anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga. Sistem patrilinear yang berlaku pada masyarakat Batak membuat keberadaan anak laki-laki menjadi sangat penting dan dianggap sebagai anggota keluarga penuh. Sebaliknya anak perempuan akan menikah dan menjadi anggota keluarga dari pihak marga suaminya. Seseorang yang meninggal tanpa memiliki anak laki-laki dianggap kurang bermakna ataupun sempurna.

b. Hamoraon, berarti kekayaan yaitu kepemilikan harta yang berwujud

materi maupun non materi yang di peroleh melalui usaha sendiri ataupun dari warisan yang diterimanya. Hamoraon menunjukkan bahwa tujuan hidup seorang Batak mensejahterakan kehidupan keluarganya.

c. Hasangapon, yang berarti kehormatan, dalam hal ini masyarakat akan berusaha meraih status sosial yang dianggap berpengaruh, misalnya menduduki posisi ataupun jabatan di pekerjaan, di lingkungan masyarakat, maupun di punguan-punguan yang diikuti.

2.1.2. Tradisi Upacara Kematian dalam Masyarakat Batak Toba

Pelaksanaan upacara kematian pada masyarakat Batak toba sangatlah penting, oleh sebab itu dibuatlah penggolongan ataupun pembagian posisi-


(21)

posisi kematian. Berikut ini adalah pembagian posisi kematian seseorang yang diatur dalam adat Batak:

a. Mate di Bortian, sebutan bagi anak yang meninggal dalam kandungan

ibunya. Kematian ini belum menadapatkan perlakuan adat. b. Mate Poso-poso adalah meninggal ketika masih bayi. c. Mate Dakdanak adalah meninggal ketika masih anak-anak. d. Mate Bulung adalah meninggal saat remaja.

e. Mate Ponggol adalah meninggal ketika sudah dewasa tapi belum

menikah).

f. Mate Mangkar, kematian jenis ini terbagi lima, yaitu:

1. Mate Matompas Tataring sebutan bagi Ibu yang telah berumah tangga

dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

2. Mate Namatipul Ulu sebutan bagi Ayah yang telah berumah tangga

dengan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.

3. Mate naso marpahompu dope, yaitu mati dengan belum memiliki

cucu.

4. Mate Punu, sebutan bagi orang yang hanya memiliki anak perempuan.

5. Mate Pupur, sebutan bagi orang yang tidah mempunyai anak laki-laki dan perempuan. (T.M. Sihombing, 1989)

Selanjutnya ada pula jenis kematian yang pada masyarakat Batak menunjukkan prestise ataupun memiliki status yang dianggap terhormat di tengah-tengah masyarakat. Upacara kematian tersebut menurut Sianipar (1991) dibagi kedalam tiga kategori bentuk menurut adat, yaitu:


(22)

a. Sari Matua

Seorangtua meningal dunia disebut Sari Matua, apabila sudah mempunyai cucu dari anak laki-kali dan anak perempuannya. Tidak jadi masalah walaupun masih ada yang belum berumah tangga.

b. Saur Matua

Seorangtua meninggal disebut Saur Matua apabila sudah semua anaknya berumah tangga dan telah mempunyai cucu, tidak masalah apakah masih ada keluarga anakmya yang belum mempunyai anak.

b. Mauli Bulung

Seorangtua disebut Mauli Bulung, apabila orangtua itu sudah mempunyai nini dan nono, punya cucu, dan semua anak-anaknya sudah berumah tangga.

2.2. Nilai Prestise di dalam Masyarakat

Stratifikasi sosial adalah pembedaan anggota masyarakat berdasarkan status yang dimiliki. Dalam kehidupan bermasyarakat, secara sadar maupun tidak sadar manusia akan berada dalam stratifikasi sosial. Menurut Max Weber stratifikasi sosial sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial tertentu ke dalam lapisan-lapisan hirarki menurut dimensi kekuasaan, hak istimewa, dan prestise. Ada banyak sistem yang digunakan untuk menganalisis stratifikasi sosial salah satunya adalah menganalisis sistem penghormatan (prestise dan reward) yang diciptakan oleh suatu kelompok sosial (komunitas). Analisis ini diarahkan pada respon yang diberikan kepada suatu kelompok tertentu, dengan mengutamakan pada interaksi sosial yang terbentuk.


(23)

Simbol yang dianggap memiliki nilai yang dihargai dalam suatu kelompok sosial tertentu akan digunakan sebagai dasar untuk membentuk stratifikasi sosial yang bersifat kumulatif (Doddy Sumbodo,2011).

Masalah kehormatan sifatnya relatif. Dalam arti bahwa kehormatan harus kita kaitkan dengan suatu kebudayaan atau sistem sosial tertentu. Weber (dalam Kamanto, 2000) mengatakan bahwa gaya hidup berarti persamaan status kehormatan yang di tandai dengan konsumsi terhadap simbol-simbol gaya hidup yang sama. Sebuah kelompok status merupakan pendukung adat, yang menciptakan dan melestarikan semua adat-istiadat yang berlaku dalam masyarakat.

2.3. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme simbolik menunjuk pada sikap khas dari interaksi antar manusia. artinya manusia saling menerjemahkan dan mendefenisikan tindakannya baik dalam interaksi dengan orang lain maupun dengan dirinya sendiri. Proses interaksi yang terbentuk melibatkan simbol-simbol, bahasa, ketentuan adat istiadat, agama dan pandangan-pandangan lain.

Menurut Herbert Blumer (dalam Kamanto Sunarto, 2004) pokok pemikiran interaksionisme simbolik ada tiga, yang pertama ialah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya, dimana makna tersebut muncul dari interaksi sosial antara seseorang dengan sesamanya.


(24)

Interaksionisme simbolik digunakan untuk menjelaskan suatu tindakan bersama, pada saatnya nanti akan membentuk struktur sosial atau kelompok-kelompok melalui interaksi yang khas. Menurut Soeprapto (dalam Dadi Ahmad, 2008), teori ini mengasumsikan bahwa individu-individu melaui aksi dan interaksinya yang komunikatif, dengan menggunakan simbol-simbol bahasa serta isyarat lainnya yang akan mengonstruk masyarakatnya.

Menurut Herbert Blumer (Poloma, 2010) interaksionisme simbolik bertumpu pada tiga premis, yaitu:

1. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.

2. Makna tersebut berasal dari interaksi sosial dengan orang lain.

3. Makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial berlangsung.

Menurut Blumer (Poloma, 2010) Interaksionisme simbolis yang diketengahkan mengandung sejumlah ide-ide dasar, yang dapat diringkas sebagai berikut:

1. Masyarakat terdiri dari manusia yang berinteraksi. Kegiatan-kegiatan tersebut saling bersesuaian melalui tindakan bersama, membentuk apa yang dikenal sebagai organisasi atau struktur sosial.

2. Interaksi terdiri dari bebrbagai kegiatan manusia yang berhubungan dengan kegiatan manusia lain. Interaksi-interaksi nin simbolis mencakup stimulus, respon-respon yang sederhana.


(25)

3. Obyek-obyek, tidak mempunyai makna yang intrinsik, makna lebih merupakan produk interaksi-simbolis. Obyek-obyek dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori yang luas: (a) obyek fisik, seperti meja, tanaman, atau mobil; (b) obyek sosial seperti ibu, guru, menteri, atau teman; dan (c) obyek abstrak seperti nilai-nilai, hak dan peraturan

4. Manusia hanya mengenal obyek eksternal, mereka dapat melihat dirinya sebagai obyek

5. Tindakan manusia adalah tindakan interpretasi yang dibuat oleh manusia itu sendiri

6. Tindakan tersebut saling dikaitkan dan disesuaikan oleh anggota-anggota kelompok, hal ini yang disebut sebagai tindakan bersama yang dibatasi sebagai organisasi sosial dari perilaku tindakan-tindakan berbagai manusia. Sebagian besar tindakan bersama tersebut berulang-ulang dan stabil, melahirkan apa yang disebut oleh para sosiolog sebagai “kebudayaan” dan “aturan sosial”

2.4. Defenisi Konsep

Konsep adalah istilah yang terdiri dari satu kata atau lebih yang menggambarkan suatu gejala atau menyatakan suatu ide maupun gagasan untuk mengetahui penjelasan, maksud, dan pengertian. Defenisi konsep yang digunakan sebagai konteks penelitian ini antara lain sebagai berikut:


(26)

1. Prestise

Prestise adalah wibawa yang berkenaan dengan prestasi atau kemampuan seseorang (KBBI). Prestise dalam hal ini adalah suatu kebanggaan ataupun kehormatan yang diperoleh seseorang karena telah mencapai padangan hidup ideal dalam masyarakat suku Batak Toba yakni hagabeon, hamoraon, dan hasangapon. Prestise dapat juga diartikan sebagai pengakuan sosial terhadap kedudukan tertentu, tingkat tertentu pada posisi-posisi yang dihormati.

2. Kebudayaan

Menurut E.B. Taylor dalam Soerjono Soekanto (2012), Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

3. Upacara Kematian Suku Batak Toba

Upacara merupakan rangkaian atau kegiatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat-istiadat, agama, dan kepercayaan. Upacara juga dapat diartikan sebagai perayaan yang dilakukan sehubungan dengan peristiwa penting. Upacara kematian suku Batak Toba adalah ritual yang diberlakukan kepada seseorang yang telah meninggal berdasarkan umur dan statusnya.

4. Dalihan Na Tolu

Dalihan na tolu adalah sistem hubungan sosial yang terdapat pada masyarakat Batak dan terdiri dati tiga unsur kekerabatan, yakni:


(27)

a. Somba marhula-hula

Hormat pada kelompok ataupun keluarga marga pihak istri.

b. Manat mardongan tubu

Menjaga hubungan baik dengan kelompok ataupun orang-orang yang semarga.

c. Elek marboru

Menjaga hubungan baik dengan kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan.

5. Suhut

Orang yang melaksanakan satu olaon dan bertanggung jawab atas ulaon tersebut.

6. Hula-hula

Mertua dari Suhut, atau dapat juga diartikan sebagi kelompok atau keluarga dan marga dari pihak istri.

7. Boru

Kelompok orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan.

8. Piso-piso

Berupa uang ataupun kerbau yang diberikan kepada hula-hula sebagai tanda penghormatan.

9. Bius

Tokoh-tokoh adat yang berasal dari daerah sekitar tempat tinggal si pelaksana kegiatan adat.


(28)

10. Tilahaon

Kondisi seseorang apabila anaknya meninggal.

11. Punguan

Kumpulan atau kelompok masyarakat berdasarkan, marga, tempat tiggal, ataupun pekerjaan.

12. Soit

Bagian dari daging yang diberikan kepada hula-hula sebagai tanda penghormatan karena telah di berikan ulos.

13. Dongan Sahuta

Orang-orang yang tinggal dalam satu wilayah adat atau sekarang serinng disebut dengan STM (Serikat Tolong Menolong)

14. Tugu atau Tambak

Tempat penguburan orang-orang yang telah berhasil mencapai pandangan hidup yang dianggap ideal dalam suku Batak Toba.


(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif berusaha memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut perspektif peneliti itu sendiri. (Husaini Usman dan Purnomo Setiady, 2009)

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tarutung, Tapanuli Utara. Adapun yang menjadi alasan pemilihan lokasi tersebut adalah:

1. Tarutung atau yang lebih dikenal dengan Silindung merupakan salah satu tempat yang menjadi daerah asal marga-marga yang ada dalam Suku Batak Toba yaitu Si Opat Pusoran.

2. Tarutung merupakan salah satu wilayah dimana mayoritas masyarakatnya adalah suku Batak Toba yang masih mempertahankan adat istiadat khususnya upacara kematian.

3.3. Unit Analisis dan Informan 3.3.1. Unit Analisis

Unit analisis yang dimaksudkan dalam suatu penelitian adalah satuan tertentu yangg diperhitungkan sebagai subjek penelitian (Ari Kunto,


(30)

2006). Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah tokoh adat dan masyarakat suku Batak Toba yang pernah terlibat dalam upacara kematian Suku Batak Toba.

3.3.2. Informan

Informan adalah orang-orang yang menjadi sumber informasi dalam penelitian. Informan yang dianggap sebagai orang yang menguasai dan memahami data, informasi ataupun fakta dari suatu objek penelitian. Penentuan informan kunci ini dilakukan dengan teknik snow ball, yaitu informan berikutnya ditentukan berdasarkan keterangan yang diperoleh dari informan sebelumnya yang dapat lebih menunjang tujuan penelitian yang bersangkutan.

Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

c. Tokoh adat (Parhata) yang menguasai adat dalam suku Batak Toba. Alasan peneliti memilih Parhata sebagai informan karena merupakan orang yang mengatur tata cara berlangsungnya upacara adat pada masyarakat Batak Toba. Dalam penelitian ini yang dijadikan sebagai informan adalalah Parhata yang merupakan anggota dari Lembaga Dalihan Na Tolu Kabupaten Tapanuli Utara dan Parhata dari Parsadaan-parsadaan marga yang ada di Tarutung.

d. Masyarakat yang berpengalaman dan memiliki pengetahuan mengenai tradisi upacara kematian suku Batak Toba. Masyarakat dalam hal ini adalah masyarakat yang pernah mengalami ataupun menerapkan penaikan status keluarganya yang meninggal dari Mate Sari Matua ke


(31)

Mate Saur Matua, serta masyarakat yang pernah terlibat dalam upacara kematian orang yang di naikan statusnya di Sari Matua ke Saur Matua.

3.4. Data dan Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data atau informasi dalam penelitian dilapangan, maka diperlukan adanya alat pengumpulan data. Dalam proses pengumpulan data dan informasi, peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data agar seseuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peneliti dalam mengolah data dan informasi yang diperoleh dilapangan. Data dalam sebuah penelitian dapat digolongkan menjadi dua, yakni data primer dan data sekunder.

3.4.1. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah: a. Observasi

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan langsung terhadap berbagai gejala yang tampak pada saat penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui lebih jelas kondisi ataupun situasi suatu objek penelitian. Adapun yang yang menjadi bahan observasi dalam penelitian ini adalah pengamatan langsung kepada masyarakat suku Batak Toba yang menerapkan tradisi upacara kematian di Kecamatan Tarutung.

b. Wawancara Mendalam

Wawancara adalah proses tanya jawab secara langsung dengan informan, dengan atau tanpa menggunakan pedoman wawancara.


(32)

Melalui wawancara, peneliti akan memiliki pengetahuan yang lebih mendalam fenomena yang terjadi, dimana hal itu tidak bisa ditemukan hanya dengan teknik observasi. Dalam hal ini peneliti akan mewawancarai tokoh-tohoh adat (parhata) dan masyarakat Suku Batak Toba yang ada di Kecamatan Tarutung.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Data ini sebagai salah satu aspek pendukung keabsahan suatu penelitian. Data sekunder dapat berupa sumber ataupun referensi tertulis yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam poenelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil informasi dari buku, referensi, majalah, jurnal, maupun bahan dari situs-situs internet dan hasil penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan masalah yang diteliti.

3.5. Interpretasi Data

Menginterpretasikan data merupakan kegiatan mengorganisasikan data dalam susunan-susunan tertentu yang menuju pada kegiatan analisis data. Analisis data ditandai dengan pengolahan dan penafsiran data yang diperoleh dari setiap informasi baik melalui pengamatan, wawancara atau catatan lapangan lainnya yang telah ada melalui penelitian terdahulu yang kemudian dipelajari dan ditelaah. Pada tahap selanjutnya adalah penyusunan data dalam satuan-satuan yang kemudian dikategorikan. Kategori tersebut berkaitan satu sama lain dan


(33)

diinterpretasikan secara kualitatif. Interpretasi data merupakan proses pengolahan data dimulai dari tahap mengedit data sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti kemudian diolah secara deskriptif berdasarkan apa yang terjadi dilapangan. 3.6. Keterbatasan Penelitian

Keterbatasan penelitian ini mencakup kemampuan dan pengalaman peneliti untuk melakukan penelitian ilmiah. Terkait dengan keterbatasan waktu dan kendala dalam melakukan observasi. Terlepas dari kendala diatas peneliti mneyadari keterbatasan dalam proses penelitian yang dilakukan. Meskipun demikian peneliti berusaha untuk melaksanakan peneletian semaksimal mungkin agar mendapatkan hasil yang akurat.


(34)

BAB IV

DESKRIPSI DAN HASIL ANALISIS DATA

4.1. Deskripsi Lokasi

4.1.1. Sejarah Silindung

Silindung pada awalnya adalah daerah yang dihuni oleh Guru Mangaloksa Hasibuan yang datang merantau dan akhirnya menikah dengan yang boru Pasaribu. Mereka memiliki keturunan yang kemudian memakai nama anak-anaknya tersebut menjadi marga-marga baru yang sampai saat ini menjadi marga asli dari daerah Silindung. Marga-marga tersebut antara lain adalah Hutagalung, Hutabarat, Hutatoruan, Lumbantobing, dan Panggabean. Mereka dikenal dengan sebutan “ Si Opat Pusoran”. Saat ini masyarakat yang bermukim dalam kawasan Silindung sudah lebih bervariasi karena banyaknya perantau yang datang untuk bekerja ke daerah tersebut.

Masyarakat Silindung sampai saat ini masih mempertahankan adat istiadat yang berlaku dalam kebudayaan Batak, terlihat dengan banyaknya kumpulan-kumpulan marga Batak. Masyarakat beranggapan bahwa mengikuti kegiatan-kegiatan adat adalah sebuah kewajiban.

Pelaksanaan upacara-upacara adat seperti upacara kematian di daerah Silindung dan daerah Batak lainnya memang memiliki perbedaan, seperti dalam buku Jambar Hata yang ditulis oleh T.M Sihombing yang meyebutkan tata cara pelaksanaan upacara tersebut yang tersebut berlaku


(35)

di daerah Silindung, belum tentu di daerah lain menjalankan hal yang sama.

Untuk sejarah nama “Tarutung”, berasal dari Bahasa Batak Toba yang artinya durian. Sampai pada awal abad ke-19 kota Tarutung dulunya sudah ramai dikunjungi oleh orang yang datang dari daerah Silindung, Humbang, Samosir, Toba , Dairi, termasuk dari arah selatan seperti Pahae, Sipirok, maupun sekitar Sibolga dan Barus untuk melakukan transaksi dagang. Pada awalnya transaksi perdagangan tradisional ini dilakukan disebuah lokasi perkampungan yang berpusat di bawah pohon beringin rindang yang disebut dengan Onan Sitahuru di Desa Sait Ni Huta. Konon beringin tersebut masih tumbuh dan berusia sekitar 200 tahun. Perdagangan pada masa itu masih dominan menggunakan sistem barter. Komoditi barang kebutuhan sehari-hari seperti bahan pangan, ternak, ikan asin, garam, beras, tembakau, umbi-umbian, termasuk juga komoditi ekspor saat itu, seperti kemenyan yang berasal dari daerah Humbang, Pahae, dan Silindung. Semasa bergejolaknya Perang Paderi (1816 - 1833) maka kegiatan perdagangan di pasar tradisional ini terhenti karena pasukan Bonjol yang dikomandoi oleh orang-orang Batak dari selatan meluluhlantakkan kehidupan masyarakat Batak Utara yang dimulai dari kawasan Silindung dan menyebar sampai ke kawasan Batak lainnya di Toba. Perang yang membawa bencana peradaban Bangsa Batak ini meruntuhkan keangkuhan orang yang berada di kawasan pusat Tanah Batak yang merasa dirinya sebagai titisan para dewa. Perampasan harta benda, pemerkosaan, pengajaran ajaran-ajaran Islam menggantikan


(36)

kepercayaan atas satu Tuhan yang disebut dengan Mula Jadi Nabolon, dan pembumihangusan perkampungan yang khas dengan rumah-rumah Bataknya, termasuk produk-produk ilmu pengetahuan seperti karya tulis. Oleh karena itu, di kawasan Silindung sangat jarang terlihat bangunan rumah khas Batak. Pasukan Paderi meninggalkan Silindung karena banyak dari mereka yang mati tanpa diketahui sebnya. Mereka beranggapan itu merupakan kutukan, sehingga mereka pergi menyelamatkan diri dari kematian misterius tersebut. Kepergian pasukan Paderi membuat daerah Silindung seperti daerah tak berpenghuni . Lambat laun penduduk turun dari gunung dan kembali membuka perkampungannya. Seiring berjalannya waktu, penduduk semakin ramai dan hal itu membuat bangkitnya semangat hidup masyarakat untuk melakukan kegiatannya. Namun, pada saat yang sama tanah Batak mulai dikuasai oleh Tentara Belanda. Mereka mendirikan markasnya dipusat Kota Tarutung yang sekarang disebut Tangsi. Setelah itu datanglah Nommensen dengan ajaran Kristen pada tahun 1864. Nommensen merasa aman melakukan tugasnya karena di Daerah Silindung hampir tidak ada yang melakukan perlawanan. Namun ada satu kejadian dimana Nommensen diikat dipohon beringin Onan Sitahuru dan nyaris dibunuh oleh orang-orang Batak yang merasa peradabannya sudah tercemar akibat keatangan bangsa berkulit putih. Perdagangan yang yang dulunya berkembang di Onan Sitahuru mulai menampakkan kesibukannya, namun tempatnya sudah berganti menjadi di bawah kawasan Tangsi yang dikuasai Belanda dan disekitar itu berdiri perkampungan yang bernama Hutatoruan. Para pedangang


(37)

melakukan aktivitasnya di dekat tangsi yang tentu saja menguntungkan para militer Belanda dan keluarganya yang tinggal di kawasan tangsi tersebut. Kawasan itu resmi menjadi pusat perdagangan, dan Belanda menanam sebuah pohon durian (Tarutung) pada tahun 1877. Setelah sekitar 60 tahun lamanya maka dibukalah kembali kegiatan pasar tradisional dibawah pohon durian tersebut yang kemudian berkembang menjadi sebuah kota yang disebut dengan Kota Tarutung.

4.1.2. Keadaan Geografis

Secara geografis Kecamatan Tarutung, sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Sipoholon, sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Pahae Julu, sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Adiankoting, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Siatas Barita dan Kecamatan Sipahutar. Secara astronomis, Kecamatan Tarutung sendiri berada pada posisi 010 54” – 020 07” Lintang Utara dan 980 52” – 990 04” Bujur Timur.

4.1.3. Luas Wilayah

Kecamatan Tarutung sendiri berada pada ketinggian 900 s/d 1.200 meter di atas permukaan laut serta memiliki luas 107,68 Km2. Kecamatan ini meliputi 24 Desa dan 7 Kelurahan.

4.1.4. Jumlah Penduduk

Komposisi penduduk Kecamatan Tarutung berdasarkan jenis kelamin terlihat pada Tabel 4.1 di bawah ini:


(38)

Tabel 4.1. Jumlah Penduduk berdasarkan Jenis Kelamin

No Desa/ Kelurahan Lk % Pr % Total

1 Siandor-andor 296 50,16% 294 49,83% 590 2 Hutapea Banuarea 464 46,03% 544 53,96% 1008

3 Parbubu Pea 236 49,06% 245 50,93% 481

4 Parbubu II 309 45,77% 366 54,22% 675

5 Parbubu Dolok 613 53,39% 535 46,60% 1148 6 Hutatoruan VIII 225 46,39% 260 53,60% 485

7 Parbubu I 546 49,81% 550 50,18% 1096

8 Hutatoruan I 880 47,64% 967 52,35% 1847

9 Sosunggulon 442 44,33% 555 55,66% 997

10 Parbaju Toruan 628 50,56% 614 49,43% 1242

11 Hapoltahan 413 47,96% 448 52,03% 861

12 Hutatoruan IV 437 48,82% 458 51,17% 895 13 Aek Siansimun 519 48,01% 562 51,98% 1081 14 Hutatoruan V 323 46,87% 366 53,12% 689 15 Hutatoruan VI 330 50,38% 325 49,61% 655 16 Hutatoruan XI 736 48,07% 795 51,92% 1531 17 Hutatoruan IX 594 48,37% 634 51,62% 1228 18 Hutatoruan X 2234 48,71% 2352 51,28% 4586 19 Hutatoruan VII 2682 48,48% 2850 51,51% 5532 20 Partali toruan 1389 48,04% 1502 51,95% 2891 21 Parbaju Tonga 538 48,33% 575 51,66% 1113 22 Simamora 1193 48,85% 1249 51,14% 2442 23 Hutagalung Siwalu Ompu 623 49,76% 629 50,23% 1252 24 Siraja Oloan 653 49,17% 675 50,82% 1328

25 Hutauruk 305 53,04% 270 46,95% 575

26 Parbaju Julu 495 48,81% 519 51,18% 1014 27 Partali Julu 582 48,90% 608 51,09% 1190 28 Sitampurung 418 50,30% 413 49,69% 831 29 Jambur Nauli 557 50,54% 545 49,455 1102

30 Sihujur 243 52,71% 218 52,71% 461

31 Hutatoruan III 162 50,94% 156 49,05% 318 Total 20065 48,80% 21079 51,26% 41114 Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2015

Data terakhir yang di ambil pada tahun 2015 oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Utara, menunjukkan bahwa jumlah penduduk di Kecamatan Tarutung sebanyak 41. 144 jiwa yang terdiri dari


(39)

20.065 berjenis kelamin laki-laki dan 21.079 yang berjenis kelamin perempuan.

4.1.5. Mata Pencaharian penduduk

Kecamatan Tarutung memiliki penduduk yang mayoritas penduduknya bekerja pada sektor pertanian. Selanjutnya adapula masyarakat yang bekerja padasektor lainnya, seperti PNS, Guru, dan Wiraswasta. Selengkapnya dapat dilihat pda tabel berikut:

Tabel 4.2.Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

No Mata Pencaharian Jumlah

1 Petani 11846

2 PNS 163

3 Guru 888

5 Wiraswasta 1042

Sumber: BPS Tapanuli Utara Tahun 2014

Tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas penduduk di Kecamatan tarutung bermata pencaraharian sebagai petani yakni 11848 orang, 163 berprofesi sebagai PNS, 888 sebagai guru, dan sebanyak 1042 orang adalah Wiraswasta.

4.1.6. Sarana dan Prasara

Sarana dan Prasarana yang ada dalam sebuah wilayah adalah suatu pelengkap yang berfungsi sebagai fasilitas bagi masyarakat dalam menjalankan aktivitas dan fungsinya. Adapun yang menjadi sarana dan prasarana yang terdapat di Kecamatan Tarutung dapat dilihat pada tabel di bawah ini.


(40)

Tabel 4.3.Jumlah Sarana Pendidikan Kecamatan Tarutung

No Sekolah Negeri Swasta Jumlah

1 TK 2 8 10

2 SD 34 6 40

3 SMP 6 1 7

4 SMA 3 4 7

5 SMK 0 2 2

6 Universitas 1 0 1

Sumber: BPS Kabupaten Tapanuli Utara

Tabel diatas menunjukkan bahwa TK yang ada di Kecamatan Tarutung berjumlah 10 sekolah yakni, 2 Negeri dan 8 Swasta. Ada sebanyak 40 Sekolah SD yang terdiri dari 34 SD Negeri dan 6 SD Swasta. Pada tingkat SMP ada 7 sekolah yang terdiri dari 6 Negeri dan 1 Swasta.Selanjutnya SMA berjumlah 7 sekolah yakni, 3 SMA Negeri dan 1 SMA SWASTA. Sekolah SMK diri dari 2 SMK Swasta. Pada tingkat Perguruan tinggi ada sebuah Universitas.

Selanjutnya, sarana peribadatan yang ada di Kecamatan Tarutung terdiri dari 3 Masjid, 2 Langgar/ Musollah, 2 Gereja Katolik, dan 85 Gereja Protestan. Banyaknya Gereja Protestan di Tarutung secara tidak langsung menunjukkan bahwa mayoritas penduduk yang bermukim di daerah tersebut beragama Protestan. Gereja sebagai rumah ibadah terbanyak yang terdapat di Kecamatan Tarutung dapat di lihat pada tabel berikut:


(41)

Tabel 4.4. Jumlah Sarana Peribadatan Kecamatan Tarutung

No Rumah Ibadah Jumlah

1 Masjid 3

2 Langgar/ Musollah 2

3 Gereja Katolik 2

4 Gareja Protestan 85

Total 92

Sumber: BPS Tapanuli Utara 2014

4.1.7. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Tarutung

Tarutung yang dikenal sebagai salah satu daerah asal marga yang ada pada masyarakat BatakToba, yakni Si Opat pusoran yang terdiri dari marga Hutabarat, Panggabean, Hutagalung, Hutapea, dan Lumban Tobing. Kegiatan adat merupakan bagian penting dalam keseharian masyarakat Tarutung. Hal ini terlihat dari antusiasme masyarakat menghadiri setiap kegiatan adat yang melibatkan dirinya. Padaawalnya, upacara adat yang berlaku pada seluruh masyarakat Batak Toba adalah sama, namun seiring perkembangan zaman, muncul perbedaan pelaksanaan adat pada masih masing daerah Batak, karena disesuaikan dengan kondisi masyarakatnya.

Adapun tahapan-tapan tahapan adat istiadat yang berlaku dalam kehidupan etnis Batak Toba, yaitu:

1. Pasahat Ulos Tondi

Acara ini dilakukan pada saat usia kandungan memasuki tujuh bulan, ditandai dengan pemberian ulos oleh pihak parboru.


(42)

2. Manaruhon Aek Ni Utte

Kegiatan ini dilakukan setelah si anak lahir, hal ini berutujuan agar si ibu dan anak selalu sehat, asinya lancar, dan darahnya u bersih.

3. Pemberian nama (Mangalap Goar)

Bagi masyarakat yang beragama Kristen acara ini disebut dengan Tardidi, dan untuk masyarakan yang beragama Islam, disebut dengan Aqiqah atau mengayun anak.

4. Malua

5. Marunjuk (Pernikahan)

6. Upacara Kematian

Di wilayah Tapanuli Utara, dibentuk sebuah lembaga yang musyawarah yang mengikutsertakan para penatua adat yang benar-benar memahami, menguasai dan menghayati adat istiadat di lingkungannya. Lembaga ini disebut dengan LADN (Lembaga Adat Dalihan Na Tolu). Lembaga tersebut beranggotakan parhata-parhata dari berbagai marga. Lembaga ini bertugas melaksanakan kegiatan dalam rangka melestarikan dan mengembangkan kebuadayaan daerah, yakni adat istiadat. Beberapa tradisi dalam masyarakat Batak yang masih dipertahankan hingga pada saat ini, antara lain:

1. Bagi sebagian masyarakat pertanian di Tarutung masih menganut sistem marsiadapari, yaitu saling gotong royong mengerjakan lahan pertanian dengan menggunakan tenaga tanpa digaji dan sistemnya bergantian ketempat lahan yang lain.


(43)

2. Apabila ada ternak mati, maka akan disembelih oleh masyarakat setempat. Daging akan dibagi rata kepada seluruh warga yang turut berpartisiapasi dalam kegiatan tersebut. Setiap masyarakat yang mendapatkan daging akan dikenakan biaya.

3. Marsihiol-sihol, apabila seseorang yang kembali dari tanah

perantauan, haruslah membawa makanan (mamboan sipanganon), dan mengajak tetannga di sekitar rumah untuk makan bersama.

4.2. Profil Informan

Jumlah informan dalam penelitian ini sebanyak sepuluh orang, dimana informan tersebut dianggap memahami bagaimana pelaksanaan upacara kematian pada adat Batak.

1. P. Lumban Gaol (Lk, 57 tahun)

P. Lumban Gaol merupakan salah seorang parhata dari Punguan PATOMBOR (Parsadaan Toga Marbun Boru Bere/ Ibebere) dan PORLUGABE (Pomparan Lumban Gaol Boru, Bere) kota Tarutung. Ayah dari seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki ini juga merupakan seorang Sintua di HKBP Huta Gur-Gur. Informan mengaku sering terlibat dalam ulaon-ulaon adat Saur Matua baik sebagai Hasuhuton, Parhata, maupun hanya sebagai hadirin yang ada di wilayah Tarutung dan Sipoholon. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan informan, kebanyakan perubahan yang terjadi pada pelaksanaan dikarenakan oleh pengaruh agama yang sedikit banyaknya telah mengubah


(44)

pola pikir masyarakat Batak yang sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan Batak.

2. Manganar Togatorop (Lk, 71 tahun)

Pria yang sekarang menjabat sebaga Ketua Umum PATOGAB (Punguan Togatorop Boru, Bere) Rura Siliindung ini merupakan ayah dari lima orang anak dan 6 orang cucu. Informan bukan merupakan penduduk asli Silindung melaikan perantau dari luar daerah. Mereka tinggal di Tarutung karena ditugaskan untuk bekerja di Bank BRI Cabang Tarutung. Komplek tempat mereka tinggal sebagian besar penduduknya adalah pendatang, mereka membentuk STM yang sampai saat ini mempertahankan pelaksanaan kegiatan-kegiatan adat Batak Toba yang berlaku didaerah Silindung. Mereka tidak mempunyai Parrajaon/Raja Huta atau yang sering disebut dengan Raja Bius karena mereka adalah pendatang. Saat ini informan hanya tinggal berdua dengan istrinya Boru Sitompul yang merupakan seorang pensiunan guru. Setelah pesiun informan lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan-kegiatan adat dan aktif di Gereja. Orang tua dari informan dulu dinyatakan meninggal pada posisi Saur Matua, meskipun masih ada anaknya yang belum menikah. Pihak keluarga tahu bahwa sebenarnya orangtuanya masih berada pada posisi Sari Matua. Dalam pelaksanaan Tonggo Raja informan dan pihak keluarga yang lain mengajukan permohonan agar Raja-Raja Bius dan peserta Tonggo Raja yang lain bersedia menaikkannya menjadi Saur Matua. Dalam wawancara yang dilakukan dengan informan


(45)

menyebutkan bahwa selain kerap kali mengahadiri upacara Saur Matua, keluarganya pun melakukan upacara tersebut.

3. Parulian Lumban Tobing (Lk, 57 tahun)

Informan ini merupakan seorang salah satu penduduk asli dari Desa Aek siansimun, Tarutung yang lazim disebut dengan Raja Huta. Untuk daerah tempat tinggalnya ini mengaku sudah banyak perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Kalau untuk sekarang ini sudah jarang ditemui orang yang benar-benar mati dalam posisi Saur Matua ataupun Mauli Bulung. Perubahan ini terjadi karena adanya anggapan syarat-syarat yang dibuat sebagai acuan agar seseorang dikatakan Saur Matua untuk sekarang sudah sangat sulit untuk dipenuhi. Segala kekurangan tersebut sudah dapat ditutupi dengan ukuran Hasangapon seseorang.

4. Drs. Ebsan Sinaga (Lk, 77 tahun)

Pria yang khas dengan rambut putihnya ini merupakan seseorang tokoh yang cukup dikenal di Kota Tarutung karena keaktifannya dalam berbagai organisasi. Informan sangat sulit dijumpai kerena kesibukannya dalam kegiatan-kegiatan adat yang berada dalam wilayah Tapanuli Utara. Informan merupakan Sekretaris Lembaga Adat Dalihan Na Tolu Tapanuli Utara (LADN Taput) yang berpusat di Tarutung. Informan juga pernah menjabat sebagai Kadis Pendidikan Kabupaten Dairi. Sampai saat ini informan juga masih aktif sebagai parhata di dalam Punguan Marga Sinaga. Informan berpendapat bahwa sangatlah penting menjaga Dalihan Na Tolu, membina hubungan baik dengan seluruh masyarakat yang berada


(46)

disekitarnya. Apabila hubungan telah terjalin dengan baik akan terbuka kemungkinan permohonan penaikan status kematian dapat dinaikkan menjadi Saur Matua. Pada intinya dalam kehidupan bermasyarakat yang paling penting adalah kebersamaan dan saling menghormati, maka masing-masing individu harus menjaga etikanya.

5. Hulman P. Sinambela (Lk, 54 tahun)

Informan berikut bertempat tinggal di Desa Parbubu Pea Tarutung. Menurut pengakuannya, informan merupakan salah seorang tokoh adat yang sering di jadikan sebagai narasumber oleh peneliti maupun mahasiswa yang melakukan penelitian tentang budaya Batak, karena dianggap memberikan jawaban yang sesuai untuk memecahkan masalah-masalah yang ditanyakan oleh sipeneliti. Untuk sekarang ini selain sebagai Guru informan juga merangkap sebagai Parhata dari Punguan marga Sinambela dan juga Sintua di Gerejanya. Dalam Ulaon Saur Matua sendiri, informan pernah menjadi Boru dalam upacara kematian mertuanya. Mereka selaku keluarga menginginkan status kematian mertuanya tersebut adalah Saur Matua. Karena dianggap sebagai seseorang yang yang dituakan dalam lingkungannya, maka permohonan tersebut dikabulkan oleh Bius.

6. Belman Panjaitan (Lk, 44 tahun)

Informan adalah seorang suami dari Boru Aritonang yan juga merupakan seorang guru di SMP N 1 Tarutung. Pria yang setahun belakangan menjabat sebagai Kepala Sekolah di SMA N.2 Tarutung ini memiliki tiga orang anak, yakni dua putera dan satu puteri. Informan


(47)

membenarkan adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan upacara Saur matua, misalnya waktu waktu pelaksanaan yang sekarang lebih dipersingkat. Agama-agama yang dianut oleh masyarakat Batak juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut

7. Saut Hutabarat (Lk, 67 tahun)

Informan ini merupakan seorang Parhata dari Punguan Marga Hutabarat ini beralamat di Desa Parbaju Julu, Tarutung. Informan adalah suami dari Boru Nainggolan. Sebelum pensiun, informan bekerja di Dinas Perhubungan, Kabupaten Tapanuli Utara. Untuk saat ini informan bekerja dengan meneruskan usaha pertanian. Informan adalah penduduk asli dari Silindung mengingat bahwa marga Hutabarat merupakan salah satu marga Si Opat Pusoran yang memang berasal dari Silindung. Pelaksanaan kegiatan adat khususnya di daerah Silindung memang mengalami perubahan jika dibandingkan dengan yang dulu, salah satunya mengenai tingkatan kematian yang ada dalam masyarakat Batak. Menurut informan yang merupakan penggemar batu akik ini penaikan status kematian seseorang menjadi Saur Matua bukan sebuah hal yang aneh lagi. Dapat dikatakan hampir semua orang yang meninggal dalam usia 50 tahun keatas melakukan hal tersebut. Hal ini terjadi pada hampir semua upacara kematian yang dihadirinya termasuk pada keluarganya sendiri. Apabila dalam Tonggo Raja menyetujui penaikan status tersebut maka itu dianggap sah.


(48)

8. R D Sianturi (Lk, 58 tahun)

Pria yang pada tahun ini genap berusia 58 tahun ini sehari-harinya berprofesi sebagai wiraswasta bersama isterinya Boru Nainggolan. Semenjak pensiun sebagai PNS di Kantor Bupati Tapanuli Utara informan memang lebih memilih untuk berusaha/ wiraswasta bersama isterinya yang telah terlebih dahulu menggeluti kegiatan tersebut. Kegiatan yang tidak sepadat ketika informan masih aktif bekerja membuat informan lebih leluasa mengikuti kegiatan-kegiatan adat yang sedang berlangsung di sekitarnya. Kegiatan-kegiatan adat yang diikuti oleh informan bukan hanya di seputaran daerah Silindung saja. Informan melihat bahwa memang benar adanya banyak perbedaan-perbedaan pelaksanaan upacara adat pada daerah-daerah Batak.

Untuk Ulaon Saur Matua sendiri informan mengatakan bahwa dalam kasus penaikan status kematian seseorang menjadi Saur Matua sudah menjadi hal yang biasa di daerah Silindung. Hal seperti ini bisa terjadi apabila sudah ada kesepakatan dari penatua-penatua pada hari pelaksanaan Tonggo raja dengan aturan-aturan tertentu yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar.

9. Rusmina Lumban Gaol (Pr, 49 tahun)

Informan yang merupakan ibu dari seorang anak perempuan dan dua orang anak laki-laki. Pada tahun 1986 informan ditempatkan sebagai PNS di Tarutung dan selang beberapa tahun kemudian menikah. Sejak menikah informan beserta suami sudah ikut serta dalam kegiatan adat yang dilaksanakan di lingkungan tempat tinggal mereka di Pardangguran.


(49)

Informan yang sejak awal banggapan bahawa kegiatan-kegiatan adat sangat penting untuk diikuti, karena merupakan kewajiban sebagai seorang yang bersuku Batak Toba dan tinggal didaerah adat.

Informan melihat adanya beberapa perbedaan pelaksanaan adat yang terjadi didaerah tempat tinggal orang tuanya yang berada di daerah Toba dengan yang terjadi di Silindung. Hal ini yang membuat informan rajin melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan adat. Informan aktif dalam kegiatan-kegiatan adat baik sebagai pelaksana, maupun hanya sebagai peserta. Pada tahun 2011 yang lalu Ibu dari informan meninggal pada usia 82 tahun di Tarutung. Secara adat kematian tersebut adalah Sori Matua karena sudah ada dua orang puteranya yang meninggal. Namun, yang terjadi pada saat pelaksaan upacaranya adalah Adat Na Gok, yakni adat yang diperuntukkan bagi orang-orang yang mati dalam posisi Saur Matua dan Mauli Bulung. Posisi tersebut akhirnya disetujui menjadi Saur Matua karena dalam Tonggo Raja disebutkan bahwa umurnya sudah panjang, semasa hidup dikenal memiliki pergaulan yang baik dan sudah memiliki banyak keturunan.

10. Marnaek Hutasoit (Lk, 72 tahun)

Pria yang dulunya berprofesi sebagai wartawan di salah satu media cetak ini kemudian beralih profesi menjadi penjual batu akik. Terlihat dari banyaknya pengunjung yang memadati kios yang dibukanya di Simpang Empat Tarutung. Informan membuka usaha ini karena melihat tingginya minat masyarakat Indonesia sekarang ini terhadap berbagai jenis batu alam ini. Meskipun hari-harinya disibukkan dengan urusan batu-batu ini,


(50)

informan mengaku tidak pernah meninggalkan kegiatan-kegiatan adat. Memgingat bahwa pria ini juga merupakan salah satu parhata dari Punguan Marga Huta Soit.

Marnaek juga salah satu informan yang sepakat bahwa ulaon Saur Matua merupakan sebuah adat yang wajib dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Batak, karena ini merupakan agar hutang-hutang adat selama dia hidup dapat dibayarkan.

Matriks 4.1. Informan berdasarkan Nama, Jenis Kelamin, Suku, Usia, Pekerjaan dan Agama

No Nama Jenis

Kelamin

Suku Usia/

Tahun

Pekerjaan Agama Alamat

1 P. Lumban

Gaol

Lk Batak

Toba

57 Guru Protestan Jl.Mayjen

Yunus Samosir

2 Manganar

Togatorop

Lk Batak

Toba

71 Pensiunan Prorestan Komp. Aek

Ristop

3 Parulian

Lumban Tobing

Lk Batak

Toba

57 Wiraswasta Protestan Aek

Siansimun

4 Drs. Ebsan

Sinaga

Lk Batak

Toba

77 Sekretaris

LADN Taput

Protestan Komp.

Stadion

5 Hulman P.

Sinambela

Lk Batak

Toba

54 Guru Protestan Parbubu Pea

6 Belman

Panjaitan

Lk Batak

Toba

44 Guru Protestan Jl. SM Raja

7 Saut

Hutabarat

Lk Batak

Toba

67 Pensiunan

PNS

Protestan Partali Julu

8 R.D.

Sianturi

Lk Batak

Toba

58 Pensiunan

PNS

Protestan Siwaluompu

9 Rusmina

Lumban Gaol

Pr Batak

Toba

49 Guru Katolik Jl. Balige

10 Marnaek

Hutasoit

Lk Batak

Toba


(51)

4.4. Interpretasi Data

4.4.1. Tingkatan Kematian Bagi Masyarakat Batak Toba

Masyarakat menglaklasifikasikan kematian ke dalam beberapa tingkatan, berdasarkan umur dan status orang yang bersangkutan. Hal ini dilakukan karena setiap kematian memiliki upacara kematian tersendiri. 4.4.1.1.Kematian pada Orang-orang yang Belum Menikah

Pada tahapan ini, ada beberapa jenis kematian, yakni Mate Poso-poso (meninggal pada saat masih bayi), Mate Dakdanak (meninggal pada usia anak-anak), Mate Bulung (meninggal pada usia remaja), dan Mate Ponggol ( meninggal pada usia dewasa namun belum menikah). Jenis-jenis kematian seperti ini dianggap belum terlalu mendapatkan perlakuan adat lengkap seperti halnya pada kematian Sari Matua, Saur Matua, dan Mauli Bulung. hanya akan diberikan ulos saput (kain pembalut jenazah). Seperti yang dikatakan oleh Informan yang bernama Parulian (57):

...”ianggo tu na mate poso-poso sahat tu na mate Ponggol, manang angka na so marhasohotan dope, ndang bianaen dope adat ni on, holan ulos saput na dilehon. Molo baua ibana, tulangna mamambahen, molo boru-boru do natoras manang ibotona ma na mambahen. Baru angka hata songon ucapan turut berduka cita ma sian angka na ro. On biasana dibahen dalam bentuk partangianan do.” (untuk jenis kematian Mate Poso-poso sampai Mate Ponggol, ataupun bagi orang-orang yang belum berumah tangga, belum dibuat adat, hanaya akan diberikan ulos saput. Kalau dia laki-laki, tulangnya yang akan memberikan, kalau dia perempuan orang tua atau saudara laki-lakinya yang memberikan. Lalu dilanjutkan dengan ucapan-ucapan turut berduka cita oleh orang-orang yang datang. Hal ini biasanya dilaksanakan dalam bentuk partangiangan).

Wawancara di atas menunjukkan bahwa kematian yang dialami oleh seorang Batak yang belum berumah tangga hanya disimbolkan


(52)

dengan pemberian ulos saput yang diberikan oleh pihak-pihak yang dianggap berhak menurut ketentuan adat. Apabila yang mati adalah laki-laki yang akan menyampaikan ulos saput tersebut adalah pihak tulang ataupun saudara laki-laki dari ibunya, ataupun orang-orang yang semarga dengan ibunya. Selanjutnya, ketika yang mati adalah perempuan yang ulos tersebut akan diberikan oleh orangtua atau saudara laki-lakinya.

4.4.1.2.Kematian pada Orang-orang yang Sudah Menikah

Jenis-jenis kematian seperti ini sering disebut dengan Mate Mangkar, yang terdiri dari Matompas Tataring (perempuan atau isteri yang mati dengan meningalkan anak laki-laki dan perempuan),Matipul Ulu (laki-laki atau suami yang mati dengan eninggalkan anak laki-laki dan perempuan), Punu (orang yang mati dengan memiliki anak perempuan saja), hingga Mate Pupur(orang yang mati tapi belum memiliki anak) sudah mendapat perlakuan adat sebagaimana yang diatur oleh masing-masing daerah. Untuk jenis kematian seperti ini yang sembelih adalah Simarmiak-miak (babi) dan memberi makan orang-orang yang datang pada upacara tersebut. Berikut tahapan upacara kematian yang berlaku di daerah Silindung berdasarkan hasil wawancara dengan informan Manganar (71), yang mengatakan bahwa:

...”acara di jabu, ima Tonggo Raja, Pamasuk tu jabu-jabu, baru pasahat ulos saput. Molo baoa na monding tulangna ma pasahathon, molo boru-boru, hula-hula na ma na pasahathon ulos i. Pasahat tujung ni na mabalu. Molo amanta do na monding hula-hula ni na mabalu ma mangalehon. Molo inanta do na monding, tulang ni na mabalu ma na mangalehon. Ulaon di alaman, hata huhuasi sian Hasuhuton, mandok hata ma Panambol dohot Pamultak, mandok hata sian ale-ale. Dungi manok hata sian Hula-hula. Na masuk di son ima Bona Ni Ari,


(53)

Bona Tulang, Tulang, Hula-hula na marhamaranggi, dohot Hula-hula Pangalapan Boru. Dung sae sude mandok hata di lanjuthon ma tu acara penguburan. Sidung sian udean lanjut ma muse Mangungkap Tujung ni na mabalu.” (acara di rumah adalah Tonggo Raja, memasukkan jenazah ke peti, pemberian ulos saput. Kalau yang meninggal laki-laki yang memberikan ulos adalah tulangnya, kalau perempuan, hula-hulanya lah yang memberikan ulos tersebut. Memberika ulos tujun kepada isteri atau suami orang yang meninggal. Kalau yang meninggal adalah suami hula-hula isteri yang memberikan. Kalau isteri yang meninggal, tulang dari suamilah yang akan menyampaikan ulos tersebut. Acara di halaman, Hata huhuasi dari pihak Hasuhuton, mandok hata dari Panambol dan Pamultak, mandok hata dari Ale-ale. Lalu mandok hata dari Hula-hula. Yang termasuk kedalam pihak hula-hula adalah Bona Ni Ari, Bona Tulang, Tulang, Hula-hula Na Marhamaranggi. Setelah semua selesai dilakukan acara penguburan. Setelah pulang dari kuburan dilanjutkan dengan Mangungkap Tujung dari isteri ataupun suami dari orang yang meninggal).

Acara di dalam Rumah

a. Tonggo Raja atau sering disebut dengan Pangarapotan. Kegiatan ini dilakukan dengan mengundang Raja-raja Bius, Hula-hula, Dongan Tubu, Boru, Raja Huta, dan Dongan Sahuta, guna membicarakan bagaimana pelaksanaan upacara yang akan dilakukan nantinya. Tidak ada ketentuan yang mengatur kapan ataupun pada hari keberapa kegiatan ini diakukan. Selama semua pihak yang diundang bersedia memiliki waktu untuk menghadiri, pada saat itulah Tonggo Raja dilakukan.

b. Pamasuk tu Jabu-jabu, sering disebut dengan mompo yaitu

memasukkan jenazah ke dalam peti mati, yang dilakukan oleh pihak boru, dongan sahuta, dan keluarga yang bersangkutan.


(54)

c. Pasahat Ulos Saput, sama seperti yang dilakukan pada upacara kematian sebelumnya, Ulos Saput akan disampaikan oleh Tulang apabila yang mati adalah laki-laki, dan akan diberikan oleh Hula-hula ketika yang mati adalah perempuan.

d. Pasahat Tujung, yakni pemberian ulos kepada suami atau isteri yang orang yang mati dan dipakaikan seperti kerudung, sebagai tanda bahwa orang tersebut dalam keadaan berduka. Ulos ini akan diberikan oleh pihak parboru ataupun keluarga dari perempuan apabila yang mati adalah laki-laki. Apabila yang mati adalah perempuan, maka yang memberikan ulos tersebut adalah pihak Tulang.

Acara di Halaman

a. Hata Huhuasi (sebagai kata pembukaan yang disampaikan oleh pihak

hasuhuton ataupun penyelenggara upaca tersebut).

b. Mandok hata sian Panambol dan Pamultak, yakni ucapan-ucapan

duka cita dari pihak dongan tubu (orang-orang yang semarga) dan saudara-saudara terdekat.

c. Mandok Hata sian Ale-ale, yang meliputi kata-kata penghibuaran

ataupun ucapan turut berduka cita yang disampaikan oleh teman-teman dan dongan sahuta.

d. Mandok Hata sian Hula-hula, yang terdiri dari Bona Ni ari (pihak ompung dari ayah orang yang meninggal), Bona Tulang (pihak Tulang dari ayah orang yang meninggal, Tulang, Hula-hula Namarhamaranggi (pihak perempuan dari semua marga isteri dari


(55)

saudara-saudara orang yang meninggal) dan Hula-hula Pangalapan Boru (pihak mertua dari orang yang meninggal).

e. Acara Penguburan, dilakaukan berdasarkan tatacara Agama.

f. Mangungkap Tujung, yaitu acara pembukaan ulos Tujung yang

dilakukan oleh puhak hula-hula (ayah atau saudara laki-lakinya). 4.4.1.3. Kematian pada Orang Tua

Pada masyarakat Batak kematian oang tua dibagi menjadi beberapa tingkatan kematian, yaitu Sari Matua (orang tua yang meninggal dan belum menikahkan semua anaknya ,tetapi sudah mempunyai cucu), Saur Matua (orang tua yang meninggal dan telah menikahkan semua anaknya, dan sudah memiliki cucu), dan Mauli Bulung (orang tua yang meninggal,l sudah menikahkan semua anaknya, memiliki cucu dan cicit). Pada pelaksanaan ulaon adat Sari Matua, Saur Matua, dan Mauli Bulung adalah sama (Sianipar, 1991). Hal ini dibenarkan oleh informan Manganar Togatorop (71):

...” dung monding natua-tua i, dibahen ma Tonggo Raja, baru saborngin andorang tu tano manang pagi na i, Mompo ma goarna, pamasukhon tu jabu-jabu. Na adong di si i ma Hula-hula, Tulang, Dongan tubu, Natua-tua Ni Huta, Dongan Sahuta, Boru, dohot Hasuhuton. Dungi dipasahat ma ulos saput dohot ulos sampe tua. Dungi ulaon di alaman ma. Parjolo hata huhuasi sian Hasuhuton, baru muse mandok hata ma sian Panambol dohot Pamultak dohot Ale-ale. Sae i mandok hata ma muse sian hua ima Bona ni Ari, Bona Tulang, Hula-hula namarhamaranggi, Hula-Hula-hula Pangalapan Boru. Molo na saur Matua dohot na Mauli Bulung adong do muse tamba ni Hula-hula ima hula-hula ni anak dohot hula-hula ni Pahompu. Biasana leanon do jambar mangihut, maksudnya jambar diberikan pada masing-masing orang yang mandok hata. Baru acara penguburan. Dung mulak sian udean mandabu jambar ma, dungi panangkok Hula-hula ma laos pasahat


(56)

piso-piso na.” (setelah orangtua tersebut meninggal, dilaksanakanlah Tonggo Raja, lalu malam sebelum acara penguburan ataupun paginya, dilakukan mompo, yakni memansukkan jenazah kedalam peti mati. Yang hadir pada saat itu adalah Hula-hula, Tulang, Dongan Tubu, Natua-tua ni huta, Dongan Sahuta, Boru dan Hasuhuton. Lalu diberikanlah Ulos Saput dan Ulos Sampe tua. Selanjutnya adalah acara dihalaman yang diawali dengan hata huhuasi dari pihak Hasuhuton, lalu mandok hata dari Panambol dan Pamultak dan Ale-ale. Selanjutnya mandok hata dari pihak Hula-hula, yakni Bona ni Ari, Bona Tulang, Hula-hula na marhamaranggi, Hula-hula Pangalapan Boru. Kalau untuk yang Saur Matua dan Mauli Bulung ada tambahan Hula-hula yaitu Hula-hula ni anak dan Hula-hula ni Pahompu.)

Berdasarkan kutipan wawancara diatas, bahwa susunan acara pada saat pelaksanaan Upacara Kematian Sari Matua, Sari Matua, dan Mauli Bulung adalah sebagai berikut:

Acara di Rumah

a. Tonggo Raja /Pangarapotan. Kegiatan ini dilakukan dengan

mengundang Raja-raja Bius, Hula-hula, Dongan Tubu, Boru, Raja Huta, dan Dongan Sahuta, guna membicarakan bagaimana pelaksanaan upacara yang akan dilakukan nantinya. Disini akan disepakati dalam posisi manakah orang tersebut apakah Sari Matua, Sori Matua, Saur Matua, atau Mauli Bulung. Akan di bicarakan pula apakah keluarga menyediakan sigagat duhut (kerbau) sebagai tanda dilaksanakan adat na gok dan kapan acara makan bersama akan dilakukan. Untuk daerah Silindung sendiri adat Na Gok hanya akan dilaksanakan apabila seseorang mati pada tahapan Saur Matua dan Mauli Bulung.


(57)

b. Pamasuk tu Jabu-jabu / mompo, yang dihadiri oleh pihak Hula-hula, Tulang, Dongan tubu, Natua-tua Ni Huta, Dongan Sahuta, Boru, dan Hasuhuton

c. Pasahat Ulos Saput

d. Pasahat ulos Sampe Tua dan Ulos Gabe , yakni ulos yang diberikan oleh Hula-hula kepada suami atau isteri dari orang yang meninggal. Acara di Halaman

a. Hata Huhuasi (sebagai kata pembukaan yang disampaikan oleh pihak

hasuhuton ataupun penyelenggara upaca tersebut).

b. Mandok hata sian Panambol dan Pamultak, yakni ucapan-ucapan

duka cita dari pihak dongan tubu (orang-orang yang semarga) dan saudara-saudara terdekat.

c. Mandok Hata sian Ale-ale, yang meliputi kata-kata penghibuaran

ataupun ucapan turut berduka cita yang disampaikan oleh teman-teman dan dongan sahuta.

d. Mandok Hata sian Hula-hula, yang terdiri dari (1) Bona Ni ari, yakni pihak ompung dari ayah orang yang meninggal), (2) Bona Tulang, yakni pihak Tulang dari ayah orang yang meninggal,(3) Tulang, (4) Hula-hula Namarhamaranggi, yakni pihak perempuan dari semua marga isteri dari saudara-saudara orang yang meninggal, (5) Hula-hula Pangalapan Boru, yakni pihak mertua dari orang yang meninggal. Untuk orang yang mati pada posisi Saur Matua dan Mauli Bulung, ada beberapa tambahan Hula-hula yakni, (1) Hula-hula Ni anak, pihak marga isteri dari anak orang yang meninggal. (2)


(58)

Hula-hula Ni Pahompu, yakni pihak marga isteri dari cucu orang yang meninggal. Acara ini disertai dengan pembagian Jambar Mangihut, yaitu jambar yang akan diberikan kepada masing-masing Hula-hula yang telah selesai mandok hata.

e. Acara Penguburan, dilakaukan berdasarkan tatacara Agama.

f. Mandabu Jambar, yaitu pembagian jambar yang akan diberikan

kepada pihak-pihak yang telah disepakati pada saat Tonggo Raja, antara lain kepada Boru, Dongan Tubu,Hula-hula dan Tulang, serta untuk pihak Hasuhuton sendiri.

g. Panangkok Hula-hula, yaitu membawa pihak Hula-hula masuk ke

dalam rumah untuk diberikan Piso-piso, yakni berupa sejumlah uang ataupun kerbau yang diberikan kepada pihak Hula-hula sebagai tanda penghormatan.

Dari kedua tata cara pelaksanaan upacara kematian yang berlaku pada masyarakat di daerah Silindung tersebut, menunjukkan bahwa prestise seseorang yang meninggal memang benar adanya akan terlihat pada saat dia mati dalam posisi Saur Matua. Apabila pada tahapan kematian Mate Matompas Tataring, Matipul Ulu, Na so marpahompu, Punu, Pupur dan Sari Matua pada umumnya yang disembelih adalah seekor babi, maka pada pada upacara Saur Matua dan Mauli Bulung yang disembelih adalah kerbau. Lain hal seseorang yang mati dalam posisi Sari Matua ataupun Sori Matua, namun keluarga dirasa sanggup menyediakan kerbau tidak menjadi masalah. Seperti yang dikatakan oleh informan yang bernama Saut (67):


(1)

pertentangan didalam masyarakat tersebut, maka pihak Gereja mengeluarkan peraturan bahwa di setiap pembagian jambar, bagian yang diterima oleh masing yang hadir dalam acara tersebut haruslah sama.


(2)

BAB V

PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan dengan hasil analisis wawancara dan keterangan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa Saur Matua dianggap sebagai jenis kematian yang sempurna karena telah mencapai nilai kehidupan ideal yang ada pada masyarakat Batak yakni, Hagabeon (keturunan), Hamoraon (Kekayaan), dan Hasangapon (Kehormatan/Prestise). Hasangapon / kehormatan sendiri dalam masyarakat Batak berkaitan dengan perilaku baik yang ditunjukkan semasa hidup.

Masyarakat Batak cenderung mengejar posisi Saur Matua dikarenakan adanya anggapan bahwa upacara tersebut adalah wajib sebagai tanda dilunasinya hutang-hutang adat selama dia hidup. Selain itu kegiatan-kegiatan seperti ini dianggap sebagai kesempatan untuk bertemu dengan sanak saudara. Saat ini syarat-syarat agar seseorang dikatakan Saur Matua pada kenyataanya sudah banyak yang tidak dipenuhi. Perubahan itu antara lain meliputi, waktu pelaksanaan adat, pembagian jambar, waktu pelaksanaan Tonggo Raja, memudarnya posisi Sori Matua, dan Pelonggaran makna Hagabeon.

Munculnya pergeseran pada pelaksanaan upacara Saur Matua yakni seseorang yang secara adat masih berada pada posisi Sari Matua sudah dapat dinaikkan menjadi Saur Matua. Hal ini terjadi karena beberapa hal antara lain, karena pengaruh ajaran-ajaran agama, perubahan jaman, dan seseorang itu dianggap memiliki status “terhormat” di dalam masyarakat. Penaikan ststus ini


(3)

disahkan apabila semua Raja-Raja Bius menyetujuinya dan keluarga dianggap sanggup untuk melaksanakan Adat Na Gok. Masyarakat beranggapan bahwa penaikan status kematian tersebut bukan merupakan sebuah pelanggaran. Karena dalam Adat batak yang dikatakan pelanggaran adalah segala sesuatu yang tidak mendapatkan persetujuan dari Raja-Raja Bius.

Pada awalnya yang menunjukkan makna simbol status pada pelaksanaan upacara Saur Matua terlihat dari lama pelaksanaan upacara tersebut, jenis ternak yang disembelih, penempatan mayat di Tugu ataupun Tambak, dan jenis peti mati yang digunakan. Namun yang terjadi pada saat ini, beberapa dari simbol tersebut sudah tidak dipakai lagi sebagai mana mestinya, sehingga masyarakat semakin tidak tahu apa syarat yang sesungguhnya.

Untuk masyarakat Batak yang beragama Islam, upacara Saur Matua tetap dilaksanakan dengan catatan penguburan dilakukan sesuai dengan ketentuan agama tersebut. Sedangkan pada aliran Kharismatik upacara berjalan seperti biasa, hanya saja jambar yang dibagikan hanya berupa potongan danging.

b. Saran

Kegiatan-kegiatan adat khususnya upacara kematian yang masih dilaksanakan oleh masyarakat Batak Toba memberikan manfaat positif, karena menjadi motivasi untuk selalu berusaha menjadi manusia yang lebih baik di dalam lingkungan sosialnya. Alangkah baiknya apabila masyarakat tetap mempertahankan tradisi-tradisi tersebut, karena selain merupakan sebuah kearifan lokal kegiatan seperti ini juga dapat mempererat hubungan diantara masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suliarsimi. 2006. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta

Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta. Kencana

Endraswara, Suwardi. 2006. Penelitian Kebudayaan. Sleman: Pustaka Widyatama Jenk, Chris. 2013. Culture. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Harahap, B. H.,& Siahaan, H. M. (1987). Orientasi nilai-nilai budaya Batak Toba: suatu pendekatan terhadap perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing. Jakarta: Sanggar Willem Iskandar

Herusatoto, Budiono. 2008. Banyumas: Sejarah, Budaya, Bahasa dan Watak. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Koentjaranigrat, Prof. Dr. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Pardede, R.A. Lumongga. 2010. Masiseaan Di Ulaon Adat Batak Toba. Medan Poloma, Margaret M. 2010. Sosiologi Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers

Sihombing, T. M. 1989. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat. Pematang siantar: CV. Tulus Jaya

Scott, John. 2012. Teori Sosial Masalah-Masalah pokok dalam sosiologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Siahaan, N. 1964. Sejarah Kebudayaan Batak. Medan: CV. Napitupulu & Sons Sianipar, SHW.1991. Tuho Parngoluan Dalihan Na Tolu Sistem Bermasyarakat

Bangso Batak. Medan: CV. Pustaka Gama

Soekanto, Soerjono. 2012. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers Sunarto, Kamanto. 2000. Pengantar Sosiologi (Edisi Kedua). Jakarta : Lembaga

Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penertbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Taneko, Soleman B. 1986. Konsepsi Sistem Sosial dan Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Fajar Agung

Usman, Husaini dan Akbar, Pournomo Setiady. 2009. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.


(5)

Jurnal:

Ahmadi, Dadi. 2008. Interaksi Simbolik: Suatu Pengantar. MediaTor. vol 8. No 2. Desember 2008

Flora, Hotmaida. Makna Simbol Andung (Ratapan) dalam Upacara Pemakaman Adat Batak Toba di Pekanbaru. Jom FISIP Volume 1 No 2 -Oktober 2014. Jurusan Ilmu Komunikasi - Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Riau

Gunawan. 2013. Kerbau Untuk Leluhur: Dimensi Horizontal dalam Ritus Kematian Pada Agama Merapu. Komunitas 5 (1) (2013) : 93-100. Jurusan Sosiologi Dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Mustafa, Hasan. 2012. Perilaku Manusia Dalam Perspektif Psikologi Sosial. Jurnal Administrasi Bisnis (2011), Vol.7, No.2: hal. 143–156. Jurusan Ilmu Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Katolik Parahyangan

Pinem, Kamarlin. 2013. Upacara Adat Kematian Cawir Metua Pada Etnis Karo di Desa Kutagugung Kecamatan Juhar. Jupiis Volume 5 Nomor I Juni 2013. Jurusan Pendidikan Geografi, Fakultas Ilmu Sosial, UNIMED

Simatupang, Defri Elias. 2008. Upacara Saur Matua : Konsep ”Kematian Ideal” Pada Masyarakat Batak (Studi Etnoarkeologi). Balai Arkelogi Medan.

Simbolon, Christina Juliana dan Rodiatul Hasanah Siregar . 2014. Nilai Hagabeon Dan Upaya Memperoleh Keturunan Pada Pasangan Suku Batak Toba Yang Infertil. Psikologia, 2014, Vol. 9, No. 1, hal. 25-31. Universitas Sumatera Utara.

Singgh, Doddy sumbono. 2010. Prosedur Analisis Stratifikasi Sosial dalam Perspektif Sosiologi, Volume 20. Nomor 1:11-22. Departemen Sosiologi, FISIP, Universitas Airlangga

Susanto, Angga Sakti. 2013 . Membuat Segmentasi Berdasarkan Life Style (Gaya Hidup). Jurnal JIBEKA, Volume 7, No. 2, Agustus 2013 : 1 - 6

Trisanti, Novi. 2013. Upacara Raba’akia Pada Masyarakat Di Kelurahan Bukit Air Manis Kecamatan Padang Selatan Kota Padang. Jurnal sosiologi, Vol. I No.01. Program Pendidikan Sosiologi-Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Padang.

Widiastuti. 2013. Analisis Swot Keragaman Budaya Indonesia. Jurnal Ilmiah Widya. Volume 1 Nomor 1 Mei-Juni 2013. Universitas Darma Persada.


(6)

Sumber lain:

Buletin Sitompul Sibangebange Edisi September 2014

Katalog Badan Pusat statistik Kabupaten Tapanuli Utara : Tarutung dalam Angka .2014