Pembahasan HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, angka penderita kelompok umur 16-18 tahun adalah yang paling kurang. Naufal 2003 mendapat hasil yang sama dalam penelitiannya
dan menjelaskan bahwa hal ini disebabkan oleh gizi mereka dalam tahap normal. Justru hal ini menjelaskan bahwa kecukupan gizi untuk individu akan
mengurangkan resiko menderita penyakit meningitis tuberkulosis. Dalam penelitian ini, untuk faktor sosioekonomi orang tua, frekuensi yang
paling tinggi adalah pada kelompok pendapatan rendah yaitu sebanyak 27 64,3. Sedangkan untuk kelompok sosioekonomi orang tua yang sangat tinggi
didapatkan sebanyak 5 penderita 11,9. Berdasarkan penelitian Lisa 2013, didapati hasil yang sama dimana
kelompok orang tua yang menerima gaji rendah adalah paling banyak yaitu 53,0 untuk penyakit meningitis tuberkulosis. Dalam penelitiannya dikatakan
sosioekonomi keluarga juga mempengaruhi ketumbuhan dari segi fisik dan kesehatan seseorang anak. WHO 2012 menyebutkan 90 penderita tuberkulosis
di dunia menyerang kelompok dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Menurut Badan Pusat Statistik Republik Indonesia 2012, kemiskinan
diukur dengan menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar basic needs approach. Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai
ketidak- mampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan lingkungan yang diukur dari sisi perbelanjaan. Jadi, penduduk
miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata perbelanjaan per bulan di bawah garis kemiskinan.
Dari tabel 5.5 didapati sebanyak 18 penderita 42.9 telah mendapat imunisasi BCG sebelumnya dan 24 penderita 57.1 tidak mendapat imunisasi
BCG sebelumnya. Dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Robert 2015, hasilnya didapati 70 penderita meningitis tuberkulosis anak-anak usia dibawah
18 tahun tidak diimunisasikan dengan vaksin BCG. Dalam penelitian tersebut dikatakan seseorang anak yang di vaksinasi imunisasi BCG memiliki resiko yang
kurang untuk menderita meningitis tuberkulosis.
Dari tabel 5.6 didapati sebelumnya bahwa sebanyak 18 42.9 penderita telah menerima imunisasi BCG. Sebelumnya dalam penelitian ini dapati
kebanyakan sosioekonomi orang tua penderita yang menerima imunisasi BCG adalah kelompok yang menerima gaji yang tinggi. Selain itu, sebanyak 24
57.1 penderita tidak menerima imunisasi BCG dan kebanyakkan adalah daripada kelompok miskin yang menerima gaji yang rendah.
Dari hasil penelitian ini, didapati sebanyak 42 penderita 100 mempunyai skor Tb yang
≥ 6. Semua penderita ini yang sudah didiagnosis dengan penyakit meningitis tuberkulosis telah menerima obat anti tuberkulosis. Hasil
penelitian oleh Amar Whidiyani 2011 menyatakan 17 anak mempunyai nilai skor Tb yang
≥ 6 dan sebanyak 7 anak mempunyai skor Tb 6 dengan keseluruhan sampel yang menderita meningitis tuberkulosis.
Penelitian yang dikendalikan oleh Rina Triasih 2011 dengan jumlah sampel sebanyak 146 anak. Didapati sebanyak 68 penderita 47,0 mempunyai
skor Tb ≥ 6 dan sebanyak 78 penderita 53,0 mempunyai skor Tb 6. Hal ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan pada jenis sampel dimana pada penelitian tersebut disertakan pasien rawat jalan yang gejala klinisnya masih belum
menonjol jadi skor TB juga rendah. Dalam penelitian ini dikatakan salah satu faktor adalah kebanyakkan penderita adalah dari keluarga yang hidup dibawah
garis miskin dan juga tidak menerima vaksinasi BCG. Berdasarkan tabel 5.8 frekuensi tertinggi skor GCS adalah sedang 9-12
yaitu sebanyak 16 penderita 38,1 dan didapati bilangan penderita skor GCS yang paling rendah adalah ringan yaitu 4 penderita 9,5. Hasil yang sejajar
dengan penelitian ini juga didapati oleh Caroline 2009 yaitu sebanyak 217 penderita 39,2 mempunyai skor GCS sedang dan sebanyak 22 penderita
4,0 mempunyai skor GCS ringan dimana jumlah sampel adalah 554 orang. Penelitian oleh Rehman 2014, mendapat hasil yang berbeda dengan
penelitian ini yaitu sebanyak 148 penderita 77,1 mempunyai skor GCS sedang sementara skor GCS ringan hanya didapati pada 37 penderita 19,3 dalam
jumlah sampel sebanyak 192. Dalam penelitian ini juga dikatakan bahwa sakit
kepala dan tanda-tanda meningeal iritasi merupakan gejala umum pada anak-anak usia melebihi 5 tahun.
Berdasarkan penelitian ini didapati sebanyak 31 penderita 73,8 yang telah dilakukan tindakan lumbal pungsi dan sebanyak 11 penderita 26,2 tidak
dilakukan tindakan lumbal pungsi. Menurut penelitian Aktar 2015, hasilnya sejajar dengan penelitian ini yaitu sebanyak 108 penderita 60,0 telah dilakukan
tindakan lumbal pungsi sedangkan sebanyak 72 penderita 40,0 tidak dilakukan. Dalam penelitian ini juga dikatakan penderita meningitis tuberkulosis
mengalami kesulitan kewangan untuk melakukan pemeriksaan klinis pada tahap awal.
Penelitian Anggraini 2011, menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini yaitu sebanyak 72 penderita 51,4 mengikuti tindakan lumbal
pungsi dan sebanyak 68 penderita 48,6 tidak dilakukan lumbal pungsi. Hal ini mungkin disebabkan karena lumbal pungsi adalah satu tindakan invasif dan
kebanyakkan orang tua dan pasien juga sering tidak bersetuju untuk dilakukan pemeriksaan ini. Penelitian ini juga menekankan bahwa harus berhati-hati semasa
melakukan tindakan ini pada anak- anak dibawah umur 5 tahun dan keterlambatan melakukan penegakkan diagnosis akan meningkatkan resiko kecacatan pada
penderita. Berdasarkan tabel 5.10 didapati sebanyak 17 penderita 40,5 meninggal
dunia di rumah sakit semasa penjalanan pengobatan sedangkan sebanyak 14 penderita 33,3 dipulangkan. Hasil yang sama juga didapati dalam penelitian
Dewi 2011, bahwa sebanyak 16 penderita 53,3 meninggal dunia semasa pengobatan dijalankan dan sebanyak 14 penderita 46,7 dipulangkan untuk
mengikuti rawat jalan. Penelitian tersebut mengatakan bahwa kebanyakkan penderita meninggal karena tidak berobat ke tenaga medis pada tahap awal tetapi
hanya bertemu dokter setelah ada gejala yang berat.