IOD Indian Ocean Dipole

El Nino dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu dengan kejadian tahun 19771978, 19821983, 1987, 1991929394 dan 19971998 Pawitan, 1998. Tabel 1. Tingkat Anomali SST terhadap Kondisi ENSO Anomali SST oC Kondisi 3 Sangat kuat 2.5 – 3 Kuat 1.5 – 2.5 Lemah 0 – 1.5 Sangat lemah

2.2. IOD Indian Ocean Dipole

Fenomena global lain yang secara siginifikan mempengaruhi keragaman hujan di Indonesia menurut Boer dkk. 2004 adalah perubahan suhu muka laut di kawasan laut India, yang mirip dengan di kawasan Pasifik fenomena El-Nino . Fenomena tersebut dikenal dengan nama Indian Ocean Dipole IOD yang di kawasan tertentu menunjukkan cara kerja yang berlawanan dengan SOI. Fenomena IOD baru ditemukan pada tahun 1999 oleh Dr. N. H. Saji dan Professor Toshio Yamagata. Dalam makalahnya yang diterbitkan di majalah Nature, mereka mendefiniskan IOD sebagai gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia di sekitar kathulistiwa. Interaksi ini menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian Timur bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra yang menimbulkan aliran massa udara yang berhembus ke Barat. Hembusan angin ini akan mendorong massa air di depannya dan mengangkat massa air dari bawah ke permukaan. Akibatnya, SPL di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan yang cukup drastis, sementara di dekat pantai Timur Afrika tejadi kenaikan SPL. Perbedaan SPL ini anomali positif di sebelah Barat dan anomali negatif di sebelah timur membentuk dua kutub, positif dan negatif, di Samudera Hindia. Seperti halnya El Nino, kejadian IOD direpresentasikan dengan satu indeks yang diberi nama Dipole Mode Index DMI, yaitu perbedaan SPL di bagian barat Samudera Hindia 50 o - 70 o BT, 10 o LS - 10 o LU dan SPL di bagian timur Samudera Hindia 90 o - 110 o , 10 o LS - ekuator. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa IOD mempunyai sifat yang independen terhadap ENSO. Selama 127 tahun terakhir terjadi 14 kejadian IOD positif dan 19 kejadian IOD negatif yang kuat dan 5 kejadian IOD positif dan 7 kejadian IOD negatif yang terjadi bersamaan dengan ENSO Saji et al. 1999; Rao et al. 2002 artinya bahwa 65 yang kuat berlangsung ketika tidak ada kejadian ENSO. Kekeringan hebat yang terjadi pada tahun 1997 merupakan kejadian IOD positif yang terjadi bersamaan dengan ENSO. Sebaliknya apabila IOD negatif yang bersamaan dengan ENSO akan mengurangi dampak ENSO. 2.3. Pola Curah Hujan Curah hujan adalah jumlah air hujan yang turun pada suatu daerah dalam waktu tertentu. Data hujan memiliki variasi yang sangat besar dibandingkan dengan unsur-unsur ilklim yang lain. Pola hujan di Indonesia ada 3 tipe, yaitu : 1. Tipe Equatorial adalah tipe hujan yang tidak begitu jelas antara perbedaan musim hujan dan kemaraunya mempunyai 2 puncak hujan 2. Tipe MonsoonMusim adalah tipe hujan yang sangat jelas perbedaan antara musim hujan dan kemarau berbentuk “V” Jumlah curah hujan minimum terjadi pada bulan Juni, Juli atau Agustus 3. Tipe Lokal adalah tipe hujan yang mempunyai 1 puncak hujan kebalikan dari tipe Monsoon Jumlah curah hujan maksimum terjadi pada bulan Juni, Juli atau Agustus Tipe hujan equatorial, terjadi disepanjang khatulistiwa wilayah Indonesia yaitu disekitar 30LU - 30LS memanjang ke Timur wilayah Indonesia Tipe hujan equatorial artinya puncak hujan terjadi dua kali setahun pada saat posisi matahari berada di atas equator, atau tepatnya puncak curah hujan terjadi satu bulan setelah matahari tepat di atas khatulistiwa, yaitu bulan AprilMei atau OktoberNovember. www.conservation.or.id. Tipe hujan monsunal, secara tidak langsung dipengaruhi peredaran matahari. Pada saat matahari berada di belahan bumi Selatan, maka di Indonesia terjadi musim hujan www.depkominfo.go.id. Terlihat pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa untuk daerah-daerah yang memiliki tipe hujan monsunal seperti Sukamandi menghasilkan pola prediksi hujan yang cukup jelas dan mirip dengan rata-ratanya. Sebaliknya, daerah-daerah dengan tipe hujan ekuatorial seperti Kotabangun, pola tersebut tidak nampak jelas Estiningtyas, 2005. Hal ini disebabkan 2 korelasi antara curah hujan sebagai output dan SST Niño 3.4 sebagai input untuk wilayah ekuatorial lebih rendah dibandingkan dengan wilayah monsunal Aldrian dan Susanto, 2003, sehingga dalam proses pembelajaran model yang menghubungkan kedua parameter tersebut menghasilkan pola yang berbeda. Menurut BMG Badan Meteorologi dan Geofisiska hari hujan adalah hari dengan penerimaan hujan 0,5 mm dengan curah hujan rata-rata tahunan sangat bervariasi menurut tempat. Curah hujan di Indonesia tergolong tinggi yaitu lebih dari 2000 mmtahun. Akan tetapi, seperti telah disebutkan di muka bahwa antara tempat yang satu dengan tempat yang lain curah hujannya tidak sama. Daerah yang paling besar curah hujannya adalah daerah Baturaden di lereng Gunung Slamet, dengan curah hujan sekitar 7069 mmtahun. Sedangkan kota Palu di Sulawesi Tengah, merupakan daerah paling kering, dengan curah hujan sekitar 547 mmtahun.

2.4. Pola Tanam dan Kalender Tanam