Kekentalan Keseluruhan Minuman Serbuk TemulawakTemulawak Instan

Berdasarkan uji kesukaan diketahui bahwa sebagian besar panelis lebih menyukai produk dengan rasa yang cenderung manis dari pada rasa tajampahit. Rasa pahit pada produk minuman instan temulawak ini juga disebabkan karena kurkuminoid dan kadar kurkuminoid yang masih layak atau dapat ditoleransi yaitu antara 0.0737 sampai 0.0746 Istafid 2006. Uji ANOVA untuk parameter rasa diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut berbeda nyata p = 0.000 dan hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa dari keempat produk minuman tersebut penerimaan panelis untuk Formula 1 dan 4 berbeda nyata sedangkan antara Formula 3 dan 4 tidak berbeda nyata. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Hasil ini memperkuat uji organoleptik dengan panelis terbatas yang telah dilakukan sebelumnya bahwa yang memiliki kemungkinan terbesar untuk diterima dan dikonsumsi adalah produk dengan Formula 3 dan 4. Perbedaan hasil antara uji organoleptik dengan panelis terbatas dan umum kemungkinan karena perbedaan kelompok umur dan kebiasaan yang akan mempengaruhi preferensi rasa produk pangan. Rasa produk dengan Formula 4 cenderung lebih manis dibandingkan produk Formula 3 karena kadar pemanis yang lebih besar.

d. Kekentalan

Produk minuman instan diharapkan memiliki tingkat kekentalan yang lebih rendah dari pada produk sirup karena perbedaan kepekatan zat terlarut di dalamnya. Hal ini melatarbelakangi perlunya pengujian organoleptik untuk parameter kekentalan minuman instan. Berdasarkan uji hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa yang memiliki persen penerimaan paling besar adalah produk dengan Formula 1 yaitu diterima oleh 78.1 panelis. Hasil uji hedonik terhadap kekentalan minuman instan temulawak disajikan pada gambar 12. Berdasarkan uji ANOVA untuk parameter kekentalan diketahui bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata p = 0.123 dan karena tidak berbeda nyata maka uji lanjut Duncan tidak dilakukan. Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Gambar 12 Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik dengan panelis umum

e. Keseluruhan

Penilaian keseluruhan merupakan penilaian gabungan atau hasil akumulasi yang diberikan oleh panelis terhadap suatu produk pangan berdasarkan berbagai penilaian mutu hedonik sebelumnya. Jadi jika pada penilaian mutu hedonik sebelumnya warna, aroma, rasa, dan kekentalan panelis menyatakan suka maka daya terimanya juga akan baik. Data hasil uji hedonik untuk penilaian keseluruhan minuman instan temulawak dapat dilihat pada Gambar 13. Gambar 13 Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil organoleptik dengan panelis umum Hasil uji hedonik menunjukkan bahwa yang memiliki persen penerimaan tertinggi adalah produk dengan Formula 4. Poduk ini diterima oleh 62.5 panelis. Uji ANOVA untuk penilaian keseluruhan menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap keempat produk minuman instan temulawak tersebut tidak berbeda nyata p = 0.212 Hasil uji statistik lebih lengkap dapat dilihat pada Lampiran 4. Berdasarkan uji organoleptik ini diketahui bahwa meskipun produk dengan Formula 4 memiliki persen penerimaan tertinggi tetapi sebenarnya tidak berbeda nyata dengan formula yang lain, sehingga untuk keperluan intervensi perlu dilakukan uji organoleptik dengan panelis terbatas yang memiliki karakteristik mendekati karakteristik sasaran intervensi kelompok dewasa. Formula produk yang akan digunakan dalam intervensi ditentukan berdasarkan pertimbangan hasil uji organoleptik dengan panelis terbatas dan panelis umum. f. Uji mutu hedonik Uji mutu hedonik dilakukan pada minuman instan temulawak dengan formula yang paling disukai, yaitu pada formula 3 dan 4. Hasil uji mutu hedonik menunjukkan bahwa penilaian mutu untuk formula 3 dan 4 ini hampir sama. Secara sederhana dapat dilihat dari Gambar 14 yang menunjukkan grafik radar formula 3 dan 4 yang saling berhimpitan. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik yang telah dilakukan diketahui bahwa warna yang disukai dari minuman instan temulawak yaitu kuning terang khas temulawak. Aroma yang disukai adalah aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam, kepekatan cairan yang disukai adalah yang cenderung encer, sedangkan rasa yang disukai adalah yang tidak terlalu manis. Gambar 14 Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan, dan rasa minuman instan temulawak Kuning terang khas temulawak Cenderung encercair Tidak terlalu manis Aroma khas temulawak yang tidak terlalu tajam Berdasarkan hasil uji organoleptik panelis terbatas dan panelis umum maka formula minuman instan temulawak yang terpilih untuk digunakan dalam uji klinis adalah formula 3 dengan berat yang berat tiap sachetnya adalah sebesar 13.24 gram. Uji organoleptik panelis terbatas Uji organoleptik dengan panelis terbatas dilakukan hanya pada parameter rasa produk. Uji ini dilakukan untuk memperkuatmengonfirmasi hasil uji organoleptik yang dilakukan dengan panelis umum. Jumlah panelis yang dilibatkan dalam uji ini hanya 7 tujuh orang yang seluruhnya merupakan anggota tim peneliti beserta asisten. Berdasarkan hasil organoleptik yang telah dilakukan diketahui bahwa produk yang paling banyak diterima adalah produk dengan formula 3 pemanis 20. Produk yang memiliki persen penerimaan tertinggi adalah produk dengan Formula 3, dengan persen penerimaan sebesar 85.7. Hasil analisis secara deskriptif berdasarkan uji yang telah dilakukan disajikan pada Gambar 15 berikut. Gambar 15 Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis terbatas Gambar 16 Minuman instan temulawak dengan formula terpilih Besarnya persen penerimaan dari uji organoleptik yang telah dilakukan menjadi dasar untuk menentukan formula produk minuman instan temulawak yang digunakan dalam uji klinis. Berdasarkan hasil tersebut maka ditentukan bahwa formula 3 pemanis 20 merupakan formula minuman instan temulawak yang digunakan dalam uji klinis dengan foto produk disajikan pada Gambar 16. Uji Klinis Minuman Instan Temulawak Pelaksanaan uji klinis Ada beberapa faktor yang terkait dengan keberhasilan penelitian yang menggunakan desain kuasi eksperimental pre dan post test desain atau dalam hal ini uji klinis minuman instan temulawak untuk peningkatan limfosit tubuh. Pada desain penelitian sudah dipertimbangkan berbagai hal, termasuk dalam pemilihan subjek, metode pengukuran untuk minimalisasi bias, formulasi minuman instan temulawak, sampai dengan upaya penjaminan kepatuhan subjek, meskipun hasilnya terkadang tidak selalu seperti yang diformulasikan pada hipotesis. Menurut Yu dan Ohlund 2010 kesesuaian hipotesis dengan hasil penelitian dengan desain kuasi eksperimental pre dan post test desain diantaranya dipengaruhi oleh: 1 jangka waktu intervensi, 2 metode pengukuran yang digunakan, 3 tingkat kepatuhan atau compliance, dan 4 keberadaan peubah pengganggu atau confounding factor yang tidak terkontrol karena tidak adanya pengacakan dan kelompok kontrol. Minuman instan temulawak yang telah dikembangkan diberikan pada subjek untuk diminum setiap hari selama dua minggu14 hari berturut-turut. Pertimbangan lama waktu intervensi selama dua minggu dan dosis 400 mghari ekstrak temulawak didasarkan pada dosis dan lama waktu yang memberikan efek penurunan inflamasi Kertia et al. 2005. Berat minuman instan temulawak yang diberikan untuk setiap subjek per hari adalah 13.24 gram. Setiap subjek akan mengonsumsi serbuk temulawak ini yang sebelumnya dilarutkan terlebih dulu dalam 200 ml air dingin untuk menghindari kerusakan bahan aktif xanthorrhizol. Yulianti 2010 menyatakan bahwa xanthorrhizol memiliki sifat sensistif terhadap panas dan peningkatan suhu akan mengakibatkan terjadinya kerusakan terhadap xanthorrhizol. Jumlah subjek yang ditentukan dalam desain di awal penelitian dengan mempertimbangkan adanya subjek yang drop out tambahan 20 adalah sebanyak 24 orang. Jumlah subjek yang terkumpul saat kegiatan penjelasan awal dan intervensi hari pertama hanya sebanyak 21 orang dan jumlah ini bertahan sampai kegiatan uji klinis berakhir sehingga total subjek untuk uji klinis menjadi 21 orang yang terdiri atas tujuh subjek laki-laki dan 14 subjek perempuan. Jumlah ini 21 subjek masih lebih besar dari jumlah subjek minimum yang ditetapkan dalam desain 20 subjek. Subjek mengonsumsi minuman instan temulawak yang dibagikan setiap pagi hari di tempat kerja subjek gedung Rektorat IPB. Saat pembagian minuman instan yang dilakukan pagi hari, ada subjek yang tidak dapat ditemui langsung karena sedang tidak ada di tempatmasih dalam perjalanan. Minuman instan temulawak bagi subjek tersebut dititipkan kepada subjek lain yang ruangtempat kerjanya berdekatan untuk memudahkan dan memastikan diterima serta diminum oleh subjek. Penjaminan kepatuhan subjek dilakukan dengan mengupayakan agar minuman instan temulawak langsung diminum di depan peneliti saat baru dibagikan. Selain itu disediakan pula form kepatuhan compliance yang dibagikan kepada seluruh subjek. Harun, Putra, Chair, dan Sastroasmoro 2008 menyebutkan bahwa kepatuhan subjek diantaranya dipengaruhi oleh lamanya intervensi, sifat bahan yang diintervensikan rasa, jumlah, efek samping, biaya, penjelasan sebelum intervensi, sikap dan cara pendekatan terhadap subjek lokasi, dan karakteristik subjek. Ketidakpatuhan subjek dalam uji klinis minuman instan temulawak ini dapat diminimalkan dengan pemberian pengertian mengenai tujuan dan cara penelitian, penjelasan dosis dan cara konsumsi minuman instan temulawak, serta pengawasan khususnya saat intervensi dilaksanakan. Hasil pengamatan selama kegiatan intervensi menunjukkan bahwa seluruh subjek 100 patuh mengonsumsi minuman instan temulawak dan sebagian besar 81.0 meminumnya pagi hari saat baru dibagikan. Seluruh subjek mengonsumsi minuman instan temulawak dalam waktu yang teratur. Tingkat kepatuhan subjek tinggi dalam uji klinis ini tinggi sehingga dampak minuman instan temulawak terhadap uji klinis tidak dipengaruhi oleh rendahnya tingkat kepatuhan. Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman instan temulawak disajikan pada Tabel 15. Tabel 15 Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk temulawak Waktu Laki-laki Perempuan Total n n n Pagi Siang Sore Total 6 1 7 85.1 14.3 100 11 3 14 78.6 21.4 100 17 3 1 21 81.0 14.3 4.7 100 Briawan 2008 menyatakan bahwa kepatuhan merupakan faktor penting dalam kegiatan penelitian intervensi dan metode penjaminan kepatuhan dengan pengawasan langsung serta pencatatan laporan self reported sudah cukup banyak digunakan oleh peneliti lain. Karakteristik subjek uji klinis Subjek yang terlibat dalam kegiatan uji klinis minuman instan temulawak untuk peningkatan limfosit tubuh dipilih berdasarkan kriteria inklusi berusia dewasa dan memiliki status gizi obes. Jumlah subjek yang terlibat sampai kegiatan uji klinis selesai adalah sebanyak 21 orang yang terdiri atas tujuh subjek laki-laki dan 14 subjek perempuan. Berdasarkan rata-rata umurnya, antara subjek laki-laki dan perempuan tidak berbeda nyata dan secara keseluruhan rata-rata umur subjek adalah 44.1 ± 6.4 tahun dengan subjek yang paling muda berumur 29 tahun sedangkan yang paling tua berumur 54 tahun. Data sebaran subjek berdasarkan kelompok umurnya disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur Kelompok umur Laki-laki Perempuan Total Uji beda n n n 19 – 29 tahun 30 – 49 tahun 50 – 64 tahun Total 7 7 100 100 1 8 5 14 7.1 57.1 35.7 100 1 15 5 21 4.8 71.4 23.8 100 p = 0.732 Rata-rata ± SD 43.6 ± 2.1 44.4 ± 7.9 44.1 ± 6.5 Penentuan status gizi subjek uji klinis dilakukan dengan menggunakan IMT. Selain itu dilakukan pula pengukuran lingkar pinggang dan panggul sehingga bisa diketahui status obesitas sentral berisiko mengalami penyakit degeneratif pada subjek yang terlibat dalam uji klinis. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa subjek yang terlibat memang benar-benar mengalami kelebihan berat badan serta memiliki akumulasi lemak yang tinggi di bagian rongga abdomen sebagai penyebab berbagai komplikasi dan gangguan metabolisme dalam tubuh Septina, Purba, Hartriyanti 2010. Berdasarkan nilai IMT, diketahui bahwa seluruh subjek sudah terkategori obes IMT 27.0 dengan IMT subjek yang paling rendah sebesar 27.7. Rata-rata IMT untuk seluruh subjek adalah 31.1 ± 2.3 sedangkan jika dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin, maka rata-rata IMT pada subjek laki-laki sebesar 30.5 ± 2.3 dan pada subjek perempuan sebesar 31.5 ± 2.3. Seluruh subjek juga sudah terkategori mengalami obesitas sentral dengan risiko penyakit degeneratif tinggi dengan rata-rata RLPP sebesar 0.9 ± 0.1. Data lengkap mengenai sebaran subjek berdasarkan IMT dan RLPP disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh IMT dan rasio lingkar pinggang panggul RLPP Kategori status gizi subjek Laki-laki Perempuan Total n n n Indeks Massa TubuhIMT kgm 2  27 – 29.9  ≥ 30 Total 3 4 7 42.9 57.1 100 5 9 14 35.8 64.2 100 8 13 21 38.1 61.9 100 Rata-rata ± SD 30.5 ± 2.3 31.5 ± 2.3 31.1 ± 2.3 Rasio lingkar pinggang panggulRLPP  Risiko sedang  Risiko tinggi Total 2 5 7 28.6 71.4 100 14 14 100 100 2 19 21 9.5 90.5 100 Rata-rata ± SD 1.0 ± 0.1 0.9 ± 0.0 0.9 ± 0.1 Keterangan: Laki-laki, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.90; risiko tinggi jika RLPP 0.90 sedangkan perempuan, risiko sedang jika RLPP ≤ 0.80; risiko tinggi jika RLPP 0.80 Sumber: Septina, Purba, Hartriyanti 2010 Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi Total sel limfosit merupakan gabungan dari jumlah sel T, sel B, dan sel NK. Pada tubuh manusia limfosit diproduksi di sumsum tulang, kelenjar timus, limpa, kelenjar getah bening tersebar sepanjang pembuluh darah, dan amandel Vander, Sherman, Luciano 1998. Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah limfosit baik sebelum intervensi maupun setelah 2 1 fase 4500 4000 3500 3000 2500 2000 1500 Limf os it To ta l intervensi tersebar normal p 0.05, meskipun jika dilihat sekilas pada grafik box-plot Gambar 17 seolah data cenderung menyebar ke atasskew positif, terutama pada saat sebelum intervensi. Pada grafik box-plot dapat diketahui bahwa tidak ada subjek yang memiliki jumlah limfosit ekstrim sangat kecil maupun sangat besar baik sebelum dilakukan intervensi maupun setelah intervensi. Gambar 17 Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi Rata-rata jumlah total sel limfosit sebelum intervensi adalah sebesar 2773.4 ± 660.8 selµL dengan selang antara 1677 – 4161 selµL. Setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, ada peningkatan rata-rata jumlah total sel limfosit sebesar 100.3 selµL atau ada peningkatan sebesar 3.6, sehingga rata-rata total sel limfosit menjadi 2874.2 ± 755.4 selµL dengan selang antara 1734 – 4254 selµL. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5 menunjukkan bahwa peningkatan total sel limfosit setelah intervensi tidak signifikan p = 0.370. Data lengkap mengenai jumlah rata-rata dan selisih Δ total sel limfosit antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 18. Tabel 18 Jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Rata-rata ± SD Uji beda Sebelum intervensi selµL 2773.9 ± 660.8 p = 0.370 Setelah intervensi selµL 2874.2 ± 755.4 Selisih Δ selµL 100.3 ± 101.2 Selisih Δ 3.6 Sebelum intervensi Setelah intervensi 1500 2500 3500 4500 3000 2000 4000 4161 4254 SelµL 2797 2813 2306 2166 3119 3511 1734 1677 Baratawidjaja dan Rengganis 2009 menyatakan bahwa pembentukan sel limfosit sebagai bagian dari sel darah putih pada manusia telah dimulai sejak janin dalam yolk sac berusia beberapa minggu. Pada tahap awal tersebut, sel induk hematopoietik kemudian berdiferensiasi menjadi sel eritroid primitif yang mengandung hemoglobin yolk sac. Sel induk hematopoietik bermigrasi dari yolk sac ke hati janin dan selanjutnya mengkolonisasi limpa. Proses hematopoiesis yang terjadi pada kedua organ tersebut berlangsung saat janin berusia tiga sampai dengan tujuh bulan. Setelah itu, proses diferensiasi sel hematopoietik akan dilakukan dalam sumsum tulang dan berlangsung terus menerus sel matang diproduksi dengan kecepatan yang sama dengan kematiannya. Peningkatan jumlah limfosit setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 belas hari yang tidak signifikan kemungkinan terjadi karena apoptosis atau kematian sel yang terprogram sebagai bagian dari proses hematopiesis. Proses apoptosis memiliki peran penting dalam mempertahankan jumlah progenitor hematopoietik yang benar untuk eritrosit serta berbagai jenis leukosit dan setiap sel memiliki masa hidup yang berbeda. Sebagai gambaran, berbagai limfosit memiliki masa hidup antara satu hari neutrofil dan ada yang sampai 20 – 30 tahun untuk beberapa sel T Baratawidjaja Rengganis 2009. Penelitian Nieman, Henson, Nehlsen-Cannarella, Ekkens, Utter, Butterworth, dan Fagoaga 1999 serta Womack, Tien, Feldman, Shin, Fennie, Anastos et al. 2007 menunjukkan bahwa peningkatan berat badan berhubungan dengan peningkatan jumlah limfosit, CD4, CD8, dan jumlah leukosit. Pada penelitian Nieman et al. 1999 diketahui bahwa rata-rata orang obes memiliki jumlah limfosit 2110 selµL sedangkan hasil penelitian Womack et al. 2007 menunjukkan bahwa median total limfosit orang obes adalah 2064 selµL. Rata- rata 2773.9 selµL maupuan median 2797 selµL total limfosit subjek sebelum intervensi pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Womack et al. 2007. Jumlah total limfosit sebelum intervensi sudah terkategori tinggi juga kemungkinan menjadi penyebab tidak signifikannya peningkatan jumlah total limfosit setelah intervensi. Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan setelah intervensi Sel T atau timosit CD3 merupakan bagian dari limfosit yang berkembang di kelenjar timus. Sel T yang masih belum matang dipersiapkan di dalam timus 2 1 fase 3000 2500 2000 1500 1000 Se l T a bs 2 1 fase 80 70 60 50 40 Se l T untuk memperoleh reseptor dan sel T hanya dapat menjadi matang jika reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri self antigen karena akan mengalami apoptosis. Diferensiasi sel T berhubungan dengan petanda permukaannya dan hasil diferensiasi ini akan menghasilkan sel T helper Sel Thsel CD4 dan sel T sitotoksis Sel Tcsel CD8 Baratawidjaja Rengganis 2009. Berdasarkan hasil uji Kolmogorov-Smirnov diketahui bahwa data jumlah dan persentase sel T sebelum maupun setelah intervensi tersebar normal p 0.05. Ilustrasi pada box-plot Gambar 18 menunjukkan bahwa ada peningkatan jumlah dan persentase sel T setelah intervensi minuman instan temulawak. Gambar 18a menunjukkan bahwa jumlah sel T baik sebelum maupun setelah intervensi cenderung menyebar ke atasskew positif sedangkan pada Gambar 18b, persentase sel T sebelum dan sesudah intervensi cenderung menyebar ke bawahskew negatif. Perbedaan ini terjadi karena nilai persentase sel T merupakan nilai perbandingan antara jumlah sel T dengan jumlah total limfosit sehingga untuk sel T dapat dinotasikan juga dengan CD3 + CD45 + . Hal yang sama juga berlaku untuk sel lain yang merupakan bagian dari limfosit. Perbedaan sebaran antara data jumlah dan persentase sel T memiliki makna yang sama jika dikaitkan dengan intervensi minuman instan temulawak yang diberikan. Intervensi minuman instan temulawak meningkatkan jumlah dan persentase sel T. Berdasarkan grafik box-plot juga dapat diketahui bahwa intervensi minuman instan temulawak tidak menyebabkan peningkatan jumlah dan persentase sel T yang ekstrim. a b Gambar 18 Sebaran jumlah a dan persentase sel T b sebelum dan setelah intervensi Sebelum intervensi Setelah intervensi Sebelum intervensi Setelah intervensi SelµL 65.0 64.0 1698 1585 78.0 44.0 42.0 79.0 1048 3020 3113 959 55.0 57.0 68.0 73.0 1405 1435 2150 2282 1000 1500 2000 2500 3000 80 70 60 50 40 Rata-rata jumlah sel T sebelum intervensi adalah sebesar 1746.2 ± 569.9 selµL dengan selang antara 1048 – 3020 selµL. Rata-rata jumlah sel T sebelum intervensi pada penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah sel T subjek obes penelitian Nieman et al. 1999 yang nilainya adalah 1560 ± 430.0 selµL namun lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai referensi rata-rata sel T subjek normal yang besarnya 2092 ± 905 selµL Dhaliwal et al. 1995. Setelah intervensi minuman instan temulawak selama 14 hari, terjadi peningkatan rata-rata jumlah sel T sebesar 112.9 selµL atau ada peningkatan sebesar 6.5, sehingga rata-rata sel T menjadi 1859.1 ± 682.3 selµL dengan selang antara 959 – 3113 selµL. Jika dilihat persentasenya maka pemberian minuman instan temulawak meningkatkan persentase sel T sebesar 1.4. Hasil uji beda T berpasangan dengan nilai α = 5 pada jumlah sel T menunjukkan bahwa peningkatan sel T setelah intervensi sebesar 112.9 selµL merupakan peningkatan yang tidak signifikan p = 0.162 sedangkan jika dilihat berdasarkan nilai persentasenya maka pemberian minuman instan temulawak memberikan peningkatan yang signifikan p = 0.034. Data lengkap mengenai jumlah dan persentase rata-rata serta selisih Δ sel T antara sebelum dan setelah intervensi disajikan pada Tabel 19. Tabel 19 Jumlah dan persentase sel T subjek sebelum dan setelah intervensi Fase Rata-rata ± SD Uji beda Jumlah sel T selµL p = 0.162 Sebelum intervensi 1746.2 ± 569.9 Setelah intervensi 1859.1 ± 682.3 Selisih Δ 112.9 ± 119.3 Selisih Δ 6.5 Persentase sel T p = 0.034 Sebelum intervensi 62.5 ± 9.9 Setelah intervensi 63.9 ± 11.1 Selisih Δ 1.4 ± 2.8 Selisih Δ 2.2

a. Sel CD4