Health benefit knowledge of curcuma and clinical trial of curcuma instant drink on T, B Lymphocytes, and NK cells in obese adult

(1)

PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN

TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK PADA OBESITAS

MUHAMMAD ARIES

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

Muhammad Aries NIM. I151090011


(3)

ABSTRACT

MUHAMMAD ARIES. Health Benefit Knowledge of Curcuma and Clinical Trial of Curcuma Instant Drink on T, B Lymphocytes, and NK cells in Obese Adult. Under direction of HARDINSYAH and MIRA DEWI.

The objectives of the following study were to analyze the health benefit knowledge of curcuma on adult and clinical efficacy of curcuma instant drink to increasing lymphocytes count. Design for knowledge survey was cross sectional study and involving 79 subjects (40 male and 39 female) while the design for clinical trial was pre and post test design and involving 21 subjects. Result of this study showed that the health benefits of curcuma most widely known by subjects were to increase appetite (93.4%) and to maintain stamina (92.1%). Female subjects have higher knowledge (58.0 ± 25.8) than male subjects (57.0 ± 28.3) altough there isn’t significance difference (p > 0.05) and the knowledge of curcuma health benefit inversely with the level of education (p < 0.05). The study showed that there was significant increase (p = 0.034 and p = 0.045) in T cell population (CD3+, CD4+) and significant decreasing (p = 0.000 and p = 0.001) in B cell (CD 19+) and CD8+ after intervention of 13.24 g curcuma instant drink per day. It was concluded that curcuma has potential beneficial effect in enhancing cellular immunity but decreasing in humoral immunity in obese human subjects.

Key words: Curcuma xanthorrhiza Roxb., health benefit knowledge, instant drink, lymphocyte population.


(4)

RINGKASAN

MUHAMMAD ARIES. Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan sel NK pada Obesitas. Dibimbing oleh HARDINSYAH dan MIRA DEWI.

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui tingkat pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan, 2) mengembangkan produk minuman instan temulawak, dan 3) menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.

Kegiatan pengembangan minuman instan dan uji klinis minuman instan terhadap fungsi imun merupakan bagian dari kegiatan penelitian hibah KKP3T dengan No. kontrak 1004/LB.620/I.1/4/2010 yang berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes. Survai pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak dilakukan dengan desain cross sectional study sedangkan uji klinis dilakukan dengan desain

pre dan post test selama 14 hari. Kegiatan penelitian survei pengetahuan manfaat kesehatan temulawak serta pengembangan minuman instan temulawak dilaksanakan di Kampus IPB Darmaga sedangkan analisis jumlah dan jenis limfosit dilakukan di Lab. Makmal Imunoendokrinologi FKUI Jakarta. Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan sejak bulan Agustus 2010 sampai Juni 2011.

Data survei pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak dikumpulkan dengan cara wawancara menggunakan kuesioner. Data tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi, pengalaman mengonsumsi temulawak (baik sebagai pangan maupun obat) dan tujuannya, pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak serta sumber informasinya. Data terkait pengetahuan mengenai berbagai manfaat kesehatan temulawak yang dikumpulkan diantaranya adalah manfaat temulawak untuk sakit perut, sakit hati, demam, sembelit/memperlancar buang air besar, perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal, obat sakit maag, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, peradangan dalam perut atau kulit, dan peningkatan ketahanan tubuh. Sebelum disebarkan kepada contoh, dilakukan pengujian terhadap reliabilitas alat ukur pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak. Analisis statistik yang digunakan uji validitas dan reabilitas serta analisis deskriptif. Uji validitas dan reabilitas dilakukan untuk menentukan reliabilitas kuesioner serta menentukan validitas setiap pertanyaan dalam kuesioner. Analisis deskriptif dilakukan dengan menghitung frekuensi contoh berdasarkan kelompok usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pendapatan, besar keluarga, pengalaman mengonsumsi temulawak, pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak, dan sumber informasi tentang temulawak.

Rancangan percobaan yang digunakan untuk formulasi minuman instan temulawak adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri atas satu faktor perlakuan yaitu jumlah pemanis buatan (sukralosa) yang ditambahkan dengan


(5)

empat taraf masing-masing 10%, 15%, 20%, dan 25%. Data organoleptik dianalisis dengan ANOVA.

Data uji klinis terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri atas data karakteristik individu, dan data jumlah serta persentase sel NK. Data karakteristik individu meliputi data umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan (untuk menentukan nilai IMT), lingkar pinggang, dan lingkar panggul (unutk menentukan nilai Rasio Lingkar Pinggang Panggul/RLPP). Data status gizi untuk menentukan bahwa subjek termasuk kategori obes ditentukan berdasarkan nilai IMT dan RLPP. Riwayat dan status kesehatan meliputi hasil pemeriksaan fisik dan anamnesa dokter medik. Data penilaian fungsi imun (sel NK) merupakan data primer yang diperoleh dari hasil analisa darah yang dilakukan dengan metode

flow cytometri sedangkan total limfosit, sel B, dan sel T merupakan data sekunder yang berasal dari penelitian Dewi, Dwiriani, dan Januwati (2011).

Pengaruh intervensi dianalisis berdasarkan perbedaan (selisih) nilai fungsi imun yang diamati sebelum dan setelah dua minggu intervensi. Uji normalitas dengan uji one-sample Kolmogorov-Smirnov dilakukan terlebih dahulu terhadap variabel yang diamati. Nilai populasi limfosit sebelum dan sesudah intervensi akan dibandingkan dan untuk melihat apakah intervensi yang diberikan berpengaruh nyata terhadap populasi limfosit maka dilakukan uji T berpasangan.

Tidak ada perbedaan yang signifikan (p > 0.05) antara tingkat pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan pada subjek perempuan maupun laki-laki. Berdasarkan tingkat pendidikannya, diketahui bahwa tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan antara subjek yang berpendidikan tinggi dan rendah berbeda nyata (p < 0.05) serta berbanding terbalik. Hal ini diduga karena penggunaan temulawak untuk kesehatan yang lebih banyak didasarkan pada kepercayaan dan informasi yang diperoleh secara turun temurun sehingga pengetahuan mengenai manfaat kesehatannya akan lebih banyak diketahui oleh kelompok subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin, yaitu kelompok masyarakt berpendidikan rendah.

Proses pembuatan minuman instan temulawak terbagi menjadi dua yaitu proses pembuatan ekstrak kering temulawak menggunakan spray dryer dan pembuatan minuman instan temulawak dengan metode dry mixing atau pencampuran kering. Komposisi minuman serbuk temulawak instan untuk setiap

sachet/kemasan per kali minum terdiri atas tepung ekstrak kering temulawak (0.4 g), maltodekstrin (2 g), garam (0.2 g), asam sitrat (0.6 g), gula tepung (10 g), dan sukralosa (0.043 g) sehingga total berat minuman instan temulawak per sachet

adalah 13.24 g atau setara dengan 7.56 mg xanthorrhizol dan 2.8 mg curcumin. Intervensi 400 mg ekstrak temulawak yang dibuat dalam bentuk minuman instan temulawak selama 14 hari memberi peningkatan yang signifikan (p < 0.05) terhadap persentase sel T/CD3 dan sel CD4 sebagai bagian dari sistem imun spesifik yang bekerja di tingkat seluler. Peningkatan persentase sel T dan sel CD4 diduga karena pengaruh dari kurkumin dan xanthorrhizol yang terkandung dalam minuman instan temulawak yang menginduksi kerja sistem imun melalui jalur NF-kB sehingga proliferasi dan diferensiasi sel-sel sistem imun meningkat. Selain itu hasil uji klinis menunjukkan ada penurunan jumlah dan persentase sel CD8+, sel B/CD19+, dan sel NK/CD16+56+. Hal ini kemungkinan terjadi karena jumlah subset sel tersebut yang sejak awal (sebelum intervensi) sudah tinggi serta kebiasaan konsumsi pangan dan aktivitas yang menunjang sistem imun yang tidak sepenuhnya terkontrol, khususnya sebelum kegiatan intervensi dilaksanakan.


(6)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin dari IPB


(7)

PENGETAHUAN TENTANG MANFAAT KESEHATAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) DAN UJI KLINIS MINUMAN INSTAN

TEMULAWAK TERHADAP LIMFOSIT T, B, DAN SEL NK PADA OBESITAS

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat

Oleh:

MUHAMMAD ARIES I 151090011

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

(9)

Judul Penelitian : Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) dan Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas

Nama : Muhammad Aries

NIM : I151090011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD. Dr. Ir. Dahrulsyah, M.Sc.Agr


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengetahuan tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) serta Uji Klinis Minuman Instan Temulawak terhadap Limfosit T, B, dan Sel NK pada Obesitas”. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dari lubuk hati yang paling dalam penulis mennyampaikan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS dan dr. Mira Dewi, S.Ked, MSi selaku pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan serta senantiasa memberikan semangat kepada penulis untuk tetap istiqomah dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas belajar di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS selaku dosen penguji luar komisi atas beragam saran konstruktif dan perbaikan yang sangat bermanfaat bagi penyempurnaan tesis ini.

Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu, terutama kepada: Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS (Dekan FEMA Periode Tahun 2005-2009) dan Dr. Ir. Evy Damayanthi, MS (Ketua Departemen Gizi Masyarakat Periode Tahun 2005-2009), dan Dr. Ir. Drajat Martianto, MS (Pembimbing S1) yang telah memberikan rekomendasi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang Magister Gizi Masyarakat di IPB. Selain itu penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu Gizi Masyarakat, Koordinator Program Pascasarjana Gizi Masyarakat, para dosen dan seluruh staf yang telah memberikan motivasi dan dukungan selama menempuh pendidikan sehingga semua dapat terlaksana dengan baik.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Cesilia M Dwiriani, MSc, dr. Mira Dewi, S.Ked, Msi, dan Ir. M. Januwati, MS selaku tim peneliti Hibah KKP3T berjudul Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes yang telah mengijinkan penulis


(11)

dalam menggunakan sebagian data penelitian tersebut untuk digunakan dalam penelitian ini. Pada penelitian tersebut, penulis terlibat sebagai asisten peneliti yang berperan dalam proses pembuatan produk sampai dengan analisis data. Berikutnya penulis menyampaikan teriam kasih kepada Bapak/Ibu pegawai IPB yang telah bersedia terlibat selama kegiatan pengambilan data penelitian, baik yang berupa survei maupun uji klinis dalam penelitian ini dan juga kepada Bapak Mashudi serta segenap laboran di Laboratorium Analisis Makanan Departemen Gizi Masyarakat, Laboratorium Pilot Plan, FATETA IPB, dan Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik yang/Balitro KEMENTAN telah memfasilitasi kegiatan penelitian khususnya selama pengembangan produk minuman instan temulawak.

Tidak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seangkatan pada Program Magister Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana - IPB angkatan 2009 atas semangat kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya selama menempuh pendidikan di Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB dan juga teman-teman Program Magister Gizi Masyarakat, SPS – IPB serta Program Doktor Gizi Manusia, SPS - IPB angkatan 2010 dan 2011 atas semangat kebersamaan, persahabatan, dan dukungannya terutama pada pelaksanaan kolokium, seminar hasil hingga sidang.

Ungkapan terima kasih penulis sampaikan secara tulus dan mendalam khususnya kepada istri tercinta Reisi Nurdiani serta kedua orang tua yang selalu saya hormati dan banggakan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah, serta adik tersayang Tuti Amaliah atas segala dukungan doa dan kasih sayang yang telah tercurahkan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2012 Muhammad Aries


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Cirebon tanggal 18 Desember 1984 sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Iing Sulaeman dan Ibu Juwaeriyah. Masa pendidikan dasar hingga menengah atas dilalui di kota Cirebon. Pendidikan dasar diperoleh pada SDN Kanggraksan III periode 1990 - 1996 dan dilanjutkan di SMPN 6 Cirebon periode 1996 - 1999. Penulis menamatkan pendidikan menengah atasnya pada tahun 2002 dari SMUN 2 Cirebon. Kemudian di tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian - Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada tahun 2006 dengan judul skripsi Kerugian Ekonomi Akibat Status Gizi Buruk pada Balita di Berbagai Propinsi di Indonesia beserta Biaya Penanggulangannya melalui Program Pemberian Makanan Tambahan. Pada tahun 2009 penulis melanjutkan studinya di Program Magister (S2) Ilmu Gizi Masyarakat, Sekolah Pascasarjana IPB.

Setelah lulus S1, penulis bekerja di Departemen Gizi Masyarakat, FEMA-IPB sebagai asisten dosen. Selain itu penulis juga bekerja sebagai Anggota Redaksi Pelaksana Jurnal Gizi dan Pangan yang diterbitkan oleh Departemen Gizi Masyarakat, FEMA IPB bekerjasama dengan PERGIZI PANGAN Indonesia. Penulis juga pernah terlibat dalam berbagai kegiatan penelitian sebagai asisten lapang maupun asisten peneliti. Berbagai kegiatan penelitian tersebut antara lain

Feeding Program for Student, penelitian mengenai Persepsi Masyarakat terhadap Produk Rekayasa Genetika (PRG) dan Implikasinya terhadap Kebijakan Ketahanan Pangan, Studi Hidrasi di Wilayah Ekologi yang Berbeda di Indonesia, dan yang terbaru adalah Studi Efikasi Ekstrak Temulawak (Curcuma xanthorrhiza

Roxb.) Berbahan Aktif Xanthorrhizol (0.05%) untuk Meningkatkan Populasi Limfosit T (> 10%) pada Orang Dewasa Obes.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... v

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 3

Hipotesis ... 4

Kegunaan Penelitian ... 4

Lingkup dan Tahapan Kegiatan ... 4

TINJAUAN PUSTAKA ... 5

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) ... 5

Kandungan gizi dan manfaat kesehatan temulawak ... 6

Kadar kurkumin ... 7

Kadar xanthorrhizol ... 8

Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional ... 9

Pengetahuan ... 11

Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak ... 12

Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan ... 13

Proses pembuatan minuman serbuk temulawak ... 14

Status gizi dan imunitas ... 16

Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr ... 18

Sel B (CD19+) ... 21

Sel NK (CD16+56+) ... 22

Fungsi imun dan obesitas ... 23

KERANGKA PEMIKIRAN ... ... 26

METODE ... ... 28

Cakupan Kegiatan ... 28

Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak ... 29


(14)

Uji Klinis Pemberian Minuman Instan Temulawak ... 35

Definisi Operasional ... 39

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

Survei Pengetahuan Orang Dewasa tentang Manfaat Kesehatan Temulawak ... 41

Karakteristik subjek survei pengetahuan ... 41

Pengalaman mengonsumsi temulawak ... 42

Sumber informasi manfaat kesehatan temulawak ... 47

Pengetahuan manfaat kesehatan temulawak berdasarkan kepercayaan ... 48

Pengembangan Minuman Serbuk Instan Temulawak ... 52

Pengembangan ekstrak temulawak dan analisis mutu ... 52

Formulasi minuman serbuk temulawak ... 54

Uji organoleptik panelis umum ... 56

Uji organoleptik panelis terbatas ... 63

Uji Klinis Minuman Instan Temulawak ... 64

Pelaksanaan uji klinis ... 64

Karakteristik subjek uji klinis ... 66

Jumlah total sel limfosit sebelum dan setelah intervensi ... 67

Jumlah dan persentase sel T serta subsetnya sebelum dan setelah intervensi ... 69

Jumlah dan persentase sel B sebelum dan setelah intervensi .... 76

Jumlah dan persentase sel NK sebelum dan setelah intervensi .. 79

Generalisasi Penelitian ... 83

KESIMPULAN DAN SARAN ... 85

Kesimpulan ... 85

Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Syarat mutu minuman serbuk tradisional ... 14 2. Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes

dibandingkan dengan subjek non obes ... 25 3. Jenis dan cara pengumpulan data ... 28 4. Karakteristik subjek survei pengetahuan tentang manfaat kesehatan

temulawak ... 42 5. Sebaran subjek berdasarkan pengalaman mengonsumsi temulawak . 44 6. Sebaran subjek yang mengonsumsi temulawak secara rutin ... 45 7. Sebaran subjek berdasarkan harapan terhadap pengembangan

produk baru berbahan baku temulawak ... 46 8. Subjek yang menyatakan tahu bahwa temulawak memiliki manfaat

kesehatan dan sumber informasinya ... 47 9. Sebaran subjek yang mampu menjawab benar beberapa aspek

manfaat kesehatan temulawak yang didasarkan pada kepercayaan ... 50 10. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek

berdasarkan jenis kelamin ... 50 11. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek

berdasarkan tingkat pendidikan ... 51 12. Sebaran tingkat pengetahuan manfaat kesehatan temulawak subjek

berdasarkan rutinitas mengonsumsi temulawak ... 52 13. Karakteristik simplisia dan ekstrak kering temulawak ... 54 14. Komposisi formula minuman instan temulawak ... 56 15. Sebaran subjek berdasarkan waktu mengonsumsi minuman serbuk

temulawak ... 66 16. Sebaran subjek uji klinis berdasarkan kelompok umur ... 66 17. Sebaran subjek uji klinis berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT)

dan rasio lingkar pinggang panggul (RLPP) ... 67 18. Jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah intervensi ... 68 19. Jumlah dan persentase sel T subjek sebelum dan setelah intervensi . 71 20. Jumlah dan persentase sel CD4 subjek sebelum dan setelah intervensi 73 21. Jumlah dan persentase sel CD8 subjek sebelum dan setelah intervensi 75 22. Jumlah dan persentase sel B subjek sebelum dan setelah intervensi . 78 23. Jumlah dan persentase sel NK subjek sebelum dan setelah intervensi 81


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b) ... 5

2. Rumus bangun kurkumin ... 7

3. Rumus bangun xanthorrhizol ... 8

4. Skema sistem imun adaptif dan non adaptif ... 17

5. Kerangka pemikiran ... 27

6. Kerangka pengambilan subjek ... 26

7. Diagram alir pembuatan serbuk temulawak ... 32

8. Bagan pelaksanaan uji klinis ... 37

9. Persen penerimaan terhadap warna produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 57

10. Persen penerimaan terhadap aroma produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 58

11. Persen penerimaan terhadap rasa produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 59

12. Persen penerimaan terhadap kekentalan produk hasil organoleptik Panelis umum ... 61

13. Persen penerimaan terhadap penampilan keseluruhan produk hasil organoleptik dengan panelis umum ... 61

14. Penilaian mutu hedonik terhadap parameter warna, aroma, kekentalan, dan rasa minuman serbuk temulawak ... 62

15. Persen penerimaan produk hasil organoleptik dengan panelis terbatas ... 63

16. Minuman instan temulawak dengan formula terpilih ... 63

17. Sebaran jumlah total sel limfosit subjek sebelum dan setelah ... 68

18. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel T (b) sebelum dan setelah intervensi ... 70

19. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD4 (b) sebelum dan setelah intervensi ... 72

20. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel CD8 (b) sebelum dan setelah intervensi ... 74

21. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel B (b) sebelum dan setelah intervensi ... 77

22. Sebaran jumlah (a) dan persentase sel NK (b) sebelum dan setelah intervensi ... 80


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Kuesioner pengetahuan tentang manfaat kesehatan temulawak ... 96 2. Formulir uji organoleptik produk minuman serbuk temulawak ... 97 3. Contoh lembar hasil analisis limfosit ... 99 4. Berbagai hasil pengolahan data dengan perangkat lunak SPSS 13.00


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia, penggunaan utama tanaman temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) selain sebagai bumbu masak juga sebagai bahan pengobatan tradisional. Berbagai manfaat kesehatan temulawak yang telah dikenal dalam pengobatan tradisional diantaranya untuk mengobati sakit perut, sakit hati/penyakit kuning, obat malaria, penyakit ginjal (Sumiaty 1997), obat habis bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), penyakit kulit, dan peradangan dalam perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat obat temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).

Penggunaan temulawak untuk tujuan pengobatan dan untuk menjaga kesehatan menyebabkan makin banyaknya produk berbahan temulawak yang telah beredar di pasaran meskipun klaim manfaat kesehatan masih banyak yang belum didukung data klinis, terutama yang terkait dengan sistem imun. Lebih jauh lagi, formulasi yang tepat terkait dosis dan mutu bahan aktif pada produk juga belum terstandar.

Pada Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 diketahui bahwa penyakit infeksi utama yang perlu mendapat perhatian tinggi di Indonesia adalah HIV/AIDS, malaria, dan TBC. Hasil RISKESDAS 2010 menunjukkan bahwa prevalensi Malaria 10.6%. Sementara itu diketahui pula bahwa prevalensi TBC di Indonesia pada tahun 2001 mencapai 26.4% (Cermin Dunia Kedokteran 2005) dan prevalensi HIV (hasil survei di 8 kota pada populasi kunci) pada laki-laki dewasa mencapai 0.75%. Angka ini tentunya akan lebih besar jika digabungkan dengan prevalensi pada populasi kunci lainnya (Depkes 2007 dalam Komisi Penanggulangan AIDS 2009). Penelitian Bercault et al. (2004) menunjukkan bahwa kasus infeksi akan berakibat fatal jika terjadi pada individu obesitas yang dirawat di unit perawatan kritis karena merupakan faktor resiko independen terjadinya mortalitas. Hasil penelitian tersebut perlu mendapat perhatian lebih karena prevalensi obesitas di Indonesia cenderung makin meningkat. Hasil Riset


(19)

Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan 2010 menunjukkan prevalensi

overweight dan obesitas pada orang dewasa mengalami peningkatan yaitu dari 19.1% menjadi 21.7%. Obesitas pada orang dewasa di Indonesia mencapai 10.3% dengan rincian 13.9% pada laki-laki dan 23.8% pada perempuan (Balitbangkes 2008) sementara pada Riskesdas berikutnya diketahui bahwa prevalensi obesitas di Indonesia mengalami peningkatan, yaitu mencapai 11.7% dengan rincian 16.3% pada laki-laki dan pada perempuan menjadi 26.9%.

Peningkatan prevalensi obesitas di Indonesia merupakan hal yang mengkhawatirkan karena berbagai hasil kajian menyatakan bahwa obesitas memiliki kaitan positif dengan kekerapan terhadap berbagai penyakit infeksi (Chung et al. 2007). Selain itu, keberadaan jaringan adiposit yang berlebih pada orang yang mengalami obesitas memiliki keterkaitan yang erat dengan terganggunya fungsi imun (Tanaka et al. 1993; Marti et al. 2001; Boynton et al.

2007). Walaupun sampai saat ini masih belum ada hasil penelitian yang menunjukkan bahwa obesitas merupakan faktor risiko untuk infeksi flu pandemik, namun penanganan medis pada kasus dengan obesitas harus lebih mewaspadai terjadinya komplikasi berat dan mortalitas, karena pada kasus fatal sampai yang menyebabkan kematian, ada proporsi obesitas yang cukup besar (WHO 2010).

Hasil penelitian Huang et al. (1991) pada subjek mencit menunjukkan bahwa temulawak memiliki berbagai aktivitas biologis seperti antiinflamasi, antikanker, penyembuh luka, dan menurunkan kadar kolesterol serum. Penelitian lebih lanjut dengan menggunakan hewan coba telah memberikan hasil yang lebih spesifik bahwa xanthorrhizol (salah satu bahan aktif dalam temulawak) memberikan manfaat dalam penekanan peradangan (Lee, Hong, Huh, Kim, Oh, Min et al. 2002; Kim Kim, Kim, Shim, dan Hwang. 2007). Hasil penelitian Lee et al. (2002) pada sel makrofag mencit (RAW 264.7) menunjukkan bahwa xanthorrhizol dari temulawak mampu menekan aktivitas cyclooxygenase (COX-2) yang merupakan mediator penting dalam proses peradangan. Penelitian Kim et al. (2007) pada kultur sel RAW 264.7 juga menunjukkan bahwa ekstrak temulawak dapat menginduksi aktivitas sistem imun pada makrofag yang diperantarai secara spesifik oleh aktivasi nuclear factor-kappa B (NF-kB), diduga xanthorrhizol juga berperan dalam mekanisme ini. Pada penelitian yang dilakukan


(20)

di Indonesia diketahui bahwa pemberian temulawak dapat meningkatkan respon imun pada ayam yang diberi vaksin flu burung (Kosim et al. 2007). Penelitian Damayanti (2008) dengan subjek mencit menunjukkan bahwa temulawak juga dapat digunakan meningkatkan daya tahan dan stamina tubuh.

Walaupun secara empiris penggunaan tanaman obat termasuk temulawak terbukti bermanfaat bagi kesehatan, bukti-bukti ilmiah dan uji klinik tetap diperlukan sebelum dapat direkomendasikan sebagai obat. Terlebih pada manusia, data klinis mengenai efektivitas temulawak terhadap perbaikan sistem imun masih sangat terbatas. Selain itu peningkatan pengetahuan dan kesadaran masyarakat mengenai manfaat kesehatan dari bahan lokal, khususnya temulawak juga masih dipandang perlu sehingga pengembangan temulawak sebagai pangan fungsional maupun obat bisa semakin bervariasi. Saat ini produk pangan fungsional temulawak masih berupa berupa permen dan minuman ringan (Kurniawan 2002).

Dengan memperhatikan berbagai fakta dan masalah di atas, maka kajian mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat pada temulawak yang dilanjutkan dengan pengembangan formula minuman instan temulawak serta uji klinisnya yang terkait dengan sistem imun menjadi penting. Uji klinis yang dilakukan adalah yang spesifik pada fungsi sistem imun dengan pengukuran populasi limfosit total, limfosit T (CD3), subset limfosit T (CD4 dan CD8), limfosit B (CD19), dan sel Natural Killer/NK. Adanya kajian tentang pengetahuan terhadap temulawak serta bukti ilmiah mengenai manfaat temulawak secara klinis akan memberikan kontribusi penting dalam meningkatkan nilai temulawak sebagai pangan fungsional dan menjadi landasan penting dalam pengembangannya sebagai obat untuk penyakit yang terkait dengan penurunan fungsi imun.

Tujuan

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengetahuan orang dewasa terhadap manfaat kesehatan minuman temulawak serta melakukan uji klinis mengenai efektivitas minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun.

Tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui tingkat pengetahuan orang dewasa mengenai manfaat kesehatan temulawak.


(21)

2. Mengembangkan produk minuman instan temulawak.

3. Menganalisis pengaruh pemberian minuman instan temulawak terhadap fungsi sistem imun (populasi limfosit) orang dewasa obes.

Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

H0 : Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes tidak akan meningkatkan populasi limfosit total.

H1 : Pemberian minuman instan temulawak pada orang dewasa obes akan meningkatkan populasi limfosit total.

Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran mengenai pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap minuman temulawak. Selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan akan dapat memberikan bukti ilmiah mengenai manfaat minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol terhadap fungsi sistem imun (peningkatan populasi limfosit) bagi orang dewasa obes sehingga akan semakin meningkatkan nilai temulawak baik sebagai pangan fungsional maupun sebagai obat, terutama yang berkaitan dengan peningkatan fungsi imun.

Lingkup dan Tahapan Kegiatan

Tahapan kegiatan selama proses penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Penyiapan bahan baku, uji kandungan bahan aktif dalam ekstrak temulawak

dan formulasi minuman instan temulawak berbasis xanthorrhizol.

2. Pengambilan data pengetahuan mengenai manfaat kesehatan temulawak pada orang dewasa.

3. Uji klinis efikasi ekstrak temulawak terhadap populasi lilmfosit pada orang dewasa obes.


(22)

TINJAUAN PUSTAKA

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.) merupakan tanaman asli Indonesia dan banyak tersebar di Pulau Jawa, Madura, Maluku, dan Kalimantan. Pada mulanya tanaman temulawak banyak tumbuh liar di hutan-hutan jati, di tanah kering, tegalan, maupun padang alang-alang, tetapi karena penggunaannya yang semakin meluas maka tanaman ini juga banyak dibudidayakan di kebun maupun pekarangan rumah yang dikenal dengan sebutan apotik hidup (Herman 1985; Hargono 1985). Bentuk tanaman dan rimpang temulawak dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.

(a) (b)

Gambar 1 Tanaman temulawak (a) dan rimpang temulawak (b)

Klasifikasi tanaman temulawak adalah sebagai berikut

Kingdom : Plantae Ordo : Zingiberales

Divisi : Spermatophyta Famili : Zingiberaceae Sub Divisi : Angiospermae Genus : Curcuma

Kelas : Monocotyledonae Species : Curcuma xanthorrhiza Roxb


(23)

Bagian tanaman temulawak yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian umbi batang. Umbi batang ini dinamakan juga rimpang atau umbi akar. Bagian pinggir penampangnya berwarna kuning muda, sedangkan bagian tengahnya berwarna kuning tua, memiliki aroma tajam dan rasa yang pahit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Bagian rimpang ini biasanya dipanen setelah berumur 8 – 12 bulan (Herman 1985).

Kandungan Gizi dan Manfaat Kesehatan Temulawak

Rimpang temulawak segar mengandung air sekitar 75%. Selain itu rimpang temulawak juga mengandung minyak atsiri (volatil oil), lemak (fixed oil), zat warna/pigmen, protein, resin, selulosa, pentosan, pati, mineral, zat-zat penyebab rasa pahit dan sebagainya. Kandungan berbagai komponen tersebut sangat tergantung pada umur rimpang pada saat dipanen dan jika dibandingkan dengan jenis curcuma yang lain maka temulawak memiliki kandungan minyak atsiri yang tinggi (Herman 1985). Kataren (1988) dalam Sumiaty (1997) menyebutkan bahwa komposisi rimpang kering temulawak (dengan kadar air 10%) terdiri atas pati (58.24%), lemak (12.10%), kurkumin (1.55%), serat kasar (4.20%), abu (4.90%), protein (2.90%), mineral (4.29%), dan minyak atsiri (4.90%).

Bagi sebagian rakyat Indonesia, selain sebagai bumbu masak rimpang temulawak juga telah lama dikenal sebagai obat tradisional yang diantaranya bermanfaat untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit (Dharma 1985 dalam Sumiaty 1997), perbaikan nafsu makan, menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin (Iftichori 1975 dalam Sumiaty 1997), obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal (Maradjo dan Widodo 1991), dan obat sakit maag (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Dalam pengobatan modern, bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).

Dalam dunia fitoterapi, temulawak dikelompokkan sebagai adaptogen, yaitu bahan tidak berbahaya, yang dapat mendorong peningkatan resistensi melawan racun atau yang dapat mempengaruhi secara fisik, kimia, dan biologi.


(24)

Secara umum dapat dikatakan bahwa temulawak mempunyai efek menormalkan fungsi jaringan yang terganggu.

Temulawak selain dimanfaatkan sebagai obat juga dapat dijadikan produk minuman fungsional (memiliki manfaat kesehatan). Sebagai minuman temulawak dapat dibuat menjadi sirup, minuman berkarbonat, minuman nonkarbonat atau bahkan minuman instan. Secara singkat minuman instan temulawak dibuat dari tepung temulawak (hasil pengeringan minyak atsiri dengan spray dryer), yang ditambah dengan gula tepung, garam, bahan pengisi (maltodekstrin), dan asam sitrat. Minuman instan ini jika dilarutkan dalam satu gelas air akan menjadi minuman temulawak yang berwarna kuning jernih dengan cita rasa asam manis dan sedikit agak pahit. Minuman ini serupa dengan minuman sari temulawak yang ada di negara-negara Eropa (Soeseno 1986 dalam Sumiaty 1997).

Kadar Kurkumin

Menurut Sinambela (1985) dalam Karyadi (1993), komposisi rimpang temulawak dapat dibagi menjadi dua komponen utama, yaitu fraksi zat warna dan minyak atsiri. Warna kekuningan dari temulawak disebabkan oleh adanya kurkumin (C25H32O6) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 2

berikut.

Gambar 2 Rumus bangun kurkumin

Kurkuminoid merupakan zat pigmen yang menyebabkan temulawak memiliki warna kuning. Selain pemberi warna, kurkuminoid juga merupakan salah satu komponen temulawak yang memberikan khasiat farmakologis seperti zat antiinflamasi dan memiliki aktivitas hipokolesterolemik. Sidik et al. (1995) menjelaskan bahwa kurkuminoid dalam temulawak terdiri atas kurkumin dan desmetoksikurkumin. Jumlah kurkumin dalam kurkuminoid temulawak ada lebih banyak dibandingkan dengan jumlah desmetoksikurkumin dengan perbandingan


(25)

kurkumin mencapai 71% dan desmetoksikurkumin 29%. Kurkuminoid bersifat larut dalam aseton, alkohol, asam asetat glasial, dan alkali hidroksida serta tidak dapat larut dalam air dan dietil eter sehingga ekstraksi oleoresin temulawak menggunakan pelarut etanol (Yulianti 2010).

Kadar xanthorrhizol

Identifikasi komponen minyak atsiri yang terdapat dalam oleoresin temulawak dilakukan dengan menggunakan kromatografi gas. Menurut Gritter et al. (1991) dalam Yulianti (2010), kromatografi gas merupakan metode yang cepat dan tepat untuk memisahkan campuran yang sangat rumit. Komponen campuran dapat diketahui dengan menggunakan waktu tambat (waktu retensi) yang khas pada kondisi yang tepat.

Menurut Kim (2007) salah satu komponen minyak atsiri temulawak yang berperan penting dalam memberikan efek farmakologis adalah xanthorrhizol (C15H22O) yang memiliki rumus bangun seperti pada Gambar 3. Hal ini selaras

dengan pernyataan Taryono et al. (1987) yang menyatakan bahwa gabungan senyawa kurkumin dan xanthorrhizol diduga sebagai penyebab berkhasiatnya temulawak. Senyawa ini menurut Maiwald dan Schawantes (1992) dalam Sidik et al. (1995) digolongkan sebagai senyawa sesquiterpen. Komponen lain dalam minyak temulawak yang juga termasuk sesquiterpen adalah αkurkumin, -kurkumin, 1-sikloisopren-mirsen, zingiberen, turunan bisabolen, epoksid-bisakuron, bisakuron A, bisakuron B, dan bisakuron C.

Gambar 3 Rumus bangun xanthorrhizol

Kadar xanthorrhizol dalam bahan volatil pada oleoresin temulawak ditunjukkan dengan persentase luas area senyawa xanthorrhizol komparatif terhadap persentase luas area senyawa lainnya yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak. Berdasarkan kromatogram hasil analisis gas kromatografi dapat diketahui bahwa persentase luas area xanthorrhizol komparatif terhadap


(26)

bahan yang mudah menguap dalam oleoresin temulawak berkisar antara 1.26 – 42.82%. Persentase luas area xanthorrhizol tertinggi ada pada oleoresin dengan suhu ekstraksi 30oC dan perbandingan antara bahan dengan pelarut 1 : 6 (Yulianti 2010).

Hasil penelitian Yulianti (2010) menunjukkan bahwa peningkatan suhu ekstraksi mengakibatkan penurunan persentase luas area xanthorrhizol. Hal ini selaras dengan hasil analisis keragaman terhadap persentase luas area xanthorrhizol yang memberikan informasi bahwa faktor suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap persentase luas area xanthorrhizol, sedangkan perbandingan baku – pelarut tidak memiliki pengaruh nyata pada persentase luas area xanthorrhizol.

Xanthorrhizol yang merupakan salah satu komponen minyak atsiri temulawak memiliki sifat sensitif terhadap panas dan cahaya. Peningkatan suhu proses untuk memperoleh minyak atsiri akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen minyak atsiri tersebut sehingga peningkatan suhu ekstraksi oleoresin juga akan mengakibatkan terjadinya kerusakan komponen xanthorrhizol. Selain itu penyimpanan minyak atsiri yang mengandung xanthorrhizol juga harus menggunakan wadah yang kedap cahaya untuk meminimalkan kerusakan xanthorrhizol yang ada di dalamnya.

Penggunaan Temulawak dalam Pengobatan Tradisional

Di antara sekian banyak tumbuhan yang terdapat di Indonesia, temulawak merupakan tumbuhan yang banyak digunakan untuk obat atau bahan obat, hingga dapat dikatakan temulawak merupakan primadona tumbuhan obat Indonesia. Temulawak merupakan komponen penyusun hampir setiap jenis obat tradisional yang dibuat di Indonesia. Temulawak dalam obat tradisional Indonesia digunakan sebagai simplisia tunggal atau merupakan salah satu komponen dari suatu ramuan. Dalam konteks penggunaan tradisional, temulawak digunakan sebagai obat untuk mengatasi penyakit tertentu, atau juga digunakan sebagai penguat daya tahan tubuh. Di Aceh, temulawak dikenal dengan nama kunyit ketumbu, rimpangnya digunakan dalam ramuan untuk penambah darah, atau untuk mengatasi malaria. Masyarakat etnis Sakai di Bengkalis, Riau, menggunakan rimpang temulawak


(27)

untuk penambah nafsu makan, sedangkan masyarakat Sunda menggunakan rimpang temulawak untuk mengobati sakit kuning dan mengatasi gangguan perut kembung. Selain oleh masyarakat Sunda, rimpang temulawak juga digunakan dalam ramuan sebagai obat penyakit kuning oleh masyarakat etnis Jawa, yang juga menggunakan rimpang temulawak tunggal sebagai obat mencret. Masyarakat etnis Bali menggunakan rimpang temulawak untuk mengatasi gangguan lambung perih dan kembung, sedangkan masyarakat etnis Madura menggunakan rimpang temulawak sebagai obat keputihan. Komunitas penggemar jamu gendong menggunakan rebusan rimpang temulawak sebagai penguat daya tahan tubuh dari serangan penyakit (Moelyono 2007).

Temulawak selain sering dimanfaatkan untuk jamu dan obat juga bermanfaat sebagai sumber karbohidrat dengan cara mengambil patinya, pati ini kemudian diolah untuk dibuat menjadi bubur makanan bayi atau untuk orang-orang yang sedang mengalami gangguan pencernaan. Karena kandungan temulawak juga mengandung senyawa yang beracun, bisa dimanfaatkan untu mengusir nyamuk (Anonim 2011).

Sebagai primadona obat herbal Indonesia, penggunaan temulawak mengalami perkembangan dalam penggunaannya, dimulai dari sediaan obat tradisional, melalui sediaan obat herbal terstandar, akhirnya menjadi sediaan fitofarmaka. Perkembangan penggunaan juga diikuti oleh perkembangan bentuk sediaan, dari bentuk sediaan tradisional seperti jamu rebusan, jamu seduh, atau bentuk lain menjadi sediaan berbentuk kapsul, kaplet, hingga bentuk sediaan sirup atau suspensi. Pengembangan bentuk dan penggunaan ini merupakan tuntutan pengguna yang menginginkan kepastian keamanan dan khasiat, serta bentuk yang menarik, praktis, dan stabil.

Persyaratan jaminan kualitas dari sediaan fitofarmaka yang mengandung ekstrak temulawak dapat dipenuhi karena kandungan kimia aktif yang terkandung dalam ekstrak temulawak telah dikenal baik, yaitu kurkuminoid yang terdiri atas kurkumin, desmetoksikurkumin, dan bidesmetoksikurkumin, serta kandungan minyak atsiri dengan komponen xanthorhizol sebagai senyawa penandanya (Moelyono 2007).


(28)

Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil usaha manusia untuk memahami suatu objek tertentu yang didapatkan oleh individu baik melalui proses belajar, pengalaman, atau media elektronik yang kemudian disimpan dalam diri individu. Aziz (1995) mengemukakan bahwa pengetahuan merupakan segala informasi dan kebijaksanaan dari dunia sekitar yang disertai dengan pemahaman pada informasi yang diterima pada suatu objek, karena tanpa adanya unsur pemahaman, maka seseorang belum dapat dikatakan berpengetahuan.

Pengetahuan atau knowledge adalah kemampuan yang dimiliki seseorang untuk mengungkapkan atau mengingat kembali pengalaman, konsep, berbagai prinsip materi, dan kejadian pada hal-hal yang umum maupun khusus. Pendapat lain mengatakan bahwa pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui seseorang dari hasil belajar atau pengalaman tertentu. Pengetahuan merupakan hasil belajar sebagai aktifitas mental yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, serta diperoleh melalui pengalaman.

Menurut Notoatmojo (1995) dalam Artanti (2009), pengetahuan adalah hasil dari proses belajar dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Para ahli psikologi kognitif membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan deklaratif (declarative knowledge) dan pengetahuan prosedur (procedural knowledge). Pengetahuan deklaratif adalah fakta atau subjektif yang diketahui seseorang, sedangkan pengetahuan prosedur adalah pengetauan mengenai bagaimana fakta-fakta tersebut digunakan (Sumarwan 2003).

Secara sederhana pengetahuan pada dasarnya adalah keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung dalam berbagai pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa baik yang bersifat alamiah, sosial, maupun perorangan (Gie 1991). Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Dengan pengetahuan manusia mempunyai wawasan dan gambaran dari berbagai objek yang ditelitinya. Untuk bisa mendapatkan pengetahuan, manusia perlu mengetahui sesuatu hal tentang apa yang ingin diketahui dari hasil pengamatan secara berulang-ulang sampai mendapatkan kesimpulan.


(29)

Sumarwan (2003) mengungkapkan, bahwa pengetahuan yang baik mengenai suatu produk dapat mendorong konsumen untuk menyukai produk tersebut. Dengan demikian, sikap positif terhadap suatu produk dapat mencerminkan pengetahuan konsumen mengenai produk tersebut. Pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan seseorang untuk mengerti suatu pesan, membantu mengganti logika yang salah, dan menghindarkannya dari berbagai persepsi yang tidak tepat. Dalam teori perilaku konsumen, pengetahuan dan persepsi seseorang merupakan dua hal yang penting diperhatikan bahkan dijadikan sasaran perubahan untuk tujuan pemasaran, demikian pula dalam psikologi untuk tujuan terapi (Belch & Belch 1995 dalam Artanti 2009).

Pengetahuan dan preferensi terhadap temulawak

Temulawak dikenal luas oleh sebagian besar masyarakat Indonesia dengan penggunaan utama sebagai bumbu masak dan bahan pengobatan tradisional. Hasil penelitian Kuntorini (2005) menyebutkan bahwa di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, temulawak merupakan tanaman obat tradisional yang penting dengan kegunaan untuk mengobati penyakit dalam dan menetralkan darah. Sumber pengetahuan masyarakat di wilayah penelitian inipun sebagian besar diperoleh dari turun-temurun.

Berbagai manfaat kesehatan temulawak lainnya yang telah dikenal dalam pengobatan tradisional masyarakat Indonesia diantaranya untuk mengobati sakit perut, sakit hati, demam, sembelit, obat malaria, sakit kencing, penyakit ginjal (Sumiaty 1997), menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot setelah bersalin (Sumiaty 1997; Kuntorini 2005), obat sakit maag, melancarkan saluran pencernaan, obat gatal atau eksim, demam, mencret atau disentri, dan peradangan dalam perut atau kulit (Darwis, Madjo Indo, dan Hasiyah 1992). Berbagai khasiat obat temulawak ini bahkan telah dikenal sampai ke Eropa, terutama di Jerman dan Belanda (Herman 1985) dan dalam pengobatan modern bubuk rimpang temulawak hasil ekstraksi kemudian distandardisasi dan dijual dalam tablet atau kapsul (Hargono 1985).

Engel, Blackwell, dan Miniard (1995) menyatakan bahwa proses keputusan pemilihan suatu produk melalui kegiatan pembelian dimulai dengan


(30)

pengenalan kebutuhan yang didefinisikan sebagai suatu persepsi atas perbedaan antara keadaan yang diinginkan dengan situasi aktual yang memadai untuk menggugah dan mengaktifkan proses kebutuhan. Berdasarkan hasil penelitian Kurniawan (2002) diketahui bahwa preferensi konsumen dalam membeli dan mengonsumsi produk minuman temulawak diantaranya dipengaruhi oleh pengetahuan tentang manfaat temulawak, meskipun yang menjadi pertimbangan utama adalah harga.

Penerimaan atau preferensi konsumen dapat dipengaruhi oleh sifat-sifat sensori pada makanan seperti rasa, aroma, tekstur dan penampakan. Hal yang sama juga berlaku terhadap minuman instan temulawak. Sifat-sifat sensori pada makanan akan diproses dalam otak dengan dilatarbelakangi oleh faktor kultur/etnis, psikososial, pembelajaran dan daya ingat, ketahanan tubuh dan lain-lain (Cardello 1994 dalam Hendarini 2011). Perbedaaan psikologi diantara individu seperti kepribadian juga berpengaruh terhadap preferensi makanan, contohnya adalah mood dan slepness (Shepherd & Spark 1994 dalam Hendarini 2011).

Minuman Serbuk Temulawak/Temulawak Instan

Temulawak instan merupakan sari temulawak yang mengandung komponen temulawak-temulawak baik yang menguap (minyak atsiri) maupun komponen yang tidak menguap (resin, pigmen, dan lainnya) dengan ditambah bahan pengisi seperti dekstrin dan gum arab (Suryati 1985).

  Minuman serbuk temulawak termasuk dalam kelompok minuman serbuk tradisional dan dalam SNI 01-4320-1996 minuman serbuk tradisional didefinisikan sebagai produk bahan minuman berbentuk serbuk atau granula yang dibuat dari campuran gula dan rempah-rempah dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Pada SNI tersebut dinyatakan bahwa sakarin dan siklamat merupakan pemanis buatan yang penggunaannya tidak diperbolehkan tetapi berdasarkan SNI 01-6993-2004 tentang bahan tambahan pangan pemanis buatan dalam produk pangan dinyatakan bahwa siklamat dan sakarin diperbolehkan penggunaannya dalam jumlah terbatas. Jumlah maksimum untuk sakarin dan siklamat yang diperbolehkan dalam


(31)

minuman non-karbonasi berdasarkan SNI 01-6993-2004 berturut-turut adalah sebanyak 500 mg/kg berat bahan dan 1000 mg/kg berat bahan. Berdasarkan berbagai keterangan dalam SNI tersebut, maka syarat mutu minuman serbuk tradisional adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Syarat mutu minuman serbuk tradisional

No. Kriteria Uji Satuan Persyaratan Sumber

1. 1.1. 1.2. 1.3. Keadaan Warna Bau Rasa Normal

Normal, khas rempah-rempah Normal, khas rempah-rempah

SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996

2. Air, b/b % Maks 3.0 SNI 01-4320-1996

3. Abu, b/b % Maks 1.5 SNI 01-4320-1996

4. Jumlah gula (dihitung sebagai sakarosa) b/b

% Maks 85.0 SNI 01-4320-1996

5. 5.1.

5.2.

Bahan tambahan makanan Pemanis buatan - Sakarin - Siklamat Pewarna tambahan - mg/kg mg/kg - Maks. 500 Maks. 1000

Sesuai SNI 01-0222-1995

SNI 01-6993-2004 SNI 01-6993-2004 SNI 01-0222-1995 6. 6.1. 6.2. 6.3. 6.4. Cemaran logam Timbal (Pb) Tembaga (Cu) Seng (Zn) Timah (Sn) mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg Maks 0.2 Maks 2.0 Maks 50 Maks 40.0 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996

7. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks 0.1 SNI 01-4320-1996

8. 8.1. 8.2.

Cemaran mikroba Angka lempeng total Coliform

Koloni/gr APM/gr

3 x 103 < 3

SNI 01-4320-1996 SNI 01-4320-1996

Proses pembuatan minuman serbuk temulawak

Tahapan yang harus diperhatikan dalam pembuatan temulawak instan adalah penyiapan bahan sebelum ekstraksi, pemilihan pelarut, kondisi ekstraksi, proses pengambilan pelarut, pengawasan mutu dan pengujian sebagai tahap penyelesaian (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991)

Perlakuan pendahuluan untuk rimpang temulawak adalah dengan cara pengecilan ukuran bahan dan pengeringan. Proses pengeringan akan mempercepat proses ekstraksi dan memperbaiki mutu minyak, akan tetapi selama pengeringan kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena proses penguapan dan oksidasi (Ketaren 1985).

Ada dua cara ekstraksi untuk mengekstrak sari temulawak, yaitu ekstraksi dengan cara soxhlet dan cara perkolasi dengan atau tanpa pemanasan. Cara perkolasi pada prinsipnya adalah menambahkan pelarut pada bahan yang akan


(32)

diekstrak dengan perbandingan tertentu kemudian diaduk dengan magnetic stirer

atau mixer (Sabel & Warren 1973 dalam Suwiah 1991).

Beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk proses ektraksi oleoresin adalah aseton, metanol, haksana, etil alkohol, isopropil alkohol, dan etilen diklorida. Hasil penelitian Ria (1989) menunjukkan bahwa pelarut organik yang mempunyai gugus hidroksil dan karbonil, yaitu etanol dan aseton ternyata mampu melarutkan oleoresin dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan pelarut hidrokarbon (heksana).

Penyaringan sebagai proses pemisahan benda padat dengan larutan atau gas melalui media yang berlubang, yang akan menahan benda padat tapi mengalirkan cairan. Faktor yang mempengaruhi tingkat penyaringan adalah luas dari medium filter, tekanan dari “cake filter” dan filter, kekentalan filtrat dan perbedaan tekanan antar filter. Pemilihan media penyaring tergantung dari tujuan penyaringan dan jumlah yang akan disaring. Sifat-sifat dari medium penyaring yang baik, yaitu kecilnya tahanan terhadap aliran cairan filtrat, kemampuannya untuk menjembatani zat padat pada lubang-lubangnya setelah mulai dimasukkan, tidak boleh ada reaksi kimia dengan campuran yang akan disaring, cukup kuat untuk menahan tekanan penyaringan dan mekanis, harus mempunyai daya serap kecil terhadap bahan yang larut dan permukaan filter harus halus untuk memudahkan membuang ampas (Suwiah 1991).

Pengering semprot (spray dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan yang berbentuk larutan dengan viskositas tinggi. Larutan tersebut dilewatkan melalui lubang kecil (nozzle) dan disemprotkan ke dalam ruang pengering. Penyemprotan bahan juga dapat dilakukan melalui cairan yang berputar dengan kecepatan tinggi dimana zat cair akan menguap dengan cepat karena permukaannya terpapar langsung dengan udara kering bersuhu tinggi. Dalam ruang pengering ini dialirkan udara panas yang arah alirannya dapat dikondisikan agar searah maupun berlawanan dengan arah jatuhnya bahan. Pemindahan panas berlangsung cepat karena luasnya permukaan bahan sehingga larutan langsung kering dalam waktu antara 1 sampai 10 detik. Tekanan semprot yang umum digunakan berkisar antara 125 – 350 kg/cm2. Ukuran garis tengah tepung yang


(33)

dihasilkan dari proses ini berkisar antara 10 – 200 mikron. Kadar air bahan hasil pengeringan antara 3 – 5% (Taib et al. 1988).

Keuntungan menggunakan spray dryer dan bahan pengisi untuk kapsulasi flavor adalah bahan tidak volatil karena zat flavor diselubungi oleh suatu lapisan yang tidak bisa ditembus sehingga terlindung dari kehilangan karena penguapan dan perubahan oksidatif; bahan yang dihasilkan kering; tidak higroskopis; tidak menggumpal; bahan siap digabungkan ke dalam campuran makanan untuk membentuk dispersi flavor yang homogen; kekuatan flavor dan kualitasnya terjamin selama masa penyimpanan; saat bahan dicampur dengan air maka kapsul akan pecah dan mengeluarkan flavor (mudah larut dalam air dingin); ukuran partikel yang dihasilkan antara 10 – 200 mikron dengan mayoritas berbentuk bola yang berdiameter 50 mikron serta aktivitas air (aw) di bawah 0.2 – 0.3 (Heath & Pharm 1978 dalam Suwiah 1991).

Proses lanjutan setelah terbentuk tepung ekstrak temulawak adalah pencampuran tepung ekstrak tersebut dengan menggunakan berbagai bahan pengisi dan perasa yang terdiri atas maltodekstrin, gula tepung, garam, sukralosa, dan asam sitrat. Penambahan gula tepung sebagai pemberi rasa manis akan memberikan sumbangan energi, oleh karena itu perlu ditambahkan pemanis buatan (sukralosa) sehingga minuman instan temulawak yang dihasilkan akan tetap memiliki rasa yang dapat diterima tetapi juga dapat diklaim rendah energi. Berdasarkan SNI 01-6993-2004 dan Komisi Regulasi Uni Eropa/Commission Regulation EU (2006) diketahui bahwa suatu produk dapat diklaim sebagai produk rendah energi jika total energinya maksimal hanya 40 kkal per takaran saji.

Status Gizi dan Imunitas

  Sistem kekebalan tubuh berfungsi untuk melindungi tubuh dari infeksi berbagai agen (bakteri, virus, jamur, dan parasit) yang ada di lingkungan. Mekanisme pertahanan pada sistem ini meliputi pemusnahan mikroorganisme yang berhasil memasuki tubuh, sedangkan mekanisme homeostatisnya meliputi pemusnahan berbagai sel yang rusak. Mekanisme pengawasan berfungsi mendeteksi dan menghancurkan sel yang termutasi, atau menunjukkan


(34)

tanda-tanda yang tidak normal karena terinfeksi oleh virus atau mikroorganisme lain (Zakaria 1996 dalam Rusilanti 2006).

Sistem pertahanan tubuh terdiri dari berbagai mekanisme yang secara garis besar dapat dibagi dua yaitu kekebalan adaptif (adaptive immunity) dan kekebalan non adaptive (innate immunity) (Harlow dan Lane 1999 dalam Rusilanti 2006; Baratawidjaja dan Rengganis 2009). Kekebalan non adaptif diperantarai oleh sel yang merespon terhadap molekul asing secara tidak spesifik dan termasuk di dalamnya sistem fagositosis oleh makrofag, sekresi lisozime, dan sel lisis oleh sel NK (natural killer). Kekebalan non spesifik tidak berkembang atau bertambah kuat dengan meningkatnya paparan terhadap molekul asing secara berulang kali.

Kekebalan adaptif/spesifik ditujukan untuk melawan molekul asing yang spesifik dan akan bertambah kuat dengan terjadinya paparan yang berulang kali. Kekebalan spesifik/adaptif diperantarai oleh sel-sel limfosit yang dapat mensintesis reseptor permukaan sel atau mensekresikan protein yang dapat berikatan secara spesifik dengan molekul asing. Protein yang disekresikan ini dikenal dengan nama antibodi. Molekul asing yang dapat berikatan dengan antibodi disebut antigen.

Gambar 4 berikut memberi penjelasan secara skematik sistem imun non spesifik (innate) dan spesifik (adaptif/acquired).

Gambar 4 Skema sistem imun adaptif dan non adaptif Sumber: Roitt & Delves (2001)

Dalam sistem kekebalan spesifik, mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi

Sel NK

Infeksi intraseluler Infeksi ekstraseluler

Sel B Antibodi

Komplemen

Polimorf Sitokin

Sel T

Makrofag Innate

Adaptif

Imunitas seluler Imunitas humoral


(35)

sensitasi sel-sel sistem imun tersebut. Bila sel imun yang sudah tersensitasi tersebut terpajan/terpapar kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat untuk kemudian dihancurkan. Sistem imun spesifik secara umum bekerjasama antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Infeksi mikroorganisme dapat menyebabkan reaksi inflamasi pada tubuh. Dalam rangka menghancurkan benda asing atau mikroorganisme, tubuh akan mengerahkan elemen-elemen sistem imun ke tempat mikroorganisme yang masuk tersebut. Ada tiga pertahanan yang dilakukan oleh tubuh, yaitu:

1. Penghalang pada permukaan seperti enzim dan mucus yang secara langsung bertindak sebagai antimikroba atau menghambat penempelan mikroba.

2. Mikroba yang berhasil menembus lapisan ektoderm, maka yang akan menghadapi pertama kali adalah respon imun natural (innate immunity) yang meliputi sel-sel fagosit (neutrofil, monosit, dan maktofag) yang melepaskan media inflamasi (basofil, sel mast, dan eosinofil) dan sel natural killer (NK). Komponen molekuler yang terlibat dalam respon imun natural antara lain komplemen, protein fase akut, dan sitokin (protein yang berperan dalam inflamasi dan sebagai mediator utama komunikasi antar sel sistem imun). 3. Pertahanan yang ketiga adalah respon imun dapatan (acquired immunity)

yang meliputi proliferasi sel B dan T peka-antigen. Sel B mengeluarkan imunoglobulin dan sel T membantu sel B membuat antibodi dan juga membasmi patogen intraseluler dengan mengaktifkan makrofag. Respon imun natural dan dapatan bekerja bersama-sama untuk membunuh patogen (Roitt & Delves 2001).

Sel T (CD3) serta subset CD4/Th, CD8/Tc, dan Tr

Limfosit terdiri atas sel T (Th, Tc, dan Tr), sel B, dan sel NK. Sel T berasal dari progenitor sel asal sumsum tulang yang bermigrasi ke timus dan berdirensiasi. Sel T atau disebut juga timosit yang belum matang dipersiapkan di dalam timus untuk memperoleh reseptor. Sel T ini memiliki antigen permukaan CD3 dan hanya dapat menjadi matang jika reseptornya tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) yang diikat oleh MHC (Mono


(36)

Histocompatability Complex) dan dipresentasikan APC (Antigen Presenting Cell) (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel timosit/CD3 untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal, Balasubramaniam, Quek, Gill, dan Nasuruddin (1995) adalah 2092 ± 905 sel/µL.

Sel T yang berkembang penuh melewati dinding venul poskapilar, mencapai sirkulasi sistemik serta menempati organ limfoid perifer dan beberapa diantaranya disirkulasikan ulang. Sel T akan berdiferensiasi jika terpajan dengan antigen spesifik yang dipresentasikan APC dalam organ limfoid sekunder seperti limpa, kelenjar limfoid, dan MALT (Mucosal Associated Lymphoid Tissue). Kemampuan sel T matang untuk mengenal benda asing dimungkinkan oleh ekspresi molekul unik pada membrannya yang disebut TCR (T cell receptor) yang memiliki sifat diversitas, spesifisitas, memori, dan berperan dalam imunitas spesifik (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Peran sel T adalah pada inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B dalam produksi antibodi, serta pengenalan dan penghancuran sel yang terinfeksi virus. Sel T terdiri atas beberapa subset yaitu sel T naif, Th/CD4, Tc/CD8, Tr/Treg/Th3, dan sel NKT. Sel T naif yang terpajan dengan kompleks antigen MHC dan dipresentasikan APC atau rangsangan sitokin spesifik akan berkembang menjadi subset sel T berupa CD4 dan CD8 dengan fungsi efektor yang berlainan (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel T naif adalah sel limfosit matang yang meninggalkan timus dan belum berdiferensiasi, belum terpajan antigen, dan memiliki molekul permukaan CD45RA. Dari timus sel T naif dibawa darah ke organ limfoid perifer. Sel T naïf yang terpajan antigen akan berkembang menjadi sel Th0 yang selanjutnya akan berkembang lagi menjadi sel efektor Th1 dan Th2 yang dapat dibedakan berdasarkan jenis sitokin yang diproduksinya. Sel Th0 memproduksi sitokin IL-2, IFN, dan IL-4 (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel Th atau sel CD4 disebut juga sel T inducer karena merupakan subset sel T yang diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang ditangkap, diproses dan dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke sel CD4 yang selanjutnya akan diaktifkan dan mengekspresikan IL-2R serta memproduksi IL-2 yang autokrin. Sel CD4 yang berproliferasi dan berdiferensiasi


(37)

berkembang menjadi subset Th1 dan Th2 yang akan mensintesis sitokin serta mengaktifkan fungsi sel imun lain seperti CD8, sel B, makrofag, dan sel NK (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel CD4 untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 1052 ± 526 sel/µL

Sel CD8 naif yang keluar dari timus disebut juga sel T sitotoksik/Tc dan rata-rata untuk orang melayu normal adalah 965 ± 470 sel/µL (Dhaliwal et al. 1995). Sel CD8 mengenal kompleks antigen MHC-I yang dipresentasikan APC. Molekul MHC-I ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi utama sel CD8 adalah menyingkirkan sel yang terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin kompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Pada kondisi tertentu, sel CD8 juga dapat menghancurkan sel yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel CD8 menimbulkan sitolisis/penghancuran sel sasaran melalui mekanisme perforin/granzim, FasL/Fas (apoptosis/penghancuran diri), TNF-α serta memacu produksi sitokin Th1 dan Th2 (Roitt & Delves 2001; Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Proses penghancuran sel sasaran melalui mekanisme perforin/granzim dimulai dari sel CD8 yang aktif dan mengekspresikan molekul yang disebut perforin yang menyerupai MAC (Macrophage Activating Cytokine) dari komplemen. Perforin membuat lubang-lubnag dipermukaan sel T. Enzim yang disebut granzim lalu dimasukkan ke sel sasaran dan selanjutnya mengaktifkan kaspase, yaitu protein intraseluler dengan sistein di lokasi aktifnya yang berikatan dengan substrat di C terminal dari residu asam aspartik serta merupakan komponen kaskade enzim yang menimbulkan kematian apoptosis sel. Sedangkan penghancuran melalui mekanisme FasL diawali dari sel CD8 yang mengekspresikan molekul yang disebut FasL. Molekul ini akan mengikat Fas di permukaan sel sasaran dan Fas memiliki domen mati sitoplasma yang juga akan mengaktifkan kaspase (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Subset sel T berikutnya adalah sel Tr atau T regulator/Ts/Th3 yang diduga berperan dalam toleransi oral dan regulator imunitas mukosa, imuno-regulasi dengan menekan sejumlah respon imun seperti respon terhadap sel-antigen, alloantigen, antigen tumor, dan pathogen. Sel Tr yang dibentuk dari timosit di timus mengekspresikan dan melepas TGF- dan IL-10 yang diduga merupakan


(38)

petanda supresif. IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag sedangkan TGF- akan menekan proliferasi sel T dan aktivasi makrofag (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel B (CD19+)

Sel B atau limfosit B memiliki antigen permukaan CD19 dan memiliki peranan utama dalam sistem imun spesifik humoral. Jumlah sel B berkisar antara 5 – 25% dari limfosit dalam darah dan pertama kali diproduksi selama fase embrionik dan berlangsung terus selama hidup. Sebelum janin dilahirkan, yolk sac, hati, dan sumsum tulang janin merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah janin dilahirkan pematangan sel B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi dalam beberapa tahap dan berhubungan dengan berbagai Ig yang diproduksi (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Rata-rata sel B untuk orang melayu normal menurut Dhaliwal et al. (1995) adalah 414 ± 283 sel/µL.

Pematangan limfosit terjadi melalui proses yang disebut seleksi (positif dan negatif) dan untuk sel B proses seleksi pematangan primer terjadi dalam organ limfoid primer sumsum tulang. Sel B akan berproliferasi atas pengaruh sitokin IL-12 yang meningkatkan jumlah sel imatur. Perkembangan sel B mulai dari sel precursor limfoid yang berdiferensiasi menjadi sel progenitor B (pro-sel B) yang mengekspresikan transmembran tirosin-fosfatase (CD45R). Proliferasi dan diferensiasi pro-B menjadi prekursor B memerlukan lingkungan mikro dari stroma sel sumsum tulang. Jadi jika sel pro-B dibiakkan secara in vivo, tidak akan tumbuh menjadi sel yang matang kecuali ada sel sumsum tulang yang melepas sitokin IL-17 untuk membantu perkembangan sel tersebut (Roitt & Delves 2001; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Pematangan progenitor sel B disertai modifikasi gen yang berperan dalam diversitas produk akhir dan penentuan spesifisitas sel B. Pematangan dalam sumsum tulang tidak memerlukan antigen, tapi aktivasi dan diferensiasi sel B matang di kelenjar getah bening (KGB) perifer memerlukan antigen. Proses aktivasi sel B diawali dengan pengenalan antigen spesifik oleh reseptor permukaan. Antigen dan perangsang lain termasuk Th akan merangsang proliferasi dan diferensiasi klon sel B spesifik. Dalam perkembangannya sel B


(39)

mula-mula memproduksi IgM atau isotope Ig lain (missal IgG), menjadi matang, atau menetap sebagai sel memori (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel NK (CD16+56+)

Sel NK merupakan salah satu kelompok limfosit yang memiliki antigen permukaan CD 56 dan 16 (CD16+56+) (Baratawidjaja & Rengganis 2009). Sel NK akan merespon antigen atau mikroba intraseluler dengan membunuh sel-sel yang terinfeksi dan memproduksi IFN- , yaitu sitokin yang akan mengaktivasi makrofag dan berfungsi dalam imunitas non spesifik terhadap virus dan sel tumor (Abbas & Lichtman 2004).

Jumlah sel NK sekitar 5 – 15% dari limfosit dalam sirkulasi dan 45% dari limfosit dalam jaringan. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Dhaliwal et al

(1995), rata-rata sel NK pada orang melayu normal adalah 649 ± 349 sel/µL. Sel NK berkembang dari sel sel asal progenitor yang sama dengan sel B dan sel T tetapi tidak memiliki petanda sel B, sel T, atau immunoglobulin permukaan. Sel NK juga bermigrasi ke organ limfoid perifer seperti limpa dan kelenjar getah bening meskipun hanya merupakan sebagian kecil dari sel T (Abbas & Lichtman 2004; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Sel NK mengenal dan membunuh sel terinfeksi atau sel yang menunjukkan transformasi ganas, tetapi tidak membunuh sel sendiri yang normal karena dapat membedakan sel sendiri dari sel yang potensial berbahaya. Hal tersebut dimungkinkan karena reseptornya yang berupa reseptor inhibitori dan reseptor aktivasi. Sel NK mengenal MHC-I yang diekspresikan semua sel sehat dan tidak oleh sel yang terinfeksi virus atau kanker. Reseptor yang diaktifkan dapat mengenal struktur yang ada pada sel sasaran yang rentan terhadap sel NK dan sel normal. Pengaruh reseptor inhibitori akan dominan dan mengikat MHC-I yang normal diekspresikan pada sel sehat (Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Kemampuan sel NK untuk membunuh berbagai sasaran (termasuk sel tumor) sangat ditentukan oleh reseptor aktivasi. Ikatan ligan dengan reseptor tersebut memacu produksi sitokin yang meningkatkan migrasinya ke tempat infeksi dan membunuh sel sasaran yang mengekspresikan ligannya. Pada umumnya tumor mengekspresikan antigen yang dapat dikenal sel sistem imun,


(40)

tetapi mungkin tidak dikenal oleh sel CTL/CD8. Sel tumor dapat berkembang dan menjadi varian tumor yang secara genetik tidak stabil, dengan ekspresi MHC yang kurang pada permukaan sel, sehingga sel CD8 tidak mampu mengenalinya. Beberapa jenis virus juga dapat mengurangkan ekspresi molekul MHC-I pada sel terinfeksi sehingga mempersulit sel CD8 dalam mengenali dan membunuh sel tersebut. Hal inilah yang menjadi kelebihan sel NK karena dapat membunuh sel pejamu yang mengekspresikan molekul MHC-I abnormal. Dalam hal ini, sel NK dengan reseptor aktivasinya yang mengenali molekul MHC-I abnormal pada sel sasaran dapat membunuh sel tumor serta memusnahkan sel terinfeksi virus intraselular, sehingga dapat menyingkirkan sumber infeksi. Mekanisme kerja sel NK dalam imunitas spesifik terjadi melalui produksi IFN- dan TNF-α yang merupakan dua sitokin proinflamasi poten dan dapat merangsang pematangan sel dendritik yang merupakan sel koordinator imunitas nonspesifik dan spesifik.

merupakan mediator poten aktivasi makrofag dan penting pada regulasi perkembangan Th yang merupakan bagian dari imunitas spesifik (Roitt & Delves 2001; Baratawidjaja & Rengganis 2009).

Fungsi imun dan obesitas

Sistem imun sangat dipengaruhi oleh gizi karena tanpa gizi yang memadai, maka sistem imun akan kekurangan komponen yang dibutuhkan untuk menghasilkan respon imun yang efektif. Kekurangan gizi pada manusia biasanya merupakan kasus kurang gizi komplek (bukan hanya satu zat gizi). Hasil penelitian (dengan hewan coba dan pengamatan pada pasien kurang gizi tunggal) telah menunjukkan peran penting dari vitamin A, beta karoten, asam folat, vitamin B2, B6, B12, vitamin C, vitamin E, besi, seng, dan selenium dalam pemeliharaan sistem imun (Chandra 2002; Grimble 1997 dalam Marcos, Nova, & Montero 2003). Perbaikan gizi akan dapat meningkatkan kembali fungsi imun dan resistensi tubuh terhadap infeksi. Meskipun demikian, kelebihan gizi juga akan berdampak negative/merusak fungsi kekebalan tubuh (Calder dan Kew 2002)

Lemak sebagai salah satu komponen yang sangat penting dalam diet juga merupakan zat yang sangat berperan dalam memodulasi sistem imun. Komposisi asam lemak dalam limfosit dan sel-sel imun akan dibentuk sesuai dengan


(41)

komposisi asam lemak yang ada dalam diet. Oleh karena itu, pengaturan lemak dalam diet menjadi penting terutama jika diet tersebut digunakan dalam tata laksana diet penyakit yang terkait dengan proses peradangan maupun penyakit autoimun (De Pablo & Alvarez de Cienfuegos 2000 dalam Marcos, Nova, & Montero 2003).

Sampai saat ini, informasi mengenai mekanisme yang menyebabkan terjadinya peningkatan risiko infeksi dan rendahnya respon antibodi pada orang-orang obes masih belum diketahui, tetapi kemungkinan yang terbesar adalah karena adanya kaitan antara proses metabolisme dalam tubuh yang buruk yang akhirnya menghasilkan respon imun yang buruk pula (Lamas et al. 2002 dalam Marcos, Nova & Montero 2003). Hal ini didukung dengan banyaknya bukti ilmiah yang menunjukkan adanya hubungan antara metabolism jaringan adipose dengan fungsi sel yang mampu mengembangkan respon kekebalan tubuh (imunokompeten). Pada penelitian dengan menggunakan hewan coba, diketahui bahwa pada subjek hewan coba obes ada hubungan antara keberadaan leptin dan TNF-α dalam jaringan adiposa dengan penurunan seluruh subset limfosit T dan populasi sel B (Kimura et al. 1998 dalamMarcos, Nova & Montero 2003). Selain itu, tingkat responsifitas limfosit hewan coba obes pada berbagai mitogen lebih rendah jika dibandingkan pada subjek yang tidak obes (Tanaka et al. 1998 dalam Marcos, Nova & Montero 2003).

Penelitian lebih lanjut pada subjek manusia dewasa menunjukkan hasil serupa bahwa kapasitas limfosit untuk berproliferasi lebih rendah untuk merespon aktivasi mitogen. Obesitas pada subjek dewasa obes berhubungan dengan peningkatan jumlah leukosit dan subset limfosit (kecuali untuk sel NK dan sitotoksik/sel T supresor), mitogen sel B dan T yang lebih rendah, yang disertai dengan fagositosis granulosit dan monosit lebih tinggi tetapi dengan sel-sel NK yang tetap berfungsi normal (Marti, Marcos, & Martinez 2001). Meskipun demikian, pada penelitian lain didapatkan hasil yang berbeda dan bahkan berlawanan, terutama dalam jumlah leukosit dan subset limfosit. Hal tersebut terjadi kemungkinan karena heterogenitas dan jumlah subjek yang dilibatkan dalam penelitian. Selain itu, pada penelitian dengan subjek obes yang telah mengalami penurunan berat badan atau kekurangan gizi (pada periode


(42)

sebelumnya) juga menghasilkan kesimpulan yang berbeda (Marcos, Nova, & Montero 2003). Beberapa hasil penelitian yang membandingkan respon imun pada subjek obes dan non obes disajikan pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Beberapa hasil penelitian mengenai imunitas pada subjek obes dibandingkan dengan subjek non obes

Subjek Hasil Penelitian Sumber

Individu obes Total limfosit (sel-sel helper (CD4+) dan sel T sitotoksik (CD8+), kadar IL-6 dan IL-1 α, dan kadar serum protein C-reaktif) lebih tinggi dibandingkan subjek non obes.

Nieman et al. (1999) Visser et al. (1999) Raymond et al. (1999)

Individu obes Respon limfosit yang lebih rendah terhadap mitogen dibandingkan subjek non obes, terkait dengan kadar TNF-α yang lebih tinggi.

Nieman et al. (1999) Tanaka et al. (1993)

Individu obes dengan pembatasan asupan energi

Respon proliferasi yang lebih rendah terhadap berbagai mitogen dibandingkan subjek non obes.

Nieman et al. (1996)

Individu obes setelah mengalami penurunan berat badan

Peningkatan respon sel T dan peningkatan respon proliferasi terhadap berbagai mitogen dibandingkan subjek non obes.

Tanaka et al. (1993 dan 2001)

Individu obes setelah berpuasa

Jumlah PHA (phytohaemaglutinin) lebih rendah dan aktifitas sel NK serta IgM (penunjuk terjadinya infeksi primer) lebih tinggi dibandingkan pada subjek non obes.

Wing et al. (1983)

Individu obes dengan program fat burn

Bakterinemia, demam, durasi

antibiotherapy, dan lama rawat inap di rumah sakit yang lebih tinggi

dibandingkan pada subjek non obes.

Gottschlich et al.

(1993)


(1)

Antar kelompok tingkat pendidikan

Group Statistics

40 49.091 26.3480 4.1660

36 66.919 24.5048 4.0841

KELPDDK 1

2 SKOR

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

.013 .909 -3.044 74 .003 -17.8283 5.8566 -29.4978 -6.1588

-3.056 73.913 .003 -17.8283 5.8340 -29.4530 -6.2036 Equal variances

assumed Equal variances not assumed SKOR

F Sig. Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means

Antar kelompok dengan kebiasaan/rutinitas mengonsumsi temulawak

Group Statistics

16 62,500 23,9087 5,9772

43 56,660 27,6907 4,2228

RUTIN1 1 2 SKOR

N Mean Std. Deviation

Std. Error Mean

Independent Samples Test

,190 ,665 ,746 57 ,459 5,8404 7,8327 -9,8443 21,5251

,798 30,956 ,431 5,8404 7,3184 -9,0864 20,7671 Equal variances

assumed Equal variances not assumed SKOR

F Sig. Levene's Test for Equality of Variances

t df Sig. (2-tailed) Mean Difference

Std. Error

Difference Lower Upper 95% Confidence

Interval of the Difference t-test for Equality of Means


(2)

Hasil uji ANOVA minuman instan temulawak

Descriptives

32 6,131 1,8177 ,3213 5,476 6,787 2,5 9,0

32 5,984 1,4019 ,2478 5,479 6,490 3,4 9,0

32 5,116 1,6294 ,2880 4,528 5,703 2,0 8,0

32 4,994 1,7827 ,3151 4,351 5,636 2,5 8,0

128 5,556 1,7228 ,1523 5,255 5,858 2,0 9,0

32 4,475 1,9877 ,3514 3,758 5,192 ,0 9,0

32 4,663 2,2737 ,4019 3,843 5,482 ,0 9,0

32 4,413 1,8990 ,3357 3,728 5,097 ,0 9,0

32 4,894 1,9341 ,3419 4,196 5,591 ,0 8,5

128 4,611 2,0137 ,1780 4,259 4,963 ,0 9,0

32 3,838 1,9727 ,3487 3,126 4,549 1,4 8,2

32 4,572 1,8796 ,3323 3,894 5,250 ,0 8,0

32 5,181 1,5849 ,2802 4,610 5,753 1,7 9,0

32 5,953 1,3942 ,2465 5,450 6,456 3,0 8,5

128 4,886 1,8737 ,1656 4,558 5,214 ,0 9,0

32 5,891 1,9106 ,3378 5,202 6,579 2,2 9,0

32 5,247 1,4274 ,2523 4,732 5,761 2,4 8,0

32 4,850 1,8437 ,3259 4,185 5,515 1,0 9,0

32 5,213 1,7641 ,3119 4,576 5,849 2,0 9,0

128 5,300 1,7662 ,1561 4,991 5,609 1,0 9,0

32 4,494 1,8828 ,3328 3,815 5,173 ,0 7,5

32 4,875 1,6662 ,2945 4,274 5,476 ,0 7,0

32 5,247 1,5764 ,2787 4,679 5,815 ,0 7,5

32 5,803 1,7314 ,3061 5,179 6,427 ,0 8,0

128 5,105 1,7654 ,1560 4,796 5,413 ,0 8,0

32 4,8344 1,32749 ,23467 4,3558 5,3130 2,24 7,10 32 5,0075 1,03109 ,18227 4,6358 5,3792 3,20 7,00 32 4,9481 1,08108 ,19111 4,5584 5,3379 3,00 7,40 32 5,4013 1,05465 ,18644 5,0210 5,7815 3,46 7,30 128 5,0478 1,13680 ,10048 4,8490 5,2466 2,24 7,40 1

2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total 1 2 3 4 Total warna

aroma

rasa

kekentalan

keseluruhan

bobot keseluruhan

N Mean Std. Deviation Std. Error Lower Bound Upper Bound 95% Confidence Interval for

Mean

Minimum Maximum

ANOVA

32,783 3 10,928 3,937 ,010

344,172 124 2,776

376,955 127

4,496 3 1,499 ,364 ,779

510,489 124 4,117

514,985 127

77,567 3 25,856 8,705 ,000

368,288 124 2,970

445,855 127

17,978 3 5,993 1,965 ,123

378,182 124 3,050

396,160 127

29,889 3 9,963 3,376 ,021

365,928 124 2,951

395,817 127

5,825 3 1,942 1,521 ,212

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups Within Groups Total

Between Groups warna

aroma

rasa

kekentalan

keseluruhan

bobot keseluruhan

Sum of


(3)

Uji lanjut Duncan

warna Duncana

32 4,994 32 5,116

32 5,984

32 6,131

,770 ,725 perlak1

4 3 2 1 Sig.

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displa Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000. a.

aroma Duncana

32 4,413

32 4,475

32 4,663

32 4,894

,395 perlak1

3 1 2 4 Sig.

N 1

Subset for alpha

= .05

Means for groups in homogeneous subsets are displaye Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000. a.

rasa Duncana

32 3,838

32 4,572 4,572

32 5,181 5,181

32 5,953

,091 ,160 ,076

perlak1 1 2 3 4 Sig.

N 1 2 3

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are disp Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000. a.

kekentalan Duncana

32 4,850

32 5,213 5,213

32 5,247 5,247

32 5,891

,396 ,146 perlak1

3 4 2 1 Sig.

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are disp Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000. a.

keseluruhan Duncana

32 4,494

32 4,875

32 5,247 5,247

32 5,803

,100 ,198

perlak1 1 2 3 4 Sig.

N 1 2

Subset for alpha = .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000. a.

bobot keseluruhan

Duncana

32 4,8344

32 4,9481

32 5,0075

32 5,4013

,068 perlak1

1 3 2 4 Sig.

N 1

Subset for alpha

= .05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Uses Harmonic Mean Sample Size = 32,000. a.


(4)

Hasil uji normalitas (one sample

Kolmogorov-Smirnov

) untuk seluruh variabel

yang diamati dalam uji klinis

Descriptive Statistics

21 62.48 9.923 44 78

21 1746.24 569.879 1048 3020

21 36.10 8.390 22 50

21 989.95 285.654 593 1551

21 2773.86 660.793 1677 4161

21 23.14 7.143 10 37

21 659.48 303.164 247 1528

21 14.24 3.534 8 20

21 388.14 121.294 171 659

21 25.90 11.296 10 46

21 714.90 346.635 304 1462

21 63.86 11.051 42 79

21 1859.14 682.256 959 3113

21 37.57 9.516 24 56

21 1078.81 399.878 489 1963

21 2874.19 755.405 1734 4254

21 20.90 6.139 9 34

21 615.62 279.377 235 1347

21 11.62 2.655 7 17

21 328.38 97.523 149 530

21 23.62 9.129 13 40

21 663.86 274.692 326 1337

sel T%_1 sel T#_1 cd4+%_1 cd4+#_1 limfosit#_1 cd8+%_1 cd8+#_1 sel B%_1 sel B#_1 sel_nk%_1 sel_nk#_1 sel T%_2 sel T#_2 cd4+%_2 cd4+#_2 limfosit#_2 cd8+%_2 cd8+#_2 sel B%_2 sel B#_2 sel_nk%_2 sel_nk#_2

N Mean Std. Deviation Minimum Maximum

One sample kolmogorov-smirnov test sel

T%_1 sel T#_1

cd4+

%_1 cd4+#_1 limf#_1 cd8+ %_1

cd8+#_ 1

sel B%_1

sel B#_1

sel_ nk%_1

sel_ nk#_1

N 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21

Normal Parameters(a,b)

Mean

62.48 1746.24 36.10 989.95 2773.86 23.14 659.48 14.24 388.14 25.90 714.90

Std.

Deviation 9.923

569.87

9 8.390 285.654

660.79

3 7.143 303.164 3.534 121.2

94 11.296 346.63

5 Most Extreme

Differences

Absolute .132 .110 .170 .140 .084 .127 .118 .146 .120 .138 .145

Positive .114 .109 .170 .140 .074 .127 .118 .146 .120 .138 .145

Negative -.132 -.110 -.128 -.104 -.084 -.090 -.107 -.142 -.080 -.113 -.118 Kolmogorov-Smirnov Z .607 .505 .779 .644 .383 .582 .541 .669 .548 .634 .662 Asymp. Sig. (2-tailed) .855 .961 .578 .802 .999 .887 .932 .763 .925 .816 .773

sel T%_2

sel T#_2

cd4+ %_2

cd4+#_

2 limf#_2 cd8+ %_2

cd8+#_ 2

sel B%_2

sel B#_2

sel_ nk%_2

sel_ nk#_2

N 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21 21

Normal Parameters(a,b)

Mean 63.86 1859.14 37.5

7 1078.81 2874.19 20.90 615.62 11.62 328.38 23.62 663.8

6

Std.

Deviation 11.051 682.256 9.51

6 399.878 755.405 6.139 279.377 2.655 97.523 9.129 274.6

92 Most Extreme

Differences

Absolute .129 .180 .102 .119 .111 .125 .111 .205 .223 .226 .175

Positive .085 .180 .102 .119 .111 .074 .111 .205 .223 .226 .175

Negative -.129 -.135 -.098 -.073 -.086 -.125 -.087 -.122 -.097 -.133 -.109 Kolmogorov-Smirnov Z .593 .824 .467 .547 .511 .574 .510 .939 1.020 1.034 .803 Asymp. Sig. (2-tailed) .874 .505 .981 .925 .957 .897 .957 .341 .249 .236 .540 a Test distribution is Normal.


(5)

Hasil uji beda untuk seluruh variabel yang diamati dalam uji klinis

Descriptive Statistics

N Minimum Maximum Mean Std. Deviation

Umur 21 29 54 44.10 6.457

imt 21 27.57 35.65 31.1481 2.28028

sel T%_1 21 44 78 63.62 9.421

sel T#_1 21 1056 3020 1823.71 580.700

cd4+%_1 21 22 50 37.29 7.773

cd4+#_1 21 613 1592 1037.52 299.110

limfosit#_1 21 1677 4161 2847.67 683.937

cd8+%_1 21 10 37 23.43 7.173

cd8+#_1 21 247 1528 685.14 309.428

sel B%_1 21 8 20 14.57 3.443

sel B#_1 21 171 663 408.76 129.586

sel_nk%_1 21 10 46 25.00 10.507

sel_nk#_1 21 304 1462 712.67 344.890

sel T%_2 21 42 79 63.86 11.051

sel T#_2 21 959 3113 1859.14 682.256

cd4+%_2 21 24 56 37.57 9.516

cd4+#_2 21 489 1963 1078.81 399.878

limfosit#_2 21 1734 4254 2874.19 755.405

cd8+%_2 21 9 34 20.90 6.139

cd8+#_2 21 235 1347 615.62 279.377

sel B%_2 21 7 17 11.62 2.655

sel B#_2 21 149 530 328.38 97.523

sel_nk%_2 21 13 40 23.62 9.129

sel_nk#_2 21 326 1337 663.86 274.692

Valid N (listwise) 21

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation

Std. Error Mean

Pair 1 sel T%_1 63.62 21 9.421 2.056

sel T%_2 63.86 21 11.051 2.412

Pair 2 sel T#_1 1823.71 21 580.700 126.719

sel T#_2 1859.14 21 682.256 148.881

Pair 3 cd4+%_1 37.29 21 7.773 1.696

cd4+%_2 37.57 21 9.516 2.077

Pair 4 cd4+#_1 1037.52 21 299.110 65.271

cd4+#_2 1078.81 21 399.878 87.261

Pair 5 limfosit#_1 2847.67 21 683.937 149.247

limfosit#_2 2874.19 21 755.405 164.843

Pair 6 cd8+%_1 23.43 21 7.173 1.565

cd8+%_2 20.90 21 6.139 1.340

Pair 7 cd8+#_1 685.14 21 309.428 67.523

cd8+#_2 615.62 21 279.377 60.965

Pair 8 sel B%_1 14.57 21 3.443 .751

sel B%_2 11.62 21 2.655 .579

Pair 9 sel B#_1 408.76 21 129.586 28.278

sel B#_2 328.38 21 97.523 21.281

Pair 10

sel_nk%_1

25.00 21 10.507 2.293

sel_nk%_2 23.62 21 9.129 1.992

Pair 11

sel_nk#_1 712.67 21 344.890 75.261


(6)

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 sel T%_1 & sel T%_2 21 .851 .000

Pair 2 sel T#_1 & sel T#_2 21 .652 .001

Pair 3 cd4+%_1 & cd4+%_2 21 .801 .000

Pair 4 cd4+#_1 & cd4+#_2 21 .542 .011

Pair 5 limfosit#_1 & limfosit#_2 21 .594 .005

Pair 6 cd8+%_1 & cd8+%_2 21 .946 .000

Pair 7 cd8+#_1 & cd8+#_2 21 .850 .000

Pair 8 sel B%_1 & sel B%_2 21 .845 .000

Pair 9 sel B#_1 & sel B#_2 21 .535 .012

Pair 10 sel_nk%_1 & sel_nk%_2 21 .752 .000 Pair 11 sel_nk#_1 & sel_nk#_2 21 .725 .000

Paired Samples Test

-.238 5.804 1.267 -2.880 2.404 -.188 20 .853

-35.429 534.775 116.697 -278.855 207.998 -.304 20 .765

-.286 5.693 1.242 -2.877 2.306 -.230 20 .820

-41.286 346.035 75.511 -198.799 116.228 -.547 20 .591

-26.524 651.687 142.210 -323.168 270.121 -.187 20 .854

2.524 2.421 .528 1.422 3.626 4.777 20 .000

69.524 163.846 35.754 -5.058 144.106 1.944 20 .066

2.952 1.857 .405 2.107 3.798 7.287 20 .000

80.381 113.003 24.659 28.943 131.819 3.260 20 .004

1.381 7.039 1.536 -1.823 4.585 .899 20 .379

48.810 238.706 52.090 -59.848 157.467 .937 20 .360

sel T%_1 - sel T%_2 Pair 1

sel T#_1 - sel T#_2 Pair 2

cd4+%_1 - cd4+%_2 Pair 3

cd4+#_1 - cd4+#_2 Pair 4

limfosit#_1 - limfosit#_ Pair 5

cd8+%_1 - cd8+%_2 Pair 6

cd8+#_1 - cd8+#_2 Pair 7

sel B%_1 - sel B%_2 Pair 8

sel B#_1 - sel B#_2 Pair 9

sel_nk%_1 - sel_nk% Pair 10

sel_nk#_1 - sel_nk#_ Pair 11

Mean Std. Deviation

Std. Error

Mean Lower Upper

95% Confidence Interval of the

Difference Paired Differences