14
a. Eudaimonic Well-Being
Konsep eudaimonia pertama kali diungkapkan oleh Aristoteles yang juga dipengaruhi oleh filsuf-filsuf Yunani kuno sepeti Plato dan
Zeno. Aristoteles mengatakan bahwa suatu keadaan di mana kita menjalani hidup yang penuh perenungan dan kebaikan sesuai dengan
sifat seseorang hidup sebagaimana adanya merupakan langkah menuju kesejahteraan Norton, dalam Henderson Knight 2012.
Aristoteles mendefinisikannya sebagai tindakan kebajikan yang terpuji dan layak; sering ditekankan sebagai kebajikan dari keadilan,
kebaikan, keberanian, dan kejujuran. Aristoteles juga mengatakan lebih lanjut bahwa pengembangan potensi terbaik seseorang dalam
mencapai sesuatu yang kompleks dan penuh makna merupakan hal yang menandai hidup yang baik.
Eudaimonis juga merupakan suatu teori etis yang berkaitan dengan panggilan untuk hidup sesuai dengan daimon atau
“true self” seseorang. Daimon mengacu pada potensi-potensi yang dimiliki
seseorang, merupakan
kesadaran untuk
memaksimalkan kemampuannya, termasuk di dalamnya potensi yang memang dimiliki
semua orang pada umumnya maupun potensi-potensi unik yang dimiliki setiap individu. Daimon merupakan kondisi ideal saat
seseorang merasa telah menjadi yang terbaik yang dia bisa, kesempurnaan yang berusaha dicapai seseorang, sehingga memberikan
makna dan tujuan dalam hidup seseorang. Usaha seseorang untuk bisa
Universitas Sumatera Utara
15
hidup mencapai daimon danmemahami potensi-potensinya disebut dengan istilah eudaimonia Waterman, 1993.
Norton dalam Waterman 2007 mendeskripsikan eudaimonic well-being sebagai kondisi saat seseorang ingin dan sedang melakukan
apa yang ingin dilakukannya, di mana hal tersebut memang layak untuk dilakukan.
Pada penelitian ini, eudaimonic well-being didefinisikan sebagai kepuasan dalam hidup seseorang saat melakukan aktivitas
yang membuat potensi dirinya semakin berkembang dan membuatnya merasa memiliki hidup yang lebih bermakna.
b. Hedonic Well-Being