Mencari Pacaran dalam Tradisi Islam sebagai Historical Function
Mencari Pacaran dalam Tradisi Islam sebagai Historical Function
Tentu saja fenomena pacaran tidak akan atau sedikit memiliki kemungkinan dijumpai pada masa Nabi saw, namun dalam poin ini segala sesuatu yang terkait dengan interaksi lak-laki dan perempuan (non-muhrim) pada masa itu dapat menghadirkan informasi audiens historis. Khitbah misalnya, terlepas dari aspek historisitasnya atau bagaimana awal mulanya, khitbah merupakan fenomena praktek yang terjadi pada pada masa Nabi saw, dan sangat memiliki kemungkinan telah menjadi tradisi sebelum datangya Islam. Dalam beberapa kebudayaan semisal di Indonesia, praktek khit}bah seringkali dipadankan dengan istilah meminang atau bertunganan, dimana ketika telah terjadi proses tersebut maka setengah dari legalitas pernikahan
dianggap telah terlewati. 3 Selanjutnya, meskipun khitbah tidak identik
3 Oleh sebagian produsen hukum Islam klasik (ahli fiqih), praktek tersebut dirumuskan sedemikian rupa dan seolah dijadikan legitimasi atau aturan main
baku bagi seorang muslim yang ingin dan akan melangsungkan pernikahan. Kesan yang diperoleh adalah bahwa interaksi laki-laki dan perempuan dapat menjadi legal hanya melalui praktek khit}bah serta cenderung mengatakan segala bentuk aktifitas diluar proses tersebut merupakan aktifitas yang tidak dikenal oleh Islam dan berkedudukan haram meskipun pada dasarnya khit}bah sendiri tidak merujuk pada legalitas apapun. Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. #Dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. Dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. QS. al-Baqarah (2): 235.
86 Etika Islam
dengan pacaran karena khit}bah lebih dapat dipertanggungjawabkan serta memiliki konsekuensi logis bagi kedua belah pihak, namun melalui informasi tradisi khit}bah yang terjadi pada masa Nabi saw, dapat dieroleh sebuah pemahaman sederhana bahwa spirit dan fungsi saling penjajakan atas pasangan yang akan dinikahi adalah suatu kebutuhan
Ahmad bin Mani’ Ibn Abi Za’idah telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa ‘A>s}im Ibn Sulaiman dari Bakr Ibn ‘Abdillah al-Muzanni dari al- Mughirah Ibn Syu’bah, bahwa ia mengkhit}bah seorang wanita. Maka Nabi saw, kemudian berkata: lihatlah kepadanya karena akan melanggengkan diantara kalian berdua. Hadis tersebut dinilai berkualitas sahih oleh pentahqiq (kritikus) kitab. (HR.Tirmizi) (Lihat at-Tirmizi, 1996: 257).
Dua teks diatas setidaknya mewakili beberapa statement terkait dengan persoalan khitbah. Teks pertama berkaitan dengan etika menyatakan keinginan menikahi seorang perempuan dimana kasus yang dirujuk adalah seorang janda. Para mufassir memaknainya bahwa seorang laki-laki diperbolehkan menyatakan keinginan kepada seorang perempuan untuk menikahinya dengan ungkapan yang dipahami baik secara verbal maupun tidak pada masa ‘iddah-nya (Al- Qurtubi, IV, 2006: 144).
Teks kedua merupakan rekaman peristiwa ketika seorang sahabat (Mughirah Ibn Syu’bah) mengkhitbah seorang perempuan dimana dalam kasus ini Nabi saw, menyarankan untuk melihatnya. Penulis tidak menemukan alasan spesifik yang melatarbelakangi ungkapan tersebut (baca: asbab al-wurud), namun secara sederhana ungkapan “melihat” dapat dikonstruksikan dalam dua kemungkinan. Pertama, sahabat tersebut belum pernah melihat gadis yang dikhitbah secara fisik atau kedua, sahabat tersebut tidak mengenal secara baik dalam arti kepribadian dan seluk beluk sang gadis yang dikhitbah.
Terlepas dari latar belakang ungkapan itu, teks itu juga berbicara bahwa melihat dalam hal ini adalah bagi kepentingan kedua belah pihak dimana kebahagiaan tidak hanya milik laki-laki atau perempuan saja. Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan hanya melihat terlebih oleh satu pihak (laki- laki) maka pernikahan menjadi sesuatu yang bahagia bahkan kekal...? Persoalan yang lebih menggelitik adalah perdebatan yang lebih berkutat seputar memaknai batasan melihat perempuan yang dikhit}bah dimana cenderung mendiskreditkan perempuan pada satu pihak. Beberapa pendapat mengatakan bahwa yang dapat dilihat adalah telapak tangan, atau wajah bahkan ada juga yang berpendapat seluruh tubuh perempuan yang dikhit}bah (terkhitbah) dapat dilihat (Sabiq, II, 1971: 20).
Upaya Preventif dan Etika Interaksi 87
dan keharusan yang manusiawi mengingat sakralitas pernikahan itu sendiri. 4
Seiring berjalannya waktu, dimana perkembangan semangat zaman dan budaya tidak mungkin terelakkan, interaksi laki-laki dan perempuan juga berkembang tidak terbatasi pada relasi menanti jodoh tetapi juga relasi kerja dan partenrship. Jika pada masa Nabi saw, zaman Kartini hingga Siti Nurbaya, perempuan tidak lebih dari sekedar “konco wingking” yang terkungkung pada orientasi menikah, melahirkan anak dan mengatur segala bentuk urusan rumah tangga, pada era selanjutnya perempuan memiliki kesempatan bahkan terkadang justru dituntut untuk berkarier, belajar secara formal dan berorganisasi hingga menjadi seorang mujtahid sekalipun. Dalam pada itu perempuan juga memiliki hak untuk memilih dan menimbang pasangan yang sesuai bagi mereka dalam konteks fisik, moralitas, ekonomi dan agama misalnya, tidak hanya menunggu jodoh sambil termenung didapur.
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang- binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). QS. Ali ‘Imran (3): 14. Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal- mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. QS. al-Hujurat (49): 13.
“Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri- isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” QS. an-Nisa>’ (4):
88 Etika Islam
Isyarat-isyarat tersebut ditekankan dalam dua penggalan ayat diatas dimana manusia diciptakan Tuhan memiliki berbagai jenis keperluan, baik dalam konteks pribadi maupun dalam konteks hidup bermasyarakat. Mereka juga memiliki naluri persaudaraan dan menjalin hubungan yang harmonis tanpa membedakan warna kulit, suku, agama, adat, dan bahasa, karena secara fitrah mereka adalah makhluk sosial yang selalu hidup bermasyarakat sehingga tidak mungkin dapat hidup sendiri tanpa adanya hubungan sosial.
Dari eksplorasi sederhana diatas, meskipun tradisi Islam mengenal praktek khit}bah sebagai sebuah fase semi legal pra-nikah, namun bukan berarti hal itu membatasi segala bentuk interaksi diluar praktek tersebut karena interaksi laki-laki dan perempuan merupakan keniscayaan melintasi zaman dan budaya termasuk didalamnya pacaran dalam batasan-batasan tertentu. Proporsi semacam ini dalam bahasa Gracia disebut sebagai interpretasi non-tekstual yang berupaya memahami makna dibalik teks serta implikasinya menggunakan perangkat sejarah, sosial dan psikologi serta tidak terpaku pada interpretasi teks secara tekstual (Gracia, 1995: 165).