21
2.2.2 Teori Ajaran
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, a jaran berasal dari kata “ ajar “ yang
berarti petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui diturut 2001 : 17 . Lalu kata” ajar “ itu mendapat akhiran -an sehingga menjadi “ ajaran “ artinya
tuntunan yang diberikan kepada seseorang untuk dipahami dan diikuti. Dikatakan lebih lanjut bahwa dalam memelihara dan memberi latihan diperlukan adanya
ajaran, tuntunan, dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pikiran . Dalam Kamus Pepak Basa Jawa, Mulyono, 2008 : 7
kata “ ajar “ berarti wulang, piwulang, pelajaran, belajar. Dalam Glosarium Istilah Sastra Jawa, wulang artinya
ajaran atau didaktik. Prabowo, 2007 : 336 Sastra wulang adalah sastra yang di dalamnya mengandung ajaran atau didaktik, misalnya Wulang Sunu, Wulang Putra,
Wulang Dalem, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa
ajaran, wulang, atau piwulang berarti suatu proses yang mempunyai tujuan menciptakan pola-pola tingkah laku pada orang yang diajar.
Salah satu di antara nilai-nilai adiluhung adalah mendorong seseorang agar menjadi manusia seutuhnya, yang tidak terlena oleh harta, kekuasaan, dan
kehormatan. Muslich dkk, 2006 : 27 Selanjutnya dikatakan bahwa aspek piwulang sangat menentukan perilaku dan karakteristik manusia untuk membentuk konsep
wong jawa ngganing rasa maka tekun dalam mengusahakan kesejahteraan melalui
22 pengajaran untuk meraih budi luhur, ajaran, pengertian, dan pedoman hati menjadi
kebutuhan hidup. Banyak teks sastra yang di dalamnya berisi ajaran atau piwulang tentang
berbagai hal. Bagawat Gita yang merupakan bagian dari Bharatayuda, berisi petuah Krishna kepada Arjuna. Dalam Dewaruci terdapat ajaran tentang manunggaling
kawula lan Gusti. melalui Soedjarwo 2001: 16 A. Sudewa mengatakan bahwa ada perbedaan antara sastra piwulang pada
zaman pra-Surakarta dengan zaman Surakarta. Perbedaan itu adalah 1 Sastra piwulang dari zaman pra-Surakarta hanya menggunakan sebuah tembang saja yaitu
Dhandhanggula, sedangkan sastra piwulang pada zaman Surakarta menggunakan bermacam-macam tembang, yaitu Dhandhanggula, Pocung, Sinom, Kinanthi, dan
sebagainya. 2 Piwulang pada zaman pra-Surakarta umumnya berisi tentang ajaran bagaimana mengabdi kepada raja dan negara, sedangkan piwulang pada zaman
Surakarta ajarannya tentang pembentukan kepribadian personal. 3 Piwulang pada zaman pra-Surakarta syariat Islam belum mendapat perhatian, sedangkan pada zaman
Surakarta syariat Islam sudah mendapat perhatian yang memadai melalui Soedjarwo 2001: 19.
BAB 3 DESKRIPSI NASKAH DAN RINGKASAN CERITA
SERAT WASITA DYAH UTAMA
3.1 Uraian Naskah
Naskah Serat Wasita Dyah Utama adalah karangan Adisara, Nyai Tumenggung. Naskah yang berisi ajaran moral tersebut ditulis dengan maksud
ditujukan kepada para putri Sinuhun Pakubuwana IX. Naskah berbentuk tembang macapat puisi Jawa . Naskah tersebut penulis dapatkan di Perpustakaan Sono
Pustaka Kraton Surakarta Hadiningrat dengan nomor katalog KS 368.0, 444 Ha, SMP 140 18. Naskah menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa. Ukuran
halaman 21,3 x 17 cm. Naskah Serat Wasita Dyah Utama terdapat dalam Serat wulang
– dalem Sampeyan – dalem Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Hingkang Kaping IX yang dikarang oleh Pakubuwana IX, Adisara, Nyai
Tumenggung, dan Kangjeng Ratu Kencana. Naskah tersebut terdiri atas 99 halaman. Adapun halaman 1
– 86 disalin dari bukunya Radenmas Ngabehi Praja Kintaka, dan halaman 87
– 99 disalin dari bukunya Radenmas Ngabehi Tirtapraja. Naskah Serat Wasita Dyah Utama terdiri atas 22 bait pupuh Kinanthi, 26 bait pupuh
Maskumambang, dan 15 bait pupuh Sinom. Naskah Serat Wasita Dyah Utama