ANALISIS STRUKTURAL

e. Peleraian

Peristiwa menginjak pada peleraian setelah semua orang berteriak- teriak tak karuan meneriakkan apa yang selama ini mereka alami. Kemudian terdengar bunyi gong dan suasana menjadi sunyi senyap. Kemudian Kepala keluarga mengatakan kepada Bupati bahwa ia sudah tidak bisa lagi menguasai mereka. Seperti terlihat pada nukilan berikut.

TERDENGAR BUNYI GONG, SEMUA JADI SUNYI Kep keluarga : Bapak Bupati yang saya hormati, mohon ampun

beribu-ribu ampun, saya tak bisa lagi menguasai mereka.

Hansip II

: Pak Bupati tak ada disini.

Kep keluarga : Sama saja ada atau tidak ada harus bicara dan menjawabnya tak perlu lagi dari Bapak. Aku memimpin mereka bertahun-tahun. Aku bujuk mereka untuk menempuh jalur yang sudah kita setujui bersama ini. Meskipun dengan hati tertekan mereka sudah sampai kemari didepan Bapak. (Putu Wijaya, 1993 : 46)

Walaupun hansip mengatakan bahwa Bupati tidak ada, tetapi tetap saja Kepala keluarga berbicara kepada Bupati bahwa mereka telah berusaha menyelesaikan persoalan yang mereka alami. Mereka juga telah menyampaikannya kepada Bupati. Tetapi mereka semua ingin segera mengakhiri hidup mereka untuk menghadap dan menyampaikan secara Walaupun hansip mengatakan bahwa Bupati tidak ada, tetapi tetap saja Kepala keluarga berbicara kepada Bupati bahwa mereka telah berusaha menyelesaikan persoalan yang mereka alami. Mereka juga telah menyampaikannya kepada Bupati. Tetapi mereka semua ingin segera mengakhiri hidup mereka untuk menghadap dan menyampaikan secara

Hansip II

: Tidak ada Bapak disini.

Kep keluarga : Di depan Bapak. Dan Bapak lihat sendiri bagaimana mereka telah berusaha, kami telah berusaha dan aku telah bekerja matia-matian. Jadi jangan nanti mengatakan kami tidak berusaha. Sekarang ijinkan kami menempuh jalan kami sendiri langsung kehadapan-Nya menanyakan ini semua.( Putu Wijaya, 1993 : 46)

f. Akhir

Peristiwa ini berakhir ketika Kepala keluarga mulai melakukan sembahyang menghadap kepada Tuhan dan mengungkapkan semua yang telah dialami dan semua orang udik yang dipimpinnya. Kepala keluarga dan orang-orang udik yang ia pimpin bertekad untuk menghadap langsung kepada Tuhan untuk menanyakan perihal yang telah mereka alami selama ini. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

Kep keluarga : (MELAKUKAN SEMBAHYANG MENURUT AGAMANYA) Tuhan Seru Sekalian Alam, Yang Maha Besar, Yang Maha Kuasa, Pencipta kami, Yang Maha Agung Yang selalu kami Mulyakan, Tuhan kami Yang Maha Esa kami sujud di kaki-Mu dan mohon maaf serta ampunan-Mu. Kami berdiri disini dengan sisa-sisa kekuatan kami dan menggapai-Mu dengan lidah kami yang sudah berkarat. Barangkali kata-kata kami tak ada tenaganya lagi karena kami sebenarnya hamper lumpuh disini ditindas oleh penyerahan kami kepada-Mu, sedikitpun kami tidak pernah berpaling dari-Mu, karena dimana saja selalu kami dengar detak- Mu mengikuti waktu bergulir. Namun itu semua tidak pula melumpuhkan hasrat kami untuk bertanya hasrat yang mestinya juga merupakan karunia-Mu kepada kami. Ribuan, jutaan, bermilyar-milyar pertanyaan dalam bongkah kecil dan paket-paket raksasa telah sesak disini menghimpit kami mengalir setiap waktu.

dokter kami, professor kami, para cendekiawan, pemimpin-pemimpin redaksi, tokoh-tokoh masyarakat, para pejabat, bahkan juga orang-orang pinter kami yang arif dan bijaksana telah mencoba menjelaskan dengan segala upaya mulut mereka. Tapi semua itu ternyata belum memuaskan. Itulah sebabnya hari ini bagaikan orang murtad, bagai pemberontak dan pembangkang aku langsung mengetuk gerbang-Mu dan menanyakan langsung: Satu, Kenapa kelebatan sinar-Mu tidak sama besarnya dihati kami sehingga kami berkelahi sepanjang zaman. Dua. Dua a- Apa maksudmu yang sebenarnya. Dua b- Berapa lama semua ini akan berjalan seperti ini dalam kurung seorang anak pernah bertanya apakah Kamu benar-benar netral atau berpihak? Dan tiga pertanyaan yang terakhir, apa artinya segala yang mokal-mokal itu? (MENUNJUK KEBELAKANG KEARAH BUNGKUSAN PUTIH). (Putu Wijaya, 1993 : 47)

Setelah semuanya siap kemudian salah satu dari orang udik itu membunyikan gong lalu kemudian bungkusan putih yang ada diturunkan dan dibuka, ternyata berisikan makhluk ajaib. Yaitu seorang manusia yang bertangan ribuan. Sekali lagi Kepala Keluarga meyakinkan orang-orang udik yang dipimpinya untuk segera menghunus kerisnya dan bersiap-siap melakukan bunuh diri agar supaya langsung bisa bertemu dan menghadap Tuhan untuk menanyakan perihal yang selama ini mereka alami. Seperti terlihat dalam nukilan berikut.

Kep keluarga : Hunus kerismu anak-anak! (SEMUA BERJAJAR DAN MEMEGANG KAIN PUTIH YANG TADI MEMBUNGKUS PETI)

POSISI NENEK PALING DEPAN MENGHUNUS KERIS. SEMENTARA DIBELAKANGNYA DALAM SATU GARIS LURUS ORANG-ORANG UDIK ITU MEMEGANG KAIN PUTIH YANG MERENTANG BAGAI DINDING PANJANG, MEREKA JUGA MENGHUNUS KERIS MEREKA.

jawaban-Mu. Ujung keris ini telah lama kami simpan. Apabila Kau pun tidak menjawab atau memberikan jawaban yang tidak menyalakan sesuatu yang terang dihati kami, izinkan kami mengakhiri perjalanan yang Kamu karuniakan ini, secara serentak, hari ini juga. Waktu yang kami berikan hanya sepuluh kali ketukan. Sesudah itu kami akan bunuh diri rame-rame. Satu…..(Putu Wijaya, 1993 : 48)

Setelah itu semuanya dalam posisi bunuh diri dan Kepala Keluarga terus saja menghitung satu persatu dari satu sampai sepuluh. Walaupun disela- sela hitungan itu Bupati terus berbicara dan mengatakan bahwa ini hanya kepentingan satu orang yang banyak menyeret orang-orang lain yang tidak tahu apa-apa. Bupati berusaha meyakinkan bahwa ini semua tidak aka nada gunanya. Tetapi Kepala keluarga dan orang-orang udik sudah bertekad untuk bunuh diri ramai-ramai agar bisa langsung bertemu dan menghadap Tuhan untuk menyampaikan apa yang mereka alami selama ini. Pada akhirnya sampai pada hitungan kesepuluh mereka bunuh diri dengan menusukkan keris mereka kedalam tubuhnya masing-masing.

Alur dalam naskah lakon Aum ini menggunakan alur rapat. Artinya jalinan peristiwa yang sangat padu dlam sebuah karya, kalu peristiwa atau kejadian dihilangkan maka keutuhan cerita akan terganggu. Menurut sifatnya, dapat dikatakan sebagai alur maju atau alur progresif, yaitu jalinan peristiwa dalam suatu karya sastra yang berurutan dan berkesinambungan, secara kronologis dari tahap awal sampai akhir didasarkan pada pendapat Soediro Satoto (h. 53).

a. Aspek Tempat dan Ruang

Peristiwa dalam naskah lakon Aum terjadi di depan rumah Bupati. Lebih jelasnya gambaran mengenai setting ruang lakon ini secara rinci dideskrepsikan pada awal lakon.

“….SEJUMLAH ORANG TIDUR DI DEPAN RUMAH PAK BUPATI MEREKA TAK MAU BERGERAKSEJENGKALPUN, SEBELUM BUPATI MENERIMA KEHADIRAN MEREKA. MEREKA TELAH TEGAK DISANA SEJAK TADI

SIANG.” (Putu Wijaya, 1993 : 1)

Dari penjelasan diatas tersurat bahwa peristiwa dalam naskah lakon ini terjadi atau bertempat di kediaman Bupati.

b. Aspek Waktu

Peristiwa dalam naskah lakon Aum di dalam naskahnya tidak dijelaskan secara jelas kapan waktu kejadiannya. Hanya pada penjelasan cerita awalnya terdapat cakapan sebagai berikut.

“SUBUH TURUN LAGI KE BUMI. SEORANG HANSIP YANG MASIH SEGER MUNCUL UNTUK MENGGANTIKAN REKANNYA YANG TELAH SEMALAMAN SUNTUK BERJAGA-JAGA DI RUMAH BUPATI”. (Putu Wijaya, 1993 : 1)

Dari cakapan diatas dapat disimpulkan bahwa peristiwa yang terjadi dalam naskah lakon Aum terjadi pada pagi hari sekitar waktu subuh. Hal yang menunjukkan waktu kejadian lain dalam peristiwa pada naskah lakon Aum ini juga terdapat dalam dialog Bupati sebagai berikut.

Bupati : (MELIHAT JAM) Belum, sekarang belum jam tujuh. Tapi tanpa bermaksud untuk menjawab, kalau boleh ikut campur inilah pendapat saya. Ingat hanya pendapat. Kamu semua sudah merusak metabolism iklim yang sedang membaik. Karena kamu sudah terlalu banyak Bupati : (MELIHAT JAM) Belum, sekarang belum jam tujuh. Tapi tanpa bermaksud untuk menjawab, kalau boleh ikut campur inilah pendapat saya. Ingat hanya pendapat. Kamu semua sudah merusak metabolism iklim yang sedang membaik. Karena kamu sudah terlalu banyak

Dari dialog diatas menyatakan bahwa peristiwa yang terjadi menunjuk aspek waktu pagi seperti yang dinyatakan Bupati bahwa sekarang belum jam tujuh.

c. Aspek Suasana

Aspek suasana dalam cerita lakon ini dapat ditangkap dari keterangan- keterangan dan dialog tokohnya. Pada prinsipnya aspek suasana dalam cerita lakon ini adalah kondisi kesakitan yang dialami oleh orang-orang udik dilihat dari berbagai segi dan pertanyaan dari kejadian yang mereka alami dan tak bisa mereka jawab sehingga Nampak peristiwa yang dirasakan dari aspek suasana adalah kondisi ketertindihan, jeritan, haru, kesedihan, dan keputusasaan.

Kondisi kesakitan yang dalam bisa dilihat dari dialog-dialog tokohnya, antara lain dialog orang udik sebagai berikut.

Orang udik : Aduhhhh biungggg, sakittttt, keburaman yang sakit, pertanyaan-pertanyaan yang menggepengkan dan merusak, tapi merayap perlahan-lahanseperti ingin menonton gigiku copot satu-satu, menyaksikan dengan cekikikan alat kelaminku berubah menjadi bencong dari hari keharisehingga anak- anakku sendiri jijik melihat kehadiranku yang mereka anggap tak bermalu tapi bernafsu seperti kebo, memaksakan zaman menerima bulu-bulu dan bau badanku yang mengotori udara sepanjang hari.(Putu Wijaya, 1993 : 45)

Kondisi suasana yang muncul dapat dilihat dari dialog orang udik yang memperlihatkan kondisi kesakitan fisik, batin, dan mentalnya yang sangat luar biasa, bagaimana anak-anaknya sendiri jijik melihat kehadirannya karena lama kelamaan Kondisi suasana yang muncul dapat dilihat dari dialog orang udik yang memperlihatkan kondisi kesakitan fisik, batin, dan mentalnya yang sangat luar biasa, bagaimana anak-anaknya sendiri jijik melihat kehadirannya karena lama kelamaan

Mawar : Kadangkala malunya datang lagi, padahal ini sudah bukan waktunya lagi malu-malu. Dulu barangkali, ketika kami mula-mula disandingkan sebagai mempelai. Saya memakai kain tenunan kuning dengan bunga emas di kepala. Dan dia membawa keris pusaka keluarga serta kumis tebal dan jantan sekali dibawah hidungnya. Tapi kebahagiaan cinta memang tak pernah lama. Karena tatkala saya melirik dia dengan begitu gagahnya didepan ribuan tamu yang menjenguk dengan puji-pujian, saya lihat-saya lihat. Ya Tuhan akan bertiup kemana takdir ini membawa nasib kita semua. Saya lihat gelembung gelembung udara yang besar dan tubuhnya jadi bengkak, saya melihat aib yang disoraki oleh ribuan mulut waktu itu juga. Saya nyaris, saya nyaris. Ibuuuu aku tidak kuat lagi. Apa gunanya semua pertanyaan ini lagi. Selesaikan sekarang ibuuuuuuu (DIA MENCOPOTI BUSANANYA) (Putu Wijaya, 1993 : 34)

3. Tikaian dan Konflik

Di dalam naskah lakon ini terdapat tikaian dan konflik sebagai berikut.

a. Konflik pertama; terjadi antara hansip dan orang udik. Berisikan kecurigaan, hansip mencurigai orang udik membawa pisau yang dianggap mengancam keamanan, sehingga hansip memukul orang udik.

b. Konflik kedua; terjadi antara Bupati dan hansip. Bupati marah karena hansip-hansip dirasa tidak becus menjaga stabilitas rumah Bupati dan kalau terbukti bersalah akan dicopot dan diganti jabatannya.

c. Konflik ketiga; terjadi saat Ucok berdoa. Saat berdoa Ucok dirundung persoalan psikologis yang menusuk jiwanya. Ucok membanting sesuatu karena bosan dan muak melakukan semua ini, ia merasa hasilnya akan sia- c. Konflik ketiga; terjadi saat Ucok berdoa. Saat berdoa Ucok dirundung persoalan psikologis yang menusuk jiwanya. Ucok membanting sesuatu karena bosan dan muak melakukan semua ini, ia merasa hasilnya akan sia-

d. Konflik keempat; terjadi antara Bupati dan Kepala keluarga. Konflik yang terjadi antara keduanya disebabkan karena Kepala keluarga mendesak dengan berbagai permasalahan dari ketidaklaziman yang terjadi dan dialami warganya. Berbagai desakan pengaduan yang tidak bisa dijawab Bupati menyebabkan Bupati menuduh balik Kepala keluarga telah berusaha merusak metabolism iklim yang selama ini sudah terbangun dan membaik.

e. Konflik kelima; terjadi antara Kepala keluarga dengan Tuhan. Setelah Kepala keluarga merasa Bupati tidak bisa menjawab ketidaklaziman kejadian yang menimpa orang-orang udik. Kepala keluarga mengajak untuk lengsung menanyakannya kepada Tuhan dengan cara bunuh diri.

4. Cakapan

Cakapan dalam naskah lakon Aum apabila diamati kalimat yang dipergunakan dalam naskah lakon ini sangat proporsional. Panjang pendeknya kalimat dan cakapan- cakapan para tokohnya sangat diperhitungkan penggunaanya. Sehingga tidak akan merusak jalinan tempo naskah dan juga tempo pementasan apabila diangkat menjadi pertunjukan dalam sebuah panggung.

tidak masuk akal yang bertujuan untuk mengagetkan, menarik perhatian, mengganggu, dan meneror para pembaca agar berfikir dan mengingat kembali bahwa dia itu manusia dan bukan alat. Kalimat yang terjalin memiliki rasa kegemberiaan, harapan, duka, kepedihan, cinta, dan kebahagiaan.

5. Tema dan Amanat

Tema dalam naskah lakon ini dinyatakan secara simbolik. Dilihat dari judulnya, Aum kita sudah bisa membayangkan apa yang ada dalam naskah lakon itu. Aum merupakan jeritan dari ketertindasan masyarakat kalangan bawah dalam mengarungi kehidupan. Benturan-benturan yang dialami masyarakat kalangan bawah terasa sangat mencekik dan menyayat. Naskah lakon ini berusaha mendobrak kemapanan yang selama ini terjadi, dimana pemimpin yang hidupnya makmur selalu berusaha mempertahankan kemakmurannya dengan tidak memperhatikan masyarakat yang lainnya yang tidak bisa merasakan kemakmuran seperti yang dirasakannya. Sementara yang hidupnya tertindas terpaksa harus terpinggirkan dan tidak pernah diberi kesempatan untuk bisa memperbaiki kehidupannya.

Cerita dalam naskah lakon ini mengisahkan tentang perjalanan sekelompok orang udik menuju rumah Bupati untuk mengadukan permasalahan-permasalahan yang selama ini selalu menyelimuti mereka dan tidak bisa mereka pecahkan sendiri. Bahkan mereka sudah berusaha dengan bertanya kemana-mana tapi tetap juga tidak

rasa bisa untuk membantu menjawab segala pertanyaan mereka. Tapi dalam kenyataannya Bupati juga tidak bisa menjawab dan kebingungan menghadapi rentetan pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang udik. Dari kejadian itu kemudian menimbulkan cekcok yang sangat panjang antara orang-orang udik dengan Bupati dan kedua hansipnya. Akhirnya sekelompok orang-orang udik yang dipimpin oleh Kepala keluarga memutuskan untuk menanyakan langsung permasalahan mereka kepada Tuhan dengan jalan bunuh diri secara masal agar bisa langsung bertemu dan menanyakan permasalahan mereka kepada Tuhan.

Amanat mempunyai sifat umum dan subjektif. Ini tergantung dari para pembaca dalam menafsirkan isi karya sastra. Juga dikarenakan pandangan yang tidak sama dalam menghadapi permasalahan yang dihadirkan oleh pengarang lewat karyanya tersebut. sehingga antara pembaca yang satu dengan pembaca yang lain akan mempunyai interpretasi yang berbeda-beda.

Amanat yang hendak disampaikan pengarang dalam naskah lakon Aum ini adalah sindiran yang ditujukan kepada para pemimpin bangsa yang tidak peduli pada nasib kaum bawah yang selalu terpinggirkan. Sebagai pemimpin bangsa yang dipercaya oleh rakyat, seharusnya mereka berusaha memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, mengentaskan rakyat yang sengsara dan juga melakukan pembenahan dalam berbagai sistem kehidupan guna menuju kehidupan yang lebih baik Amanat yang hendak disampaikan pengarang dalam naskah lakon Aum ini adalah sindiran yang ditujukan kepada para pemimpin bangsa yang tidak peduli pada nasib kaum bawah yang selalu terpinggirkan. Sebagai pemimpin bangsa yang dipercaya oleh rakyat, seharusnya mereka berusaha memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya, mengentaskan rakyat yang sengsara dan juga melakukan pembenahan dalam berbagai sistem kehidupan guna menuju kehidupan yang lebih baik