Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Objek dan Piksel di Pulau Morotai
KLASIFIKASI EKOSISTEM TERUMBU KARANG
BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL DI PULAU MOROTAI
NURHALIS WAHIDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Klasifikasi Ekosistem
Terumbu Karang Berbasis Objek dan Piksel di Pulau Morotai adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Nurhalis Wahiddin
NIM C562100031
ii
RINGKASAN
NURHALIS WAHIDDIN. Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Objek
dan Piksel di Pulau Morotai. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR, INDRA
JAYA, SAM WOUTHUYZEN, dan BISMAN NABABAN
Sebagian besar penelitian menggunakan klasifikasi berbasis piksel dalam
pemetaan habitat bentik terumbu karang masih ditemukan kesalahan klasifikasi
akibat keragaman habitat dengan heterogenitas spasial yang tinggi. Salah satu
pendekatan sebagai alternatif untuk mengurangi kesalahan klasifikasi adalah
menggunakan analisis citra berbasis objek atau Object Based Image Analysis
(OBIA). Teknik OBIA menguraikan scene citra menjadi area yang relatif homogen
kemudian mengklasifikasi area-area tersebut menjadi sekumpulan objek. Dalam
beberapa dekade terakhir, OBIA telah berkembang dengan baik dan lebih banyak
diaplikasikan pada penelitian-penelitian di darat, namun metode tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal dalam pemetaan habitat bentik terumbu karang.
Selain teknik klasifikasi citra sebagai tahapan dalam analisis penginderaan
jauh, pemilihan algoritma klasifikasi juga merupakan faktor penting karena sangat
mempengaruhi hasil akhir. Studi pemetaan habitat bentik terumbu karang
umumnya diaplikasikan dengan algoritma klasifikasi tradisional seperti Maximum
Likelihood (ML) yang membutuhkan respon spektral setiap kelas mengikuti pola
distribusi normal (Gaussian distribution). Perkembangan terkini algoritmaalgoritma machine learning telah banyak disertakan dalam perangkat pengolahan
data penginderaan jauh komersial baik yang berbasis piksel maupun objek sehingga
merupakan peluang untuk lebih dikembangkan lagi dalam proses pemetaan
terumbu karang. Penerapan teknik klasifikasi berbasis objek dengan algoritma
machine learning di Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas khususnya
untuk pemetaan terumbu karang, oleh karena itu diperlukan kajian yang intensif
sebagai alternatif dari algoritma klasifiaksi tradisional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektifitas penerapan teknik
klasifikasi citra satelit dalam menghasilkan informasi ekosistem terumbu karang
yang lebih detail. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dikembangkan beberapa
tujuan khusus yaitu: mengembangkan suatu pendekatan secara sistematik
klasifikasi ekosistem terumbu karang dalam mendefenisikan skema klasifikasi,
memetakan eksosistem terumbu karang menggunakan teknik klasifikasi berbasis
objek dengan algoritma klasifikasi yang lebih maju (machine learning) pada data
citra satelit, dan menilai status ekosistem terumbu karang dalam kurun waktu
beberapa dekade terakhir. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan terumbu karang secara
berkelanjutan di Kabupaten Pulau Morotai terutama di Propinsi Maluku Utara, dan
dapat dimanfaatkan sebagai data dasar (based line) untuk mendukung
pengembangan bidang ekosistem terumbu karang menggunakan data penginderaan
jauh.
Penelitian ini dilaksanakan di area terumbu karang dengan hamparan pulaupulau kecil yang berlokasi di bagian barat Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara.
Kegiatan penelitian terdiri dari persiapan peralatan, pengumpulan data, pengolahan
data dan penyusunan disertasi dimulai dari bulan September 2012. Pengumpulan
iii
data lapangan dilaksanakan selama bulan Oktober 2012, sedangkan pengolahan dan
analisis data dilaksanakan mulai Januari sampai September 2013. Metode
penelitian terdiri dari rancangan pengumpulan data lapangan menggunakan teknik
line transek kuadran, pra-pengolahan citra Landsat 5TM, 7EMT+ dan 8OLI,
pengembangan skema klasifikasi dengan pendekatan ekologi kuantitaif
berdasarkan analisis pengelompokan secara hirarki (Agglomerative Hierarhical
clustering, AHC), klasifikasi citra menggunakan teknik klasifikasi berbasis piksel
dan dikembangkan juga teknik klasifikasi berbasis objek dengan algoritma
klasifikasi tradisional dan algoritma yang lebih maju yaitu: Support Vector Machine
(SVM), uji akurasi peta-peta tematik terumbu karang yang dihasilkan dari citra
Landsat dan deteksi perubahan habitat ekosistem terumbu karang.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, ekosistem terumbu karang di pulau
Morotai disusun oleh karang hidup, organisme asosiasi, vegetasi bentik substrat
abiotik, karang mati dengan alga, coralin alga, lamun dan substrat abiotik.
Komponen bentik penyusun terumbu karang didominasi oleh substrat pasir dan
lamun. Skema klasifikasi yang dikembangkan dari persentase tutupan komponen
bentik terumbu karang menghasilkan 10 kelas habitat tetapi hanya 7 kelas yang
dapat digunakan untuk klasifikasi menggunakan citra satelit. Penggunaan analisis
pengelompokan dan nilai kemiripan mempunyai kemampuan yang baik dalam
mendefenisikan skema klasifikasi.
Nilai optimum dari dua tipe kernel algoritma SVM menghasilkan akurasi
keseluruhan dengan jumlah kelas seluruhnya dapat dipetakan dengan baik pada
nilai C 8192 untuk kernel linier dengan nilai akurasi 74% lebih rendah dari kernel
rbf dengan nilai C 4096 dengan nilai akurasi 81%. Tipe kernel yang
direkomendasikan untuk klasifikasi habitat terumbu karang dengan jumlah kelas
intermedit adalah rbf. Kelas-kelas habitat terumbu karang dapat dipetakan dengan
baik menggunakan algoritma SVM kecuali kelas pasir pecahan karang. Teknik
klasifikasi berbasis objek mampu meningkatkan hasil klasifikasi habitat dasar
terumbu karang sebesar 18-25% lebih baik dibandingkan teknik klasifikasi berbasis
piksel. Algortima klasifikasi SVM mampu meningkatkan akurasi pemetaan yang
lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasifikasi tradisional baik pada teknik
klasifikasi berbasis piksel maupun objek.
Analisis deteksi perubahan dalam penelitian ini mampu menyajikan
informasi dinamika perubahan habitat terumbu karang yang diaplikasikan pada
teknik klasifikasi citra satelit dengan ketersediaan data lapangan yang minim.
Teknik deteksi perubahan menunjukan perbedaan antara citra 1996, 2002 dan 2013
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Peta-peta tematik deteksi perubahan yang
dikombinasikan dengan perhitungan statistik tidak hanya mengidentifikasi
perubahan luas kelas habitat antar waktu, tetapi juga mampu mengidentifikasi
perubahan habitat ke habitat yang lain. Variasi dari fenomena perubahan habitat
terumbu karang dalam periode tahun 1996-2013 berpotensi disebabkan oleh
perubahan iklim ekstrim (peningkatan suhu permukaan laut) dan meningkanya
intensitas kegiatan manusia.
Kata kunci: deteksi perubahan, klasifikasi berbasis objek dan piksel, pulau Morotai,
skema klasifikasi, support vector machine
SUMMARY
NURHALIS WAHIDDIN. Classification of Coral Reef Ecosystem Based on
Object and Pixel Analyses in Morotai Island. Supervised by VINCENTIUS P
SIREGAR, INDRA JAYA, SAM WOUTHUYZEN, and BISMAN NABABAN
Most researches on the classification ofcoral reef benthic habitat mapping
were conducted on pixel base analyses. This technique may lead to some extent of
misclassification of coral reef ecosystem due to a high diversity and high spatial
heterogenity. An alternative technique to reduce misclassification, an object-based
image classification (OBIA) algorithm was proposed. This techniques first
decomposed an image into relatively homogeneous objects or areas and then
classified these objects (areas) instead of pixels. OBIA has been well developed and
applied in terrestrial studies in past decades, but the method has not been used
adequately on benthic habitat mapping.
In addition to an image classification technique as one of the component in
the analysis of remote sensing, the selection of a classification algorithm was also
an important factor because it can largely affect the final result. Benthic habitat
mapping studies of coral reefs are generally applied with traditional classification
algorithms such as Maximum Likelihood (ML), which requires the spectral
response of each class following the pattern of normal distribution (Gaussian
distribution). In contrast to a contemporary algoritm, the machine learning
algorithm has received more attention in the benthic habitat mapping for producing
higher accuracy than ML classification algorithms. Currently, the machine learning
algorithm has been widely used in the commercial remote sensing data processing
both on pixel-based and object-based. The algorithm is also potential to be
developed for coral reef ecosystem mapping. Application of an object-based
classification technique with machine learning algorithm is still limited in
Indonesia, especially for mapping of coral reefs, therefore, it requires an intensive
study to develop this algorithm as an alternative for traditional algorithm.
The general objective of this research was to identify the effectiveness of the
application of satellite image classification techniques in generating detail mapping
information of coral reef ecosystems. To achieve this objective, the following
special objectives were developed: (1) to develop a systematic approach in the coral
reef ecosystem classification to define the classification scheme, (2) to mapping
coral reef ecosystems using object-based classification techniques with advanced
classification algorithms (machine learning) on satellite image data, and (3) to
assess status of coral reef ecosystems within the last few decades. Results of this
study were expected to be used for consideration in the sustainable management of
coral reefs ecosystem in the District of Morotai Island, especially in North Maluku,
and can be used as a baseline to support the development of the field of mapping
and remote sensing of coral reef ecosystems.
This research was conducted in the coral reef ecosystem located in the
western part of the Morotai island in North Maluku province. The study
stepsconsisted of equipment preparation, data collection, data processing, and
preparation of dissertation begins in September 2012. Field data collection was held
in October 2012, while processing and data analyses were conducted from January
v
to September 2013. The method used in the study consisted of field data collection
using the technique of line transects photo quadrat, pre-processing of Landsat 5TM,
7EMT + and 8OLI, the development of a classification scheme with ecological
approach quantitative analysis based grouping in a hierarchical (Agglomerative
Hierarhical clustering, AHC), image classification pixel-based techniques, and
also developed object-based classification techniques with traditional classification
algorithms and advanced algorithms (Support Vector Machine (SVM)), accuracy
assessment of coral reefs thematic maps generated from Landsat imagery, and
change detection habitat of coral reef ecosystems.
The observation showed that the coral reef ecosystem on the Morotai island
consisted of life coral, associations organisms, benthic vegetation, and abiotic
substrates. Benthic components of coral reef substrate were dominated by sand and
seagrass material. Classification schemes were developed using data from the
percentage of cover components of reef benthic habitat and were capable of
producing 10 classes. From the 10 classes, only 7 classes that can be used for
classification using satellite imagery. The use of cluster analysis and similarity
value had good ability to defines the classification scheme.
The optimum value of both types of kernel SVM algorithm generated the
overall accuracy of the number of whole classes that can be mapped to either the
value C 8192 for linear kernel with accuracy value of 71% orwith the higher
accuracy of the RBF kernel with a value of C 4096 accuracy value of 81%. The
RDF kernel was a recommended kernel type of coral reef habitat for classification
by the number of intermediate classes. The coral habitats can be better mapped
using SVM algorithm except sand rubble. Object based classification techniques
can improve the results of basic reef habitat classification of 18-25% better than
pixel-based classification techniques. SVM classification algorithm can improve
mapping accuracy better than the traditional classification algorithms on pixelbased classification techniques.
Change detection analyses in this study were able to reveal dynamics changed
of coral reef habitats that were applied to the satellite image classification
techniques with minimal field data availability. Change detection technique showed
the difference between the image of the 1996, 2002, and 2013 both quantitatively
and qualitatively. Thematic maps change detection combined with statistical
calculation not only identify broad classes of habitat change between the time of
analysis, but also able to identify habitat changes. Variations of the coral reef habitat
changes in the period 1996-2013 may be due to an extreme climate change and an
increasing intensity of human activities on the coral reef ecosystem.
Keywords: change detection, classification scheme, Morotai Island, object and
pixel based classification, support vector machine
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KLASIFIKASI EKOSISTEM TERUMBU KARANG
BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL DI PULAU MOROTAI
NURHALIS WAHIDDIN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Ujian Tertutup
Penguji pada Ujian Tertutup:
1 Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
2 Prof Dr Ir Setyo Budi Susilo, MSc
Ujian Terbuka
Penguji pada Ujian Terbuka:
1 Dr Ir Bidawi Hasyim, MSi
2 Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
Judul Disertasi
Nama
NIM
: Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Objek dan
Piksel di Pulau Morotai
: Nurhalis Wahiddin
: C562100031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA
Ketua
Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc
Anggota
Dr Ir Sam Wouthyuzen, MSc APU
Anggota
Dr Ir Bisman Nababan, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian Tertutup: 13 Juli 2015
Tanggal Sidang Promosi Terbuka: 3 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala
Tuhan yang maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan
disertasi dengan judul “Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Objek dan
Piksel di Pulau Morotai” ini dapat diselesaikan.
Tahapan yang panjang dalam penyusunan karya ilmiah ini dimulai dari bulan
Oktober 2011 sampai pada saat ini meskipun dihadapkan dengan beberapa kendala,
namun dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1 Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA, Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc, Dr Ir Sam
Wouthuyzen, MSc APU, Dr Ir Bisman Nababan, MSc selaku Komisi
Pembimbing yang telah mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu dalam proses
penulisan disertasi.
2 Prof Dr Ir Setyo Budi Susilo, MSc, Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA dan Dr
Ir Bidawi Hasyim, MSi sebagai penguji luar Komisi.
3 Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi dan Dr Ir Sri Pujiyati, MSi selaku
Ketua dan Sekretasis Program Studi Teknologi Kelautan yang senantiasa
memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan disertasi
ini.
4 Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, FPIK, IPB.
5 Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
6 Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
7 Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa studi
lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor.
8 Civitas akademika Universitas Khairun Ternate.
9 Seluruh pimpinan dan Staf Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Khairun Ternate.
10 PT. ANTAM Tbk, Yayasan SUPERSEMAR atas partisipasi bantuan dana
penyelesaian studi.
11 Pengelola Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT).
12 Organizing Committe International Symposium LISAT-IPB.
13 Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai.
14 Rekan-rekan mahasiswa TEK khususnya Angkatan tahun 2010/2011, Romie
Jhonnerie, Muhammad Syahdan, Domey Louwits Moniharapon, Murjad Hi
Untung, Ellis Nurjuliasti Ningsih, Widya Kusumaningrum, Meys Manery,
John Karuwal dan Bambang Suprartono.
15 Ayahanda Hasan Wahidin (Almarhum) dan ibunda Aisyah Musa serta saudarasaudaraku Nur Astuty Wahidin dan Abdul Hamid Wahidin atas segala
limpahan kasih sayang, doa serta dukungan hingga penulis dapat
menyelesaikan studi.
16 Istri tercinta Irma Aulat, ananda Ummy Fatihah Halissima, Akbar Dhany
Ariposa dan Fitril Hasanah yang selalu memberikan dukungan dan doa serta
keikhlasannya untuk melewati saat-saat kita tidak bersama, hasil yang telah
dicapai ku persembahkan kepada kalian.
xii
17
Mertua, Aulat Idris dan Norma serta keluarga besar yang telah memberikan
doa selama penulis mempuh pendidikan.
18 Rekan-rekan seperjuangan: Salnuddin, Imran Taeran, Amirul Karman,
Rozirwan, Ihsan, Muhammad Sulaiman, Didik Santoso, Dion Bawole,
Ismawan, Chaliluddin, Catur Sarwanto, Gentio Harsono, Amron, Jurianto M
Nur, Ari Anggoro, Agnes Ferisa, Aisyah, Nona Silubun, Maskur Abd Kadir,
Sukarmin, Abdul Mutalib, Kismanto, Iswanto.
19 Rekan-rekan pengumpulan data lapang Bung Firman Bachtiar, Bung Raswan
Wakano dan Bung Riswansyah Umanahu.
20 Terima kasih dan penghargaan kepada Dr Ir Jisman Manurung atas motivasi
dan nasehat yang sangat berarti selama proses studi ini
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
membalas segala kontribusinya sebagai amal ibadah, Amin.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Nurhalis Wahiddin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
DAFTAR ISTILAH
xvi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
Kerangka Pemikiran
7
Kebaruan (Novelty)
9
2 METODOLOGI UMUM
10
Lokasi dan Waktu
10
Alat dan Bahan
11
Persiapan Data
14
Pra-pengolahan Data Penginderaan Jauh
14
Teknik Pengumpulan Data
18
Teknik Analisis Data
22
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI HABITAT BENTIK
TERUMBU KARANG
28
Latar Belakang
28
Metode Penelitian
30
Hasil dan Pembahasan
34
Simpulan
41
4 KLASIFIKASI HABITAT BENTIK TERUMBU KARANG BERBASIS
OBJEK DENGAN ALGORITMA SUPPORT VECTOR MACHINE
42
Pendahuluan
42
Metode Penelitian
44
Hasil dan Pembahasan
48
Simpulan
59
5 DETEKSI PERUBAHAN HABITAT TERUMBU KARANG
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT
60
Pendahuluan
60
Metode Penelitian
62
Hasil dan Pembahasan
65
Simpulan
72
6 PEMBAHASAN UMUM
74
7 SIMPULAN DAN SARAN
79
Simpulan
79
Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
80
LAMPIRAN
87
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
102
xiv
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Peralatan penelitian
Karakteristik citra Landsat
Karakteristik citra Orbview-3
Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer dengan
modul FLAASH
Informasi RMSE koreksi geometrik citra Landsat
Skema klasifikasi ekosistem terumbu karang
RMSE Koreksi geometrik citra Orbview-3
Kelas habitat, jumlah sampel dan jarak ke centroid
Kontribusi nilai centroid komponen bentik penyusun skema klasifikasi
habitat
Nama kelas habitat dan kode masing-masing kelas
Karakteristik kanal citra Landsat 8 OLI
Rasio koefisien atenuasi pasangan band citra landsat 8OLI
Analisis sidik ragam transformasi reflektasi kelas kabitat terhadap
band DII
Akurasi pengguna (OA) dan akurasi produser (PA) teknik klasifikasi
berbasis piksel dan objek
Statistik perubahan habitat klasifikasi berbasis objek tahun 19962002
Statistik perubahan habitat klasifikasi berbasis objek tahun 20022013
Deteksi perubahan kelompok kelas habitat
11
12
13
15
17
19
30
37
38
45
45
49
51
57
69
69
70
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Sebaran stasiun pengamatan terumbu karang di bagian Utara
Halmahera dan Pulau Morotai
Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi penelitian
Scene citra Landsat Path 109 Row 059
Citra multispektral Orbview-3
Penentuan stasiun pengamatan lapangan; titik hitam () merupakan
stasiun pengamatan lapang
Teknik line transeck quadrat
Spesifikasi titik acak uniform grid dengan 25 titik tumpang susun
analisis persentase tutupan
Tahapan prosedur penelitian
Stasiun pengamatan lapangan komponen bentik yang ditumpang susun
pada citra Landsat komposisi RGB432
Tahap dan prosedur analisis skema klasifikasi
Berbagai variasi komponen bentik terumbu karang
Persentase tutupan dan frekwensi kehadiran komponen bentik
Jumlah komposisi komponen bentik terhadap jumlah stasiun
pengamatan
5
9
10
12
13
20
21
22
27
31
33
34
35
36
xv
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Dendogram pengelompokan kelas habitat
Persentase berdasarkan nilai centroid komponen bentik dalam
menyusun skema klasifikasi habitat
Kelas habitat skema klasifikasi
Prosedur penelitian klasifikasi habitat
Bi-plot tranformasi logaritma band Landsat 8OLI
Karakteristik transformasi reflektasi habitat terumbu karang dengan
band DII
Variasi ukuran objek yang dihasilkan dari besaran skala segmentasi;
skala segmentasi (a) 0.1; (b) 0.2; (c) 0.3; (d) 0.4; (e) 0.5
Pengaruh skala segmentasi terhadap akurasi keseluruhan (OA) dan
jumlah objek yang dihasilkan
Hasil optimasi parameter C tipe kernel linier
Hasil optimasi parameter C tipe kernel rbf
Peta tematik habitat terumbu karang hasil klasifikasi berbasis objek
dengan algoritma SVM; a) kernel linier; b) kernel dbf
Luas habitat terumbu karang klasifikasi berbasis objek dengan
algoritma SVM
Luas habitat bentik klasifikasi berbasis piksel
Peta habitat bentik klasifikasi berbasis piksel dengan algoritma ML (a);
dengan algoritma SVM (b)
Diangram alir deteksi perubahan
Skema klasifikasi kelas habitat untuk analisis deteksi perubahan
Hasil klasifikasi tak terbimbing citra 1996, 2002 dan 2013
Luas habitat terumbu karang tahun 1996, 2002 dan 2013
Peta tematik habitat terumbu karang tahun 1999, 2002 dan 2013
Perubahan luas habitat terumbu karang 1996, 2002 dan 2013
klasifikasi berbasis objek
Status perubahan habitat 1996-2013
Peta tematik perubahan habitat 1996-2002
37
39
40
48
49
50
51
52
53
53
54
55
56
56
64
65
66
67
67
68
70
71
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Perbandingan keanekaragaman jenis dan karakteristik ekologi terumbu
karang di Halmahera dengan kawasan lain di Indo-Pasific
88
Kategori komponen bentik untuk analisis penutupan dengan CPCe
89
Meta data citra Orbview-3
93
Hasil pengamatan komponen bentik terumbu karang di Pulau Morotai 94
Matriks uji akurasi klasifikasi berbasis objek
98
Matriks uji akurasi klasifikasi berbasis piksel
99
Lokasi yang dilaporkan terjadinya fenomena pemutihan karang di
seluruh dunia (Chumkiew et al. 2011)
100
xvi
DAFTAR ISTILAH
Aerosol
:
Aerosol scale height
:
Albedo
:
Algoritma
:
Antropogenik
:
Bathymetry
Digital number
Ekosistem terumbu karang
:
:
:
Ground control point
:
Histogram adjustment
:
Hiperspektral
:
Irradiansi
:
Iradian spektral
:
Karang
:
Machine learning
:
Maritime
:
Mosaicking
:
Partikel padat di udara dengan ukuran 0.01 µm
sampai beberapa puluh mikrometer
Efektif profil ketinggian aerosol dalam satuan
km
Sebuah besaran yang menggambarkan
perbandingan antara sinar matahari yang tiba
di permukaan bumi dan yang dipantulkan
kembali ke atmosfer dengan terjadi
perubahan panjang gelombang
Susunan yang logis dan sistematis untuk
memecahkan suatu masalah atau untuk
mencapai tujuan tertentu
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia
Kedalaman air atau dasar perairan
Angka numerik dari piksel citra satelit
Salah satu ekosistem perairan dangkal (kurang
lebih sampai kedalaman 30 m) di wilayah
tropis yang disusun oleh hewan karang yang
mampu menghasilkan terumbu bersama-sama
dengan organisme asosiasinya serta disusun
oleh komponen abiotik bentik lainnya
Suatu lokasi pada permukaan bumi yang dapat
diidentifikasi pada citra dan dapat dikenali
posisinya pada peta
Metode dalam pengolahan citra satelit untuk
penyesuaian nilai kecerahan
Sensor satelit yang mampu menghasilkan data
pada spektrum yang sangat sempit dengan
jumlah saluran spektral yang sangat banyak
Fluks radiansi yang diterima suatu permukaan
per satuan luas
Iradian suatu permukaan per unit frekwensi
atau panjang gelombang
Hewan tak bertulang belakang yang termasuk
dalam Filum Cnidaria (hewan berongga) Kelas
Anthozoa, Ordo Scleractinia
Perancangan dan pengembangan algoritma
yang memungkinkan komputer untuk
mengembangkan perilaku yang didasarkan
pada data empiris
Kawasan yang sebagian besar didominasi oleh
wilayah laut
Proses penggabungan dari beberapa scene citra
menjadi satu scene
xvii
Multi-spektral
:
OBIA
:
Penginderaan jauh
:
Piksel
:
Radiansi
:
Random point count
:
Raster
:
Region of interest (RoI)
:
Resolusi radiometrik
:
Resolusi spasial
:
Resolusi spektral
:
Resolusi Temporal
:
Rural
:
Satuan astronomi
:
Scene citra
:
Sistem perekaman energy reflektansi atau
emisi dari suatu objek atau luasan tertentu
dalam multi saluran spectrum elektromagnetik
Pendekatan teknik pemetaan yang terdiri dari
dua tahap: segmentasi citra dan penentuan
kelompok kelas pada area segmentasi
Proses perolehan informasi tentang suatu
objek atau fenomena tanpa adanya kontak fisik
dengan objek atau fenomena tersebut
Unit luasan terkecil yang dapat dideteksi oleh
sensor satelit, merupakan unsur dasar dari
suatu citra
Fluks cahaya yang dipancarkan, dipantulkan,
ditransmisi atau diterima oleh suatu
permukaan per unit solid angle per unit area
yang diproyeksikan
Jumlah titik acak yang umum digunakan dalam
pengambilan sampel ekologi yang secara
statistik memperkirakan cakupan persentase
organisme dan terkait dengan substrat dari
sampel gambar
Data dalam bentuk format gambar yang
merepresentasikan objek sebagai struktur sel
grid atau disebut dengan piksel
Bagian yang dipilih dari sample dalam
identifikasi dataset untuk tujaun tertentu
Ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan
aliran radiasi (radiant flux) yang dipantulkan
atau diemisikan dari suatu obyek permukaan
bumi
Ukuran terkecil untuk memisahkan dua objek
yang dapat dibedakan oleh sensor. Hubungan
antara ukuran objek yang diindra dan resolusi
spasial pada sistem optik. Umunya dinyatakan
dalam meter
Dimensi dan jumlah daerah panjang
gelombang yang dimiliki oleh sensor
Interval waktu yang dibutuhkan oleh satelit
untuk merekam areal yang sama, atau waktu
yang dibutuhkan oleh satelit untuk
menyelesaikan seluruh siklus orbitnya
Daerah yang tidak dipengaruhi oleh perkotaan
atau kegiatan industri
Satuan jarak yang kurang lebih sama dengan
jarak antara bumi dengan matahari
Cakupan area di permukaan bumi yang bisa
direkam oleh satelit
xviii
Segmentasi
:
Solar zenith angle
:
Solid angle
:
Spektral
:
Sperikal albedo atmosfer
:
Sudut Azimut
:
Terumbu karang
:
Proses membagi citra menjadi beberapa
segmen dengam tujuan menyederhanakan dan
atau mengubah representasi dari suatu citra
menjadi objek yang lebih berarti dan lebih
mudah untuk menganalisis
Sudut yang diukur dari titik pusat geometris
matahari, mirip dengan sistem koordinat
horizontal
Luasan permukaan dari sebuah lempengan
yang berbentuk silinder per radians pangkat
dua dan berpusat pada sumbu. Tidak memiliki
satuan, jarang digunakan secara praktis namun
diberikan satuan steradian
Hasil interaksi antara energi elektromagnetik
dengan suatu objek
Rata-rata bidang datar albedo atmosfer pada
seluruh subut matahari
Sudut yang diukur searah jarum jam dan hanya
diukur daru arah Utara ke Selatan sebagai
acuan
Endapan-endapan masif kalsium karbonat
(CaCO3) yang dihasilkan dari hewan karang,
beberapa alga berkapur bersama-sama dengan
biota seperti jenis moluska, krustasea,
ekhinodermata serta biota-biota lain yang
hidup di perairan
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunitas terumbu karang dalam beberapa dekade terakhir banyak mendapat
tekanan baik dalam skala lokal, regional maupun global sebagai akibat dari
perubahan iklim dan tekanan akibat kegiatan manusia. Penginderaan jauh dengan
citra satelit dan foto udara merupakan salah satu teknik yang memungkinkan untuk
mengukur efek dari tekanan tersebut secara tepat pada skala spasial dengan luasan
yang besar. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, penginderaan jauh terumbu
karang telah berkembang pesat, meskipun teknologi ini belum cukup mampu untuk
menilai dinamika ekosistem terumbu karang yang kompleks (Xu dan Zhao 2014).
Perubahan dinamis dari struktur ekosistem terumbu karang dipengaruhi oleh
proses lingkungan sekitarnya dalam skala spasial, menyebabkan metode-metode
pemantauan konvensional menunjukan hasil yang tidak memadai dalam kasus
penelitian skala besar seperti dampak perubahan iklim global terhadap ekosistem
terumbu karang, karena kurangnya akses data dalam waktu yang relatif singkat
(Hatcher 1997). Kemunculan dan perkembangan teknologi penginderaan jauh
menyediakan suatu pendekatan baru untuk pemantauan daerah ekosistem terumbu
karang. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kecepatan mengamati daerah yang
relatif besar, pengamatan dapat dilakukan secara berulang sehingga menjadi sarana
pelengkap penting untuk metode konvensional (Mumby et al. 2004).
Perolehan data penginderaan jauh dari hasil perekaman wahana satelit
mampu memberikan informasi secara kuantitatif untuk berbagai tujuan, termasuk
penilaian pemetaan habitat perairan dangkal. Teknologi penginderaan jauh
mempunyai keunggulan untuk memetakan habitat perairan dangkal, karena
kemampuannya melakukan monitoring dan inventarisasi pada areal yang luas dan
repetitif, biaya operasional relatif murah, dan resiko sangat kecil (Green et al.
2000). Penginderaan jauh juga mampu menyediakan cakupan perekaman secara
sinoptik dalam skala luas yang tidak dapat dijangkau oleh pengamatan lapangan
yang terbatas secara spasial dan sangat mengkonsumsi banyak waktu. Selain itu
penginderaan jauh juga mampu menyediakan data secara temporal yang dapat
digunakan untuk pendugaan periode perubahan dan dinamika komunitas
lingkungan terumbu karang (Klemas 2011).
Beberapa penelitian telah menghasilkan perbandingan pengujian akurasi
peta-peta terumbu karang yang dihasilkan dari citra satelit dan foto udara dengan
karakteristik sensor yang berbeda seperti resolusi spasial dan spektral atau pada
kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian-penelitian ini difokuskan pada
perbedaan antara akurasi yang diturunkan dari penggunaan citra hiperspektral dan
multispektral antara citra resolusi tinggi dan rendah, antara citra yang tidak
dikoreksi dengan citra yang diproses untuk menghitung pengaruh pelemahan kolom
perairan (Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003).
Variasi lingkungan fisik dan faktor rancangan sensor yang mendeterminasi
secara ekologi kompleksitas spasial terumbu karang merupakan tantangan yang
signifikan untuk tujuan penginderaan jauh. Penelitian-penelitian sebelumnya hanya
didasarkan pada resolusi spasial dan sensor yang tidak secara langsung
menggambarkan hubungan resolusi spasial sensor pada skala dan pola dari habitat
2
dasar ekosistem terumbu karang. Interaksi resolusi spasial sensor dan sebaran
ukuran habitat dasar terumbu karang akan mengontrol distribusi frekuensi
campuran sub-piksel pada citra yang digunakan karena tingkat variabel campuran
spektral akan mempengaruhi hasil klasifikasi dan pengujian akurasi (Hedley et al.
2004).
Dalam pendekatan yang umum pemantauan lingkungan terumbu karang,
ketersediaan data pengamatan lapangan menjadi sangat terbatas. Hal ini disebabkan
karena pengamatan lapangan membutuhkan jumlah besar data transek untuk
pemantauan lingkungan terumbu karang yang luas. Dengan demikian akan
membutuhkan biaya dan tenaga yang intensif sehingga menjadi sangat sulit jika
lokasi terumbu karang berada pada daerah yang sulit dijangkau. Penginderaan jauh
merupakan pendekatan yang efektif untuk melengkapi keterbatasan pengamatan
lapangan meskipun pemantauan terumbu karang dilakukan pada daerah yang sulit
dijangkau. Oleh karena itu penggunaan data penginderaan jauh sangat
memungkinkan untuk pemantauan status lingkungan terumbu karang (Green et al.
2000).
Penginderaan jauh menyediakan cara yang efektif untuk mengamati dan
memantau terumbu karang dangkal, untuk menandai perbedaan struktur antarkarang, dan untuk pemetaan intra-habitat terumbu karang,zonasi, menilai variasi
bathymetric dan peta keragaman. Aplikasi penginderaan jauh menargetkan
lingkungan karang yang mencerminkan berkembangnya kekhawatiran tentang
perubahan-perubahan drastis dan negatif yang terjadi di terumbu karang selama tiga
dekade karena tekanan dari aktfitas anthropogenic (misalnya polusi, perikanan, dan
pengembangan pantai) atau penyebab secara alami misalnya pemanasan global
(Andréfouët et al. 2001).
Klasifikasi dan anlisis data penginderaan jauh telah menjadi konsep dalam
mengekstraksi informasi tertentu, memprediksi perubahan secara dinamis,
pemetaan tematik dan membangun basis data penginderaan jauh untuk
diimplementasikan pada keperluan tertentu. Seiring dengan perkembangan
teknologi komputer, teknologi analisis digital data penginderaan jauh juga
mengalami perkembangan dari interpretasi visual ke klasifikasi dengan bantuan
komputer untuk mengklasifikasi objek secara otomatis. Teknik klasifikasi citra
penginderaan jauh secara perlahan-lahan berkembang dari pengenalan secara fisik
piksel tunggal, ektraksi informasi spektral dan tekstur menjadi pemahaman secara
komprehensif.
Komponen ekosistem terumbu karang yang disusun oleh karang hidup dari
jenis karang batu (scleractinian) maupun organisme asosiasi lainnya menyebabkan
ekosistem ini mempunyai karakteristik yang sangat kompleks. Terumbu karang
biasanya mencakup sejumlah besar karang dan alga yang sangat selektif terhadap
penyerapan dan hamburan energy cahaya. Zona geomorfologi berbeda sering
terdistribusi pada kedalaman berbeda dan ditutupi oleh biomasa yang berbeda.
Konsekuensinya, identifikasi yang efektif terumbu karang dan zona
geomorfologinya dapat diperoleh atas dasar warna, bentuk, tekstur dan fitur lainnya
dari citra penginderaan jauh (Mumby et al. 2004).
Penyajian informasi dalam bentuk peta-peta tematik ekosistem terumbu
karang yang diturunkan dari data penginderaan jauh selain tergantung pada jenisjenis citra satelit, juga sangat ditentukan oleh teknik untuk mendefenisikan objekobjek di terumbu karang itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas terumbu
3
karang yang tinggi karena disusun oleh berbagai komponen abiotik dan biotik,
sehingga tidak akan pernah ditemukan ekosistem terumbu karang yang sama pada
lokasi yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan metode tententu untuk
mendefenisikan habitat-habitat terumbu karang atau yang disitilahkan dengan
skema klasifikasi.
Skema klasifikasi hirarki telah berkembang untuk mendefinisikan dan
menguraikan asosiasi habitat-habitat bentik perairan dangkal ekosistem terumbu
karang yang secara umum penyebarannya tidak lebih dari kedalaman 30 m. Skema
secara hirarki memperbolehkan pengguna untuk mengembangkan atau
menurunkan kualitas detail tematik peta yang dihasilkan untuk disesuaikan dengan
kebutuhannya. Ini merupakan hal yang sangat penting dari suatu skema klasifikasi
sebagai penyedia informasi umum untuk membandingkan dan membedakan petapeta digital yang diturunkan dari berbagai wahana penginderaan jauh (Rohmann et
al. 2005).
Data penginderaan jauh resolusi menengah dan tinggi sebagian besar telah
banyak digunakan dan diaplikasikan untuk menghasilkan informasi spasial tematik
terumbu karang, diantaranya Landsat, SPOT-HRV, ASTER, IKONOS, ALOSAVNIR QuickBird dan sebagainya (Mumby et al. 1999; Andréfouët et al. 2001;
Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003; Joyce et al. 2004; Nurlidiasari
2004; Andréfouët dan Guzman 2005; Siregar 2010; El-Askary et al. 2014).
Meskipun telah dikembangkan beberapa wahana penginderaan jauh yang
menghasilkan citra dengan resolusi yang lebih tinggi, Landsat merupakan wahana
citra yang paling banyak digunakan untuk pengamatan objek-objek di permukaan
bumi. Popularitas data Landsat dikaitkan dengan beberapa karakteristik kunci dari
program Landsat, termasuk akuisisi data dan ketersediaan arsip secara sistematik
yang menjamin cakupan data secara global. Selain itu distribusi data citra Landsat
yang dapat diperoleh dengan biaya rendah bahkan telah tersedia secara gratis
dengan penggunaan secara luas (Cohen dan Goward 2004).
Teknik klasifikasi berbasis piksel dalam pemetaan habitat bentik terumbu
karang masih banyak dijumpai pengaruh kesalahan klasifikasi pada area pemetaan
akibat keragaman habitat dengan heterogenitas spasial yang tinggi. Salah satu
pendekatan sebagai alternatif untuk mengurangi kesalahan klasifikasi adalah
klasifikasi citra berbasis objek (OBIA). Teknik OBIA menguraikan scene citra
menjadi area yang relatif homogen kemudian mengklasifikasi area-area tersebut
menjadi sekumpulan objek. OBIA telah berkembang dengan baik dan lebih banyak
diaplikasikan pada penelitian-penelitian teresterial dalam beberapa dekade terakhir,
namun metode tersebut belum dimanfaatkan secara memadai dalam pemetaan
habitat bentik (Blaschke 2010). Benfield et al. (2007) membandingkan metode
berbasis objek dan piksel dalam pemetaan terumbu karang dan asosiasi habitat
sublitoral di Pasific Panama menggunakan citra multispektral. Penelitian ini
menemukan bahwa klasifikasi berbasis objek dapat menghasilkan akurasi yang
lebih baik dibandingkan dengan pendekatan berbasis piksel. Teknik OBIA juga
diaplikasikan untuk pemetaan zona geomorfologi dan ekologi terumbu karang
menggunakan citra QuickBird yang menunjukan hasil bahwa teknik OBIA efektif
secara eksplisit pemetaan skala regional komposisi komunitas bentik dari citra
satelit resolusi tinggi (Phinn et al. 2011).
Teknik klasifikasi citra sebagai tahap dalam analisis penginderaan jauh juga
membutuhkan pemilihan algoritma klasifikasi yang merupakan faktor penting
4
karena sebagian besar dapat mempengaruhi hasil akhir (Benfield et al. 2007). Studi
pemetaan habitat bentik terumbu karang umumnya diaplikasikan dengan algoritma
klasifikasi tradisional seperti maximum likelihood (ML) yang membutuhkan respon
spektral setiap kelas mengikuti pola distribusi normal atau Gaussian distribution
(Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003; Benfield et al. 2007; Pu et
al. 2012; Zapata-Ramírez et al. 2012). Berbeda dengan algoritma kontemporer
seperti machine learning yang telah mendapat banyak perhatian dalam pemetaan
habitat bentik karena menghasilkan akurasi lebih tinggi dari algoritma klasifikasi
ML (Zhang et al. 2013).
Teknik klasifikasi berbasis objek yang diterapkan untuk pemetaan terumbu
karang telah dilakukan menggunakan citra satelit resolusi tinggi namun belum
menerapkan algoritma klasifikasi machine learning dan hanya menggunakan teknik
kontekstual editing (Roelfsema et al. 2010a; Roelfsema et al. 2010b; Phinn et al.
2011), sedangkan algoritma machine learning Random Forest telah diterapkan
pada citra resolusi tinggi (IKONOS) (Zhang dan Xie 2013). Sementara itu
penelitian dengan pendekatan berbasis objek menggunakan algoritma machine
learning dengan citra resolusi menengah (Landsat) untuk memetakan zona
geomorfologi dan tipe-tipe habitat terumbu karang diantaranya Fuzzy logic
(Benfield et al. 2007), neural network (Leon dan Woodroffe 2011), dan
perbandingan beberapa algoritma machine learning diantaranya support vector
machine/SVM, random tree/RT, Bayyesian, k-nearest neighbor/KNN dan
decission tree/DT (Wahidin et al. 2015).
Perkembangan terkini algoritma-algoritma machine learning telah banyak
disertakan dalam perangkat pengolahan data penginderaan jauh komersial baik
yang berbasis piksel maupun objek sehingga merupakan peluang untuk lebih
dikembangkan lagi dalam proses pemetaan terumbu karang. Penerapan teknik
klasifikasi berbasis objek dengan algoritma machine learning SVM di Indonesia
sampai saat ini masih terbatas khususnya untuk pemetaan terumbu karang, oleh
karena itu diperlukan kajian yang intensif sebagai alternatif dari algoritma
klasifiaksi tradisional.
Perumusan Masalah
Sampai saat ini belum banyak tersedia data penelitian tentang terumbu karang
di Propinsi Maluku Utara. Salah satu data hasil kajian awal potensi
keanekaragaman terumbu karang di Pulau Halmahera dan sekitarnya telah
dilaksanakan oleh CI (Conservation International) bekerja sama dengan WWF,
TNC (The Nature of Conservation) dan beberapa intansi terkait lainnya pada tahun
2008. Stasiun-stasiun pengamatan pada kegiatan ini adalah bagian Barat pulau
Halmahera termasuk kawasan sekitar pulau Morotai, teluk Kao dan Teluk Weda
(Gambar 1). Kegiatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pulau Halmahera
dan pulau-pulau di sekitarnya merupakan kawasan terumbu yang termasuk dalam
kawasan segitiga terumbu karang dunia atau yang lebih dikenal dengan Coral
Triangle (CII 2008).
Turak dan DeVantier (2008) dalam kajian tersebut, melaporkan bahwa
kawasan Halmahera bagian Utara mempunyai kekayaan hewan karang dengan total
spesies karang batu sebanyak 468 yang termasuk dalam 15 Famili dan 73 Genus.
Sebagai perbandingan, total jumlah spesies karang batu yang diperoleh di Teluk
5
Cendrawasih dan Fak-Fak Kaimana sebanyak 469 dan 471 spesies dengan jumlah
spesies yang sama sebanyak 421 spesies (Lampiran 1). Hal ini sangat berbeda
dengan pengamatan terhadap kondisi karang yang dilakukan dengan menggunakan
metode transek garis pada kedalaman 4 dan 12 m untuk menilai kualitas karang
berdasarkan persentase penutupan karang hidup. Rata-rata persentase penutupan
karang hidup pada kedalaman 4m adalah 43.42% dan pada kedalaman 12m sebesar
32.33% atau termasuk dalam kategori sedang. Total 24 stasiun penyelaman yang
diamati terdapat 3 site yang mempunyai kategori penutupan karang baik dan hanya
1 site yang mempunyai kategori sangat baik pada kedalaman 4m. Sedangkan pada
kedalaman 12m kategori penutupan karang hanya ditemukan berkisar dari rusak
sampai sedang. Secara khusus pada lokasi kawasan sekitar pulau Morotai terdapat
6 titik pengamatan dengan presentase penutupan karang hidup berkisar antara 15,67
% - 40.00 % dengan nilai rata-rata penutupan karang hidup sebesar 31.14% yang
termasuk dalam kategori sedang.
Sumber : dimodifikasi dari (Turak dan DeVantier 2008)
Gambar 1 Sebaran stasiun pengamatan terumbu karang di bagian Utara Halmahera
dan Pulau Morotai
Keberadaan terumbu karang di kawasan Halmahera bagian Utara dan
sekitarnya memiliki nilai keanekaragaman yang sangat tinggi meskipun dalam
6
kondisi yang sudah mulai kritis. Secara umum penyebab ancaman terhadap terumbu
karang diakibatkan oleh kegiatan antropogenik atau secara alami. Kegiatan
antropogenik di pulau Morotai adalah kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak dan bius, penambangan karang dan aktifitas wisata
maupun industri. Kerusakan secara alami adalah aktifitas fisik dinamika perairan
seperti gelombang, aktifitas pemangsaan oleh bintang laut berduri (Acantaster
plancii) dan terjadinya perubahan iklim secara global (global warming) . Perubahan
iklim global menyebabkan kenaikan suhu permukaan air laut yang dapat
mengakibatkan kematian karang secara masal.
Meskipun teknik pengamatan lapangan mampu menyajikan data secara
detail, namun hanya terbatas pada ruang yang sempit dan tidak optimal dalam
menghasilkan informasi secara spasial dalam skala luas. Disisi lain data
penginderaan jauh dengan berbagai jenis resolusi spasial, spektral, dan temporal
citra satelit mampu menghasilkan data dalam cakupan yang luas meskipun tidak
sedetail hasil pengukuran lapang. Oleh karena itu kombinasi data pengamatan
lapang dan data penginderaan jauh diharapkan mampu menyediakan data dan
informasi tentang ekosistem terumbu karang secara detail pada skala spasial yang
luas.
Data penginderaan jauh dan pengamatan lapang untuk pemetaan substrat
perairan dangkal telah dilakukan di beberapa kawasan terumbu karang
menggunakan berbagai instrument wahana penginderaan jauh dengan skema
klasifikasi dan pengujian akurasi. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukan
bahwa data penginderaan jauh dari resolusi menengah sampai tinggi mampu
dikembangkan untuk pemetaan ekosistem terumbu karang dengan baik, namun
memiliki hasil yang berbeda tergantung pada lokasi, kompleksitas struktur dan
keragaman habitat terumbu karang serta skema klasifikasi yang dikembangkan.
Teknik klasifikasi multispektral merupakan suatu metode yang dirancang
untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokan suatu fenomena
berdasarkan kriteria tertentu. Metode klasifikasi sebagian besar hanya
menggunakan satu kriteria seperti nilai spektral (kecerahan) pada beberapa saluran
sekaligus. Klasifikasi multispektral juga dapat dilakukan dengan melibatkan unsur
interpretasi lain disamping nilai kecerahan seperti tekstur dan bentuk, misalnya
dengan segmentasi citra berbasis objek menggunakan algoritma tertentu. Cara kerja
algoritma klasifikasi pada prinsipnya adalah menilai tiap jenis objek hingga
teridentifikasi berbeda antara satu dengan lainnya, berdasarkan ciri-ciri nilai
spektral. Algoritma klasifikasi menerjemahkan kenampakan visual menjadi
parameter-parameter statistik yang dimengerti oleh komputer kemudian dieksekusi.
Faktor lain yang juga menjadi penting dalam teknik klasifikasi adalah informasi
tambahan seperti data lapangan sehingga dapat menghasilkan peta tematik yang
siap pakai.
Informasi yang dihasilkan dari data penginderaan jauh menggunakan
algoritma klasifikasi machine learning menunjukan bahwa teknik klasifikasi
berbasis objek mempunyai kemampuan lebih baik dari teknik klasifikasi berbasis
piksel dalam menghasilkan peta-peta tematik ekosistem terumbu karang (Benfield
et al. 2007; Leon dan Woodroffe 2011; Zhang et al. 2013). Algortima SVM yang
digunakan dalam menghasilkan peta-peta tematik ekosistem terumbu karang dari
data-data penginderaan jauh sampai saat ini masih terbatas penggunaannya.
Kondraju et al. (2014) menerapkan beberapa algoritma klasifikasi dengan teknik
7
klasifikasi berbasis piksel untuk memetakan terumbu karang di pulau Andaman
menunjukan bahwa algoritma SVM mempunyai kemampuan yang baik
dibandingkan algoritma lainnya. Penggunaan algoritma SVM untuk ekstraksi
informasi terumbu karang masih terbatas pada penilaian tekstur (texture) jenis-jenis
karang tertentu seperti yang dilakukan oleh (Mehta et al. 2007; Shihavuddin et al.
2013) dan belum diterapkan pada data penginderaan jauh.
Khususnya di Indonesia, penerapan algoritma SVM dalam menghasilkan
informasi ekositem terumbu karang menggunakan data penginderaan jauh dengan
pendekatan teknik klasifikasi berbasis objek masih sangat terbatas. Oleh karena itu
diperlukan kajian yang komprehensif untuk mengetahui kemampuan algoritma
tersebut sehingga dapat diterapkan pada teknik klasifikasi ekosistem terumbu
karang untuk menghasilkan peta-peta tematik yang lebih baik.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dikembangkan beberapa pertanyaan
ilmiah sebagai berikut:
1. Bagaimana mendefenisikan komponen penyusun ekosistem terumbu
karang sehingga dapat dikembangkan menjadi skema klasifikasi untuk
diterapkan penggunaannya dalam teknik pemetaan ekosistem terumbu
karang dengan data satelit multispektral?
2. Bagaimana kemampuan teknik klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan
algoritma klasifikasi support vector machine (SVM) diaplikasikan secara
optimal untuk meningkatkan akurasi pemetaan terumbu karang?
3. Bagaimana kondisi dan status ekosistem terumbu karang dalam kurun
waktu dua dekade terakhir (1996-2013)?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan skema klasifikasi ekosistem terumbu karang yang dapat
diterapkan dalam klasifikasi data penginderaan jauh.
2. Menentukan kemampuan teknik klasifikasi berbasis objek menggunakan
algoritma klasifikasi SVM untuk menghasilkan peta-peta tematik
terumbu karang yang lebih baik.
3. Menentukan kondisi dan status ekosistem terumbu karang dalam kurun
waktu dua dekade terakhir (1996-2013)
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan di
Kabupaten Pulau Morotai terutama di Propinsi Maluku Utara, dan dapat
dimanfaatkan sebagai data dasar (based line) untuk mendukung pengembangan
bidang pemetaan dan penginderaan jauh ekosistem terumbu karang.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dibagi atas tiga tahapan, dimulai dari pengembangan skema
klasifikasi untuk mengelompokan komponen penyusun terumbu karang yang akan
digunakan dalam tahap klasifikasi peta tematik. Tahap penelitian dilanjutkan
8
dengan menerapkan metode klasifikasi berbasis objek menggunakan algoritma
klasifikasi yang lebih maju. Keluaran dari tahap ini adalah rekomendasi teknik
klasifikasi dengan algoritma machine learning dengan parameter-parameter yang
lebih baik untuk meningkatkan akurasi pemetaan terumbu karang.
BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL DI PULAU MOROTAI
NURHALIS WAHIDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Klasifikasi Ekosistem
Terumbu Karang Berbasis Objek dan Piksel di Pulau Morotai adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Nurhalis Wahiddin
NIM C562100031
ii
RINGKASAN
NURHALIS WAHIDDIN. Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Objek
dan Piksel di Pulau Morotai. Dibimbing oleh VINCENTIUS P SIREGAR, INDRA
JAYA, SAM WOUTHUYZEN, dan BISMAN NABABAN
Sebagian besar penelitian menggunakan klasifikasi berbasis piksel dalam
pemetaan habitat bentik terumbu karang masih ditemukan kesalahan klasifikasi
akibat keragaman habitat dengan heterogenitas spasial yang tinggi. Salah satu
pendekatan sebagai alternatif untuk mengurangi kesalahan klasifikasi adalah
menggunakan analisis citra berbasis objek atau Object Based Image Analysis
(OBIA). Teknik OBIA menguraikan scene citra menjadi area yang relatif homogen
kemudian mengklasifikasi area-area tersebut menjadi sekumpulan objek. Dalam
beberapa dekade terakhir, OBIA telah berkembang dengan baik dan lebih banyak
diaplikasikan pada penelitian-penelitian di darat, namun metode tersebut belum
dimanfaatkan secara optimal dalam pemetaan habitat bentik terumbu karang.
Selain teknik klasifikasi citra sebagai tahapan dalam analisis penginderaan
jauh, pemilihan algoritma klasifikasi juga merupakan faktor penting karena sangat
mempengaruhi hasil akhir. Studi pemetaan habitat bentik terumbu karang
umumnya diaplikasikan dengan algoritma klasifikasi tradisional seperti Maximum
Likelihood (ML) yang membutuhkan respon spektral setiap kelas mengikuti pola
distribusi normal (Gaussian distribution). Perkembangan terkini algoritmaalgoritma machine learning telah banyak disertakan dalam perangkat pengolahan
data penginderaan jauh komersial baik yang berbasis piksel maupun objek sehingga
merupakan peluang untuk lebih dikembangkan lagi dalam proses pemetaan
terumbu karang. Penerapan teknik klasifikasi berbasis objek dengan algoritma
machine learning di Indonesia sampai saat ini masih sangat terbatas khususnya
untuk pemetaan terumbu karang, oleh karena itu diperlukan kajian yang intensif
sebagai alternatif dari algoritma klasifiaksi tradisional.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi efektifitas penerapan teknik
klasifikasi citra satelit dalam menghasilkan informasi ekosistem terumbu karang
yang lebih detail. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dikembangkan beberapa
tujuan khusus yaitu: mengembangkan suatu pendekatan secara sistematik
klasifikasi ekosistem terumbu karang dalam mendefenisikan skema klasifikasi,
memetakan eksosistem terumbu karang menggunakan teknik klasifikasi berbasis
objek dengan algoritma klasifikasi yang lebih maju (machine learning) pada data
citra satelit, dan menilai status ekosistem terumbu karang dalam kurun waktu
beberapa dekade terakhir. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan terumbu karang secara
berkelanjutan di Kabupaten Pulau Morotai terutama di Propinsi Maluku Utara, dan
dapat dimanfaatkan sebagai data dasar (based line) untuk mendukung
pengembangan bidang ekosistem terumbu karang menggunakan data penginderaan
jauh.
Penelitian ini dilaksanakan di area terumbu karang dengan hamparan pulaupulau kecil yang berlokasi di bagian barat Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara.
Kegiatan penelitian terdiri dari persiapan peralatan, pengumpulan data, pengolahan
data dan penyusunan disertasi dimulai dari bulan September 2012. Pengumpulan
iii
data lapangan dilaksanakan selama bulan Oktober 2012, sedangkan pengolahan dan
analisis data dilaksanakan mulai Januari sampai September 2013. Metode
penelitian terdiri dari rancangan pengumpulan data lapangan menggunakan teknik
line transek kuadran, pra-pengolahan citra Landsat 5TM, 7EMT+ dan 8OLI,
pengembangan skema klasifikasi dengan pendekatan ekologi kuantitaif
berdasarkan analisis pengelompokan secara hirarki (Agglomerative Hierarhical
clustering, AHC), klasifikasi citra menggunakan teknik klasifikasi berbasis piksel
dan dikembangkan juga teknik klasifikasi berbasis objek dengan algoritma
klasifikasi tradisional dan algoritma yang lebih maju yaitu: Support Vector Machine
(SVM), uji akurasi peta-peta tematik terumbu karang yang dihasilkan dari citra
Landsat dan deteksi perubahan habitat ekosistem terumbu karang.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, ekosistem terumbu karang di pulau
Morotai disusun oleh karang hidup, organisme asosiasi, vegetasi bentik substrat
abiotik, karang mati dengan alga, coralin alga, lamun dan substrat abiotik.
Komponen bentik penyusun terumbu karang didominasi oleh substrat pasir dan
lamun. Skema klasifikasi yang dikembangkan dari persentase tutupan komponen
bentik terumbu karang menghasilkan 10 kelas habitat tetapi hanya 7 kelas yang
dapat digunakan untuk klasifikasi menggunakan citra satelit. Penggunaan analisis
pengelompokan dan nilai kemiripan mempunyai kemampuan yang baik dalam
mendefenisikan skema klasifikasi.
Nilai optimum dari dua tipe kernel algoritma SVM menghasilkan akurasi
keseluruhan dengan jumlah kelas seluruhnya dapat dipetakan dengan baik pada
nilai C 8192 untuk kernel linier dengan nilai akurasi 74% lebih rendah dari kernel
rbf dengan nilai C 4096 dengan nilai akurasi 81%. Tipe kernel yang
direkomendasikan untuk klasifikasi habitat terumbu karang dengan jumlah kelas
intermedit adalah rbf. Kelas-kelas habitat terumbu karang dapat dipetakan dengan
baik menggunakan algoritma SVM kecuali kelas pasir pecahan karang. Teknik
klasifikasi berbasis objek mampu meningkatkan hasil klasifikasi habitat dasar
terumbu karang sebesar 18-25% lebih baik dibandingkan teknik klasifikasi berbasis
piksel. Algortima klasifikasi SVM mampu meningkatkan akurasi pemetaan yang
lebih baik dibandingkan dengan algoritma klasifikasi tradisional baik pada teknik
klasifikasi berbasis piksel maupun objek.
Analisis deteksi perubahan dalam penelitian ini mampu menyajikan
informasi dinamika perubahan habitat terumbu karang yang diaplikasikan pada
teknik klasifikasi citra satelit dengan ketersediaan data lapangan yang minim.
Teknik deteksi perubahan menunjukan perbedaan antara citra 1996, 2002 dan 2013
baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Peta-peta tematik deteksi perubahan yang
dikombinasikan dengan perhitungan statistik tidak hanya mengidentifikasi
perubahan luas kelas habitat antar waktu, tetapi juga mampu mengidentifikasi
perubahan habitat ke habitat yang lain. Variasi dari fenomena perubahan habitat
terumbu karang dalam periode tahun 1996-2013 berpotensi disebabkan oleh
perubahan iklim ekstrim (peningkatan suhu permukaan laut) dan meningkanya
intensitas kegiatan manusia.
Kata kunci: deteksi perubahan, klasifikasi berbasis objek dan piksel, pulau Morotai,
skema klasifikasi, support vector machine
SUMMARY
NURHALIS WAHIDDIN. Classification of Coral Reef Ecosystem Based on
Object and Pixel Analyses in Morotai Island. Supervised by VINCENTIUS P
SIREGAR, INDRA JAYA, SAM WOUTHUYZEN, and BISMAN NABABAN
Most researches on the classification ofcoral reef benthic habitat mapping
were conducted on pixel base analyses. This technique may lead to some extent of
misclassification of coral reef ecosystem due to a high diversity and high spatial
heterogenity. An alternative technique to reduce misclassification, an object-based
image classification (OBIA) algorithm was proposed. This techniques first
decomposed an image into relatively homogeneous objects or areas and then
classified these objects (areas) instead of pixels. OBIA has been well developed and
applied in terrestrial studies in past decades, but the method has not been used
adequately on benthic habitat mapping.
In addition to an image classification technique as one of the component in
the analysis of remote sensing, the selection of a classification algorithm was also
an important factor because it can largely affect the final result. Benthic habitat
mapping studies of coral reefs are generally applied with traditional classification
algorithms such as Maximum Likelihood (ML), which requires the spectral
response of each class following the pattern of normal distribution (Gaussian
distribution). In contrast to a contemporary algoritm, the machine learning
algorithm has received more attention in the benthic habitat mapping for producing
higher accuracy than ML classification algorithms. Currently, the machine learning
algorithm has been widely used in the commercial remote sensing data processing
both on pixel-based and object-based. The algorithm is also potential to be
developed for coral reef ecosystem mapping. Application of an object-based
classification technique with machine learning algorithm is still limited in
Indonesia, especially for mapping of coral reefs, therefore, it requires an intensive
study to develop this algorithm as an alternative for traditional algorithm.
The general objective of this research was to identify the effectiveness of the
application of satellite image classification techniques in generating detail mapping
information of coral reef ecosystems. To achieve this objective, the following
special objectives were developed: (1) to develop a systematic approach in the coral
reef ecosystem classification to define the classification scheme, (2) to mapping
coral reef ecosystems using object-based classification techniques with advanced
classification algorithms (machine learning) on satellite image data, and (3) to
assess status of coral reef ecosystems within the last few decades. Results of this
study were expected to be used for consideration in the sustainable management of
coral reefs ecosystem in the District of Morotai Island, especially in North Maluku,
and can be used as a baseline to support the development of the field of mapping
and remote sensing of coral reef ecosystems.
This research was conducted in the coral reef ecosystem located in the
western part of the Morotai island in North Maluku province. The study
stepsconsisted of equipment preparation, data collection, data processing, and
preparation of dissertation begins in September 2012. Field data collection was held
in October 2012, while processing and data analyses were conducted from January
v
to September 2013. The method used in the study consisted of field data collection
using the technique of line transects photo quadrat, pre-processing of Landsat 5TM,
7EMT + and 8OLI, the development of a classification scheme with ecological
approach quantitative analysis based grouping in a hierarchical (Agglomerative
Hierarhical clustering, AHC), image classification pixel-based techniques, and
also developed object-based classification techniques with traditional classification
algorithms and advanced algorithms (Support Vector Machine (SVM)), accuracy
assessment of coral reefs thematic maps generated from Landsat imagery, and
change detection habitat of coral reef ecosystems.
The observation showed that the coral reef ecosystem on the Morotai island
consisted of life coral, associations organisms, benthic vegetation, and abiotic
substrates. Benthic components of coral reef substrate were dominated by sand and
seagrass material. Classification schemes were developed using data from the
percentage of cover components of reef benthic habitat and were capable of
producing 10 classes. From the 10 classes, only 7 classes that can be used for
classification using satellite imagery. The use of cluster analysis and similarity
value had good ability to defines the classification scheme.
The optimum value of both types of kernel SVM algorithm generated the
overall accuracy of the number of whole classes that can be mapped to either the
value C 8192 for linear kernel with accuracy value of 71% orwith the higher
accuracy of the RBF kernel with a value of C 4096 accuracy value of 81%. The
RDF kernel was a recommended kernel type of coral reef habitat for classification
by the number of intermediate classes. The coral habitats can be better mapped
using SVM algorithm except sand rubble. Object based classification techniques
can improve the results of basic reef habitat classification of 18-25% better than
pixel-based classification techniques. SVM classification algorithm can improve
mapping accuracy better than the traditional classification algorithms on pixelbased classification techniques.
Change detection analyses in this study were able to reveal dynamics changed
of coral reef habitats that were applied to the satellite image classification
techniques with minimal field data availability. Change detection technique showed
the difference between the image of the 1996, 2002, and 2013 both quantitatively
and qualitatively. Thematic maps change detection combined with statistical
calculation not only identify broad classes of habitat change between the time of
analysis, but also able to identify habitat changes. Variations of the coral reef habitat
changes in the period 1996-2013 may be due to an extreme climate change and an
increasing intensity of human activities on the coral reef ecosystem.
Keywords: change detection, classification scheme, Morotai Island, object and
pixel based classification, support vector machine
vi
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan
pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan
kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan
kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KLASIFIKASI EKOSISTEM TERUMBU KARANG
BERBASIS OBJEK DAN PIKSEL DI PULAU MOROTAI
NURHALIS WAHIDDIN
Disertasi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Kelautan (TEK)
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
viii
Ujian Tertutup
Penguji pada Ujian Tertutup:
1 Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
2 Prof Dr Ir Setyo Budi Susilo, MSc
Ujian Terbuka
Penguji pada Ujian Terbuka:
1 Dr Ir Bidawi Hasyim, MSi
2 Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA
Judul Disertasi
Nama
NIM
: Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Objek dan
Piksel di Pulau Morotai
: Nurhalis Wahiddin
: C562100031
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA
Ketua
Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc
Anggota
Dr Ir Sam Wouthyuzen, MSc APU
Anggota
Dr Ir Bisman Nababan, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Teknologi Kelautan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian Tertutup: 13 Juli 2015
Tanggal Sidang Promosi Terbuka: 3 Agustus 2015
Tanggal Lulus:
x
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah subhanahu wa ta’ala
Tuhan yang maha Kuasa atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulisan
disertasi dengan judul “Klasifikasi Ekosistem Terumbu Karang Berbasis Objek dan
Piksel di Pulau Morotai” ini dapat diselesaikan.
Tahapan yang panjang dalam penyusunan karya ilmiah ini dimulai dari bulan
Oktober 2011 sampai pada saat ini meskipun dihadapkan dengan beberapa kendala,
namun dapat berjalan dengan baik. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1 Dr Ir Vincentius P Siregar, DEA, Prof Dr Ir Indra Jaya, MSc, Dr Ir Sam
Wouthuyzen, MSc APU, Dr Ir Bisman Nababan, MSc selaku Komisi
Pembimbing yang telah mencurahkan tenaga, pikiran dan waktu dalam proses
penulisan disertasi.
2 Prof Dr Ir Setyo Budi Susilo, MSc, Prof Dr Ir Dedi Soedharma, DEA dan Dr
Ir Bidawi Hasyim, MSi sebagai penguji luar Komisi.
3 Dr Ir I Wayan Nurjaya, MSc selaku Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, Dr Ir Jonson Lumban Gaol, MSi dan Dr Ir Sri Pujiyati, MSi selaku
Ketua dan Sekretasis Program Studi Teknologi Kelautan yang senantiasa
memberikan dorongan semangat dan motivasi untuk menyelesaikan disertasi
ini.
4 Seluruh Dosen dan Staf Administrasi Departemen Ilmu dan Teknologi
Kelautan, FPIK, IPB.
5 Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
6 Dekan Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor.
7 Kementerian Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa studi
lanjut BPPS di Institut Pertanian Bogor.
8 Civitas akademika Universitas Khairun Ternate.
9 Seluruh pimpinan dan Staf Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas
Khairun Ternate.
10 PT. ANTAM Tbk, Yayasan SUPERSEMAR atas partisipasi bantuan dana
penyelesaian studi.
11 Pengelola Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis (ITKT).
12 Organizing Committe International Symposium LISAT-IPB.
13 Pemerintah Daerah Kabupaten Pulau Morotai.
14 Rekan-rekan mahasiswa TEK khususnya Angkatan tahun 2010/2011, Romie
Jhonnerie, Muhammad Syahdan, Domey Louwits Moniharapon, Murjad Hi
Untung, Ellis Nurjuliasti Ningsih, Widya Kusumaningrum, Meys Manery,
John Karuwal dan Bambang Suprartono.
15 Ayahanda Hasan Wahidin (Almarhum) dan ibunda Aisyah Musa serta saudarasaudaraku Nur Astuty Wahidin dan Abdul Hamid Wahidin atas segala
limpahan kasih sayang, doa serta dukungan hingga penulis dapat
menyelesaikan studi.
16 Istri tercinta Irma Aulat, ananda Ummy Fatihah Halissima, Akbar Dhany
Ariposa dan Fitril Hasanah yang selalu memberikan dukungan dan doa serta
keikhlasannya untuk melewati saat-saat kita tidak bersama, hasil yang telah
dicapai ku persembahkan kepada kalian.
xii
17
Mertua, Aulat Idris dan Norma serta keluarga besar yang telah memberikan
doa selama penulis mempuh pendidikan.
18 Rekan-rekan seperjuangan: Salnuddin, Imran Taeran, Amirul Karman,
Rozirwan, Ihsan, Muhammad Sulaiman, Didik Santoso, Dion Bawole,
Ismawan, Chaliluddin, Catur Sarwanto, Gentio Harsono, Amron, Jurianto M
Nur, Ari Anggoro, Agnes Ferisa, Aisyah, Nona Silubun, Maskur Abd Kadir,
Sukarmin, Abdul Mutalib, Kismanto, Iswanto.
19 Rekan-rekan pengumpulan data lapang Bung Firman Bachtiar, Bung Raswan
Wakano dan Bung Riswansyah Umanahu.
20 Terima kasih dan penghargaan kepada Dr Ir Jisman Manurung atas motivasi
dan nasehat yang sangat berarti selama proses studi ini
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
membalas segala kontribusinya sebagai amal ibadah, Amin.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2015
Nurhalis Wahiddin
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xv
DAFTAR ISTILAH
xvi
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
4
Tujuan Penelitian
7
Manfaat Penelitian
7
Kerangka Pemikiran
7
Kebaruan (Novelty)
9
2 METODOLOGI UMUM
10
Lokasi dan Waktu
10
Alat dan Bahan
11
Persiapan Data
14
Pra-pengolahan Data Penginderaan Jauh
14
Teknik Pengumpulan Data
18
Teknik Analisis Data
22
3 PENGEMBANGAN SKEMA KLASIFIKASI HABITAT BENTIK
TERUMBU KARANG
28
Latar Belakang
28
Metode Penelitian
30
Hasil dan Pembahasan
34
Simpulan
41
4 KLASIFIKASI HABITAT BENTIK TERUMBU KARANG BERBASIS
OBJEK DENGAN ALGORITMA SUPPORT VECTOR MACHINE
42
Pendahuluan
42
Metode Penelitian
44
Hasil dan Pembahasan
48
Simpulan
59
5 DETEKSI PERUBAHAN HABITAT TERUMBU KARANG
MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT
60
Pendahuluan
60
Metode Penelitian
62
Hasil dan Pembahasan
65
Simpulan
72
6 PEMBAHASAN UMUM
74
7 SIMPULAN DAN SARAN
79
Simpulan
79
Saran
79
DAFTAR PUSTAKA
80
LAMPIRAN
87
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
102
xiv
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Peralatan penelitian
Karakteristik citra Landsat
Karakteristik citra Orbview-3
Parameter dan nilai yang digunakan dalam koreksi atmosfer dengan
modul FLAASH
Informasi RMSE koreksi geometrik citra Landsat
Skema klasifikasi ekosistem terumbu karang
RMSE Koreksi geometrik citra Orbview-3
Kelas habitat, jumlah sampel dan jarak ke centroid
Kontribusi nilai centroid komponen bentik penyusun skema klasifikasi
habitat
Nama kelas habitat dan kode masing-masing kelas
Karakteristik kanal citra Landsat 8 OLI
Rasio koefisien atenuasi pasangan band citra landsat 8OLI
Analisis sidik ragam transformasi reflektasi kelas kabitat terhadap
band DII
Akurasi pengguna (OA) dan akurasi produser (PA) teknik klasifikasi
berbasis piksel dan objek
Statistik perubahan habitat klasifikasi berbasis objek tahun 19962002
Statistik perubahan habitat klasifikasi berbasis objek tahun 20022013
Deteksi perubahan kelompok kelas habitat
11
12
13
15
17
19
30
37
38
45
45
49
51
57
69
69
70
DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Sebaran stasiun pengamatan terumbu karang di bagian Utara
Halmahera dan Pulau Morotai
Kerangka pemikiran penelitian
Lokasi penelitian
Scene citra Landsat Path 109 Row 059
Citra multispektral Orbview-3
Penentuan stasiun pengamatan lapangan; titik hitam () merupakan
stasiun pengamatan lapang
Teknik line transeck quadrat
Spesifikasi titik acak uniform grid dengan 25 titik tumpang susun
analisis persentase tutupan
Tahapan prosedur penelitian
Stasiun pengamatan lapangan komponen bentik yang ditumpang susun
pada citra Landsat komposisi RGB432
Tahap dan prosedur analisis skema klasifikasi
Berbagai variasi komponen bentik terumbu karang
Persentase tutupan dan frekwensi kehadiran komponen bentik
Jumlah komposisi komponen bentik terhadap jumlah stasiun
pengamatan
5
9
10
12
13
20
21
22
27
31
33
34
35
36
xv
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
Dendogram pengelompokan kelas habitat
Persentase berdasarkan nilai centroid komponen bentik dalam
menyusun skema klasifikasi habitat
Kelas habitat skema klasifikasi
Prosedur penelitian klasifikasi habitat
Bi-plot tranformasi logaritma band Landsat 8OLI
Karakteristik transformasi reflektasi habitat terumbu karang dengan
band DII
Variasi ukuran objek yang dihasilkan dari besaran skala segmentasi;
skala segmentasi (a) 0.1; (b) 0.2; (c) 0.3; (d) 0.4; (e) 0.5
Pengaruh skala segmentasi terhadap akurasi keseluruhan (OA) dan
jumlah objek yang dihasilkan
Hasil optimasi parameter C tipe kernel linier
Hasil optimasi parameter C tipe kernel rbf
Peta tematik habitat terumbu karang hasil klasifikasi berbasis objek
dengan algoritma SVM; a) kernel linier; b) kernel dbf
Luas habitat terumbu karang klasifikasi berbasis objek dengan
algoritma SVM
Luas habitat bentik klasifikasi berbasis piksel
Peta habitat bentik klasifikasi berbasis piksel dengan algoritma ML (a);
dengan algoritma SVM (b)
Diangram alir deteksi perubahan
Skema klasifikasi kelas habitat untuk analisis deteksi perubahan
Hasil klasifikasi tak terbimbing citra 1996, 2002 dan 2013
Luas habitat terumbu karang tahun 1996, 2002 dan 2013
Peta tematik habitat terumbu karang tahun 1999, 2002 dan 2013
Perubahan luas habitat terumbu karang 1996, 2002 dan 2013
klasifikasi berbasis objek
Status perubahan habitat 1996-2013
Peta tematik perubahan habitat 1996-2002
37
39
40
48
49
50
51
52
53
53
54
55
56
56
64
65
66
67
67
68
70
71
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Perbandingan keanekaragaman jenis dan karakteristik ekologi terumbu
karang di Halmahera dengan kawasan lain di Indo-Pasific
88
Kategori komponen bentik untuk analisis penutupan dengan CPCe
89
Meta data citra Orbview-3
93
Hasil pengamatan komponen bentik terumbu karang di Pulau Morotai 94
Matriks uji akurasi klasifikasi berbasis objek
98
Matriks uji akurasi klasifikasi berbasis piksel
99
Lokasi yang dilaporkan terjadinya fenomena pemutihan karang di
seluruh dunia (Chumkiew et al. 2011)
100
xvi
DAFTAR ISTILAH
Aerosol
:
Aerosol scale height
:
Albedo
:
Algoritma
:
Antropogenik
:
Bathymetry
Digital number
Ekosistem terumbu karang
:
:
:
Ground control point
:
Histogram adjustment
:
Hiperspektral
:
Irradiansi
:
Iradian spektral
:
Karang
:
Machine learning
:
Maritime
:
Mosaicking
:
Partikel padat di udara dengan ukuran 0.01 µm
sampai beberapa puluh mikrometer
Efektif profil ketinggian aerosol dalam satuan
km
Sebuah besaran yang menggambarkan
perbandingan antara sinar matahari yang tiba
di permukaan bumi dan yang dipantulkan
kembali ke atmosfer dengan terjadi
perubahan panjang gelombang
Susunan yang logis dan sistematis untuk
memecahkan suatu masalah atau untuk
mencapai tujuan tertentu
Kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh
kegiatan manusia
Kedalaman air atau dasar perairan
Angka numerik dari piksel citra satelit
Salah satu ekosistem perairan dangkal (kurang
lebih sampai kedalaman 30 m) di wilayah
tropis yang disusun oleh hewan karang yang
mampu menghasilkan terumbu bersama-sama
dengan organisme asosiasinya serta disusun
oleh komponen abiotik bentik lainnya
Suatu lokasi pada permukaan bumi yang dapat
diidentifikasi pada citra dan dapat dikenali
posisinya pada peta
Metode dalam pengolahan citra satelit untuk
penyesuaian nilai kecerahan
Sensor satelit yang mampu menghasilkan data
pada spektrum yang sangat sempit dengan
jumlah saluran spektral yang sangat banyak
Fluks radiansi yang diterima suatu permukaan
per satuan luas
Iradian suatu permukaan per unit frekwensi
atau panjang gelombang
Hewan tak bertulang belakang yang termasuk
dalam Filum Cnidaria (hewan berongga) Kelas
Anthozoa, Ordo Scleractinia
Perancangan dan pengembangan algoritma
yang memungkinkan komputer untuk
mengembangkan perilaku yang didasarkan
pada data empiris
Kawasan yang sebagian besar didominasi oleh
wilayah laut
Proses penggabungan dari beberapa scene citra
menjadi satu scene
xvii
Multi-spektral
:
OBIA
:
Penginderaan jauh
:
Piksel
:
Radiansi
:
Random point count
:
Raster
:
Region of interest (RoI)
:
Resolusi radiometrik
:
Resolusi spasial
:
Resolusi spektral
:
Resolusi Temporal
:
Rural
:
Satuan astronomi
:
Scene citra
:
Sistem perekaman energy reflektansi atau
emisi dari suatu objek atau luasan tertentu
dalam multi saluran spectrum elektromagnetik
Pendekatan teknik pemetaan yang terdiri dari
dua tahap: segmentasi citra dan penentuan
kelompok kelas pada area segmentasi
Proses perolehan informasi tentang suatu
objek atau fenomena tanpa adanya kontak fisik
dengan objek atau fenomena tersebut
Unit luasan terkecil yang dapat dideteksi oleh
sensor satelit, merupakan unsur dasar dari
suatu citra
Fluks cahaya yang dipancarkan, dipantulkan,
ditransmisi atau diterima oleh suatu
permukaan per unit solid angle per unit area
yang diproyeksikan
Jumlah titik acak yang umum digunakan dalam
pengambilan sampel ekologi yang secara
statistik memperkirakan cakupan persentase
organisme dan terkait dengan substrat dari
sampel gambar
Data dalam bentuk format gambar yang
merepresentasikan objek sebagai struktur sel
grid atau disebut dengan piksel
Bagian yang dipilih dari sample dalam
identifikasi dataset untuk tujaun tertentu
Ukuran sensitivitas sensor untuk membedakan
aliran radiasi (radiant flux) yang dipantulkan
atau diemisikan dari suatu obyek permukaan
bumi
Ukuran terkecil untuk memisahkan dua objek
yang dapat dibedakan oleh sensor. Hubungan
antara ukuran objek yang diindra dan resolusi
spasial pada sistem optik. Umunya dinyatakan
dalam meter
Dimensi dan jumlah daerah panjang
gelombang yang dimiliki oleh sensor
Interval waktu yang dibutuhkan oleh satelit
untuk merekam areal yang sama, atau waktu
yang dibutuhkan oleh satelit untuk
menyelesaikan seluruh siklus orbitnya
Daerah yang tidak dipengaruhi oleh perkotaan
atau kegiatan industri
Satuan jarak yang kurang lebih sama dengan
jarak antara bumi dengan matahari
Cakupan area di permukaan bumi yang bisa
direkam oleh satelit
xviii
Segmentasi
:
Solar zenith angle
:
Solid angle
:
Spektral
:
Sperikal albedo atmosfer
:
Sudut Azimut
:
Terumbu karang
:
Proses membagi citra menjadi beberapa
segmen dengam tujuan menyederhanakan dan
atau mengubah representasi dari suatu citra
menjadi objek yang lebih berarti dan lebih
mudah untuk menganalisis
Sudut yang diukur dari titik pusat geometris
matahari, mirip dengan sistem koordinat
horizontal
Luasan permukaan dari sebuah lempengan
yang berbentuk silinder per radians pangkat
dua dan berpusat pada sumbu. Tidak memiliki
satuan, jarang digunakan secara praktis namun
diberikan satuan steradian
Hasil interaksi antara energi elektromagnetik
dengan suatu objek
Rata-rata bidang datar albedo atmosfer pada
seluruh subut matahari
Sudut yang diukur searah jarum jam dan hanya
diukur daru arah Utara ke Selatan sebagai
acuan
Endapan-endapan masif kalsium karbonat
(CaCO3) yang dihasilkan dari hewan karang,
beberapa alga berkapur bersama-sama dengan
biota seperti jenis moluska, krustasea,
ekhinodermata serta biota-biota lain yang
hidup di perairan
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Komunitas terumbu karang dalam beberapa dekade terakhir banyak mendapat
tekanan baik dalam skala lokal, regional maupun global sebagai akibat dari
perubahan iklim dan tekanan akibat kegiatan manusia. Penginderaan jauh dengan
citra satelit dan foto udara merupakan salah satu teknik yang memungkinkan untuk
mengukur efek dari tekanan tersebut secara tepat pada skala spasial dengan luasan
yang besar. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, penginderaan jauh terumbu
karang telah berkembang pesat, meskipun teknologi ini belum cukup mampu untuk
menilai dinamika ekosistem terumbu karang yang kompleks (Xu dan Zhao 2014).
Perubahan dinamis dari struktur ekosistem terumbu karang dipengaruhi oleh
proses lingkungan sekitarnya dalam skala spasial, menyebabkan metode-metode
pemantauan konvensional menunjukan hasil yang tidak memadai dalam kasus
penelitian skala besar seperti dampak perubahan iklim global terhadap ekosistem
terumbu karang, karena kurangnya akses data dalam waktu yang relatif singkat
(Hatcher 1997). Kemunculan dan perkembangan teknologi penginderaan jauh
menyediakan suatu pendekatan baru untuk pemantauan daerah ekosistem terumbu
karang. Hal ini ditandai dengan meningkatnya kecepatan mengamati daerah yang
relatif besar, pengamatan dapat dilakukan secara berulang sehingga menjadi sarana
pelengkap penting untuk metode konvensional (Mumby et al. 2004).
Perolehan data penginderaan jauh dari hasil perekaman wahana satelit
mampu memberikan informasi secara kuantitatif untuk berbagai tujuan, termasuk
penilaian pemetaan habitat perairan dangkal. Teknologi penginderaan jauh
mempunyai keunggulan untuk memetakan habitat perairan dangkal, karena
kemampuannya melakukan monitoring dan inventarisasi pada areal yang luas dan
repetitif, biaya operasional relatif murah, dan resiko sangat kecil (Green et al.
2000). Penginderaan jauh juga mampu menyediakan cakupan perekaman secara
sinoptik dalam skala luas yang tidak dapat dijangkau oleh pengamatan lapangan
yang terbatas secara spasial dan sangat mengkonsumsi banyak waktu. Selain itu
penginderaan jauh juga mampu menyediakan data secara temporal yang dapat
digunakan untuk pendugaan periode perubahan dan dinamika komunitas
lingkungan terumbu karang (Klemas 2011).
Beberapa penelitian telah menghasilkan perbandingan pengujian akurasi
peta-peta terumbu karang yang dihasilkan dari citra satelit dan foto udara dengan
karakteristik sensor yang berbeda seperti resolusi spasial dan spektral atau pada
kondisi lingkungan yang berbeda. Penelitian-penelitian ini difokuskan pada
perbedaan antara akurasi yang diturunkan dari penggunaan citra hiperspektral dan
multispektral antara citra resolusi tinggi dan rendah, antara citra yang tidak
dikoreksi dengan citra yang diproses untuk menghitung pengaruh pelemahan kolom
perairan (Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003).
Variasi lingkungan fisik dan faktor rancangan sensor yang mendeterminasi
secara ekologi kompleksitas spasial terumbu karang merupakan tantangan yang
signifikan untuk tujuan penginderaan jauh. Penelitian-penelitian sebelumnya hanya
didasarkan pada resolusi spasial dan sensor yang tidak secara langsung
menggambarkan hubungan resolusi spasial sensor pada skala dan pola dari habitat
2
dasar ekosistem terumbu karang. Interaksi resolusi spasial sensor dan sebaran
ukuran habitat dasar terumbu karang akan mengontrol distribusi frekuensi
campuran sub-piksel pada citra yang digunakan karena tingkat variabel campuran
spektral akan mempengaruhi hasil klasifikasi dan pengujian akurasi (Hedley et al.
2004).
Dalam pendekatan yang umum pemantauan lingkungan terumbu karang,
ketersediaan data pengamatan lapangan menjadi sangat terbatas. Hal ini disebabkan
karena pengamatan lapangan membutuhkan jumlah besar data transek untuk
pemantauan lingkungan terumbu karang yang luas. Dengan demikian akan
membutuhkan biaya dan tenaga yang intensif sehingga menjadi sangat sulit jika
lokasi terumbu karang berada pada daerah yang sulit dijangkau. Penginderaan jauh
merupakan pendekatan yang efektif untuk melengkapi keterbatasan pengamatan
lapangan meskipun pemantauan terumbu karang dilakukan pada daerah yang sulit
dijangkau. Oleh karena itu penggunaan data penginderaan jauh sangat
memungkinkan untuk pemantauan status lingkungan terumbu karang (Green et al.
2000).
Penginderaan jauh menyediakan cara yang efektif untuk mengamati dan
memantau terumbu karang dangkal, untuk menandai perbedaan struktur antarkarang, dan untuk pemetaan intra-habitat terumbu karang,zonasi, menilai variasi
bathymetric dan peta keragaman. Aplikasi penginderaan jauh menargetkan
lingkungan karang yang mencerminkan berkembangnya kekhawatiran tentang
perubahan-perubahan drastis dan negatif yang terjadi di terumbu karang selama tiga
dekade karena tekanan dari aktfitas anthropogenic (misalnya polusi, perikanan, dan
pengembangan pantai) atau penyebab secara alami misalnya pemanasan global
(Andréfouët et al. 2001).
Klasifikasi dan anlisis data penginderaan jauh telah menjadi konsep dalam
mengekstraksi informasi tertentu, memprediksi perubahan secara dinamis,
pemetaan tematik dan membangun basis data penginderaan jauh untuk
diimplementasikan pada keperluan tertentu. Seiring dengan perkembangan
teknologi komputer, teknologi analisis digital data penginderaan jauh juga
mengalami perkembangan dari interpretasi visual ke klasifikasi dengan bantuan
komputer untuk mengklasifikasi objek secara otomatis. Teknik klasifikasi citra
penginderaan jauh secara perlahan-lahan berkembang dari pengenalan secara fisik
piksel tunggal, ektraksi informasi spektral dan tekstur menjadi pemahaman secara
komprehensif.
Komponen ekosistem terumbu karang yang disusun oleh karang hidup dari
jenis karang batu (scleractinian) maupun organisme asosiasi lainnya menyebabkan
ekosistem ini mempunyai karakteristik yang sangat kompleks. Terumbu karang
biasanya mencakup sejumlah besar karang dan alga yang sangat selektif terhadap
penyerapan dan hamburan energy cahaya. Zona geomorfologi berbeda sering
terdistribusi pada kedalaman berbeda dan ditutupi oleh biomasa yang berbeda.
Konsekuensinya, identifikasi yang efektif terumbu karang dan zona
geomorfologinya dapat diperoleh atas dasar warna, bentuk, tekstur dan fitur lainnya
dari citra penginderaan jauh (Mumby et al. 2004).
Penyajian informasi dalam bentuk peta-peta tematik ekosistem terumbu
karang yang diturunkan dari data penginderaan jauh selain tergantung pada jenisjenis citra satelit, juga sangat ditentukan oleh teknik untuk mendefenisikan objekobjek di terumbu karang itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas terumbu
3
karang yang tinggi karena disusun oleh berbagai komponen abiotik dan biotik,
sehingga tidak akan pernah ditemukan ekosistem terumbu karang yang sama pada
lokasi yang berbeda. Oleh karena itu diperlukan metode tententu untuk
mendefenisikan habitat-habitat terumbu karang atau yang disitilahkan dengan
skema klasifikasi.
Skema klasifikasi hirarki telah berkembang untuk mendefinisikan dan
menguraikan asosiasi habitat-habitat bentik perairan dangkal ekosistem terumbu
karang yang secara umum penyebarannya tidak lebih dari kedalaman 30 m. Skema
secara hirarki memperbolehkan pengguna untuk mengembangkan atau
menurunkan kualitas detail tematik peta yang dihasilkan untuk disesuaikan dengan
kebutuhannya. Ini merupakan hal yang sangat penting dari suatu skema klasifikasi
sebagai penyedia informasi umum untuk membandingkan dan membedakan petapeta digital yang diturunkan dari berbagai wahana penginderaan jauh (Rohmann et
al. 2005).
Data penginderaan jauh resolusi menengah dan tinggi sebagian besar telah
banyak digunakan dan diaplikasikan untuk menghasilkan informasi spasial tematik
terumbu karang, diantaranya Landsat, SPOT-HRV, ASTER, IKONOS, ALOSAVNIR QuickBird dan sebagainya (Mumby et al. 1999; Andréfouët et al. 2001;
Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003; Joyce et al. 2004; Nurlidiasari
2004; Andréfouët dan Guzman 2005; Siregar 2010; El-Askary et al. 2014).
Meskipun telah dikembangkan beberapa wahana penginderaan jauh yang
menghasilkan citra dengan resolusi yang lebih tinggi, Landsat merupakan wahana
citra yang paling banyak digunakan untuk pengamatan objek-objek di permukaan
bumi. Popularitas data Landsat dikaitkan dengan beberapa karakteristik kunci dari
program Landsat, termasuk akuisisi data dan ketersediaan arsip secara sistematik
yang menjamin cakupan data secara global. Selain itu distribusi data citra Landsat
yang dapat diperoleh dengan biaya rendah bahkan telah tersedia secara gratis
dengan penggunaan secara luas (Cohen dan Goward 2004).
Teknik klasifikasi berbasis piksel dalam pemetaan habitat bentik terumbu
karang masih banyak dijumpai pengaruh kesalahan klasifikasi pada area pemetaan
akibat keragaman habitat dengan heterogenitas spasial yang tinggi. Salah satu
pendekatan sebagai alternatif untuk mengurangi kesalahan klasifikasi adalah
klasifikasi citra berbasis objek (OBIA). Teknik OBIA menguraikan scene citra
menjadi area yang relatif homogen kemudian mengklasifikasi area-area tersebut
menjadi sekumpulan objek. OBIA telah berkembang dengan baik dan lebih banyak
diaplikasikan pada penelitian-penelitian teresterial dalam beberapa dekade terakhir,
namun metode tersebut belum dimanfaatkan secara memadai dalam pemetaan
habitat bentik (Blaschke 2010). Benfield et al. (2007) membandingkan metode
berbasis objek dan piksel dalam pemetaan terumbu karang dan asosiasi habitat
sublitoral di Pasific Panama menggunakan citra multispektral. Penelitian ini
menemukan bahwa klasifikasi berbasis objek dapat menghasilkan akurasi yang
lebih baik dibandingkan dengan pendekatan berbasis piksel. Teknik OBIA juga
diaplikasikan untuk pemetaan zona geomorfologi dan ekologi terumbu karang
menggunakan citra QuickBird yang menunjukan hasil bahwa teknik OBIA efektif
secara eksplisit pemetaan skala regional komposisi komunitas bentik dari citra
satelit resolusi tinggi (Phinn et al. 2011).
Teknik klasifikasi citra sebagai tahap dalam analisis penginderaan jauh juga
membutuhkan pemilihan algoritma klasifikasi yang merupakan faktor penting
4
karena sebagian besar dapat mempengaruhi hasil akhir (Benfield et al. 2007). Studi
pemetaan habitat bentik terumbu karang umumnya diaplikasikan dengan algoritma
klasifikasi tradisional seperti maximum likelihood (ML) yang membutuhkan respon
spektral setiap kelas mengikuti pola distribusi normal atau Gaussian distribution
(Mumby dan Edwards 2002; Andréfouët et al. 2003; Benfield et al. 2007; Pu et
al. 2012; Zapata-Ramírez et al. 2012). Berbeda dengan algoritma kontemporer
seperti machine learning yang telah mendapat banyak perhatian dalam pemetaan
habitat bentik karena menghasilkan akurasi lebih tinggi dari algoritma klasifikasi
ML (Zhang et al. 2013).
Teknik klasifikasi berbasis objek yang diterapkan untuk pemetaan terumbu
karang telah dilakukan menggunakan citra satelit resolusi tinggi namun belum
menerapkan algoritma klasifikasi machine learning dan hanya menggunakan teknik
kontekstual editing (Roelfsema et al. 2010a; Roelfsema et al. 2010b; Phinn et al.
2011), sedangkan algoritma machine learning Random Forest telah diterapkan
pada citra resolusi tinggi (IKONOS) (Zhang dan Xie 2013). Sementara itu
penelitian dengan pendekatan berbasis objek menggunakan algoritma machine
learning dengan citra resolusi menengah (Landsat) untuk memetakan zona
geomorfologi dan tipe-tipe habitat terumbu karang diantaranya Fuzzy logic
(Benfield et al. 2007), neural network (Leon dan Woodroffe 2011), dan
perbandingan beberapa algoritma machine learning diantaranya support vector
machine/SVM, random tree/RT, Bayyesian, k-nearest neighbor/KNN dan
decission tree/DT (Wahidin et al. 2015).
Perkembangan terkini algoritma-algoritma machine learning telah banyak
disertakan dalam perangkat pengolahan data penginderaan jauh komersial baik
yang berbasis piksel maupun objek sehingga merupakan peluang untuk lebih
dikembangkan lagi dalam proses pemetaan terumbu karang. Penerapan teknik
klasifikasi berbasis objek dengan algoritma machine learning SVM di Indonesia
sampai saat ini masih terbatas khususnya untuk pemetaan terumbu karang, oleh
karena itu diperlukan kajian yang intensif sebagai alternatif dari algoritma
klasifiaksi tradisional.
Perumusan Masalah
Sampai saat ini belum banyak tersedia data penelitian tentang terumbu karang
di Propinsi Maluku Utara. Salah satu data hasil kajian awal potensi
keanekaragaman terumbu karang di Pulau Halmahera dan sekitarnya telah
dilaksanakan oleh CI (Conservation International) bekerja sama dengan WWF,
TNC (The Nature of Conservation) dan beberapa intansi terkait lainnya pada tahun
2008. Stasiun-stasiun pengamatan pada kegiatan ini adalah bagian Barat pulau
Halmahera termasuk kawasan sekitar pulau Morotai, teluk Kao dan Teluk Weda
(Gambar 1). Kegiatan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pulau Halmahera
dan pulau-pulau di sekitarnya merupakan kawasan terumbu yang termasuk dalam
kawasan segitiga terumbu karang dunia atau yang lebih dikenal dengan Coral
Triangle (CII 2008).
Turak dan DeVantier (2008) dalam kajian tersebut, melaporkan bahwa
kawasan Halmahera bagian Utara mempunyai kekayaan hewan karang dengan total
spesies karang batu sebanyak 468 yang termasuk dalam 15 Famili dan 73 Genus.
Sebagai perbandingan, total jumlah spesies karang batu yang diperoleh di Teluk
5
Cendrawasih dan Fak-Fak Kaimana sebanyak 469 dan 471 spesies dengan jumlah
spesies yang sama sebanyak 421 spesies (Lampiran 1). Hal ini sangat berbeda
dengan pengamatan terhadap kondisi karang yang dilakukan dengan menggunakan
metode transek garis pada kedalaman 4 dan 12 m untuk menilai kualitas karang
berdasarkan persentase penutupan karang hidup. Rata-rata persentase penutupan
karang hidup pada kedalaman 4m adalah 43.42% dan pada kedalaman 12m sebesar
32.33% atau termasuk dalam kategori sedang. Total 24 stasiun penyelaman yang
diamati terdapat 3 site yang mempunyai kategori penutupan karang baik dan hanya
1 site yang mempunyai kategori sangat baik pada kedalaman 4m. Sedangkan pada
kedalaman 12m kategori penutupan karang hanya ditemukan berkisar dari rusak
sampai sedang. Secara khusus pada lokasi kawasan sekitar pulau Morotai terdapat
6 titik pengamatan dengan presentase penutupan karang hidup berkisar antara 15,67
% - 40.00 % dengan nilai rata-rata penutupan karang hidup sebesar 31.14% yang
termasuk dalam kategori sedang.
Sumber : dimodifikasi dari (Turak dan DeVantier 2008)
Gambar 1 Sebaran stasiun pengamatan terumbu karang di bagian Utara Halmahera
dan Pulau Morotai
Keberadaan terumbu karang di kawasan Halmahera bagian Utara dan
sekitarnya memiliki nilai keanekaragaman yang sangat tinggi meskipun dalam
6
kondisi yang sudah mulai kritis. Secara umum penyebab ancaman terhadap terumbu
karang diakibatkan oleh kegiatan antropogenik atau secara alami. Kegiatan
antropogenik di pulau Morotai adalah kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak dan bius, penambangan karang dan aktifitas wisata
maupun industri. Kerusakan secara alami adalah aktifitas fisik dinamika perairan
seperti gelombang, aktifitas pemangsaan oleh bintang laut berduri (Acantaster
plancii) dan terjadinya perubahan iklim secara global (global warming) . Perubahan
iklim global menyebabkan kenaikan suhu permukaan air laut yang dapat
mengakibatkan kematian karang secara masal.
Meskipun teknik pengamatan lapangan mampu menyajikan data secara
detail, namun hanya terbatas pada ruang yang sempit dan tidak optimal dalam
menghasilkan informasi secara spasial dalam skala luas. Disisi lain data
penginderaan jauh dengan berbagai jenis resolusi spasial, spektral, dan temporal
citra satelit mampu menghasilkan data dalam cakupan yang luas meskipun tidak
sedetail hasil pengukuran lapang. Oleh karena itu kombinasi data pengamatan
lapang dan data penginderaan jauh diharapkan mampu menyediakan data dan
informasi tentang ekosistem terumbu karang secara detail pada skala spasial yang
luas.
Data penginderaan jauh dan pengamatan lapang untuk pemetaan substrat
perairan dangkal telah dilakukan di beberapa kawasan terumbu karang
menggunakan berbagai instrument wahana penginderaan jauh dengan skema
klasifikasi dan pengujian akurasi. Hasil penelitian-penelitian tersebut menunjukan
bahwa data penginderaan jauh dari resolusi menengah sampai tinggi mampu
dikembangkan untuk pemetaan ekosistem terumbu karang dengan baik, namun
memiliki hasil yang berbeda tergantung pada lokasi, kompleksitas struktur dan
keragaman habitat terumbu karang serta skema klasifikasi yang dikembangkan.
Teknik klasifikasi multispektral merupakan suatu metode yang dirancang
untuk menurunkan informasi tematik dengan cara mengelompokan suatu fenomena
berdasarkan kriteria tertentu. Metode klasifikasi sebagian besar hanya
menggunakan satu kriteria seperti nilai spektral (kecerahan) pada beberapa saluran
sekaligus. Klasifikasi multispektral juga dapat dilakukan dengan melibatkan unsur
interpretasi lain disamping nilai kecerahan seperti tekstur dan bentuk, misalnya
dengan segmentasi citra berbasis objek menggunakan algoritma tertentu. Cara kerja
algoritma klasifikasi pada prinsipnya adalah menilai tiap jenis objek hingga
teridentifikasi berbeda antara satu dengan lainnya, berdasarkan ciri-ciri nilai
spektral. Algoritma klasifikasi menerjemahkan kenampakan visual menjadi
parameter-parameter statistik yang dimengerti oleh komputer kemudian dieksekusi.
Faktor lain yang juga menjadi penting dalam teknik klasifikasi adalah informasi
tambahan seperti data lapangan sehingga dapat menghasilkan peta tematik yang
siap pakai.
Informasi yang dihasilkan dari data penginderaan jauh menggunakan
algoritma klasifikasi machine learning menunjukan bahwa teknik klasifikasi
berbasis objek mempunyai kemampuan lebih baik dari teknik klasifikasi berbasis
piksel dalam menghasilkan peta-peta tematik ekosistem terumbu karang (Benfield
et al. 2007; Leon dan Woodroffe 2011; Zhang et al. 2013). Algortima SVM yang
digunakan dalam menghasilkan peta-peta tematik ekosistem terumbu karang dari
data-data penginderaan jauh sampai saat ini masih terbatas penggunaannya.
Kondraju et al. (2014) menerapkan beberapa algoritma klasifikasi dengan teknik
7
klasifikasi berbasis piksel untuk memetakan terumbu karang di pulau Andaman
menunjukan bahwa algoritma SVM mempunyai kemampuan yang baik
dibandingkan algoritma lainnya. Penggunaan algoritma SVM untuk ekstraksi
informasi terumbu karang masih terbatas pada penilaian tekstur (texture) jenis-jenis
karang tertentu seperti yang dilakukan oleh (Mehta et al. 2007; Shihavuddin et al.
2013) dan belum diterapkan pada data penginderaan jauh.
Khususnya di Indonesia, penerapan algoritma SVM dalam menghasilkan
informasi ekositem terumbu karang menggunakan data penginderaan jauh dengan
pendekatan teknik klasifikasi berbasis objek masih sangat terbatas. Oleh karena itu
diperlukan kajian yang komprehensif untuk mengetahui kemampuan algoritma
tersebut sehingga dapat diterapkan pada teknik klasifikasi ekosistem terumbu
karang untuk menghasilkan peta-peta tematik yang lebih baik.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka dikembangkan beberapa pertanyaan
ilmiah sebagai berikut:
1. Bagaimana mendefenisikan komponen penyusun ekosistem terumbu
karang sehingga dapat dikembangkan menjadi skema klasifikasi untuk
diterapkan penggunaannya dalam teknik pemetaan ekosistem terumbu
karang dengan data satelit multispektral?
2. Bagaimana kemampuan teknik klasifikasi berbasis objek (OBIA) dengan
algoritma klasifikasi support vector machine (SVM) diaplikasikan secara
optimal untuk meningkatkan akurasi pemetaan terumbu karang?
3. Bagaimana kondisi dan status ekosistem terumbu karang dalam kurun
waktu dua dekade terakhir (1996-2013)?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengembangkan skema klasifikasi ekosistem terumbu karang yang dapat
diterapkan dalam klasifikasi data penginderaan jauh.
2. Menentukan kemampuan teknik klasifikasi berbasis objek menggunakan
algoritma klasifikasi SVM untuk menghasilkan peta-peta tematik
terumbu karang yang lebih baik.
3. Menentukan kondisi dan status ekosistem terumbu karang dalam kurun
waktu dua dekade terakhir (1996-2013)
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menjadi bahan
pertimbangan dalam pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan di
Kabupaten Pulau Morotai terutama di Propinsi Maluku Utara, dan dapat
dimanfaatkan sebagai data dasar (based line) untuk mendukung pengembangan
bidang pemetaan dan penginderaan jauh ekosistem terumbu karang.
Kerangka Pemikiran
Penelitian ini dibagi atas tiga tahapan, dimulai dari pengembangan skema
klasifikasi untuk mengelompokan komponen penyusun terumbu karang yang akan
digunakan dalam tahap klasifikasi peta tematik. Tahap penelitian dilanjutkan
8
dengan menerapkan metode klasifikasi berbasis objek menggunakan algoritma
klasifikasi yang lebih maju. Keluaran dari tahap ini adalah rekomendasi teknik
klasifikasi dengan algoritma machine learning dengan parameter-parameter yang
lebih baik untuk meningkatkan akurasi pemetaan terumbu karang.