Perubahan Ekologis

2.1.4. Strategi Adaptasi Nelayan

2.1.4.1. Konsep Adaptasi

Adaptasi dan perubahan adalah dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan bagi makhluk hidup. Adaptasi berlaku bagi setiap makhluk hidup dalam menjalani hidup dalam kondisi lingkungan yang senantiasa berubah. Terdapat beberapa pengertian yang berusaha menjelaskan konsep adaptasi, diantaranya yaitu:

1) Adaptasi sebagai suatu konsep umum merujuk pada konsep proses penyesuaian pada keadaan yang berubah (Hansen, 1979 dalam Saharudin, 2007).

2) Adaptasi adalah kapasitas manusia untuk menjalankan tujuan-tujuan individu (self-objectification), belajar dan mengantisipasi (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007). Adaptasi bukan hanya persoalan bagaimana mendapatkan makanan dari suatu kawasan tertentu, tetapi juga mencakup persoalan transformasi sumberdaya lokal dengan mengikuti model standar konsumsi manusia yang umum, serta biaya dan harga atau mode-mode produksi di tingkat nasional.

3) Adaptasi merupakan pilihan tindakan yang bersifat rasional dan efektif sesuai dengan konteks lingkungan sosial-ekonomi-politik-ekologi, dimana penduduk miskin itu hidup (Barlet, 1993 dalam Kusnadi, 2000). Pemilihan tindakan yang bersifat kontekstual tersebut bertujuan untuk mengalokasikan sumberdaya yang tersedia di lingkungannya guna mengatasi tekanan-tekanan sosial-ekonomi.

Terdapat tiga konsep kunci mengenai adaptasi (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007), yaitu:

1) Adaptasi perilaku (adaptive bahavior) Konsep

aktual masyarakat menemukan/merencanakan untuk memperoleh sumberdaya untuk mencapai tujuan dan memecahkan masalah. Adaptasi perilaku (adaptive behavior) merupakan suatu pilihan tindakan dengan mempertimbangkan biaya yang harus dikembangkan dan hasil yang akan dicapai.

2) Adaptasi proses (adaptive process) Adaptasi proses (adaptive process) adalah perubahan-perubahan yang ditunjukan melalui proses yang panjang dengan cara menyesuaikan strategi yang dipilihnya.

3) Strategi adaptasi (adaptive strategies) Strategi adaptasi (adaptive strategies) merupakan pola umum yang terbentuk melalui banyak proses penyesuaian pemikiran masyarakat secara terpisah. Dalam hal ini masyarakat merespon permasalahan yang dihadapi dengan melakukan evaluasi terhadap alternatif yang mungkin dan konsekuensinya, serta berusaha menempatkan permasalahan tersebut dalam suatu design strategi yang lebih luas untuk mengimbangi konflik kepentingan dari banyak pihak dimana ia mempertanggungjawabkan tindakannya.

Adaptasi merupakan salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap perubahan lingkungan fisik maupun sosial yang terjadi secara temporal (Mulyadi, 2007). Dalam merespon setiap perubahan yang terjadi Bogardus (1983) dalam Marzuki (2002) mengemukakan urutan-urutan adaptasi pada manusia adalah perubahan teknologi, pengisian waktu senggang, pendidikan, kegiatan bermasyarakat, suasana dalam rumah tangga dan terakhir adalah agama dan kepercayaan. Sementara itu, dalam kaitannya dengan lingkungan, adaptasi di bentuk dari tindakan yang berulang-ulang sebagai proses penyesuaian terhadap lingkungan tersebut (Bennett, 1976 dalam Saharudin, 2007).

Dalam konteks ekonomi masyarakat nelayan, adaptasi dikatakan sebagai tingkah laku strategis dalam memaksimalkan kesempatan hidup. Adaptasi bagi suatu kelompok dapat memberikan kesempatan untuk bertahan hidup, walaupun bagi kelompok lain kemungkinan akan dapat menghancurkannya (Hansen, 1979 dalam Saharudin, 2007).

2.1.4.2. Bentuk-bentuk Adaptasi Nelayan

Pada dasarnya manusia dapat bertahan hidup dan memanfaatkan lingkungannya karena adanya tiga bentuk utama adaptasi budaya dari manusia itu sendiri (Miller, 1979 dalam Marzuki, 2002) yaitu:

1) Dengan menggunakan peralatan-peralatan (teknologi) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

2) Hidup di lingkungan dengan belajar secara efektif melalui organisasi sosial dan kerjasama (interaksi) sesama manusia.

3) Menggunakan bahasa untuk meningkatkan kerjasama secara efisien dan untuk mewariskan pengetahuan tentang cara-cara bertahan hidup berdasarkan pengalaman yang lalu.Pada masyarakat nelayan, pola adaptasinya menyesuaikan dengan ekosistem lingkungan fisik laut dan lingkungan sosial di sekitarnya.

Strategi adaptasi nelayan dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, yaitu:

1) Diversifikasi (Wahyono et al., 2001; Kusnadi, 2000) Diversifikasi merupakan perluasan alternatif pilihan mata pencaharian yang dilakukan nelayan, baik di bidang perikanan maupun non perikanan. Diversifikasi merupakan strategi adaptasi yang umum dilakukan di banyak komunitas nelayan, dan sifatnya masih tradisional. Strategi adaptasi ini dicirikan oleh bentuk-bentuk respon penyesuaian yang sifatnya masih individual atau dilakukan oleh unit rumah tangga nelayan.

2) Intensifikasi (Wahyono et al., 2001) Strategi adaptasi di kalangan nelayan untuk melakukan investasi pada teknologi penangkapan, sehingga hasil tangkapannya diharapkan menjadi lebih banyak. Melalui intensifikasi kegiatan penangkapan dapat dilakukan pada daerah tangkapan yang jauh dari tempat pemukiman, bahkan mungkin memerlukan waktu penangkapan lebih dari satu hari (one day fishing).

3) Jaringan Sosial (Kusnadi, 2000; Wahyono, 2001) Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok) (Wahyono et al., 2001).

4) Memobilisasi peran istri dan anak-anak untuk ikut mencari nafkah keluarga (Kusnadi, 2000) .

5) Menggandaikan atau menjual barang-barang rumah tangga yang dimiliki; melakukan konversi pekerjaan bagi nelayan (Kusnadi, 2000).

Terdapat perbedaan pola adaptasi dari beragam lapisan nelayan (Iwan, 2003), diantaranya adalah:

1. Pada lapisan atas/elit nelayan yaitu tauke lokal, terdapat gejala mempertahankan atau memperkuat sistem kelembagaan patronase

(kelembagaan distribusi barang dan jasa) yang dilakukan dalam hal memenuhi kebutuhan modal, pemasaran ikan dan hubungan produksi antar nelayan.

2. Pada lapisan menengah, strategi adaptasinya cenderung mempertahankan sistem kelembagaan patronase. Hal ini dilakukan sebagai jaminan ekonomi (modal usaha) serta jaminan pemenuhan kebutuhan keluarganya baik selama melaut maupun selama musim paceklik dan menjamin kebutuhan sosial lainnya seperti pernikahan, sunatan massal dan gotong royong.

3. Pada lapisan bawah, strategi adaptasi dengan jaringan sosial yang dilakukannya yaitu ikut memperkuat posisinya kelembagaan patronase. Hal ini dilakukannya dengan membina hubungan dengan tauke lokal baik itu dalam pemasaran ikan maupun dalam hal permodalan, pilihan tersebut merupakan suatu pilihan utama karena sulitnya untuk mencari kelembagaan yang mampu memenuhi kebutuhan subsistensinya.

Persaingan dalam menguasai sumberdaya akan meningkatkan beban pekerjaan yang harus ditanggung nelayan. Pekerjaan sebagai nelayan adalah pekerjaan berat, meskipun demikian, nelayan tidak dapat membayangkan pekerjaan lain yang lebih mudah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Keterampilan sebagai nelayan bersifat sederhana dan hampir sepenuhnya dipelajari secara turun temurun. Apabila satu keluarga nelayan mampu untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak, maka harapan agar generasi berikutnya tidak menjadi nelayan sangat besar. Namun, umumnya nelayan tidak mampu membebaskan diri dari profesi nelayan, dilain pihak, banyak ditemui kelompok-kelompok nelayan tetap mampu bertahan hidup dalam menghadapi keadaan yang sangat berat sekalipun, terutama pada masa-masa paceklik (Sastrawidjaja dan Manadiyanto, 2002).

Intensitas tekanan sosial dan ekonomi yang dihadapi nelayan telah menjadikan kelompok masyarakat nelayan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki daya tahan dan tingkat adaptasi yang tinggi. Masyarakat nelayan memiliki sifat otonom dan independensi yang tinggi untuk mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari berdasarkan kemampuan sumberdaya yang tersedia dalam menghadapi segala keterbatasan yang ada. Sikap-sikap otonom, indpendensi, dan Intensitas tekanan sosial dan ekonomi yang dihadapi nelayan telah menjadikan kelompok masyarakat nelayan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki daya tahan dan tingkat adaptasi yang tinggi. Masyarakat nelayan memiliki sifat otonom dan independensi yang tinggi untuk mengatasi persoalan kehidupan sehari-hari berdasarkan kemampuan sumberdaya yang tersedia dalam menghadapi segala keterbatasan yang ada. Sikap-sikap otonom, indpendensi, dan

2.2. Kerangka Pemikiran

Desa Pulau Panjang merupakan pulau kecil yang memiliki kompleksitas permasalahan didalamnya. Desa ini juga sangat rentan terhadap dampak negatif dari pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dilakukan oleh manusia, salah satunya adalah pertambangan. Masuknya pertambangan di kawasan ini membawa pula perubahan ekologis yang cukup signifikan pada ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang).

Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Perubahan ekologis di Desa Pulau Panjang diasumsikan terjadi akibat beragamnya aktivitas pertambangan yang beroperasi di daerah tersebut. Mulai dari aktivitas pelabuhan khusus batubara, hilir mudiknya kapal-kapal tongkang, dan pembuangan limbah industri batubara tersebut.

Masyarakat nelayan sebagai aktor yang memiliki kedekatan fisik, teritorial, dan emosional terhadap sumberdaya pesisir merupakan aktor utama yang menarik untuk dikaji terkait dengan strategi adaptasinya terhadap sumberdaya pesisir yang mengalami perubahan ekologis tersebut. Hal ini dikarenakan perubahan ekologis baik langsung maupun tidak langsung berdampak pada kehidupan nelayan. Dampak dari perubahan ekologis dapat dibagi menjadi dampak ekologis, dampak terhadap kehidupan sosial, dan dampak terhadap kegiatan ekonomi. Dampak ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap lingkungan pesisir yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam. Dampak sosial berkaitan dengan akibat perubahan ekologis terhadap kesejahteraan masyarakat. Sedangkan dampak ekonomi berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan perubahan ekologis terhadap mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir.

Dampak dari perubahan ekologis tersebut tidak ditanggapi secara negatif oleh nelayan. Nelayan di Desa Pulau Panjang diduga melakukan strategi adaptasi melalui beragam kegiatan dalam menghadapi dampak perubahan ekologis Dampak dari perubahan ekologis tersebut tidak ditanggapi secara negatif oleh nelayan. Nelayan di Desa Pulau Panjang diduga melakukan strategi adaptasi melalui beragam kegiatan dalam menghadapi dampak perubahan ekologis

Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

PERUBAHAN EKOLOGIS

Ekosistem Mangrove Ekosistem Terumbu Karang

Dampak Ekologis

Dampak Sosial

Dampak Ekonomi

Nelayan

Non-Nelayan

Karakteristik Rumahtanggga Nelayan

STRATEGI ADAPTASI

Usia Tingkat pendidikan Pengalaman sebagai nelayan

Jumlah anggota rumah tangga

Jenis Armada Tangkap

Gambar 2 Kerangka Pemikiran

Keterangan:

hubungan pengaruh hubungan langsung variabel yang diteliti

2.3.Hipotesis Penelitian

a. Hipotesis Pengarah

1) Diduga perubahan ekologis mempengaruhi aktivitas usaha nelayan.

2) Diduga terdapat strategi adaptasi yang diterapkan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis di kawasan pesisir.

b. Hipotesis Uji

Diduga terdapat hubungan antara karakteristik rumah tangga nelayan dengan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis.

2.4. Definisi Konseptual

1) Perubahan ekologis adalah perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Berdasarkan dimensi waktunya, perubahan ini diukur pada saat sebelum dan setelah aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir berlangsung (pertambangan, pariwisata, perhubungan laut, dan perikanan).

2) Nelayan adalah salah satu bagian dari masyarakat pesisir yang memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya perikanan tangkap, secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan, serta membentuk kebudayaan yang khas yang terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir.

3) Dampak ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap lingkungan pesisir yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas sumberdaya alam.

4) Dampak sosial perubahan ekologis adalah akibat yang ditimbulkan dari perubahan ekologis terhadap kesejahteraan masyarakat yang hidup dan bergantung pada sumberdaya pesisir.

5) Dampak ekonomi adalah akibat yang ditimbulkan perubahan ekologis terhadap mata pencaharian masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya pesisir.

6) Adaptasi nelayan adalah pilihan tindakan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati dampak negatif dari perubahan ekologis yang mempengaruhi aktivitasnya mencari ikan.

2.5. Definisi Operasional

1) Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang melekat pada individu meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan dan jumlah anggota rumah tangga.

a) Usia adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian. Havighurst dan Acherman (dalam Sugiah, 2008) membagi usia menjadi tiga kategori:

i) Muda (18-30 tahun)

ii) Dewasa (31-50 tahun)

iii) Tua (> 50 tahun)

b) Pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden, yang dibedakan kedalam kategori:

i) Rendah (jika tidak sekolah, tidak tamat dan tamat SD/sederajat)

ii) Sedang (jika tamat SMP/sederajat)

iii) Tinggi (jika tamat SMA/sederajat)

c) Pengalaman sebagai nelayan adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan yang dinyatakan dalam kategori

i) Rendah (6-14 tahun)

ii) Sedang (15-27 tahun)

iii) Tinggi (lebih dari 28 tahun)

d) Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang menetap dalam satu rumah dimana nelayan itu tinggal. Jumlah anggota rumah tangga dibedakan menjadi:

i) Kecil (jika anggota rumah tangga berjumlah 1-3 orang)

ii) Menengah (jika anggota rumah tangga berjumlah 4-6 orang)

iii) Besar (jika anggota rumah tangga berjumlah lebih dari 7 orang) iii) Besar (jika anggota rumah tangga berjumlah lebih dari 7 orang)

i) Rendah (jika armada yang digunakan jenis ketinting)

ii) Sedang (jika armada yang digunakan berupa swan)

iii) Tinggi (jika armada yang digunakan berupa balapan/klotok)

2) Strategi adaptasi merupakan tindakan yang dilakukan nelayan dalam menyiasati dampak negatif perubahan ekologis yang dibagi menjadi penganekaragaman sumber pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, perubahan daerah tangkapan, jaringan sosial, mobilisasi anggota rumah tangga, dan strategi lainnya.

1. Penganekaragaman sumber pendapatan adalah kegiatan yang dilakukan oleh rumah tangga nelayan dalam menambah penghasilannya (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

2. Penganekaragaman alat tangkap adalah kegiatan yang dilakukan nelayan dalam rangka meningkatkan kapasitas usaha penangkapan ikan (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

3. Perubahan daerah tangkapan adalah kegiatan mengubah daerah penangkapan ikan yang biasanya menjadi lokasi penangkapan ikan nelayan sebelum terjadinya perubahan ekologis (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

4. Memanfaatkan jaringan sosial adalah hubungan yang dijalin nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

5. Mobilisasi anggota rumah tangga adalah mengikutsertakan anggota rumah tangga nelayan untuk bekerja, baik disektor perikanan maupun diluar sektor perikanan (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

6. Strategi lainnya adalah kegiatan yang dilakukan nelayan selain dari yang disebutkan diatas (1 jika tidak ada, 2 jika ada).

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Metode kualitatif dilakukan untuk menelusuri lebih jauh alur sejarah desa, pola pemanfaatan sumberdaya pesisir dan perubahan penggunaan lahan di kawasan pesisir. Selain itu, metode kualitatif ini juga digunakan untuk mengetahui lebih jauh kehidupan sosial ekonomi nelayan yang terpengaruh oleh perubahan ekologis, aktivitas-aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan ekologis, serta strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut.

Metode kualitatif ini juga didukung dengan data kuantitatif yang diperoleh dari hasil survei melalui instrumen kuesioner untuk mengetahui karakteristik rumah tangga nelayan dan karakteristik usaha nelayan. Peubah (variabel) yang diteliti terdiri dari peubah bebas yaitu karakteristik rumah tangga nelayan (usia, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan, jumlah anggota rumah tangga) dan karakteristik usaha nelayan yakni jenis armada tangkap; serta peubah terikat yakni pilihan adaptasi yang dilakukan nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian deskriptif berguna untuk membuat penjelasan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus adalah suatu strategi penelitian multi-metode, lazimnya memadukan teknik pengamatan, wawancara, dan analisis dokumen (Sitorus, 1998). Menurut Stake (2009) studi kasus dapat berciri kualitatif, kuantitatif, atau kombinasi keduanya.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan, yakni: Penelitian ini dilakukan di Desa Pulau Panjang, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) dengan beberapa alasan, yakni:

b. Di kawasan pesisir Desa Pulau Panjang terdapat pelabuhan khusus pertambangan batubara yang mengangkut hasil tambang lewat jalur laut. Hal tersebut menyebabkan kawasan ini banyak dilalui kapal-kapal besar pengangkut hasil tambang.

c. Sebagian besar penduduk Desa Pulau Panjang bermatapencaharian sebagai nelayan yang menggantungkan hidupnya dari hasil laut.

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2011. Selama pengambilan data berlangsung, peneliti tinggal bersama objek penelitian di lapangan. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat mengetahui lokasi penelitian dengan baik dan juga terciptanya hubungan sosial yang dekat dengan objek penelitian.

3.3. Teknik Pemilihan Responden dan Informan

Populasi dari penelitian ini adalah suluruh rumah tangga nelayan tangkap Desa Pulau Panjang yang berjumlah 35 rumah tangga. Populasi ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari monografi desa tahun 2010 dan hasil pemetaan swadaya masyarakat Pulau Panjang tahun 2010. Sedangkan unit penelitiannya adalah rumah tangga nelayan. Penentuan responden menggunakan teknik sensus, yang berarti semua populasi dijadikan sebagai responden penelitian. Akan tetapi, dari 35 responden tersebut yang bersedia untuk dijadikan responden hanya 30 rumah tangga nelayan.

Jumlah informan dalam penelitian ini tidak dibatasi, dengan tujuan untuk memperkaya informasi mengenai berbagai strategi adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis. Penelitian akan dilakukan pada rumah tangga-rumah tangga nelayan yang memperoleh dampak perubahan ekologis dengan menggunakan teknik bola salju (snowball sampling) yang memungkinkan perolehan data dari satu informan ke informan lainnya. Pencarian informan ini akan berhenti apabila tambahan informan tidak lagi menghasilkan pengetahuan baru atau sudah berada pada titik jenuh.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang pengumpulannya dilakukan sendiri oleh peneliti. Artinya, data tersebut diperoleh dari pengamatan langsung peneliti sendiri, yakni hasil wawancara dengan responden/informan dan hasil pengukuran peneliti sendiri.

Data primer yang diperoleh dari responden dilakukan melalui teknik wawancara dengan alat bantu kuesioner yang telah dipersiapkan. Sedangkan pengumpulan data dari informan dilakukan dengan wawancara mendalam menggunakan pedoman wawancara. Data primer yang akan dikumpulkan adalah:

1) Karakteristik rumah tangga nelayan, yang meliputi usia, tingkat pendidikan, pengalaman sebagai nelayan, dan jumlah anggota rumah tangga.

2) Karakteristik usaha nelayan, yang meliputi jenis armada penangkapan dan jenis alat tangkap yang digunakan.

3) Pengaruh perubahan ekologis terhadap kegiatan nelayan.

4) Pilihan adaptasi yang dilakukan nelayan dalam kaitannya dengan perubahan ekologis.

5) Musim-musim penangkapan ikan dan daerah penangkapan ikan. Selain data primer, pengumpulan data dalam penelitian ini juga menggunakan

data sekunder. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah oleh pihak lain tersebut. Sumber data sekunder dapat diperoleh dari Kantor Desa Pulau Panjang, Balai Konservasi Sumberdaya Alam, Dinas Perikanan dan Kelautan Tanah Bumbu, Biro Pusat Statistik Tanah Bumbu, perusahaan-perusahaan yang melakukan aktivitasnya disekitar kawasan tersebut, serta buku, internet, jurnal-jurnal penelitian, skripsi, tesis, dan laporan penelitian yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

3.5. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan dapat dikuantifikasikan. Data kuantitatif ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden dan karakteristik usaha nelayan, serta mencari hubungan antara karakteristik keduanya dengan pilihan strategi adaptasi nelayan. Pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah pengolahan data dari Effendi et al. (1989). Pertama, memasukkan data ke dalam Data kuantitatif adalah informasi mengenai hal-hal yang dapat diukur dan dapat dikuantifikasikan. Data kuantitatif ini digunakan untuk menggambarkan karakteristik responden dan karakteristik usaha nelayan, serta mencari hubungan antara karakteristik keduanya dengan pilihan strategi adaptasi nelayan. Pengolahan data kuantitatif dalam penelitian ini mengacu pada langkah-langkah pengolahan data dari Effendi et al. (1989). Pertama, memasukkan data ke dalam

Setelah itu, data kuantitatif yang dikumpulkan akan diolah dengan menggunakan program komputer SPSS 16 for Windows untuk menguji hubungan antar variabel yang kemudian dianalisis dan diinterpretasikan untuk melihat fakta yang terjadi dengan menggunakan analisis crosstab chi-square, serta dianalisis secara deskriptif untuk menggambarkan hubungan antara karakteristik nelayan dengan strategi adaptasi yang dilakukannya.

Sedangkan teknik analisis data kualitatif dilakukan sejak awal pengumpulan data. Dimana hasil wawancara mendalam dan pengamatan disajikan dalam bentuk catatan harian yang dianalisis sejak pertama kali datang ke lapangan dan berlangsung terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan secara terus menerus yang terdiri dari pengumpulan data, analisis data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Analisis data primer dan sekunder mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (1992) dalam Sitorus (1998), dimana data diolah dengan melakukan tiga tahapan kegiatan dan dilakukan secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan melalui verifikasi data. Pertama, reduksi data dilakukan dengan tujuan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data-data yang tidak diperlukan dan mengorganisir data sedemikian sehingga didapatkan kesimpulan akhir.

Kedua, data yang telah disajikan dalam bentuk teks naratif hasil catatan lapang disusun dalam bentuk matriks yang menggambarkan proses terjadinya perubahan ekologis, kemudian proses bagaimana perubahan ekologis tersebut mempengaruhi kehidupan nelayan dan bagaimana strategi adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut. Dengan demikian memudahkan melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan yaitu melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara: memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang, bertukar pikiran dengan teman sejawat dan dosen pembimbing. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses Kedua, data yang telah disajikan dalam bentuk teks naratif hasil catatan lapang disusun dalam bentuk matriks yang menggambarkan proses terjadinya perubahan ekologis, kemudian proses bagaimana perubahan ekologis tersebut mempengaruhi kehidupan nelayan dan bagaimana strategi adaptasi nelayan dalam menghadapi perubahan ekologis tersebut. Dengan demikian memudahkan melihat apa yang sedang terjadi, dan menentukan apakah menarik kesimpulan yang benar ataukah terus melakukan analisis. Tahap ketiga, penarikan kesimpulan yaitu melalui verifikasi yang dilakukan peneliti sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Verifikasi tersebut dilakukan dengan cara: memikirkan ulang selama penulisan, tinjauan ulang pada catatan lapang, bertukar pikiran dengan teman sejawat dan dosen pembimbing. Artinya, terdapat satu tahapan dimana proses

Kondisi fisik

Perubahan Ekologis

Identifikasi

sumberdaya pesisir

Indikasi Perubahan

Ekologis Kawasan Pemanfaatan

Kawasan Pesisir

Pesisir

sumberdaya pesisir

Usia

Tingkat Pendidikan

Identifikasi karakteristik rumah

Tingkat Pendapatan

tangga nelayan

Karakteristik rumah Pengalaman nelayan

tangga nelayan

Pulau Panjang Jumlah anggota rumah tangga

Jenis armada

Identifikasi karakteristik usaha

Jenis alat tangkap

nelayan

Pengaruh Perubahan Ekologis terhadap

Aktivitas Nelayan

Indikasi Perubahan Ekologis Kawasan Pesisir

Analisis Pengaruh Perubahan Ekologis

terhadap Aktivitas

Nelayan

Karakteristik rumah

STRATEGI tangga nelayan

ADAPTASI P.Panjang

NELAYAN

Gambar 3 Kerangka Analisis

BAB IV PROFIL LOKASI

4.1. Letak Geografis dan Kondisi Alam

Desa Pulau Panjang merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah administratif Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Tanah Bumbu, Provinsi Kalimantan Selatan. Desa Pulau Panjang memiliki tiga pulau kecil, dimana dua diantaranya tidak berpenghuni. Pulau-pulau yang masuk dalam wilayah Desa Pulau Panjang adalah Pulau Burung, Pulau Tampakan dan Pulau Hantu. Pusat pemerintahan dan pulau yang berpenghuni berada di wilayah Pulau Burung. Sedangkan dua pulau lainnya (Pulau Tampakan dan Pulau Hantu) merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan hanya ditumbuhi ekosistem mangrove.

Secara geografis, desa ini berbatasan langsung dengan Desa Sungai Dua disebelah Utara, Pulau Suwangi/Kecamatan Batulicin disebelah Selatan, Desa Tungkaran Pangeran disebelah Barat, dan Selat Laut (Kabupaten Kotabaru) disebelah Timur. Posisi desa ini diapit oleh dua pulau besar, yakni Pulau Kalimantan disebelah Barat dan Pulau Laut disebelah Timur. Posisi yang demikian menjadikan wilayah pesisir desa ini padat akan lalu lalang transportasi laut, seperti speedboat, klotok, dan kapal-kapal tugboat.

Perjalanan menuju desa tersebut hanya dapat ditempuh dengan perjalanan laut. Hal ini disebabkan tidak adanya jembatan penyebrangan yang menghubungkan Pulau Burung dengan Pulau Kalimantan. Jarak tempuh dari Ibu kota kecamatan ke Kantor Desa Pulau Panjang sekitar 3 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 30 menit (15 menit perjalanan laut, 15 menit perjalanan darat). Jarak dari pusat pemerintahan Kabupaten sekitar 14 kilometer dengan waktu tempuh sekitar 1,5 jam sedangkan jarak dari ibukota Provinsi Kalimantan Selatan sekitar 265 kilometer dengan waktu tempuh 6 jam.

Luas Desa Pulau Panjang kurang lebih 1562,5 Ha. Wilayah seluas itu diperuntukan untuk perumahan dan pekarangan, perkebunan, tambak, dan hutan mangrove. Ketinggian tanah di kawasan ini berkisar 0-5 meter diatas permukaan laut (dpl). Kelembaban udara rata – rata berkisar antara 85 persen dan 92 persen dengan kelembaban maksimum tertinggi sebesar 99 persen di bulan Mei Luas Desa Pulau Panjang kurang lebih 1562,5 Ha. Wilayah seluas itu diperuntukan untuk perumahan dan pekarangan, perkebunan, tambak, dan hutan mangrove. Ketinggian tanah di kawasan ini berkisar 0-5 meter diatas permukaan laut (dpl). Kelembaban udara rata – rata berkisar antara 85 persen dan 92 persen dengan kelembaban maksimum tertinggi sebesar 99 persen di bulan Mei

persen. Temperatur udara rata o – rata berkisar antara 24,5 C dan 27,1

C, dengan suhu udara maksimum tertinggi pada bulan Januari dan Juli sebesar 34 0

C dan minimum terendah sebesar 21 0

C di bulan Juni. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi di bulan Juli yaitu 389,4 mm dan terendah di bulan April yaitu 137,1 mm (BPS Kabupaten Tanah Bumbu, 2009).

4.2. Penduduk dan Mata Pencaharian

Menurut para orang tua dan para sesepuh di Pulau Panjang, asal usul leluhur mereka berasal dari Sulawesi. Itulah sebabnya, sebagian besar penduduk Pulau Panjang adalah orang Bugis. Kehadiran orang Banjar yang ada di Pulau Panjang lebih banyak disebabkan oleh ikatan perkawinan dengan penduduk setempat atau bertugas sebagai pegawai negeri, seperti guru SD atau aparat desa. Sekalipun demikian, orang Bugis tetap mendominasi struktur masyarakat di desa ini.

Jumlah penduduk Pulau Panjang 250 jiwa yang terdiri dari 67 KK yang terdiri atas 126 laki-laki dan 124 perempuan (Tim Pemetaan Swadaya, 2011). Akan tetapi, pencatatan data kependudukan ini di masing-masing instansi berbeda-beda. BPS Kabupaten Tanah Bumbu tahun 2009 mencatat penduduk di Desa Pulau Panjang mencapai 330 jiwa dengan 106 KK. Sedangkan Kantor Desa Pulau Panjang pada tahun yang sama mencatat jumlah penduduk sebanyak 479 jiwa dengan 115 KK.

Tabel 2 Jumlah Penduduk menurut Jenis Kelamin dan Golongan Umur

No Umur

Laki-Laki

Perempuan Jumlah

Jumlah Penduduk

Sumber : Tim Pemetaan Swadaya Desa Pulau Panjang 2011

Berdasarkan data tersebut, dapat diketahui bahwa rasio beban tanggungan (dependency ratio) di Desa Pulau Panjang adalah 77,3. Artinya, dalam setiap 100 orang usia produktif menanggung 77,3 orang usia non-produktif. Sedangkan rasio jenis kelamin (sex ratio) 101,7 laki-laki per 100 perempuan.

Sebagian besar penduduk bekerja sebagai nelayan atau pekerjaan yang masih berkaitan langsung dengan pemanfaatan hasil-hasil laut. Selain itu, yang saat ini mulai dikembangkan adalah usaha pembudidayaan rumput laut (Gracillaria spp). Selebihnya, merupakan petani kebun dan buruh bangunan. Akan tetapi, yang perlu diingat adalah bahwa kebanyakan masyarakat Desa Pulau Panjang tidak menggantungkan hidupnya dari satu sumber penghasilan saja, sebagian besar memiliki pola nafkah ganda dan mengikutsertakan seluruh anggota rumah tangga untuk mencari sumber-sumber penghasilan.

4.3. Sarana dan Prasarana

Prasarana sosial yang terdapat di Desa Pulau Panjang mencakup bidang keagamaan, pendidikan dan kesehatan. Di bidang keagaman, dengan jumlah penduduk mayoritas beragama Islam, maka sarana keagamaan yang ada hanyalah sarana yang berhubungan dengan agama Islam, yakni Masjid. Secara umum, masjid merupakan tempat anggota masyarakat mengadakan kegiatan keagamaan seperti: sholat, pengajian, upacara keagamaan dan merupakan tempat penyebaran informasi (penyebaran berita kematian dan undangan untuk berkumpul). Kegiatan lain dilakukan setelah jum’atan dan setelah sholat maghrib di malam jum’at

untuk menyelesaikan beberapa masalah dan konflik sosial. Di bidang pendidikan, desa ini memiliki SD (Sekolah Dasar) dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Fungsi SD ini sangat penting untuk memberikan pendidikan dasar bagi masyarakat Pulau Panjang, seperti pemahaman baca tulis, kemampuan berhitung dan pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Sebelum SD ini didirikan pada tahun 1996, masyarakat Pulau Panjang yang ingin bersekolah harus menempuh jarak kurang lebih 3 kilometer dengan menggunakan klotok (perahu kecil) untuk dapat sampai ke sekolah tujuan yang berada di Desa Tungkaran Pangeran di Pulau Kalimantan. Jarak tempuh yang jauh dan akses menuju sekolah yang cukup sulit menyebabkan banyak masyarakat yang memilih untuk menyelesaikan beberapa masalah dan konflik sosial. Di bidang pendidikan, desa ini memiliki SD (Sekolah Dasar) dan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Fungsi SD ini sangat penting untuk memberikan pendidikan dasar bagi masyarakat Pulau Panjang, seperti pemahaman baca tulis, kemampuan berhitung dan pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya. Sebelum SD ini didirikan pada tahun 1996, masyarakat Pulau Panjang yang ingin bersekolah harus menempuh jarak kurang lebih 3 kilometer dengan menggunakan klotok (perahu kecil) untuk dapat sampai ke sekolah tujuan yang berada di Desa Tungkaran Pangeran di Pulau Kalimantan. Jarak tempuh yang jauh dan akses menuju sekolah yang cukup sulit menyebabkan banyak masyarakat yang memilih

Selain di bidang pendidikan, ada juga sarana di bidang kesehatan berupa Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) yang berada di RT 01. Poskesdes didirikan pada tahun 2009 dengan bantuan dana dari APBD Kabupaten Tanah Bumbu. Namun demikian, walaupun secara fisik bangunan sudah ada tetapi pemanfaatannya sampai dengan saat ini belum optimal. Poskesdes hanya dimanfaatkan untuk keperluan posyandu saja yang hanya dilaksanakan sebulan sekali. Hal ini dikarenakan tidak ada tenaga medis (Mantri, Bidan, dan Dokter) yang ditugaskan di tempat tersebut.

Tidak ada sama sekali kendaraan roda dua di desa ini. Masyarakat Pulau Panjang terbiasa beraktivitas dengan berjalan kaki. Akan tetapi, untuk menunjang kelancaran aktivitas warga, di wilayah RT 02 Desa Pulau Panjang terdapat jalan darat yang berupa rabat beton. Pembangunan jalan beton ini merupakan realisasi proyek Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan 2010. Jalan beton ini sangat penting dalam memperlancar kegiatan usaha di desa. Pasalnya, di wilayah RT 02 terdapat kelompok pembudidaya rumput laut yang pada saat-saat tertentu mengangkut hasil panennya melewati jalur darat. Namun demikian, jalan yang terdapat di RT 01 masih merupakan jalan tanah yang kondisinya licin dan becek.

Dari sisi tempat tinggal atau perumahan warga dapat dikelompokan kedalam tiga kategori, yakni: rumah permanen, rumah semi permanen, dan darurat. Sebanyak 37 rumah permanen, 18 semi permanen dan 5 darurat, dari total 60 rumah warga yang ada didesa ini (Tim Pemetaan Swadaya, 2011).

4.4. Kondisi Perikanan

Kabupaten Tanah Bumbu mempunyai potensi sumberdaya kelautan dan perikanan dengan karakteristik fisik panjang garis pantai 162,895 km yang terbentang dari Kecamatan Simpang Empat sampai dengan Kecamatan Satui dan luas wilayah perairan laut (batas pengelolaan 4 mil dari kabupaten) sebesar

653,4 km 2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010), memungkinkan untuk 653,4 km 2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010), memungkinkan untuk

Berdasarkan data PPI Batulicin tahun 2007 hingga April 2010 didapatkan bahwa produksi perikanan laut di Kabupaten Tanah Bumbu sejak 2007 - April 2010 sebesar 18.770,42 ton dari 26 jenis ikan yang didaratkan di PPI Batulicin. Setiap tahun terjadi kenaikan produksi perikanan. Dari tabel 3 terlihat bahwa tangkapan jenis ikan kembung, layang, ketombong dan tongkol adalah jenis yang paling tinggi setiap tahunnya. Pada tahun 2007 produksi ikan tongkol mencapai puncaknya yaitu sebesar 5.134 ton, namun pada tahun-tahun berikutnya cenderung menurun.

Tabel 3 Produksi Perikanan Laut Kabupaten Tanah Bumbu berdasarkan Data PPI tahun 2007 - 2010

Jumlah Jenis Ikan (ton) No

Jenis Ikan 2010

(hingga April 2010)

1,20 18 Kakap merah

33,40 21 Bagong/Semar

- 24 Lemuru/Sarden

39,75 25 Baronang

3,95 26 Ikan jenis lain

Total bulanan (ton)

Sumber: PPI Batulicin Kab. Tanah Bumbu, Thn. 2007 s.d 2010

Hal ini berbeda dengan tangkapan nelayan yang berada di Pulau Panjang. Sebagian besar nelayan di desa ini menangkap lebih banyak ikan jenis kakap, kakap merah, bawal dan kerapu. Ikan jenis ini lebih mudah ditemui dibandingkan tongkol, kembung dan bandeng. Hal ini dikarenakan alat tangkap dan armada tangkap nelayan Pulau Panjang yang masih sangat tradisional.

Ukuran dan kekuatan armada tangkap yang ada, serta tingkat efektivitas dan kualitas alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan Pulau Panjang diduga mempengaruhi usaha penangkapan ikan di kawasan tersebut. Nelayan-nelayan di Pulau Panjang hampir keseluruhannya menggunakan armada tangkap yang bersifat tradisional. Armada tangkap yang digunakan yakni berupa

balapan/klotok, swan 4 dan ketinting . Armada tangkap jenis ini hanya dilengkapi mesin berukuran 5-24PK. Sedangkan alat tangkap yang digunakan diantaranya

adalah rempa, rengge, rawai, rakang, dan pancing 5 . Kegiatan penangkapan ikan di laut dan di sungai atau selat bagi nelayan

mengenal dua musim, yaitu musim paceklik dan musim panen yang sekaligus menandai rotasi atau jadwal penangkapan ikan. Musim paceklik biasanya dimulai akhir Juni sampai akhir Oktober. Sedangkan musim panen ikan terjadi pada awal bulan Januari sampai dengan April. Pada saat musim melaut ini para nelayan sangat intensif melaut dan mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik, seperti mempersiapkan alat tangkap, perahu maupun bahan bakar.

Selain dua musim tersebut yang terjadi berbulan-bulan, nelayan Pulau Panjang juga mengenal dua musim lainnya yang terjadi dua minggu sekali, yakni konda dan nyorong. Konda merupakan situasi dimana air laut tenang, tidak ada gelombang dan pasang surut terjadi tidak terlalu ekstrem. Konda terjadi pada tanggal 6-11 dan 18-23 sesuai kalender/perhitungan bulan. Pada saat musim konda, nelayan lebih banyak yang mempergunakan waktunya dengan memancing. Hal ini dikarenakan ombak yang tenang dan pasang surut yang tidak terlalu

4 Klotok merupakan jenis perahu dengan panjang ± 8 sampai 10 meter dan lebar 1-1,5 meter yang dilengkapi dengan mesin berkekuatan 24-30 PK. Perahu jenis swan berukuran ±5x0,75 meter

dengan mesin maksimal 20PK.Sedangkan ketinting, dilengkapi dengan jenis mesin masing-masing 5-10 PK dan berukuran lebih kecil dari perahu jenis swan.

5 Rempa merupakan jenis jaring net dengan ukuran 5-8 inch yang dipergunakan untuk menangkap kakap. Rengge merupakan jenis jaring net dengan ukuran 6-9 inch yang dipergunakan untuk

menangkap bawal. Rawai merupakan alat penangkap ikan yang terdiri dari ratusan mata pancing. Rakang merupakan alat penangkap kepiting yang berbentuk bundar dengan jaring-jaring ditengahnya sebagai perangkap.

ekstrem. Selain konda ada juga musim nyorong, yakni situasi pasang surut yang sangat ekstrim. Artinya, kondisi air laut yang mengalami pasang surut di luar kondisi biasanya. Musim nyorong biasanya terjadi pada tanggal 12-17 dan 24-30 sesuai kalender bulan. Musim ini biasanya dimanfaatkan oleh nelayan dengan mencari kepiting. Pada saat pasang, biasanya kepiting masuk kedalam hutan mangrove untuk mencari substrat makanan. Dengan demikian banyak nelayan yang memasang perangkap di hutan mangrove untuk mendapatkan kepiting. Alat penangkap kepiting yang digunakan bernama rakang.

4.5. Kondisi Ekosistem Pesisir

Salah satu keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah adanya ekosistem mangrove dan terumbu karang. Adanya ekosistem mangrove dengan ketebalan yang sangat besar di sepanjang pantai, cukup besar pengaruhnya dalam meredam gelombang maupun kecepatan arus.

Semua pulau yang tersebar di Selat Laut (Pulau Burung, Pulau Tampakan, Pulau Hantu, Pulau Swangi, Pulau Anak Swangi, dan Pulau Sungai Dua) memiliki karakteristik wilayah berupa ekosistem hutan mangrove dan hutan dataran rendah. Sebagian pulau-pulau tersebut dan perairan Selat Laut merupakan kawasan Cagar Alam Teluk Kelumpang, Selat Laut dan Selat Sebuku berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 329/Kpts-II/1987 tanggal 14 Oktober 1987 seluas 66.650 Ha. Selanjutnya wilayah Pulau-Pulau tersebut termasuk dalam kawasan Cagar Alam dan Cagar Alam Laut sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 26 tahun 2008 dan SK Menteri Kehutanan Nomor : 435 tahun 2009.

Kondisi mangrove di wilayah Desa Pulau Panjang kondisinya masih cukup lebat dan rapat terutama di Pulau Tampakan (441.399 Ha). Meski demikian berdasarkan pengamatan terlihat adanya abrasi di ujung Utara Pulau Burung. Dibagian lain dari Pulau Burung, Pulau Hantu dan Pulau Tampakan belum sampai terjadi abrasi yang signifikan, namun mangrove yang berada di bagian pantai lebih jarang. Kemungkinan penyebab salah satunya adalah seringnya kapal tongkang ditambatkan di pohon-pohon mangrove yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Pulau Burung dan Tampakan. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove disebabkan juga adanya alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat secara Kondisi mangrove di wilayah Desa Pulau Panjang kondisinya masih cukup lebat dan rapat terutama di Pulau Tampakan (441.399 Ha). Meski demikian berdasarkan pengamatan terlihat adanya abrasi di ujung Utara Pulau Burung. Dibagian lain dari Pulau Burung, Pulau Hantu dan Pulau Tampakan belum sampai terjadi abrasi yang signifikan, namun mangrove yang berada di bagian pantai lebih jarang. Kemungkinan penyebab salah satunya adalah seringnya kapal tongkang ditambatkan di pohon-pohon mangrove yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Pulau Burung dan Tampakan. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove disebabkan juga adanya alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat secara

Gambar 4 Pelabuhan Khusus Batubara di Kawasan Pesisir Pulau Panjang

Selain mangrove, ekosistem pesisir yang tidak kalah pentingnya adalah terumbu karang. Dalam kerangka ekologis, terumbu karang merupakan tempat mencari makan dan tempat hidup berbagai organisme hewan maupun tumbuhan laut seperti ikan, penyu, udang, kerang dan rumput laut. Keberadaan terumbu karang dengan berbagai fungsinya sangat penting untuk dipertahankan. Gugusan terumbu karang yang terdapat di Desa Pulau Panjang yaitu di bagian utara Pulau Tampakan (Gusung Payung), sebelah Barat Pulau Hantu (Tunurappu) (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010).

Pada umumnya karang terumbu yang ada kondisinya sudah banyak yang rusak, terutama yang letaknya dekat dengan daratan pantai yang penuh Pada umumnya karang terumbu yang ada kondisinya sudah banyak yang rusak, terutama yang letaknya dekat dengan daratan pantai yang penuh

Dengan segala kondisi dan potensi sumberdaya pesisir yang dimiliki Desa Pulau Panjang, Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu berencana untuk mengembangkan daerah ini sebagai kawasan pariwisata. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor tumpuan yang diharapkan dapat memberikan kontribusi besar dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Peluang pengembangan sektor pariwisata di Kabupaten Tanah Bumbu masih sangat terbuka lebar dan dapat dijadikan sebagai salah satu unggulan. Keunggulan tersebut antara lain sebagai daerah tujuan wisata dengan beberapa obyek berupa wisata bahari (terumbu karang), wisata alam, wisata panorama, dan wisata budaya.

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN

5.1. Usia Responden

Usia responden adalah selisih antara tahun responden dilahirkan hingga tahun pada saat dilaksanakan penelitian ini dilakukan. Usia responden bervariasi dari 24 tahun hingga 76 tahun dengan rata-rata usia 41,9 tahun. Rata-rata usia responden ini tergolong kedalam kelompok usia produktif (16-64 tahun). Usia responden dibagi kedalam tiga kategori, yakni usia muda (18-30 tahun), dewasa (31-50 tahun) dan tua (lebih dari 50 tahun). Dengan demikian, usia responden yang masuk kedalam golongan usia muda sebanyak 6 orang (20%), golongan dewasa sebanyak 15 orang (50%), dan golongan tua sebanyak 9 orang (30%).

Tabel 4 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Usia

Responden Usia

Muda (18-30) 6 20 Dewasa (31-50)

Sumber: Data Primer, 2011

5.2. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan/sekolah tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat dalam tabel 5.

Tabel 5 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan

Responden Tingkat Pendidikan

Rendah (Tidak Lulus SD-SD) 16 53,3 Sedang (SMP)

8 26,7 Tinggi (SMA)

Jumlah 30 100

Sumber: Data Primer, 2011

Berdasarkan hasil survai terhadap 30 orang nelayan, diketahui bahwa sebanyak 16 orang nelayan atau 53,3 persen responden tergolong dalam kategori berpendidikan rendah, yaitu hanya mencapai jenjang Sekolah Dasar. Sebanyak 8 orang nelayan atau 26,7 persen responden berpendidikan sedang, yaitu tamat Sekolah Menengah Pertama / sederajat dan hanya 6 orang nelayan atau 20 persen responden yang tergolong berpendidikan tinggi, atau tamat Sekolah Menengah Atas / sederajat.

Perlu dicermati bahwa sebagian besar responden yang menamatkan sekolahnya sampai ke jenjang SMP maupun SMA merupakan hasil dari keikutsertaannya pada program pendidikan kesetaraan Kejar Paket A, B dan C. Program ini diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Tanah Bumbu yang bekerjasama dengan para pengajar di Sekolah Dasar Swasta (SDS) Tunas Nelayan yang berlokasi di Desa Pulau Panjang pada tahun 2005.

Jika dilihat lebih jauh, nelayan di Pulau Panjang sebenarnya hanya berpendidikan SD atau sederajat. Hal ini dikarenakan letak sekolah yang jauh dari tempat tinggal para nelayan, biaya pendidikan yang mahal dan persepsi negatif tentang pendidikan yang kemudian menyebabkan nelayan tersebut tidak memprioritaskan sekolah sebagai kebutuhan dasar bagi mereka. Namun demikian, berkat inisiasi dari salah seorang tokoh masyarakat yang ada di Pulau Panjang yang mendirikan SDS Tunas Nelayan pada tahun 1996 perhatian masyarakat pesisir Desa Pulau Panjang terhadap pendidikan meningkat. Hal ini dibuktikan ketika pada pembukaan program Paket A,B dan C pada tahun 2005 yang mendapat antusisme begitu besar dari masyarakat pesisir Pulau Panjang, khususnya para nelayan.

5.3. Jumlah Anggota Rumah Tangga

Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya orang yang menetap dalam satu rumah dimana nelayan itu tinggal. Jumlah anggota rumah tangga nelayan ini diduga mempengaruhi pilihan-pilihan adaptasinya terhadap perubahan ekologis. Jumlah dan persentase responden berdasarkan banyaknya anggota rumah tangga nelayan dapat dilihat dalam tabel 6.

Tabel 6 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga

Responden Jumlah Anggota Rumah Tangga

Sedikit (1-3) 11 36,6 Sedang (4-6)

Sumber: Data Primer, 2011

Berdasarkan survai yang dilakukan terhadap 30 orang nelayan Pulau Panjang, diketahui sebanyak 17 orang nelayan atau 56,7 persen responden memiliki anggota rumah tangga 4-6 orang. Sebanyak 11 orang nelayan atau 36,6 persen responden memiliki anggota rumah tangga 1-3 orang dan sebanyak 2 orang nelayan atau 6,7 persen responden memiliki anggota rumah tangga lebih dari 7 orang. Rata-rata anggota rumah tangga nelayan yang ada di Pulau Panjang adalah

4 orang. Artinya, jumlah anggota rumah tangga nelayan di Pulau Panjang tergolong kedalam rumah tangga dengan jumlah anggota rumah tangga sedang.

5.4. Pengalaman Nelayan Melaut

Pengalaman nelayan melaut adalah lama responden menjadi nelayan yang dihitung dalam satuan waktu (tahun), sejak pertama kali menjadi nelayan sampai dengan penelitian ini dilakukan. Semakin lama seseorang bekerja sebagai nelayan diduga mempengaruhi pengetahuannya mengenai kondisi ekosistem pesisir serta bentuk-bentuk perubahan yang mempengaruhi aktivitas nelayan. Jumlah dan persentase responden berdasarkan pengalamannya sebagai nelayan dapat dilihat dalam tabel 7.

Tabel 7 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Pengalaman Melaut Responden

Pengalaman Nelayan

Rendah (6-14 tahun) 12 40 Sedang (15-27 tahun)

11 36,7 Tinggi (≥28 tahun)

Jumlah 30 100%

Sumber: Data Primer, 2011

Berdasarkan hasil survei yang dilakukan terhadap 30 orang nelayan Pulau Panjang, diketahui sebanyak 7 orang atau 23,3 persen responden bekerja sebagai nelayan selama lebih dari 28 tahun. Sebanyak 11 orang atau 36,3 persen responden bekerja sebagai nelayan selama 15-27 tahun. Sedangkan sisanya sebanyak 12 orang nelayan atau 40 persen responden bekerja sebagai nelayan

selama 6-14 tahun. Hal ini menunjukan pengalaman nelayan cukup untuk mengetahui kondisi ekosistem serta perubahan ekologis yang terjadi di wilayah pesisir yang merupakan daerah penangkapan ikan nelayan.

5.5. Tingkat Teknologi Penangkapan

Teknologi penangkapan adalah jenis perahu yang digunakan nelayan dalam kegiatan penangkapan. Adapun jenis-jenis perahu yang ada di Pulau

Panjang, diantaranya: klotok/balapan, swan, dan ketinting 6 . Berbeda dengan klotok/balapan dan swan, ketinting merupakan jenis armada penangkapan yang

mesin penggeraknya berada di luar. Adapun jumlah dan persentase responden berdasarkan teknologi penangkapannya dapat dilihat dalam tabel 8.

Tabel 8 Jumlah dan Persentase Responden berdasarkan Tingkat Teknologi Penangkapan

Responden

Tingkat Teknologi Penangkapan

Tinggi (ketinting) 21 70 Sedang (swan)

5 16,7 Rendah (klotok)

Sumber: Data Primer, 2011

Terlihat pada tabel 8, nelayan Pulau Panjang lebih didominasi oleh armada tangkap jenis balapan/klotok. Sebanyak 21 orang nelayan atau 70 persen responden menggunakan armada tangkap balapan/klotok. Sedangkan sisanya sebanyak 5 orang nelayan atau 16,7 persen responden menggunakan armada tangkap swan dan sebanyak 4 orang nelayan atau 13,3 persen responden

menggunakan armada tangkap jenis ketinting.

6 Lihat Bab IV, hal.39

BAB VI PERUBAHAN EKOLOGIS DAN PENGARUHNYA TERHADAP NELAYAN

6.1. Perubahan Ekologis

Kawasan pesisir merupakan suatu kawasan dengan ekosistem yang dinamis dan mempunyai habitat yang beragam, baik didarat maupun dilaut. Kawasan pesisir Pulau Panjang mengandung sumberdaya alam yang begitu besar. Sumberdaya alam tersebut berupa sumberdaya alam hayati (ikan, rumput laut, mangrove dan terumbu karang) dan non hayati (mineral, tambang, sumberdaya air, dan lain-lain) serta jasa-jasa lainnya seperti perhubungan laut dan pariwisata.

Sifat sumberdaya pesisir yang terletak diantara lautan dan daratan menjadikan kawasan ini sebagai ekosistem yang paling mudah terkena dampak dari kegiatan manusia. Dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia dengan segala cara berupaya untuk mendapatkan materi, energi dan informasi dari alam. Seiring meningkatnya populasi manusia yang kemudian menyebabkan peningkatan kebutuhan akan sumberdaya alam, membuat peluang terjadinya perubahan pada sistem alamiah dari pesisir dan lautan semakin besar. Menurut Satria (2009a), perubahan tersebut dapat mengakibatkan berbagai hal negatif, baik pada sumberdaya yang terkandung maupun aspek fisik dari lautan itu sendiri.

Perubahan ekologis merupakan perubahan yang terjadi pada keseluruhan komponen biotik dan abiotik yang terdapat pada laut dan pesisir sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia. Perubahan ekologis merupakan dampak yang tidak dapat dihindari dari interaksi manusia dan alam yang berlangsung dalam konteks pertukaran (exchange). Sistem alam dan sistem manusia saling memberikan energi, materi dan informasi dalam jumlah dan bentuk yang berbeda satu sama lain (Dharmawan, 2007). Manusia meminta materi, energi dan informasi dari alam dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sementara itu, alam lebih banyak mendapatkan materi, energi dan informasi dari manusia dalam bentuk limbah dan polutan yang lebih banyak mendatangkan kerugian bagi kehidupan organisme lainnya.

6.1.1. Konteks Historis

Jika ditinjau dari konteks historisnya, perubahan ekologis di kawasan Pulau Panjang berawal ketika para investor China masuk ke kawasan ini pada tahun 2003 untuk membuka usaha tambak udang dan bandeng secara besar-besaran. Kegiatan yang membutuhkan lahan yang cukup luas ini secara mengejutkan membabat habis puluhan hektar hutan mangrove yang ada di kawasan Pulau Panjang. Setelah satu tahun berjalan, usaha tambak tersebut tidak juga membuahkan hasil. Akhirnya, pada tahun 2004 lahan-lahan tambak yang semula menjadi tempat pembudidayaan ikan bandeng dan udang ditinggalkan oleh pemiliknya begitu saja, tanpa ada upaya untuk merehabilitasi lahan/hutan mangrove yang sudah rusak tersebut.

Perubahan ekologis di kawasan Pulau Panjang semakin berlanjut ketika terjadi pemekaran wilayah di tingkat kabupaten. Sebelum tahun 2003, Pulau Panjang merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Kotabaru. Akan tetapi, sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 2 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Balangan dan Kabupaten Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan, wilayah Pulau Panjang menjadi bagian dari Kabupaten Tanah Bumbu. Kejadian ini menjadi babak baru pengelolaan sumberdaya alam di wilayah Tanah Bumbu, tidak terkecuali di kawasan Pulau Panjang.

Pembukaan Tambak

Berdirinya Kabupaten

Mulai munculnya

Pelsus Batubara oleh Investor China

Udang & Bandeng Tanah Bumbu

(UU No.2 tahun 2003)

Puluhan hektar hutan

Kewenangan dalam

Kapal-kapal tongkang

besar mulai beroperasi pembukaan tambak

mangrove hancur akibat Pengelolaan SDA

berada dibawah

udang & bandeng

Pemerintah Kab. Tanbu

Gambar 5 Bagan Historis Perubahan Ekologis

Sekitar tahun 2004an, yang merupakan masa transisi dan penyerahan kewenangan dari Kabupaten Kotabaru ke Kabupaten Tanah Bumbu, munculah Sekitar tahun 2004an, yang merupakan masa transisi dan penyerahan kewenangan dari Kabupaten Kotabaru ke Kabupaten Tanah Bumbu, munculah

Sektor pertambangan terutama pertambangan batubara merupakan salah satu sektor yang sangat berperan bagi perekonomian Kabupaten Tanah Bumbu. Dinas Pertambangan dan Energi (2009) mencatat ada 62 perusahaan/KUD yang mendapatkan izin penambangan batubara. Jumlah ini meningkat 33,9 persen menjadi 83 perusahaan/KUD pada tahun 2010. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Tanah Bumbu pada tahun 2009, tercatat sebanyak 45,11 persen berasal dari sektor pertambangan (BPS Tanah Bumbu, 2010).

6.1.2. Analisis Ekologi Politik

Bryant dan Bailey (2001) sebagaimana dikutip Satria (2007) mengemukakan bahwa perubahan lingkungan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteks politik dan ekonomi dimana masalah itu muncul. Dengan demikian masalah- masalah lingkungan yang terjadi di Pulau Panjang tidak hanya persoalan teknis pengelolaan semata, akan tetapi juga terdapat masalah-masalah sosial politik yang tercakup didalamnya.

Masalah-masalah sosial politik tersebut dibuktikan dengan adanya produk hukum yang saling meniadakan satu sama lain, baik pada tingkat lokal maupun nasional, yang kemudian menyebabkan kerusakan ekosistem. Pada tingkat lokal, kebijakan pemerintah daerah menetapkan kawasan ini sebagai desa melalui SK Bupati Tanah Bumbu nomor 336 tahun 2007 yang kemudian diperbaharui menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu nomor 7 tahun 2010 bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 dan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Menurut Undang-undang nomor 5 Masalah-masalah sosial politik tersebut dibuktikan dengan adanya produk hukum yang saling meniadakan satu sama lain, baik pada tingkat lokal maupun nasional, yang kemudian menyebabkan kerusakan ekosistem. Pada tingkat lokal, kebijakan pemerintah daerah menetapkan kawasan ini sebagai desa melalui SK Bupati Tanah Bumbu nomor 336 tahun 2007 yang kemudian diperbaharui menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu nomor 7 tahun 2010 bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 dan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Menurut Undang-undang nomor 5

PULAU PANJANG

Sumber: Dinas Kehutanan Tanah Bumbu, 2010

Gambar 6 Lampiran SK Menhut Nomor 435/Menhut-II/2009 tentang Kawasan Hutan Kabupaten Tanah Bumbu

Selain itu, pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berarti juga bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Hal ini menandakan bahwa pemerintah pusat maupun daerah, yang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan untuk membangun pelabuhan khusus batubara yang ada di kawasan Pulau Panjang tidak memperhatikan kaidah konservasi sebagaiman tercantum Selain itu, pemberian izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan, baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, berarti juga bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang kemudian diperbaharui dengan SK Menteri Kehutanan nomor 435 tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah nomor 26 tahun 2008 tentang penetapan kawasan ini sebagai kawasan suaka alam (cagar alam). Hal ini menandakan bahwa pemerintah pusat maupun daerah, yang memberikan izin kepada perusahaan-perusahaan pertambangan untuk membangun pelabuhan khusus batubara yang ada di kawasan Pulau Panjang tidak memperhatikan kaidah konservasi sebagaiman tercantum

Paradigma pembangunan yang bertumpu pada penguatan ekonomi melahirkan berbagai kebijakan yang mendukung tujuan pembangunan yakni peningkatan kesejahteraan yang diukur melalui peningkatan pendapatan negara atau daerah. Dengan demikian nilai sumberdaya alam yang dimunculkan adalah nilai ekonomi semata. Padahal sumberdaya alam juga memiliki nilai sosial budaya.

6.1.3. Bentuk Perubahan Ekologis

Pada saat ini telah terdapat beberapa perubahan fisik yang mengindikasikan telah terjadinya kerusakan ekosistem di kawasan pesisir Pulau Panjang. Berbagai bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut antara lain: (1) perubahan pada ekosistem mangrove dan (2) perubahan pada ekosistem terumbu karang.

1) Perubahan pada Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan ekosistem utama yang mendukung kehidupan di wilayah pesisir dan laut. Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir dan laut, mangrove memiliki beberapa fungsi penting bagi ekosistem pesisir dan laut antara lain sebagai peredam gelombang, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sendimen yang diangkut oleh aliran permukaan/daratan, penghasil detritus dan mineral yang dapat menyuburkan perairan, daerah asuhan (nursery ground ), daerah penyedia nutrien (feeding ground) dan pemijahan (spawning ground ) bermacam biota perairan, pencegah intruisi air laut, serta habitat satwa liar. Selain memiliki fungsi ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki fungsi ekonomis, yakni sebagai penyedia kayu, bahan bangunan, alat penangkap ikan, penyedia nipah (Dahuri et al., 1996; Wahyono et al., 2001; Bengen, 2004; Purwoko, 2005; Anwar, 2006; Mulyadi, 2007; Satria, 2009b).

Bagi masyarakat pesisir Pulau Panjang, keberadaan ekosistem mangrove ini sangat penting. Pasalnya areal hutan mangrove yang masih subur akan mengundang jenis-jenis kepiting, udang dan kerang-kerangan untuk menenpati Bagi masyarakat pesisir Pulau Panjang, keberadaan ekosistem mangrove ini sangat penting. Pasalnya areal hutan mangrove yang masih subur akan mengundang jenis-jenis kepiting, udang dan kerang-kerangan untuk menenpati

Akan tetapi, berdasarkan Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang mengalami kerusakan dan alih fungsi lahan. Hal ini dapat dilihat secara visual dengan adanya pembukaan lahan mangrove untuk pemukiman, tambak dan penambatan kapal-kapal tongkang batubara. Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove juga dikarenakan adanya aktivitas penebangan pohon mangrove untuk kayu bakar, bahan bangunan, pasak bumi, tonggak-tonggak untuk budidaya rumput laut, serta tempat memasang jaring ikan. Kerusakan ekologis mangrove terlihat dengan adanya abrasi di ujung utara Pulau Panjang. Kondisi ekosistem mangrove di Pulau Hantu dan Pulau Tampakan yang merupakan bagian dari Pulau Panjang belum terjadi abrasi yang signifikan, namun mangrove yang berada di bagian pantai lebih jarang.

Secara ekologi, indikator kerusakan terlihat dari adanya tumbuhan Drujon/Jeruju (Acanthus ilicifolius L.). Drujon merupakan tumbuhan berduri yang dapat tumbuh di substrat lunak berlumpur sampai setinggi 2 meter. Tumbuhan ini dapat menjadi tumbuhan dominan di hutan mangrove yang rusak (Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel, 2010).

Selain itu, kerusakan ekosistem mangrove ini sendiri juga diakui oleh para nelayan. Sebanyak tiga puluh orang responden yang diwawancarai, 16 orang diantaranya atau 53,3 persen responden menyatakan bahwa kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, 7 orang atau 23,3 persen responden menyatakan sangat buruk, 5 orang atau 16,7 persen responden yang menyatakan baik, dan hanya 2 orang atau 6,7 persen responden yang menyatakan sangat baik.

Pernyataan responden tersebut menandakan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Pulau Panjang. Sebanyak 16 orang atau 53,3 persen responden yang menyatakan kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, dan 7 orang atau 23,3 persen responden yang menyatakan sangat buruk berpendapat bahwa kerusakan tersebut diakibatkan oleh Pernyataan responden tersebut menandakan bahwa telah terjadi perubahan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Pulau Panjang. Sebanyak 16 orang atau 53,3 persen responden yang menyatakan kondisi ekosistem mangrove saat ini berada dalam kondisi yang buruk, dan 7 orang atau 23,3 persen responden yang menyatakan sangat buruk berpendapat bahwa kerusakan tersebut diakibatkan oleh

Kondisi Ekosistem Mangrove

Sangat Baik Baik Buruk Sangat Buruk

Gambar 7 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Mangrove

Persepsi responden mengenai kondisi ekosistem mangrove yang ada di kawasan pesisir Pulau Panjang tersebut didasari oleh dampak yang dirasakannya saat ini. Selain itu, hal ini juga didasarkan pada pengalaman dan pengetahuan lokal mereka, seperti yang diungkapkan oleh Bapak USM (75 thn):

“... kalau dulu kita bisa cari kepiting dan undang enak, kada (tidak) seperti sekarang, mangrove sudah tipis, habis ditebangi, semua sudah ditutup sama tambak. Belum lagi tugboat-tugboat itu suka ikat kapal di mangrove. Mereka suka seenaknya aja ikat- ikat itu...”

Persepsi tentang kondisi ekosistem mangrove ini juga dilakukan oleh para responden di wilayah kerjanya sambil menunjukan bukti bahwa telah terjadi perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang. Ukuran-ukuran yang dipakai untuk menilai kondisi lingkungan pun tidak jauh dari rutinitasnya. Perubahan warna, rasa, dan kebiasaan hidup satwa, jumlah, perubahan bentuk fisik alam menjadi indikator yang dipakai dalam menilai kondisi ekosisitem pesisir (mangrove dan terumbu karang).

Jika persepsi nelayan ini dilihat lebih jauh berdasarkan pengalaman nelayan melaut, ditemukan bahwa semua nelayan yang pengalaman tinggi (23,3%) mempersepsikan diri bahwa di kawasan ini kondisi ekosistem mangrove semakin buruk. Hal ini seperti yang terlihat pada gambar 8.

Persepsi Nelayan berdasarkan Pengalaman Melaut

Pengalaman Rendah

Pengalaman Sedang

Pengalaman Tinggi

Sangat Buruk Buruk Baik Sangat Baik

Gambar 8 Sebaran Persepsi Responden terhadap Ekosistem Mangrove berdasarkan Pengalaman Melaut

Berbeda dengan nelayan yang berpengalaman tinggi, nelayan dengan pengalaman rendah dan sedang justru memiliki sebaran persepsi yang beragam. Dari responden dengan pengalaman rendah, sebanyak 10 persen mempersepsikan kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 16,7 persen buruk,

10 persen baik, dan 3,3 persen sangat baik. Sedangkan dari responden dengan pengalaman sedang, sebanyak 13,3 persen berpendapat bahwa kondisi ekosistem mangrove sangat buruk, 13,3 persen buruk, 6,7 persen baik, dan 3,3 persen mengatakan kondisinya masih sangat baik.

Beragamnya persepsi nelayan terhadap perubahan ekologis di kawasan ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan nelayan yang berbeda-beda tentang ekosistem mangrove. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh seberapa penting peranan mangrove dalam menunjang kehidupannya. Nelayan yang tidak pernah memanfaatkan mangrove merasa bahwa kondisi ekosistem mangrove tidak berubah atau baik-baik saja, akan tetapi nelayan sering memanfaatkan mangrove dalam rangka menunjang Beragamnya persepsi nelayan terhadap perubahan ekologis di kawasan ini merupakan sesuatu yang wajar terjadi. Hal ini dikarenakan tingkat pengetahuan nelayan yang berbeda-beda tentang ekosistem mangrove. Selain itu, perbedaan ini juga disebabkan oleh seberapa penting peranan mangrove dalam menunjang kehidupannya. Nelayan yang tidak pernah memanfaatkan mangrove merasa bahwa kondisi ekosistem mangrove tidak berubah atau baik-baik saja, akan tetapi nelayan sering memanfaatkan mangrove dalam rangka menunjang

2) Perubahan Ekosistem Terumbu Karang

Terumbu karang berfungsi sebagai habitat beragam jenis ikan, penyedia nutrisi bagi biota perairan, pelindung garis pantai dari gelombang laut, tempat mengasuh dan membesarkan biota perairan, serta pendukung pertumbuhan mangrove dan lamun. Terumbu karang juga memiliki fungsi ekonomi sebagai penghasil berbagai produk perikanan dan kelautan, sebagai aset yang berharga bagi kegiatan pariwisata bahari dan merupakan habitat produktif bagi sumberdaya rumput laut.

Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil yang diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Selatan pada tahun 2010, memaparkan bahwa di sekitar pulau ditemukan pula adanya gugusan terumbu karang yaitu di bagian utara Pulau Tampakan (Gusung Payung), dan dibagian barat Pulau Hantu (Tunurappu).

Keberadaan terumbu karang tersebut diakui oleh para nelayan sangat penting untuk menjamin ketersediaan sumberdaya ikan. Keberadaan karang-karang tersebut dimanfaatkan oleh para nelayan untuk menentukan daerah penangkapan, khususnya oleh para nelayan dengan alat tangkap berupa pancing. Sebelum memancing, para nelayan tersebut mencari karang terlebih dahulu agar usahanya dalam mencari ikan tidak sia-sia.

Akan tetapi, kondisi terumbu karang di kawasan Pulau Panjang saat ini menurut pengakuan nelayan sudah jauh berbeda dengan beberapa tahun belakangan. Sebanyak 30 orang responden yang diwawancarai terkait dengan kondisi ekosistem terumbu karang yang ada di wilayah Pulau Panjang, 15 orang (50%) diantaranya mengatakan saat ini kondisinya sudah sangat buruk, 13 orang nelayan (43,3%) mengatakan buruk, dan hanya dua (6,7%) yang mengatakan baik. Adapun persepsi nelayan tersebut dapat dilihat dalam gambar 9.

Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Sangat Buruk

Gambar 9 Sebaran Persepsi Responden terhadap Kondisi Ekosistem Terumbu Karang

Kerusakan ekosistem terumbu karang menurut para responden yang menjawab buruk dan sangat buruk (93,3%) disebabkan oleh jangkar kapal (70%), dan perubahan iklim/pemanasan global (23,3%). Sejak maraknya pembangunan pelabuhan pertambangan batubara di Kabupaten Tanah Bumbu sekitar tahun 2000, diakui oleh para nelayan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem terumbu karang. Sebagaimana diungkapkan oleh salah seorang nelayan Bapak YUD (29 tahun):

“..memang sih kalau kita ngomong begini orang tidak percaya, tapi kan kita yang merasai..kapal-kapal itu (kapal tongkang batubara,

red.) suka seenaknya berjangkar, akibatnya karang-karang disini pada rusak dan larut kebawa kapal tongkang itu...kalau sudah begini kita-kita (nelayan, red.) juga yang repot. Ikan sudah sulit dicari, kita mancing sudah tidak bisa lagi karena karangnya sudah habis..”

Maraknya pembangunan pelabuhan khusus batubara tersebut secara otomatis juga mengundang kapal-kapal tongkang yang bermuatan besar. Kawasan pesisir Pulau Panjang yang berada ditengah-tengah Selat Laut menjadi salah satu kawasan yang paling sering dilalui kapal-kapal tongkang bermuatan besar tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi apabila kapal pengangkut batubara tidak mengindahkan alur dan pemetaan yang sudah ditetapkan oleh Maraknya pembangunan pelabuhan khusus batubara tersebut secara otomatis juga mengundang kapal-kapal tongkang yang bermuatan besar. Kawasan pesisir Pulau Panjang yang berada ditengah-tengah Selat Laut menjadi salah satu kawasan yang paling sering dilalui kapal-kapal tongkang bermuatan besar tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang terjadi apabila kapal pengangkut batubara tidak mengindahkan alur dan pemetaan yang sudah ditetapkan oleh

6.2. Dampak Sosial-Ekonomi Perubahan Ekologis

Berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang seperti yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya, tentu akan mempengaruhi kehidupan nelayan. Hal ini dikarenakan nelayan merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang menggantungkan hidupnya pada ekosistem pesisir dan laut. Pengaruh perubahan ekologis tersebut semakin besar karena nelayan Pulau Panjang merupakan nelayan dengan pola penangkapan ikan tradisional yang melakukan kegiatan pencarian ikan dengan alat tangkap seadanya.

Tabel 9 Matriks Perubahan Ekologis akibat Kegiatan Manusia Perubahan

Kegiatan Dampak Sosial, Ekonomi dan Ekologi*

Ekologis

Penebangan

Hilangnya tempat mencari makan (feeding Mangrove

Kerusakan

ekosistem

ground ) dan daerah pengasuhan (nursery ground)

mangrove

ikan, kepiting dan udang. Sehingga mengganggu ketersediaan stok ikan, udang, dan kepiting.

Pembukaan lahan

Berkurangnya keragaman tangkapan nelayan. tambak

Kerusakan

ekosistem

Kepiting, udang, dan karang-karang sulit ditemui.

mangrove

Berkurangnya jumlah tangkapan nelayan, akibat akses nelayan untuk memasuki wilayah hutan mangrove tersebut telah ditutup oleh para petambak.

Pengerukan dan

Pendangkalan pantai karena pengendapan pengurugan yang

Kerusakan

sendimen yang sebelum hutan mangrove berkaitan dengan

ekosistem

dikonversi mengendap di hutan mangrove pembangunan

mangrove

Erosi garis pantai

pelabuhan khusus Mengganggu regenerasi stok-stok ikan batubara, industri

Mengganggu pertumbuhan rumput laut dan lainnya

ketersediaan kepiting

Penggundulan

Sendimen hasil erosi berlebihan dapat mencapai hutan di lahan

Kerusakan

terumbu karang yang letaknya sekitar muara atas

ekosistem

mangrove

sungai pengangkut sendimen sehingga akan

dan

meningkatkan kadar kekeruhan air yang

terumbu

selanjutnya akan menghambat pertumbuhan

karang

terumbu karang

Jangkar kapal

Kerusakan

Kerusakan fisik terumbu karang batu oleh

terumbu

jangkar kapal

Hilangnya daerah penangkapan ikan dan peralihan pola migrasi ikan Keterangan

karang

: *) berdasarkan persepsi responden

Berbagai tekanan pembangunan ekonomi yang sistematis dan terus menerus serta dampak dari pertumbuhan jumlah penduduk menyebabkan

terjadinya degradasi dan kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang di wilayah pesisir. Terganggu atau rusaknya kedua ekosistem tersebut jelas akan mempengaruhi kegiatan melaut nelayan yang bermuara pada jumlah dan variasi hasil tangkapannya. Beberapa kegiatan yang menimbulkan perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang disajikan dalam tabel 9.

Dampak yang ditimbulkan dari berbagai bentuk perubahan tersebut tidak hanya mempengaruhi kondisi ekonomi nelayan, namun juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial nelayan. Adapun dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkan dari perubahan ekologis dibagi kedalam dua kluster penyebab, yaitu (1) dampak perubahan pada ekosistem mangrove; dan (2) dampak perubahan pada ekosistem terumbu karang.

1) Dampak Perubahan Ekosistem Mangrove

a) Penurunan jumlah dan keragaman hasil tangkapan nelayan Kerusakan atau degradasi ekosistem mangrove menyebabkan hilangnya

substrat yang menjadi sumber pakan ikan, rusaknya habitat terbiak, hilangnya tempat mengasuh dan membesarkan ikan, serta rusaknya tempat perlindungan bagi biota laut di kawasan pesisir (Purwoko, 2005). Hal ini berakibat pada berkurangnya stok ikan yang kemudian mempengaruhi kehidupan ekonomi nelayan. Jenis ikan atau biota laut yang menjadi incaran para nelayan Pulau Panjang adalah kakap merah, kakap putih, kerapu, kepiting dan udang. Kakap merah merupakan salah satu jenis ikan karang yang hidup di daerah mangrove dan muara sungai yang kadar garamnya mendekati air tawar. Pada akhirnya kerusakan ekosistem mangrove akan berdampak juga pada persediaan ikan kakap merah tersebut. Selain kakap merah, yang dirasakan sudah mulai hilang adalah kepiting bakau. Menurut para nelayan keberadaan kepiting saat ini jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu sebelum mangrove di daerah Pulau Panjang tersebut rusak.

Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD (35 tahun):

“..sekarang tuh lain sudah waktunya, perkembangan ikan kayak kakap merah, kerapu, undang itu pang sudah buruk

perkembangannya.. kita sebelum ada batubara (pelsus-red) enak aja kita cari ikan. Tapi sekarang mana bisa kita cari, sulit sudah...”

Sulitnya nelayan menangkap ikan pasca rusaknya ekosistem pesisir akibat aktivitas industri skala besar diperburuk oleh persoalan perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan, Indonesia amat rentan terhadap persoalan perubahan iklim. Kementeriaan Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa telah terjadi pertumbuhan negatif jumlah nelayan tangkap pada periode 2004-2008, hingga menyisakan kurang dari 2,8 juta nelayan. Jika dilakukan perhitungan dalam rentang waktu tersebut, maka ditemukan fakta bahwa setiap tahun Indonesia kehilangan sebanyak 31 ribu nelayan atau rata-rata 116 nelayan setiap harinya.

b) Hilangnya/berkurangnya pasokan kayu bakar, kayu bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan

Perubahan ekologis yang terjadi pada ekosistem mangrove menurut Anwar dan Gunawan (2006) akan menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, bahan bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan. Kerusakan mangrove yang terjadi di Pulau Panjang, dimana salah satunya disebabkan oleh pembukaan tambak dan penebangan liar oleh masyarakat sendiri ternyata berpengaruh pada kehidupan masyarakat Pulau Panjang. Sebagian masyarakat Pulau Panjang menggunakan kayu mangrove untuk bahan bangunan pembuatan rumah dan kayu bakar. Letak pulau yang relatif sulit dijangkau oleh para penjual material bahan bangunan, menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk menabang pohon mangrove untuk membangun rumah. Hal ini mengakibatkan mangrove yang ada di Pulau Panjang mengalami degradasi yang cukup parah. Penebangan-penebangan mangrove tersebut tidak diimbangi oleh upaya- upaya rehabilitasi yang sistematis untuk mengatasi kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini mengakibatkan kelangkaan ekosistem mangrove yang Perubahan ekologis yang terjadi pada ekosistem mangrove menurut Anwar dan Gunawan (2006) akan menyebabkan berkurangnya pasokan kayu bakar, bahan bangunan, nipah dan bahan baku obat-obatan. Kerusakan mangrove yang terjadi di Pulau Panjang, dimana salah satunya disebabkan oleh pembukaan tambak dan penebangan liar oleh masyarakat sendiri ternyata berpengaruh pada kehidupan masyarakat Pulau Panjang. Sebagian masyarakat Pulau Panjang menggunakan kayu mangrove untuk bahan bangunan pembuatan rumah dan kayu bakar. Letak pulau yang relatif sulit dijangkau oleh para penjual material bahan bangunan, menyebabkan masyarakat lebih memilih untuk menabang pohon mangrove untuk membangun rumah. Hal ini mengakibatkan mangrove yang ada di Pulau Panjang mengalami degradasi yang cukup parah. Penebangan-penebangan mangrove tersebut tidak diimbangi oleh upaya- upaya rehabilitasi yang sistematis untuk mengatasi kerusakan ekosistem mangrove. Hal ini mengakibatkan kelangkaan ekosistem mangrove yang

2) Dampak Perubahan Ekosistem Terumbu Karang

a) Sulitnya menentukan daerah penangkapan ikan Nelayan di kawasan Pulau Panjang telah memiliki wilayah penangkapan tertentu yang menjadi areanya mencari ikan selama bertahun-tahun. Perubahan ekologis menyebabkan perubahan pola migrasi ikan di perairan Selat Laut. Hal ini kemudian menimbulkan kendala di kalangan nelayan tradisional yang masih mengandalkan pengetahuan lokal dan pengalamannya dalam mencari ikan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak SUD (35 tahun):

“..biasanya kita mancing dibatu-batu karang, ikan kan banyak disitu, sebelum ada batubara ikan enak aja kita cari, mancing aja

semalam bisa dapat dua ratus ribu, tapi sekarang ini paling-paling cuma dapat duapuluh ribu semalam, itupun sudah untung kalau dapat...itulah kita jadi sulit cari ikan...batu-batu (karang-red) sudah hancur terbawa tongkang..”

Maraknya pendirian pelabuhan khusus batubara di kawasan ini mengundang kapal-kapal bermuatan besar untuk berlalu-lalang di perairan Pulau Panjang (Selat Laut). Ada enam pelabuhan khusus batubara yang berada di kawasan pesisir Pulau Panjang. Keenam pelabuhan khusus tersebut sebenarnya sudah memiliki alur dan pemetaan yang telah ditetapkan oleh instansi terkait (Dinas ESDM dan Dinas Kelautan Perikanan), akan tetapi dari keenam pelabuhan tersebut lima diantaranya tidak mematuhi alur yang sudah ditetapkan. Hal ini kemudian menimbulkan kerusakan dan kamatian karang sehingga nelayan menjadi sulit untuk menentukan wilayah penangkapan ikan.

b) Menurunnya kesempatan berusaha Selain sulit untuk menentukan daerah penangkapan ikan, kerusakan terumbu karang juga berdampak pada menurunnya kesempatan berusaha para nelayan. Pasalnya, selain aktivitasnya sebagai pencari ikan di laut, hampir semua nelayan di Pulau Panjang merupakan pembudidaya rumput laut b) Menurunnya kesempatan berusaha Selain sulit untuk menentukan daerah penangkapan ikan, kerusakan terumbu karang juga berdampak pada menurunnya kesempatan berusaha para nelayan. Pasalnya, selain aktivitasnya sebagai pencari ikan di laut, hampir semua nelayan di Pulau Panjang merupakan pembudidaya rumput laut

“...sejak hancurnya batu-batu karang disini, sulit sudah mengandalkan rumput laut, perkembangannya sudah buruk, banyak tahi air (lumut-red), kita pang sudah serba sulit disini.. iwak (ikan-red) sulit didapat, kebun sudah tercemar debu-debu, itu pang di pulau, ya keadaannya seperti ini ...”

Saat ini ada 40 rumah tangga nelayan yang mengikuti kegiatan budidaya rumput laut, dan saat ini usaha pembudidayaan rumput laut tersebut merupakan salah satu mata pencaharian alternatif bagi nelayan. Dengan demikian kerusakan terumbu karang tersebut sangat jelas berdampak pada mata pencaharian alternatif nelayan.

BAB VII STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS

Sebagaimana telah dijelaskan pada bab sebelumnya, nelayan di Desa Pulau Panjang mempersepsikan diri bahwa di kawasan pesisir Pulau Panjang telah

terjadi perubahan ekologis. Hal tersebut juga diperkuat dengan fakta-fakta di lapangan (baik secara kuantitatif maupun kualitatif) yang menandakan bahwa di kawasan tersebut telah terjadi perubahan-perubahan pada ekosistem mangrove dan terumbu karang. Berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang telah menimbulkan dampak yang cukup besar bagi kegiatan nelayan. Hal ini mengharuskan nelayan untuk beradaptasi agar dapat bertahan hidup di kawasan tersebut. Strategi adaptasi yang dimaksud dalam bahasan ini adalah bagaimana nelayan di Pulau Panjang melakukan tindakan sosial-ekonomi dalam merespon berbagai macam bentuk perubahan ekologis yang ada di wilayahnya.

Mobilisasi Lainnya Pendapatan

Sumber

Alat Tangkap Daerah

Anggota Keluarga

Gambar 10 Sebaran Responden berdasarkan Strategi Adaptasi

Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, diketahui bahwa sebanyak 53,3 persen responden memilih untuk menganekaragamkan sumber Berdasarkan hasil survei di lokasi penelitian, diketahui bahwa sebanyak 53,3 persen responden memilih untuk menganekaragamkan sumber

7.1. Penganekaragaman Sumber Pendapatan

Dalam masyarakat-masyarakat nelayan, kegiatan menangkap ikan jarang menjadi pekerjaan yang ekslusif. Kegiatan ini selalu dikombinasikan oleh nelayan dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Menurut Kusnadi (2000), dalam situasi eksploitasi secara berlebihan dan ketimpangan pemasaran hasil tangkapan, rasionalisasi ekonomi akan mendorong nelayan-nelayan menganekaragamkan sumber pekerjaan daripada hanya bertumpu sepenuhnya pada pekerjaan mencari ikan. Penganekaragaman sumber pekerjaan tersebut merupakan salah satu bentuk strategi nafkah ganda yang dikembangkan nelayan. Dalam kaitannya dengan pengembangan strategi nafkah ganda, lebih lanjut Satria (2009b) menjelaskan bahwa terdapat dua macam strategi nafkah ganda, yakni di bidang perikanan dan non-perikanan.

Masyarakat nelayan Pulau Panjang, selain menangkap ikan dilaut juga bekerja sebagai petani kebun dengan menggarap ladang yang tersedia di desanya. Artinya, penganekaragaman sumber pendapatan tidak hanya di bidang perikanan saja, seperti usaha budidaya ikan (tambak), budidaya rumput laut dan pengolahan ikan tradisional, akan tetapi mencakup juga kegiatan-kegiatan di bidang non-perikanan. Kegiatan di bidang non-perikanan yang dilakukan nelayan dalam kaitannya untuk menambah pendapatan adalah menjadi buruh bangunan, buruh perusahaan, dan kuli-kuli panggul di pasar.

Proses untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan pada kehidupan nelayan Pulau Panjang telah berlangsung sejak tahun 2003. Nelayan selain Proses untuk mengembangkan sumber-sumber pendapatan pada kehidupan nelayan Pulau Panjang telah berlangsung sejak tahun 2003. Nelayan selain

Peluang-peluang kerja nelayan ini sangat ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya ekonomi yang ada di desa. Sumberdaya ekonomi yang dimaksud meliputi lahan pertanian, ladang-ladang perkebunan, sentra perdagangan dan jasa, infrastruktur, sarana transportasi dan sumberdaya-sumberdaya ekonomi lainnya. Sumberdaya utama desa adalah sektor perikanan yang sekaligus menjadi tumpuan kehidupan bagi sebagian besar penduduknya. Adapun sektor lain yang menjadi andalah masyarakat nelayan adalah sektor perkebunan. Pendapatan dari hasil-hasil kebun yang diusahakan nelayan pada saat-saat tertentu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup nelayan. Hasil-hasil kebun ini tergantung musim, sehingga pengetahuan akan pola musim dan cuaca bagi nelayan mutlak sangat penting untuk diketahui.

Selain mengandalkan dari hasil-hasil kebun, nelayan Pulau Panjang saat ini berupaya untuk mengembangkan usaha budidaya rumput laut. Hal ini dilakukan nelayan karena hasil dari melaut saat ini sudah tidak mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kegiatan budidaya rumput laut ini mulai dijalankan tepat pada bulan Juni 2010. Modal yang dibutuhkan untuk dapat memulai usaha pembudidayaan rumput laut ini bervariasi, mulai dari Rp. 100.000,00 sampai dengan Rp. 500.000,00. Modal tersebut selain dipergunakan untuk membeli bibit, juga dipergunakan untuk membeli peralatan budidaya, seperti tali pengikat rumput laut dan pelampung, serta upah para pengikat rumput laut.

Kegiatan pembudidayaan rumput laut saat ini menjadi primadona bagi para nelayan. Waktu panen yang singkat (40 hari) dan perawatan yang mudah membuat nelayan banyak yang mengisi waktu-waktu senggangnya dengan kegiatan pembudidayaan rumput laut ini. Hasil panen rumput laut basah dijual dengan harga Rp. 800,00 per kilogram, sedangkan untuk rumput laut kering Kegiatan pembudidayaan rumput laut saat ini menjadi primadona bagi para nelayan. Waktu panen yang singkat (40 hari) dan perawatan yang mudah membuat nelayan banyak yang mengisi waktu-waktu senggangnya dengan kegiatan pembudidayaan rumput laut ini. Hasil panen rumput laut basah dijual dengan harga Rp. 800,00 per kilogram, sedangkan untuk rumput laut kering

Kegiatan ini berjalan bukan tanpa hambatan. Hambatan utama datang dari kondisi alam dan lingkungan pesisir Pulau Panjang. Kondisi air di pesisir yang lebih banyak dialiri oleh air tawar membuat beberapa kali usaha ini mengalami gagal panen. Hal ini dikarenakan rumput laut terserang lumut air tawar. Air tawar ini berasal dari sungai-sungai yang ada di dataran kalimantan, yakni Sungai Batulicin, Sungai Kacil, Sungai Sungkai, Sungai Tempurung, Sungai Hanau, dan Sungai Samariti.

Selain hambatan dari faktor alam tersebut, hambatan lainnya juga datang dari kondisi infrastruktur desa. Desa ini tergolong desa miskin dan terisolir ditengah laju pembangunan desa-desa lainnya. Tidak ada sentra perdagangan dan jasa lokal yang terdapat di desa ini. Selain itu, sarana transportasi dan infrastruktur lainnya juga masih sangat terbatas. Hal ini menyulitkan nelayan untuk mengembangkan mata pencaharian alternatif sebagai sumber pendapatannya.

Tabel 10 Matriks Penganekaragaman Sumber Pendapatan Nelayan

Sumber

Hambatan Pendapatan

Potensi

Ketergantungan yang besar pada cuaca Petani Kebun

Kesuburan tanah

& iklim,

Ketersediaan lahan

Banyaknya hama babi

Areal budidaya

Ketika hujan lebat kadar garam air laut

yang cukup luas

menurun dan dapat menyebabkan

(garis pantai

Budidaya rumput laut dihinggapi lumut,

P.Panjang)

Rumput Laut Lokasi budidaya merupakan jalur

Pengembangan

transportasi laut (tempat budidaya

usaha bersifat

sangat rentan tertabrak kapal)

kelompok Banyaknya

Tingkat pendidikan minimal yang Perusahaandan

Buruh

perusahaan yang

diterima oleh perusahaan adalah SMA Buruh Bangunan

berada di sekitar

pesisir P.Panjang

Sumber: Data Primer diolah, 2011

7.2. Penganekaragaman Alat Tangkap

Strategi berikutnya yang dilakukan oleh nelayan Pulau Panjang adalah menganekaragamkan alat tangkap. Sebelum terjadinya perubahan ekologis di kawasan ini, idealnya nelayan hanya memiliki satu alat tangkap. Saat ini nelayan harus menambah menjadi tiga sampai lima alat tangkap agar bisa bersahabat dengan kondisi lingkungan pesisir yang sudah mengalami perubahan, ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang tidak menentu. Hal ini diungkapkan oleh Bapak SNS (43 tahun):

“...kalau dulu kita pake pancing aja sudah dapat (ikan). Sekarang, bah mana bisa...kita harus pake yang lain, kayak rempa, rengge, rawe, itupun kalau kita punya uang untuk menukarnya (membeli- red)...”

Strategi penganekaragaman alat tangkap dilakukan oleh 33,3 persen responden atau 10 orang nelayan. Penganekaragaman alat tangkap ini dilakukan karena beberapa jenis ikan di kawasan ini sudah sulit untuk ditangkap, akhirnya nelayan memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada satu jenis ikan saja. Dengan begitu maka otomatis penggunaan alat tangkap nelayan juga bertambah. Nalayan harus mencari alternatif sendiri jenis alat tangkap apa yang paling efektif digunakan disaat ketidakpastian sumberdaya ikan yang ditangkapnya.

Beragamnya jenis alat penangkapan dan ukurannnya akan menyebabkan bervariasi pula teknik operasi yang digunakan untuk menangkap ikan. Minimnya teknologi penangkapan dan akses informasi mengenai jenis alat tangkap yang ideal digunakan pada saat-saat tertentu menyebabkan nelayan biasanya mengganti alat tangkapnya hanya berdasarkan informasi dari sesama nelayan (yang belum tentu benar). Konsekuensi yang harus diterima bila nelayan merubah alat tangkap yaitu: sumber modal, keterampilan, dan waktu.

Harga untuk satu set rempa kakap ukuran 6 inch, merk MOMOI berkisar pada Rp. 350.000,00 sampai dengan Rp. 750.000,00 sedangkan harga untuk satu set rengge bawal berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp. 500.000,00 untuk rawai Rp. 350.000,00/set dan untuk harga satu set rakang berkisar Rp. 25.000,00. Variasi harga-harga alat tangkap tersebut tergantung merk dan Harga untuk satu set rempa kakap ukuran 6 inch, merk MOMOI berkisar pada Rp. 350.000,00 sampai dengan Rp. 750.000,00 sedangkan harga untuk satu set rengge bawal berkisar antara Rp. 200.000 hingga Rp. 500.000,00 untuk rawai Rp. 350.000,00/set dan untuk harga satu set rakang berkisar Rp. 25.000,00. Variasi harga-harga alat tangkap tersebut tergantung merk dan

Penganekaragaman alat tangkap ini juga berlaku untuk musim-musim tertentu. Pada saat musim konda, nelayan lebih banyak yang mempergunakan waktunya dengan memancing. Hal ini dikarenakan ombak yang tenang dan pasang surut yang tidak terlalu ekstrem. Pada saat musim nyorong, yakni situasi pasang surut yang sangat ekstrim nelayan menggunakan alat tangkap rawai.

7.3. Perubahan Daerah Tangkapan

Nelayan tradisional Pulau Panjang merupakan nelayan tradisional dengan akses teknologi dan informasi yang relatif terbatas. Perubahan ekologis yang telah terjadi di kawasan tersebut, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, menyebabkan hilangnya tempat atau daerah penangkapan ikan (fishing ground). Kondisi lingkungan pesisir yang mengalami perubahan ekologis serta iklim yang makin ekstrim bisa menggeser area penangkapan ikan (fishing ground) ke daerah yang lebih jauh. Hal ini akan menyebabkan ongkos produksi untuk mencari ikan yang dilakukan nelayan akan naik yang pada akhirnya akan berdampak pada kehidupan ekonomi nelayan.

Berdasarkan hasil survei di lokasi, sebanyak 16,7 persen responden atau sebanyak lima orang nelayan melakukan adaptasi dengan mengubah daerah penangkapan. Strategi adaptasi mengubah daerah tangkapan adalah kegiatan mengubah lokasi penangkapan ikan sesudah terjadinya perubahan ekologis. Adaptasi dengan mengubah daerah penangkapan ikan dilakukan oleh para nelayan hanya mengandalkan naluri dan pengalaman mendeteksi area yang diperkirakan banyak ikan. Para nelayan yang melakukan tindakan ini tidak memiliki kemampuan yang lebih sistematis dan terencana untuk mendeteksi ikan. Dengan demikian, adaptasi seperti ini menyebabkan inefisiensi energi (bahan bakar dan tenaga), pemborosan waktu, dan hasil tangkapan yang relatif rendah.

Jika dibadingkan dengan pilihan adaptasi yang lain, persentase ini merupakan adaptasi yang paling sedikit dipilih oleh nelayan. Hal ini diakui Jika dibadingkan dengan pilihan adaptasi yang lain, persentase ini merupakan adaptasi yang paling sedikit dipilih oleh nelayan. Hal ini diakui

Pola adaptasi seperti ini sebenarnya akan efektif jika disertai oleh adaptasi yang lebih sistematis, yakni dengan penerapan teknologi dalam memprediksi ikan. Namun demikian, masyarakat nelayan terutama nelayan-nelayan tradisional di Pulau Panjang, banyak yang tidak mempunyai pengetahuan geografi ataupun perikanan, dan biasanya hanya mengandalkan pengalaman untuk mencari atau menentukan daerah-daerah penangkapan ikan. Terkadang nelayan juga hanya mengandalkan tanda-tanda dari alam seperti keberadaan burung disekitar laut, atau bahkan hanya mengandalkan peruntungan yang belum pasti terjadi.

Menurut Bennett (1976) sebagaimana dikutip Wahyono et al. (2001), adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang diulang-ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Tindakan yang diulang- ulang tersebut akan membentuk dua kemungkinan, yaitu tindakan penyesuaian yang berhasil sebagaimana diharapkan, atau sebaliknya tindakan yang tidak memenuhi harapan. Gagalnya suatu tindakan akan menyebabkan frustasi yang berlanjut, yang berpengaruh pada respon atau tanggapan individu terhadap lingkungan.

Adaptasi nelayan Pulau Panjang dengan mengubah daerah penangkapan ikan dapat dikatakan sebagai tindakan penyesuaian (adaptasi) yang gagal jika tidak diimbangi oleh kemampuan dalam memperkirakan keberadaan ikan, pola migrasi ikan, dan peralatan teknologi yang memadai untuk menangkap ikan tersebut.

Hal ini dapat berpotensi memunculkan kerawanan sosial di

masyarakat nelayan, ketika kondisi sumberdaya pesisir sudah tidak bisa lagi diandalkan dan adaptasi yang dilakukan nelayan dengan mengubah daerah tangkapan ternyata gagal.

7.4. Memanfaatkan Hubungan Sosial

Strategi memanfaatkan hubungan sosial merupakan salah satu strategi adaptasi masyarakat nelayan Pulau Panjang. Hasil penelitian menunjukan bahwa hubungan sosial yang dimiliki rumah tangga nelayan dengan rumah tangga lain di lokasi penelitian merupakan hubungan sosial yang basisnya adalah hubungan keluarga (genealogis). Namun, ada basis lain yaitu kekerabatan (keluarga luas) dan pertetanggaan yang disebabkan oleh letak tempat tinggal para nelayan dengan saudara-saudaranya yang saling berdekatan.

Keterikatan individu nelayan dalam hubungan sosial merupakan pencerminan diri sebagai makhluk sosial. Dalam kehidupan bermasyarakat, hubungan sosial yang dilakukan rumah tangga nelayan merupakan salah satu upaya untuk mempertahankan keberadaanya. Hubungan tersebut bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu. Hubungan antarindividu tersebut akan membentuk jaringan sosial yang sekaligus merefleksikan terjadinya pengelompokan sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Jaringan sosial merupakan seperangkat hubungan khusus atau spesifik yang terbentuk di antara sekelompok orang. Karakteristik hubungan tersebut dapat digunakan sebagai alat untuk menginterpretasi motif-motif perilaku sosial dari orang-orang yang terlibat didalamnya. Strategi jaringan sosial (bentuk dan corak) yang umum dikembangkan pada komunitas nelayan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dibidang kenelayanan (misalnya penguasaan sumberdaya, permodalan, memperoleh keterampilan, pemasaran hasil, maupun untuk pemenuhan kebutuhan pokok) (Wahyono et al., 2001).

Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rumah tangga nelayan mengaku mempunyai jaringan sosial yang bersifat informal. Menurut Alfiasari et al. (2009) jaringan sosial informal tersebut mengindikasikan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal. Ikatan yang lebih familiar dan bersifat personal membuat hubungan- hubungan sosial antar rumah tangga menjadi lebih dekat. Dengan demikian hubungan-hubungan sosial tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi Hasil penelitian menunjukan bahwa semua rumah tangga nelayan mengaku mempunyai jaringan sosial yang bersifat informal. Menurut Alfiasari et al. (2009) jaringan sosial informal tersebut mengindikasikan adanya kepercayaan dan hubungan timbal balik yang lebih familiar dan bersifat personal. Ikatan yang lebih familiar dan bersifat personal membuat hubungan- hubungan sosial antar rumah tangga menjadi lebih dekat. Dengan demikian hubungan-hubungan sosial tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengeksplorasi

Berdasarkan status sosial-ekonomi rumah tangga nelayan yang terlibat dalam suatu jaringan, terdapat dua jenis hubungan sosial, yaitu hubungan sosial yang bersifat horizontal dan vertikal (Kusnadi, 2000). Hubungan sosial yang bersifat horizontal terjadi jika individu yang terlibat didalamnya memiliki status sosial-ekonomi yang relatif sama. Sebaliknya, di dalam hubungan sosial yang bersifat vertikal, individu-individu yang terlibat didalamnya tidak memiliki status sosial-ekonomi yang sepadan, baik kewajiban maupun sumber daya yang dipertukarkan. Hubungan sosial yang bersifat vertikal –sebagiannya- terwujud dalam bentuk hubungan patron-klien.

Patron diperankan oleh para pengepul hasil-hasil tangkapan nelayan, sedangkan klien diperankan oleh nelayan itu sendiri. Hasil penelitian menemukan bahwa hubungan patron-klien yang dijalankan nelayan Pulau Panjang dibentuk oleh adanya jaringan kepentingan, yakni hubungan yang bermuara pada tujuan tertentu atau tujuan khusus. Tujuan keduabelah pihak menjalani hubungan patron-klien adalah untuk mendapatkan keuntungan berupa barang dan jasa, atau sumberdaya lain yang tidak dapat diperoleh melalui cara lain atas pengorbanan yang telah diberikannya. Patron memiliki kepentingan untuk mendapatkan hasil tangkapan nelayan dengan harga murah dan memberikan kredit atau pinjaman dengan bunga tinggi. Sedangkan klien atau nelayan-nelayan Pulau Panjang berkepentingan untuk mendapatkan jaminan sosial ekonomi, berupa pinjaman uang disaat situasi sulit, bantuan barang-barang atau keperluan alat tangkap. Jika ada nelayan yang terbukti tidak menjual hasil tangkapan ke patron tersebut maka suatu saat ketika nelayan (klien) membutuhkan bantuan tidak akan dilayani lagi.

Hubungan patron-klien ini telah berlangsung lama. Awalnya hubungan patron-klien yang dijalankan intensitas kejadiannya sangat jarang. Artinya, nelayan-nelayan Pulau Panjang membutuhkan bantuan-bantuan dari patron hanya pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat pendaftaran masuk sekolah dan kegiatan kegiatan insidental lainnya. Akan tetapi, sejak terjadinya perubahan ekologis dimana menyebabkan menurunya hasil tangkapan nelayan, Hubungan patron-klien ini telah berlangsung lama. Awalnya hubungan patron-klien yang dijalankan intensitas kejadiannya sangat jarang. Artinya, nelayan-nelayan Pulau Panjang membutuhkan bantuan-bantuan dari patron hanya pada saat-saat tertentu saja, seperti pada saat pendaftaran masuk sekolah dan kegiatan kegiatan insidental lainnya. Akan tetapi, sejak terjadinya perubahan ekologis dimana menyebabkan menurunya hasil tangkapan nelayan,

7.5. Memobilisasi Anggota Rumah tangga

Dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar kehidupan, isu substansial yang selalu dihadapi oleh keluarga atau rumah tangga adalah bagaimana individu- individu yang ada di dalamnya harus berusaha maksimal dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara (Nye, 1982 dalam Kusnadi, 2000).

7.5.1. Peran Istri Nelayan

Andriati (1992) mengungkapkan, bahwa salah satu strategi adaptasi yang ditempuh oleh rumah tangga nelayan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi adalah mendorong para istri mereka untuk ikut mencari nafkah. Kontribusi ekonomi perempuan yang bekerja sangat signifikan bagi para nelayan. Perempuan-perempuan yang terlibat dalam aktivitas mencari nafkah merupakan pelaku aktif perubahan sosial-ekonomi masyarakat nelayan (Upton dan Susilowati, 1992 dalam Kusnadi 2000).

Dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga, peranan istri cukup dominan. Para istri nelayan mengatur sepenuhnya pengeluaran rumah tangga sehari-hari berdasarkan tingkat penghasilan yang diperoleh, dan bukan berdasarkan tingkat kebutuhan konsumsi jumlah anggota rumah tangganya.

Ragam pekerjaan yang dimasuki oleh istri-istri nelayan di Pulau Panjang untuk memperoleh penghasilan adalah menjadi kuli ikat rumput laut, pengolah hasil ikan, pembersih perahu, pekerja pada industri rumah tangga untuk pengolahan hasil ikan pembuat atap rumah dari nipah. Pada umumnya, ragam pekerjaan yang bisa dimasuki perempuan masih terkait dengan kegiatan perikanan. Penghasilan yang diperoleh akan menambah keuangan rumah tangga, karena tingkat pendapatan yang diperoleh suami belum mencukupi pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Istri-istri nelayan di Pulau Panjang tidak hanya melakukan kegiatan- kegiatan domestik, akan tetapi juga melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dapat menambah penghasilan rumah tangganya. Pada kegiatan mengikat Istri-istri nelayan di Pulau Panjang tidak hanya melakukan kegiatan- kegiatan domestik, akan tetapi juga melakukan pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dapat menambah penghasilan rumah tangganya. Pada kegiatan mengikat

Selain itu, istri-istri nelayan juga kreatif menciptakan pranata-pranata tradisional, seperti pembentukan kelompok arisan. Masyarakat di Pulau Panjang telah memanfaatkan pranata-pranata tersebut untuk berbagai aktivitas sehingga bisa berfungsi ganda, yakni mempererat hubungan sosial-budaya dan membatu mengatasi ketidakpastian penghasilan ekonomi.

7.5.2. Peran Anak-anak

Selain istri, anak-anak nelayan juga terlibat dalam beberapa pekerjaan untuk memperoleh penghasilan. Anak laki-laki akan mengikuti orang tuanya atau kerabatnya untuk mencari ikan ke tengah laut atau membersihkan perahu yang baru tiba melaut. Anak-anak perempuan selain membantu kegiatan domestik orang tuanya, juga membantu ibunya yang bekerja di industri-industri pengolahan hasil ikan dan rumput laut.

Kegiatan ekonomi anak-anak nelayan ini biasanya dilakukan setelah mereka pulang sekolah. Anak-anak ini langsung membantu bapaknya untuk membersihkan perahu, membenarkan jaring-jaring yang rusak, serta ikut mencari ikan di laut. Selain itu, kegiatan lain yang bisa dimasuki oleh anak- anak adalah pada usaha budidaya rumput laut. Pada waktu-waktu pembibitan anak-anak sibuk membantu orang tuanya menyiapkan tali-tali untuk mengikat bibit rumput laut, sedangkan pada saat panen anak-anak tersebut terlihat sibuk ikut membukakan rumput laut tersebut untuk dijual ke pengumpul.

Hal yang menarik adalah kehadiran pertambangan yang ada di daerah ini memunculkan motivasi tersendiri bagi anak-anak nelayan. Berbeda dengan para orang tuanya yang tidak mementingan sekolah, anak-anak nelayan saat ini justru menginginkan untuk bersekolah. Harapannya adalah agar kelak anak- anak ini dapat bekerja di tambang. Hal ini menandakan telah terjadi pergeseran pandangan tentang pendidikan anak.

Kegiatan-kegiatan ekonomi tambahan yang dilakukan oleh anggota rumah tangga nelayan (istri dan anak) merupakan salah satu dari strategi adaptasi yang harus ditempuh untuk menjaga kelangsunghan hidupnya ditengah ketidakpastian sumberdaya perikanan yang ada di kawasan Pulau Panjang. Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan pesisir Pulau Panjang, memaksa anak-anak nelayan ini untuk membantu kedua orang tuanya untuk menambah penghasilan.

7.6. Strategi Lainnya

7.6.1 Menebang Hutan Mangrove

Menebang hutan mangrove merupakan salah satu pilihan strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Panjang. Kegiatan ini dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari disaat pendapatan dari laut sudah tidak memungknkan lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Nelayan biasanya memanfaatkan mangrove untuk bahan bangunan (pasak bumi), kayu bakar dan bahan untuk menancapkan alat tangkap di laut.

Desa Pulau Panjang pada dasarnya merupakan kawasan cagar alam. Hal tersebut ditetapkan oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 435/MENHUT-II/2009. Namun demikian, pengawasan yang lemah dan tidak adanya upaya kolaborasi untuk menjaga kawasan tersebut, menjadikan mangrove di kawasan ini mengalami kerusakan yang cukup parah.

Penebangan mangrove tersebut merupakan salah satu mekanisme penghancuran diri sendiri (self distruction mechanism) 7 . Pasalnya, sebagian

besar masyarakat Pulau Panjang sebenarnya mengetahui bahwa ekosistem mangrove sangat bermanfaat untuk menunjang kehidupan nelayan di laut dan menjamin ketersediaan ikan/biota laut lainnya. Bahkan nelayan juga mengetahui bahwa penebangan hutan mangrove akan berimbas negatif pada mata pencahariannya sebagai nelayan. Akan tetapi, ditengah ketidakpastian pendapatan dan fluktuasi hasil tangkapan dari laut, nelayan terpaksa merambah hutan mangrove demi kelangsungan hidupnya.

7 Hasil diskusi dengan Dr. Arya H Dharmawan , 1 Juni 2011

7.7. Peranan Institusi dalam mendukung Strategi Adaptasi Nelayan

Strategi adaptasi yang dijalankan oleh nelayan Pulau Panjang tidak dapat dilepaskan dari keberadaan institusi yang ada di desa tersebut, baik pemerintah desa, pemerintah daerah, pemerintah pusat, hingga pihak swasta/perusahaan. Berbagai macam institusi yang ada memiliki peranan yang berbeda-beda untuk mendukung pilihan-pilihan adaptasi nelayan. Peranan tersebut diterjemahkan kedalam berbagai macam bentuk bantuan, baik yang diperuntukan dunia perikanan maupun diluar perikanan. Adapun bantuan institusi-institusi yang ada tersebut tertera pada tabel 11.

Tabel 11 Matriks Kegiatan Institusi dalam mendukung Proses Adaptasi

Nelayan Institusi

Dilegalkan melalui SK Kades No. Desa

Memungut

04/SK.KD-PP/VIII/2008 Pemerintah Kabupaten Dinas Kelautan - Pengembangan

Retribusi Kapal

Besarnya bantuan yang diberikan & Perikanan

budidaya rumput

sebanyak 50 juta per kelompok budidaya

Laut

rumput laut

- Bantuan Mesin Perahu 24PK sebanyak 5 unit

Dinas

bertujuan untuk Pendidikan

Gedung SDS Tunas meningkatkan

tingkat pendidikan

nelayan di Desa Pulau Panjang Dinas Kesehatan Pembangunan

Nelayan

Pembangunan yang dijalankan pada Sarana Kesehatan tahun 2009 ini bertujuan untuk berupa Poskesdes

meningkatkan

derajat kesehatan

masyarakat pesisir

Panel Bantuan ini disalurkan pada tahun 2007. Pertambangan & Surya

Dinas

Bantuan

warga mendapatkan Energi

Keseluruhan

bantuan ini. Akan tetapi, beberapa diantaranya dalam kondisi rusak

Balai

Tali Bantuan yang diberikan pada tahun 2011 Konservasi

Bantuan

Rumput Laut (@2 ini merupakan program BKSDA Kalsel Sumberdaya

yang dimaksudkan agar masyarakat Alam

gulung/orang;

mengembangkan budidaya rumput laut (BKSDA

untuk 40 orang)

dan meninggalkan kebiasaan menebang Kalsel)

hutan mangrove

Perusahaan / - Bantuan

berupa pembibitan dan Swasta

Bantuan

Pendidikan

penanaman mangrove ini bertujuan

- Pembibitan

untuk memenimalkan dampak yang

Mangrove

ditimbulkan dari aktivitas pertambangan

Sumber: Data Primer, 2011

Bayaknya kapal-kapal tugboat dan tongkang pengangkut hasil tambang (batubara) dimanfaatkan oleh pemerintahan desa untuk mencari penghasilan tambahan bagi para nelayan. Pemerintah desa mengeluarkan Surat Keputusan Kepala Desa Nomor: 04/SK.KD-PP/VIII/2008 tentang Pungutan Retribusi Lahan dan Selat Desa Pulau Panjang dan Pulau Tampakan. Pemerintah desa berpendapat bahwa pemungutan retribusi yang dikenakan pada kapal-kapal tersebut tidak menyalahi aturan. Menurutnya, hal ini sejalan dengan undang- undang yang berlaku, yakni tentang otonomi desa. Dalam Undang-undang nomor 32 tahun 2004 Pemerintahan Daerah, menyebutkan bahwa pemerintah desa berhak untuk mengatur dan mengelola keuangan yang ada di desanya.

Ada tiga ketegori retribusi, yakni: Sewa Selat, Sewa Lahan, dan Dok Kapal. Sewa Selat merupakan pungutan yang ditujukan untuk kapal-kapal yang melewati Selat Pulau Panjang, yakni selat yang menghubungkan antara Pulau Kalimantan dengan Pulau Burung. Agen pelayaran/pemilik kapal tugboat harus membayar uang setara dengan satu galon solar atau jika diuangkan sejumlah Rp. 200.000,00.

Lain halnya dengan sewa selat, sewa lahan merupakan jenis pungutan yang ditujukan untuk kapal-kapal yang mengikatkan kapalnya (berjangkar) di kawasan Pulau Panjang (Pulau Burung, Pulau Hantu, dan Pulau Tampakan). Agen pelayaran/pemilik kapal tugboat harus membayar uang setara dengan dua galon solar atau jika diuangkan sejumlah Rp. 400.000,00. Sedangkan pungutan dok kapal ditujukan untuk kapal-kapal yang melakukan perbaikan/perawatan kapal dan berjangkar di Pulau Panjang. Dalam kegiatan Dok Kapal, para agen pelayaran biasanya meminta nelayan-nelayan di Pulau Panjang untuk membantu memperbaiki kapal, merawatnya dan menyediakan para ABK (Anak Buah kapal) jasa antar jemput untuk bepergian ke pasar.

Pungutan/retribusi untuk kapal-kapal yang bersandar di kawasan Pulau Panjang nilainya cukup besar. Dalam seminggu rata-rata ada 3-7 kapal yang melakukan operasi di kawasan Pulau Panjang. Akan tetapi, sangat disayangkan pengalokasian/pendistribusian uang hasil pungutan tersebut tidak merata untuk para nelayan dan pemerintah desa.

Gambar 11 Jenis-jenis Retribusi/Pungutan Kapal

Adanya Surat Keputusan tentang Retribusi Kapal yang ditandatangani oleh Kepala Desa Pulau Panjang juga menimbulkan dampak ikutan bagi para nelayan. Nelayan-nelayan di Desa Pulau Panjang, memanfaatkan keberadaan dari adanya kapal-kapal ini dengan menjadi tukang service kapal. Para nelayan biasanya mengantarkan nahkoda-nahkoda kapal yang ingin berbelanja ke pasar untuk membeli kebutuhan hidup di kapal, seperti sembako, makan- makanan, dan pakaian. Tarif untuk sekali antar sangat beragam, tergantung service yang diberikan para nelayan kepada para awak kapal tersebut.

Keberadaan kapal-kapal tugboat dan tongkang batubara di kawasan ini juga dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk meminta minyak (solar). Solar tersebut digunakan untuk keperluan nelayan melaut dan menyalakan genset sebagai penghasil listrik di daerah ini.

Tabel 12 Matriks Strategi Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Ekologis

Responden No

Dimensi Strategi Adaptasi

Karakteristik

Nelayan mengombinasikan mata pencahariannya untuk menambah pendapatan rumah Menganekaragamkan 1 Ekonomi

tangganya. Ragam mata pencaharian yang dimasuki oleh para nelayan diantaranya petani kebun, 16 53,3 Sumber Pendapatan

budidaya udang dan bandeng (tambak), budidaya rumput laut, buruh bangunan. Mendorong para istri dan anak-anak nelayan untuk ikut mencari nafkah. Ragam pekerjaan yang

bisa dimasuki oleh para istri diantaranya adalah kuli ikat rumput laut, pengolah hasil ikan, Memobilisasi Anggota pembersih perahu, pekerja pada industri rumah tangga pengolah hasil ikan, dan pembuat atap

10 33,3 Rumah tangga rumah dari nipah. Peran anak-anak nelayan selain membantu kegiatan domestikk orang tuanya,

juga membantu ibunya yang bekerja pada industri pengolahan hasil ikan dan rumput laut. Hubungan sosial yang bersifat genealogis dan kekerabatan (keluarga luas). Hubungan tersebut

Membangun Hubungan bukan hanya melibatkan dua individu, melainkan juga banyak individu yang kemudian akan 2 Sosial

15 50 Sosial

membentuk jaringan sosial. Dua jenis jaringan sosial, yakni jaringan sosial horizontal dan vertikal. Jaringan sosial vertikal terwujud dalam bentuk ikatan patron-klien.

Adaptasi ini dilakukan hanya dengan mengandalkan naluri dan pengalaman mendeteksi area Mengubah Daerah yang diperkirakan banyak ikan. Hal ini menyebabkan inefisiensi energi, pemborosan waktu, dan

5 16,7 Tangkapan

3 Ekologi

hasil tangkapan yang rendah

Menganekaragamkan Dilakukan karena beberapa jenis ikan sudah sulit untuk ditangkap, akhirnya nelayan 10 33,3 Alat Tangkap

memutuskan untuk menangkap jenis lain dan tidak hanya terpaku pada satu jenis ikan saja

4 Lain Menebang Mangrove Dilakukan diwaktu musim-musim sulit, yakni pada bulan Juli-Oktober untuk mengantisipasi 6 20

ketidakpastian hasil tangkapan.

Sumber: Data Primer diolah, 2011

BAB VIII ANALISIS HUBUNGAN KARAKTERISTIK NELAYAN DENGAN STRATEGI ADAPTASI

Terdapat empat variabel karakteristik rumah tangga nelayan yang akan diuji hubungannya dengan strategi adaptasi nelayan, yakni usia, tingkat pendidikan, pengalaman nelayan, jumlah anggota rumah tangga nelayan. Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah karakteristik rumah tangga nelayan yang berbeda berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilihnya. Selain karakteristik rumah tangga nelayan, yang akan diuji hubungannya adalah karakteristik usaha nelayan dengan strategi adaptasi. Strategi adaptasi nelayan tersebut meliputi penganekaragaman sumber pendapatan (berkebun, usaha pembudidayaan rumput laut, buruh bangunan, buruh perusahaan), penganekaragaman alat tangkap, memanfaatkan hubungan sosial (hubungan keluarga, hubungan kekerabatan dan pertetanggaan), mengubah daerah tangkapan, memobilisasi anggota rumah tangga untuk ikut mencari kerja, dan strategi lainnya (menebang pohon di kawasan yang berstatus cagar alam tersebut).

8.1. Hubungan Usia dengan Strategi Adaptasi

Hubungan karakteristik usia responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square . Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara usia responden yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Usia responden digolongkan kedalam tiga kategori, yakni muda, dewasa, dan tua. Sedangkan strategi adaptasi, seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, dikategorikan menjadi penganekaragaman sumber pendapatan, penganekaragaman alat tangkap, mengubah daerah tangkapan, memanfaatkan hubungan sosial, memobilisasi anggota keluarga dan strategi lainnya.

Tabel 13 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Usia Strategi Adaptasi Nelayan (%)

20 Approx.Sig. 0,196

Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan

D= Memanfaatkan Hubungan Sosial B= Penganekaragaman Alat Tangkap

E= Mobilisasi Anggota Rumah Tangga C= Daerah Penangkapan

F= Strategi Lainnya

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 13 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh

10 persen usia muda, 20 persen usia dewasa, dan 23,3 persen usia tua. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh 10 persen usia muda, 13,3 persen usia dewasa, dan 10 persen usia tua, strategi mengubah daerah tangkapan tidak dilakukan usia muda, tetapi dilakukan oleh 13,3 persen usia dewasa, dan 3,3 persen usia tua. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 10 persen usia muda, 26,7 persen usia dewasa, dan 13,3 persen usia tua, strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 6,7 persen usia muda, 20 persen usia dewasa, dan 6,7 persen usia tua. sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 10 persen usia muda, 6,7 persen usia dewasa, dan 3,3 persen usia tua.

Hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square menemukan bahwa usia dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,196 (lebih besar 0,05). Usia dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,592 (lebih besar dari α (0,05)). Usia dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,289) lebih besar dari α (0,05). Usia dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,915) lebih besar dari α (0,05). Usia dengan mobilisasi anggota Hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square menemukan bahwa usia dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,196 (lebih besar 0,05). Usia dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,592 (lebih besar dari α (0,05)). Usia dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,289) lebih besar dari α (0,05). Usia dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,915) lebih besar dari α (0,05). Usia dengan mobilisasi anggota

Uji hubungan tersebut menandakan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan strategi adaptasi nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti

tidak ada hubungan antara usia dengan pilihan adaptasi nelayan. Hal tersebut dapat dikarenakan tidak terdapat pemisahan yang berarti antara usia muda dan tua. Dalam melakukan aktivitas melautnya, nelayan usia tua sering mengajarkan teknik-teknik melaut dan cara menghadapi tantangan- tantangan di laut kepada nelayan usia muda.

8.2.Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Strategi Adaptasi

Hubungan karakteristik tingkat pendidikan responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara tingkat pendidikan responden yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Tingkat pendidikan responden digolongkan kedalam tiga kategori, yakni rendah (tidak sekolah, tidak tamat SD, tamat SD), sedang (SMP), tinggi (SMA).

Tabel 14 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Strategi Adaptasi Nelayan (%) Pendidikan

20 Approx.Sig. 0,091

Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan

D= Memanfaatkan Hubungan Sosial B= Penganekaragaman Alat Tangkap

E= Mobilisasi Anggota Rumah tangga C= Daerah Penangkapan

F= Strategi Lainnya

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 14 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh

30 persen responden berpendidikan rendah, 20 persen responden berpendidikan sedang, dan 3,3 persen responden berpendidikan tinggi. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh dilakukan oleh 20 persen responden berpendidikan rendah, 13,3 persen responden berpendidikan sedang, dan tidak ada responden yang berpendidikan tinggi melakukan strategi ini. Pada strategi mengubah daerah tangkapan dilakukan oleh 10 persen responden berpendidikan rendah, 6,7 persen responden berpendidikan sedang, dan tidak ada responden berpendidikan tinggi yang melakukan ini. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 23,3 persen responden berpendidikan rendah, 6,7 persen responden berpendidikan sedang, dan 20 persen responden berpendidikan tinggi. Strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 16,7 persen responden berpendidikan rendah, 6,7 persen responden berpendidikan sedang, dan 10 persen responden berpendidikan tinggi. Sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 6,7 persen responden berpendidikan rendah, 3,3 persen responden berpendidikan sedang, dan 10 persen responden berpendidikan tinggi.

Hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan menghasilkan nilai 0,091 yang berarti tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan (Pv 0,091 lebih besar dari α 0,05). Tingkat pendidikan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,127 yang berarti lebih besar dari nilai α (0,05). Tingkat pendidikan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,438) lebih besar dari α (0,05). Tingkat pendidikan dengan Hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Hasil uji hubungan antara tingkat pendidikan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan menghasilkan nilai 0,091 yang berarti tidak terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan (Pv 0,091 lebih besar dari α 0,05). Tingkat pendidikan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv sama dengan 0,127 yang berarti lebih besar dari nilai α (0,05). Tingkat pendidikan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,438) lebih besar dari α (0,05). Tingkat pendidikan dengan

Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan pilihan adaptasi nelayan. Hal ini dikarenakan pendidikan yang didapatkan oleh nelayan merupakan pendidikan Kejar Paket A, Paket B, dan Paket C yang dilaksanakan pada tahun 2010, sedangkan proses adaptasi dan pilihan-pilihan tindakan yang dilakukan nelayan telah ada jauh sebelum nelayan mengenyam pendidikan.

8.3.Hubungan antara Pengalaman sebagai Nelayan dengan Strategi

Adaptasi

Hubungan karakteristik pengalaman responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara pengalaman responden yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Pengalaman responden menjadi nelayan digolongkan kedalam tiga kelompok, yakni pengalaman rendah, pengalaman sedang, dan pengalaman tinggi.

Tabel 15 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Pengalaman Melaut

Pengalaman Strategi Adaptasi Nelayan (%) Nelayan

20 Approx. Sig.

Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan

D= Memanfaatkan Hubungan Sosial B= Penganekaragaman Alat Tangkap

E= Mobilisasi Anggota Rumah tangga C= Daerah Penangkapan

F= Strategi Lainnya

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 15 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh

10 persen responden dengan pengalaman rendah, 20 persen responden berpengalaman sedang, dan 23,3 persen responden berpengalaman tinggi. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh dilakukan oleh 13,3 persen responden berpengalaman rendah, 10 persen responden berpengalaman sedang, dan 10 persen responden yang berpengalaman tinggi. Pada strategi mengubah daerah tangkapan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan pengalaman rendah, 6,7 persen responden berpengalaman sedang, dan hanya 3,3 persen responden yang berpengalaman tinggi. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 20 persen responden berpengalaman rendah, 16,7 persen responden berpengalaman sedang, dan 13,3 persen responden berpengalaman tinggi. Strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 13,3 persen responden berpengalaman rendah, 13,3 persen responden berpengalaman sedang, dan 6,7 persen responden berpengalaman tinggi. Sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 6,7 persen responden berpengalaman rendah, 10 persen responden berpengalaman sedang, dan 3,3 persen responden berpengalaman tinggi.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa pengalaman tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara pengalaman nelayan dengan pilihan adaptasi nelayan. Antara pengalaman nelayan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,069) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,953) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,861) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,904) lebih besar dari α (0,05). Pengalaman nelayan dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,689) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan pengalaman dengan strategi lainnya tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,579) lebih besar dari α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengalaman tidak berhubungan dengan pilihan-pilihan adaptasi nelayan terhadap perubahan ekologis.

Pengalaman nelayan hanya memiliki hubungan dengan persepsinya terhadap perubahan ekosistem pesisir. Sedangkan jika dikaitkan dengan strategi adaptasinya terhadap perubahan ekologis, didapatkan hasil tidak ada hubungan antara pengalaman nelayan dengan strategi adaptasi. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik masyarakat nelayan Pulau Panjang yang bersifat komunal sehingga karakteristik individu nelayan tidak terlalu berpengaruh terhadap tindakan-tindakan adaptasinya.

8.4.Hubungan antara Jumlah Anggota Rumah Tangga dengan Strategi Adaptasi

Hubungan karakteristik jumlah anggota rumah tangga responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 Hubungan karakteristik jumlah anggota rumah tangga responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16

Tabel 16 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Jumlah Anggota Rumah Tangga

Jumlah Anggota Strategi Adaptasi Nelayan (%) Rumah Tangga

20 Approx. Sig.

Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan

D= Memanfaatkan Hubungan Sosial B= Penganekaragaman Alat Tangkap

E= Mobilisasi Anggota Rumah tangga C= Daerah Penangkapan

F= Strategi Lainnya

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 16 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh

20 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga kecil, 30 persen responden jumlah anggota rumah tangga sedang, dan 3,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga besar. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh dilakukan oleh 16,7 persen responden dengan jumlah anggota rumah tagga kecil, 13,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga sedang, dan 3,3 persen responden yang jumlah anggota rumah tangganya besar. Pada strategi mengubah daerah tangkapan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga kecil, 10 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga sedang, dan tidak ada yang melakukan ini pada responden yang jumlah anggota rumah tangganya besar. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 13,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga kecil, 36,7 persen responden jumlah anggota rumah tangga 20 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga kecil, 30 persen responden jumlah anggota rumah tangga sedang, dan 3,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga besar. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh dilakukan oleh 16,7 persen responden dengan jumlah anggota rumah tagga kecil, 13,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga sedang, dan 3,3 persen responden yang jumlah anggota rumah tangganya besar. Pada strategi mengubah daerah tangkapan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga kecil, 10 persen responden dengan jumlah anggota rumah tangga sedang, dan tidak ada yang melakukan ini pada responden yang jumlah anggota rumah tangganya besar. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 13,3 persen responden jumlah anggota rumah tangga kecil, 36,7 persen responden jumlah anggota rumah tangga

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa jumlah anggota rumah tangga tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara jumlah anggota rumah tangga nelayan dengan pilihan adaptasinya. Antara jumlah anggota rumah tangga dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,992) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,425) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,807) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,117) lebih besar dari α (0,05). Jumlah anggota rumah tangga dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,584) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan jumlah anggota rumah tangga dengan strategi lainnya tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,547) lebih besar dari α (0,05). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah anggota rumah tangga nelayan tidak berhubungan dengan pilihan-pilihan adaptasinya terhadap perubahan ekologis.

8.5. Hubungan Tingkat Teknologi Penangkapan dengan Strategi Adaptasi

Hubungan karakteristik teknologi penangkapan responden dengan strategi adaptasi nelayan dianalisis dengan menggunakan SPSS 16 for windows dengan model uji Chi Square. Uji ini dilakukan untuk menganalisis apakah terdapat hubungan antara tingkat teknologi penangkapan yang berbeda dengan strategi adaptasi yang dipilih oleh nelayan. Tingkat teknologi penangkapan digolongkan kedalam tiga kategori, yakni rendah (ketinting),sedang (swan), dan tinggi (balapan).

Tabel 17 Sebaran Strategi Adaptasi Nelayan berdasarkan Tingkat Teknologi Penangkapan

Tingkat Strategi Adaptasi Nelayan (%) Teknologi

A B C D E F Penangkapan

33,3 20,0 Approx. Sig.

Sumber : Data Primer diolah, 2011 Keterangan : A= Penganekaragaman Sumber Pendapatan

D= Memanfaatkan Hubungan Sosial B= Penganekaragaman Alat Tangkap

E= Mobilisasi Anggota Rumah tangga C= Daerah Penangkapan

F= Strategi Lainnya

Berdasarkan data yang disajikan pada tabel 17 diketahui bahwa strategi adaptasi dengan menganekaragamkan sumber pendapatan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap rendah, 16,7 persen responden pemilik armada tangkap sedang, dan 30 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Strategi adaptasi menganekaragamkan alat tangkap dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tinggi, 3,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap sedang, dan 23,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Pada strategi mengubah daerah tangkapan tidak dilakukan oleh responden dengan kepemilikan armada tangkap rendah, tetapi dilakukan oleh 3,3 persen responden dengan kepemilikan armada sedang, dan dilakukan juga oleh 13,3 persen

responden dengan kepemilikan armada tinggi. Strategi memanfaatkan hubungan sosial dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap rendah, 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap sedang, dan 36,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Strategi memobilisasi anggota rumah tangga dilakukan oleh 3,3 persen responden dengan kepemilikan armada rendah, dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap sedang, dan 23,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi. Sedangkan strategi lainnya, yakni menebang pohon mangrove dan mengandalkan batuan dilakukan oleh 6,7 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap sedang, 13,3 persen responden dengan kepemilikan armada tangkap tinggi, dan tidak dilakukan oleh responden pemilik armada tangkap rendah.

Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa jenis armada yang dimiliki nelayan tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat kepemilikan armada tangkap dengan pilihan adaptasinya. Antara tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,700) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,638) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,629) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,884) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,894) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan Berdasarkan hasil pengolahan data dengan menggunakan SPSS 16 for Windows dengan model uji cross tab – chi square didapatkan hasil bahwa jenis armada yang dimiliki nelayan tidak berhubungan dengan strategi adaptasi yang dipilih nelayan. Nilai Approx.Sig. pada tabel yang lebih besar dari α (0,05) menandakan bahwa Ho diterima, yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat kepemilikan armada tangkap dengan pilihan adaptasinya. Antara tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi penganekaragaman sumber pendapatan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,700) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi penganekaragaman alat tangkap tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,638) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi mengubah daerah penangkapan tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,629) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan strategi adaptasi memanfaatkan hubungan sosial tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,884) lebih besar dari α (0,05). Tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan dengan mobilisasi anggota rumah tangga tidak terdapat hubungan dengan nilai Pv (0,894) lebih besar dari α (0,05). Sedangkan tingkat kepemilikan armada tangkap nelayan

BAB IX PENUTUP

9.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan dari tujuan penelitian ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Bentuk perubahan ekologis yang dirasakan oleh nelayan di lokasi penelitian meliputi: (a) perubahan pada ekosistem mangrove; dan (b) perubahan pada ekosistem terumbu karang. Perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang terjadi karena: (a) munculnya pelabuhan- pelabuhan khusus di kawasan pesisir akibat berkembangnya pertambangan batubara; (b) pembukaan tambak udang dan bandeng oleh masyarakat; (c) penebangan liar; dan (d) pendirian pemukiman-pemukiman di kawasan pesisir tersebut.

2. Perubahan ekologis di kawasan pesisir Pulau Panjang berpengaruh pada kehidupan masyarakat nelayan. Dampak sosial-ekonomi yang dirasakan oleh nelayan Pulau Panjang adalah sebagai berikut:

a) Menurunnya keanekaragaman ikan

b) Hilangnya substrat

c) Hilangnya mata pencaharian masyarakat

d) Menurunnya kesempatan berusaha

3. Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Panjang dalam mengatasi dampak perubahan ekologis tersebut lebih didominasi oleh pola-pola adaptasi yang sifatnya reaktif. Strategi adaptasi yang dilakukan nelayan Pulau Panjang meliputi: (a) Strategi penganekaragaman sumber pendapatan (dilakukan oleh 53,3

persen responden); (b) Strategi penganekaragaman alat tangkap (dilakukan oleh 33,3 persen responden); (c) Strategi mengubah daerah penangkapan (fishing ground) (dilakukan oleh 16,7 persen responden);

(d) Strategi memanfaatkan hubungan sosial (dilakukan oleh 50 persen responden); (e) Strategi memobilisasi anggota keluarga (dilakukan oleh 33,3 persen responden); dan (f) Strategi lainnya, yang meliputi penebangan pohon secara ilegal dan mengandalkan bantuan-bantuan (dilakukan oleh 20 persen responden).

4. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan hasil bahwa karakteristik rumah tangga nelayan tidak berhubungan dengan pilihan strategi adaptasinya.

9.2. Saran

Saran yang dapat disampaikan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penataan ulang kebijakan terkait dengan pengelolaan sumberdaya pesisir, baik ditingkat lokal maupun nasional.

2. Perlu dilakukan upaya dalam mengembangkan bentuk- bentuk mata pencaharian alternatif yang berbasis pada pengelolaan SDA berkelanjutan, tidak eksploitatif, memberikan nilai tambah yang tinggi, dan selaras dengan kultur masyarakat.

3. Perlu dilakukan upaya antisipasi dengan pendekatan ekonomi maupun sosial budaya guna mencegah dan mengeliminir potensi kerawanan sosial di masyarakat akibat menurunnya pendapatan yang disebabkan langkanya sumberdaya perikanan di daerah tersebut.

4. Selain itu, juga perlu ditingkatkan kapasistas sumberdaya manusia, kapasitas pemerintah desa, kelembagaan nelayan, kelembagaan perempuan, dan kelembagaan-kelembagaan lainnya agar dapat mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Alfiasari, Martianto D, Dharmawan AH. 2009. Modal Sosial dan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Miskin di Kecamatan Tanah Sereal dan Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Jurnal Sodality vol.03, No.01, April 2009. IPB Bogor

Ancok D. 1989. Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian. Singarimbun M dan Effendi S (ed.) 1989. Metode Penelitian Survai.Jakarta [ID]: LP3ES

Andriati R. 1992. Peranan Wanita dalam Pengembangan Perekonomian Rumah Tangga Nelayan Pantai di Surabaya (Studi Kasus: Kejawan Lor, Kelurahan Kenjeran, Kecamatan Kenjeran, Kotamadya Surbaya). [tesis]. [internet]. [dikutip

11 Juli 2011]. Jakarta [ID]: Universitas Indonesia. Dapat diunduh dari: http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/files/disk1/229/jkptuipp-gdl-s2-1992- retnoandri-11405-t63a.pdf.

Anwar C, Gunawan H. 2006. Peranan Ekologis dan Sosial Ekonomis Hutan Mngrove dalam Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir . Prosiding Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan.[internet]. [diunduh pada 24 Januari 2011]. Padang [ID]: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hal 23-34. Dapat diunduh dari: http://www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf

Bengen DG. 2004. Menuju Pembangunan Pesisir dan Laut Berkelanjutan berbasis Eko-Sosiosistem . Jakarta [ID]: Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut.

[BPS] Biro Pusat Statistik Kabupaten Tanah Bumbu. 2009. Tanah Bumbu dalam Angka . Tanah Bumbu [ID]: BPS Kabupaten Tanah Bumbu.

______. 2010. Tanah Bumbu dalam Angka. Tanah Bumbu [ID]: BPS Kabupaten Tanah Bumbu

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu . Jakarta [ID]: PT. Pradnya Paramitha

Dahuri R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat (Kumpulan Pemikiran Rokhmin Dahuri) . Jakarta [ID]: Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LIPSI).

Dharmawan AH. 2007. Antropologi Budaya, Sosiologi Lingkungan dan Ekologi Politik . Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Pencemaran Minyak dan Valuasi Nilai Ganti Rugi Akibat Pencemaran . Jakarta [ID]: DKP

______. 2009. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2009.Jakarta [ID]: DKP

Dinas Kelautan dan Perikanan Kalsel. 2010. Laporan Akhir Pemetaan Spasial dan Pulau-Pulau Kecil. Banjarmasin [ID]: DKP Kalimantan Selatan

Effendi TN, Tukiran, Helly PS. Pengolahan Data. Singarimbun M dan Effendi S (ed.) 1989. Metode Penelitian Survai.Jakarta [ID]: LP3ES

Iwan L. 2003. Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan terhadap Perubahan Kelembagaan Lokal (Studi Kasus: Komunitas Nelayan Kel. Nipah Panjang I dan II, Kec. Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi) . [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor

Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta [ID]: Kompas. [KLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2002. Laporan Status Lingkungan

Hidup Indonesia. Jakarta ______. 2009. Laporan Status Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta Khazali, Bengen DG, Nikijuluw VPH. 2001. Kajian Partisipasi Masyarakat Dalam

Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu, Propinsi Jawa Barat) . Jurnal Pesisir dan Lautan Volume 4, Nomor 3, 2002

Kiswara. 1994. Dampak Perluasan Kawasan Industri terhadap Penurunan Luas Padang Lamun di Teluk Banten, Jawa Barat . Prosiding Seminar Nasional Dampak Pembangunan terhadap Wilayah Pesisir. [internet]. [diunduh pada 25 Januari 2011]. Serpong:

Dapat diunduh dari: http://www.coremap.or.id/downloads/0587.pdf.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Buku Statistik Perikanan tahun 2008 . Jakarta [ID]: Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung [ID]: Humaniora Utama Press.

______. 2009. Keberdayaan Nelayan & Dinamika Ekonomi Pesisir. Jogjakarta [ID]: Lembaga Penelitian Universitas Jember dan Ar-Ruzz Media

Kusumastanto T. 2000. Sistem Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir. Makalah disampaikan dalam Diseminasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Jawa Barat. Bandung.

Marten GG. 2001. Human Ecology: Basic Concepts for Sustainable Development. London [UK]: Earthscan Publication Ltd

Marzuki M. 2002. Perubahan Pola Adaptasi Etnik Kaili dalam Pengelolaan Mangrove (Studi Kasus: Etnik Kaili Unde di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah) . [tesis]. Depok [ID]: Universitas Indonesia.

Mulyadi. 2007. Ekonomi Kelautan. Jakarta [ID]: PT. Raja Grafindo Persada

Prameswari A. 2004. Strategi Nafkah Rumah tangga Nelayan beragam Lapisan dalam Menghadapi Risiko Keamanan Berusaha . [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor

Purwoko A. 2005. Dampak Kerusakan Ekosistem Hutan Bakau (Mangrove) terhadap Pendapatan Masyarakat Pantai di Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat. [tesis]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor

Saharuddin. 2007. Antropologi Ekologi. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia . Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Sastrawidjaja dan Manadiyanto. 2002. Nelayan Nusantara. Jakarta [ID]: Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. Badan Riset Kelautan dan Perikanan.

Satria A, Umbari A, Fauzi A, Purbayanto A, Sutarto E, Muchsin I, Muflikhati I, Karim M, Saad S, Oktariza W, Imran Z. 2002. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta [ID]: Cidesindo.

Satria A. 2007. Ekologi Politik. Adiwibowo S (ed.) 2007. Ekologi Manusia. Bogor [ID]: Fakultas Ekologi Manusia IPB.

Satria A. 2009a. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia. Bogor [ID]: IPB Press ______. 2009b. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor [ID]: IPB Press Sitorus MTF. 1998. Penelitian Kualitatif. Bogor [ID]: Kelompok Dokumentasi

Ilmu-ilmu Sosial Fakultas Pertanian IPB. Sugiah SM. 2008. Modul Kuliah Pendidikan Orang Dewasa. Bogor [ID]: Institut

Pertanian Bogor Sumarti T dan Saharudin. 2001. Model Kelembagaan Ekonomi Lokal untuk

Pemberdayaan Masyarakat Nelayan dalam Pengelolaan Pertanian Kawasan Pesisir dan Pedesaan Nelayan. Bogor [ID]: Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing Perguruan Tinggi

Susanto RD. 2009. Analisis Perubahan Sosial dan Institusi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir. [skripsi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor

Take R

E. 2009. “Studi Kasus,” Handbook of Qualitative Research. (Norman K. Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Eds.). Yogyakarta [ID]: Pustaka Pelajar.

Tim Pemetaan Swadaya. 2010. Hasil Pemetaan Swadaya Desa Pulau Panjang. Tanah Bumbu [ID]: Yayasan Gada Ulin.

______. 2011. Hasil Pemetaan Swadaya Desa Pulau Panjang. Tanah Bumbu [ID]: Yayasan Gada Ulin.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan. Wahyono A, Antariksa IGP, Masyhuri I, Indrawasih R, Sudiyono. 2001.

Pemberdayaan Masyarakat Nelayan . Yogyakarta [ID]: Media Pressindo Widodo J dan Suadi. 2008. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta

[ID]: Gajah Mada University Press Widyatun dan Aji. 2008. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Lokasi COREMAP

II Desa Botohilitano, Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan. Pusat Penelitian Kependudukan COREMAP-LIPI

[WRI] World Resources Institute. 2002. Reefs at Risk in Southeast Asia. Laporan Penelitian. [internet]. [diunduh pada 15 Januari 2011]. USA: WRI-UNEP-WCMC- ICLARM-ICLAN. Dapat diunduh dari : http://pdf.wri.org/rrseasia_full.pdf.

Lampiran 1. Kebutuhan Data, Metode, Jenis dan Sumber Data No

Kebutuhan Data

Metode

Jenis Data Sumber Data

Pemerintah

Studi literatur,

Primer,

desa, tokoh

1 Kondisi Umum Lokasi

Wawancara,

Sekunder

masyarakat, dan

Studi literatur, Primer,

masyarakat,

2 Profil Sejarah Lokasi

Wawancara

sekunder

pemerintah desa, dan literatur

Nelayan, tokoh masyarakat,

Penggolongan dan

Studi literatur,

pemerintah desa, Kondisi Sosial-Ekonomi wawancara,

Primer,

literatur, Dinas

3 Nelayan

pengamatan

Kelautan dan - Karakteristik RT

sekunder

berperan serta,

Perikanan - Karakteristik Usaha

survei

Kabupaten Tanah Bumbu

Studi literatur,

Kondisi Ekosistem

4 Pesisir dan Gejala

Perubahan Ekologis

berperan serta,

Desa, Literatur

survei

Profil Aktivitas

Penelusuran

PT. AI dan

5 Pertambangan di sekitar

Perusahaan Kawasan

dokumen,

Sekunder

lainnya Pengaruh Gejala

wawancara

Nelayan, Perubahan Ekologis

6 terhadap Aktivitas

Desa, Tokoh Nelayan

berperan serta, sekunder

survei

Masyarakat Nelayan,

Wawancara,

Adaptasi Sosial-Ekonomi Pemerintah

pengamatan

Primer,

7 Nelayan terhadap Desa, Tokoh

berperan serta, sekunder

Perubahan Ekologis Masyarakat, dan

survei

Literatur

Lampiran 2 Populasi dan Responden Penelitian No.

Nama

Pekerjaan Utama

No.

Nama

Pekerjaan Utama

Buruh Bangunan

2 JUR

Aparat Desa

Petani Kebun

5 BDS

Petani Kebun

Warung Kecil

9 CND

Penjaga Sekolah

Pedagang Kecil

Aparat Desa

Penyadap Aren

17 SMS

Aparat Desa

51 BAH

Buruh Perusahaan

18 ALM

Kepala Desa

Penyadap Aren

Petani Kebun

Petani Kebun

Petani Kebun

Petani Musiman

Guru Ngaji

Penjual Air Bersih

Penjual Air Bersih

Buruh Bangunan

67 TAJ

Petani Kebun

34 BHR

Buruh

Keterangan: Responden

Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian

Pembukaan Hutan Mangrove Salah satu Pelsus di kawasan P.Panjang

Hasil Tangkapan Nelayan Perahu Jenis Balapan/Klotok

Pembibitan Mangrove oleh Usaha Alternatif: Rumput Laut

Masyarakat yang difasilitasi salah satu perusahaan swasta

FGD dengan nelayan di pantai Alat tangkap: Rawai

Lampiran 4 Kuesioner Penelitian

KUESIONER PENELITIAN

STRATEGI ADAPTASI NELAYAN TERHADAP PERUBAHAN EKOLOGIS KAWASAN PESISIR

No. Kuesioner

Tanggal Wawancara

Jam

I. KARAKTERISTIK RESPONDEN 1 Nama

2 Umur

3 Jenis Kelamin

d. SMA/sederajat 4 Pendidikan Terakhir

a. Tidak Sekolah

b. SD/sederajat

e. Perguruan Tinggi

c. SMP/sederajat

Lamanya tinggal di Desa

P.Burung a.Bangunan sendiri b. Menumpang

6 Status Tempat Tinggal

c.Kontrak/kost d. Lainnya: _______ Pengalaman sebagai

nelayan (tahun) a. Isteri ______________

Jumlah Anggota Rumah b. Anak kandung ______________

tangga c. Anak angkat ______________ d. Lainnya ______________

9 Pendapatan Keluarga selama 1 bulan terakhir

Anggota Pendapatan (Rp/bulan) dari Jenis Pekerjaan Keluarga

Total Kepala Keluarga Istri Anak/lainnya Bantuan Total

Utama

Sampingan

10 Dana Bantuan yang Pernah Diterima Keluarga

Pemberi

Jenis Bantuan

Tahun

Jumlah Bantuan

Bantuan

1. Raskin

2. Pelayanan Kesehatan

3. Pendidikan

4. Dana Kompensasi BBM 5. Donasi Perusahaan

6. Bantuan Lainnya:

a. ................................. b. ................................. c. .................................

11 Perkiraan Pengeluaran Rumah Tangga dalam 1 bulan terakhir

Harga per

Frekuensi

Perkiraan Sumber Pengeluaran

(kali/bulan) i

(Rp)

Makanan ii Rokok iii Bahan Bakar

(Solar,Minyak Tanah,dll)

iv Pendidikan Anggota Keluarga

v Pemeliharaan Badan/Kesehatan (sabun,odol,obat- obatan,dll)

vi Pakaian vii Pengeluaran

Lainnya Total Pengeluaran

II. KARAKTERISTIK USAHA NELAYAN No

Parameter Armada Tangkap Respon Nelayan 12 Status Usaha

13 Jenis Armada Penangkapan Panjang Kapal

Lebar Kapal ii Tinggi Kapal

iii Bahan Material Kapal

iv Umur Operasi Kapal

v Jenis Bahan untuk (papan lambung, lunas,gading)

vi Harga 1 unit Kapal

vii Daya Mesin Kapal

viii Merk Mesin

ix Harga 1 unit Mesin

x Ukuran GT Kapal

xi 14 Daerah Jangkauan Penangkapan

15 Jenis Alat Tangkap yang digunakan

Lama

Jumlah Trip

Lama per Musim

Periode (bulan)

Musim

per bulan

........-........

Trip (hari)

(kali) Musim Banyak Ikan

(bulan)

(.................................) Musim Paceklik

(.................................) Musim Peralihan

Rata-rata Hasil Tangkapan per Trip (sebelum dan sesudah terjadi perubahan ekologis)

Hasil Tangkapan per trip (kg) Jenis

Musim Biasa Ikan Sebelum Sesudah Sebelum Sesudah Sebelum

Musim Banyak Ikan

Musim Paceklik

Sesudah

III. PERUBAHAN EKOLOGIS 3.1. Kondisi Ekosistem Pesisir (1=sangat baik, 2= baik, 3= buruk, 4=sangat buruk)

No

Sebelum Sesudah 16 Kondisi ekosistem mangrove 17 Kondisi ekosistem terumbu karang 18 Jumlah tangkapan ikan 19 Keragaman jenis tangkapan ikan 20 Kondisi / kualitas air laut 21 Kondisi / kualitas udara

Jenis Perubahan

3.2. Penyebab Perubahan Ekologis No

Jenis Perubahan Penyebab Perubahan a. pelabuhan khusus batubara

b. pembukaan lahan tambak 22 Kondisi ekosistem mangrove c. penebangan untuk bahan bangunan

d. penyebab lainnya______________ a. pengeboman

Kondisi ekosistem terumbu

b. jangkar kapal

23 karang

c. perubahan iklim/pemanasan global d. penyebab lainnya______________

a. hancurnya karang b. hancurnya mangrove

24 Jumlah tangkapan ikan c. perubahan musim

d. perubahan lainnya______________ a. hancurnya karang

b. hancurnya mangrove 25 Keragaman jenis tangkapan ikan c. perubahan musim

d. perubahan lainnya______________ a. perubahan iklim/pemanasan global

26 Kondisi / kualitas air laut b. pelabuhan khusus batubara c. curah hujan d. penyebab lainnya______________

a. perubahan iklim/pemanasan global b. pelabuhan khusus batubara

27 Kondisi / kualitas udara

c. penebangan liar d. penyebab lainnya______________

IV. PILIHAN ADAPTASI NELAYAN Apa yang Anda lakukan dalam menghadapi perubahan ekologis? Jika dampak yang dirasakan terhadap kehidupan Anda sangat besar.

No

Ya Tidak 28 Penganekaragaman Sumber Pendapatan

Tindakan Adaptasi Nelayan

Saya bekerja sebagai kuli bangunan Saya bekerja membudidayakan rumput laut sebagai tambahan pendapatan

Saya mengusahaka hasil-hasil kebun Saya melamar kerja di perusahaan 29 Penganekaragaman Alat Tangkap Saya menambah aneka jenis alat tangkap (rempa,rengge,pancing,rawe,rakang) Saya menambah jumlah alat tangkap saya (1/2/3/4/5) Saya mengubah target/sasaran tangkapan 30 Perubahan Daerah Tangkapan Saya mengetahui daerah-daerah yang banyak ikan Saya memperluas daerah penangkapan ikan agar mendapat lebih banyak

tangkapan 31 Memanfaatkan Hubungan Sosial

Saya meminta bantuan saudara jika sedang dilanda kesulitan Saya meminta bantuan tetangga jika sedang dilanda kesulitan Saya meminta bantuan bos/tauke jika sedang dilanda kesulitan 32 Memobilisasi Anggota Rumah Tangga Saya mengikutsertakan isteri saya untuk bekerja Saya mengikutsertakan anak saya untuk bekerja 33 Strategi Lainnya Saya menjual aset/barang yang masih dimiliki Saya mengandalkan bantuan dari berbagai pihak Saya pergi mencari pekerjaan di kota saat musim paceklik Saya menebang hutan mangrove