Kajian Pustaka TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kajian Pustaka

Beberapa penelitian terkait Punguan Batak telah dikaji oleh beberapa peneliti sebelumnya, namun berbeda dengan penelitian ini. Penelitian- penelitian sebelumnya hanya melihat Punguan Batak sebagai relasi dan eksistensi budaya Batak saja, tetapi dalam penelitian ini penulis ingin lebih jauh melihat tentang bagaimana pengaruh Punguan Batak pada pemilukada. Penelitian lain yang telah dilakukan dapat digunakan sebagai acauan maupun referensi untuk penelitian ini. Dari beberapa penelitian yang sudah ada, penulis mengambil tiga sampel penelitian dan dua buah buku sebagai sumber referensi untuk penelitian ini. Berikut tiga penelitian terkait Punguan Batak: Pertama dalam penelitian Nova 2013 “Corak Gemeinschaft Punguan Parsahutaon DOS ROHA Dalam Relasi Sosial Masyarakat Batak Perantauan Di Tegal. ” Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terbentuknya Punguan Parsahutaon Dos Roha karena adanya keinginan dari masyarakat Batak perantauan di Mejasem. Di sisi lain, Nova menemukan jika punguan dijadikan sebagai wadah meningkatkan solidaritas sosial antarsesama masyarakat Batak dan untuk memelihara setiap adat istiadat suku Batak. Punguan dalam hal ini diartikan sebagai paguyuban masyarakat Batak dimana masyarakat Batak berkumpul untuk menjalin tali persaudaraan. Dengan demikian, atas dasar satu wilayah di desa Mejasem sebagai masyarakat Batak yang merantau di Tegal maka Punguan Parsahutaon Dos Roha masih terbentuk sampai saat ini. Dalam hal keanggotaan punguan ini hanya dapat diikuti oleh masyarakat Batak yang tinggal di desa Mejasem saja. Dalam relasi sosial yang terjadi, setiap anggota saling membantu untuk menyelenggarakan suatu kegiatan yang telah dibuat. Ketika ada seseorang yang meninggal suatu punguan wajib mempersiapkan segala yang dibutuhkan, selain itu perwakilan dari anggota memberikan ulos kepada keluarga yang berduka. Ulos juga diberikan pada saat ada pernikahan, dimana anggota punguan akan menjadi perwakilan dari Punguan Parsahutaon Dos Roha untuk memberikan ulos. Ulos dikenal juga sebagai salah satu simbol suku adat Batak dimana juga sering digunakan pada tradisi-tradisi Suku Batak. Ulos berarti lambang kehormatan dan juga ibarat pemberi kehangatan bagi sesama dikarenakan daerah di Sumatera kerap mengalami cuaca dingin. Punguan Parsahutaon Dos Roha juga berpartisipasi ketika anggota ada yang sakit dan acara kelahiran anak. Kedua yakni tesis yang dilakukan oleh Sihombing 200 8 “Punguan Parna: Organisasi Perantau Pada Masyarakat Batak Di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah” mengemukakan bahwa pertemuan antarbudaya adalah realita yang sering terjadi di dunia kebudayaan. Suasana kondusif yang ditumbuhkan oleh keragaman budaya bangsa Indonesia dapat melahirkan pertemuan dan interaksi antarbudaya. Perbedaan geografis, sosial dan ekonomi telah memberi kontribusi bagi kelompok masyarakat yang hanya memiliki potensi kecil. Gejala inilah yang akhirnya memunculkan kelompok masyarakat perantau. Mobilitas masyarakat tersebut mengakibatkan telah terjadi sebuah pertemuan dan interaksi antarbudaya yang merupakan realita menarik untuk dicermati. Salah satu contoh yang menglaminya yaitu keberadaan kebudayaan Batak di Indonesia yang berada di perantauan. Kemajemukan etnis dalam suatu daerah di tengah pengaruh era globalisasi membuat pelaksanaan adat mengalami pendangkalan sehingga jika tidak ada solusi untuk mempertahankan budaya ini, maka dapat dipastikan bahwa kebudayaan yang menjadi kebanggaan bagi suku bangsa tersebut lama-kelamaan dapat punah. Punguan Parna dikenal sebagai salah satu komunitas suku Batak yang memiliki keterikatan pada asal usul, hubungan kekerabatan, marga, adat istiadat dan kesatuan keturunan. Pemahaman punguan tersebut diimplementasikan pada setiap aktivitas yang dilakukan dalam punguan. Dengan adanya punguan, para anggota dapat lebih mengenal dan lebih akrab antarsesama keturunan Punguan Parna yang memiliki jumlah marga terbanyak agar dapat mengetahui silsilah keturunan Punguan Parna. Keberadaan suatu punguan sebagai sebuah organisasi etnik di perantauan yang dianggap oleh para ahli sebagai sumber pertahanan untuk kelangsungan hidup di perantauan, tidak menjadi terbentuknya punguan ini. Eksistensi punguan ini dipengaruhi oleh rasa persaudaraan yang tinggi antarsesama keturunan Punguan Parna. Ketiga, penelitian Shinta Romaulina Nainggolan 2011 Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu Pada Masyarakat Batak ”Masyarakat Batak Perantauan di Kabupaten Brebes”. Shinta dalam penelitiannya ingin mengkaji eksistensi adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes serta pelaksanaannya. Dalam penelitiannya Shinta menemukan bahwa masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes masih menjunjung tinggi adat budaya yang mereka miliki mulai dari adat kematian, adat perkawinan, sistem kekerabatan dan falsafah hidup mereka. Masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes juga masih melaksanakan adat budaya Batak yaitu Dalihan Na Tolu dalam setiap kegiatan adat maupun aktivitas sehari-hari. Di sisi lain pada era globalisasi yang semakin maju, keberadaan adat budaya Batak Dalihan Na Tolu di Kabupaten Brebes masih tetap ada, hal ini menunjukkan bahwa Dalihan Na Tolu memiliki peranan besar sebagai falsafah yang tidak akan pernah dapat diubah walaupun jauh di perantauan. Penelitian di atas memiliki beberapa persamaan dengan penelitian ini yaitu berkaitan dengan Punguan Batak. Namun terdapat juga perbedaan yang lebih mendalam dari penelitian di atas, terlihat dari perbedaan punguan yang diteliti oleh Nova yaitu Punguan Parsahutaon DOS ROHA yang berasal dari berbagai keturunan, berbeda dengan Punguan Parna yang hanya memiliki satu garis keturunan. Selain itu terdapat perbedaan pemilihan lokasi penelitian dimana Nova meneliti masyarakat Batak perantauan di daerah Tegal sedangkan penelitian ini lebih memfokuskan pengambilan lokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Sihombing dalam penelitiannya memang sama-sama meneliti Punguan Parna, tetapi Sihombing memilih meneliti Punguan Parna pada masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Semarang-Jawa Tengah, berbeda halnya dengan penelitian ini yang mengambil lokasi di Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Shinta lebih banyak membahas mengenai Eksistensi Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu sebagai falsafah hidup masyarakat Batak perantauan di Kabupaten Brebes serta pelaksanaannya. Penulis juga menggunakan dua buah buku terkait dengan politik identitas. Dua buku ini digunakan penulis sebagai tinjauan pustaka, yaitu: pertama buku yang berjudul Politik Identitas Etnis: Pergulatan Tanda Tanpa Identitas, dari Abdilah 2002. Buku ini memuat tetang pijakan dasar analisis pluralisme, post-modernitas dan globalisasi. Buku ini juga mendeskripsikan lebih jauh tentang politik identitas dalam tahap perkembangannya mulai dari tahap modern sampai tahap post-modern. Selain itu, terdapat penjelasan mengenai realitas keragaman etnis dan pola politik sepanjang sejarah secara umum dalam kajian politik etnis, serta peran etnis untuk menjaga identitasnya di saat terjadi kegoncangan diri secara global dan post-modernisme. Kedua, yakni buku dari Buchari 2014 yang berjudul Kebangkitan Etnis Menuju Politik Identitas. Buku ini menemukan munculnya faktor-faktor politik identitas Etnis Dayak pada pelaksanaan pilkada Gubernur Kalimantan Barat tahun 2007 dan sebuah konsep baru. Konsep itu menjelaskan marginalisasi dan diskriminasi yang dialami oleh suatu etnis sehingga memunculkan politik identitas. Dalam hal ini penulis menggunakan kedua buku tersebut untuk menentukan arah pemikiran terhadap politik identitas. Setelah melihat pembahasan dari tiga penelitian dan dua buku dalam kajian pustaka di atas, dapat diketahui bahwa penelitian semacam ini sudah pernah dikaji oleh peneliti lain. Namun pada penelitian di atas terdapat beberapa perbedaan yang mendalam yaitu jika tiga penelitian di atas hanya membahas keterkaitan Punguan Batak terhadap keadaan lingkungan, berbeda halnya dengan penelitian ini yang mencoba ingin mengetahui pengaruh Punguan Parna pada pemilukada Kabupaten Simalungun tahun 2016. Sementara di Indonesia penelitian mengenai Punguan Batak masih jarang diteliti dan jika dikaitkan dengan pemilukada hal ini menjadikan penelitian penulis memiliki nilai tambah dalam orisinalitas.

2.2 Kerangka Konseptual