REFORMASI HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH MENUJU OTONOMI PENUH

2.1.1. REFORMASI HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH MENUJU OTONOMI PENUH

Ditangah kemelut perekonomian yang bersosok krisis sekarang ini. Tampaknya penanganan oleh pemerintah cenderung meminggirkan aspek kedaerahan. Kelaparan di irian JayaPapua Barat, dampak dari terjadinya kebakaran hutan di berbagai daerah, derita kekeringan rakyat di hampir semua daerah, semuanya seakan terbenam oleh sosok krisis ekonomi yang mulai mencuat pada Juli 1997. Kemerosotan pendapatan Asli Daerah PAD akibat krisis dan pemangkasan 70 jenis pajak dan retribusi Daerah tanpa kompensasi sedikit pun tidak lagi menjadi keprihatinan pemerintah pusat. Elite kekuasaan justru sibuk dengan agenda politik menyongsong sidang Istimewa MPR dan pemilu mendatang di tengah kerisis ekonomi yang semakin terlihat berdimensi politik ini. Hal ini pulalah yang pada gilirannya membuat penanganan krisis tak kunjung tuntas dapat memecahkan akar masalahnya. Tidak berlabihan memang, untuk mengatakan bahwa kita masih digelayuti oleh romantisme masa lalu dengan menyanjung keberhasilan pembangunan ekonomi. Kita telah berkali-kali keluar dari krisis seperti hiper-inflasi, krisis pertamina, dan anjloknya harga minyak di pasaran internasional. Tapi mengapa belakangan ini kebijakan-kebijakan yang ditempuh semakin mandul ? agaknya kegagalan kita untuk membaca perubahan lingkungan eksternal dan internal- lah yang menjadi salah satu penyebab. Lingkungan eksternal jelas telah berubah total. Era perang dingin cold war telah berubah menjadi damai dingin cold peace. Negara-negara barat, khususnya Amerika Serikat, tidak mau lagi mentoleransi praktek-praktek perdagangan dan kebijakan industrial yang merugikan dirinya seperti larangan import, pengenaan bea masuk yang tinggi, subsidi produksi maupun subsidi import, dan sebagainya. Di masa lalu, praktek- praktek demikian ditoleransikan untuk memungkinkan percepatan pembangunan. Karena dengan pembangunanlah kemakmuran rakyat telah ditingkatkan. Kemakmuran pula yang dianggap sebagai obat mujarap untuk melawan komunisme. Perubahan lain yang sangat menyolok adalah perubahan arus financial dari yang didominasi oleh modal swata yang kian banyak berjangka pendek. Tentu saja rasionalitas, tujuan dan aspek-aspek lain dari kedua jenis pergerakan modal ini sangat berbeda sehingga pada gilirannya mempengaruhi perubahan pelaku investor maupun sifat kegiatan ekonomi. Lingkungan internal juga telah sangat berubah. Sebagian akibat dari perubahan pada lingkungan eksternal. Untuk kasus Indonesia, di masa lalu boleh jadi strategi dan kebijakan-kebijakan yang ditempuh cukup memadai untuk mengatasi persoalan- persoalan yang ada kala itu. Program inpres misalnya. Program ini telah berhasil mengembangkan infra struktur perekonomian daerah sampai ketingkat yang terendah. Namun ketika sudah mulai dibangun dan jumlahnya mulai berlebihan, belum ada tindak lanjut untuk mengangkat ekonomi daerah. Boleh dikatakan, kita telah memasuki masa kejenuhan. Tidak ada inisiatif baru untuk memasuki tantangan yang lebih berat lagi. Semuanya sudah serba rutin. Di lain pihak aspirasi masyarakat terus meningkat, sebagai konsekuensi dari hasil pembangunan selama ini. Berkembangnya aspirasi masyarakat yang membawa pada tuntutan untuk labih terlihat dalam proses pengambilan keputusan dalam berbagai bidang dan tingkatan, justru bertentangan dengan kenyataan bahwa sentralisasi pembangunan kian menguat. Faktor ini yang menjadi salah satu penyebab inefisiensi pembangunan dalam bentuk mis-alokasi sumber daya serta kelambanan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan eksternal maupun internal. Per maret 1997 misalnya, dana perbankan yang mengalir dari seluruh daerah ke Jakarta mencapai lebih dari Rp. 22 trilyun. Pakto 88 nyata-nyata telah menyedot dana daerah sehingga makin terjadi proses pengeringan dana di daerah-daerah. Seperti yang terjadi dalam Jamsostek. Jamsostek telah menyedot 16 persen pendapatan pekerja di daerah-daerah ke kantor pusatnya di Jakarta, yang selanjutnya digunakan untuk tujuan yang disetir oleh penguasa di Jakarta, bahkan dikendalikan langsung oleh soeharto ketika masih berkuasa. Lebih parah lagi adalah penerimaan Negara yang 93 persen di kangkangi oleh pemerintah pusat. Pendapatan asli Daerah PAD seluruh Dati I dan Dati II hanya 7 pesen saja keseluruhan penerimaan Negara. Memang selanjutnya pemerintah pusat mengalirkan kembali sebagian penerimaan yang dikelolanya transfer dan bagi hasil pajak. Namun ini hanya mendongkrak penerimaan daerah total menjadi hanya 17 persen saja. Dengan demikian masih jauh dari jiwa otonomi yang digembar-gemborkan oleh pemerintah selama ini. Bila disadari lebih dalam, negari ini sangat luas dan bhineka. Tak akan pernah mungkin format pembangunan diterapkan secara seragam untuk seluruh daerah. Kompleksitas permasalahan satiap daerah sangat beragam dan unik. Orang daerahlah yang pada hakekatnya yang paling memahami permasalahan daerahnya sendiri. Oleh karenanya mereka harus diberi kasempatan kesempatan untuk memberdayakan dirinya sendiri bagi penanganan permasalahan di daerahnya masing- masing. Sudah merupakan kewajiban kita semua untuk meningkatkan kapabilitas dan kapasitas orang daerah untuk mengidentifikasikan persoalan, memformulasikan dan mencari pemecahannya dan bukan sebaliknya dengan tetap mempertahankan format pembangunan seperti sekarang ini dengan dalih orang daerah belum mampu mengemban otonomi yang lebih luas. Kita semua patut prihatin dengan kecenderungan penanganan yang selama ini terlalu terpusat. Kalau hal yang demikian terus akan berlanjut, bukan tidak mungkin potensi permasalahan terbesar yang dihadapi bangsa ini di kemudian hari adalah terjadinya disintergrasi. Salah satu rahmat yang patut disyukuri dari kemerdakaan tidak hanya diisi dengan semboyan-semboyan persatuan, melainkan telah pula diwujudkan dengan kemajuan fisik. Yang telah menggembirakan lagi, semakin muncul kesadaran yang meluas bahwa daerah harus diberdayakan dengan memberikan peluang dan keleluasaan untuk manata dirinya sendiri. Kesedaran tercemin dari tekat pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia KTI. Dalam kaitan ini, mantan Presiden Soeharto berulang kali mengatakan bahwa tiada tempat lagi bagi sentralisasi pembangunan. Ini bukan sekedar tuntutan politis, tapi sudah merupakan tuntutan zaman yang tidak bias lagi dielakkan. Pada akhirnya keberhasilan pembangunan memang akan lebih bermakna jika bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat di tanah air. Namun tampaknya tuntutan bagi peningkatan peran daerah yang lebih besar dan berarti, baru sebatas semboyan. Hingga kini belum ada suatu cetak birublue print di tingkat makro untuk mengurangi kesenjangan antar daerah, sebagaimana juga kesenjangan antar golongan serta antar sektor. Salah satu tantangan pembangunan di masa mendatang yang harus diwaspadai adalah persoalan kesenjangan ini khususnya kesenjangan antar daerah yang mau tak mau barkaitan dengan dua Jenis ketimpangan lainnya. Betapa tidak, di tangah arus globalisasi yang membuat batas-batas Negara kian menipis, mobilitas faktor produksi semakin tinggi, arus informasi yang tidak terbendung, dan kesedaran akan nilai universal yang kian tak terelakan, jusru masih dijumpai berbagai praktek yang menempatkan daerah-daerah administratif sebagai suatu unit setidak-tidaknya sebagai unit ekonomi, yang terpisahkan satu dengan yang lainnya. Cepatnya pembangunan selama separempat abad terakhir, justru masih saja meningkatkan dominasi pusat-pusat pertumbuhan yang telah ada selama ini, terutama Jakarta dan sekitarnya. Sekitar dua per tiga kue nasional dinikmati oleh Jawa dan lebih dari empat per lima bertengger di Kawasan Barat Indonesia. Jika dengan memakai indikator yang paling kasar yaitu produk Domestik Ragional Bruto PDRB kondisi ketimpangan sudah sedemikian parah. Tentu akan lebih timpang lagi jika menggunakan indikator kesejahteraan. Sekalipun demikian, kita lebih perlu berhati-hati untuk memilih Indonesia menjadi dua kawasan KBI dan KTI semata-mata dari besaran PDRB, agar kita tidak kehilangan jejak dalam memahami hakekat permasalahanya. Dalam beberapa tahun terakhir, memang ada kecenderungan pertumbuhan PDRB Kawasan Timur Indonesia KTI sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa dan KBI. Namun nampaknya masih terlalu gegabah bahwa ketimpangan antar daerah semakin membaik. Sebab PDRB hanya mengindikasikan perkembangan penduduk atau output di suatu daerah dan memanafsirkan nilai tambah value added yang dihasilkan dari proses produksi tersebut dinikmati oleh pemilik faktor produksi yang berada di luar daerah yang bersangkutan. Misalnya PT Freeport di IrianPapua sudah pasti sangat sedikit pengaruhnya dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat IrianPapua dibandingkan dengan kekayaan alam yang dieksploitasikan dari sana. Belum lagi jika dihitung kerusakan alam yang ditimbulkan dari eksploitasi emas dan tembaga oleh perusahaan itu. Ini tidak berarti bahwa manfaat yang seharusnya dinikmati oleh setiap daerah harus setara dengan kekayaan alamnya. Namun sebaliknya, teramat naïf untuk terus mempertahankan formasi strategi dan kebijakan pembangunan antar daerah yang berlangsung hingga kini, dengan alasan klise bahwa Indonesia adalah Negara kesatuan. Walaupun sudah dihadapkan pada distribusi hasil- hasil pembangunan yang timpang, ternyata masih juga terjadi pengurasan dana-dana daerah ka pusat. Per maret 1997 misalnya, dana perbankan yang mengalir dari seluruh daerah ke Jakarta mencapai lebih dari Rp. 22 trilyun. Pakto 88 nyata-nyata telah menyedot dana daerah sehingga terjadi proses pengeringan dana di daerah-daerah. Ditambah lagi dengan dan Jamsostek yang telah menyedot belasan persen pendapatan pekerja di daerah-daerah ke kantor pusatnya di Jakarta, yang selanjutnya digunakan untuk tujuan-tujuan yang disetir oleh penguasa di Jakarta, bahkan dikendalikan langsung olah Soeharto kala masih berkuasa. Kembali ke soal ketimpangan pembangunan antar daerah. Bappenas pernah mengeluarkan proyaksi yang menunjukan bahwa dengan terus melaksanakan format pembangunan seperti sekarang, diperkirakan pada akhir PJP II kesenjangan antara Jawa khususnya Jakarta dan luar Jawa akan semakin melebar. Bila demikian maka KTI tetap tidak akan mengalami peningkatan pertumbuhan. Dengan menempuh kebijakan yang lebih memperhatikan hanya sedikit akan membaik. Juga diperkirakan kontribusi PDRB dari propinsi yang kaya sumber daya alam akan merosot tajam, sekalipun pemerintah menempuh kebijakan yang lebih menekankan pada kawasan tertinggal. Hasil proyeksi ini, walaupun masih dalam tahapan “coba-coba” tentu harus mendapat perhatian serius. Jangan sampai muncul kesan bahwa pemerintah pusat akan hanya akan menguras kekayaan alam daerah tanpa diimbangi dangan pengembangan usaha produktif untuk mempertahankan dinamika ekonomi daerah tatkala kekayaan alam mereka kian menipis. Di tengah pergaulan dunia yang semakin tidak mengenal batas Negara sehingga arus informasi tak mungkin dikekang siapa pun, maka bentuk-bentuk ketimpangan antar daerah dalam suatu Negara ataupun Negara bertetangga merupakan potensi yang besar bagi munculnya ketidakpuasan dan rasa ketidakadilan. Jika dibandingkan tingkat PDRB per kapita dengan tingkat konsumsi per kapita propinsi-propinsi di Indonesia dengan di berbagai daerah di Thailand, Filipina, Malaysia, dan Indonesia. Informasi yang diambil dari studi Anne Booth 1992 ini menunjukan betapa tingkat konsumsi per kapita propinsi-propinsi terkaya di Indonesia tergolong yang terendah di Negara-negara tetangganya yang notabene relatif miskin dilihat dari PDRB per kapita-nya.

2.1.2. POTRET HUBUNGAN KEUANGAN PUSAT DAN DAERAH SEJAK BERLAKUNYA OTDA