Pemeringkatan Daerah dalam Pembangunan Koperasi.compressed

(1)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

"

8

8

8

8

47"-10

47"-10

47"-10

47"-10&&&&

Isu strategis pembangunan koperasi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi pembangunan koperasi tergantung pada partisipasi aktif berbagai pihak, yaitu kalangan koperasi sendiri, dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat. Pada sisi lain bagaimana membangun pemahaman yang sama tentang tujuan, sasaran, dan pengukuran serta kriteria penilaian keberhasilan pembangunan itu. Membangun pemahaman yang sama sampai saat ini masih belum merata dan meluas. Hal tersebut potensial mengakibatkan tidak optimalnya dukungan pihak terkait dan tidak terjadi sinergi positif dalam pemberdayaan koperasi. Karena itu perlu dibangun suatu instrumen yang dapat mempengaruhi sejauhmana kemajuan yang diperlukan sesuai yang diharapkan. Kiat dimaksud diharapkan akan mempermudah bagi siapapun yang memiliki kepedulian dalam pembangunan koperasi, khususnya dari pemerintah, untuk mengetahui kondisi koperasi, mengukur kemajuan ataupun kekurangan untuk disempurnakan.

Dalam rangka menumbuhkembangkan semangat kompetisi masing-masing daerah untuk membangun ekonomi rakyat melalui koperasi, perlu diadakan pemeringkatan daerah yang menggambarkan kinerja sekaligus komitmen dari Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam semangat otonomi daerah. Upaya pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi belum pernah ada. Sebelum diimplementasikan secara luas untuk seluruh daerah (propinsi, kabupaten, dan kota), diperlukan kajian khusus baik secara studi literatur, kunjungan lapangan, maupun diskusi dengan para pakar dan praktisi koperasi. Diharapkan kegiatan ini akan menambah semangat persaingan antar daerah dalam membangun ekonomi rakyat melalui koperasi. Selain itu juga untuk memperlancar koordinasi antara pusat dengan daerah.

Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah selama ini hanya pada tataran mikro koperasi sebagai dunia usaha. Program tersebut hanya mampu memberikan atribut terhadap koperasi dalam rangka memperoleh penghargaan yang diterima setiap kejadian perayaan Hari Koperasi pada bulan Juli. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lebih pada kontes pemilihan koperasi terbaik pada waktu tertentu. Daerah sangat pasif dan kurang ada upaya kreatif dimana Kepala Daerah memberikan perhatian sekedar untuk memperoleh penghargaan. Situasi itu didukung oleh sistem karena pada masa itu sistem pemerintahan sentralistik. Upaya tersebut belum mampu menggambarkan secara komprehensif pembangunan koperasi terkait dengan pembangunan ekonomi regional yang mencerminkan semangat kompetisi.

Sejalan dengan era reformasi dan globalisasi, mencari jawaban atas permasalahan di atas merupakan bagian dari perubahan proses pembangunan berdasarkan otonomi daerah. Kepala Daerah diberikan kewenangan yang besar dalam pembangunan dengan pelimpahan urusan pembangunan termasuk koperasi, sehingga Kepala Daerah juga harus ikut bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan koperasi. Bagaimana model dan indikator pembangunan koperasi yang terintegrasi dengan pembangunan daerah dan nasional menjadi permasalahan yang perlu dipecahkan melalui studi ini.

Tujuan dari penelitian ini adalah menemukenali indikator-indikator penilaian dalam pembangunan daerah dalam bidang perkoperasian dan merumuskan model pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi. Manfaat studi ini adalah sebagai bahan masukan untuk pemeringkatan beberapa daerah dalam pembangunan koperasi, memotivasi Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan dalam pembangunan koperasi. dan meningkatkan semangat kompetisi antar daerah dalam pembangunan koperasi.

Lingkup kegiatan dikaitkan dengan lokasi maka sesuai dengan perumusan dan penetapan indikator dan bobotnya, akan dilakukan dua tahapan operasional kegiatan. Tahap Pertama adalah menjaring, menentukan, dan menetapkan indikator dan bobot indikator dengan cara Focus Group Discussion (FGD) yang dilaksanakan di Jakarta. Para pemangku kepentingan dari sisi swasta adalah gerakan koperasi, pengamat pembangunan dan koperasi, akademisi, dan Kadin yang membidangi UKM, dan dari pihak pemerintah adalah birokrat yang terkait langsung dengan pembangunan koperasi. FGD menghasilkan


(2)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

""

bobot indikator. Metode pembobotan dilakukan dengan metode Delphi. Tahap kedua adalah tahap survey. Survey mengumpulkan data dilaksanakan di 5 (lima) propinsi sebagai sampel uji sahih. Pengumpulan data dan informasi dilakukan di masing-masing iibukota propinsi. Survey menghasilkan data untuk menentukan parameter dan indeks indikator. Lokasi studi sebanyak lima propinsi, yakni Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bali, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Barat.

Sebagai upaya untuk mengetahui posisi daerah, studi pemeringkatan daerah ini mencakup beberapa prinsip yaitu : (1) hubungan integratif, adanya hubungan integratif antara pembangunan koperasi daerah dengan nasional, pembangunan daerah dengan pembangunan nasional, pembangunan koperasi dengan pembangunan daerah dan nasional, (2) transparansi dan obyektifitas, tranparansi dan obyektifitas dalam assesment pemeringkatan, dengan pengertian bahwa dilakukan secara terbuka, jelas, rasional, dan dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dalam pengukuran indikator, (3) berbasis daerah, produk pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi berbasis daerah, artinya, proses dan hasilnya merupakan kepentingan daerah, gerakan koperasi, dan masyarakat setempat dan (4) tidak bersifat tetap, tingkat peringkat dari satu daerah tidak bersifat tetap, melainkan dapat berubah sesuai dengan perkembangannya, karena peringkat suatu daerah akan ditentukan oleh kinerja daerah itu sendiri dan (5) terukur, upaya pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi juga dimaksudkan sebagai alat monitoring dan evaluasi. Prinsip dasar dalam monitoring dan evaluasi adalah keterukuran setiap indikator. Oleh karena itu indikator dalam pemeringkatan ini harus terukur (measurable).

Kesimpulan dari studi ini adalah sebagai berikut :

1. Indikator daerah dalam pembangunan koperasi mencakup 3 (tiga) kelompok indikator, yaitu indikator kelembagaan koperasi, indikator usaha, dan indikator peran pemerintah dan pembangunan wilayah. Indikator berjumlah 18 yaitu : (1) Jumlah koperasi, (2) Jumlah anggota koperasi, (3) Kualitas koperasi, yang terdiri atas : (a) koperasi aktif, (b) pelaksanaan RAT, (c) koperasi penerima penghargaan, dan (d) koperasi klasifikasi, (4) Peningkatan kualitas sumberdaya manusia koperasi, (5) Volume usaha (output) koperasi, (6) Permodalan koperasi, (7) Tabungan / simpanan anggota koperasi, (8) Investasi koperasi, (9) Asset koperasi, (10) Ekspor koperasi, (11) Kredit perbankan untuk koperasi, (12) Sisa Hasil Usaha (SHU), (13) Dana perkuatan untuk koperasi, (14) Dana dekonsentrasi untuk pembangunan koperasi, (15) Anggaran pembangunan koperasi daerah, (16) Penyerapan tenagakerja koperasi, (17) Nilai tambah koperasi, (18) Pembayaran pajak koperasi.

2. Indikator yang termasuk dalam bobot lima besar teratas adalah kualitas koperasi, anggaran pembangunan koperasi daerah, peningkatan kualitas SDM, volume usaha, dan jumlah koperasi. Sedangkan indikator yang termasuk dalam lima besar terbawah adalah ekspor koperasi, pajak koperasi, SHU, kredit koperasi, dan asset koperasi. 3. Indikator-indikator yang dihasilkan dalam studi ini sangat memadai untuk menjelaskan

performa daerah dalam pembangunan koperasi, karena indikator tersebut mewakili koperasi, pembangunan wilayah dan nasional.

4. Model untuk analisis pemeringkatan disebut sebagai Cooperative Development Regional Performance (CDRP). Model ini sangat memadai untuk menjelaskan pemeringkatan karena menggunakan metode indeks yang merangkum berbagai indikator yang berbeda jenis dan menginteraksikan performa koperasi (Regional Cooperative Size / RCS) dengan pembangunan wilayah dan nasional (Regional Development Size / RDS) secara integratif. Untuk menentukan rating dan peringkat digunakan Cooperative Index of CDRP (CICDRP).

5. RCS yang tinggi pada sebuah propinsi belum tentu menunjukkan kemampuan propinsi dalam pembangunan koperasi, karena masih sangat tergantung pada kemampuan ekonomi propinsi tersebut (RDS). Dalam kasus ini ditunjukkan oleh Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan antara lain jumlah koperasi.


(3)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

"""

6. Dari uji sahih penerapan model diperoleh peringkat propinsi sampel dalam

pembangunan koperasi pada tahun 2006 secara berturut-turut adalah : (1) Bali, (2)! Sulawesi Selatan, (3) NTB, (4) Sumatera Barat, (5) Sumatera Utara. Bali dan Sulawesi Selatan selalu berada pada posisi peringkat teratas selama tahun 2004 – 2006. 7. Dari uji sahih penerapan model CDRP, Propinsi Bali pada umumnya menunjukkan

performa baik.

8. Persediaan data sangat terbatas untuk analisis secara komprehensif berdasarkan model CDRP. Data yang tidak tersedia dan belum menjadi bagian dari statistik pembangunan koperasi dan wilayah adalah : (1) Pembiayaan pendidikan koperasi, (2) Investasi koperasi, (3) Asset dunia usaha propinsi dan nasional, (4) Ekspor koperasi, (5) Kredit perbankan untuk koperasi, (6) Dana perkuatan/bergulir, (7) Dana dekonsentrasi, (8) Nilai tambah koperasi, (9) Pembayaran pajak koperasi.

9. Pemeringkatan ini dapat berguna dalam penetapan kebijakan pemerintah pusat dan daerah untuk periode berikutnya. Juga sekaligus dapat memberikan potret kepemimpinan daerah baik pihak eksekutif maupun legislatif daerah yang bersangkutan.

Rekomendasi yang perlu mendapat perhatian adalah sebagai berikut :

1. Indikator dan model CDRP yang dihasilkan pada studi ini dapat digunakan untuk memeringkat seluruh propinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia.

2. Untuk meningkatkan posisi daerah dalam pembangunan koperasi, pemerintah pusat dan daerah perlu memperhatikan indikator yang bernilai rendah.

3. Dalam rangka pemeringkatan daerah (propinsi, kabupaten, dan kota) dalam pembangunan koperasi sebaiknya menggunakan model CDRP.

4. Pemerintah Pusat dan setiap Pemerintah Daerah (Kementerian Negara KUKM, Dinas-dinas KUKM, BPS Daerah dan Pusat) sebaiknya menampilkan statistik pembangunan koperasi sesuai dengan indikator-indikator pemeringkatan ini. Dalam rangka ini, Menteri Negara KUKM mengeluarkan kebijakan dalam bentuk Peraturan Menteri Negara KUKM (Permen KUKM).

5. Untuk mengetahui sejauhmana posisi masing-masing daerah dalam pembangunan koperasi dan meningkatkan semangat berkompetisi dan dayasaing dalam era globalisasi, sebaiknya dilaksanakan kegiatan pemeringkatan daerah (propinsi, kabupaten, kota) setiap tahun.

6. Untuk menjaga independensi dan obyektifitas, pelaksana pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi sebaiknya oleh lembaga independen yang mempunyai kompetensi dalam bidang assessment/rating.

7. Perlu dilakukan sosialisasi kepada masing-masing stakeholder baik tingkat pusat maupun tingkat daerah.

8. Perlu dilakukan pelatihan kepada petugas yang terkait dengan implementasi pemeringkatan baik dari unsur pemerintah tingkat pusat maupun daerah.


(4)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

"#

5

5

5

5

1"1&

1"1&

1"1&

1"1&

+

+

+

+

)./1."1-

)./1."1-

)./1."1-

)./1."1-&&&&

Membangun koperasi merupakan suatu proses pembelajaran yang berkelanjutan dan berulang sejalan dengan adanya pergantian generasi, waktu, pertambahan jumlah penduduk, dan perkembangan dinamis berbagai aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat. Dengan perkembangan yang terjadi maka pembangunan koperasi harus mampu menjawab tantangan jaman dan tidak monopoli pemerintah. Telah terjadi suatu perubahan sistem bahwa pemerintah tingkat propinsi, kota, dan kabupaten sangat berperan saat ini. Meskipun semangat desentralisasi dijalankan, namun pemberdayaan masyarakat menjadi hal yang penting dan prioritas. Dalam hal ini untuk pengembangan dan pertumbuhan, semestinya koperasi sendiri yang harus didorong untuk secara aktif membangun dirinya. Hal ini tidak berarti, bahwa pemerintah tidak campur tangan, akan tetapi tetap sangat diperlukan untuk menciptakan iklim kondusif yang dibutuhkan dan mendorong serta menggalang partisipasi positif pihak terkait dalam membangun koperasi. Isu strategis pembangunan koperasi adalah bagaimana mewujudkan koperasi sebagai tulang punggung perekonomian rakyat.

Sejalan dengan otonomi daerah, tercipta kondisi yang memungkinkan kompetisi antar daerah dalam pembangunan daerah. Kompetisi sangat tergantung pada pasar, yang ditunjukkan oleh sisi supply dan demand. Sejauhmana suatu daerah mampu berkompetisi dengan daerah lain sangat tergantung pada kemampuan meningkatkan efisiensi dan peluang pasar. Peringkat (rating dan ranking) adalah salah satu instrumen yang dapat menjelaskan sejauhmana posisi suatu daerah dalam kompetisi sekaligus juga sebagai penghargaan atas pendelegasian kewenangan ke daerah dalam lapangan perkoperasian. Berbagai pemeringkatan telah dikeluarkan oleh lembaga-lembaga nasional dan internasional baik terhadap negara maupun dunia usaha, seperti IMD mengeluarkan peringkat daya saing negara, Transparency International mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi negara, UNDP mengeluarkan peringkat negara dalam pembangunan sumberdaya manusia, dan Standard dan Poor mengeluarkan rating membayar utang luar negeri negara. Hasil pemeringkatan ini sangat mempengaruhi negara-negara dalam membangun hubungan dan perekonomian. Akibatnya, banyak negara menerima hasil pemeringkatan untuk memperbaiki kondisi domestiknya menghadapi globalisasi dengan mengevaluasi kembali rencana strategis pembangunan.

Pembangunan daerah dalam bidang koperasi juga tidak terlepas dari proses menyeluruh pembangunan daerah. Sampai seberapa jauh posisi daerah dalam pembangunan koperasi sangat pantas diketahui dalam era global dan kompetitif dewasa ini. Daerah masih belum sepenuhnya memiliki pemahaman yang sama tentang tujuan,


(5)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

#

sasaran, dan pengukuran serta kriteria pembangunan koperasi. Hal tersebut potensial mengakibatkan tidak optimalnya dukungan pihak terkait dan tidak terjadi sinergi positif dalam pemberdayaan koperasi. Karena itu perlu dibangun suatu instrumen yang dapat mempengaruhi sejauh mana kemajuan yang diperlukan sesuai yang diharapkan. Kiat dimaksud diharapkan akan mempermudah Pemerintah Daerah dan siapapun yang memiliki kepedulian dalam pembangunan koperasi untuk mengukur kemajuan dan kekurangan pembangunan koperasi.

Hasil kajian ini menyajikan temuan yang merupakan sebuah proses dan hasil pemeringkatan daerah dalam permbangunan koperasi. Hasil kajian ini dapat digunakan sebagai sebuah metode yang ilmiah dan diterapkan secara luas pada semua propinsi, kabupaten, dan kota. Hasil pemeringkatan propinsi sampel pada studi ini juga kiranya dapat mendorong berbagai pihak untuk melakukan perbaikan dan pembangunan koperasi yang lebih maju. Kami memahami bahwa pendekatan secara team work adalah kunci keberhasilan dalam pembangunan koperasi ke depan. Masukan yang konstruktif dari para pemangku kepentingan telah terangkum guna penyempurnaan laporan akhir ini.

Atas terselesaikannya kajian ini, tidak lupa kami ucapkan terimakasih kepada Tim Kementerian Negara Koperasi dan UKM, yang dikoordinir oleh Sdr. Hasanuddin A. Gani, SIP, MM dan Sdr. Slamet Subandi, S.Sos, MM dengan narasumber Dr. Johnny W. Situmorang bekerjasama dengan pihak ketiga yaitu PT. Shidiq Sarana Mulya. Diharapkan karya ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak sebagai bahan untuk perumusan pemberdayaan koperasi di daerah.

Jakarta, Nopember 2007 Asdep Urusan Penelitian Koperasi

Dr. Ir. Pariaman Sinaga, MM

!!


(6)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

"#

2

2

2

2

18"1-&

18"1-&

18"1-&

18"1-&

9999

7%

7%

7%

7%&&&&

Halaman

Abstrak ... i

Kata Pengantar ... iv

Daftar Isi ... vi

Daftar Tabel ... viii

Daftar Gambar ... ix

Daftar Lampiran ... x

!

Bab I. Pendahuluan ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan dan Manfaat ... 4

1.3.1. Tujuan Studi ... 5

1.3.2. Manfaat Studi ... 5

1.4. Sasaran dan Output ... 5

Bab II. Kerangka Pikir dan Ruang Lingkup Studi ... 6

2.1. Kerangka Pikir ... 6

2.1.1. Konsepsi Model ... 6

2.1.2. Kerangka Pembangunan Wilayah ... 8

2.1.2.1. Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Wilayah ... 8

2.1.2.2. Model Pembangunan Ekonomi Wilayah 22

2.1.2.3. Strategi Pembangunan Ekonomi Wilayah 25 2.1.3. Kerangka Pembangunan Koperasi ... 28

2.1.3.1. Ciri dan Prinsip Koperasi ... 28

2.1.3.2. Tinjauan Kebijakan ... 29

2.1.4. Pilihan Model Pembangunan Koperasi dan Wilayah 30

2.1.5. Tinjauan Arti Penting Pemeringkatan ... 32

2.2. Ruang Lingkup ... 33

Bab III. Metode Studi ... 35

3.1. Jenis Studi ... 35

3.2. Lokasi Studi ... 35

3.3. Jenis dan Sumber Data ... 35

3.4. Metode Studi ... 35

3.5. Indikator Pembangunan ... 36

3.6. Prinsip Pemeringkatan Daerah ... 36

3.6.1. Hubungan Integral ... 37

3.6.2. Transparansi dan Obyektifitas ... 37

3.6.3. Berbasis Daerah ... 37

3.6.4. Tidak Bersifat Tetap ... 37

3.6.5. Terukur ... 37

3.7. Mekanisme Pelaksanaan ... 37

3.7.1. Tahap Persiapan ... 37

3.7.2. Tahap Survei ... 41

3.7.3. Tahap Uji Coba ... 41

3.7.4. Tahap Analisis san Evaluasi ... 41

3.8. Proses Penyelesaian Studi ... 41

3.8.1. Studi Kepustakaan ... 41


(7)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

"##

3.8.3. Temu Pakar ... 42

3.8.4. Focus Group Discussion (FGD) ... 42

3.8.5. Uji Sahih ... 42

Bab IV. Gambaran Umum ... 43

4.1. Perkembangan Koperasi Nasional ... 43

4.2. Perkembangan Koperasi Propinsi Sampel ... 46

Bab V. Hasil dan Pembahasan ... 48

5.1. Proses Perumusan Indikator ... 48

5.1.1. Studi Kepustakaan ... 48

5.1.2. Temu Pakar ... 50

5.1.3. Focus Group Discussion (FGD) ... 52

5.2. Perumusan Model ... 53

5.3. Uji Sahih Pemeringkatan Propinsi Sampel ... 63

5.3.1. Pembobotan Indikator ... 63

5.3.2. Parameter Indikator Koperasi, Regional, dan Nasional serta Kendala Data ... 66

5.3.3. Uji Model Pemeringkatan ... 71

5.3.3.1. Regional Cooperative Size (RCS) dan Regional Development Size (RDS) ... 71

5.3.3.2. Performa regional Pembangunan Koperasi : Kasus 5 Pripinsi ... 77

5.3.3.3. Composite Index of Cooperative Development Regional Performance (CICDRP) ... 85

Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi ... 87

6.1. Kesimpulan ... 87

6.2. Rekomendasi ... 89

DAFTAR PUSTAKA ... 90


(8)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

viii

2

2

2

2

18"1-&

18"1-&

18"1-&

18"1-&

9

9

9

914)*

14)*

14)*

14)*&&&&

&

Tabel 1. Keragaan Umum Koperasi Berdasarkan Propinsi, Tahun 2005 ... 44

Tabel 2. Perkembangan Umum Koperasi Berdasarkan Beberapa Indikator Per Propinsi, Tahun 2004-2005 ... 45

Tabel 3. Perkembangan Koperasi pada Propinsi Sampel, Tahun 2004-2006 47 Tabel 4. Indikator Hasil Studi Kepustakaan ... 49

Tabel 5. Indikator setelah Pertemuan dengan Pakar ... 51

Tabel 6. Indikator Hasil FGD ... 53

Tabel 7. Bobot Indikator Hasil FGD ... 64

Tabel 8. Parameter Indikator Koperasi, Regional, dan Nasional, Tahun 2004-2006 ... 67

Tabel 9. Regional Cooperative Size (RCS) dan Regional Development Size (RDS) Propinsi Sampel Menurut Indikator, Tahun 2004-2006 ... 72

Tabel 10. Performa Propinsi Menurut Jenis Indikator Berdasarkan Regional Cooperative Development Performance (RCDP), Tahun 2004-2006 ... 78

Tabel 11. Indikator Berperforma Baik dan Tidak Baik pada Propinsi Sampel, Tahun 2006 ... 83

Tabel 12. Rating dan Peringkat Propinsi dalam Pembangunan Koperasi Menurut CICDRP, Tahun 2004-2006 ... 85


(9)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

ix

2

2

2

2

18"1-&

18"1-&

18"1-&

18"1-&

9

9

9

9

1,41-

1,41-

1,41-

1,41-&&&&

&

Gambar 1. Peran Model dalam Pengambilan Keputusan ... 7

Gambar 2. Penghematan Lokalisasi Tiga Pabrik Tekstil ... 19

Gambar 3. Struktur Pelayanan antar Pusat Perdagangan ... 20

Gambar 4. Model Kerangka Pikir Pembangunan Koperasi ... 31

Gambar 5. Model Kerangka Pikir Pembangunan Wilayah ... 31

Gambar 6. Mekanisme Pelaksanaan Studi Model Pemeringkatan Daerah dalam Pembangunan Koperasi ... 40

Gambar 7. Integrasi Indikator-indikator Utama Pembangunan Wilayah dan Pembangunan Koperasi ... 49

Gambar 8. Dsitribusi Bobot Masing-masing Indikator ... 66


(10)

(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

x

2

2

2

2

18"1-&

18"1-&

18"1-&

18"1-&

9

9

9

9

1,6%-1.

1,6%-1.&&&&

1,6%-1.

1,6%-1.

&

Lampiran 1. Indikator dan Arti Pentingnya ... 93

Lampiran 2. Langkah-langkah Merumuskan Indikator ... 98

Lampiran 3. Daftar Peserta FGD ... 97


(11)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

"

8888

9

9

9

9

14&:&

14&:&&&&&

14&:&

14&:&

+

+

+

+

).$13#*#1.&

).$13#*#1.&&&&&

).$13#*#1.&

).$13#*#1.&

1.1. Latar Belakang

Membangun koperasi merupakan suatu proses pembelajaran yang berkelanjutan dan berulang sejalan dengan adanya pergantian generasi, pertambahan jumlah penduduk, dan perkembangan dinamis berbagai aspek kehidupan yang ada dalam masyarakat. Ini berarti dari waktu ke waktu koperasi perlu dibangun, dievaluasi perkembangannya, dan dilakukan perbaikan dalam pembinaannya. Pembangunan koperasi yang merupakan sebuah proses tidak dapat dipisahkan dari pembangunan wilayah atau daerah sesuai semangat desentralisasi dan otonomi daerah yang kini terus bergulir. Dalam semangat desentralisasi dan otonomi daerah peran pemerintah pada tingkat propinsi, kota, dan kabupaten menjadi sangat penting. Namun ini tidak berarti bahwa pembangunan koperasi harus menjadi monopoli pemerintah.

Dalam membangun koperasi pendekatan pemberdayaan masyarakat menjadi prioritas. Pemberdayaan ditujukan untuk mengembangkan dan menumbuhkan koperasi dimana koperasi sendiri yang harus didorong untuk secara aktif membangun dirinya. Hal ini tidak berarti pemerintah tidak perlu campur tangan, melainkan campur tangan pemerintah tetap sangat diperlukan untuk menciptakan iklim kondusif yang dibutuhkan oleh koperasi dan mendorong serta menggalang partisipasi positif pihak terkait dalam membangun koperasi.

Isu strategis pembangunan koperasi dapat dilihat dari dua sisi. Pada satu sisi pembangunan koperasi tergantung pada partisipasi aktif berbagai pihak, yaitu kalangan koperasi sendiri, dunia usaha, pemerintah, dan masyarakat. Pada sisi lain bagaimana membangun pemahaman yang sama tentang tujuan, sasaran, dan pengukuran serta kriteria penilaian keberhasilan pembangunan itu. Membangun pemahaman yang sama sampai saat ini masih belum merata dan meluas. Hal tersebut potensial mengakibatkan tidak optimalnya dukungan pihak terkait dan tidak terjadi sinergi positif dalam pemberdayaan koperasi. Karena itu perlu dibangun suatu instrumen yang dapat mempengaruhi sejauhmana kemajuan yang diperlukan sesuai yang diharapkan. Kiat dimaksud diharapkan akan mempermudah bagi siapapun yang memiliki kepedulian dalam pembangunan koperasi, khususnya dari pemerintah, untuk mengetahui kondisi koperasi, mengukur kemajuan ataupun kekurangan untuk disempurnakan.


(12)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

#

Sejalan dengan kebijakan Otonomi Daerah, sejak tahun 1998 Pemerintah Pusat telah mendelegasikan kewenangan pengelolaan kepada daerah, kecuali urusan agama, pertahanan, keuangan, luar negeri, dan kehakiman, sebagaimana tercantum di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu urusan pemerintahan yang telah dilimpahkan adalah pemberdayaan koperasi yang diharapkan dapat menjadi penggerak ekonomi rakyat di daerah. Sebagai perwujudan dari kepedulian terhadap perkembangan dan pembinaan koperasi, pemerintah terus berupaya untuk merumuskan kebijakan yang tepat dan dapat dengan mudah diterapkan seiring dengan era otonomi yang terus digulirkan. Langkah nyata yang saat ini tengah diupayakan oleh pemerintah adalah pengembangan koperasi yang mampu meningkatkan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja, dan kemandirian. Langkah ini memiliki beberapa keunggulan antara lain lebih fokusnya kebijakan yang diambil, lebih terarahnya distribusi informasi, serta tingkat kompetisi dan efisiensi yang tinggi dari pelaku usaha dan antar daerah.

Selama ini, secara statistik telah terlihat perkembangan koperasi secara lokal, regional, dan nasional. Menurut Kementerian Koperasi dan UKM bahwa sebaran koperasi telah menyeluruh pada 33 propinsi dan 440 kabupaten/kota pada tahun 2006. Dari 138.411 jumlah koperasi terdapat 27.042.342 orang anggota koperasi, 29.207 orang manajer, dan 278.441 orang karyawan. Memperhatikan data tersebut, tampaknya tidak ada masalah dengan kehadiran koperasi karena secara kuantitas kehadiran koperasi cukup tinggi. Namun pada sisi lain, dalam pembangunan daerah belum mencerminkan peran sentral koperasi. Jumlah orang miskin di Indonesia masih sangat banyak mencapai lebih dari 37 juta orang, dan posisi daerah dalam konteks keterkaitan pembangunan koperasi dengan daerah dan nasional belum terlihat. Misalnya, apakah daerah di Jawa yang relatif secara nasional berada pada posisi lebih baik dengan daerah luar Jawa sepadan dengan kemampuannya mengembangkan koperasi di daerah masing-masing ?

Dalam rangka menumbuh-kembangkan semangat kompetisi masing-masing daerah untuk membangun ekonomi rakyat melalui koperasi, perlu diadakan pemeringkatan daerah yang menggambarkan kinerja sekaligus komitmen dari Pemerintah Daerah untuk pemberdayaan Koperasi dan UKM dalam semangat otonomi daerah. Upaya pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi belum pernah ada. Sebelum diimplementasikan secara luas untuk seluruh daerah (propinsi, kabupaten, dan kota), diperlukan kajian khusus baik secara studi literatur, kunjungan lapangan, maupun diskusi dengan para pakar dan praktisi koperasi. Diharapkan kegiatan ini akan menambah semangat persaingan antar daerah dalam membangun ekonomi rakyat melalui koperasi. Selain itu juga untuk memperlancar koordinasi antara pusat dengan daerah.

Kementerian Koperasi dan UKM (KUKM) melalui Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya KUKM, khususnya Asisten Deputi Urusan Penelitian Koperasi, pada tahun


(13)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

$

2007 mempunyai kegiatan studi pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi. Studi ini merupakan gagasan awal mencari model yang cocok untuk pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi. Kajian ini merupakan hasil dari studi tersebut yang merupakan jawaban atas permasalahan studi menyangkut pemeringkatan.

1.2. Rumusan Masalah

Fungsi dan peran koperasi sebagaimana Undang-Undang nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian adalah membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. Tentu saja dalam konteks pembangunan wilayah fungsi dan peran koperasi itu tidak lain ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota koperasi dan masyarakat lokal. Sementara itu dengan adanya kebijakan Otonomi Daerah, terbuka peluang bagi pemberdayaan koperasi secara lebih baik sehingga sebutan koperasi sebagai penggerak ekonomi rakyat di daerah diharapkan benar-benar akan terwujud. Bilamana fungsi dan peran koperasi yang dicita-citakan pada satu sisi dan pemberdayaan koperasi melalui kebijakan Otonomi Daerah terlaksana dengan tepat pada sisi lainnya maka akan ada sinergis dimana koperasi memberikan kontribusi besar dalam pembangunan wilayah.

Menindaklanjuti hal di atas telah ada program-program pemerintah untuk membangun swadaya masyarakat dalam perkoperasian, antara lain peningkatan kualitas sumbedaya manusia, penciptaan iklim kondusif, bantuan langsung, dan perkreditan. Dalam konteks pembangunan wilayah, program pemerintah dimaksud semestinya dilaksanakan secara transparan, penuh kompetisi, dan berorientasi masyarakat, sehingga menghasilkan koperasi yang tumbuh dan berperan secara mikro dan makro. Sebagai wujud nyata peran koperasi dalam pembangunan wilayah, indikator dan variabel harus terlihat jelas dan terukur sehingga dapat digunakan untuk menunjukkan performa koperasi dalam pembangunan wilayah.

Pada uraian latar belakang keberadaan koperasi dengan mengacu pada statistik koperasi, secara kuantitas berdasarkan beberapa indikator telah menunjukkan performa cukup baik karena daerah (kabupaten/kota) rata-rata telah mempunyai 314 unit koperasi dengan anggota koperasi sebanyak 61.460 orang, manajer 66 orang, dan karyawan koperasi sebanyak 633 orang. Berdasarkan propinsi, rata-rata propinsi memiliki 4.194 unit koperasi dengan anggota koperasi sebanyak 819.465 orang, 885 orang manajer, dan 8.438 orang karyawan koperasi. Berbagai pertanyaan muncul dari performa koperasi secara regional. Apakah angka-angka di atas cukup menjelaskan bahwa pembangunan koperasi sudah baik ? Bagaimana melihat performa daerah dalam pembangunan koperasi ? Hal


(14)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

%

inilah yang menjadi persoalan yang membutuhkan analisis lebih dalam.

Berbagai cara telah dilakukan oleh pemerintah dalam upaya mengetahui performa pembangunan koperasi. Pada awal pengenalan KUD awal tahun 1980-an pemerintah telah menetapkan kriteria KUD Model dan Klasifikasi Koperasi. Kemudian pada awal tahun 1990-an perg1990-anti1990-an Menteri y1990-ang men1990-ang1990-ani pemb1990-angun1990-an koperasi juga mengg1990-anti program pembangunan koperasi dengan mengeluarkan kebijakan KUD dan Koperasi Mandiri. Upaya pada era Orde Baru tersebut ternyata tidak menunjukkan kualitas koperasi yang sebenarnya. Pada era reformasi pemerintah juga mengeluarkan kebijakan yang menghasilkan Program Klasifikasi Koperasi yang sampai saat ini masih berlaku dan penetapan koperasi terbaik.

Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut hanya pada tataran mikro koperasi sebagai dunia usaha. Program tersebut hanya mampu memberikan atribut terhadap koperasi dalam rangka memperoleh penghargaan yang diterima setiap kejadian perayaan Hari Koperasi pada bulan Juli. Upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah lebih pada kontes pemilihan koperasi terbaik pada waktu tertentu. Daerah sangat pasif dan kurang ada upaya kreatif dimana Kepala Daerah memberikan perhatian sekedar untuk memperoleh penghargaan. Situasi itu didukung oleh sistem karena pada masa itu sistem pemerintahan sentralistik. Upaya tersebut belum mampu menggambarkan secara komprehensif pembangunan koperasi terkait dengan pembangunan ekonomi regional yang mencerminkan semangat kompetisi.

Sejalan dengan era reformasi dan globalisasi, mencari jawaban atas permasalahan di atas merupakan bagian dari perubahan proses pembangunan berdasarkan otonomi daerah. Kepala Daerah diberikan kewenangan yang besar dalam pembangunan dengan pelimpahan urusan pembangunan termasuk koperasi, sehingga Kepala Daerah juga harus ikut bertanggungjawab terhadap keberhasilan pembangunan koperasi. Bagaimana model dan indikator pembangunan koperasi yang terintegrasi dengan pembangunan daerah dan nasional menjadi permasalahan yang perlu dipecahkan melalui studi ini.

1.3. Tujuan dan Manfaat

Sesuai latar belakang dan rumusan masalah di atas, tujuan dan manfaat dari studi ini adalah sebagai berikut :


(15)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&

Tujuan Studi

1. Menemukenali indikator-indikator penilaian dalam pembangunan daerah dalam bidang perkoperasian.

2. Merumuskan model pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi.

Manfaat Studi

1. Sebagai bahan masukan untuk pemeringkatan beberapa daerah dalam pembangunan koperasi.

2. Memotivasi Pemerintah Daerah dan pemangku kepentingan dalam pembangunan koperasi.

3. Meningkatkan semangat kompetisi antar daerah dalam pembangunan koperasi.

Sasaran dan Output

Sasaran kualitatif dari kegiatan ini adalah terdapatnya hasil studi tentang model pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi. Adapun sasaran kuantitatif adalah terdapatnya informasi mengenai indikator, model, dan mekanisme pemeringkatan yang mencakup 5 (lima) propinsi sampel. Output studi ini adalah tersusunnya buku hasil studi model pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi.


(16)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

"

8

8

8

8

14&99&&

14&99&&

14&99&&

14&99&&

5

5

5

5

)-1./01&

)-1./01&

)-1./01&

)-1./01&

+

+

+

+

%0%-&$1.

%0%-&$1.

%0%-&$1.

%0%-&$1.&&&&

&&&&

:

:

:

:

#1./&

#1./&

#1./&

#1./&

;

;

;

;

%./0#6&

%./0#6&

%./0#6&

%./0#6&

!!!!

"#$%

"#$%

"#$%

"#$%&&&&

2.1. Kerangka Pikir

Empat komponen utama dalam penyusunan kerangka pikir studi ini adalah (1) konsepsi model, (2) kerangka pembangunan wilayah, (3) kerangka pembangunan koperasi yang merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan wilayah, dan (4) formulasi model integratif pembangunan koperasi dengan wilayah. Secara teori dan empiris keempat aspek tersebut dijelaskan berturut-turut di bawah ini.

2.1.1. Konsepsi Model

Studi ini merupakan sebuah studi model untuk pemeringkatan daerah dalam pembangunan koperasi. Karena itu yang hendak dihasilkan adalah sebuah model yang terukur setelah melalui uji sahih untuk mendapatkan peringkat daerah dalam pembangunan koperasi. Secara teoritis, sebuah model merupakan abstraksi dari dunia nyata. Begitu kompleksnya dunia nyata karena mengandung sangat banyak indikator dan permasalahan sehingga suatu studi tidak mungkin mampu menyelesaikan semua aspek yang kompleks. Model memberikan solusi atas kekompleksan dunia nyata agar diperoleh hasil yang memadai untuk kepentingan pengambilan keputusan (Taha, 1982; Bronson, 1982; Nasendi dan Anwar, 1985; Johnson, 1986; Dimiyati dan Dimiyati, 1987; Makridakis dan Wheelright, 1989; Mulyono, 1999).

Menurut Taha (1982), Nasendi dan Anwar (1985), dan Muyono (1999) bahwa pengambilan keputusan adalah suatu proses yang dikembangkan secara bertahap dan sistematis yang bermakna memiliki kriteria yang sistematis melalui prosedur tertentu yang jelas dan teratur. Kriteria yang baik memenuhi tiga syarat, yakni (1) mempunyai ukuran yang jelas, (2) dapat dipergunakan untuk menilai berbagai alternatif pilihan, dan (3) mudah dihitung dan dijabarkan. Untuk proses itu sampai pada pengambilan keputusan, dibutuhkanlah model.

Sebagai abstraksi dunia nyata, model memberikan manfaat dalam penentuan optimalisasi penggunaan sumberdaya sehingga pengambilan keputusan bisa menciptakan efisiensi dalam organisasi dan wilayah. Model mencerminkan hubungan fungsional yang langsung atau tak langsung, dan interaksi atau interdependensi antar elemen sehingga membentuk sistem. Itu sebabnya dalam riset operasi, model memegang peranan sentral.


(17)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

#

Sebagaimana terlihat pada Gambar 1, Nasendi dan Anwar menyatakan bahwa model dibangkitkan dari teori dan fakta atau kenyataan dan hasil prosesnya dipergunakan sebagai Pola Dasar Sistem (PDS) yang mengandung visi dan misi, landasan, dan azas. PDS melahirkan Strategi dan Kebijakan (S&K) yang merupakan arah dan langkah-langkah apa yang harus dilakukan. Sedangkan S&K melahirkan proyek/pelaksanaan kebijakan yang mengandung kegiatan.

Gambar 1. Peran Model dalam Pengambilan Keputusan (Nasendi dan Anwar, 1985)

Suatu model yang baik harus memenuhi tiga persyaratan, yakni (1) kesesuaian, model harus mampu merangkum unsur-unsur pokok dari persoalan yang dihadapi, (2) kesederhanaan, model harus sesuai dengan kemampuan dan kepentingan, dan (3) keserasian, model harus mampu mengesampingkan hal-hal yang tak berguna. Berdasarkan tipe, dimensi, fungsi, tujuan, dan tingkat abstraksinya, terdapat tiga jenis model, yakni Model Ikonik, Model Analog, dan Model Matematika. Model Ikonik adalah model yang berdimensi dua atau tiga yang merupakan ikon dari suatu obyek, misalnya fotograf, bumi, dan mobil. Model Analog adalah analogi dari persoalan atau fenomena yang terjadi secara dinamis, misalnya warna peta dan kurva. Model Matematika atau Simbolik adalah merupakan model abstrak karena menggunakan simbol matematika mewakili dunia nyata yang kompleks. Model Matematika terdiri dari dua kelompok yakni model deterministik yang menggunakan data pada kondisi tertentu (certainty) dan model stokhastik yang menggunakan data dalam kondisi probabilistik. Dengan memperhatikan permasalahan dan tujuan riset, studi ini menggunakan Model Matematika yang bersifat deterministik sebagai dasar analisis.


(18)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

$

Dalam proses pengambilan keputusan dapat menggunakan berbagai macam model, tergantung kepada tujuan pengambilan keputusan. Secara umum model dapat dibedakan atas model kualitatif dan kuantitatif. Model kualitatif pada umumnya menggunakan skala ordinal dan nominal, paling sering dipergunakan dalam ilmu sosial, budaya, dan politik. Misalnya, smoothing factor untuk melakukan peramalan. Model kuantitatif lebih menggunakan skala interval dan rasio dan juga dapat menggabungkan skala ordinal dan nominal. Model yang termasuk dalam kuantitatif adalah ekonometrika dan linear programming. Model ekonometrika biasanya digunakan untuk peramalan atau prediksi dengan tingkat akurasi tinggi. Sementara model linear programming digunakan untuk mengetahui optimalisasi alokasi sumberdaya. Dalam rangka membangun benchmarking kapasitas kreatif suatu entitas negara atau wilayah, Bowen et al., (2006) menerapkan model composite index of the creative economi untuk melihat best practices regional. Berdasarkan pengalaman lembaga internasional dalam pemeringkatan negara-negara dan juga sebagaimana kajian Bowen et al., studi pemeringkatan ini lebih tepat menggunakan model kuantitatif berdasarkan analisis indeks.

2.1.2. Kerangka Pembangunan Wilayah

2.1.2.1. Teori Pembangunan dan Pertumbuhan Wilayah

Menurut Rahardjo Adisasmita (2005), pembangunan wilayah (regional) merupakan fungsi dari potensi sumberdaya alam, tenaga kerja dan sumberdaya manusia, investasi modal, prasarana dan sarana pembangunan, transportasi dan komunikasi, komposisi industri, teknologi, situasi ekonomi dan perdagangan antar wilayah, kemampuan pendanaan dan pembiayaan pembangunan daerah, kewirausahaan (kewiraswastaan), kelembagaan daerah dan lingkungan pembangunan secara luas. Semua faktor di atas adalah penting tetapi masih dianggap terpisah-pisah satu sama lain dan belum menyatu sebagai komponen yang membentuk basis untuk penyusunan teori pembangunan wilayah (regional) secara komprehensif.

Dalam melaksanakan pembangunan diperlukan landasan teori yang mampu menjelaskan hubungan korelasi antara fakta-fakta yang diamati sehingga dapat merupakan kerangka orientasi untuk analisis dan membuat ramalan terhadap gejala-gejala baru yang diperkirakan akan terjadi. Dengan semakin majunya studi-studi pembangunan ekonomi, banyak teori telah diperkenalkan, dan teori-teori tersebut dapat digunakan sebagai landasan untuk menjelaskan pentingnya pembangunan wilayah.

Beberapa teori di dalam pembangunan wilayah yang lebih dikenal adalah pemikiran-pemikiran menurut beberapa aliran dalam Ilmu Ekonomi (misalnya Klasik, Neo Klasik, Harrod-Domer, Keynes dan Pasca Keynes), teori basis ekspor, teori sektor, struktur


(19)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

%

industri dan pertumbuhan wilayah, dan teori kausasi kumulatif. Juga teori-teori seperti teori lokasi dan aglomerasi, teori tempat sentral, teori kutub pertumbuhan, dan teori pembangunan polarisasi.

Teori Aliran Klasik

Aliran Klasik dipelopori oleh Adam Smith pada akhir abad ke-18 berpendapat bahwa tingkat output dan harga keseimbangan hanya dapat dicapai bila perekonomian berada pada tingkat kesempatan kerja penuh (full employment) dan keseimbangan dengan tingkat kesempatan kerja penuh itu hanya dapat dicapai melalui bekerjanya mekanisme pasar secara bebas (free operation of market mechanism). Pertumbuhan ekonomi disebabkan oleh faktor akumulasi modal dan perkembangan jumlah penduduk. Dengan adanya akumulasi modal akan memungkinkan dilaksanakannya spesialisasi atau pembagian kerja sehingga produktivitas tenaga kerja dapat ditingkatkan. Dampaknya akan mendorong penambahan investasi (pembentukan modal) dan persediaan modal (capital stock) yang selanjutnya diharapkan akan meningkatkan pendapatan.

Bertambahnya pendapatan berarti meningkatnya kemakmuran (kesejahteraan) penduduk. Peningkatan kemakmuran mendorong bertambahnya jumlah penduduk. Penduduk selain merupakan pasar karena pendapatannya meningkat juga merupakan sumber tabungan yang digunakan untuk akumulasi modal yang selanjutnya akan mendorong pertumbuhan yang semakin meningkat. Bertambahnya jumlah penduduk menyebabkan berlakunya hukum pertambahan hasil yang semakin berkurang (law of diminishing returns) yang selanjutnya akan menurunkan akumulasi modal. Doktrin atau semboyan aliran Klasik adalah persaingan bebas. Artinya pemerintah tidak perlu campur tangan dalam perdagangan dan perekonomian.

Teori Aliran Neo Klasik

Aliran Neo Klasik menggantikan aliran Klasik. Ahli-ahli Neo Klasik banyak menyumbangkan pemikiran mengenai teori pertumbuhan ekonomi, yaitu sebagai berikut: a. Akumulasi modal merupakan faktor penting dalam pertumbuhan ekonomi.

b. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang gradual.

c. Pertumbuhan ekonomi merupakan proses yang harmonis dan kumulatif. d. Aliran Neo Klasik merasa optimis terhadap pertumbuhan (perkembangan).

Meskipun model pertumbuhan Neo Klasik telah digunakan secara luas dalam analisis regional namun beberapa asumsinya tidak tepat, yakni (a) full employment yang


(20)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&'

terus menerus tidak dapat diterapkan pada sistem multi-regional dimana persoalan-persoalan regional timbul disebabkan karena perbedaan-perbedaan geografis dalam hal tingkat penggunaan sumberdaya, dan (b) persaingan sempurna tidak dapat diberlakukan pada perekonomian dan spasial.

Tingkat pertumbuhan terdiri dari tiga sumber, yaitu akumulasi penawaran tenaga kerja, modal dan kemajuan teknik. Model Neo Klasik menarik perhatian ahli-ahli teori ekonomi regional karena mengandung teori tentang mobilisasi faktor. Implikasi dari persaingan sempurna adalah modal dan tenaga kerja yang berpindah apabila balas jasa faktor-faktor tersebut berbeda-beda. Modal akan mengalir dari daerah yang mempunyai tingkat biaya tinggi ke daerah yang mempunyai tingkat biaya rendah karena keadaan ini memberikan suatu penghasilan (return) yang lebih tinggi. Tenaga kerja yang kehilangan pekerjaan akan pindah ke daerah lain yang mempunyai lapangan kerja baru yang merupakan pendorong untuk pembangunan di daerah tersebut.

Teori Aliran Keynes dan Pasca Keynes

Bersamaan dengan masa depresi yang melanda dunia tahun 1930-an muncullah pemikiran John Maynard Keynes yang mengemukakan perubahan besar. Keynes dalam bukunya yang berjudul General Theory of Employment, Interest and Money (1936) menyatakan bahwa karena upah bergerak lamban maka sistem kapitalisme tidak akan secara otomatis akan mencapai kepada keseimbangan penggunaan tenaga kerja penuh (full-employment equilibrium). Karena itu akibat yang ditimbulkan saat itu adalah pengangguran yang sangat berlebih yang mana dapat diperbaiki melalui kebijakan fiskal atau moneter untuk meningkatkan permintaan agregat.

Aliran Pasca Keynes memperluas teori Keynes menjadi teori output dan kesempatan kerja dalam jangka panjang yang menganalisis fluktuasi jangka pendek untuk mengetahui adanya perkembangan jangka panjang. Beberapa persoalan penting dalam analisis Pasca Keynes adalah:

a. Syarat-syarat apakah yang diperlukan untuk mempertahankan perkembangan pendapatan yang mantap (steady growth) pada tingkat pendapatan dalam kesempatan kerja penuh (full employment income) tanpa mengalami deflasi ataupun inflasi.

b. Apakah pendapatan itu benar-benar bertambah pada tingkat sedemikian rupa sehingga dapat mencegah terjadinya kemacetan yang lama atau tingkat inflasi yang terus menerus.

Apabila jumlah penduduk bertambah maka pendapatan per kapita akan berkurang kecuali bila pendapatan riil juga bertambah. Selanjutnya bila angkatan kerja berkembang


(21)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&&

maka output harus bertambah juga untuk mempertahankan kesempatan kerja penuh. Bila terjadi investasi maka pendapatan riil harus bertambah pula untuk mencegah terjadinya kapasitas yang menganggur (idle capacity).

Teori Basis Ekspor (Export Base Theory)

Teori basis ekspor adalah bentuk model pendapatan yang paling sederhana. Teori ini menyederhanakan suatu sistem regional menjadi dua bagian yaitu daerah yang bersangkutan dan daerah-daerah lainnya. Masyarakat di dalam satu wilayah dinyatakan sebagai suatu sistem sosial ekonomi. Sebagai suatu sistem, keseluruhan masyarakat melakukan perdagangan dengan masyarakat lain di luar batas wilayahnya. Faktor penentu (determinan) pertumbuhan ekonomi dikaitkan secara langsung kepada permintaan akan barang dari daerah lain di luar batas masyarakat ekonomi regional. Pertumbuhan industri yang menggunakan sumberdaya lokal termasuk tenaga kerja dan material (bahan) untuk komoditas ekspor, akan meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan masyarakat.

Aktivitas dalam perekonomian regional digolongkan dalam dua sektor kegiatan yakni aktivitas basis dan non basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan yang melakukan aktivitas yang berorientasi ekspor (barang dan jasa) ke luar batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Kegiatan non-basis adalah kegiatan yang menyediakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berada di dalam batas wilayah perekonomian yang bersangkutan. Luas lingkup produksi dan pemasarannya adalah bersifat lokal.

Aktivitas basis memiliki peranan sebagai penggerak utama (primer mover) dalam pertumbuhan suatu wilayah. Semakin besar ekspor suatu wilayah ke wilayah lain akan semakin maju pertumbuhan wilayah tersebut, dan demikian sebaliknya. Setiap perubahan yang terjadi pada sektor basis akan menimbulkan efek ganda (multiplier effect) dalam perekonomian regional.

Analisis basis ekonomi adalah berkenaan dengan identifikasi pendapatan basis (Richardson 1977). Bertambah banyaknya kegiatan basis dalam suatu wilayah akan menambah arus pendapatan ke dalam wilayah yang bersangkutan yang selanjutnya menambah permintaan terhadap barang atau jasa di dalam wilayah tersebut sehingga pada akhirnya akan menimbulkan kenaikan volume kegiatan non basis. Sebaliknya, berkurangnya aktivitas basis akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke dalam suatu wilayah sehingga akan menyebabkan turunnya permintaan produk dari aktivitas non basis.

Walaupun teori basis ekspor mengandung kelemahan yang membagi perekonomian regional menjadi dua sektor kegiatan yakni basis dan non basis, namun


(22)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&(

upaya tersebut dapat bermanfaat sebagai sarana untuk memperjelas pengertian mengenai struktur daerah atau wilayah yang bersangkutan dan bukan sebagai alat untuk membuat proyeksi jangka pendek atau jangka panjang.

Untuk menganalisis basis ekonomi suatu wilayah, salah satu teknik yang lazim digunakan adalah location quotient (LQ). Teknik LQ digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat spesialisasi sektor-sektor basis atau unggulan (leading sectors). Dalam teknik LQ berbagai peubah (faktor) dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan wilayah misalnya kesempatan kerja (tenaga kerja) dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) suatu wilayah.

Analisis location quotient merupakan suatu alat yang dapat digunakan dengan mudah, cepat dan tepat. Karena kesederhanaannya, teknik LQ dapat dihitung berulang kali dengan menggunakan berbagai peubah acuan dan periode waktu. Location quotient merupakan rasio antara jumlah tenaga kerja pada sektor tertentu (misalnya industri) atau PDRB terhadap total jumlah tenaga kerja sektor tertentu (industri) atau total nilai PDRB di suatu daerah (kabupaten) dibandingkan dengan rasio tenaga kerja dan sektor yang sama di propinsi dimana kabupaten tersebut berada dalam lingkupnya. Perhitungan LQ dapat dilakukan pula untuk membandingkan indikator di tingkat propinsi dengan di tingkat nasional.

Analisis LQ dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan merumuskan komposisi dan pergeseran sektor-sektor basis suatu wilayah dengan menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebagai indikator pertumbuhan wilayah.

Formulasi matematisnya adalah:

V

V

V

V

LQ

R R

/

/

1 1

=

dimana : R

V

1 = Nilai PDRB suatu sektor kabupaten/kota R

V

= Nilai PDRB seluruh sektor kabupaten/kota

1

V

= Nilai PDRB suatu sektor tingkat propinsi

V

= Nilai PDRB seluruh sektor tingkat propinsi.

• Jika LQ lebih besar dari 1, sektor tersebut merupakan sektor basis, artinya


(23)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&)

• Jika LQ lebih kecil dari 1, merupakan sektor non basis, yaitu sektor yang

tingkat spesialisasinya lebih rendah dari tingkat propinsi.

• Jika LQ sama dengan 1, berarti tingkat spesialisasi kabupaten sama dengan

tingkat propinsi.

Teori Sektor (Sector Theory of Growth)

Setiap wilayah mengalami perkembangan meliputi siklus jangka pendek dan jangka panjang. Faktor-faktor dalam analisis perkembangan jangka pendek yang umumnya digunakan adalah penduduk, tenaga kerja, upah, harga, teknologi dan distribusi penduduk, tetapi laju pertumbuhan jangka panjang biasanya diukur menurut keluaran (output) dan pendapatan. Pada umumnya pertumbuhan dapat terjadi sebagai akibat dari faktor-faktor penentu endogen maupun eksogen yaitu faktor-faktor yang terdapat di dalam wilayah yang bersangkutan atau faktor-faktor di luar wilayah atau kombinasi dari keduanya.

Salah satu teori pertumbuhan wilayah yang paling sederhana adalah teori sektor. Teori ini dikembangkan berdasarkan hipotesis Clark-Fisher yang mengemukakan bahwa kenaikan pendapatan per kapita akan dibarengi oleh penurunan dalam proporsi sumberdaya yang digunakan dalam sektor pertanian (sektor primer) dan kenaikan dalam sektor industri manufakfur (sektor sekunder) dan kemudian dalam industri jasa (sektor tersier). Laju pertumbuhan dalam sektor yang mengalami perubahan (sector shift), dianggap sebagai determinan utama dari perkembangan suatu wilayah.

Alasan dari perubahan atau pergeseran sektor tersebut dapat dilihat dari sisi permintaan dan sisi penawaran. Pada sisi permintaan, yaitu elastisitas pendapatan dari permintaan untuk barang dan jasa yang disuplai oleh industri manufaktur dan industri jasa adalah lebih tinggi dibandingkan untuk produk-produk primer. Maka pendapatan yang meningkat akan diikuti oleh perpindahan (realokasi) sumberdaya dari sektor primer ke sektor manufaktur dan sektor jasa. Sisi penawaran yaitu realokasi sumberdaya tenaga kerja dan modal dilakukan sebagai akibat dari perbedaan tingkat pertumbuhan produktivitas dalam sektor-sektor tersebut. Kelompok sektor-sektor sekunder dan tersier menikmati kemajuan yang lebih besar dalam tingkat produktivitas. Hal ini akan mendorong peningkatan pendapatan dan produktivitas yang lebih cepat (kombinasi dari keduanya misalnya dalam skala ekonomi), karena produktivitas yang lebih tinggi baik untuk tenaga kerja maupun untuk modal, dan penghasilan yang lebih tinggi tersebut memungkinkan untuk melakukan realokasi sumberdaya.

Tingkat pertumbuhan produktivitas tergantung pada inovasi dan kemajuan teknik ataupun skala ekonomi. Bila produktivitas lebih tinggi dalam industri-industri, permintaan


(24)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&*

terhadap produk-produknya akan meningkat cepat, maka terdapat kausalitas "produktivitas - harga rendah - permintaan bertambah luas", bukan sebaliknya. Terjadinya perubahan atau pergeseran sektor dan evaluasi spesialisasi (pembagian kerja) dipandang sebagai sumber dinamika pertumbuhan wilayah. Perluasan dari teori sektor ini adalah teori tahapan (stages theory) yang menjelaskan bahwa perkembangan wilayah adalah merupakan proses evolusioner internal dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

a. Tahapan perekonomian subsistem swasembada dimana hanya terdapat sedikit investasi atau perdagangan. Sebagian besar penduduk bekerja pada sektor pertanian.

b. Dengan kemajuan transportasi di wilayah yang bersangkutan akan mendorong perdagangan dan spesialisasi. Industri pedesaan masih bersifat sederhana (tradisional) untuk memenuhi kebutuhan para petani.

c. Dengan bertambah majunya perdagangan antar wilayah maka wilayah yang maju akan memprioritaskan pada pengembangan sub sektor tanaman pangan, selanjutnya diikuti oleh sub-sub sektor peternakan dan perikanan.

d. Industri sekunder berkembang, pada permulaan mengolah produk-produk primer, kemudian diperluas dan makin lebih berspesialisasi.

e. Pengembangan industri tersier (jasa) yang melayani permintaan dalam wilayah maupun di luar wilayah.

Teori Pertumbuhan Wilayah dan Struktur Industri (Regional Growth and

Industrial Structure)

Interpretasi pertumbuhan wilayah dalam arti dinamika struktur industri adalah sangat penting. Alasannya adalah kerangka dasar analisis pertumbuhan wilayah dan lokasi industri secara komprehensif dan konsisten diperlukan untuk memahami dan mengevaluasi ekonomi sub nasional (wilayah) dan pembangunan fisik. Analisis tersebut menggunakan tiga asumsi, yaitu (1) bahwa pertumbuhan wilayah secara overall (volume kegiatan ekonomi) ditentukan oleh kondisi bermacam-macam faktor lain dari pada pendapatan regional per kapita (aspek kesejahteraan dari pertumbuhan); (2) bahwa pembangunan masa depan adalah hasil dari kegiatan dan keputusan masa lalu dan sekarang, dan (3) bahwa faktor-faktor kritis dalam pola pertumbuhan wilayah yang terus berubah itu adalah hasil keputusan perusahaan-perusahaan mengenai lokasi dan output (jika dilihat ke belakang adalah sebagai input, dan dihubungkan ke depan adalah pasar dari industri-industri dalam perekonomian).


(25)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&+

Peranan suatu wilayah sebagai komponen (bagian) ekonomi nasional direpresentasikan oleh sektor industri dan struktur industri yang terdapat pada masing-masing wilayah. Ada bermacam-macam industri yaitu industri besar, sedang dan kecil, dan terdapat pula industri yang mempunyai tingkat pertumbuhan tinggi, lamban, dan bahkan ada yang stagnan. Ada suatu wilayah yang memiliki keunggulan lokasional (locational advantage) yang memungkinkan pengembangan industri. Sebaliknya wilayah-wilayah lain tidak memiliki keunggulan lokasional sehingga pengembangan industri mengalami hambatan.

Tanpa memandang industri itu berkembang cepat atau lamban, yang penting diukur adalah proporsi atau kontribusi sektor industri di masing-masing wilayah terhadap total industri nasional (indikator pertumbuhan lain misalnya penduduk dan pendapatan). Analisis kontribusi (share analysis) ini memberikan gambaran struktur suatu wilayah secara statis. Upaya untuk mengkaji struktur wilayah secara dinamis adalah menerapkan shift analysis (analisis pergeseran). Analisis ini membandingkan perubahan regional yang terjadi di suatu wilayah antara dua titik waktu tertentu dan khususnya mengkonsentrasikan pada apakah perubahan regional itu lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan perubahan rata-rata nasional (yaitu apakah terjadi pergeseran atau perubahan yang menaik atau menurun).

Perubahan regional terdiri dari dua komponen yaitu pergeseran proporsional (proportionality shift) dan pergeseran diferensial (differential shift). Pergeseran proporsional mengukur pengaruh komposisi industri yang dilihat secara nasional bahwa beberapa sektor mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan sektor-sektor lainnya. Jadi, suatu wilayah yang memiliki sektor-sektor yang tingkat pertumbuhannya lamban akan memperlihatkan pergeseran proporsional yang menurun. Sebaliknya suatu wilayah yang mempunyai sektor-sektor yang tingkat pertumbuhannya tinggi akan memperlihatkan pergeseran yang menaik. Pergeseran diferensial terjadi dari keadaan bahwa industri-industri tumbuh di beberapa wilayah lebih cepat dari wilayah-wilayah lain. Wilayah-wilayah yang mempunyai karakteristik pergeseran yang menaik adalah daerah-daerah yang memiliki keunggulan lokasional yang memungkinkan pengembangan kegiatan-kegiatan tertentu lebih baik dibandingkan daerah-daerah lain.

Teori Kausasi Kumulatif (Cummulative Causation Theory)

Tahun 1955, sepuluh tahun setelah Perang Dunia II berakhir Gunnar Myrdal mengemukakan tiga kesimpulan penting yaitu:

a. Dunia dihuni oleh segelintir negara-negara yang sangat kaya dan sejumlah besar negara-regara yang sangat miskin.


(26)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&"

b. Negara-negara kaya melaksanakan pola perkembangan ekonomi yang terus menerus

sedangkan negara-negara miskin mengalami perkembangan yang sangat lamban dan bahkan ada yang mandeg.

c. Jurang ketidakmerataan ekonomi antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin semakin bertambah besar.

Ada dua asumsi pokok yang tidak realistis yang melemahkan teori ekonomi tradisional untuk menjelaskan ketidakmerataan itu yaitu : pertama, adalah keseimbangan stabil (stable equilibrium) artinya sistem perekonomian pasar selalu bergerak menuju kepada keseimbangan, dan kedua, analisis ekonomi dibatasi pada faktor-faktor ekonomi saja akibatnya variabel-variabel non-ekonomi diperlakukan sebagai data yang sudah tertentu (ceteris paribus). Sedangkan antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi terdapat saling keterkaitan dan saling pengaruh yang bersifat sirkuler satu sama lain.

Berdasarkan prinsip kausasi sirkuler kumulatif dapat dijelaskan terjadinya ketidakmerataan ekonomi (internasional, nasional dan regional). Apabila proses kausasi sirkuler kumulatif dibiarkan bekerja atas kekuatan sendiri maka akan menimbulkan pengaruh merambat yang ekspansioner di satu pihak (spread effects) dan pengaruh pengurasan (backwash effects). Strategi campur tangan pemerintah yang dikehendaki adalah pengambilan tindakan kebijakan yang mengurangi backwash effects dan memperkuat spread effects agar proses kausasi sirkuler kumulatif mengarah ke atas yakni semakin memperkecil ketidakmerataan. Ketidakmerataan sangat tidak dikehendaki oleh semua bangsa.

Teori Lokasi dan Aglomerasi 1. Teori Lokasi

Dari sekian banyak teori lokasi dan teori perwilayahan yang telah ada, beberapa di antaranya yang dianggap penting yaitu Von Thunen (1826), A. Weber (1909), W. Christaller (1933), A. Losch (1944), F. Perroux (1955), W. Isard (1956), dan J. Friedmann (1964). Von Thunen telah mengembangkan hubungan antara perbedaan lokasi pada tata ruang (spatial location) dan pola penggunaan lahan. Menurut von Thunen jenis pemanfaatan lahan dipengaruhi oleh tingkat sewa lahan dan didasarkan pula pada aksesibilitas relatif. Lokasi berbagai jenis produksi pertanian (seperti menghasilkan tanaman pangan, perkebunan, dan sebagainya) ditentukan oleh kaitan antara harga barang-barang hasil dalam pasar dan jarak antara daerah produksi dengan pasar penjualan. Kegiatan yang mampu menghasilkan panen fisik tertinggi per hektar akan ditempatkan pada kawasan konsentris yang pertama di sekitar kota, karena keuntungan yang tinggi per hektar memungkinkan


(27)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&#

untuk membayar sewa lahan yang tinggi. Kawasan produksi berikutnya kurang intensif dibandingkan dengan kawasan produksi yang pertama, demikian seterusnya.

Analisis penentuan lokasi optimum seperti dikemukakan oleh von Thunen telah mendapat perhatian oleh Alfred Weber. Weber menekankan pentingnya biaya transportasi sebagai faktor pertimbangan lokasi. Teori Weber sebenarnya menekankan dua kekuatan lokasional primer yaitu selain orientasi transportasi juga orientasi tenaga kerja. Weber telah mengembangkan pula dasar-dasar analisis wilayah pasar dan merupakan seorang ahli teori lokasi yang pertama membahas mengenai aglomerasi. Pemikiran Weber telah memberikan sumbangan ilmiah dalam banyak aspek diantaranya penentuan lokasi yang optimal dan kontribusinya yang esensial dalam pengembangan wilayah yaitu mengenai munculnya pusat-pusat kegiatan ekonomi (industri).

Losch mengintroduksikan pengertian-pengertian wilayah pasar sederhana, jaringan wilayah pasar, dan sistem jaringan wilayah pasar. Prasarana transportasi merupakan unsur pengikat wilayah-wilayah pasar. Unit-unit produksi pada umumnya ditetapkan pada pusat-pusat pasar yang juga merupakan pusat-pusat urban. Perusahaan-perusahaan akan memilih lokasinya pada suatu tempat dimana terdapat permintaan maksimum (Loschian demand cone theory).

Berdasarkan struktur herarkis tempat sentral yang ditunjukkan oleh Christaller, Isard telah menekankan pentingnya kedudukan pusat-pusat urban tingkat nasional (metropolis) dalam kaitannya dengan aglomerasi industri. Isard mengembangkan gejala locational economies (penghematan lokasi), dan urbanization economies (penghematan urbanisasi) sebagai akibat dari pengaruh lokasi. Urutan besarnya peranan kota-kota dapat ditentukan dengan cara merangking pusat-pusat yang bersangkutan (rank size rule) menurut jumlah penduduknya.

Konsepsi Perroux merupakan langkah utama untuk memberi bentuk konkrit pada aglomerasi. Ia menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di segala tempat akan tetapi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu. Ia lebih memberikan tekanan pada aspek konsentrasi proses pembangunan dan menganggap industri pendorong (propulsive industries) sebagai titik awal perubahan unsur yang esensial untuk menunjang pembangunan selanjutnya. Meskipun teori kutub pertumbuhan ini berguna untuk menguji atau membandingkan konsekuensi yang berbeda-beda dari pemilihan alternatif lokasi akan tetapi teori tersebut tidak dikategorikan sebagai teori lokasi.

Dimensi geografis telah dimasukkan ke dalam pengaruh kutub pengembangan. Antara kota dan pedesaan terdapat kaitan yang sangat erat dimana satu sama lainnya saling melengkapi. Friedman meninjaunya dari ruang lingkup yang luas dengan menampilkan teori core region (wilayah inti). Wilayah inti dikaitkan dengan fungsinya yang


(28)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&$

dominan terhadap perkembangan wilayah-wilayah di sekitarnya misalnya sebagai pusat perdagangan atau pusat industri. Wilayah-wilayah di sekitar wilayah pusat disebut wilayah-wilayah pinggiran.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi suatu industri atau unit produksi pada umumnya dikaitkan dengan lokasi sumber bahan mentah dan wilayah pasarnya. Kriteria penentuan yang digunakan bermacam-macam yaitu biaya transportasi terendah, sumber tenaga kerja yang relatif murah, ketersediaan sumberdaya air, energi ataupun daya tarik lainnya berupa penghematan-penghematan lokasional dan penghematan-penghematan aglomerasi. Dimensi wilayah dan aspek tata ruang telah dimasukkan sebagai variabel tambahan yang penting dalam kerangka teori pembangunan. 2. Kekuatan Aglomerasi dan Deglomerasi

Aglomerasi adalah terkonsentrasinya kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya pada suatu tempat. Sebaliknya, deglomerasi adalah dekonsentrasi atau dispersi kegiatan-kegiatan industri dan kegiatan-kegiatan lainnya pada beberapa tempat. Untuk menganalisis pembangunan kota dan wilayah perlu dipahami sepenuhnya mengenai kekuatan-kekuatan aglomerasi dan deglomerasi.

Terdapat 3 (tiga) kategori kekuatan yang merupakan manfaat aglomerasi yaitu : 1. Penghematan skala (scale economies). Terdapat penghematan dalam produksi

secara internal bila skala produksinya ditingkatkan. Biaya tetap yang besar sebagai akibat investasi dalam bentuk pabrik dan peralatan, yang memungkinkan dilaksanakan pemanfaatan pabrik dan peralatan tersebut dalam skala besar dapat membagi-bagi beban biaya-biaya tetap pada berbagai unit yang terdapat dalam sistem produksi. Sebagai konsekuensinya, unit biaya produksi menjadi lebih rendah sehingga dapat bersaing dengan perusahaan-perusahaan lain. Produksi pada skala besar dimaksudkan untuk menghindari unit biaya operasi yang eksesif. Hal ini dapat dipertanggung-jawabkan hanya pada lokasi-lokasi yang melayani penduduk dalam jumlah besar atau dengan kata lain mempunyai suatu pasar yang luas.

2. Penghematan lokalisasi. Dimaksudkan sebagai penghematan yang dinikmati oleh semua perusahaan dalam suatu industri yang sejenis pada suatu lokasi tertentu. Hal ini disebabkan bertambahnya jumlah keluaran (total output) industri tersebut. Sebagai ilustrasi terlihat Gambar 2. Terdapat 3 pabrik tekstil yang membutuhkan reparasi fasilitasnya. Bila unit reparasi dibangun pada titik Z maka hanya menguntungkan pabrik A dan C yaitu mereka memperoleh biaya reparasi yang lebih murah dibanding pabrik B. Lokasi yang tepat untuk pembangunan unit reparasi adalah pada titik A.


(29)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

&%

A

Gambar 2. Penghematan Lokalisasi Tiga Pabrik Tekstil

3. Penghematan urbanisasi. Penghematan urbanisasi diasosiasikan dengan pertambahan jumlah total (penduduk, hasil industri, pendapatan, dan kemakmuran) di suatu lokasi untuk semua kegiatan yang dilakukan bersama-sama. Penghematan ini mengaitkan kegiatan industri-industri dan sektor-sektor secara agregatif. Misalnya suatu kegiatan yang sangat tergantung pada manajemen kreatif dan tenaga kerja terampil. Dalam hal ini terdapat resiko untuk menempatkan kegiatan tersebut di suatu daerah perkotaan yang relatif kecil. Sebaliknya lebih baik bila ditempatkan pada kota besar.

Sebaliknya deglomerasi bersifat membatasi pertumbuhan, misalnya kongesti lalu lintas. Kongesti lalu lintas mengakibatkan waktu perjalanan bertambah lama, demikian pula ketidaknyamanan fisik, ketegangan, dan ketidakpastian umum.

Teori Tempat Sentral

Christaller mengembangkan pemikirannya tentang penyusunan suatu model wilayah perdagangan yang berbentuk segi enam atau heksagonal. Teorinya adalah teori tempat sentral (central place theory). Heksagonal yang terbesar memiliki pusat paling besar sedangkan heksagonal yang terkecil memiliki pusat paling kecil. Secara horisontal, model Christaller menunjukkan kegiatan-kegiatan manusia yang tersusun dalam tata ruang geografi dan tempat-tempat sentral (pusat-pusat) yang lebih tinggi ordenya mempunyai wilayah perdagangan atau wilayah pelayanan yang lebih luas dibandingkan pusat-pusat yang kecil. Sedangkan secara vertikal model tersebut memperlihatkan bahwa pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya mensuplai barang-barang ke seluruh wilayah dan kebutuhan akan bahan-bahan mentah di pusat-pusat yang lebih tinggi ordenya disuplai oleh pusat-pusat yang lebih rendah ordenya. Prinsip pemasaran dengan susunan piramidal pada model tempat sentral dapat menjamin minimisasi biaya-biaya transportasi. Menurut Christaller wilayah perdagangan dapat dilayani sedangkan dalam sebagian dari wilayah-wilayah

PC Z

PA


(30)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

('

tersebut tidak sepenuhnya dapat terlayani karena terbatasnya fasilitas transportasi dan hambatan-hambatan geografis.

Pada Gambar 3 terlihat bagaimana teori sentral menjelaskan struktur pelayanan antar pusat. Teori tempat sentral menjelaskan pola geografis dan struktur pusat-pusat kota (wilayah-wilayah nodal) tetapi tidak menjelaskan bagaimana pola tersebut mengalami perubahan-perubahan pada masa depan atau dengan perkataan lain tidak menjelaskan (fenomena) pembangunan. Teori ini bersifat statis; agar teori tempat sentral dapat menjelaskan gejala-gejala dinamis maka perlu ditunjang oleh teori-teori pertumbuhan wilayah yang menjelaskan mengenai proses perubahan-perubahan struktural. Salah satu dari teori pertumbuhan wilayah adalah teori kutub pertumbuhan (growth pole theory) yang diformulasikan oleh Perroux.

Gambar 3. Struktur Pelayanan Antar Pusat Perdagangan

Sumbangan positif teori tempat sentral adalah teori tersebut relevan bagi perencanaan kota dan wilayah karena sistem hierarki pusat merupakan sarana yang efisien untuk perencanaan wilayah. Distribusi tata ruang dan besarnya pusat-pusat kota merupakan unsur yang sangat penting dalam struktur wilayah nodal dan melahirkan konsep-konsep dominasi dan polarisasi.

Teori Kutub Pertumbuhan

Sebagaimana diketahui bahwa potensi dan kemampuan masing-masing wilayah berbeda-beda satu sama lainnya, juga masalah pokok yang dihadapinya tidak sama sehingga usaha-usaha pembangunan sektoral yang akan dilaksanakan harus

Rank 1 : Dominant city

Rank 2 : second-order cities

Rank 3 : Third-order cities

Rank 4 cities Rank 5 cities


(31)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

(&

disinkronisasikan dengan usaha-usaha pembangunan regional. Teori lokasi klasik ternyata tidak berlaku secara sempurna karena beranggapan bahwa semua kegiatan berlangsung diatas permukaan (surface) yang sama, perbedaan geografis dianggap tidak ada, fasilitas transportasi terdapat ke segala jurusan, bahan mentah (baku) industri, pengetahuan teknis dan kesempatan produksi adalah seragam di seluruh wilayah. Sebagai akibat dari ketidaksempurnaan pendekatan klasik tersebut kemudian timbullah permikiran baru yaitu teori kutub pertumbuhan (growth pole). Teori Francois Perroux ini menyatakan bahwa pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi di semua wilayah akan tetapi terbatas hanya pada beberapa tempat tertentu dengan variabel yang berbeda-beda intensitasnya.

Mengikuti pendapat Perroux tersebut, Hirschman mengatakan bahwa untuk mencapai tingkat pendapatan yang lebih tinggi harus dibangun sebuah atau beberapa buah pusat kekuatan ekonomi dalam wilayah suatu negara atau yang disebut sebagai pusat-pusat pertumbuhan (growth point atau growth pole). Menurut Perroux terdapat elemen yang sangat menentukan dalam konsep kutub pertumbuhan yaitu pengaruh yang tidak dapat dielakkan dari suatu unit ekonomi terhadap unit-unit ekonomi lainnya. Pengaruh tersebut semata-mata adalah dominasi ekonomi yang terlepas dari pengaruh tata ruang geografis dan dimensi tata ruang. Perusahaan-perusahaan yang menguasai dominasi ekonomi tersebut pada umumnya adalah industri besar yang mempunyai kedudukan oligopolistis dan mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap kegiatan para langganannya.

Pandangan Perroux mengenai proses pertumbuhan adalah konsisten dengan teori tata ruang ekonomi (economic space theory), dimana industri pendorong dianggap sebagai titik awal dan merupakan elemen esensial untuk pembangunan selanjutnya. Disini Perroux lebih menekankan pada aspek pemusatan pertumbuhan. Meskipun ada beberapa perbedaan penekanan arti industri pendorong akan tetapi ada tiga ciri dasar yang dapat disebutkan yaitu :

1. Industri pendorong harus relatif besar kapasitasnya agar mempunyai pengaruh kuat baik langsung maupun tidak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi.

2. Industri pendorong harus merupakan sektor yang berkembang dengan cepat. 3. Jumlah dan intensitas hubungannya dengan sektor-sektor lainnya harus penting

sehingga besarnya pengaruh yang ditimbulkan dapat diterapkan kepada unit-unit ekonomi lainnya.

Dari sisi tata ruang geografis, industri-industri pendorong dan industri-industri yang dominan mendorong terjadinya aglomerasi-aglormerasi pada kutub-kutub pertumbuhan dimana mereka berada. Jelaslah bahwa industri pendorong mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan ekonomi.


(32)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

((

2.1.2.2. Model Pembangunan Ekonomi Wilayah

Model pembangunan diartikan sebagai kerangka berpikir yang obyektif dan rasional berdasarkan konsep, teori dan paradigma dalam bentuk konstruksi strategis guna memecahkan berbagai masalah bagi kepentingan masyarakat (Rahardjo Adisasmita, 2005). Model pembangunan dapat dilihat dari berbagai dimensi yaitu dimensi politik, ekonomi, sosial, budaya, administrasi dan lainnya. Berdasarkan perkembangannya model pembangunan ekonomi yang banyak digunakan oleh negara-negara berkembang dapat dibedakan sebagai berikut :

1. Model I, menitik beratkan pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB), model ini berkembang pada dekade tahun 1950-an dan tahun 1960-an.

2. Model II, menitik beratkan pada pemerataan dan pemenuhan kebutuhan pokok, berkembang pada dekade tahun 1970-an.

3. Model III, menitik beratkan pada pembangunan kualitas sumber daya manusia (SDM), berkembang pada dekade tahun 1980-an.

4. Model IV, berkembang pada akhir abad ke-20 dan memasuki abad ke-21 dimana dunia mengalami perubahan yang sangat mendasar yaitu memasuki era globalisasi dan liberalisasi, perdagangan bebas dan persaingan bebas antar negara akan menjadi ketat maka diperlukan penguatan daya saing ekonomi masing-masing wilayah.

1. Model Pembangunan I

Model Pembangunan I ini berorientasi pada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Berdasarkan anggapan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dicapai dengan pelaksanaan penanaman modal atau investasi dalam jumlah besar di sektor industri dengan cara menempatkan kelompok proyek yang satu sama lain saling menunjang dipusatkan pada suatu wilayah atau bagian wilayah. Manfaat saling penunjangan dan pembangunan sumberdaya industri dan prasarana yang dipusatkan tersebut akan dirasakan oleh sektor-sektor terkait. Dan selanjutnya akan menyebar dan diperluas ke bagian wilayah lainnya. Strategi investasi besar tersebut akan menciptakan “eksternalitas ekonomi" yang dinikmati oleh berbagai kegiatan yang terkait berupa efisiensi ekonomi yang ditimbulkan oleh kelompok industri tersebut.

Dengan pembangunan industri dan eksternalitas ekonomi akan dicapai peningkatan pendapatan per kapita dan pemerataan hasil-hasil pembangunan ke seluruh bagian wilayah melalui proses trickle down effect (tetesan ke bawah). Dalam Model


(1)

Lampiran 2. Langkah-langkah Merumuskan Indikator

DESK

RESEARCH

• Tinjauan

Kebijakan

• Tinjauan Pustaka

(April 2006) DISKUSI • Internal • Eksternal (Mei 2006) PERUMUSAN INDIKATOR KOPERASI (Juli 2006) PEMBOBOTAN INDIKATOR AWAL (29 PENILAI) dan UJI PETIK

(Agustus 2006)

TEMU PAKAR (24 Juli 2007)

B = A dan Indikator Wilayah

1. Pendapatan agregat

(PDB, PDRB)

2. Pertumbuhan ekonomi

3. Kesempatan kerja

4. Ekspor

5. Investasi

6. Pemerataan

7. Sumberdaya manusia

8. Kesehatan 9. Penduduk 10. Pendidikan 11. Kemiskinan 12. Infrastruktur A

1. Jumlah koperasi

2. Keanggotaan

3. Peningkatan

sumberdaya manusia

4. Volume usaha

5. Permodalan

6. Asset

7. Perkreditan

8. Penyerapan

tenagakerja

9. Nilai tambah

10. Peran pemerintah

11. Dana perkuatan

12. Dana dekonsentrasi

SEMINAR RISET DESAIN (10 Juli 2007)


(2)

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&&&&&

+),41./#.1.&5(6)-17%

+),41./#.1.&5(6)-17%

+),41./#.1.&5(6)-17%

+),41./#.1.&5(6)-17%&

&

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

97

Lampiran 3. Daftar Peserta FGD

!

No Nama Instansi

1 Djabaruddin Djohan LSP2I

2 Dra. Tina Naryantini Bappeda Kab. Bogor

3 Alfaini Kosim Asdep 1.4

4 Rosmawi Hasan Inkoppas

5 Setyo Heriyanto SDM

6 Idham Bustaman Penelti

7 B Baharudin Wahid INKOPINKRA

8 Fahruddin Zaid I K P R I

9 H. Albert Waneri Kantor KOP & UKM Kota Depok

10 Nunung Nuryantono IPB - Bogor

11 Johnny WS Peneliti Koperasi

12 Agus Salim Peneliti

13 M. Ishak Daulay Peneliti


(3)

&

!

!

Lanjutan Lampiran 3

No Nama Instansi

15 Hardadi Lukito I.K.P.I 16 Dr. Abdoel Hamid U I N 17 Indra Fahmi I KO P I N

18 Gotam Siahaan Kantor Menegkop 19 Jannes S. Peneliti

20 Dr. Tulisa Aulia F Universitas Indonesia 21 Soebagio Kementrian

22 Nusri HS Peneliti 23 A. Hendrarto Depdagri 24 Karivi IKOPPOL 25 Tukidi K S P Kodanua 26 Triyono Peneliti

27 Rapma.S KPPK 28 Agus Prayogo IKSP 29 Saiful KOPINDO

30 Erwin Silalahi Sudin Koperasi Jakarta Selatan 31 M Saleh TH Peneliti


(4)

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&&&&&

+),41./#.1.&5(6)-17%

+),41./#.1.&5(6)-17%

+),41./#.1.&5(6)-17%

+),41./#.1.&5(6)-17%&

&

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

99

Lanjutan Lampiran 3

No Nama Instansi

32 Suhendar Peneliti 33 Burhanuddin R Peneliti 34 Supriyanto B P S 35 Riana P Peneliti


(5)

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

Lampiran 4. Nama Koperasi Sampel

A. Propinsi Sumatera Utara

1. KOPDIT - CU 'BINA MITRA SEJAHTERA", Jl. Sisingamangaraja No. 173 Pematang Siantar 21542, (0622) 437550/ 081375230241

2. PRIMKOPPOL TABES MS, BH No. 507/PAD/KWK.2/VII/1996 3. PRIMKOPAD PALDAM-I/BB

4. KOPDIT "CU. KARYA BAKTI", Jl. Medan Km. 6 Pematang Siantar BH No. 56/BH/KDK.2.14/VIII/1999

5. KOPPEG R.I "DHARMA HUSADA", Kompleks RSU-D Lubuk Pakam BH No. 225/PAD/KWK.2/V/1996

6. KUD "HARTA", Jl. Pendidikan No. 49, Sei Limbat Kec. Selesai Kab. Langkat, 8830539, BH No. 4332 A/BII/III

7. KOPDIT/CU. "CINTA MULIA", Jl. Melanthon Siregar No. 1A Pematang Siantar, BH No. 57/BH/KDK.2.14/VIII/99

8. KSP "MITRA LESTARI", BH No. 322/BH.KDK.23.1/X/2000

9. KUD "SETIA TANI", Kec. Pancur Batu Kab. Deli Serdang, BH No. 1217/BH/PAD/KWK.2/XII/1996

10. KPN "KESRA", Dinas PMK & PKM Kab. Deli Serdang 11. KOKALUM TANJUNG GADING

12. PUSKUD SUMUT, Jl. Jend. Gatot Subroto No. 131-133 Medan, (061) 8455324, 8455334, BH No. 04/PAD/KWK.2/II/1995

13. PUSKOPPOLDA SUMUT, Jl. Jend. Besar ABD. Haris NST No. 17 Medan. BH. No. 2773 D/BH/III

B. Propinsi Sumatera Barat

1. KOPWAN BHAKTI IBU, KABUPATEN AGAM, BH 1704/ /TGL. 8 JANUARI 1987 2. KOP. PEGAWAI REPUBLIK INDONESIA SMK NEGERI 2 BATUSANGKAR, BH. 1734/

BH-XVIII / TANGGAL 7 MEI 1988

3. KOP. PEGAWAI NEGERI KANTOR DEPAG KABUPATEN TANAH DATAR, BH 470.a/ BH/ XVII/ TANGGAL 18 MEI 1982

4. KUD KAMPUNG PINANG, BH. NO. 803 / BH - XVII TANGGAL 25 JUNO 1974, KAMPUNG PINAG, LUBUK BASUNG, AGAM, SUMATERA BARAT

5. KUM TUJUAH KOTO TALAGO II, JL. TAN MALAKA KM. 18 TELP/FAX (0752) 97421 6. KUD LIMBANANG, BH : NO. 1083B / BH-XVII


(6)

!"#$%&'($)*&+),)-%./01"1.&21)-13&$1*1,&& +),41./#.1.&5(6)-17%&&&&

&&&&

5(6)-17%&$1*1,&!(-("1.&+).)*%"%&

!

"#"

C. Propinsi Bali

1. KOPEGTEL INSAN DENPASAR, JL SERMA GEDE NO. 13 DENPASAR TELP. (0361) 262562 HUNTING, FAX. 261477, DENPASAR

2. KSP PERINTIS DENPASAR, JL P. KAWE NO. 5 LT. II TELP. 8422401 - 8422402, DENPASAR

3. KSP DUTA SEJAHTERA DENPASAR, JL. SATELIT NO. 6 TELP 241880, 224815, DENPASAR

4. KSP TAMAN SARI, BANJAR LANTANG BEJUH SESETAN - DENPASAR SELATAN, TELP. (0361) 7441225

5. KUD PEDUNGAN, JL. PULAU BUNGIN NO. 36, TELP (0361) 249329, 8422909, 725019

6. KOP. JASA ANGKUTAN TAXI NGURAH RAI BALI, JL. RAYA BY PASS NGURAH RAI NO. 702, PASANGGARAN, DENPASAR, BALI

D. Propinsi Sulawesi Selatan 1. KSU MITRA HENSO UTAMA

2. KOPKAR PT. SERMANI STEEL "MENJANGAN"

3. GKP - RI PROPINSI SULAWESI SELATAN JL. MALLENGKERI RAYA NO. 22 A, TELP. (0411) 883497, MAKASAR

4. PUSKOPOLDA SULSEL

5. PUSKOPAD "A" DAM VII/WIARABUANA, MAKASAR

6. PUSKOWAN TENRIAWARU SULAWESI SELATAN, BH 5438/BH/IV, Tgl 6 Mri 1994

E. Propinsi Nusa Tenggara Barat

1. KUD "KARYA" DARMAJI, Jl. Raya Praya - Kopang (0370) 655456

2. KSP "KARYA MANDIRI", Jl. TGH. Moh. Mutawalli Jerowaru Kec. Jerowaru LOTIM NTB (0370) 6610524

3. KPRI "KARYA BUDI", Kec. Labuapi - Lombok Barat

4. KSP "SWASTIKA", Jl. AR. Hakim No. 23X Karang Bedil Mataram