Laporan Akhir Kajian Implikasi Dan Strategi Koperasi Dalam Rangka Otonomi Daerah
KATA PENGANTAR
Studi kajian Implikasi dan Strategi Koperasi dalam Rangka Otonomi
Daerah merupakan studi yang dilakukan untuk memberikan langkah dalam
penyusunan strategi baru guna mengembangkan koperasi dalam kaitannya
dengan penerapan otonomi daerah. Pengkajian ini diharapkan dapat
memberikan arahan dalam proses pengembangan koperasi yang efektif dan
efisien.
Kegiatan studi ini dapat terlaksana berkat kerjasama antara Dewan
Koperasi Indonesia dengan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Tim penyusun berharap semoga Laporan Akhir hasil studi ini dapat
bermanfaat khususnya sebagai masukan bagi pihak – pihak terkait dalam
perumusan pengembangan koperasi berkaitan dengan otonomi daerah.
Bogor, 23 Nopember 2001
Tim Penyusun
(2)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... ii
DAFTAR TABEL... iv
DAFTAR GAMBAR... v
BAB I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang... I-1 1.2. Tujuan dan Sasaran... I-2 1.3. Manfaat... I-2 1.4 Lingkup Kegiatan... I-2 BAB II. METODE STUDI
2.1. Kerangka Analisis... II-1 2.2. Metode Pendekatan dan Analisis... II-2 BAB III. STRUKTUR PEMAHAMAN DAN PRAKTEK PERKOPERASIAN
DI INDONESIA
3.1. Masa Pra Kemerdekaan... III-1 3.2. Masa Orde Lama... III-5 3.3. Masa Orde Baru... III-6 3.4. Masa Reformasi... III-10
BAB IV. KELEMBAGAAN EKONOMI KOPERASI DALAM REALITAS
STRUKTUR PEREKONOMIAN
4.1. Dasar Pembentukan Koperasi adalah Menekan Biaya
Transaksi... IV-1 4.2. Konsep Koperasi... IV-8 4.3. Koperasi Sebagai Alat Alokasi Sumberdaya... IV-18 4.4. Koperasi Sebagai Perusahaan... IV-19 4.5. Kegagalan Koperasi Mengaktualisasikan Peranannya... IV-19
(3)
BAB V. KOPERASI DALAM OTONOMI DAERAH
5.1. Substansi Otonomi Daerah V-1
5.2. Perspektif Pembangunan Perekonomian Daerah V-2 5.3. Pembangunan Koperasi pada Era Otonomi Daerah V-3 5.4. Ancaman dan Peluang Otonomi Daerah Terhadap
Perkembangan Koperasi V-5
5.5. Koperasi sebagai Media Pemberdayaan V-5 BAB VI. STRATEGI PENGEMBANGAN KOPERASI
6.1. Pembangunan Koperasi Dilakukan Tidak Boleh Terlepas
Dari Upaya Pemberdayaan Anggotanya... VI-1 6.2. Pembangunan Koperasi Dilakukan Secara Lintas Sektoral... VI-3 6.3. Pembangunan Koperasi Mengacu Pada Local Spesific
(Resource Based dan Community Based)... VI-4 6.4. Koperasi Diikutkan dalam Program Redistribusi Asset
(4)
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Jumlah Koperasi, Anggota dan Simpanan, Masa
Sebelum Kemerdekaan... III-3 Tabel 3.2. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Awal Reformasi... III-8 Tabel 3.3. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Awal Reformasi... III-11 Tabel 3.4. Kinerja Koperasi Tahun 1998-2000... III-12 Tabel 3.5. Rasio Parameter Kinerja Koperasi Terhadap Jumlah Koperasi... III-13 Tabel 3.6. Rasio Parameter Kinerja Koperasi Terhadap Jumlah Koperasi
Aktif ... III-13 Tabel 3.7. Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja
Koperasi Unit Desa Berdasarkan Data Statistik Koperasi di
27 Propinsi... III-15 Tabel 3.8. Tipologi Koperasi Unit Desa di 27 Propinsi Berdasarkan Kinerja
Indikator Fisik... III-16 Tabel 3.9. Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja
Koperasi Tahu Tempe Berdasarkan Data Statistik Koperasi di
27 Propinsi... III-17 Tabel 3.10. Tipologi Koperasi Tahu Tempe dan Karakteristik Pencirinya
Di 27 Propinsi di Indonesia... III-18 Tabel 3.11. Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja
Koperasi Industri Kerajinan Berdasarkan Data Statistik Koperasi
Di 27 Propinsi... III-19 Tabel 3.12. Nilai Korelasi Antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja
Koperasi Secara Agregat Berdasarkan Data Statistik Koperasi di
27 Propinsi... III-20 Tabel 3.13. Tipologi Koperasi secara Umum dan Karakteristiknya Pencirinya
(5)
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1. Kinerja Agregat Koperasi Antar Propinsi Tahun 1999... III-22 Gambar 3.2. Kinerja KUD antar Propinsi Tahun 1999... III-22 Gambar 3.3. Kinerja Koperasi Kerajinan antar Propinsi Tahun 1999... III-23 Gambar 3.4. Kinerja Koperasi Tahu Tempe antar Propinsi Tahun 1999... III-23 Gambar 4.1. Pemecahan Masalah hold up dalam Suatu Transaksi... IV-4 Gambar 4.2. Hubungan Kepemilikan, Pelayanan dan Pasar
Dalam Koperasi... IV-9 Gambar 5.1. Proporsi Peran antara Pemerintah dan Private... V-6
(6)
1
PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangAdanya UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 tentang otonomi daerah dan perimbangan keuangan daerah dan pusat serta rencana perubahan UU nomor 25 tahun 1992 koperasi akan mempengaruhi perilaku dari koperasi sebagai institusi ekonomi.
Koperasi sebagai institusi terdiri dari hardware dan software. Hardware ialah organisasi koperasi itu sendiri sedangkan software adalah the rule of the game yang meliputi tata nilai anggota, prinsip koperasi, AD /ART, peraturan, norma dan adat istiadat baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Selayaknya antara hardware dan software saling bersesuaian (compatible). Bila tidak bersesuaian maka koperasi bertindak sebagai organisasi, namun peran dan fungsinya seperti lembaga perdagangan karena software yang dibangun (the rule of the game) lebih sesuai untuk peran dan fungsi lembaga perdagangan.
Menjadi pertanyaan bagi kita, apakah organisasi dari koperasi di Indonesia telah membuat the rule of the game yang sesuai dan melembaga bagi anggota ? Hal ini penting karena the rule of the game (software) dari koperasi di Indonesia harus pula bersesuaian dengan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 dan UU nomor 25 tahun 1992 yang akan direvisi.
Kajian amplikasi dan strategi koperasi dalam rangka otonomi daerah harus meletakkan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999 sebagai external institution yang mempengaruhi perubahan internal institution dari koperasi. Dalam kaitan ini terjadi dua kemungkinan yaitu diperlukan internal institution change (perubahan kelembagaan )yang menyesuaikan dengan UU nomor 22 dan 25 tahun 1999.
Jiwa dari otonomi daerah adalah mengakui adanya perbedaan dan keragaman dari suatu daerah dengan daerah lainnya sehingga tidak terjadi lagi penyamarataan kebijakan untuk seluruh daerah. Untuk itulah kebijakan koperasi haruslah sejiwa dengan otonomi daerah.
Koperasi produksi, pemasaran dan produksi dan pemasaran sangat berbeda dengan koperasi unggas maupun koperasi tanaman pangan dari prilaku maupun karakteristiknya. Juga, koperasi yang berbentuk vertical integration sangat berbeda yang berbentuk bargaining power. Jadi, menyederhanakan koperasi dan menyamaratakan kebijakan pada koperasi di era otonomi adalah tindakan yang mengulangi masa lalu pada saat pemerintah pusat sangat sentralistik.
(7)
1.2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan studi ini adalah :
a. Mengidentifikasi kaitan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 dengan prospek pengembangan koperasi
b. Memberdayakan ekonomi masyarakat dalam rangka meningkatkan daya saing dan kemandirian yang berkelanjutan
c. Menyusun strategi pembangunan koperasi yang sesuai dengan kerangka perundang – undangan yang ada
Sedangkan sasaran yang ingin dicapai dari kegiatan penelitian ini adalah : a. Teridentifikasinya factor pendorong dan peluang – peluang pengembangan
koperasi dalam kerangka penerapan otonomi daerah
b. Tersusunnya strategi pengembangan koperasi sesuai dengan prinsip–prinsip dan pelaksanaan otonomi daerah
1.3. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh dari studi ini :
a. Sebagai bahan acuan dalam proses menggerakkan dan mengembangkan koperasi yang dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah
b. Sebagai salah satu alternatif pemikiran bagi pemerintahan dalam pembinaan koperasi
1.4. Lingkup Kegiatan
Ruang lingkup kegiatan studi ini mencakup aktifitas berikut ini :
a. Mengidentifikasi dan mengeksplorasi factor – factor penting sebagai penentu perkembangan koperasi secara umum dan yang khas di setiap tipologi. Kegiatan ini meliputi identifikasi kondisi fisik, social ekonomi kawasan, tata ruang kawasan, pelaksanaan kebijakan / rencana / program – program pembangunan sector di kawasan sentra produksi.
b. Mengidentifikasi bentuk kelembagaan dan kebijakan yang berperan besar dalam pengembangan koperasi.
c. Mengidentifikasi factor pendorong dan peluang – peluang pengembangan koperasi dalam kerangka penetapan otonomi daerah.
(8)
2
METODE STUDI
2. 1.Kerangka AnalisisUntuk mengevaluasi keragaan koperasi digunakan berbagai tolok ukur objektif yang dapat diukur dan dibandingkan. Pengujian tolok ukur tersebut dilakukan dengan menggunakan data sekunder. Validasi data diuji dengan menggunakan analisis statistika deskriptif. Validasi data tersebut sekaligus merupakan proses pemilihan data yang layak untuk dianalisis. Hasil validasi data dan keragaan awal data sekunder digunakan sebagai bahan penyusunan hipotesis serta pengelompokan tingkat perkembangan koperasi.
Hasil validasi merupakan data yang siap untuk dianalisis. Analisis yang dilakukan adalah teknik analisis gerombol dan analisis komponen utama untuk mendapatkan tipologi secara empiric. Penjabaran singkat dari teknik analisis yang digunakan disampaikan dalam sub bab selanjutnya. Gerombol alamiah akan diidentifikasi dan selanjutnya diuji factor penciri dari setiap tipologi koperasi.
Berdasarkan tolok ukur dasar secara hipotetik di munculkan berbagai ukuran – ukuran operasional yaitu ukuran – ukuran yang dapat diidentifikasikan di lapangan atau dapat disediakan datanya di lapangan. Melalui uji statistic sederhana, dilakukan uji konsistensi terhadap tolok ukur hipotesis yang ada sehingga terpilih ukuran – ukuran yang terbaik.
Dengan menggunakan analisis korelasi berganda dilakukan penghitungan keterikatan antara tolak ukur perkembangan koperasi dengan factor – factor yang dihipotesiskan menjadi factor – factor yang mempengaruhi perkembangan koperasi. Hasil dari korelasi ini adalah diperolehnya factor – factor yang berpeluang dalam mempengaruhi perkembangan koperasi.
Pada saat yang bersamaan dilakukan studi literature untuk melakukan eksplorasi terhadap Undang – Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 dalam kaitannya dengan pembangunan koperasi dan studi kasus di beberapa daerah mengenai penerapan otonomi daerah, seperti peraturan daerah, struktur organisasi di daerah dan kiat – kiat pelaksanaan otonomi daerah. Ini penting untuk dilakukan agar strategi pembangunan koperasi yang akan disusun sesuai dengan kerangka perundang – undangan yang ada.
Data berupa kebijakan yang diturunkan semasa kemerdekaan hingga era reformasi digunakan sebagai bahan untuk mengidentifikasi potensi pengembangan, bentuk kelembagaan dan kebijakan yang ada serta kendala pengembangan koperasi.
(9)
Kompilasi data akan dilakukan melalui pendekatan analisis SWOT
(Strength, Weakness, Opportunity, Threat) bagi stakeholder terbatas. Kompilasi tersebut diharapkan akan menghasilkan konsep pengembangan koperasi secara utuh.
2. 2. Metode Pendekatan dan Analisis 2.2.1. Pengumpulan Data
Pemilihan koperasi sebagai studi kasus dilakukan secara purposif dengan asumsi bahwa koperasi tersebut mewakili keragaman kondisi perkoperasian di Indonesia. Lokasi studi tidak dipilih secara spesifik. Pengumpulan data dalam studi adalah pengumpulan data sekunder.
Stakeholder koperasi yang teridentifikasi akan dijadikan sebagai narasumber tentang kebijakan dan keragaan koperasi secara umum dalam studi ini antara lain : pejabat di kementerian Negara koperasi, pejabat DEKOPIN, pengurus koperasi baik yang ada di provinsi serta kabupaten / kotamadya, anggota koperasi, dan pegawai dinas koperasi.
Data sekunder akan dikumpulkan di tingkat pusat. Pusat data yang dihubungi untuk mendapatkan berbagai informasi tentang koperasi antara lain : Badan Pusat Statistik, Kantor Kementerian Koperasi, DEKOPIN serta kantor dinas koperasi di propinsi dan kabupaten. Buku – buku data yang dapat diidentifikasi akan dikumpulkan antara lain :
1. Laporan Tahunan Koperasi serta Statistik Koperasi 2. Potensi Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia 3. Perekonomian Propinsi / Kabupaten
4. Tabel input – output propinsi
5. Buku – buku Statistik Kabupaten dan propinsi dalam Angka 2.2.2. Teknik Analisis
1. Analisis Komponen Utama
Untuk menampilkan data pada objek – objek yang mempunyai beberapa peubah (dimensi) maka perlu dilakukan transformasi agar peubah tersebut dapat diwakilkan pada peubah baru yang mampu menerangkan keragaman data terbesar.
Peubah – peubah baru tersebut merupakan kombinasi linier dengan peubah lama sehingga dapat dicari tingkat korelasi peubah baru dengan peubah lama. Peubah baru tersebut tidak mempunyai korelasi antar peubah baru lain.
Peubah baru Y 1 dimana Y1 =a 1
x yang mempunyai ragam
σσσσ² Y1, Y2 dimana Y2= a2 X yang mempunyai ragam σσσσ² Y2, demikian seterusnya sampai
(10)
= ap X yang mempunyai ragam σσσσ²YP. σ
σ σ
σ²Y1 ≥≥σ≥≥σσσ²Y2 ≥≥≥≥………….σσσσ²YP-1 ≥≥σ≥≥σσσ²YP
σ σ σ
σ²Y1 = a 1 ! a 1
Sasaran adalah max a1 σσσσ² x a1 dengan kendala | a1 |||| = 1 F (a1) = a1!a1 – A (a1 – 1)
D f (a1)/d a1 = a1!a1 – 2 A a1 = 0
(! – A 1) a1 = 0
Jika |! – A 1 | = 0 maka Ai dapat ditentukan. Selanjutnya akan dapat ditentukan a1, demikian juga Y1.
Untuk menentukan Y2 maka fungsi f (a1) diberi kendala antara
lain σσσσ²Y1Y2 = 0,
| a2| = 1, a1 a2 = 0, sehingga
D f (a2) / d (a2) = 2 a1! a1 – B a1 = 0
Maka akan dapat ditentukan (! – B 1) a2 = 0 dan | ! – B 1 |||| = 0,
sehingga B dapat ditentukan. Nilai – nilai a2 dan Y2 dapat ditentukan
pula.
Dengan melakukan plot dua peubah baru yang mampu menerangkan variasi data yang terbesar maka akan didapatkan posisi dan penggerombolkan koperasi – koperasi yang diamati. Koperasi – koperasi yang menggerombol diharapkan mempunyai tingkat kemiripan peubah – peubahnya. Selanjutnya peubah yang paling menentukan penggerombolan tersebut akan dapat dijawab melalui penghitungan korelasi peubah lama dengan peubah hasil transformasi komponen utama.
2. Analisis Gerombol
Analisis gerombol secara konsep bertujuan mengelompokan objek (koperasi) ke dalam koperasi yang lebih homogen bedasarkan suatu ukuran kedekatan tertentu. Ukuran kedekatan tersebut sangat tergantung pada sifat peubah (diskret, kontinu, biner) atau skala pengukuran (nominal, ordinal, interval, rasio) dan pengetahuan bidang yang akan diteliti (subject – matter). Ukuran kedekatan tersebut adalah ukuran jarak.
Pada penelitian ini metode penggerombolan yang digunakan terbagi dua, yakni :
1. Metode tak berhierarki ( Nonhierarchical Clustering Methods) 2. Metode berhierarki ( Hierarchical Clustering Methods ) a.Methode tak berhierarki
Pertama – tama memisahkan sejumlah koperasi dengan p peubah ke dalam K gerombol yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Kemudian dipilih sejumlah K data sebagai pusat gerombol dengan satu anggota, lalu menggerombolkan N – K data yang lain
(11)
ke dalam gerombol dengan pusat yang terdekat. Setelah terbentuk pusat gerombol yang baru, selanjutnya menukar keanggotaan masing – masing gerombol sedemikian rupa, sehingga terbentuk suatu kelompok dengan anggota koperasi yang tetap. Kelompok hasil penggerombolan metode tak berhierarki tersebut dianggap sebagai contoh untuk setiap kelas koperasi dalam rangka menyusun fungsi klasifikasi.
Ukuran jarak yang digunakan dalam penggerombolan ini adalah jarak Mahalanobis, yang didefinisikan sebagai berikut : d²rs = (Xr – Xs)’ S (Xr – Xs), dengan S = matrik peragam total
Jarak Mahalanobis digunakan bila dikhawatirkan peubah yang diamati saling berkorelasi.
b.Metode berhierarki
Metode penggerombolan berhierarki digunakan pada analisis keterpisahan antar koperasi. Ukuran keterpisahan dapat diwujudkan melalui gram batang dan ranting (dendogram ). Dengan analisis ini ukuran keterpisahan dan kedekatan antar gerombol dapar dihitung. Selanjutnya, metode berhierarki sebenarnya mempunya dua pendekatan yakni : metode berhierarki agglomerativedan metode hierarki “Divisive”. Metode berhierarki “Divisive” mula – mula memandang data (koperasi – koperasi) sebagai satu kelompok dan kemudian dibagi menjadi sub kelompok yang berjauhan. Tiap sub kelompok dibagi lagi menurut ukuran tak keserupaan menjadi sub – sub kelompok, dan seterusnya sehingga menjadi banyak kelompok yang sebanyak objeknya. Sedangkan metode berhierarki “Agglomerative” dimulai dengan satu koperasi, sehingga pada awalnya akan terbentuk N gerombol koperasi. Penggerombolan dilakukan menurut ukuran kedekatan atau keserupaan, hingga akhirnya membentuk satu gerombol. Dalam penelitian ini digunakan metode berhierarki “agglomerative”.
Metode “ agglomerative” dibedakan sebagai berikut : a. Metode pautan
a.1. pautan tunggal a.2. pautan lengkap a.3. pautan rataan b. Metode Ward 3.Fungsi Diskriminan
Tujuan dilakukan analisis diskriminan pada penelitian koperasi ini adalah mampu disusun fungsi pembatas antar gerombol koperasi. Dengan adanya fungsi pembatas antar gerombol koperasi tersebut maka akan dapat diukur perubahan nilai – nilai peubah yang
(12)
digunakan dalam menyusun fungsi tersebut suatu koperasi dari gerombol tertentu akan berubah menjadi koperasi gerombol yang lain.
Diasumsikan bahwa S = {fj , j = 1,2,…, M). S adalah gugus koperasi dengan jumlah gerombol yang belum diketahui. Hasil klasifikasi sebelumnya akan diketahui jumlah gerombol serta anggota koperasi dalam gerombol tersebut. Sehingga gugus S dapat dituliskan kembali S = (fjk , j = 1,2,…Mk), k = 1,…,K. (Dengan asumsi jumlah gerombol adalah K).
Fungsi klasifikasi diwujudkan sebagai fungsi kepekatan peluang f(z) :
F(z) = 1 1 (2 π)² |C|1/2
Dengan z adalah vector berdimensi N, m = E(z) adalah vector rataan berdimensi N,
C = E ((z – m)(z – m)’) adalah matriks ragam peragam berukuran Nx N,
|C| adalah determinan matriks ragam peragam. Didalam pendekatan statistika vector z dianggap sebagai peubah acak. Jika z hendak diklasifikasikan ke dalam Sk, maka perlu adanya fungsi kepekatan peluang bersyarat f(z||||Sk) dan peluang apriori P(Sk). Asumsi selanjutnya adalah selebaran fungsi kepekatan peluang f diketahui dan parameter f hanya diidentifikasikan dari anggota gerombol. Dalam analisis fungsi determinan juga akan dianalisis kerugian melalui perhitungan kesalahan klasifikasi.
(13)
3
PRAKTEK PERKOPERASIAN DI
STRUKTUR PEMAHAMAN DAN
INDONESIA
Perkenalan rakyat Indonesia dengan koperasi telah melalui perjalanan panjang yang diawali sejak peralihan abad 20. dalam perkembangannya sebagaimana menjadi pengalaman Negara berkembang lain diprakarsai oleh pejabat pemerintah. Di Indonesia, khususnya hal ini dimulai pada masa penjajahan Belanda, yang dilakukan sebagai upaya memperkenalkan bentuk pembaharuan social ekonomi yang moderat. Peran pemerintah dalam pengembangan koperasi setelah proklamasi kemerdekaan masih tetap besar, diantaranya dalam bentuk menerbitkan peraturan perundangan serta pemberian fasilitas, subsidi, upaya, perlindungan atau bentuk lainnya.
3.1. Masa Pra Kemerdekaan
Bibit awal didirikannya suatu organisasi yang senafas dengan koperasi diprakarsai oleh R. Aria Wiriaatmadja, patih Purwokerto dengan mendirikan “De Purwakertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden “ (bank Bantuan dan Simpanan Purwokerto), atau lebih dikenal dengan sebutan “Bank Priyayi Purwokerto” , pada tanggal 16 Desember 1895. Pendirian bank tersebut bertujuan untuk menolong para pegawai pemerintah di wilayah Purwokerto, yang sering terjerat hutang pada lintah darat.
Bank hasil prakarsa Patih Aria Wiriaatmadja ini menurut Bung Hatta bukan merupakan bank koperasi. Meskipun demikian, Bank yang didirikan oleh R. Aria Wiriaatmadja itu, selanjutnya oleh de Wolff van Westerrode diubah menjadi “Purwokertosche Hulp, Spaaren, Landbouwer Creadit Bank” yang memberikan kredit baik kepada pegawai pemerintah maupun kepada para petani. (Bank Bantuan dan Simpanan serta Kredit Petani Purwokerto). Bersamaan dengan pendirian dan perluasan bank tersebut ke seluruh Karesidenan Banyumas, didirikan pula 250 buah lumbung desa dengan fungsi memberikan kredit dalam bentuk padi.
Pola pendirian Bank Priyayi Purwokerto tersebut menjadi salah satu ide dasar untuk mendirikan Bank Kredit Rakyat (Volks Credit Bank) diseluruh pulau Jawa dan Madura. Tahun 1934, semua Bank Kredit Rakyat disatukan menjadi
“Algemeene Volkscredit Bank” yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. De Wolff Van Westerrode bercita – cita ingin membangun koperasi model Raiffeisen bagi petani di pedesaan. Model Shultze Deiltz untuk para pegawai pemerintah di daerah perkotaan kemudian berubah menjadi cikal bakal BRI.
Walaupun nafas organisasi yang menjadi rintisan pertumbuhan koperasi di Indonesia di nyatakan mulai 1895 /1896, namun awal kegiatan pengembangan cita – cita koperasi di kalangan masyarakat Indonesia sesungguhnya baru dimulai oleh pergerakan nasional Boedi Oetomo (1908). Bung Hatta menyatakan bahwa, “pergerakan nasionallah yang mendorong perkembangan koperasi”.
(14)
Perasaan kebangsaan menjadi semangatnya. Hal itu karena sejak semula pergerakan nasional memang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Oleh karena itu pendidikan (pengajaran) dan perekonomian menjadi program terpenting bagi partai yang berdiri pada saat itu, seperti : Boedi Oetomo, NIP, Serikat Islam, PK1, Pasundan, PNI, Indonesiche Studie Club Surabaya, Partindo, Parindra dan lain sebagainya. “Rakyat yang lemah ekonominya tidak akan dapat membentuk Negara yang kuat, dan ekonomi akan tetap lemah, apabila rakyat yang terbanyak masih buta huruf”, demikian penjelasan Bung Hatta.
Partai (organisasi gerakan nasional) menganjurkan kepada kalangan rakyat untuk membentuk koperasi. Boedi Oetomo atau Sarikat Islam membentuk koperasi – koperasi rumah tangga atau toko – toko koperasi ( koperasi konsumen). Akan tetapi karena pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola koperasi konsumen masih sangat kurang, sedang pemerintah maupun gerakan sendiri belum menyelenggarakan pendidikan atau penyuluhan, akibatnya koperasi – koperasi yang tumbuh tidak berumur panjang. Sementara itu pada tahun 1927 di Surabaya didirikan “Indonesiche Studi Club” oleh dr. Soetomo (pendiri Boedi Oetomo tahun 1908) yang beranggotakan segolongan kecil kaum Intelektual, yang antara lain mempelajari masalah perkoperasian.
Pada tahun 1929 diselenggarakan kongres koperasi oleh “ Partai Nasional Indonesia” di Jakarta. Pimpinan Partai Nasional Indonesia terdiri dan pemuda – pemuda nasionalis yang pernah belajar di negeri Belanda dan mempelajari gerakan koperasi di Eropa. Semangat berkoperasi dalam kongres tersebut mendorong berdirinya banyak koperasi di Jawa dan puncaknya terjadi pada tahun 1932. Setelah tahun itu, kembali koperasi mengalami kemunduran. Kejadian itu timbul akibat lemahnya pemilikan dan aplikasi dari dasar – dasar koperasi. Pada akhir tahun 1931 terdapat sekitar 1.549 buah koperasi (yang dinilai “liar” karena tidak disahkan pemerintah), dan hanya 172 buah yang disahkan (menurut UU No. 91/1927).
Menjelang pecah perang dunia ke II hampir tidak ada lagi koperasi yang aktif beroperasi. Meskipun demikian kondisi itu tidak menggambarkan kegagalan dalam proses pembangunan maupun pembinaan koperasi. Menurut catatan resmi, jumlah koperasi yang telah disahkan hingga tahun 1939 mencapai 656 buah (599 buah di Jawa dan 57 buah di luar Jawa), dan 82 buah diantaranya telah dibubarkan (69 buah dan 13 buah di luar Jawa).
(15)
Tabel 3.1. Jumlah Koperasi, Anggota dan Simpanan Masa Sebelum Kemerdekaan
Tahun Jumlah Koperasi Jumlah Anggota Simpanan Anggota dan Titipan 1927 1928 1929 1930 1931 1932 1933 1934 1935 1936 1937 1938 1939 1940 1941 1942 1 22 43 89 133 172 233 263 399 342 410 540 574 639 712 728 7.848 13.725 14.035 18.307 18.663 19.064 20.423 28.697 40.237 52.216 f 101.296 f 194.578 f 262.184 f 317.613 f 375.557 f 306.317 f 302.399 f 570.182 f 633.082 f 850.671
Sumber : Nasoetion, 2000.
Koperasi kredit merupakan jenis koperasi terbesar (440 buah di Jawa, 45 buah di luar Jawa, dan 63 buah diantaranya dibubarkan). Menurut Bung Hatta selain koperasi konsumen dan koperasi kredit, pada masa penjajahan Belanda terdapat beberapa jenis koperasi lainnya, seperti : koperasi produksi, koperasi pembangunan rumah, koperasi pembebasan hutang dan koperasi lumbung.
Dengan adanya perkembangan koperasi yang sudah mulai memasyarakat, pemerintah Belanda memandang perlu segera mengeluarkan peraturan perundangan untuk mengatur kehidupan perkoperasian di Hindia Belanda. Rangkaian perundangan tentang perkoperasian yang telah diterbitkan pemerintah penjajahan Belanda, adalah sebagai berikut :
1. Peraturan Perkumpulan Koperasi (Verordening Op de Cooperatieve Vereenegingen) Tahun 1915 No. 431
Peraturan ini berlaku untuk semua golongan penduduk. Bagi golongan bumiputera yang kurang berpendidikan dan lemah kondisi perekonomiannya dirasakan terlalu berat, khususnya dari segi prosedur maupun besarnya biaya pendirian koperasi.
(16)
2. Peraturan Perkumpulan – Perkumpulan Koperasi bagi Golongan Bumiputera (Regeling Inlandsche Cooperatieve Vereenigingen) Tahun 1927 No. 91
Perkumpulan koperasi yang berdasar peraturan perundangan ini mempunyai hak badan hukum bumiputera. Hal ini sangat penting, khususnya dalam kaitan dengan hak tanah kaum bumiputera. Sedangkan bagi koperasi kredit, terbuka kemungkinan untuk meminjamkan uang kepada anggotanya secara hukum adat menggunakan tanggungan barang, seperti : sawah, kebun dsb.
3. Peraturan Umum Perkumpulan – perkumpulan Koperasi (Algemene Regeling Op de Cooperatieve Vereenigingen) Tahun No. 21
Peraturan ini serupa dengan peraturan tahun 1915 dan hanya berlaku bagi
Orang – orang yang tunduk kepada hukum barat. Dalam upaya meningkatkan pembinaan koperasi, oleh pemerintah pada akhir 1930 telah dibentuk Jawatan koperasi dipimpin Prof. Dr. J.H. Boeke, mantan Ketua Panitia Koperasi tahun 1920. Jawatan ini sejak awal hingga tahun 1935 berada di bawah naungan Departemen Dalam Negeri, dan selanjutnya dipindah ke Departemen Perekonomian di bagian Usaha Umum. Kemudian sejak tahun 1939 Jawatan Koperasi diperluas menjadi Jawatan Koperasi dan Perdagangan Dalam negeri. Dalam wadah baru ini, pejabat koperasi tidak hanya memberi bimbingan dan penerangan tentang koperasi, tetapi juga tentang perdagangan, terutama perdagangan bumiputera.
Dalam masa pemerintah pendudukan Jepang diberlakukan Undang – undang perkoperasian untuk orang – orang Indonesia (Bumiputera) Tahun 1927 No. 91, asal tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Militer Jepang. Disamping itu, Pemerintah Militer Jepang juga mengeluarkan Undang – undang No. 23 yang mengatur cara – cara pendirian perkumpulan dan penyelenggaraan persidangan, di mana disebutkan antara lain bahwa untuk mendirikan perkumpulan, termasuk koperasi, harus ada izin dari Shuchokan (Residen).
Pada tanggal 1 Agustus 1944 pemerintahan telah mendirikan Kantor Perekonomian Rakyat, yang bertugas mengurus segala hal yang berkaitan dengan perekonomian rakyat. Dengan berdirinya kantor ini, Jawatan Koperasi menjadi bagian dari kantor bersangkutan dan disebut Kumiaika, yang tugasnya adalah untuk mengurusi hal – hal yang berkaitan dengan koperasi. Sedang yang berkaitan dengan perdagangan diserahkan kepada bagian usaha
(17)
Kumiai – kumiai (koperasi – koperasi) itu selanjutnya oleh pemerintah pendudukan Jepang dipergunakan sebagai sarana untuk membagikan barang – barang pemerintah kepada rakyat dan sebaliknya mengumpulkan hasil bumi (padi, kapas, iles – iles, dsb) untuk keperluan peperangan Asia Timur Raya. Dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, tamat sudah era penjajahan. Dalam kondisi pahit getirnya periode penjajahan itu, telah tertorehkan awal sejarah gerakan koperasi Indonesia.
3.2. Masa Orde Lama
Pada masa kemerdekaan, peran dan posisi koperasi dicantumkan dalam penjelasan pasal 33 ayat (1) Undang – Undang Dasar 1945. Koperasi telah memperoleh amanah untuk menjadi sokoguru perekonomian nasional.
Suasana perjuangan fisik di tanah air turut menghambat pembangunan koperasi secara terencana. Namun demikian berdasar kesadaran bahwa pembangunan koperasi hanya bisa dilakukan secara efektif apabila di antara para pelaku bekerjasama, maka tanggal 11 – 14 Juli 1947 telah diselenggarakan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya, Jawa Barat. Kongres dihadiri oleh sekitar 500 orang utusan dari gerakan koperasi serta pejabat pemerintah yang datang dari berbagai pelosok tanah air. Pada 12 Juli 1947 kongres menyepakati pembentukan organisasi gerakan koperasi Indonesia yang pertama, dengan nama SOKRI (Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia). Tanggal pembentukan SOKRI 12 Juli kemudian disepakati sebagai “Hari Koperasi” yang selalu diperingati setiap tahunnya.
Pembentukan SOKRI sebagai organisasi gerakan koperasi merupakan tonggak sejarah, yang mengandung semangat kerjasama, persatuan dan kesatuan, di antara sesama organisasi koperasi, dan di antara para anggota gerakan koperasi dengan pihak pemerintah. Hanya saja dalam kondisi masih berlangsungnya perjuangan fisik, organisasi gerakan koperasi belum dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Selanjutnya dalam Kongres Koperasi II (1953) nama SOKRI diganti menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Dalam kongres itulah Moh. Hatta ditetapkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Langkah perjuangan koperasi untuk mewujudkan amanat konstitusi menghadapi berbagai hambatan dan tantangan, baik secara fisik maupun secara konseptual. Perihal kesulitan mewujudkan koperasi sebagai pelaku ekonomi nasional sudah disadari sejak awal oleh para pendiri Negara ini. Adalah Bung Hatta yang sudah memperingatkan dalam pidato radio 12 juli 1951, bahwa disamping koperasi sebagai cita – cita, ada “desakan rakyat untuk mendapat perbaikan hidup sekarang juga”
Menyadari, bahwa “rakyat jelata tidak bisa hidup dengan cita – cita saja”, maka beliau menyarankan untuk bersikap realis yaitu dengan memisahkan politik perekonomian jangka panjang, yang meliputi usaha dan rencana menyelenggarakan secara berangsur – angsur ekonomi Indonesia berdasarkan koperasi, dengan politik perekonomian jangka pendek, yang realisasinya
(18)
bersandar pada bukti – bukti nyata untuk memperbaiki keadaan hidup rakyat. “tindakan itu sementara waktu dan harus dilakukan”, kata Bung Hatta, tetapi dengan catatan, “antara kedua cabang politik kemakmuran itu harus ada koordinasinya. Perhubungannya”,
Namun demikian ternyata pembinaan dan pengembangan koperasi tetap saja mengalami kesulitan dalam penyesuaiannya dengan pesan Bapak Koperasi Indonesia. Dan pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa proses pembinaan dan pengembangan koperasi lebih banyak “mengikuti arus” perkembangan politik yang berlaku, ketimbang secara konsisten berkiblat pada pasal 33 UUD 1945.
Pola itu dapat dilihat dari periode ke periode dalam perjalanan kehidupan Negara kita. Pada periode yang sering disebut sebagai “masa demokrasi liberal”
(1950 – 1959) pengembangan koperasi banyak bersikap “ing ngarso sung tulodo” (didepan memberi contoh) dan “tut wuri handayani” (di belakang, memberikan kekuatan).
Situasi demikian itu kemudian berubah drastis, khususnya pada periode : “demokrasi terpimpin” (1959 – 1965), yang dipenuhi dengan slogan “politik adalah panglima”. Pada masa itu, pembinaan koperasi sepenuhnya berada dalam dominasi pemerintah, bahkan organisasi gerakan koperasi yang disebut KOKSI (Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia) dipimpin langsung oleh Menteri yang menangani koperasi, yaitu Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa (Transkopemada), dan kemudian dilanjutkan oleh Menteri Transmigrasi dan Koperasi (Mentranskop).
Ketika pemerintah “Orde Lama” runtuh pada bulan Oktober tahun 1965, dan kemudian diganti pemerintah “Orde Baru” berbagai upaya telah diselewengkan. Diterbitkan pula antara lain UU No. 12/1967 tentang pokok – pokok Perkoperasian, untuk menggantikan UU No. 14/1965 tentang perkoperasian yang nyata – nyata menempatkan koperasi sebagai lembaga politik. Gerakan koperasi secara simultan mulai membenahi diri dengan meniadakan produk – produk Orde Lama yang jelas tidak sesuai dengan prinsip– prinsip koperasi secara universal.
3.3. Masa Orde Baru
Untuk dapat mewujudkan organisasi ekonomi mandiri, pemerintah Masa Orde Baru hanya melakukan pembinaan khususnya untuk memantapkan aspek kelembagaan, seperti membina tumbuhnya pengawasan secara demokratis olek anggotanya dan menetapkan peran pemerintah hanya terbatas pada pemberian bimbingan, fasilitas serta penciptaan iklim yang diharapkan mampu membantu memandirikan koperasi. Untuk itu tahap pembangunan KUD ditempuh melalui 3 (tiga) tahap, yaitu : ofisialisasi, eofisialisasi (debirokratisasi) dan otonomi. Pada tahap otonomi (mandiri), koperasi diharapkan sudah mampu mengambil keputusan sendiri, tanpa campur tangan dari luar termasuk dari pemerintah.
Sejak awal Orde Baru, pembangunan koperasi telah diintegrasikan dengan pembangunan perekonomian nasional melalui pengkaitan koperasi pertanian yang dikembangkan menjadi KUD dalam menangani pengadaan pangan nasional. Hal itu tercermin dalam Garis – garis Besar Haluan Negara
(19)
(GBHN) dan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dalam Pembangunan Jangka Panjang (25 tahun) Tahap 1 Pemerintah denan melalui program pembangunan KUD-nya berupa membuat koperasi itu menjadi badan usaha di perdesaan. Namun demikian, upaya itu belum cukup memuaskan dari sisi perkembangan kualitas kegiatan usahanya. Untuk memacu kualitas kegiatan usahanya itu UU No. 12/1967 kemudian diganti dengan UU No. 25 Tahun 1992, yang lebih menekankan pada pengaturan keberadaan koperasi sebagai suatu badan usaha. Upaya tersebut diharapkan akan mendorong peningkatan posisi dan peran koperasi dalam dinamika bisnis perekonomian nasional, sekaligus menyiapkannya untuk menghadapi era perdagangan bebas.
Selanjutnya dalam GBHN 1993 yang lalu telah ditetapkan kebijakan Pembangunan Lima Tahun ke VI, diantaranya memuata pernyataan : “ koperasi yang merupakan bagian integral dari perekonomian nasional, baik sebagai badan usaha maupun sebagai gerakan ekonomi rakyat, pembangunannya diarahkan untuk mengembangkan koperasi agar menjadi makin maju, makin mandiri, dan makin berakar dalam masyarakat, serta menjadi badan usaha yang sehat dan mampu berperan dalam kehidupan ekonomi rakyat, dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang – undang dasar 1945”.
Tentang kemandirian koperasi, pasal 5 UU No. 25/1992 menyatakan bahwa hal itu merupakan salah satu prinsip koperasi Indonesia, dengan penjelasan “Kemandirian mengandung pengertian dapat berdiri sendiri tanpa bergantung pada pihak lain, yang dilandasi oleh kepercayaan kepada pertimbangan, keputusan, kemampuan dan usaha sendiri. Dalam kemandirian pengertian kebebasan yang bertanggung jawab, otonomi, swadaya, berani mempertanggungjawabkan perbuatan sendiri, dan kehendak untuk mengelola diri sendiri”. Semangat kemandirian itu mengungkapkan bahwa koperasi merupakan satu masyarakat sendiri, dan karenanya pemerintah harus menjauhkan diri dan upaya campur tangan. Hal itu juga dinyatakan dalam penjelasan pasal 60 UU NO. 25/1992: “Sesuai dengan prinsip kemandirian, pembinaan dilaksanakan tanpa mencampuri urusan internal organisasi koperasi”.
Secara normative, kemandirian koperasi sudah menjadi ketentuan praktis. Hal itu bukan saja sesuai dengan tuntutan dari dalam koperasi sesuai dengan prinsip – prinsipnya, tetapi diharapkan juga dapat memenuhi tuntutan dari luar selaras dengan berlakunya globalisasi atau liberalisasi ekonomi.
Melalui aplikasi berbagai kebijakan pemerintah dan aktivitas gerakan koperasi sendiri, telah terjadi proses pertumbuhan dalam perkoperasian Indonesia yang relative cukup maju apabila diukur dan indicator fisik seperti besarnya jumlah koperasi, anggota koperasi, permodalan, asset, omzet (volume usaha) maupun besarnya nilai SHU. Hal itu dapat dibaca dalam data selama 5 tahun terakhir masa orde baru (1994 – 1998).
(20)
Tabel 3.2. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Orde Baru (1994 s/d 1997)
Kinerja Koperasi Pada No Uraian Satuan
1994 1996 1997
Pertumbuhan Per Tahun
1 Koperasi Unit 44294 49075 54580 7.74 2 Anggota Ribu Orang 25359 27006 29140 4.97 3 Modal sendiri Miliar Rp. 2286 3033 4218 28.17 4 Modal luar Miliar Rp. 2149 3095 8911 104.89 5 Asset Miliar Rp. 4435 6028 13520 68.28 6 Omzet Miliar Rp. 8187 12345 -33.33 7 SHU Miliar Rp. 243 447.7 -33.33 Sum ber: Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah (PUSDATIN).
Dari gambaran Tabel 3.2. tersebut diketahui bahwa pada periode 1994 – 1997 yaitu periode sebelum krisis ekonomi, pertumbuhan koperasi ditinjau dari hampir seluruh indicator kinerjanya secara fisik bernilai negative, kecuali modal usaha. Suntikan modal dengan laju pertumbuhan yang telatif besar tersebut tidak mendorong kinerja koperasi menjadi semakin baik. Laju pertumbuhan jumlah koperasi per tahun meningkat sebesar 7.74 % per tahun dengan peningkatan laju pertumbuhan anggota sebesar 4.97 % per tahun. Pertumbuhan jumlah koperasi dan anggota tersebut secara positif hanya diikuti oleh pertumbuhan asset koperasi sebesar 68.28% per tahun. Namun demikian, pertumbuhan jumlah koperasi dan jumlah anggota tersebut justru diikuti oleh penurunan laju pertumbuhan omzet sebesar 33.33% per tahun dan penurunan laju pertumbuhan SHU sebesar 33.33 % per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja koperasi pada periode tersebut sangat buruk.
Selanjutnya, setelah sejak krisis ekonomi yang terjadi pada Agustus 1997 pertumbuhan jumlah koperasi justru terjadi masih cukup besar yaitu sebesar 8.91% per tahun, namun jumlah anggota mengalami penurunan sebesar 30.93% per tahun. Pertumbuhan jumlah koperasi tersebut hanya diikuti secara positif oleh pertumbuhan modal sendiri koperasi, namun demikian justru terjadi penurunan pertumbuhan jumlah orang yang menjadi anggota koperasi. Hal ini menunjukkan bahwa koperasi menjadi semakin tidak menarik bagi masyarakat.
Gambaran seperti itu menunjukkan bahwa citra koperasi sampai saat ini masih belum bagus. Koperasi selalu diidentikan dengan kelompok ekonomi lemah. Indikatornya berupa fakta bahwa koperasi secara terus menerus selalu dibantu pemerintah. Padahal, koperasi itu lemah karena para anggotanya yang lemah, baik dalam disiplin maupun kemampuan meraih laba usaha. Namun sesuai dengan harkatnya bahwa perkembangan koperasi sangat ditentukan oleh kualitas bisnis dan disiplin anggota koperasinya, maka kondisi itu tidak mungkin dihindarkan. Itulah sebabnya setelah koperasi dibentuk sebenarnya pengurus dan manajemen koperasi diharapkan mampu memfasilitasi kegiatan bisnis anggotanya, agar usaha anggota itu mampu berkembang lebih lanjut. Dalam kegiatan seperti itulah koperasi baru dianggap mampu berperan sebagai lembaga ekonomi yang dapat menerapkan watak sosialnya.
(21)
Keterbatasan ditemukan juga pada langkanya sumber daya manusia koperasi yang berkualitas, sehingga aplikasi proses manajemen koperasinya belum dapat dilakukan sebagaimana yang diharapkan. Kendala utama itu pada gilirannya telah menumbuhkan hambatan lain sebagai bagian dari rangkaian mata rantai, seperti misalnya : kelemahan dan organisasi dan manajemen, kelemahan dalam struktur permodalan, kekurangmampuan koperasi memanfaatkan peluang untuk meraih pangsa pasar, serta keterbatasan penguasaan teknologi, di samping lemahnya jaringan usaha koperasi. Hal ini didukung dari studi yang dilakukan oleh beberapa civitas akademika IPB yang antara lain menyatakan bahwa kelemahan dari koperasi antara lain disebabkan oleh :
• Rendahnya efisiensi dan produktifitas koperasi karena
kekurangsigapan pelaku utama koperasi dalam mengejar peluang pasar (Permatasari, 1997; Dewi, 1995).
• Rendahnya kualitas sumberdaya manusia, kurang efektifnya
pengawasan dan pengendalian pengurus, belum optimalnya peran manajer koperasi, ketergantungan koperasi terhadap fasilitas – fasilitas pemerintah serta penempatan karyawan / pengurus koperasi tidak sesuai dengan keterampilan dan keahlian yang dimilikinya (Arifin, 1996).
• Lemahnya akses informasi dari anggota koperasi (Dewi, 1995).
Dalam kaitan itu Ibnoe Soedjono (1997) menyatakan meskipun ada pasal 33 UUD 1945, sektor koperasi di Indonesia tetap sangat lemah. Juga kalau dibandingkan dengan perkembangan koperasi di Negara – Negara tetangga, makin tampak kelemahan koperasi kita. Organisasinya koperasi umumnya rapuh dan tidak efisien. Kalaupun usahaya berkembang, hal itu lebih karena dukungan dan fasilitas serta bantuan pemerintah atau karena praktek – praktek swasta”.
Selaras dengan kondisi itu peran DEKOPIN, sebagai organisasi tunggal masyarakat koperasi, ternyata juga belum mampu menunjukkan kekuatan sebagai mitra pemerintah, dalam proses pembinaan dan pengembangan koperasi. Lembaga gerakan koperasi yang sejak 1947 telah diubah namanya menjadi Dewan Koperasi Indonesia kemudian dalam Munaskop ke X ditetapkan sejak 1977 disebut dengan DEKOPIN ternyata belum aktif. Akibatnya fungsi Dekopin sebagai wadah penjuangan yang bertumpu terutama pada kegiatan promosi dan advokasi untuk mengembangkan dan melindungi identitas dan jatidiri koperasi, ternyata belum mampu juga menyuarakan aspirasi masyarakat koperasi secara luas.
Apalagi sejak 1993 ada konflik antara pucuk pimpinan DEKOPIN dan pimpinan Depkop ~ PPK waktu itu, yang kemudian meluas pada Induk – induk koperasi sehingga mereka akhirnya ke luar dan keanggotaan DEKOPIN. Konflik bersumber pada perbedaan pendapat tentang penyesuaian Anggaran Dasar DEKOPIN dengan isi UU No. 25/1992. Sementara pihak pimpinan DEKOPIN berpendapat bahwa sudah dilakukan penyesuaian, namun pihak pemerintah dan induk – induk yang keluar dan DEKOPIN merasa hal itu belum dilakukan. Konflik yang berkepanjangan itu akhirnya terhenti dengan keluarnya Keppres
(22)
No. 21 Tahun 1997 tentang Pengesahan Anggaran Dasar DEKOPIN baru. Ternyata kelahiran Keppres ini dianggap cacat hukum, karena prosesnya dilakukan tidak melalui Rapat Anggota DEKOPIN sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Sampai tibanya masa reformasi proses rekonsiliasi dengan pihak yang mengalami konflik tidak pernah diwujudkan.
Dalam posisi DEKOPIN yang tidak mampu berfungsi seperti diharapkan, pola perkembangan koperasi pun kemudian berjalan tanpa kesatuan gerak dan kemandirian yang jelas. Selaras dengan kondisi demikian itu dorongan pengembangan kemampuan untuk melaksanakan bisnis telah menyebabkan banyak koperasi yang kemudian tumbuh berkembang hanya mengikuti arus perkemangan dari sisi usaha saja. Tidak mengherankan apabila kemudian banyak koperasi yang terjebak, sekedar hanya untuk mengejar sisa hasil usaha yang besar, yang sebenarnya menggambarkan sikap dan umumnya sebuah perusahaan tanpa berupaya untuk mengembangkan dan memperjuangkan langkah – langkah untuk memotivasi tumbuh suburnya partisipasi anggota di samping tumbuh efektifnya kualitas pelayanan yang meningkat bagi anggotanya.
3.4. Masa Reformasi
Perkembangan pada masa – masa awal orde reformasi dapat dilihat pada Tabel 3.2. Jumlah koperasi pada masa awal orde reformasi masih mengalami pertumbuhan. Namun demikian, secara relative seluruh indicator kinerjanya secara fisik antara lain dari jumlah anggota, besaran modal sendiri dari sumber anggota maupun dari luar mengalami penurunan. Demikian juga halnya dengan besarnya asset koperasi bernilai negative. Secara umum dapat dinyatakan bahwa kinerja perkoperasian pada masa reformasi masih serupa dengan kinerja pada periode – periode sebelumnya. Bertambahnya jumlah koperasi tidak menggambarkan bahwa koperasi semakin menarik bagi masyarakat. Sebaliknya, justru orang – orang sebelumnya menjadi anggota koperasi keluar dari keanggotaannya. Artinya, dari pihak yang pernah menjadi anggota koperasi sendiri merasakan bahwa koperasi kurang memberikan dampak baik secara social maupun secara ekonomi bagi anggotanya, sehingga ditinggalkan oleh para anggotanya.
(23)
Tabel 3.3. Komposisi Kinerja Koperasi Indonesia Masa Awal Reformasi (1997 s/d 1998)
Tahun No Uraian Satuan
1997 1998
Laju / Th 97 - 98
1 Koperasi Unit ribu 54580 59441 8.91 2 Anggota Orang Rp. 29140 20128 -30.93 3 Modal sendiri Miliar Rp. 4218 5122 21.43 4 Modal luar Miliar Rp. 8911 4331 -51.40 5 Asset Miliar Rp. 13520 9962 -26.32 6 Omzet Miliar Rp. 12952 * 7 SHU Miliar Rp. 508.9 *
Dengan semangat reformasi berbahagia kebijakan tertulis maupun yang tidak tertulis bagi koperasi yang dinilai menghambat perkembangan koperasi sebagai lembaga ekonomi yang demokratis, telah dihapuskan atau diganti pemerintah Kabinet Reformasi Pembangunan. Keluhan masyarakat tentang sulitnya memperoleh badan hukum koperasi, segera dijawab dengan keluarnya keputusan Menteri Koperasi & PKM dengan melakukan pendelegasian kewenangan kepada pejabat di tingkat Kabupaten / Kotamadya. Demikian pula bagi Inpres No 4 tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan KUD, yang selama ini dinilai menjadi hambatan utama dalam pengembangan koperasi bukan KUD di daerah perdesaan, telah dicabut dan diganti dengan Inpres No. 18 Tahun 1998 tentang “Peningkatan Pembinaan dan Pengembangan Perkoperasian”. Inpres itu memberi peluang yang sama bagi tumbuhnya semua jenis koperasi, baik di perdesaan maupun di perkotaan.
Kebijakan lain dalam era reformasi adalah pemberian kesempatan seluas – luasnya kepada koperasi untuk menyalurkan sembilan bahan pokok (sembako) melalui pengembangan jalur distribusi alternative, karena jalur yang ada telah mengalami kerusakan akibat krisis ekonomi. Kebijakan lain adalah penyediaan kredit bagi jalur koperasi dan UKM sebanyak 17 skema kredit, yang untuk tahun anggaran 1999 / 2000 jumlahnya mencapai Rp. 10.8 trilyun dengan tingkat bunga rendah.
Namun di sisi lain berbagai kebijakan dan kemudahan tersebut, telah pula mengakibatkan tumbuhnya koperasi dikalangan masyarakat luas yang menjadi kurang asli (genuine). Pembentukan koperasi yang dilakukan karena hanya untuk kepentingan pemanfaatan tersedianya berbagai peluang usaha oleh pihak pemerintah, tanpa menghiraukan syarat tentang jatidiri dan penerapan prinsip – prinsip koperasi, maka akan dapat ditemukan koperasi – koperasi baru, yang sekarang ini tidak mampu bertahan dalam lingkup kegiatan. Akibatnya dalam praktek akan dapat ditemui koperasi – koperasi baru yang tidak jauh berbeda dengan praktek pelaku ekonomi lainnya.
Informasi tentang prestasi jajaran koperasi dalam aplikasinya tercantum pada tabel di muka (1998). Namun dari tingkat perkembangannya, dapat dicatat apabila pada bulan Juli 1998 ada 53.767 koperasi yang memiliki badan hukum, maka pada akhir September 1998 yang lain angka itu berkembang menjadi
(24)
55.545 koperasi, dan pada akhir Desember 1998 telah meningkat menjadi 59.441 koperasi. Suatu prestasi biasa yang perlu dicermati lebih lanjut.
Penataan kembali kondisi pembangunan koperasi meliputi pula pembenahan DEKOPIN. Pada bulan November 1998 yang lain telah diselenggarakan Temu Nasional Koperasi (TUNASKOP) yang diikuti oleh semua unsur gerakan koperasi, baik yang berada didalam struktur DEKOPIN berdasar Keppres No. 21/1997 maupun yang berada di luar struktur. TUNASKOP ini telah bersepakat untuk mengesahkan draft Anggaran Dasar DEKOPIN baru, dan kemudian perlu disahkan dengan Keppres baru sebagai pengganti dan Keppres No. 21 Tahun 1997. Pengesahan AD itu baru dilakukan tiga bulan kemudian, melalui Keppres No. 24 Tahun 1999 tentang Pengesahan Perubahan Anggaran Dasar DEKOPIN, tanggal 21 maret 1999. Pengesahan itu diikuti dengan penyelenggaraan Rapat Anggota DEKOPIN untuk memilih pengurus DEKOPIN yang baru periode 1999 – 2004.
Perkembangan koperasi selanjutnya diharapkan tetap mengacu pada cita – cita yang tercantum dalam pasal 33 UU 1945. Paradigma baru dalam pembangunan system perekonomian nasional, bertumpu pada pengembangan program pemberdayaan yang berorientasi pada pembangunan ekonomi rakyat. Pada Oktober 1998 telah dideklarasikan kebangkitan ekonomi rakyat, yang bersama dengan terbitnya Ketetapan MPR/XVI/1998 melalui Sidang Istimewa MPR yang memuat materi tentang Politik Ekonomi dalam rangka Demokrasi Ekonomi, dapat membuat lebih konkritnya aplikasi paradigma baru.
Perkembangan kinerja koperasi dan laju perkembangannya setelah 1998 sampai tahun 200 dapat kita lihat pada tabel 3.4, tabel 3.5 dan 3.6.
Tabel 3.4. Kinerja koperasi tahun 1998 – 2000
Periode Perkembangan
N
o Parameter
Satu
an 1998 1999 2000
1998-1999
1999-2000
1 Jumlah Koperasi Unit 59441.00 89939.00 99765.00 51.31 10.93 Aktif Unit 46420.00 77204.00 89855.00 66.32 16.39 Tidak Aktif Unit 13201.00 12735.00 9910.00 -3.53 -22.18 2 Jumlah Anggota Unit 20128283.00 22529199.00 22976539.00 11.93 1.99 3 RAT Unit 32447.00 36767.00 33454.00 13.31 -9.01 4 Manager Unit 19834.00 22802.00 22918.00 14.96 0.51 5 Karyawan Unit 170297.00 174569.00 175531.00 2.51 0.55 6 Modal sendiri Unit 5121962.85 5270474.97 5356383.71 2.90 1.63 7 Modal luar Unit 4330986.05 12466650.49 12653650.25 187.85 1.50 8 Volume usaha Unit 12952140.48 22448490.50 22506226.48 73.32 0.26 9 SHU Unit 508925.08 557086.73 561542.42 9.46 0.80
(25)
Tabel 3.5. Rasio Parameter Kinerja Koperasi terhadap Jumlah Koperasi
N
o Ratio terhadap jumlah koperasi aktif
Perkemba ngan (%) 1998-1999
Perkemban gan (%) 1998-1999
Perkemba ngan (%) 1998-2000
1 Jmlh anggota 338.63 250.49 230.31 -26.03 -8.06 -31.99 2 RAT 0.55 0.41 0.34 -25.11 -17.97 -38.57 3 Manager 0.33 0.25 0.23 -24.02 -9.39 -31.15 4 Karyawan 2.86 1.94 1.76 -32.25 -9.35 -38.59 5 Modal sendiri 86.17 58.60 53.69 -31.99 -8.38 -37.69 6 Modal luar 72.86 138.61 126.83 90.24 -8.50 74.08 7 Volume usaha 217.90 249.60 225.59 14.55 -9.62 3.53 8 SHU 8.56 6.19 5.63 -27.66 -9.13 -34.26
Tabel 3.6. Rasio Parameter Kinerja Koperasi terhadap Jumlah Koperasi Aktif
N
o Ratio terhadap jumlah koperasi aktif
Perkemba ngan (%) 1998-1999
Perkemba ngan (%) 1998-1999
Perkemba ngan (%) 1998-2000
1 Jmlh anggota 433.61 291.81 255.71 -32.70 -12.37 -41.03 2 RAT 0.70 0.48 0.37 -31.87 -21.82 -46.74 3 Manager 0.43 0.30 0.26 -30.88 -13.64 -40.31 4 Karyawan 3.67 2.26 1.95 -38.37 -13.61 -46.75 5 Modal sendiri 110.34 68.27 59.61 -38.13 -12.68 -45.97 6 Modal luar 93.30 161.48 140.82 73.07 -12.79 50.94 7 Volume usaha 279.02 290.77 250.47 4.21 -13.86 -10.23 8 SHU 10.96 7.22 6.25 -34.18 -13.39 -43.00
Dari tabel perkembangan kinerja koperasi tahun 1998-200 (tabel 3.4) ada beberapa hal yang dapat kita lihat. Secara umum selama tiga titik tahun jumlah koperasi (aktif dan tidak aktif), jumlah anggota, RAT, jumlah manager, jumlah karyawan, jumlah modal sendiri, jumlah modal luar, volume usaha dan SHU mengalami peningkatan. Perkembangannya secara persentase menunjukkan pertumbuhan yang positif. Namun apabila kita analisis lebih lanjut dengan menghitung rasio antara variable – variable tersebut dengan variable jumlah koperasi dan jumlah koperasi aktif akan nampak fenomena lain yang cukup menarik.
Berdasarkan tabel 3.5. terlihat bahwa jumlah anggota, RAT, jumlah manajer, jumlah karyawan; jumlah modal sendiri dan SHU ternyata perkembangannya selama 3 tahun mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa berkembangnya jumlah koperasi sebagai organisasi ternyata diikuti dengan menurunnya jumlah anggota per koperasi; RAT per koperasi; jumlah
(26)
koperasi dan jumlah SHU per koperasi. Ada kemungkinan bahwa ternyata pembentukan koperasi lebih cenderung ke arah pembentukan lembaga yang bersifat simbolis, sehingga banyaknya koperasi yang terbentuk ternyata kurang didukung oleh peningkatan kapasitas di dalamnya.
Volume usaha per koperasi relative meningkat namun persentasenya kecil. Ini menunjukkan bahwa belum ada peningkatan volume usaha secara signifikan walaupun jumlah koperasi mengalami peningkatan. Satu – satunya parameter kinerja yang meningkat adalah jumlah modal luar per koperasi yang lajunya semakin besar. Dari karakteristik ini terlihat bahwa laju modal luar yang semakin besar ini lebih disebabkan oleh mobilisasi dana dari pemerintah daripada investasi oleh investor swasta. Hal ini karena dari sisi kapasitas usaha dan kinerja koperasi yang tidak mengalami peningkatan tentunya akan sulit untuk mengundang investasi dari pihak swasta. Input berupa modal luar yang semakin besar ini ternyata tidak semakin meningkatkan kinerja koperasi. Dengan demikian terjadi inefisiensi modal luar yang diberikan.
Rasio terhadap jumlah koperasi yang aktif juga menggambarkan fenomena yang serupa (tabel 3.6.) namun angkanya lebih ekstrim karena jumlah koperasi yang aktif lebih rendah daripada jumlah koperasi total. Jumlah anggota, RAT, jumlah manager, jumlah karyawan, jumlah modal sendiri, volume usaha dan SHU relative mengalami pertumbuhan yang negative, sementara jumlah modal luar relative mengalami pertumbuhan yang positif. Hal ini dapat menunjukkan secara lebih jelas bahwa telah terjadi inefisiensi modal luar yang diberikan kepada koperasi. Kinerja koperasi mengalami penurunan walaupun modal luar meningkat. Melihat hal ini sulit mengadakan bahwa modal luar ini berasal dari swasta karena swasta tidak mungkin akan menanamkan investasi pada institusi yang kinerjanya buruk. Satu – satunya kemungkinan adalah modal luar ini memang diperoleh dari mobilisasi dana oleh pemerintah.
Selanjutnya dari upaya memahami tiga jenis koperasi secara lebih mendalam, yaitu koperasi KUD, koperasi tahu – tempe dan koperasi industri kerajinan diperoleh beberapa fenomena menarik yang dijabarkan pada uraian berikut ini.
Data yang dianalisis untuk menjabarkan keragaan koperasi di orde reformasi ini didasarkan pada data tahun 1999. Secara umum keragaan koperasi yang dijabarkan terdiri dari data – data data agregat koperasi yang berkembang di 27 propinsi di Indonesia. KUD dipilih sebagai kasus dengan pertimbangan KUD merupakan salah satu jenis koperasi yang penyebarannya relative merata di Indonesia, kecuali di propinsi – propinsi tertentu. Demikian juga dengan koperasi tahu tempe dan koperasi industri kerajinan.
(27)
a. Koperasi Unit Desa
Koperasi unit desa merupakan salah satu koperasi yang relative popular dan sebagian besar merupakan koperasi pertanian. Dengan menggunakan 11 peubah dilakukan analisis komponen utama untuk menjaring peubah utama sebagai tolok ukur dalam memahami kinerja koperasi unit desa di 27 propinsi di Indonesia. Peubah – peubah tersebut adalah : keaktifan unit koperasi di setiap propinsi, jumlah koperasi total, jumlah manajer yang dimiliki, jumlah karyawan, besarnya modal dari sumber anggota sendiri, besarnya modal dari sumber luar, volume usaha yang dikembangkan, dan besarnya sisa hasil usaha.
Dari hasil analisis yang dilakukan diperoleh dua peubah baru yang dapat menerangkan struktur hubungan seluruh peubah yang digunakan. Hubungan antar peubah pewakil baru yang akan menjadi peubah dasar dalam analisis dengan dan peubah asalnya ditampilkan pada tabel 3.7. Secara lebih rinci hasil tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
•Profil -1 : Secara terstruktur menunjukkan keterkaitan erat
antara keaktifan koperasi dengan aktifitas rapat anggota tahunan dengan jumlah manajer yang aktif, jumlah karyawan dalam organisasi koperasi, modal yang diperoleh dari anggota sendiri dan modal yang dijaring dari pihak luar, serta volume usaha yang dijalankan.
•Profil -2 : menunjukkan keterkaitan negative antara koperasi
yang tidak aktif dengan sisa hasil usaha.
Tabel 3.7. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja Koperasi Unit Desa Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi
Variable asal Factor 1 Factor 2
Jumlah koperasi aktif 0.975 -0.049 Jumlah koperasi tidak aktif 0.108 -0.918
Jumlah anggota 0.847 0.421 Rapat Anggota Tahunan 0.966 0.092 Jumlah manager 0.931 0.160 Jumlah karyawan 0.886 0.331 Jumlah modal sendiri 0.514 0.511 Jumlah modal luar 0.682 0.449 Volume usaha 0.743 0.515 SHU 0.526 0.630 Expl. Var 5.823 2.289 Prp. Totl 0.582 0.229
(28)
Yang dapat kita ketahui dari analisis keragaan koperasi unit desa ini adalah bahwa sisa hasil usaha kurang tepat sebagai indicator keaktifan KUD. Selanjutnya hasil analisis tersebut dapat dijadikan dasar dalam menetapkan penggerombolan kinerja koperasi unit desa di 27 propinsi di Indonesia. Hasil analisis penggerombolan dan identifikasi penciri pentingnya ditampilkan pada Tabel 3.8.
Tabel 3.8. Tipologi Koperasi Unit Desa di 27 Propinsi Berdasarkan Kinerja Indikator Fisik
Tipologi Propinsi Anggota Karakteristik Penciri
1 DI-Aceh, Sumbar, Riau, Sumsel, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulsel, Sultra, dan Irja
Lokasi dengan KUD tidak aktif berjumlah banyak dan dengan kinerja indicator fisik koperasi secara relative berada diantara dua kelompok lain
2 Jabar, Jateng, Jatim Lokasi dengan KUD tidak aktif relative sedikit serta kinerja indicator fisik, secara relative terbaik
3 Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI, Bali, NTB, NTT, Kaltim, Sulut, Sulteng, Maluku
Lokasi dengan KUD tidak aktif relative sedikit serta kinerja indicator fisik terburuk diantara dua kelompok lain Dari hasil analtipologi tersebut diketahui bahwa Jawa secara umum kecuali DIY dan DKI mempunyai KUD yang berkinerja baik. Proporsi KUD aktif relative tertinggi dibandingkan dengan di lokasi lain. Sementara itu, Sumut, Jambi, Bengkulu, Lampung, DKI, Bali, NTB, NTT, Kaltim,Sulut, Sulteng, dan Maluku mempunyai kinerja KUD yang terburuk walaupun secara relative jumlah KUD tidak aktif bukan yang tertinggi. Proporsi KUD tidak aktif di ke-12 Propinsi tersebut secara relative tidak terlalu banyak berada di antara dua tipologi lainnya.
Dalam perkembangan selanjutnya, jika dimaksudkan akan melakukan pembinaan KUD seharusnya lokasi propinsi yang tergolong dalam tipologi ke-1 harus diutamakan untuk mendapatkan pembinaan. Kesimpulan lain yang cukup menarik adalah bahwa jumlah KUD aktif yang tinggi di suatu wilayah tidak selalu berkolerasi positif dengan agregat kinerja KUD di wilayah tersebut yang cukup baik.
(29)
b. Koperasi Tahu Tempe
Berikut akan disampaikan keragaan koperasi tahu tempe dari berbagai karakteristik fisik yang terukur, antara lain keaktifan unit koperasi di setiap propinsi, jumlah koperasi total, jumlah manajer yang dimiliki, jumlah karyawan, besarnya modal dari sumber anggota sendiri, besarnya modal dari sumber luar, volume usaha yang dikembangkan, dan besarnya sisa hasil usaha. Hasil analisis komponen utama dari kesebelas peubah tersebut ditampilkan pada Tabel 3.9.
Tabel 3.9. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja Koperasi Tahu – Tempe Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi
Variable asal Factor 1 Factor 2
Jumlah koperasi aktif 0.917 0.051 Jumlah koperasi tidak aktif -0.191 -0.238 Jumlah anggota 0.546 0.116 Rapat Anggota Tahunan 0.949 0.083 Jumlah manajer 0.967 0.136 Jumlah karyawan 0.907 0.266 Jumlah modal sendiri 0.870 0.340 Jumlah modal luar 0.711 0.663 Volume usaha 0.835 0.486 SHU -0.084 0.971
Expl. Var 5.799 1.902 Prp. Totl 0.580 0.190
Berdasarkan hasil analisis tersebut diketahui bahwa keragaan sebelas peubah penduga kinerja koperasi tahu tempe di 27 propinsi dapat diwakili oleh 2 peubah baru yang menerangkan 77% ragam seluruh peubah tersebut. Keragaan dari kedua peubah baru tersebut secara terstruktur dapat menerangkan hubungan antar peubah asal yang selanjutnya disebut sebagai Profil-1 dan Profil-2. Secara ringkas hubungan structural kedua peubah penting tersebut dapat diterangkan sebagai berikut :
• Profil-1 : Secara terstruktur profil-1 menunjukkan
keterkaitan erat antara keaktifan koperasi dengan aktifitas rapat anggota tahunan dengan jumlah manajer, jumlah karyawan dalam organisasi koperasi, besarnya modal yang diperoleh dari anggota sendiri dan modal yang dijaring dari pihak luar, serta volume usaha yang dijalankan.
• Profil-2 : Profil-2 menunjukkan peran peubah SHU dan
(30)
Secara garis besar hasil yang diperoleh sama dengan struktur hubungan yang dihasilkan pada hasil analisis KUD, yaitu sisa hasil usaha tidak dapat dijadikan sebagai tolok ukur untuk melihat banyaknya organisasi koperasi yang aktif.
Peubah baru terekstrak tersebut merupakan bahan untuk analisis gerombol, yang menghasilkan tipologi koperasi tahu-tempe sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.10. Berdasarkan tabel tersebut diketahui koperasi tahu tempe di-27 propinsi dapat dikategorikan dalam 3 kelompok besar.
Tabel 3.10. Tipologi Koperasi Tahu – Tempe dan Karakteristik Pencirinya di 27 Propinsi di Indonesia
Tipologi Propinsi Anggota Karakteristik Penciri
1 Jabar, Jateng, Jatim Jumlah koperasi aktif relative tinggi dengan kinerja koperasi tahu tempe yang terbaik dibandingkan dengan dua kelompok lainnya, namun besaran SHU secara relative terkecil
2 DI Aceh, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, DIY,Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku
Jumlah koperasi aktif di kelompok ini relative terburuk dibandingkan dengan dua kelompok lainnya dengan SHU secara relative tertinggi dibandingkan dengan dua kelompok lain (1 dan 4)
3 DKI Memiliki karakteristik ekslusif dimana besaran SHU tertinggi. Karakteristiknya tidak terdiskriminasi karena anggotanya ekslusif (1 buah)
4 Sumut, Sumbar, Riau, Kalsel, Irja
Jumlah koperasi tahu tempe aktif relative baik dan kinerja koperasi relative lebih baik
(31)
c. Koperasi industri – kerajinan
Dari hasil analisis komponen utama terhadap keragaan koperasi industri – kerajinan, terlihat beberapa fenomena yang menarik (Tabel 3.11). Hasil analisis menunjukkan bahwa keseluruhan variable asal bisa direduksi menjadi satu factor utama. Factor utama ini berkolerasi dengan jumlah koperasi aktif, jumlah anggota, Rapat Anggota Tahunan, jumlah manajer, jumlah modal sendiri, jumlah modal luar, volume usaha, dan SHU. Keterkaitan ini tentunya relative lebih baik karena antara variable – variable usaha koperasi (jumlah modal sendiri, jumlah modal luar, volume usaha, SHU) sangat terkait dengan variable – variable keragaan aktivitas organisasi (jumlah koperasi aktif, jumlah anggota, Rapat Anggota Tahunan, jumlah manajer). Hal ini menunjukkan bahwa aktifitas yang terjadi dalam koperasi sangat mempengaruhi keragaan usaha koperasi. Semakin aktif suatu koperasi secara organisasi, maka semakin bagus kemampuan usahanya. Koperasi industri – kerajinan ini sudah sangat terkait dengan pasar sehingga potensinya untuk menjadi salah satu pelaku pasar cukup besar. Hal ini tentunya terkait dengan jenis aktivitas industri atau kerajinan itu sendiri yang memang harus langsung dipasarkan.
Tabel 3.11. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja Koperasi Industri – Kerajinan Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi
Variable asal Factor 1
Jumlah koperasi aktif 0.983
Jumlah koperasi tidak aktif 0.664 Jumlah anggota 0.978
Rapat Anggota Tahunan 0.918
Jumlah manajer 0.884
Jumlah karyawan 0.678 Jumlah modal sendiri 0.864
Jumlah modal luar 0.981
Volume usaha 0.979
SHU 0.889
Expl. Var 7.904 Prp. Totl 0.970
(32)
d. Keragaan Koperasi secara Agregat di Indonesia
Berdasarkan hasil analisis komponen utama terhadap variable – variabel asal yang menggambarkan kinerja koperasi di Indonesia secara agregat, dihasilkan dua factor utama (tabel 3.12.). Faktor 1 berkorelasi dengan jumlah koperasi aktif, jumlah anggota, Rapat Anggota Tahunan, jumlah manajer, jumlah karyawan, jumlah modal sendiri dan volume usaha. Sedangkan factor 2 berkolerasi dengan SHU.
Tabel 3.12. Nilai Korelasi antara Peubah Asal dan Komponen Utama Kinerja Koperasi Secara Agregat Di Indonesia Berdasarkan Data Statistik Koperasi di 27 Propinsi
Variable asal Factor 1 Factor 2
Jumlah koperasi aktif 0.984 0.122 Jumlah koperasi tidak aktif 0.379 0.851
Jumlah anggota 0.960 0.149 Rapat Anggota Tahunan 0.956 0.160 Jumlah manajer 0.879 0.018 Jumlah karyawan 0.948 0.239 Jumlah modal sendiri 0.886 0.027 Jumlah modal luar 0.256 -0.464 Volume usaha 0.912 0.298 SHU 0.509 0.795
Expl. Var 6.562 1.781 Prp. Totl 0.656 0.178
Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas koperasi lebih terkait dengan volume usaha daripada SHU. Ini tentunya perlu dicermati, mengapa volume usaha yang meningkat tidak berkaitan dengan peningkatan SHU. Kemungkinan koperasi ini digunakan sebagai wadah usaha oleh para pengurusnya tanpa memperhitungkan keterkaitannya dengan anggota sehingga SHU yang seharusnya diterima oleh anggota tidak mengalami peningkatan. Ini tentunya menggambarkan adanya kemungkinan kurang adanya democratic control dalam pelaksanaan aktivitas koperasi. Selanjutnya apabila kita kelompokkan melalui analisis cluster terdapat dua kelompok propinsi dengan factor penciri yang berbeda.
(33)
Tabel 3.13. Tipologi Koperasi Secara Umum dan Karakteristik Pencirinya di 27 Propinsi di Indonesia
Kelompok Propinsi Anggota Karakteristik Penciri
1 DKI, Jabar, Jateng, Jatim Proporsi koperasi aktif tinggi dan kinerja koperasi relative baik ditinjau dari indikatornya fisiknya. Namun demikian koperasi tidak aktif tetapi mempunyai SHU tinggi juga tinggi 2 DI Aceh, Sumut, Sumbar, Riau,
Jambi, Sumsel, Bengkulu, Lampung, DIY, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Maluku, Irja
Proporsi koperasi aktif relative rendah atau kinerja koperasi kurang bagus
Secara umum koperasi di Pulau Jawa mempunyai karakteristik yang baik ditinjau dari karakteristik kinerja indicator fisik. Kedekatan dengan pusat kekuasaan mempermudah arus aliran dana ke dalam koperasi, sehingga banyak koperasi yang tidak mempunyai aktifitas tetapi menghasilkan sisa hasil usaha tinggi, yang diduga sebagian besar dari dana subsidi dari pemerintah.
Selanjutnya untuk melihat keragaan koperasi antar propinsi berdasarkan kondisi keunggulan usaha / pasar dan partisipasinya dilakukan perhitungan indeks keunggulan pasar dan indeks partisipasi. Indeks keunggulan pasar dihitung dari rasio SHU terhadap modal baik modal dari luar maupun modal sendiri. Sedangkan indeks partisipasi dihitung dari rasio RAT terhadap jumlah koperasi aktif. Terdapat 4 jenis koperasi yang dianalisa yaitu koperasi agregat (secara umum untuk skala nasional), KUD, Koperasi kerajinan dan Koperasi tahu tempe. Keragaan ini bisa kita lihat pada gambar 1, 2, 3 dan 4.
(34)
(35)
(36)
Dari gambar 1, 2, 3, dan 4 kita dapat melihat keragaan masing-masing koperasi di masing-masing-masing-masing propinsi berdasarkan jenis koperasi, indeks keunggulan pasar dan indeks partisipasi. Secara umum koperasi di propinsi cenderung kurang dalam hal keunggulan pasarnya. Hal ini dapat kita lihat dari gambar, dimana nilai keunggulan pasarnya cenderung kurang. Sedangkan dari nilai indeks partisipasinya nampak bahwa proses partisipasi relative baik. Seperti pada gambar 1, 2, 3 dan 4 terlihat bahwa sudah terdapat kecenderungan untuk mulai bergerak ke sisi atas dari sumbu Y.
(1)
f.Ketentuan untuk kerjasama antara anggota (perorangan) juga diterapkan untuk kerjasama antara koperasi dalam bentuk integrasi horizontal (proyek bersama atau amalgamasi) maupun integrasi vertical (struktur federasi).
Definisi tersebut, yang menguraikan inti ideologi koperasi secara singkat, membuktikan bahwa nilai dasar koperasi dan prinsip-prinsip koperasi tidak seharusnya dipandang sebagai doktrin yang kaku, melainkan sebagai norma umu untuk menjadikan koperasi yang berdasar pada prinsip menolong diri sendiri dapat berhasil.
(2)
6
STRATEGI PENGEMBANGAN
KOPERASI
6.1 Pembangunan Koperasi dilakukan tidak boleh terlepas dari upaya
pemberdayaan anggotanya
Pembangunan koperasi yang berhasil memerlukan sejumlah prasyarat dan pemenuhan syarat-syarat tertentu, sebagaimana layaknya dalam pelaksanaan suatu proses. Pembangunan itu merupakan proses dinamik, karena koperasi adalah lembaga yang hidup dan beraksi terhadap perubahan kondisi internal maupun eksternal. Mengingat koperasi merupakan lembaga milik sekelompok masyarakat, yang dibangun sendiri oleh masyarakat bersangkutan, dengan maksud untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar ekonomi masyarakat tersebut, maka dapat dipahami bahwa koperasi harus mampu melaksanakan berbagai kegiatan kegiatan ekonomi. Kegiatan mana, harus terkait dengan upaya untuk memenuhi kepentingan ekonomi para anggotanya pada tingkat usaha yang efektif dan efisien. Dengan demikian kegiatan itu harus terencana, yaitu dengan melalui penerapan nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi yang khas sifatnya.
Sehubungan dengan hal itu perlu dipahami peran berbagai faktor yang mencakup
kriteria-kriteria prasyarat, yaitu faktor-faktor yang dianggap sangat menentukan bagi keberhasilan dan kesinambungan koperasi yang dibangun. Selanjutnya, setelah prasyarat dipenuhi, maka koperasi berarti sudah siap lahir dan siap tumbuh. Tetapi faktor yang tergolong sebagai syarat keberhasilan, bagi tumbuhnya koperasi bersangkutan dimasa mendatang. Syarat tersebut menjadi komponen pokok yang perlu dipenuhi dan diwujudkan, agar koperasi itu dapat berprestasi dan dapat disebut sebagai koperasi yang berhasil. Artinya bila syarat keberhasilan itu tidak terpenuhi, maka koperasi bersangkutan dapat dianggap tidak berhasil dalam proses pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya. Dengan demikian bisa saja satu koperasi dibentuk, akan tetapi koperasi yang telah mampu memenuhi prasyarat yang ditetapkan itu untuk selanjutnya ternyata tidak mampu tumbuh normal, dengan mengikuti syarat-syarat yang ditetapkan, ataupun kalau dapat tumbuh maka pertumbuhan koperasi itu menjadi sangat lambat atau dapat dinyatakan dengan ”hidup segan, mati tak mau”.
Pemahaman tetang hal-hal tersebut tidak kalah penting bila dibanding dengan upaya memahami sejumlah langkah-langkah pembinaan atau mengenali sejumlah hambatan dan kendala pertumbuhan koperasi, yang mengharuskan kita membawa koperasi itu kembali pada jati dirinya (menerapkan pendekatan ”back to basic”).
Pemberdayaan anggota mencakup pemberdayaan kapital (bantuan modal) dan pemberdayaan knowledge, yang meliputi peningkatan kemampuan manajemen, skill dan pemahaman yang benar mengenai prinsip-prinsip koperasi melalui pendidikan dan pelatihan. Pemberdayaan ini akan memberikan dampak peningkatan pertisipasi anggota.
Memang harus diakui bahwa peningkatan partisipasi anggota bukanlah dampak langsung dari pendidikan dan pelatihan. Partisipasi anggota merupakan fungsi dari intrinsik anggota dan nilai ekstrinsik yang berasal dari luar anggota itu sendiri.
(3)
Peningkatan partisipasi merupakan outcome atau dampak positif tidak langsung dari pendidikan dan pelatihan. Peningkatan partisipasi anggota ini diharapkan akan memberikan dampak kepada kinerja koperasi yang ditandai dengan 5 indikator keberhasilan koperasi. Peningkatan kinerja koperasi yang ditandai akhirnya akan menghasilkan tujuan yang hendak dicapai yakni kesejahteraan masyarakat.
Pelaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi anggota harus memperhatikan beberapa aspek sebagai berikut:
a. Dominasi pemerintah (pemerintah daerah) dalam pendidikan in service/diklat harus dikurangi karena di masa lalu telah menimbulkan ketergantungan koperasi kepada Pemerintah sehingga mengurangi pemupukan rasa percaya diri dan kemampuan menolong dirinya sendiri bagi koperasi;
b. Harus jelas konsep ”link & matc”, karena penyelenggaraan diklat pada masa-masa sebelumnya tersentralisasi dan berdasarkan pemikiran-pemikiran dari atas, belum pernah dilakukan analisis kebutuhan pelatihan, yang bersumber kepada kebutuhan koperasi. Hingga kini pendidikan yang sudah dilaksanakan masih belum mengarah kepada kebutuhan koperasi;
c. Dana pendidikan dari gerakan koperasi secara formal merupakan salah satu sumber dana pendidikan koperasi, namun pada kenyataannya dana tersebut belum optimal terkumpul;
d. Pemerintah daerah harus memiliki akreditasi untuk lembaga penyelenggara pendidikan termasuk standarisasi materi pelatihan;
e. Peserta harus dipersiapkan dengan baik, karena pendidikan dan pelatihan di masa depan tidak gratis. Pada masa lalu umumnya peserta tidak dipersiapkan dengan baik, lebih-lebih karena pendidikan bersifat gratis, sehingga yang dilatih orangnya tetap sama atau tidak relevan dengan tugasnya;
f. Perlu ada evaluasi yang menyeluruh mengenai dampak dari diklat terhadap kinerja koperasi.
Untuk mencapai tujuan seperti yang diharapkan maka Pemerintah Pusat bersama-sama dengan Pemerintah Daerah dan Dewan Koperasi Indonesia melakukan tugas sebagai berikut :
1. Secara bertahap mengintegrasikan, mengkoordinir dan mengkonsolidasikan potensi pendidikan dan pelatihan perkoperasian secara nasional;
2. Secara bertahap dan simultan memberdayakan dan mengkoordinir potensi lembaga-lembaga dan pelatihan perkoperasian yang dimiliki oleh negara (antar departemen), Gerakan Koperasi (LAPENKOP), Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan lembaga-lembaga pendidikan swasta pelaksana pendidikan koperasi.
3. Secara pro aktif memberdayakan lembaga-lembaga pendidikan perkoperasian yang dimiliki oleh Pemerintah Daerah dalam kerangka semangat otonomi daerah.
4. Menentukan kebijaksanaan pokok program pendidikan dan pelatihan perkoperasian yang mencakup sistem, metodologi, kurikulum, silabus, sistem evaluasi, kelompok sasaran, dan bahan serta alat bantu;
5. Melaksanakan program pendidikan dan pelatihan perkoperasian sesuai dengan rencana dan kebutuhan.
(4)
6.2 Pembangunan Koperasi dilakukan secara lintas sektoral
Membicarakan keberhasilan koperasi, harus mulai dengan membahas sejumlah
prasyarat, yang nampaknya akhir-akhir ini kurang mendapat perhatian yang sungguh-sungguh (terbaikan atau diabaikan) oleh para pendiri koperasi (masyarakat luas) maupun oleh para pembina koperasi pada umumnya. Prasyarat tersebut boleh dinyatakan sebagai kriteria yang relatif sifatnya mutlak, atau merupakan faktor yang mau atau tidak mau harus dipenuhi agar dapat membuat koperasi lahir dan siap tumbuh dalam dinamika perekonomian. Oleh karena itu dalam setiap pembentukan koperasi baru, haruslah benar-benar dapat dipenuhi prasyarat yang ditetapkan, dengan maksud agar dapat menumbuhkan koperasi yang berkemampuan tumbuh secara berkelanjutan tanpa menimbulkan berbagai masalah di masa mendatang. Singkatan bila faktor-faktor dimaksud tidak dipenuhi, secara konseptual koperasi akan sulit tumbuh sebagaimana diharapkan karena organisasinya tidak didukung oleh faktor-faktor yang diperlukan. Misalnya dalam satu proses pembentukan koperasi baru, ternyata ada satu prasyarat yang tidak dipenuhi, umpamanya ”tidak jelasnya hubungan antara kepentingan ekonomi anggota-anggota pendiri, yang seharusnya menjadi alasan dasar bagi pembentukan koperasi tersebut”. Koperasi itu bisa saja dibentuk tanpa dilandasi oleh pemahaman dan kesamaan kepentingan para pendiri atau anggotanya. Namun demikian, potensinya sangat besar untuk menghadapi berbagai hambatan dan kesulitan di masa mendatang, karena landasan arah dan proses pertumbuhan kelompoknya tidak jelas. Secara konseptual, rencana pendirian suatu koperasi seperti itu dapat saja ditolak, apabila syarat mutlaknya tidak terpenuhi walaupun tidak sesuai dengan ketentuan formal koperasi itu mungkin saja tetap dibentuk. Baru kemudian, sambil berjalan koperasi bersangkutan menyesuaikan kembali hal-hal yang belum dipenuhi atau yang dapat diperbaiki, sehingga akhirnya koperasi itu juga mampu memenuhi syarat mutlak yang seharusnya perlu dipenuhi lebih dahulu. Namun demikian secara praktis tidak jarang pengalaman menunjukan, bahwa hal dimaksud kerap kali sulit dilakukan, mengingat koperasinya terlanjur menghadapi masalah dan sibuk dalam mengelola kegiatan bisnisnya, yang kerap kali justru tidak terkait dengan kepentingan ekonomi pada anggotanya, karena tidak teridentifikasi sebelumbnya. Koperasi seperti itu tergolong pada koperasi ”palsu” (psue coop),apabila ditinjau dan pelaksanaan identitas koperasinya. Padahal kita faham justru identitas koperasilah yang menjadi keunggulan komparatif, dan sekaligus menjadi keunggulan kompetitif dan suatu badan usaha koperasi, karena hal-hal itu membuat kelompok anggota mampu mendukung eksistensi koperasi dalam menghadapi pasar bebas.
6.3 Pembangunan Koperasi mengacu pada local spesific (resource based dan
community based)
Pembentukan koperasi baru, perlu difahami dan diidentifikasi kepentingan ekonomi para pendiri khususnya dan umumnya kepentingan anggota baru di masa mendatang, yang dijadikan landasan utama pengembangan organisasi dan kegiatan usahanya. Apabila kemudian ada koperasi dibentuk tanpa ada landasan kepentingan anggota dan kemudian memperoleh badan hukum resmi, maka sudah bisa dipastikan bahwa koperasi itu tidak mungkin digolongkan dalam kelompok koperasi genuine, atau koperasi yang dapat memenuhi kriteria internasional (identitas koperasi menurut ICA 1995). Pada umumnya
(5)
koperasi itu dalam proses pertumbuhan selanjutnya, tidak mampu memanfaatkan peluang besar atau tidak cukup berhasil dalam proses pertumbuhan memanfaatkan peluang yang ada secara maksimal, walaupun koperasi dimaksud tetap saja berpeluang tumbuh sebagai organisasi atau badan usaha.
Prasyarat dasar lain yang juga harus dapat dipenuhi melalui pembentukan koperasi, agar selanjutnya proses pengembangan koperasi itu berhasil atau koperasinya dapat meraih sukses dalam pentumbuhan selanjutnya., berupa pemenuhan kriteria tentang
kualitas calon anggota koperasi. Mereka dipersyaratkan mampu memenuhi indikator, bahwa secara sadar anggota-anggota koperasi itu mengetahui dan memahami dengan baik dan sistematik, peran dan fungsi koperasi yang akan dibentuk. Sebagai suatu lembaga ekonomi milik bersama,koperasi diharapkan mampu membantu memenuhi berbagai kebutuhan ekonomi dasar para anggotanya, baik secara individu maupun secara kelompok serta dalam lingkup lokal, regional maupun nasional. Wujud sebab dan akibat dan dua sisi itu, apabila perlu harus dilatihkan dan dikembangkan lebih dahulu, dengan melalui proses yang disebut sebagai masa pra koperasi. Akan banyak manfaat yang diperbolehkan koperasi di masa mendatang apabila kegiatan masa pra koperasi dilakukan dengan sadar dan terprogram (dalam rencana). Karena itu pada hakekatnya pembentukan koperasi bukanlah sekedar pembentukan lembaga ekonomi biasa melainkan sebagai usaha terencana untuk menimbulkan suatu lembaga yang harus memiliki komitmen dan
wawasan luas serta terpadu. Itulah sebabnya di dalam buku ini dilampirkan proses yang lazimnya perlu dilalui dalam mendirikan badan usaha koperasi.
Selanjutnya, apabila prasyarat itu telah dipenuhi, dan kondisi lingkungannya juga mendukung, maka masih ada syarat berikut yang harus dipenuhi. Syarat dimaksud adalah merupakan syarat tidak mutlak, yang dapat disebut sebagai ayarat yang diinginkan.syarat ini sifatnya komparatif dan dapat dibandingkan serta berada pada satu selang (range)
indikator tertentu. Selang indikator itu dapat disesuaikan dengan kondisi sehingga berdasar indikator yang dipenuhi oleh koperasinya, akan diperoleh sejumlah nilai indikator koperasi yang berbeda-beda ukurannya. Akan tetapi nilainya tetap berada pada batas-batas kelompok angka yang di tetapkan, sesuai dengan jenis dan kualitas dari koperasi-koperasi yang dinilai. Hal itulah yang menjadi ciri khas dari masing-masing koperasi bersangkutan. Ciri khas koperasi itu biasanya dituangkan dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) yang disyahkan dalam rapat anggota (RAT).
Dengan mengetahui komposi kriteria syarat yang dipenuhi, secara otomatis akan dapat dikenali berbagai keunggulan dan sekaligus hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus dari koperasi bersangkutan untuk membuatnya sukses. Pemenuhan kriteria itu memungkinkan dapat dilakukannya pembandingan antar koperasi yang satu dengan kkoperasi yang lain walaupun tidak sejenis. Posisi koperasi seperti itu juga dapat digunakan untuk mengarahkan dan menemukan pokok-pokok masalah tentang koperasi-koperasi bersangkutan dalam proses pembinaan. Dengan demikian, tingkat keberhasilan koperasi untuk memenuhi kriteria itu dapat dimanfaatkan pula untuk sekaligus menilai tingkat prestasi koperasi secara transparan dan adil.untuk itu kriterianya perlu disusun denagan nasional, sesuai dengan kaidah-kaidah lembaga usaha.
(6)
6.4 Koperasi diikutkan dalam program redistribusi asset secara transparan
Saat ini dengan berlakunya otonomi daerah maka tugas teknis pembinaan koperasi merupakan tugas pemerintah kabupaten/kota. Pemerintah kabupaten/kota sendiri dihadapkan pada berbagai masalah spesifik di daerah masing-masing. Terdapat paling tidak tiga tipologi kinerja ekonomi wilayah, dan masing-masing diharapkan dapat memberikan peran yang paling optimal bagi perkembangan koperasi di daerahnya maupun secara regional dan nasional.
1.Daerah Kaya dan Daerah Berkembang dengan potensi alam cukup
• Koperasi menjadi pelaku yang aktif dalam bidang distribusi;
• Koperasi sektor jasa (sektor tersier) dikembangkan secara lebih profesional; • Koperasi Simpan Pinjam diarahkan melakikan interlending dengan Koperasi
daerah yang berada di sekitarnya yang lebih miskin;
• Koperasi yang telah memiliki modal cukup besar diarahkan bekerjasama dengan
koperasi daerah yang sejenis atau atas pertimbangan kemitraan strategis;
• Koperasi menjadi prime mover dalam pengelolaan potensi alam;
2.Daerah Miskin potensi alam belum tergarap
• Koperasi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat bersaan dengan penciptaan
iklim yang kondusif bagi masuknya investor;
• Koperasi yang telah terbina bersama-sama dengan investor mengelola strategic