KORELASI ANTARA LINGKAR KEPALA DAN PANJANG KEPALA TERHADAP TINGGI BADAN PRIA DEWASA SUKU JAWA DAN LAMPUNG DI KECAMATAN GISTING, KABUPATEN TANGGAMUS
KORELASI ANTARA LINGKAR KEPALA DAN PANJANG KEPALA TERHADAP TINGGI BADAN PRIA DEWASA SUKU JAWA DAN LAMPUNG DI KECAMATAN GISTING, KABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
STEFHANI GISTA LUVIKA
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2016
(2)
ABSTRACT
CORRELATION BETWEEN HEAD CIRCUMFERENCE AND HEAD LENGTH TO THE BODY HEIGHT ON JAVANESE AND
LAMPUNGNESE MALE IN GISTING SUBDISTRICT, TANGGAMUS DISTRICT
By:
STEFHANI GISTA LUVIKA
Anthropometric application in forensic can be used to identify a corpse and help the investigators in determining the identity. The process is simplified by only considering the height, which can be calculated from the skull dimensions. We held a study that measure the head dimensions and compare with the body height. The purpose is to determine the correlation between the head circumference and length towards the height of the body that can be usefull in forensic identification. We used cross sectional design. In this study, the sample was chosen by consecutive sampling with 63 respondents for each group: Lampungnese and Javanese man adults. The average of the head circumference of the Javanese is 54,5(52,8-60) cm. The average of the length of their heads is 19(17-21,5) cm and the average of the height of their bodies is 163(153-179,5) cm. The circumference
of the Javanese’s heads has a very strong positive and significant correlation
(r=0,898), while the length of their heads has a moderate positive correlation with the height of their bodies (r=0,527). For Lampungnese adults, the average of the circumference of their heads is 54,92(52,6-58,3) cm, the average of the length of their heads is 19(18-20,50) cm and the average of the height of their bodies is
164,34(SD 5,56) cm. The circumference of Lampungnese’s heads has a very strong positive and significant correlation (r=0, 803) and while the length of their heads has a strong positive and significant correlation with the height of their bodies (r=0, 605). The conclusions are the head circumference and length has positive and significant correlation to the body height estimation (p<0,001) and also shows that there is no significant difference of head circumference, head length, and body height between the two groups (p>0,05)
(3)
KORELASI ANTARA LINGKAR KEPALA DAN PANJANG KEPALA TERHADAP TINGGI BADAN PRIA DEWASA SUKU JAWA DAN LAMPUNG DI KECAMATAN GISTING, KABUPATEN TANGGAMUS
(Skripsi)
Oleh
STEFHANI GISTA LUVIKA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG 2016
(4)
ABSTRAK
KORELASI ANTARA LINGKAR KEPALA DAN PANJANG KEPALA TERHADAP TINGGI BADAN PRIA DEWASA SUKU JAWA DAN LAMPUNG DI KECAMATAN GISTING, KABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
STEFHANI GISTA LUVIKA
Aplikasi antropometri pada kedokteran forensik dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenazah dan membantu penyidik dalam penentuan identitas seseorang. Proses identifikasi disederhanakan dengan hanya mempertimbangkan tinggi badan yang dapat dihitung dari dimensi tengkorak. Penelitian ini dilakukan dengan mengukur dimensi kepala dan melihat korelasinya terhadap tinggi badan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan yang berguna dalam kedokteran forensik. Penelitian ini dilakukan dengan rancangan cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling dengan 63 responden untuk masing-masing suku Lampung dan suku Jawa. Pada suku Jawa, rerata lingkar kepala adalah 54,5(52,8-60) cm, rerata panjang kepala adalah 19(17-21,5) cm dan rerata tinggi badan adalah 163(153-179,5) cm. Lingkar kepala memiliki korelasi positif sangat kuat (r=0,898) dan panjang kepala memiliki korelasi positif sedang (r=0,527). Pada suku Lampung, rerata lingkar kepala adalah 54,92(52,6-58,30) cm, rerata panjang kepala adalah 19(18-20,50) cm dan rerata tinggi badan adalah 164,34(SD 5,56) cm. Lingkar kepala memiliki korelasi positif sangat kuat (r=0,803) dan panjang kepala memiliki korelasi positif kuat (r=0,605). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa lingkar kepala dan panjang kepala memiliki korelasi yang positif dan signifikan terhadap penentuan tinggi badan (p<0,001) dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara lingkar kepala, panjang kepala, dan tinggi badan pada suku Jawa dan Lampung (p>0,05).
Kata kunci: lingkar kepala, panjang kepala, penentuan tinggi badan.
(5)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1.Aspek anterior kranium ... 9
2.Aspek lateral kranium ... 10
3. a.Aspek posterior kranium ... 11
b.Aspek superior kranium ... 11
4.Tulang penyusun kerangka tubuh ... 13
5.Tahapan osifikasi intramembranosa ... 13
6.Tahapan osifikasi endokondral ... 14
7.Kerangka teori ... 28
8.Kerangka konsep ... 29
(6)
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi Operasional ... 40 2. Distribusi Frekuensi Responden Penelitian ... 48 3. Uji Normalitas Data ... 48 4. Hasil Analisis Komparatif Lingkar Kepala,
Panjang Kepala, dan Tinggi Badan ... 49 4. Uji Korelasi Spearman ... 50 5. Hasil Analisis Regresi Linear ... 52 6. Aplikasi Perbandingan Rumus Regresi
Lingkar Kepala terhadap Tinggi Badan ... 54 7. Aplikasi Perbandingan Rumus Regresi
(7)
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Data hasil pengukuran 2. Hasil analisis statistik 3. Informed Consent 4. Kuisoner
5.Sertifikat kalibrasi alat-alat pengukuran, surat izin penelitian, dan surat keterangan telah selesai melakukan penelitian
(8)
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
1. Definisi Operasional ... 40 2. Distribusi Frekuensi Responden Penelitian ... 48 3. Uji Normalitas Data ... 48 4. Hasil Analisis Komparatif Lingkar Kepala,
Panjang Kepala, dan Tinggi Badan ... 49 4. Uji Korelasi Spearman ... 50 5. Hasil Analisis Regresi Linear ... 52 6. Aplikasi Perbandingan Rumus Regresi
Lingkar Kepala terhadap Tinggi Badan ... 54 7. Aplikasi Perbandingan Rumus Regresi
(9)
(10)
(11)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gisting pada tanggal 23 Desember 1994 sebagai anak pertama dari Bapak Yohanes Sunaryo dan Ibu Elisabeth Sunarti.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Xaverius Emmanuel Tanjung Enim dan selesai pada tahun 2006. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan di SMP Xaverius Emmanuel Tanjung Enim yang diselesaikan pada tahun 2009, kemudian penulis melanjutkan pendidikan di SMA Fransiskus Bandarlampung dan selesai pada tahun 2012.
Tahun 2012, Penulis diterima dan terdaftar sebagai Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Lampung melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam BEM Fakultas Kedokteran Unila dan PMPATD Paskis Rescue Team. Penulis juga menjadi bagian dalam Asisten Dosen Anatomi periode 2014/2015.
(12)
(13)
Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau. Janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu;
Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan
tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan (Yesaya 41:10)
Kupersembahkan karya kecil ini untuk :
“Bapak dan Ibu Tercinta”
Kasih yang tak pernah terukur dan terputus
Selalu mengalir tanpa muara
Kau berikan cuma cuma hanya untuk
memanusiakan-ku
Aku, masih proses.
Dan akan terus tetap berproses hanya untuk
membuatmu tersenyum
(14)
ii
SANWACANA
Puji dan Syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang selalu menyertai dan mencurahkan Roh Kudus-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Skripsi dengan judul “Korelasi antara Lingkar Kepala dan Panjang Kepala terhadap Tinggi Badan Pria Dewasa Suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus” adalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin selaku Rektor Universitas Lampung;
2. Dr. dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung;
3. Dr. dr. Asep Sukohar, M.Kes selaku Pembimbing Utama atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
(15)
4. dr. Anggraeni Janar Wulan, M.Sc. selaku Pembimbing Kedua atas kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini;
5. dr.Ahmad Fauzi, M.Epid., Sp.OT selaku Penguji utama pada Ujian Skripsi atas waktu, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan;
6. dr. Mukhlis Imanto, M.Kes., Sp.THT selaku pembimbing akademik atas bimbingan, pesan dan nasehat yang telah diberikan selama ini;
7. Bapak (Yohanes Sunaryo) dan Ibu (Elisabeth Sunarti) atas semua kasih sayang dan cintanya yang luar biasa. Terimakasih atas semua doa, penyertaan, kesabaran dan segala sesuatu yang telah diberikan kepadaku selama ini. Terima kasih selalu menjadi sandaran dan penguat dalam setiap ritme kehidupan yang kujalani;
8. Adik (Felisitas Diariestha) atas doa, motivasi, canda, tangis dan tawa. Terima kasih atas semangat dan dukungan yang selalu diberikan;
9. Mbah Kakung Yohanes Mujiwan (Alm) dan Mbah Putri Anastasia Suratmi dan seluruh keluarga besar Gisting, khususnya Pade Ag. Bambang Setiyadi, Bude Ika Dewi, Pade Y. Maryadi, Bude Agnes Karini, Pade Ig. Ngadimun, Bude C.Susilowati, Mas Stepanus Agung, Mbak Brigitta Nosialita yang telah menyemangati, mendoakan, mendampingi dan membantu penulis selama ini terutama dalam menyelesaikan skripsi; 10.Mbah Kakung Paulus Paino dan Mbah Putri Maria Musikem dan seluruh
(16)
iv
11.Andrias Tarmiwijaya,SP.MM selaku Camat Gisting, dr. Andreas Hendra Hidayat dan masyarakat Kecamatan Gisting atas semua bantuan yang telah diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini;
12.Seluruh staf Dosen FK Universitas Lampung atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama ini;
13.Seluruh staf dan karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 14.Sahabat dan keluarga terbaikku “Hepar” Genoveva Maditias, Rossadea
Atziza, Nisrina Pradya, Melati Nurul Utami, Anggun Chairunnisa, Rahma Amtiria, dan Alfianita Fadillah yang sudah banyak membantu, menjadi bahu terbaik, menyemangati, dan memotivasi. Terima kasih atas canda, tawa dan kebersamaan selama menjalani pendidikan di Fakultas Kedokteran Unila. Semoga persahabatan dan persaudaraan ini dapat terus terjalin selamanya;
15.Sahabat-sahabat yang hebat dan luar biasa, Vincentius Rinaldo Nainggolan, Radian Pandhika, Christopher Alexander, dan Abdul Rois Romdhon yang telah banyak membantu selama penelitian, doa, motivasi, dan semangat yang sangat berarti bagi penulis;
16.Sahabat-sahabat SMA, Yohanes Riyan Prasetyo, Freddy Doni Hutson Pane, Cyrillus Heris Giovan dan Dionisius Giovani yang selalu memberikan semangat, dukungan, penghiburan dan tempat bercerita walaupun dengan perbedaan dimensi tempat;
17.Keluarga Asisten Dosen Anatomi 2012, dr. Anggraeni Janar Wulan,M.Sc, dr. Rekha Nova Iyos, dr. Catur Ari Wibowo, Rois, Andrian R, Andrian P,
(17)
Inas, Hambali, Ghea, Dicky, Nindriya, Ika, Leon, Debby, Farrash, Eki dan Karina atas semua pembelajaran dan kebersamaannya selama ini;
18.Keluarga KKN Desa Sidoharjo, Bapak dan Ibu Casdem, Ubi, Abet, Mbak Alin, Bang Jo, Kak Hasnan, Mbak Vina dan Yeni atas pengalaman, kerjasama, dan kebersamaan selama 40 hari menjalani program KKN; 19.Keluarga Permako Medis FK Unila; Kak Oci, Kak Olin, Kak Desi, Kak
Advi, Desindah, Ririn, Dani, Beni, Ruth, dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih atas doa, motivasi dan kebersamaan yang diberikan;
20.Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu persatu.Terimakasih atas kebersamaan, bantuan dan kekompakkan selama menjalani kuliah di Fakultas Kedokteran Unila.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi sedikit harapan semoga skripsi yang sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua.
Bandarlampung, 12 Januari 2016
Penulis
(18)
vi
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1.Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 4
1.3 Tujuan Penelitian ... 5
1. Tujuan Umum ... 5
2. Tujuan Khusus ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7
2.1.Anatomi Kepala ... 7
2.1.1. Anatomi Kulit Kepala ... 7
2.1.2. Anatomi Kepala ... 7
2.2. Sistem Rangka Manusia ... 12
2.3. Antropometri Kepala ... 15
2.4. Antropometri Tinggi Badan ... 18
2.5. Korelasi antara Panjang dan Lingkar Kepala terhadap Tinggi Badan ... 24
2.6. Kerangka Penelitian ... 26
2.6.1. Kerangka Teori ... 26
2.6.2. Kerangka Konsep ... 29
2.7. Hipotesis Penelitian ... 29
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
3.1 Jenis dan Desain Penelitian ... 31
(19)
3.3 Populasi dan Sampel ... 32
3.3.1 Populasi Penelitian ... 32
3.3.2.Sampel Penelitian ... 32
3.4.Kriteria Inklusi dan Eksklusi ... 35
3.4.1 Kriteria Inklusi ... 35
3.4.2 Kriteria Eksklusi ... 35
3.5. Instrumen dan Prosedur Penelitian... 36
3.5.1. Instrumen Penelitian ... 36
3.5.2 Prosedur Penelitian ... 36
3.6. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ... 39
3.6.1.Identifikasi Variabel ... 39
3.6.2.Definisi Operasional ... 40
3.7. Pengolahan Data dan Analisis Statistika ... 41
3.7.1. Pengolahan Data ... 41
3.7.2 Analisis Statistika ... 42
3.8. Etika Penelitian ... 45
3.9. Alur Penelitian ... 46
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47
4.1. Gambaran Umum Penelitian ... 47
4.2. Hasil Penelitian ... 47
4.2.1. Analisis Univariat ... 47
4.2.2.Analisis Bivariat ... 49
4.3.Pembahasan ... 56
4.3.1. Komparatif Lingkar Kepala, Panjang Kepala dan Tinggi Badan pada Suku Jawa dan Lampung ... 56
4.3.2. Korelasi Lingkar Kepala dan Panjang Kepala terhadap Tinggi Badan ... 59
BAB V PENUTUP 5.1.Kesimpulan ... 64
5.2.Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA...66
(20)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan keanekaragaman suku yang tinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2013). Setiap suku bangsa memiliki perbedaan dasar yang membedakan suku dengan suku yang lain dan terintegrasi menjadi suku yang memiliki kemiripan budaya dan karakter fisik. Salah satu parameter bentuk fisik yang khas adalah morfologi tulang dan tinggi badan. Tinggi badan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya memiliki perbedaan (Koentjaraningrat,1989).
Kenyataan ini mendorong orang untuk meneliti variasi antar individu dengan semakin teliti dan menggunakan metode yang paling tepat. Identifikasi tersebut dapat berupa pengukuran yang tepat dan objektif dalam bentuk antropometri (Glinka,1990). Aplikasi antropometri mencakup berbagai bidang karena dapat dipakai untuk menilai status pertumbuhan, status gizi dan obesitas, identifikasi individu, olahraga dan lanjut usia (Indriati, 2010).
(21)
Aplikasi antropometri dalam identifikasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenazah baik yang dikenali maupun tidak dikenali dan membantu penyidik dalam penentuan identitas seseorang. Peran ilmu kedokteran forensik dalam identifikasi terutama pada jenazah yang tidak dikenal, jenazah yang telah membusuk, rusak, hangus terbakar dan pada kecelakaan masal, bencana alam atau huru-hara yang mengakibatkan banyak korban mati serta potongan tubuh manusia atau kerangka (Budiyanto et al, 1997).
Usia, jenis kelamin dan tinggi badan merupakan parameter yang penting dalam identifikasi. Namun seringkali proses identifikasi disederhanakan dengan hanya mempertimbangkan tinggi badan (Khangura et al, 2015).
Struktur tulang yang membentuk tinggi badan seperti kepala, leher, tulang belakang dan tulang-tulang pembentuk tungkai berperan penting secara antropologis untuk menentukan perbedaan rasial (Patel, 2012; Snell, 2006). Perkiraan tinggi badan telah dilakukan berdasarkan variasi parameter antropometri dari tulang-tulang penyusun tinggi badan (Richards, 2011). Tulang pada pria lebih panjang, besar, masif, berat serta massa otot yang lebih besar dan padat dibandingkan wanita (Snell, 2006). Pertumbuhan tinggi badan pada manusia berhenti saat penutupan lempeng epifisis pada usia 20 tahun (Junquierra, 2007). Penelitian dapat dilakukan dengan subyek manusia yang masih hidup melalui antropometri maupun radiografi untuk merekontruksi keadaan jenazah dalam temuan forensik (Richards, 2011).
(22)
3
Penelitian tersebut menghasilkan rumus regresi yang menunjukkan korelasi positif seperti panjang sternum (Menezeges, 2009), panjang lutut kaki (Wiryani et al, 2010), telapak kaki dan telapak tangan (Gautam et al, 2015) serta tulang panjang (Sarajlićet al, 2006).
Selain parameter antropometri tersebut, perkiraan tinggi badan juga dapat dihitung dari dimensi tengkorak. Dimensi tengkorak telah terbukti menjadi sarana yang dapat diandalkan dan tepat dalam memprediksi tinggi badan di populasi di Italia, Jepang, India dan Afrika Selatan. Namun, rumus regresi yang dihasilkan untuk perkiraan tinggi badan dari dimensi tengkorak tidak berlaku secara universal karena dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan usia seseorang (Hansi & Ashish, 2013).
Penelitian mengenai korelasi panjang dan lingkar kepala terhadap tinggi badan jarang dilakukan di Indonesia. Variasi ras yang turut berperan dalam rumus regresi estimasi tinggi badan pada populasi tertentu mendorong peneliti untuk meneliti korelasi dimensi tengkorak terhadap tinggi badan pada kedua suku bangsa yang berbeda. Penelitian ini dilakukan pada kedua suku yakni suku Lampung dan suku Jawa di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
Suku Lampung menjadi pilihan subyek penelitian dikarenakan suku Lampung atau yang sering disebut Ulun Lampung (Orang Lampung) secara tradisional geografis adalah suku yang menempati seluruh Provinsi Lampung. Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk Provinsi
(23)
Lampung adalah 7.608.405 jiwa dengan persentase suku Lampung sebesar
18 % (Na’im dan Syaputra, 2010). Suku Jawa juga menjadi pilihan subyek penelitian karena kelompok suku Jawa merupakan kelompok suku pendatang terbesar di Lampung dengan persentase sebesar 30%, dimana persentase suku pendatang lainnya sebesar 20% untuk Batak/Sunda, 10% untuk suku Minangkabau, dan 12% untuk suku Sumendo (Sujadi, 2013). Selain itu, penulis berdomisili di Lampung sehingga memudahkan dalam penelitian dan lokasi yang dipilih adalah Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus karena pada daerah tersebut mayoritas penduduknya terdiri dari suku Jawa dan Lampung.
Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melihat adanya korelasi antara panjang dan lingkar kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus?
2. Apakah terdapat korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus?
(24)
5
3. Apakah terdapat perbedaan rerata lingkar kepala, panjang kepala, tinggi badan dan korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi panjang dan lingkar kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Untuk mengetahui rerata tinggi badan, panjang kepala dan lingkar kepala pria dewasa suku Jawa.
b. Untuk mengetahui rerata tinggi badan, panjang kepala dan lingkar kepala pria dewasa suku Lampung.
c. Untuk menentukan korelasi panjang dan lingkar kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa. d. Untuk menentukan korelasi panjang dan lingkar kepala
terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung. e. Untuk mengetahui perbedaan rerata lingkar kepala,
(25)
kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagi peneliti, menambah pengetahuan di bidang anatomi dan antropometri serta metode penelitian dan menerapkan ilmu tersebut.
2. Bagi masyarakat, memberikan wawasan masyarakat di bidang kesehatan khususnya mengenai ada tidaknya korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
3. Bagi instansi terkait, membantu dalam proses identifikasi jenazah yang ditemukan dalam keadaan tidak utuh dalam memperkirakan tinggi badan dari lingkar kepala dan panjang kepala dalam ilmu Kedokteran Forensik.
4. Bagi peneliti selanjutnya, dapat digunakan sebagai perbendaharaan penelitian di bidang anatomi dan antropologi.
(26)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kepala
2.1.1 Anatomi Kulit Kepala
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari lima lapis jaringan yang terdiri atas skin (kulit), connective tissue (jaringan ikat), aponeurosis epicranialis (galea aponeurotica), loose connective tissue (jaringan ikat spons) dan pericranium. Lapisan tersebut biasa disebut dengan scalp (Moore & Agur, 2002).
2.12 Anatomi Kepala
Tengkorak membentuk rangka kepala dan muka, termasuk mandibula. Kranium mempunyai dua bagian besar, yakni kalvaria (atap tengkorak) yang sering disebut neurokranium dan selaput otak (Bajpai, 1991).
(27)
1. Tengkorak atau Kalvaria
Kalvaria terbentuk dari bagian-bagian superior os frontal, parietal dan oksipital. Tulang-tulang kalvaria terdiri atas lempeng tulang kortika dan diploe. Lempeng-lempeng tulang kortika memberi kekuatan pada lengkung atap kranium, sementara diploe berperan untuk meringankan berat kranium dan memberi tempat untuk memproduksi sumsum darah (Basmajian & Slonecker, 1995).
2. Kranium
Kranium membungkus dan melindungi otak. Kranium terdiri dari os frontal yang membentuk dahi, langit-langit rongga nasal dan langit-langit rongga orbita; os parietal yang membentuk sisi dan langit-langit kranium; os temporal yang membentuk dasar dan bagian sisi dari kranium; os etmoid yang merupakan struktur penyangga penting dari rongga nasal dan berperan dalam pembentukan orbita mata dan os sfenoid yang membentuk dasar anterior kranium (Moore & Agur, 2002).
(28)
9
a. Aspek Anterior
Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula (Gambar 1) (Moore & Agur, 2002).
Gambar 1. Aspek anterior kranium (Moore & Agur, 2002).
b. Aspek Lateral
Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah (Gambar 2). Os kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior, linea temporalis inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion, processus mastoideus ossis temporalis, meatus acusticus externus dan processus styloideus ossis temporalis. Os wajah yakni mandibula terletak dua bagian: bagian horisontal, yakni corpus mandibulae dan bagian vertikal, yakni ramus mandibulae (Moore & Agur, 2002).
(29)
Gambar 2. Aspek lateral kranium (Moore & Agur, 2002)
c. Aspek Posterior
Aspek posterior tengkorak (occiput) dibentuk oleh os occipitale, os parietale dan os temporale (Gambar 3A). Protuberentia occipitalis externa adalah benjolan yang mudah diraba di bidang median. Linea nuchalis superior yang merupakan batas atas tengkuk, meluas ke lateral dari protuberentia occipitalis externa tersebut; linea nuchalis inferior tidak begitu jelas (Moore & Agur, 2002).
d. Aspek Superior
Aspek superior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, kedua os parietale dextra dan sinistra dan os occipitale di sebelah posterior. Sutura coronalis memisahkan os frontale dari os parietale; sutura sagitalis
(30)
11
memisahkan kedua tulang ubun-ubun satu dari yang lain; dan sutura lamboidea memisahkan os parietale dan os temporale dari os occipitale. Titik bregma adalah titik temu antara sutura sagitalis dan sutura coronalis. Titik vertex merupakan titik teratas pada tengkorak yang terletak pada sutura sagitalis di dekat titik tengahnya. Titik lambda merujuk kepada titik temu antara sutura lamboidea dan sutura sagitalis (Gambar 3B) (Moore & Agur, 2002).
Gambar 3 (a) Aspek posterior kranium. (b) Aspek superior kranium (Moore & Agur, 2002)
e. Aspek Inferior dan Aspek Dalam Dasar Tengkorak Aspek inferior tengkorak setelah mandibula diangkat memperlihatkan processus palatinus maxilla dan os palatinum, os sphenoidale, vomer, os temporale dan os occipitale. Permukaan dalam dasar tengkorak memperlihatkan tiga cekungan yakni fossa cranii anterior, fossa cranii media dan fossa cranii posterior yang
(31)
membentuk dasar cavitas cranii. Fossa cranii anterior dibentuk oleh os frontale di sebelah anterior, os ethmoidale di tengah dan corpus ossis sphenoidalis serta ala minor ossis sphneoidalis di sebelah posterior. Fossa cranii media dibentuk oleh kedua ala major ossis sphneoidalis, squama temporalis di sebelah lateral dan bagian-bagian pars petrosa kedua os temporale di sebelah posterior. Fossa cranii posterior dibentuk oleh os occipitale, os sphenoidale dan os temporale (Moore & Agur, 2002).
2.2 Sistem Rangka Manusia
Kerangka merupakan organ penyangga tubuh kita sehingga tubuh dapat berdiri tegak. Jumlah tulang dewasa sekitar 206 tulang yang membentuk bangun tubuh manusia dan sebagian besar berpasangan satu dengan yang lain yaitu sisi kiri dan sisi kanan (Tortora & Derrickson, 2011). Struktur utama yang membentuk tinggi badan adalah kepala, leher, tulang belakang dan tulang-tulang pembentuk kaki (Gambar 4) (Snell, 2006).
(32)
13
Gambar 4. Tulang penyusun kerangka tubuh (Paulsen & Waschke, 2012)
Tulang terbentuk melalui proses penulangan/osifikasi, yakni osifikasi intramembranosa dan osifikasi endokondral.
1. Osifikasi Intramembranosa
Osifikasi intramembranosa menghasilkan sebagian besar tulang pipih yang terjadi di dalam kondensasi jaringan mesenkimal embrio. Tulang frontal dan parietal tengkorak-selain bagian tulang oksipital dan temporal dan mandibula serta maksila-terbentuk karena osifikasi intramembranosa (Gambar 5) (Junquierra, 2007).
(33)
2. Osifikasi Endokondral
Osifikasi endokondral berperan dalam pembentukan tulang panjang dan pendek. Osifikasi endokondral membentuk sebagian besar tulang rangka dan terjadi dalam janin pada model yang terbentuk dari kartilago hialin (Gambar 6). Pusat osifikasi primer ini terbentuk di diafisis di sepanjang bagian tengah setiap tulang yang terbentuk. Pusat osifikasi sekunder terbentuk kemudian melalui suatu proses serupa di epifisis. Pusat osifikasi primer dan sekunder dipisahkan oleh lempeng epifisis yang membantu perpanjangan tulang secara kontinu (Junquierra, 2007).
Gambar 6. Tahapan Osifikasi Endokondral (Junquierra, 2007)
Epifisis bersatu dengan diafisis terjadi pada umur 18 sampai 20 tahun. Penyatuan ini terjadi 2 tahun lebih dini pada wanita. Pertumbuhan panjang tulang berhenti dengan bersatunya epifisis pada diafisis (Bajpai, 1991).
(34)
15
Secara teori disebutkan bahwa umumnya pria dewasa cenderung lebih tinggi dibandingkan wanita dewasa dan juga mempunyai tungkai yang lebih panjang, tulangnya yang lebih besar dan lebih berat serta massa otot yang lebih besar dan padat. Pria mempunyai lemak subkutan yang lebih sedikit, sehingga membuat bentuknya lebih angular. Wanita dewasa cenderung lebih pendek dibandingkan pria dewasa dan mempunyai tulang yang lebih kecil dan lebih sedikit massa otot. Wanita lebih banyak mempunyai lemak subkutan dan sudut siku yang lebih luas dengan akibat deviasi lateral lengan bawah terhadap lengan atas yang lebih besar (Snell, 2006).
2.3 Antropometri Kepala
Pengukuran pada wajah dan kepala sebagian besar menggunakan alat kaliper rentang ukuran kecil, kaliper geser ukuran kecil dan pitameter. Pitameter digunakan untuk mengukur lingkar dan lengkung pada kepala. Pengukuran penting pada kepala terdiri atas 19 pengukuran yaitu panjang kepala, lebar kepala, diameter frontal minimal dan maksimal, diameter bitragion, diameter interocular, diameter biocular, jarak antarpupil, tinggi menton-crinion, tinggi kepala, external canthus ke dinding, nasal ke dinding, tragion ke dinding, arkus sagital, arkus bitragion-coronal, arkus frontalis minimal, arkus bitragion-frontal minimal dan arkus bitragion-menton (Indriati, 2010).
(35)
Manfaat antropometri kepala dapat diterapkan pada manusia hidup maupun ke rangka atau jenazah dalam kasus forensik. Antropometri kepala dapat digunakan untuk menilai status gizi dan pertumbuhan pada neonatal dan anak-anak. Dalam hal ini, ukuran dimensi kepala yang digunakan adalah lingkar kepala untuk menilai pertumbuhan besar otak dan status gizi. Ukuran ini penting dalam penilaian status pertumbuhan anak karena pertumbuhan otak lebih dahulu optimal dibandingkan pertumbuhan organ di sebelah kaudal otak. Prinsip pertumbuhan ini disebut dengan cephalocaudal dan proximodistal (Indriati, 2010).
Selain itu, korelasi kepala dan tinggi badan dapat juga digunakan untuk tujuan klinis dalam kasus autis yang memperlihatkan keadaan macrocephali. Dalam kasus autisme, individu dewasa yang lahir sebelum penerapan rutin kriteria DSM sering salah didiagnosis atau didiagnosis di bawah diagnosis alternatif. Macrocephali merupakan informasi penunjang dalam penegakan diagnosis autisme pada individu dewasa (Nguyen et al, 2012).
Antropometri kepala untuk identifikasi digunakan untuk menentukan identitas korban yang tidak dikenali. Penentuan jenis kelamin dapat dinilai dari tengkorak dengan menggunakan ciri-ciri yang terdapat pada tengkorak tersebut. Ciri utama yang digunakan adalah tonjolan di atas orbita (supra orbital ridges); processus mastoideus; palatum; bentuk rongga mata dan rahang bawah. Luas permukaan processus mastoideus pada pria lebih besar dibandingkan wanita karena adanya insersi otot leher yang lebih kuat pada pria. Ciri-ciri tersebut akan tampak jelas setelah usia 14-16 tahun. Menurut
(36)
17
Krogman ketepatan penentuan jenis kelamin atas dasar pemeriksaan tengkorak dewasa adalah 90 persen (Idries, 1997).
Pemeriksaan terhadap penutupan sutura untuk memperkirakan umur sudah lama diteliti. Namun banyak ahli menyatakan bahwa cara ini tidak akurat dan hanya dipakai pada usia 20-45 tahun saja (Budiyanto et al, 1997). Sutura sagitalis, coronarius dan lambdoideus mulai menutup pada umur 20-30 tahun. Sutura parieto-mastoid dan sutura squamaeus menutup lima tahun setelahnya, tetapi dapat juga terbuka atau menutup sebagian pada umur 60 tahun. Sutura sphenoparietal umumnya tidak akan menutup sampai umur 70 tahun (Idries, 1997).
Pemeriksaan antropologik pada tengkorak juga dapat digunakan untuk menentukan ras/suku bangsa. Pengamatan variasi bentuk manusia berdasarkan perbandingan karakter- karakter morfologi yang diukur dapat menentukan nilai indeks kefalometri. Berdasarkan tipe indeks tersebut dapat diidentifikasi adanya tipe cephalic, tipe facial, tipe nasalis dan tipe frontoparietal serta persamaan dan perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing suku (Suriyanto & Koeshardjono, 1999).
Antropometri kepala untuk perkiraan tinggi badan dapat dilakukan dengan menggunakan rumus regresi antara ukuran dimensi kepala dengan tinggi badan seseorang. Namun, rumus regresi yang dihasilkan tidak berlaku secara universal pada semua populasi. Hal ini disebabkan karena variasi genetik, usia, ras dan jenis kelamin yang menyebabkan variasi rumus antar
(37)
satu populasi yang satu berbeda dengan populasi lainnya (Hansi & Ashish, 2013).
2.4 Antropometri Tinggi Badan
Tinggi badan seseorang dapat diukur dengan menggunakan antropometer dan stadiometer. Tinggi badan merupakan salah satu aspek pertumbuhan umum pada manusia. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ada dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal/ lingkungan. Yang termasuk faktor internal adalah perbedaan ras/ etnik bangsa, genetik, umur, jenis kelamin, kelainan genetik dan kromosom dan faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-obatan dan penyakit (Narendra et al, 2002).
1. Perbedaan ras/etnik bangsa
Setiap kelompok ras tersebut cenderung memiliki perbedaan dasar yang memisahkan kelompok ini dari yang lain, kemudian akan terintegrasi menjadi suku yang memiliki kemiripan dalam budaya dan karakter fisik (Koentjaraningrat, 1989).
Bila seseorang dilahirkan sebagai ras orang Eropa maka ia tidak mungkin memiliki faktor herediter ras orang Indonesia atau sebaliknya. Tinggi badan tiap bangsa berlainan, pada umumnya ras orang kulit putih mempunyai ukuran tungkai yang lebih panjang dari pada ras orang Mongol (Narendra et al, 2002).
(38)
19
2. Genetik
Tinggi badan anak-anak secara umum tergantung dari orang tuanya. Anak-anak dari orang tua yang tinggi biasanya mempunyai badan yang tinggi juga (Bajpai, 1991). Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orangtuanya dalam hal bentuk tubuh, proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Gen tidak secara langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa sistem biologis yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status kematangannya (Supariasa, 2002).
3. Umur
Kecepatan pertumbuhan yang pesat adalah pada masa prenatal, tahun pertama kehidupan dan masa remaja (Narendra et al, 2002).
(39)
4. Jenis Kelamin
Wanita lebih cepat dewasa dibanding anak laki-laki. Pada masa pubertas wanita umumnya tumbuh lebih cepat daripada laki-laki dan kemudian setelah melewati masa pubertas laki-laki akan lebih cepat (Narendra et al, 2002). Sejak usia 12 tahun, anak pria sering mengalami pertumbuhan lebih cepat dibandingkan wanita sehingga pria mencapai remaja lebih tinggi daripada wanita (Snell, 2006).
5. Kelainan Genetik dan Kromosom
Contoh kelainan genetik yang mempengaruhi tinggi badan adalah akhondroplasia, kraniofasiale dan kraniokleidodisostosis. Contoh
kelainan kromosom adalah sindroma Down’s dan sindroma Turner’s
(Bajpai, 1991).
6. Lingkungan
Lingkungan ini terbagi menjadi 2, yakni lingkungan pranatal/ saat dalam kandungan dan lingkungan pasca natal/ setelah kelahiran (Narendra et al, 2002).
a. Lingkungan Pranatal
Lingkungan pranatal adalah faktor-faktor yang berperan selama masa kehamilan seperti gizi ibu, mekanis, toksin/ zat kimia, radiasi, infeksi dan anoksia embrio. Gizi ibu terutama dalam trimester akhir kehamilan akan mempengaruhi pertumbuhan
(40)
21
janin bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi dan selanjutnya akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan (Supariasa, 2002).
Faktor mekanis yang berpengaruh adalah posisi fetus yang abnormal dapat menyebabkan kelainan kongenital seperti club foot (Narendra et al, 2002). Trauma dan cairan ketuban yang kurang juga dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor toksin atau zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah (Supariasa, 2002).
b. Lingkungan Pasca Natal
Lingkungan pasca natal adalah faktor-faktor yang berpengaruh setelah proses melahirkan. Dalam hal ini, pertumbuhan dapat dipengaruhi oleh gizi, sosial ekonomi, obat-obatan, endokrin, lingkungan fisis dan kimia, psikososial dan faktor keluarga yang
(41)
meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh (Narendra et al, 2002).
7. Gizi
Suplai yang adekuat dari kalsium, fosfat, protein, vitamin A, C dan D adalah penting untuk regenerasi pertumbuhan tulang serta untuk memelihara rangka yang sehat (Bajpai, 1991). Hal ini terbukti dari orang Eropa yang memiliki tubuh lebih tinggi daripada orang Asia. Salah satu penyebabnya adalah gizi makanan yang dikonsumsi sehari-hari mereka jauh lebih baik daripada gizi makanan yang dikonsumsi oleh orang-orang Asia (Davies, 1997).
8. Obat-obatan
Pemakaian kortikosteroid jangka lama akan menghambat pertumbuhan, demikian halnya dengan pemakaian obat perangsang terhadap susunan saraf pusat yang menyebabkan terhambatnya produksi hormon pertumbuhan (Bajpai, 1991).
9. Hormon
Growth hormone (hormon pertumbuhan) penting untuk proliferasi yang normal dari rawan epifisealis yang bertanggung jawab untuk memelihara tinggi badan yang normal dari seseorang. Defisiensi hormon ini selama periode pertumbuhan
(42)
23
mengakibatkan dwarfisme pitutuari. Sekresi somatotrofik hormon yang berlebih-lebihan (seperti pada tumor-tumor pitutuari) selama periode pertumbuhan mengakibatkan gigantisme atau glantisme. Jika hal ini terjadi setelah masa pertumbuhan maka akan menyebabkan akromegalia (Bajpai, 1991).
Hormon tiroid juga mendorong pertumbuhan tulang dengan merangsang stimulasi osteoblas. Hormon insulin juga membantu pertumbuhan tulang dengan cara meningkatkan sintesis protein tulang. Ketika mencapai masa puber, sekresi hormon yang dikenal dengan seks hormon akan mempengaruhi pertumbuhan tulang secara drastis, yaitu hormon testosteron dan hormon estrogen. Kedua hormon tersebut berfungsi untuk meningkatkan aktivitas osteoblas dan mensintesis matriks ekstraselular tulang. Pada usia dewasa seks hormon berkontribusi dalam remodeling tulang dengan memperlambat penyerapan tulang lama dan mempercepat deposit tulang baru (Tortora dan Derrickson, 2011).
(43)
2.5 Korelasi antara Panjang dan Lingkar Kepala terhadap Tinggi Badan
Ukuran pada dimensi kepala dapat digunakan untuk memperkirakan tinggi badan seseorang (Richards, 2011). Ukuran yang dapat dinilai pada tengkorak dalam hubungannya dengan tinggi badan adalah panjang dan lingkar kepala. Beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukkan korelasi yang positif terhadap tinggi badan. Beberapa penelitian menunjukkan korelasi kuat, yakni penelitian Krishan di India Selatan pada 996 pria dewasa usia 18-30 tahun (Krishan, 2008); penelitian Hansi & Ashish di India pada 50 anak perempuan usia 6-10 tahun (Hansi & Ashish, 2013); penelitian Ilayperuma di Sri Lanka pada 220 pria dewasa usia 20-23 tahun (Ilayperuma, 2010) dan penelitian Singh di India pada 148 pria usia 17-26 tahun (Singh, 2013). Penelitian tersebut memiliki nilai korelasi yang signifikan (p < 0,001).
Penelitian mengenai korelasi panjang kepala terhadap tinggi badan yang menunjukkan hasil yang signifikan (p< 0,001) dan positif sedang. Penelitian tersebut diantaranya yakni penelitian Kadagoudar dan Hallikeri di India Selatan pada 200 orang berusia di atas 18 tahun (Kadagoudar & Hallikeri, 2014); penelitian Ilayperuma di Sri Lanka pada 180 wanita dewasa usia 20-23 tahun (Ilayperuma, 2010) dan penelitian Vinitha et al pada 100 anak perempuan usia 8-12 tahun di India (Vinitha et al, 2015).
(44)
25
Penelitian tentang korelasi panjang kepala dan tinggi badan yang memiliki korelasi lemah dan signifikan didapatkan dari penelitian Agarwal et al di India Utara pada 800 mahasiswa usia 17-25 tahun (Agarwal et al, 2014); penelitian Agnihotri et al pada 75 pria dewasa usia 20-28 tahun di Mauritius (Agnihotri et al, 2011); penelitian Vinitha et al pada 100 anak laki-laki usia 8-12 tahun di India (Vinitha et al, 2015), penelitian Chorniawan pada 50 laki-laki dan 50 wanita dewasa berusia 18-23 tahun di Surabaya (Chorniawan, 2014) dan penelitian Prasad et al pada 125 pria dewasa usia 18-28 tahun di Maharashtra (Prasad et al, 2014).
Penelitian mengenai korelasi panjang kepala dan tinggi badan juga memperlihatkan korelasi yang sangat lemah walaupun bernilai signifikan. Penelitian tersebut dilakukan oleh Hansi & Ashish di India pada 50 anak laki-laki usia 6-10 tahun (Hansi & Ashish, 2013); penelitian Kumar dan Gopichand pada 800 orang Haryanvi Banias usia 18 tahun ke atas di Ambala (Kumar & Gopichand, 2013) dan penelitian Agnihotri et al pada 75 wanita dewasa usia 20-28 tahun di Mauritius (Agnihotri et al, 2011).
Penelitian mengenai lingkar kepala dan tinggi badan memperlihatkan hasil yang signifikan dan korelasi kuat, sedang, lemah, dan sangat lemah. Penelitian Mansur et al memperlihatkan korelasi sedang pada kelompok pria dan lemah pada kelompok wanita usia 17-25 (Mansur et al, 2014). Penelitian Kumar dan Gopichand pada 800 orang Haryanvi Banias di Ambala usia 18 tahun ke atas memperlihatkan nilai korelasi sangat lemah untuk kelompok pria dan wanita (Kumar & Gopichand, 2013). Penelitian
(45)
Akhter et al pada 100 wanita dewasa Christian Garo usia 25-45 tahun di Bangladesh memperlihatkan nilai korelasi yang lemah (Akhter et al, 2009). Penelitian Agnihotri et al pada 150 orang usia 20-28 tahun di Mauritius memperlihatkan nilai korelasi sedang pada kelompok pria dan lemah pada kelompok wanita. Penelitian Nguyen et al pada 221 pria dewasa usia 18-71 tahun di Kanada memperlihatkan nilai korelasi yang lemah (Nguyen et al, 2012).
Hal ini menunjukkan bahwa hasil penelitian memperlihatkan nilai korelasi yang berbeda-beda berdasarkan populasi yang berbeda pula.
2.6 Kerangka Penelitian
2.6.1 Kerangka Teori
Struktur utama yang membentuk tinggi badan adalah kepala, leher, tulang belakang dan tulang-tulang panjang kaki. Tinggi badan merupakan salah satu aspek pertumbuhan umum pada manusia. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ada dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal/ lingkungan. Yang termasuk faktor internal adalah perbedaan ras/ etnik bangsa, genetik, umur, jenis kelamin, kelainan genetik dan kromosom dan faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-obatan dan penyakit.
(46)
27
Tinggi badan yang merupakan penjumlahan dari panjang tulang-tulang panjang dan tulang-tulang-tulang-tulang pelengkap sangat penting secara antropologis untuk menentukan perbedaan rasial. Tinggi badan dapat diperkirakan dari parameter dimensi tubuh seperti kepala, batang tubuh, dan ekstremitas. Perkiraan tinggi badan dari dimensi kepala dapat dihitung dengan menggunakan rumus regresi dari lingkar kepala dan panjang kepala.
Proses pertumbuhan tinggi badan akan terhenti saat memasuki masa adolentia akhir (sekitar di atas 20 tahun) saat menutupnya lempeng epifisis dan bersatu dengan diafisis.
(47)
Keterangan
= tidak diteliti = mempengaruhi
= diteliti = membentuk struktur
Faktor Internal
Faktor esternal genetik usia Jenis
kelamin
Kelainan genetik
Lingkungan gizi
Obat-obatan Hormon
PertumbuhanTulang Kepala ? Ekstremitas Batang tubuh Tinggi Badan ? Panjang kepala ? Lingkar kepala ?
Gambar 7. Kerangka teori
Ras ?
(48)
29
2.6.2 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.7. Hipotesis Penelitian
1. Terdapat korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
Variabel Bebas :
Variabel Terikat
Gambar 8. Kerangka konsep Lingkar Kepala suku
Lampung
Panjang Kepala suku Lampung
Variabel Bebas
Lingkar Kepala suku Jawa Panjang Kepala suku Jawa
Tinggi badan suku Lampung Tinggi badan suku Jawa
(49)
2. Terdapat korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
3. Terdapat perbedaan rerata lingkar kepala, panjang kepala, tinggi badan dan korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
(50)
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan cross sectional. Penelitian ini mempelajari dinamika korelasi antara faktor risiko (variabel bebas) dengan efek (variabel terikat), dengan pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (Notoatmodjo, 2012).
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus pada bulan Oktober 2015. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan November 2015.
(51)
3.3 Populasi dan Sampel
3.3.1 Populasi Penelitian
Populasi penelitian berupa populasi target dan populasi terjangkau disebutkan seperti berikut.
1. Populasi target adalah masyarakat Suku Jawa dan Lampung di Kabupaten Tanggamus, Lampung.
2. Populasi terjangkau adalah pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus, Lampung.
3.3.2 Sampel Penelitian
Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode consecutive sampling, dimana subyek yang datang secara berurutan dan memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam penelitian sampai subyek yang diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro & Ismael, 2011).
Rumus yang digunakan untuk menentukan besar sampel pada penelitian ini adalah menggunakan rumus penentuan besar sampel analisis korelatif (Dahlan, 2010).
(52)
33
Rumus tersebut adalah sebagai berikut.
a. Penentuan besar sampel untuk korelasi panjang kepala dan tinggi badan
[
] [
]
Keterangan:
- Kesalahan tipe I (Zα) = ditetapkan sebesar 5 % dengan hipotesis satu arah, sehingga Zα = 1,64 (Dahlan, 2010).
- Kesalahan tipe II (Zβ) = ditetapkan 10 % dengan hipotesis satu arah, maka Zβ = 1,28 (Dahlan, 2010).
- Koefisien korelasi penelitian sebelumnya (r)= 0,386 (Chorniawan, 2014)
Jumlah sampel yang didapatkan dari rumus tersebut adalah minimal sebanyak 54 orang. Untuk menghindari kesalahan dalam pemeriksaan kriteria inklusi, sampel dibulatkan menjadi 60 orang setiap suku.
(53)
b. Penentuan besar sampel untuk korelasi lingkar kepala dan tinggi badan
[
] [
]
Keterangan:
- Kesalahan tipe I (Zα) = ditetapkan sebesar 5 % dengan hipotesis satu arah, sehingga Zα = 1,64 (Dahlan, 2010).
- Kesalahan tipe II (Zβ) = ditetapkan 10 % dengan hipotesis satu arah, maka Zβ = 1,28 (Dahlan, 2010).
- Koefisien korelasi penelitian sebelumnya(r),maka r = 0,379 (Nguyen et al, 2012)
Jumlah sampel yang didapatkan dari rumus tersebut adalah minimal sebanyak 57 orang. Untuk menghindari kesalahan dalam pemeriksaan kriteria inklusi, sampel dibulatkan menjadi 63 orang setiap suku.
Dalam penelitian ini, pengukuran panjang kepala, lingkar kepala, dan tinggi badan dilakukan bersamaan tanpa terpisah pada subyek sehingga jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebesar 63 orang setiap suku. Total sampel penelitian adalah 126 orang.
(54)
35
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.4.1 Kriteria Inklusi
1. Pria.
2. Usia 21-45 tahun.
3. Berdomisili di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
4. Dua generasi di atas responden (orang tua serta kakek nenek) merupakan suku Lampung asli untuk sampel suku Lampung dan suku Jawa asli untuk sampel suku Jawa. 5. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani
informed consent.
5.4.2 Kriteria Eksklusi
1. Menunjukan adanya kelainan struktur tulang tengkorak, macrocephalica dan microcephalica (hidrocephalus, skafosefalus, akrosefalus atau brakisefalus).
2. Menunjukan adanya kelainan penyusun tinggi badan seperti gigantisme, kretinisme, dwarfisme, skoliosis, lordosis, kifosis, akondroplasia dan hipokondroplasia. 3. Pernah atau sedang mengalami trauma atau cedera pada
tulang-tulang tengkorak dan kerangka tubuh penyusun tinggi badan.
(55)
4. Tidak bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian yang dibuktikan dengan informed consent.
3.5 Instrumen dan Prosedur Penelitian
3.5.1 Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Lembar Informed Consent
2. Lembar kuisoner dan kolom pencatatan hasil pengukuran tinggi badan, lingkar kepala, dan berat badan
3. Alat tulis 4. Kalkulator 5. Pita meter
6. Spreading caliper 7. Microtoise 8. Timbangan
3.5.2 Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut. 1. Pengumpulan data dan pengisian kuisoner
Responden diberikan penjelasan mengenai penelitian yang akan dilakukan dan diberi lembar informed consent sebagai kesediaanya sebagai responden. Pengumpulan data dilakukan dengan memberikan kuisoner kepada
(56)
37
responden yang berisi tentang identitas responden dan kriteria inklusi yang terpenuhi.
2. Pengukuran tinggi badan dan berat badan
Setelah dilakukan pengumpulan data, dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk menentukan IMT responden. Selain itu, data tinggi badan juga digunakan untuk analisis korelasi antara lingkar kepala dan tinggi badan dalam penelitian ini.
Pada pengukuran berat badan, subjek berdiri di atas timbangan klinik dengan pakaian minimal dan diukur sampai kedekatan 100 g . Pada pengukuran tinggi badan, subjek berdiri tegak dengan kepala berorientasi sejajar Frankort Horizontal Plane (FHP) dan lengan menggantung di samping badan. Pengukuran dihitung dari vertex (titik tertinggi di kepala) hingga ke tumit dalam posisi tegak dan kaki dalam keadaan rapat. Pembacaan pengukuran dilakukan oleh pengukur dengan melihat angka yang tertera pada microtoise dan posisi mata sejajar dengan tangkai pengukur tinggi badan. Hasil dicatat dalam satuan sentimeter sampai satu angka di belakang koma (Indriati, 2010). Hasil pengukuran dituliskan dalam
(57)
data identitas responden dan kolom tinggi badan pada kuisoner.
3. Pengukuran lingkar kepala
Pengukuran lingkar kepala didapatkan pada bidang FHP setinggi tepat di atas glabela (titik tengah di antara tonjolan alis) ke opisthocranion tegak lurus dengan bidang midsagital sementara subjek duduk. Pita harus ditarik kuat untuk menekan rambut. Jari tengah di samping kepala digunakan untuk mencegah pita meleset melewati kepala. Dalam pengukuran, dipastikan bahwa tidak ada jepit rambut, klip, atau benda-benda sejenis menempel di rambut selama pengukuran dan telinga tidak dimasukkan. (Indriati, 2010). Hasil pengukuran dituliskan pada kolom lingkar kepala pada kuisoner.
4. Pengukuran Panjang Kepala
Panjang kepala diukur dari glabela (prominentia pada dahi di antara kedua alis dan terletak di atas hidung) ke opistochranion pada daerah occipital. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spreading caliper (Gupta et al, 2013)
(58)
39
3.6 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
3.6.1 Identifikasi Variabel
Pada penelitian ini terdapat 2 variabel yaitu variabel terikat dan variabel bebas. Adapun variabel pada penelitian ini adalah :
1. Variabel bebas adalah lingkar kepala dan panjang kepala. 2. Variabel terikat adalah tinggi badan.
3. Variabel perancu adalah usia, jenis kelamin dan suku. Variabel perancu ditentukan agar dapat dikendalikan untuk mengurangi kesalahan dalam penelitian.
(59)
3.6.2 Definisi Operasional
Dalam penelitian ini digunakan batasan definisi operasional variabel untuk memudahkan dalam melakukan penelitian (Tabel 1).
Tabel 1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Satuan Alat Ukur Skala
Lingkar kepala
Ukuran didapatkan pada bidang FHP setinggi tepat di atas glabela ke opisthocranion tegak lurus dengan bidang midsagital sementara subjek duduk.
Sentimeter (cm)
Pitameter Numerik (rasio)
Panjang kepala
Ukuran didapatkan dari glabella ke
opisthocranion dalam posisi duduk. Sentimeter (cm) Spreading caliper Tinggi Badan
Diukur dengan kepala
berorientasi sejajar FHP dan lengan menggantung di samping badan.
Pengukuran dihitung dari vertex ke tumit dalam keadaan berdiri tegak dan kaki rapat.
Sentimeter (cm)
Microtoise Numerik (rasio)
Pria Dewasa
Pria yang berusia 21-45 tahun yang belum, sudah , atau pernah menikah saat dilakukan penelitian.
(60)
41
Tabel 1. (lanjutan)
Suku Lampung
Orang yang memiliki dua garis
keturunan suku Lampung di atasnya, yakni orang tua dan kakek-nenek.
- - Nominal
Suku Jawa
Orang yang memiliki dua garis
keturunan suku Jawa di atasnya, yakni orang tua dan kakek-nenek
- - Nominal
3.7 Pengolahan Data dan Analisis Statistika
3.7.1 Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari proses pengumpulan data diubah ke dalam bentuk tabel-tabel, kemudian proses pengolahan data menggunakan program komputer yang terdiri dari beberapa langkah, yaitu :
1. Pengeditan, mengoreksi data untuk memastikan kelengkapan dan kesempurnaan data
2. Koding, untuk mengkonversikan (menerjemahkan) data yang dikumpulkan selama penelitian kedalam simbol yang cocok untuk keperluan analisis.
(61)
3. Data entry, memasukkan data kedalam komputer.
4. Verifikasi, memasukkan data pemeriksaan secara visual terhadap data yang telah dimasukkan kedalam komputer. 5. Output komputer, hasil yang telah dianalisis oleh
komputer kemudian dicetak.
3.7.2 Analisis Statistika
Analisis statistika untuk mengolah data yang diperoleh menggunakan program komputer. Analisis data yang digunakan adalah sebagai berikut.
1. Analisis univariat, analisis yang digunakan untuk menentukan distribusi frekuensi variabel bebas dan variabel terikat. Pada analisis ini dilakukan penghitungan rerata pada lingkar kepala, panjang kepala, dan tinggi badan.
2. Analisis bivariat, analisis yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel bebas dengan variabel terikat dengan menggunakan uji statististik. a. Korelasi
Sebelum dilakukan uji statistik, dilakukan uji normalitas untuk mengetahui sebaran data normal atau tidak. Uji yang digunakan adalah Kolmogorov-Smirnov karena sampel yang digunakan besar (lebih
(62)
43
dari 50). Uji hipotesis yang digunakan pada distribusi data normal adalah uji korelasi Pearson.
Rumus korelasi Pearson adalah sebagai berikut.
∑ ∑ ∑ )
√ ∑ ∑ ) )( ∑ ∑ ) )
Keterangan
r = koefisien korelasi n =jumlah sampel
x = panjang lingkar kepala/ panjang kepala (cm)
y = tinggi badan (cm)
Apabila sebaran data tidak normal, maka dilakukan proses transformasi data. Uji alternatif yang digunakan jika data berdistribusi tidak normal adalah uji korelasi Spearman (Dahlan, 2011).
b. Regresi Linier
Korelasi dan regresi linear mempunyai kesamaan dan perbedaan. Persamaan antara korelasi dan regresi linier adalah keduanya menunjukkan
(63)
hubungan antara 2 variabel numerik. Perbedaannya adalah korelasi sekedar menunjukkan hubungan tanpa adanya variabel bebas atau tergantung, sedangkan pada regresi linear, fungsinya adalah prediksi yaitu meramal nilai variabel numerik dengan nilai variabel numerik lainnya. Variabel yang ingin diprediksi adalah variabel tergantung yaitu tinggi badan dan yang diukur adalah variabel bebas yaitu lingkar kepala dan panjang kepala. Persamaan regresi dengan mudah dapat dihitung dengan program komputer, yang dinyatakan sebagai berikut.
Keterangan :
y = variabel tergantung x = variabel bebas a = konstanta b = koefisien regresi (Dahlan, 2011).
c. Komparatif
Untuk menilai ada tidaknya perbedaan rerata lingkar kepala, panjang kepala dan tinggi badan suku Jawa dan Lampung digunakan uji t tidak berpasangan. Uji
(64)
45
ini dipilih karena hipotesis yang digunakan adalah hipotesis komparatif numerik tidak berpasangan pada 2 kelompok.
Jika data tidak berdistribusi normal, maka dilakukan transformasi data. Uji alternatif yang digunakan jika data tidak berdistribusi normal adalah uji Mann-Whitney (Dahlan, 2011).
Untuk menilai perbedaan nilai korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada suku Jawa dan suku Lampung maka akan dilakukan perbandingan rumus regresi yang telah dihasilkan.
3.8 Etika Penelitian
Peneliti mengajukan ethical clearance kepada tim kaji etik FK Unila dan telah disetujui dalam Persetujuan Etik No: 2570/UN26/8/DT/2015. Dalam penelitian ini, peneliti menekankan prinsip-prinsip etika penelitian, yakni memberikan lembar persetujuan menjadi responden (informed consent) sebelum melakukan penelitian, tidak mencantumkan nama (hanya inisial) pada lembar kuisoner, menggunakan alat-alat yang tidak membahayakan responden dan menjamin kerahasiaan dengan hanya menggunakan data-data yang sesuai dengan kebutuhan penelitian serta menyimpan lembar kuisoner untuk menghindari kebocoran informasi terkait responden.
(65)
3.9 Alur Penelitian
Gambar 9 . Diagram alur penelitian.
Pengurusan Ethical Clearance
Analisis data
Pengurusan izin di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus
Penulisan hasil penelitian Tabulasi data
Penampisan subyek dengan kuisoner
Pelaksanaan penelitian dengan melakukan pengukuran lingkar kepala, panjang kepala,
dan tinggi badan
Pengumpulan hasil pengukuran Penyusunan proposal
(66)
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1. Terdapat korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Jawa di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
2. Terdapat korelasi antara lingkar kepala dan panjang kepala terhadap tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus.
3. Tidak terdapat perbedaan lingkar kepala, panjang kepala, tinggi badan yang bermakna pada pria dewasa suku Jawa dan Lampung di Kecamatan Gisting, Kabupaten Tanggamus. Perbedaan korelasi dapat dilihat dari perbedaan rumus regresi yang dihasilkan dan kekuatan korelasi pada kedua suku tersebut.
(67)
5.2 Saran
1. Bagi penelitian selanjutnya, disarankan untuk melakukan penelitian tentang bagian tubuh lainnya dan korelasi terhadap tinggi badan dengan jumlah sampel yang lebih besar sehingga dapat memperkaya rumus regresi pada suku Jawa dan Lampung dengan hasil yang lebih akurat. Selain itu, perlu dilakukan penelitian mengenai variasi antropometri pada suku-suku lain di Indonesia sehingga dapat membantu penyelidikan dalam kedokteran forensik.
2. Bagi masyarakat, disarankan untuk mengaplikasikan antropometri dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam bidang gizi dan olahraga. 3. Bagi instansi terkait, disarankan untuk menambah referensi rumus
regresi antropometri tubuh manusia untuk membantu identifikasi dalam bidang forensik.
(68)
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal S, Agarwal SK, & Jain SK. 2014. Correlation between the stature and cranial measurements in population of North India. Acta Med. Int. 1(2): 99– 102.
Agnihotri AK, Kachhwaha S, Googoolye K, & Allock A. 2011. Estimation of stature from cephalo-facial dimensions by regression analysis in Indo-Mauritian population. J. Forensic Leg. Med. 18(4): 167–72.
Akhter Z, Baegum JA, Banu LA, Alam M, Hossain S, Amin NF, et al. 2009. Stature estimation using head measurements in Bangladeshi Garo adult females. Bangladesh J. Anat. 7:101–14.
Amalia F. 2015. Korelasi antara panjang tulang humerus dengan tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung dan Jawa di Desa Sukabumi Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus [skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Bajpai R. 1991. Osteologi tubuh manusia (1st ed.). Jakarta: Binarupa Aksara.
Basmajian JV & Slonecker CE. 1995. Grant, Metode anatomi berorientasi pada klinik (1st ed). Jakarta: Binarupa Aksara.
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im WA, Sidhi, Hertian S, et al. 1997. Ilmu kedokteran forensik (I). Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Byers SN. 2008. Basics of human osteology and Odontology. In: Introduction to forensic anthropology. Third Edition. Boston. 28-59.
(69)
Chorniawan A. 2014. Tinggi wajah, panjang dan tinggi kepala berkorelasi secara positif dengan tinggi badan manusia. AntroUnairDotNet. 3:78–84.
Dahlan MS. 2010. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan (3rd ed.). Jakarta: Salemba Medika.
Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan (5th ed). Jakarta: Salemba Medika.
Davies J. 1997. Embriology and anatomy of the larynx, respiratory apparatus, diaphragma and esophagus. In: Paparella, Shumrick (eds). Otolaryngology. Philadelphia.1:52-58.
Fadhilah AZ. 2013. Perbandingan indeks cephalic dan gambaran bentuk kepala laki-laki dewasa pada suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti Provinsi Lampung [skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Gautam SA, Vaishali MS, & Anagha N. 2015. Correlation of hand and foot length and stature in both sexes in Central India. Int. J. Sci. Res. 4(6):4-6.
Glinka J. 1990. Antropometri dan antroposkopi. Edisi 3. Surabaya : FISIP Universitas Airlangga. 1-77.
Gupta S, Gopichand PVV, Kaushal S, Chhabra S, & Garsa V. 2013. Cranial anthropometry in 600 North Indian adults. Int. J. Anat. Res. 1(2):115–18.
Guyton AC & Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi. Cetakan 1. Jakarta: EGC.
Hansi B & Ashish B. 2013. An estimation of correlation between the head length and the stature of the children aged between 6-10 years. Res. J. For Sci. 1(2):1–5.
Herawati N. 2011. Penentuan indeks kepala dan wajah orang Indonesia berdasarkan suku di Kota Medan [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
(70)
68
Ilayperuma I. 2010. On the prediction of personal stature from cranial dimensions. Int. J. Morphol. 28(4):1135–40.
Indriati E. 2010. Antropometri untuk kedokteran, keperawatan, gizi ,dan olahraga (1st ed.). Yogyakarta: PT. Citra Aji Paramana.
Jihan. 2014. Studi antropometri menggunakan indeks sefalik pada etnik Melayu dan India mahasiswa Malaysia FKG USU TA 2010-2012 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Junqueira, Luiz C, & Jose C. 2007. Histologi dasar : teks & atlas. Edisi 10. EGC. Jakarta. 143-44.
Kadagoudar S & Hallikeri VR. 2014. Estimation of stature by nasion - inion head length in South Indian population - A cross sectional study. Med. Inn. 3(2): 9–11.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Khangura RK, Sircar K, & Grewal DS. 2015. Four odontometric parameters as a forensic tool in stature estimation. J For Dent Sci, 7(2), 132–136.
Koentjaraningrat. 1989. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Krishan K. 2008. Estimation of stature from cephalo-facial anthropometry in North Indian population. Forensic Sci. Int. 81(1-3):1–6.
Kumar M & Gopichand PV. 2013. Estimation of stature from cephalofacial anthropometry in 800 Haryanvi Adults. Int. J. Plant, Animal, & Env.sci. 3(2):42–46.
Kuntoadi MM. 2008. Hubungan panjang humerus dengan tinggi badan pada wanita dewasa suku Lampung di Desa Negeri Sakti Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran [skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
(71)
Mansur DI, Haque MK, Sharma K, Mehta DK, & Shakya R. 2014. Use of head circumference as a predicor of height of individual. Kathmandu Univ. Med. J. 12(46): 89–92.
Menezeges RG, Kanchan T, Kumar GP, Rao PP, Lobo SW, Usyal S, et al. 2009. Stature estimation from the length of the sternum in South Indian males: A preliminary study. Journal Forensic Leg. Med. 16:441–43.
Moore KL & Agur AM. 2002. Anatomi klinis dasar. (V. Sadikin & V. Saputra, Eds.). Jakarta: Hipokrates.
Na’im A & Syaputra H. 2011. Kewarganegaraan, suku bangsa, agama dan bahasa sehari-hari penduduk Indonesia hasil sensus penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, & Ranuh IGNG. 2002. Tumbuh kembang anak dan remaja (1st ed.). Jakarta: Sagung Seto.
Nguyen AKD, Simard-Meilleur A, Berthiaume C, Godbout R, & Mottron L. 2012. Head circumference in Canadian male adults : Development of a normalized chart. Int. J Morph. 30(4):1474–80.
Notoatmodjo S. 2012. Metodologi penelitian kesehatan (2nd ed.). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Patel JP. 2012. Estimation height from measurement of foot length in Gujarat Region .Int. J.Bio.Med. Res.:3(3); 2121-2125
Prasad A, Bhagwar V, Kumar A, & Joshi D. 2014. Estimation of stature from head length in living adults in Marathwada . Int. J. Rec. Sci. Res. 5(10):1745–48.
Rahmawati NT, Jacob T, Trilusiana N, Hi’rai, Suryadi E, & Romi M. 2003. Kajian kefalometrik (Studi perbandingan antara suku Jawa di Yogyakarta dan suku Naulu di Pulau Seram, Maluku Tengah). Berkala Ilmu Kedokteran.203-9.
(72)
70
Richards E. 2011. The estimation of stature from measurements of the isolated cranium. Texas State University.
Sarajlić N, Cihlarž Z, Klonowoski EE, & Selak I. 2006. Stature estimation for Bosnian male population. Bosn. J. Basic Med. Sci. 6(1): 62–67.
Sastroasmoro S & Ismael S. 2011. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis (4th ed.). Jakarta: Sagung Seto.
Singh R. 2013. Estimation of stature and age from head dimensions in Indian population. Int. J. Morph. 31(4): 1185–90.
Snell RS. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sujadi F. 2013. Lampung sai bumi ruwa jurai. Jakarta: Penerbit Cita Insani Madani.
Supariasa IDN, Bakri B, & Fajar I. 2002. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC.
Suriyanto RA & Koeshardjono. 1999. Studi variasi indeks acromiocristalis. Antropologi Manusia. 60:86–100.
Syaifudin M, Alatas Z, Rahardjo T, & Mugiono. 1996. Studi antropometri manusia Jawa dalam rangka penyusunan manusia acuan Indonesia. Prosoiding Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan. Jakarta.
Thaher M. 2013. Hubungan panjang telapak tangan dengan tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran [skripsi] . Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Tortora GJ & Derrickson BH. 2011. Principles of anatomy and physiology 13th edition. USA: John Wiley & Sons Inc.
Vinitha, Kadadi SD, Malikarjun, & Jayprakash. 2015. Correlation of stature in relation to headlength in children. Int. J. Healthc. Sci. 2(2):66–71.
(73)
Wiryani C, Kuswardhani T, Aryana S, Astika N, Yanson, & Widana K. 2010. Hubungan antara sudut kelengkungan thorak dan selisih tinggi badan ukur dan tinggi badan hitung berdasarkan tinggi lutut pada pasien usia lanjut di poliklinik geriatri Rumah Sakit Sanglah Denpasar. J. Peny. Dalam. 11(1):10-16.
(1)
DAFTAR PUSTAKA
Agarwal S, Agarwal SK, & Jain SK. 2014. Correlation between the stature and cranial measurements in population of North India. Acta Med. Int. 1(2): 99– 102.
Agnihotri AK, Kachhwaha S, Googoolye K, & Allock A. 2011. Estimation of stature from cephalo-facial dimensions by regression analysis in Indo-Mauritian population. J. Forensic Leg. Med. 18(4): 167–72.
Akhter Z, Baegum JA, Banu LA, Alam M, Hossain S, Amin NF, et al. 2009. Stature estimation using head measurements in Bangladeshi Garo adult females. Bangladesh J. Anat. 7:101–14.
Amalia F. 2015. Korelasi antara panjang tulang humerus dengan tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung dan Jawa di Desa Sukabumi Kecamatan Talang Padang Kabupaten Tanggamus [skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Bajpai R. 1991. Osteologi tubuh manusia (1st ed.). Jakarta: Binarupa Aksara.
Basmajian JV & Slonecker CE. 1995. Grant, Metode anatomi berorientasi pada klinik (1st ed). Jakarta: Binarupa Aksara.
Budiyanto A, Widiatmaka W, Sudiono S, Mun’im WA, Sidhi, Hertian S, et al. 1997. Ilmu kedokteran forensik (I). Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Byers SN. 2008. Basics of human osteology and Odontology. In: Introduction to forensic anthropology. Third Edition. Boston. 28-59.
(2)
Chorniawan A. 2014. Tinggi wajah, panjang dan tinggi kepala berkorelasi secara positif dengan tinggi badan manusia. AntroUnairDotNet. 3:78–84.
Dahlan MS. 2010. Besar sampel dan cara pengambilan sampel dalam penelitian kedokteran dan kesehatan (3rd ed.). Jakarta: Salemba Medika.
Dahlan MS. 2011. Statistik untuk kedokteran dan kesehatan (5th ed). Jakarta: Salemba Medika.
Davies J. 1997. Embriology and anatomy of the larynx, respiratory apparatus, diaphragma and esophagus. In: Paparella, Shumrick (eds). Otolaryngology. Philadelphia.1:52-58.
Fadhilah AZ. 2013. Perbandingan indeks cephalic dan gambaran bentuk kepala laki-laki dewasa pada suku Lampung dan Jawa di Desa Negeri Sakti Provinsi Lampung [skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Gautam SA, Vaishali MS, & Anagha N. 2015. Correlation of hand and foot length and stature in both sexes in Central India. Int. J. Sci. Res. 4(6):4-6.
Glinka J. 1990. Antropometri dan antroposkopi. Edisi 3. Surabaya : FISIP Universitas Airlangga. 1-77.
Gupta S, Gopichand PVV, Kaushal S, Chhabra S, & Garsa V. 2013. Cranial anthropometry in 600 North Indian adults. Int. J. Anat. Res. 1(2):115–18.
Guyton AC & Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Edisi. Cetakan 1. Jakarta: EGC.
Hansi B & Ashish B. 2013. An estimation of correlation between the head length and the stature of the children aged between 6-10 years. Res. J. For Sci. 1(2):1–5.
Herawati N. 2011. Penentuan indeks kepala dan wajah orang Indonesia berdasarkan suku di Kota Medan [tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
(3)
Ilayperuma I. 2010. On the prediction of personal stature from cranial dimensions. Int. J. Morphol. 28(4):1135–40.
Indriati E. 2010. Antropometri untuk kedokteran, keperawatan, gizi ,dan olahraga (1st ed.). Yogyakarta: PT. Citra Aji Paramana.
Jihan. 2014. Studi antropometri menggunakan indeks sefalik pada etnik Melayu dan India mahasiswa Malaysia FKG USU TA 2010-2012 [skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Junqueira, Luiz C, & Jose C. 2007. Histologi dasar : teks & atlas. Edisi 10. EGC. Jakarta. 143-44.
Kadagoudar S & Hallikeri VR. 2014. Estimation of stature by nasion - inion head length in South Indian population - A cross sectional study. Med. Inn. 3(2): 9–11.
Kementerian Kesehatan RI. 2013. Ringkasan eksekutif data dan informasi kesehatan Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Khangura RK, Sircar K, & Grewal DS. 2015. Four odontometric parameters as a forensic tool in stature estimation. J For Dent Sci, 7(2), 132–136.
Koentjaraningrat. 1989. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.
Krishan K. 2008. Estimation of stature from cephalo-facial anthropometry in North Indian population. Forensic Sci. Int. 81(1-3):1–6.
Kumar M & Gopichand PV. 2013. Estimation of stature from cephalofacial anthropometry in 800 Haryanvi Adults. Int. J. Plant, Animal, & Env.sci. 3(2):42–46.
Kuntoadi MM. 2008. Hubungan panjang humerus dengan tinggi badan pada wanita dewasa suku Lampung di Desa Negeri Sakti Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran [skripsi]. Bandar Lampung: Universitas Lampung.
(4)
Mansur DI, Haque MK, Sharma K, Mehta DK, & Shakya R. 2014. Use of head circumference as a predicor of height of individual. Kathmandu Univ. Med. J. 12(46): 89–92.
Menezeges RG, Kanchan T, Kumar GP, Rao PP, Lobo SW, Usyal S, et al. 2009. Stature estimation from the length of the sternum in South Indian males: A preliminary study. Journal Forensic Leg. Med. 16:441–43.
Moore KL & Agur AM. 2002. Anatomi klinis dasar. (V. Sadikin & V. Saputra, Eds.). Jakarta: Hipokrates.
Na’im A & Syaputra H. 2011. Kewarganegaraan, suku bangsa, agama dan bahasa sehari-hari penduduk Indonesia hasil sensus penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik.
Narendra MB, Sularyo TS, Soetjiningsih, Suyitno H, & Ranuh IGNG. 2002. Tumbuh kembang anak dan remaja (1st ed.). Jakarta: Sagung Seto.
Nguyen AKD, Simard-Meilleur A, Berthiaume C, Godbout R, & Mottron L. 2012. Head circumference in Canadian male adults : Development of a normalized chart. Int. J Morph. 30(4):1474–80.
Notoatmodjo S. 2012. Metodologi penelitian kesehatan (2nd ed.). Jakarta: PT Rineka Cipta.
Patel JP. 2012. Estimation height from measurement of foot length in Gujarat Region .Int. J. Bio. Med. Res.:3(3); 2121-2125
Prasad A, Bhagwar V, Kumar A, & Joshi D. 2014. Estimation of stature from head length in living adults in Marathwada . Int. J. Rec. Sci. Res. 5(10):1745–48.
Rahmawati NT, Jacob T, Trilusiana N, Hi’rai, Suryadi E, & Romi M. 2003. Kajian kefalometrik (Studi perbandingan antara suku Jawa di Yogyakarta dan suku Naulu di Pulau Seram, Maluku Tengah). Berkala Ilmu Kedokteran.203-9.
(5)
Richards E. 2011. The estimation of stature from measurements of the isolated cranium. Texas State University.
Sarajlić N, Cihlarž Z, Klonowoski EE, & Selak I. 2006. Stature estimation for Bosnian male population. Bosn. J. Basic Med. Sci. 6(1): 62–67.
Sastroasmoro S & Ismael S. 2011. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis (4th ed.). Jakarta: Sagung Seto.
Singh R. 2013. Estimation of stature and age from head dimensions in Indian population. Int. J. Morph. 31(4): 1185–90.
Snell RS. 2006. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
Sujadi F. 2013. Lampung sai bumi ruwa jurai. Jakarta: Penerbit Cita Insani Madani.
Supariasa IDN, Bakri B, & Fajar I. 2002. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC.
Suriyanto RA & Koeshardjono. 1999. Studi variasi indeks acromiocristalis. Antropologi Manusia. 60:86–100.
Syaifudin M, Alatas Z, Rahardjo T, & Mugiono. 1996. Studi antropometri manusia Jawa dalam rangka penyusunan manusia acuan Indonesia. Prosoiding Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan. Jakarta.
Thaher M. 2013. Hubungan panjang telapak tangan dengan tinggi badan pada pria dewasa suku Lampung di Desa Negeri Sakti Kabupaten Pesawaran [skripsi] . Bandar Lampung: Universitas Lampung.
Tortora GJ & Derrickson BH. 2011. Principles of anatomy and physiology 13th edition. USA: John Wiley & Sons Inc.
Vinitha, Kadadi SD, Malikarjun, & Jayprakash. 2015. Correlation of stature in relation to headlength in children. Int. J. Healthc. Sci. 2(2):66–71.
(6)
Wiryani C, Kuswardhani T, Aryana S, Astika N, Yanson, & Widana K. 2010. Hubungan antara sudut kelengkungan thorak dan selisih tinggi badan ukur dan tinggi badan hitung berdasarkan tinggi lutut pada pasien usia lanjut di poliklinik geriatri Rumah Sakit Sanglah Denpasar. J. Peny. Dalam. 11(1):10-16.