Sintaksis Struktur Gramatikal Register

dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya Kridalaksana, 2008: 40. Ciri yang menonjol dari campur kode ini ialah kesantaian atau situasi informal Aslinda dan Syafyahya, 2007: 87. Dalam situasi berbahasa formal, jarang terjadi campur kode, kalau terdapat campur kode dalam keadaan itu karena tidak ada kata atau ungkapan yang tepat untuk menggantikan bahasa daerah atau bahasa asing Nababan via Aslinda dan Syafyahya, 2007: 87. Wardhaugh 1986: 104 mengatakan bahwa campur kode merupakan salah satu bentuk solidaritas antara penutur suatu bahasa. Seorang penutur bahasa seringkali memasukan unsur dari bahasa lain ketika sedang berbicara dengan penutur bahasa yang bersangkutan, misalnya seorang penutur bahasa Indonesia yang memasukan kata dari bahasa Jawa ketika sedang berbicara dengan penutur asli bahasa Jawa. Berbicara mengenai campur kode seringkali dihubungkan dengan alih kode. Holmes 1992: 40 menyamakan pengertian antara campur kode dan alih kode. Pada hakikatnya alih kode dan campur kode memang memiliki persamaan. Kesamaan antara alih kode dan campur kode adalah digunakannya dua bahasa atau lebih, atau dua varian dari sebuah bahasa dalam satu masyarakat tutur Chaer, 2004: 114. Namun keduanya juga memiliki perbedaan. Thelander via Chaer dan Agustina, 2004: 115 menyatakan bila di dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Tetapi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran, dan masing-masing klausa atau frase itu tidak mendukung fungsi sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Secara lebih sederhananya, jika seseorang menggunakan satu kata atau frase dari satu bahasa, dia telah melakukan campur kode. Tetapi apabila klausa jelas- jelas memiliki struktur gramatika satu bahasa, dan klausa berikutnya disusun menurut struktur gramatika bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode Fasold via Chaer dan Agustina, 2004: 115. Perbedaan-perbedaan yang disebutkan di atas tidak menutup kemungkinan terjadinya perkembangan dari campur kode ke alih kode. 2. Interferensi Gejala interferensi kebahasaan merupakan akibat dari berkontaknya satu bahasa dengan bahasa yang lain. Sebagai contoh, kontak bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia pada penutur bahasa Jawa menimbulkan adanya interferensi bahasa Jawa dalam pemakaian bahsa Indonesia. Pada hakikatnya interferensi adalah pemakaian unsur bahasa yang satu ke dalam unsur bahasa yang lain yang terjadi dalam ciri penutur kedwibahasaan dan dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak perlu terjadi, karena unsur serapan itu sebenarnya telah ada padanannya dalam bahasa penyerap. Dalam gejala interferensi terdapat tiga unsur, yaitu bahasa sumber donor, bahasa penyerap risipen, dan unsur serapan importasi Suwito, 1982: 46. Dalam kontak bahasa mungkin pada suatu peristiwa suatu bahasa menjadi bahasa penyerap, namun pada peristiwa lain bahasa tersebut sebagai bahasa sumber. Dalam bahasa penyerap adanya interferensi tidak selamanya menimbulkan suatu gangguan. Gejala interferensi akan disebut sebagai gangguan apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan norma dari bahasa penyerap. Apabila unsur serapan itu sengaja diambil dari bahasa sumber dan belum ada padanannya dalam bahasa penyerap maka unsur itu bukan merupakan gangguan, karena unsur serapan itu diperlukan. Gejala inteferensi ini disebabkan adanya kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga penutur dipengaruhi oleh bahasa lain Chaer dan Agustina, 2004: 158. Lebih lanjut dikatakan bahwa kemampuan seseorang dalam menguasai bahasa berbeda. Ada penutur yang menguasai bahasa pertama dan bahasa kedua sama baik, kemampuan bahasa seperti itu disebut kemampuan bahasa sejajar. Sedangkan kemampuan terhadap bahasa kedua lebih rendah atau tidak sama dengan kemampuan berbahasa pertama disebut kemampuan bahasa majemuk Ervin dan Osgood, via Chaer dan Agustina, 2004: 159. Gejala interferensi dapat terjadi dalam semua komponen kebahasaan. Ini berarti gejala interferensi terjadi dalam bisang fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik Suwito, 1982: 46. Interferensi gramatikal meliputi dua bidang yaitu morfologi dan sintaksis. Interferensi morfologi menyangkut afiksasi. Afiksasi yang dimaksud meliputi pertukaran afiks, penghapusan afiksa, dan penambahan afiks. Interferensi morfologi ini terjadi apabila pembentukan kata suatu bahasa menyerap afiks-afiks bahasa lain Suwito, 1982: 47. Interferensi sintaksis antara lain di dalam struktur kalimat. Dalam struktur kalimat bahasa tertentu terserap struktur kalimat bahasa lain padahal padanan struktur kalimat tersebut dalam bahasa Indonesia sudah ada. Penyimpangan struktur itu kerena di dalam diri si penutur atau penulis terjadi kontak antara bahasa yang sedang digunakan dengan bahasa lain yang dikuasainya mungkin bahasa daerah atau bahasa asing. 3. Ragam Resmi dan Tidak Resmi Cara penuturan suatu wacana biasanya berkaitan dengan usaha seorang penutur atau penulis untuk menyampaikan amanat, pesan, atau pengalamannya kepada mitra tuturnya atau pembaca. Agar apa yang disampaikan itu dapat diterima dengan baik maka penutur perlu memilih sarana dan cara yang tepat. Menurut sarananya, ragam bahasa lazim dibagi atas ragam lisan dan ragam tulis. Ragam lisan diungkapkan dengan medium lisan, sedangkan ragam tulis dipergunakan dengan medium tulisan dan sampai kepada sasaran secara visual Kridalaksana, 2008: 206-207. Penelitian ini termasuk ragam lisan yang dituliskan, dengan kata lain percakapan antara penjual dan pembeli disampaikan secara tertulis menggunakan media BlackBerry Messenger. Dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia 1998: 7 disebut bahwa apabila menggunakan sarana tulis maka penutur beranggapan bahwa orang yang diajak komunikasi tidak ada dihadapannya sehingga dalam penulisan harus jelas agar apa yang disampaikan dapat dimengerti mitra tutur atau pembaca. Dalam setiap komunikasi akan terjadi beberapa peristiwa bahasa yang akan menimbulkan adanya variasi bahasa. Salah satu variasi yang ada, disebabkan oleh situasi yang berbeda perbedaan situasi. Menurut Pateda 1990: 70 variasi yang disebabkan oleh adanya perbedaan situasi terbagi atas bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang digunakan dalam situasi tidak resmi santai.