Model Dinamik Ketersediaan Daging Sapi Potong di Kabupaten Bogor.

MODEL DINAMIK KETERSEDIAAN DAGING SAPI
POTONG DI KABUPATEN BOGOR

HENDRIKO

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Model Dinamik
Ketersediaan Daging Sapi Potong di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya
dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor
Bogor, April 2015
Hendriko
NIM H24100073

ABSTRAK
HENDRIKO. Model Dinamik Ketersediaan Daging Sapi Potong di Kabupaten
Bogor. Dibimbing oleh ABDUL BASITH
Program swasembada daging sapi nasional mengalami kendala dalam
tahapan pencapaian hasil target implementasi di tahun 2005, 2010 dan 2014.
Penelitian ini bertujuan menilai perilaku ketersediaan daging sapi potong di
Kabupaten Bogor dengan model dinamik selama periode (2013-2022). Selain itu,
menentukan besaran produksi sapi potong dalam mendukung swasembada daging
sapi di tahun 2018. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara pendapat
pakar, sementara data sekunder dengan studi literatur. Data primer terdiri atas
peluang kematian, berat sapi potong dan fraksi daging. Data sekunder terdiri atas
data perkembangan sapi potong, penduduk, dan konsumsi daging di Kabupaten
Bogor selama periode (2005-2013). Analisis mengunakan pendekatan sistem
dengan bantuan soft ware VENSIM PLE dan STELLA 9.1.4 pada penelitian ini.
Evaluasi model dilakukan dengan membandingkan perilaku model dengan kondisi

di dunia nyata. Hubungan antar keduanya bersifat logis dan dapat dimanfaatkan.
Hasil skenario menunjukkan swasembada tidak tercapai di tahun 2018 jika dikelola
secara bussines as usual (Skenario I) dan terpadu (Skeanrio II) di Kabupaten Bogor.
Hasil skenario menunjukkan swasembada tercapai tahun 2020 dengan penambahan
sapi dari luar Kabupaten Bogor hingga tahun 2022 (Skenario III).
Kata kunci: model dinamik, swasembada daging sapi, Kabuapten Bogor.

ABSTRACT
HENDRIKO. Dynamic Model of Availability of Beef in the Bogor District.
Supervised by ABDUL BASITH.
Program of national beef-sufficiency in beef experienced problems in the
stage of implementation results in 2005, 2010 and 2014. This research aims to
assess behavior availability of beef with model dynamic during (2013–2022)
periode. Futhermore, determine amount of cattle production to suppord beef selfsufficiency in 2018. Primary data was collected with expert opinion, while
secondary data with study of literature. Primary data consist mortality death, heavy
beef and meat fraction. Secondary data consists of beef cattle growth data, resident
and consumption of meat in Bogor Regency during (2005-2013) periode. The
Analysis is used a systems approach, using software VENSIM PLE and STELLA
9.1.4 in this research. Evaluation is done by comparing the model with the model
behavior in real-world conditions. Relations between the two are logical and can be

utilized. Scenario results show beef self-sufficiency was not achieved in 2018 when
managed bussines as usual (Scenario I) and integrated (Skeanrio II) in Bogor
Distict. Scenario results show beef self-sufficiency achieved in 2020 with the
addition of a cow from outside until 2022 in Bogor District (Scenario III).
Keywords: dynamic model, beef self-sufficiency, Bogor District

MODEL DINAMIK KETERSEDIAAN DAGING SAPI
POTONG DI KABUPATEN BOGOR

HENDRIKO

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Manajemen

DEPARTEMEN MANAJEMEN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2014 ini ialah dinamika
sistem, dengan judul Model Dinamik Ketersediaan Daging Sapi Potong di
Kabupaten Bogor.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan
pendidikan di Departemen Manajemen
2. Beasiswa Bidik Misi yang telah membiayai pendidikan selama di Institusi
pendidikan ini.
3. Bapak Dr Ir Abdul Basith, Msc selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan banyak arahan, motivasi, dan kritikan membangun sehingga skripsi
ini berhasil diselesaikan.
4. Bapak Prof Dr Musa Hubeis, Ms, Dipl, Ing DEA selaku penguji pertama dan
Bapak Dr Ir Ma’mun Sarma, Ms, M.Ec selaku penguji kedua pada penelitian ini.
5. Bapak Dr Ir Rudy Priyanto selaku pakar ilmiah yang telah membantu penelitian

ini.
6. Ibu Nuri dan Ibu Nunu dari Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
7. Ayah, ibu, kakak dan adik tersayang yang telah memberikan dukungan moril
serta doanya.
8. Keluarga manajemen 47 dan UKM Merpatih Putih atas segala doa dan kasih
sayangnnya.
9. Semua pihak yang turut melancarkan penelitian ini.
Semoga karya ilmiah ini memberikan banyak manfaat dan ilmu pengetahuan
bagi para pembaca. Penulis mohon dimaafkan apabila terdapat kekurangan dalam
penulisan karya ilmiah ini.

Bogor, April 2015
Hendriko

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR


vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian


2

Manfaat Penelitian

3

Ruang Lingkup Penelitian

3

METODE

3

Kerangka Pemikiran

3

Lokasi dan Waktu Penelitian


4

Pengumpulan Data

5

Pengolahan dan Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

6

Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan

6

Konseptualisasi Model


6

Spesifikasi Model

8

Evaluasi Model

11

Pemakaian Model

13

Implikasi Manajerial

17

SIMPULAN DAN SARAN


19

Simpulan

19

Saran

19

DAFTAR PUSTAKA

19

LAMPIRAN

22

RIWAYAT HIDUP


28

DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8

Perkembangan produksi daging sapi di Kabupaten Bogor
Perkembangan konsumsi daging sapi di Kabupaten Bogor
Sebaran populasi sapi di Kabupaten Bogor
Perkembangan arus keluar masuk sapi di Kabupaten Bogor
Evaluasi model
Besar rekomendasi tambahan sapi potong
Perbandingan tiga skenario kebijakan yang dikembangkan.
Rekomendasi kebijakan pendukung implementasi skenario

2
10
11
11
12
16
17
18

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian adaptasi Harmini et al. (2011).
4
2 Diagram causal loop untuk model ketersediaan daging sapi tidak
berkelanjutan (a) dan model ketersediaan daging sapi berkelanjutan (b), di
Kabupaten Bogor.
7
3 Sub sistem penyediaan daging sapi di Kabupaten Bogor
8
4 Sub sistem kebutuhan daging di Kabupaten Bogor
9
5 Diagram simulasi skenario I tahun 2013 sampai tahun 2022
13
6 Diagram simulasi skenario II tahun 2013 sampai tahun 2022
15
7 Diagram simulasi skenario III tahun 2013 sampai tahun 2022
16

DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4

Formulasi model dinamik
Target dan implementasi pengurangan kematian sapi
Target dan implementasi pengurangan pemotongan betina produktif
Target dan implementasi jangkauan inseminasi buatan

22
25
26
27

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jaminan ketersediaan pangan menjadi salah satu objek perhatian pemerintah
dalam menjaga stabilitas keamanan pangan nasional. Konsumsi domestik yang
meningkat tiap tahun akibat bertambahnya jumlah penduduk dan daya beli,
membuat keharusan membangun ketahanan pangan yang berlandaskan kepada
pemberdayaan potensi lokal.
Kelangkaan daging sapi dapat diindikasikan dengan struktur produksi daging,
pemotongan sapi dan pengiriman ternak (Ilham 2009). Pada tahun 2013, produksi
daging sapi dalam negeri mengalami penurunan. Penurunan ini menyebabkan
kelangkaan daging sapi terjadi di pasar domestik. Kondisi ini memicu terjadinya
pemotongan sapi lokal dalam skala besar (Disnak 2013). Menurut sensus pertanian
2013, jumlah populasi sapi dan kerbau di tahun 2011 diperkirakan 16,7 juta turun
menjadi 14,2 juta. Kelangkaan sapi yang terjadi membuat pemerintah pun
memasukkan daging sapi beku impor ke dalam pasar sebagai bentuk usaha
menetralisir perubahan harga yang melambung tinggi, namun langkah tersebut
belum dapat mengentaskan permasalahan yang sudah terjadi.
Pemerintah melalui Kementerian Pertanian sebelumnya telah mencanangkan
program swasembada daging sapi nasional. Program ini telah dilaksanakan secara
bertahap untuk tahun 2005, 2010, dan 2014. Tujuannya agar mengurangi
ketergantungan pasokan daging impor serta menciptakan kemandirian penyediaan
daging sapi nasional. Pada perkembangannya, menurut Ashari et al. (2012)
swasembada daging sapi tidak tercapai program 2005 dan 2010. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah impor yang masih tinggi. Berdasarkan perkembangan tersebut,
maka pada masa pemerintahan (2014-2019). Kementerian Pertanian menargetkan
program swasembada sapi di tahun 2018. Tujuan program ini adalah meneruskan
program swasembada sebelumnya yang belum tercapai dengan baik.
Sejalan dengan uraian di atas, Kabupaten Bogor mempunyai peluang dalam
mendukung program swasembada daging sapi. Hal ini didukung dengan potensi
jumlah populasi sapi. Populasi sapi Kabupaten Bogor menempati urutan ke-3 di
Provinsi Jawa Barat dengan jumlah 32.967 ekor (Disnakan 2013), sehingga dengan
potensi tersebut, Kabupaten Bogor memiliki peluang untuk menjadi salah satu
daerah penghasil daging sapi di Jawat Barat. Meskipun demikian, evaluasi juga
tetap diperlukan untuk menilai potensi sumber daya tersebut.
Perkembangan permintaan daging sapi dari dalam Kabupaten Bogor juga
terus berkembang. Jumlah penduduk Kabupaten sebesar 5.111.769 jiwa dengan laju
pertumbuhan 3,15 persen di tahun 2013 dan tingkat konsumsi daging rata-rata per
kapita 1,767 kilogram menjadi angka dalam perhitungan estimasi kebutuhan
daging. Hasil estimasi kebutuhan akan berdampak pada suplai daging yang harus
tersedia. Keseimbangan antara supply dan demamd menjadi kunci agar kecukupan
daging sapi terpenuhi. Jika penurunan hasil produksi daging sapi terjadi di tahun
tertentu, maka mempengaruhi perubahan harga dan ketersediaan daging sapi di
pasaran. Menurut Magistra (2014), kenaikan harga daging sebesar 50,8 persen akan
menyebabkan penurunan konsumsi protein hewani di Kabupaten Bogor.

2
Pasokan daging sapi bergantung pada jumlah hasil produksi daging sapi,
namun perkembangan produksi daging sapi Kabupaten mengalami pergerakan
yang fluktuatif tiap tahunnya. Hasil produksi daging sapi tersaji pada Tabel 1.
Tabel 1 Perkembangan produksi daging sapi di Kabupaten Bogor
Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013

Sapi lokal (ton)
1 250
4 420
6 194
6 965
3 237
3 965
5 005
6 198
4 500

Sapi impor (ton)
1 670
2 899
2 016
1 347
7 916
6 826
4 294
3 020
2 773

Jumlah
2 947
7 319
8 210
8 312
11 153
10 791
9 299
9 218
7 273

Sumber: Disnak Provinsi Jawa Barat (2013)

Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil produksi tertinggi terjadi pada tahun 2009
dengan hasil produksi sebesar 11.153 ton dan terrendah pada tahun 2005 dengan
hasil produksi 2.947 ton. Produksi daging sapi yang tertinggi terjadi pada tahun
2009 dengan 70,98 persen berasal dari daging impor dan 29,02 persen sapi lokal.
Proporsi daging sapi impor diduga karena perusahaan pengemukan sapi di
Kabupaten Bogor memperoleh kuota impor yang besar. Pada tahun 2009 adalah
puncak impor sapi bakalan yang mencapai 720 ribu ekor dan daging sapi mencapai
120 ribu ton (Ditjennak 2011), sehingga mempengaruhi jumlah produksi daging
sapi di Kabupaten Bogor. Hasil produksi daging terrendah di tahun 2005
dimungkinkan karena pengelolaan perternakan sapi potong yang tidak dilakukan
dengan baik. Hal ini juga berkaitan erat dengan pengaruh pelaksanaan program
swsembada 2005 yang tidak berhasil (Ditjennak 2011). Berdasarkan total hasil
produksi dari tahun 2005 sampai tahun 2013, maka persentase penguasaan daging
sapi lokal terhadap hasil produksi daging sapi adalah 56,02 persen dan 43,98 persen
untuk pemenuhan daging sapi impor. Kapasitas produksi yang belum cukup ini
menjadi pertimbangan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam upaya merealisasikan
swasembada daging sapi di tahun 2018.

Perumusan Masalah
Permasalahan yang dijabarkan dalam tulisan ini adalah (1) bagaimana
perilaku ketersediaaan daging sapi di Kabupaten Bogor? (2) bagaimana besaran
produksi ternak sapi potong di Kabupaten Bogor yang harus diperbaharui jika
perilaku ketersediaan daging sapi menurun.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah menilai perilaku ketersediaan daging di
Kabupaten Bogor dan memperbaharui besaran produksi ternak sapi potong apabila
ketersediaan daging sapi menurun.

3
Manfaat Penelitian
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah (1) menjadi salah
satu bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan daerah untuk merencanakan
pembangunan industri peternakan sapi. (2) memberikan referensi tambahan bagi
para akademisi ataupun pembaca dalam pengembangan ilmu khususnya terkait
dengan simulasi sistem dinamis.

Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berfokus pada simulasi sistem dinamik ketersediaan daging sapi
potong dengan memnafaatkan data keadaan populasi di Kabupaten Bogor sebagai
objek penelitian. Simulasi mengacu pada mekanisme pengolahan ternak sapi secara
ideal dan menggunakan asumsi-asumsi pendukung untuk mendapatkan hasil yang
mendekati keadaan nyata.

METODE

Kerangka Pemikiran
Rencana swasembada daging sapi memerlukan tahapan peninjauan terhadap
kemampuan daerah dalam mencapai targetan tersebut. Evaluasi ini diperlukan agar
penetapan strategi dan kebijakan pengembangan daerah memiliki keakuratan,
sehingga hasil implementasi kebijakan dapat memberikan manfaat terhadap
pembangunan daerah. Evaluasi terhadap kemampuan peternakan sapi berupa
potensi lokal dapat dilakukan dengan pendekatan sistem. Kelebihan pendekatan ini
adalah gambaran perilaku sistem dapat diperoleh dalam waktu yang relatif singkat
dan biaya murah dengan percobaan simulasi sistem. Kemudahan ini akan
mempercepat proses pengambilan keputusan tanpa harus menunggu hasil riset yang
berasal uji coba di dunia nyata.
Penelitian mengenai perilaku sistem didahului dengan penentuan komponenkomponen yang berpengaruh lansung terhadap sistem ketersediaan daging sapi di
Kabupaten Bogor. Tujuan dilakukan identifikasi ini adalah penyederhanaan sistem
yang komplek untuk dikonstruksi ke dalam causal loop. Model kemudian
diformulasikan berdasarkan asumsi-asumsi pendukung. Model yang secara
keseluruhan memiliki hubungan relasi yang logis dan sesuai dengan perilaku dunia
nyata, selanjutnya dapat disimulasikan berdasarkan skenario yang dibangun untuk
selang waktu tertentu.
Berdasarkan hasil simulasi pada skenario nantinya dapat diketahui
perkembangan ketersediaan daging sapi tiap tahunnya di Kabupaten Bogor.
Diharapkan hasil simulasi tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi
pemerintah Kabupaten Bogor dalam menentukan arah kebijakan yang lebih baik.
Kerangka pemikiran tersaji pada Gambar 1.

4

Identifikasi masalah
Penetapan Tujuan
Identifikasi Komponen Penyusun
Sub sistem penyediaan
daging
1. Populasi sapi
2. Kelahiran sapi
3. Kematian sapi
4. Penambahan sapi

VENSIM
PLE
Studi
literatur
dan
pendapat
pakar

Sub sistem kebutuhan
daging
1. Penduduk Kab.
Bogor
2. Konsumsi
daging sapi

Konsrtuksi causal loop
Penentuan asumsi dasar permodelan
Formulasi model
Tidak

Rekomendasi
terhadap
pengaruh dan
dampak yang
diharapkan dari
permodelan

Evaluasi model
Ya
Simulasi skenario permodelan
STELLA
9.1.4
Implementasi model
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian adaptasi Harmini et al. (2011).

Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bogor dengan objek penelitian populasi sapi
potong di Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan dalam selang bulan Juni 2014
hingga September 2014.

5
Pengumpulan Data
Data penelitian ini menggunakan data primer data sekunder. Data primer
berasal dari pendapat pakar Dr Ir Rudy Priyanto (Ahli Ruminansia Besar IPB)
tentang peluang target implementasi pencegahan kematian sapi, berat sapi dan
fraksi daging sapi. Data sekunder diperoleh melalui Dinas Peternakan Kabupaten
Bogor dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. Data sekunder yang
dikumpulkan adalah data perkembangan populasi sapi, perkembangan arus keluar
masuk sapi potong dan produksi daging sapi potong dari tahun 2005 sampai tahun
2013 di Kabupaten Bogor. Selain itu juga data jumlah penduduk Kabupaten Bogor
beserta laju pertumbuhan penduduknya di tahun 2013 dan perkembangan tingkat
konsumsi daging sapi per kapita per tahunnya di Kabupaten Bogor dari tahun 2010
sampai tahun 2013. Data ini juga didukung dengan literatur dan jurnal ilmiah dari
berbagai sumber yang berkaitan dengan produksi sapi dan swasembada sapi.

Pengolahan dan Analisis Data
Data penelitian yang telah diperoleh baik itu data primer dan sekunder diolah
ke dalam bentuk permodelan dengan mengunakan Sofware Vensim PLE dan Stella
9.1.4 pada penelitian ini. Model dikembangkan melalui metode pendekatan sistem.
Model yang dibangun ini menjelaskan hubungan produksi daging sapi potong
dengan kebutuhan konsumsi di lokasi penelitian. Tahapan pembuatan analisis dan
simulasi model adalah sebagai berikut (Purnomo 2012).
1. Identifikasi isu, tujuan dan batasan
Identifiaksi isu, tujuan dan batasan penting dilakukan untuk mengetahui
dimana sebenarnya permodelan perlu dilakukan. Penetapan isu menjadi faktor
penentu terhadap pengaruh dan dampak dari proses permodelan yang di
jalankan. Tujuan spesifik akan mempermudah proses pembuatan model.
Sementara penentuan batasan digunakan untuk menentukan komponen yang
masuk dan tidak ke dalam lingkup permodelan
2. Konseptualiasasi model
Tahapan ini merupakan penuangan konsep ke dalam gambaran secara
menyeluruh tentang model yang akan dibuat. Pembuatan konsep ini melibatkan
komponen-komponen yang telah teridentifikasi dan dicari interelasinya
mengunakan diagram sebab-akibat.
3. Spesifikasi model
Tahapan ini merupakan perumusan makna sebenarnya dari setiap relasi yang
ada dalam bagian model konseptual. Hubungan relasi yang ditandai tanda
panah kemudian diubah menjadi persamaan numberik dengan satuan yang jelas
dan dalam peubah waktu.
4. Evaluasi model
Tahapan ini mencakup tiga tahapan evaluasi yaitu
a. Pengamatan kelogisan hubungan relasi antar tiap bagian di dalam model.
b. Pengamatan kesesuaian perilaku model terhadap perkiraan yang
digambarkan pada fase konseptualisasi.
c. Perbandingan perilaku model dengan data yang didapatkan dari sistem
atau dunia nyata.

6
5. Pemakaian model
Model dimanfaatkan setelah berhasil menjawab permasalahan dan tujuan yang
didentifikasi pada awal perencanaan model. Tahapan ini melibatkan
perencanaan dan simulasi dari beberapa skenario.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian disajikan sesuai dengan fase-fase permodelan dinamika
sistem yang dilakukan.

Identifikasi Isu, Tujuan dan Batasan
Kelangkaan daging sapi menjadi permasalahan serius ketika laju penyediaan
daging sapi domestik belum mampu memenuhi permintaan daging sapi secara
menyeluruh. Terlebih dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kesadaran akan
pentingnya kecukupan gizi berupa protein hewani, membuat perlunya jaminan
ketersediaan daging sapi terhadap kapasitas produksi domestik.
Ketersediaan daging sapi di Kabupaten Bogor umumnya mengandalkan
pasokan sapi potong dari peternakan rakyat dan tambahan dari luar kabupaten.
Dalam upaya menyokong program swasembada daging oleh pemerintah di tahun
2018, diperlukan penilaian terhadap kondisi peternakan lokal sekarang. Kapasitas
dan laju produksi daging menentukan besar ketersediaannya.
Sehubungan dengan isu kelangkaan daging sapi dan daya dukung peternakan
di Kabupaten Bogor, maka tujuan permodelan ini adalah menilai perilaku
ketersediaan daging sapi potong di Kabupaten Bogor. Simulasi permodelan ini akan
menghasilkan perilaku ketersediaan daging sapi untuk selang waktu yang
ditentukan. Perbaikan perilaku hasil simulasi dapat dilakukan dengan menerapkan
skenario perbaikan lanjutan.
Model dinamika sistem ini mengadaptasi model ketersediaan daging sapi
nasional berbasis sistem dinamik yang dikembangkan oleh Harmini et al. (2011).
Model tersebut kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi Kabupaten
Bogor. Model dinamika sistem ini juga dibatasi oleh data populasi dan mekanisme
produksi sapi potong. Kedua batasan ini diasumsikan mempengaruhi secara
dominan terhadap kinerja sistem. Sementara faktor lain diasumsikan tidak
berpengaruh secara lansung.

Konseptualisasi Model
Gambaran menyeluruh tentang model yang akan dibuat, dituangkan ke dalam
bentuk diagram sebab-akibat (causal loop). Diagram ini terdiri atas komponen sub
sistem penyediaan daging sapi dan sub sistem kebutuhan daging sapi yang telah

7
teridentifikasi. Menurut Harmini et al. (2011), komponen ini dibangun berdasarkan
faktor-faktor yang khas dan saling berinteraksi secara dinamis menurut waktu dan
kondisi. Interaksi antar komponen ditandai secara visual dengan simbol-simbol.

Diagram causal loop tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram causal loop untuk model ketersediaan daging sapi tidak
berkelanjutan (a) dan model ketersediaan daging sapi berkelanjutan (b),
di Kabupaten Bogor.
Gambar 2 (a) menunjukkan konsep model ketersediaan daging sapi di
Kabupaten Bogor secara tidak berkelanjutan. Pada sub sistem penyediaan daging
sapi, kenaikan variabel penambahan sapi dan kelahiran sapi akan membuat variabel
populasi sapi meningkat. Sementara kenaikan variabel kematian sapi justru akan
menurunkan variabel populasi. Secara tidak lansung kenaikan variabel populasi
sapi juga akan meningkatkan variabel total produksi daging. Hal ini berbeda dengan
sub sistem kebutuhan daging sapi, walaupun variabel total kebutuhan meningkat
akibat kenaikan variabel konsumsi daging dan penduduk Kabupaten Bogor. Akan
tetapi, hal ini berdampak kepada ketersediaan daging sapi yang menurun. Sehingga
kekurangan tersebut ditutupi dengan tambahan daging sapi impor. Secara
keseluruhan model causal loop yang dibuat tergolong kepada balancing, dimana
peternakan sapi potong memberikan efek positif pada penduduk Kabupaten Bogor,

8
namun dalam jangka panjang feedback yang ditimbulkan adalah penurunan pada
peternakan sapi itu sendiri.
Pengelolaan terpadu seperti pada gambar 2 (b) menjadi objek penelitian. Di
dalam gambar tersebut, ada upaya untuk meningkatkan total produksi daging sapi
dengan serangkaian pendekatan. Metode yang dilakukan dalam pengelolaan
tersebut di antaranya dalah pencegahan kematian sapi, pencegahan pemotongan
sapi betina dewasa produktif dan jangkauan inseminasi buatan. Diharapkan
nantinya akan menyebabkan ketersediaan daging sapi yang berlebih.

Spesifikasi Model
Tahapan ini dilakukan kuantifikasi model dengan merujuk pada pembuatan
causal loop untuk selanjutnya dapat disimulasikan dengan software. Formulasi
model dinamik secara numberik tersaji pada Lampiran 1.
Sub sistem penyediaan daging sapi
Sub model ini mengambarkan sub penyediaan daging sapi di Kabupaten
Bogor yang dipengaruhi oleh oleh perkembangan populasi sapi potong. Sub model
ini secara visual tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3 Sub sistem penyediaan daging sapi di Kabupaten Bogor
Gambar 3 menunjukkan bahwa penambahan anak sapi mempengaruhi
perkembangan populasi sapi. Penambahan anak sapi bergantung pada angka calf
crop, yang bersumber dari persentase sapi betina dewasa yang melahirkan pada
tahun berjalan dari total populasi sapi betina dewasa pada tahun tersebut. Angka
tersebut secara khusus juga dipengaruhi oleh presentase pemotongan sapi betina

9
produktif. Semakin besar tingkat pemotongan sapi betina dewasa, maka nilai angka
calf crop semakin menurun. Anak sapi kemudian dibesarkan hingga dewasa dengan
pengelolaan secara intensif dan semi intensif. Ketika sapi telah mencapai usia
muda, sapi ini kemudian ditentukan peruntukannya menjadi bakalan induk atau
pun sapi siap potong, khusus sapi jantan diperuntukan menjadi sapi potong
berdasarkan asumsi inseminasi buatan yang dilakukan. Kematian sapi menjadi
salah satu faktor penurunan populasi sapi. Besarnya kematian selama sapi
diternakkan dipengaruhi oleh peluang kematian sapi.
Arus keluar masuk sapi turut mempengaruhi jumlah populasi sapi yang ada
di dalam sistem. Selisih antara keduanya dijadikan sebagai tambahan sapi untuk
diternakkan. Umumnya penambahan sapi tersebut berupa sapi jantan muda
(bakalan), sapi siap potong, indukan jantan dan betina. Pada permodelan ini yang
menggunakan inseminasi buatan sebagai metode untuk mendapatkan bibit,
indukan sapi jantan tidak dimasukkan sebagai variabel ke dalam permodelan.
Hasil produksi daging sapi dipengaruhi oleh jumlah pemotongan sapi.
Jumlah tersebut secara keseluruhan berasal dari pemotongan sapi jantan,
pemotongan sapi betina afkir. Hasil produksi daging tersebut juga ditambah dengan
pemotongan sapi betina dewasa produktif yang jikalau pemotongan tersebut berada
diluar kendali pemerintah. Sehingga didapatkan total produksi daging setelah
pengurangan daging sapi tercecer di dalam sistem.
Sub sistem kebutuhan daging sapi
Sub model ini menunjukkan total kebutuhan daging sapi per tahun di
Kabupaten Bogor. Sub model ini tersaji pada Gambar 4.

Gambar 4 Sub sistem kebutuhan daging di Kabupaten Bogor
Gambar 4 menunjukkan bahwa besar kebutuhan tersebut ditentukan oleh
tingkat konsumsi daging per kapita per tahun dan perkembangan jumlah penduduk
Kabupaten Bogor. Kedua variabel ini sangat mempengaruhi jumlah ketersediaan
daging sapi yang ada. Kekurangan ketersediaan daging ditutupi dengan pemasukan
daging sapi dari luar Kabupaten Bogor.

10
Asumsi-asumsi yang digunakan di dalam permodelan dinamik ini di
antaranya adalah
1. Data sekunder yang digunakan sebagai dasar permodelan bersumber dari Dinas
Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dan Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bogor terbitan tahun 2010 sampai tahun 2013.
2. Jumlah penduduk Kabupaten Bogor adalah 5.111.769 jiwa dengan laju
pertumbuhan penduduk sebesar 0,0315 per tahun berdasarkan sensus penduduk
tahun 2010 (BPS 2013).
3. Konsumsi rata-rata daging sapi sebesar 1,767 kg per kapita diasumsikan konstan
tiap tahun (Tabel 2).
Tabel 2 Perkembangan konsumsi daging sapi di Kabupaten Bogor
Tahun
2010
2011
2012
2013
Jumlah

Konsumsi daging sapi perkapita per tahun
2.249
1.967
1.519
1.333
7.068

Sumber: Disnakan Kabupaten Bogor (2010-2013)

4. Asumsi dasar untuk sub sistem produksi
a. Penambahan anak sapi antara jantan dan betina berbanding 1:1 dengan nilai
calf crop sebesar 55 persen.
b. Sapi yang baru lahir dibesarkan hingga lepas sapih dengan jeda waktu antara
6-8 bulan. Sapi muda mengalami masa pubertas hingga umur 18-24 bulan.
Sapi tropis di kawinkan pada umur 2-2,5 tahun (Sudarmono dan Sugeng
2008).
c. Lama sapi bunting pada sapi potong berkisar 270-290 hari (Partodiharjo
1987). Jeda beranak seekor sapi untuk beranak kembali adalah sekitar 60-90
hari dan tidak boleh melebihi 120 hari (Harjoprayanto 1995). Waktu ini
digunakan untuk pemulihan sel-sel rahim untuk mempersiapkan kebuntingan
selanjutnya pada indukan sapi. Seekor sapi betina dewasa diafkir ketika
produktivitas menurun. Biasanya sapi diafkir setelah melahirkan 7-8 anak di
sepanjang umur hidupnya (Hardjosubroto 1994). Setelah itu, kemudian sapi
digemukkan sementara untuk siap dijadikan sebagai sapi potong. Sehingga
asumsi lama pemanfaatan sapi betina dewasa sebagai indukan produktif
adalah 7 tahun dengan umur afkir 9 tahun dan berat afkir 300 kg/ekor
(Priyanto 10 November 2014, komunikasi pribadi).
d. Setelah usia dewasa, pertumbuhan sapi akan terhenti dan umumnya hal
dialami sapi tropis pada umur 4 tahun dengan berat 300-400 kg (Yulianto dan
Saparinto 2010). Berdasarkan pernyataan tersebut pemotongan sapi jantan
diasumsikan dipotong pada umur 3 tahun dengan pengelolaan secara intensif
dengan berat potong 350 kg/ekor (Priyanto 10 November 2014, komunikasi
pribadi).
e. Pemotongan sapi betina produktif sebesar 28 persen dengan berat potong 270
kg/ekor (Disnakan 2013) dan (Priyanto 10 November 2014, komunikasi
pribadi).

11
f. Selama masa pembesaran, anak sapi mengalami kematian dengan peluang
kematian sebesar 8 persen serta sapi muda dan sapi dewasa 3,8 persen
(Priyanto 10 November 2014, komunikasi pribadi). Perbedaan peluang
kematian antar keduanya tersebut di sebabkan oleh kekebalan tubuh anak sapi
yang lebih rentan terkena penyakit.
g. Sebaran populasi sapi yang dijadikan sebagai input data permodelan dinamik
ini adalah populasi sapi di Kabupaten Bogor tahun 2013 (Tabel 3).
Tabel 3 Sebaran populasi sapi di Kabupaten Bogor
No
1
2
3
4
5
6

Jenis kelamin
Sapi jantan

Sapi betina

Tipe

Umur

Anak
Muda
Dewasa
Anak
Muda
Dewasa

(< 6 bln)
(6 bln - 2 th)
(> 2 th)
(< 6 bln)
(6 bln - 2 th)
(> 2 th)

Total

Persentase
(%)
4.45
9.33
58.81
4.64
6.32
16.45

Jumlah
(ekor)
1 532
3 209
20 226
1 595
2 174
5 656
34 392

Sumber : Disnakan Kabupaten Bogor (2013)

h. Penambahan sapi ke dalam Kabupaten Bogor pada tahun selanjutnya
diasumsikan random. Penambahan sapi merujuk kepada pemasukan dan
pengeluaran sapi dari tahun 2009 sampai tahun 2013 (Tabel 4).
Tabel 4 Perkembangan arus keluar masuk sapi di Kabupaten Bogor
Tahun
2009
2010
2011
2012
2013

Sapi betina
Sapi jantan muda
Sapi jantan dewasa
dewasa (ekor)
(ekor)
(ekor)
Masuk
Keluar Masuk
Keluar
Masuk
Keluar
1 197
0
14 521
1 043
29 430
24 530
0
0
9 221
440
16 587
10 206
291
261
11 839
82
13 900
326
1 449
706
15 318
1 192
15 416
16 081
1 716
993
23 995
10 682
28 769
24 622

Sumber: Disnak Provinsi Jawa Barat (2009-2013)

5. Fraksi daging sapi setelah potong sebesar 49,2 persen. Komposisi daging
tersebut 34,96 persen di antaranya adalah daging, 9,9 persen jeroan dan 4,3
persen daging varian (Priyanto 10 November 2014, komunikasi pribadi).
6. Daging tercecer sebesar 5 persen

Evaluasi Model
Grant et al. (1997) mengunakan istilah evaluasi model bukan validasi model
untuk kegunaan relatif model untuk tujuan khusus. Sebuah model sangat berguna
untuk satu tujuan, dapat tidak berguna untuk tujuan permodelan lain. Evaluasi
model dilakukan dengan cara membandingan perilaku model yang diharapkan
dengan perilaku kenyataan nyata. Kelogisan menjadi parameter layaknya hubungan

12
relasi antar tiap bagian hingga membentuk model secara keseluruhan (Purnomo
2012).
Evaluasi model dilakukan secara menyeluruh pada setiap bagian model yang
diharapkan. Hubungan relasi antar bagian pada permodelan ketersediaan daging di
Tabel 5 Evaluasi model
Model
Model secara keseluruhan
Sub model penyediaan
Sub model kebutuhan

Kelogisan
Ya
Ya
Ya

Perbandingan perilaku model dengan
pola yang diharapkan
Sesuai
Sesuai
Sesuai

Kabupaten Bogor saling terkait dan logis berdasarkan tahap evaluasi satu dan dua
yang telah dilakukan. Hasil evaluasi model tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5 menunjukkan hasil evaluasi secara keseluruhan. Hasil evaluasi
tersebut juga dipertegas dengan uraian evaluasi tahap tiga di bawah ini.
Sub model penyediaan daging sapi potong
Perkembangan produktivitas sapi lokal di Kabupaten Bogor mengalami
pergerakan yang fluktuatif dari tahun 2005 sampai tahun 2013 (Tabel 1). Pada
tahun 2009 hasil produksi mengalami kenaikan menjadi 7.916 ton dengan selisih
6.666 ton pada tahun 2005. Pada tahun berikutnya, produksi daging sapi mengalami
penurunan hingga tahun 2013 menjadi 2.773 ton. Perkembangan kurva produksi
tersebut juga sesuai dengan hasil pola perkembangan hasil produksi sapi lokal di
dalam permodelan dinamik. Walau selang fase kenaikan atau pun penurunan hasil
produksi berbeda, namun ke dua perbandingan tersebut masih dapat dikatakan logis.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh permodelan yang mengikuti rancang produksi
induk, sementara produksi daging sapi sebelumnya bergerak secara acak.
Sub model kebutuhan daging sapi potong
Sensus penduduk yang dilakukan pada tahun 2000 dan 2010 menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor dengan laju
pertumbuhan sebesar 3,15 persen (BPS 2013). Estimasi jumlah penduduk
Kabupaten Bogor sebesar 5.111.769 jiwa pada tahun 2013. Data ini kemudian di
simulasikan ke dalam model sehingga didapatkan hasil perkembangan jumlah
penduduk yang sama antara dunia nyata dengan perilaku yang diharapkan.
Kesimpulan sub model ini dapat dikatakan bahwa sub model ini logis.
Pada awal penetapan tujuan pemodelan ini adalah mengetahui perilaku
ketersediaan daging di Kabupaten Bogor dengan permodelan dinamika sistem.
Secara umum model dapat dipakai dan bermanfaat untuk pengelolaan sumber daya
yang berfokus pada peternakan sapi potong. Menurut (Fahey dan Randall 1998),
model bukanlah dimaksudkan untuk membuktikan apakah sebuah proyeksi
skenario akan sesuai. Akan tetapi, model dimaksudkan untuk mencari jalan yang
masuk akal, kredibel dan relevan.

13

Pemakaian Model
Kebijakan dalam model setidaknya mampu menjawab penetapan tujuan
terhadap isu yang diangkat. Dalam mendukung tujuan tersebut maka di dalam
pembuatan model sistem dinamis menerapkan beberapa sekenario. Skenario
permodelan yang berfokus pada pengelolaan ideal dengan asumsi pakan dan
pengelolaan manajerial terpenuhi. Hasil simulasi sistem dinamis nantinya akan
menghasilkan gerak perubahan dinamis di dalam sistem. Skenario tersebut di
antaranya adalah
Skenario I: Simulasi dinamis terhadap potensi populasi sapi lokal
Simulasi ini berlaku jika pemanfaatan populasi sapi yang tersedia di tahun
2013 dikelola menurut asumsi yang telah ditentukan sebelumnya (bussines as
asual). Hasil simulasi yang dilakukan pada skenario I pada tahun 2013 sampai
tahun 2022 tersaji pada Gambar 5.

Berat daging sapi (kg)

15000000
10000000
5000000
0
-5000000
-10000000
2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

2020

2021

2022

Tahun
Total produksi daging sapi bersih

Ketersediaan daging sapi

Total kebutuhan daging sapi

Gambar 5 Diagram simulasi skenario I tahun 2013 sampai tahun 2022
Gambar 5 menunjukkan bahwa perilaku total produksi daging bergerak
fluktuatif dan berada di bawah total kebutuhan daging di sepanjang tahun. Pada
simulasi ke-3 (2015), total produksi daging mendekati total produksi daging dengan
selisih 792.739 kilogram. Kenaikan produksi daging sapi di tahun ini dipengaruhi
oleh perpindahan sapi jantan muda dari tahun 2013 untuk menjadi sapi siap potong
di tahun 2015. Perpindahan sapi ini mempengaruhi perilaku model di skenario
berikutnya. Pada simulasi ke-6 (2018), swasembada daging sapi di Kabupaten
Bogor juga tidak tercapai. Hasil produksi di tahun 2018 adalah 6.580.079 kilogram
dengan target pemenuhan kebutuhan 10.547.607 kilogram. Hasil produksi
kemudian terus mengalami defisit di sepanjang tahun berjalan.
Defisit ketersediaan daging sapi ini menandakan bahwa sistem reproduksi
(pembibitan) dan budidaya sapi potong di Kabupaten Bogor masih lemah dan

14
belum digarap secara intensif. Padahal peran pengembangan kedua faktor ini
menjadi penentu dalam mencapai target swasembada daging sapi. Pernyataan ini
juga ditegaskan Sayaka (2012), pembenihan sapi potong memegang peranan
penting dalam mendukung program swasembada daging sapi. Di samping itu,
jumlah indukan sapi betina dewasa yang tersedia juga belum cukup memadai untuk
mendukung besaran kapasitas produksi yang diharapkan di Kabupaten Bogor.
Jumlah indukan betina yang relatif sedikit, membuat sebagian besar total produksi
daging sapi di Kabupaten Bogor ditopang oleh sapi bakalan jantan dan sapi siap
potong yang didatangkan dari luar Kabupaten Bogor.
Skenario II: Simulasi dinamis terhadap potensi populasi sapi dengan
perlakuan target pencapaian.
Simulasi pengelolaan terpadu merupakan pendekatan teknis yang ditujukan
untuk meningkatkan produktivitas daging sapi. Menurut Priyanto (2011), strategi
dalam mendukung swasembada daging sapi dengan pengembangan aspek teknis
dan teknologi, di antaranya adalah penyelamatan sapi betina produktif, penundaan
waktu pemotongan ternak, memperpendek jarak beranak, dan penerapan teknologi
inseminasi buatan (IB). Dalam simulasi skenario kedua ini, pendekatan teknis
disimulasikan dengan tiga program pendekatan teknis. Program tersebut di
antaranya adalah
1. Pencegahan kematian sapi potong.
Program ini menargetkan penurunan kematian sapi secara bertahap dengan
memperkecil faktor penyebab kematian sapi. Kematian sapi bisa dikarenakan
oleh penyakit dan faktor lainnya. Besaran asumsi penurunan kematian sapi
tertera pada Lampiran 2.
2. Pencegahan pemotongan sapi betina produktif.
Program ini direncanakan akan menurunkan angka pemotongan sapi potong
di Kabupaten Bogor. Penyuluhan dan pemberian sanksi hukum diharapkan akan
menyadarkan para pengusaha dan peternak sapi, sehingga jumlah sapi dewasa
betina produktif meningkat dan dapat digunakan sebagai penghasil anakan baru.
Besar asumsi pengurangan pemotongan sapi betina produktif tertera pada
Lampiran 3.
3. Pembibitan sapi dengan inseminasi buatan.
Inseminasi buatan digunakan untuk mempercepat proses pembuahan pada
sapi betina dewasa sehingga nilai calf crop meningkat. Manfaat lainnya adalah
peningkatan kualitas hasil produksi sapi yang dicerminkan melalui peningkatan
berat badan sapi. Besaran asumsi percepatan inseminasi buatan yang tersaji pada
Lampiran 4.
Simulasi ini berlaku jika populasi dikelola menurut asumsi pada skenario II.
Asumsi ini adalah pencegahan kematian sapi (Lampiran 2), pencegahan
pemotongan sapi betina produktif (Lampiran 3), dan pembibitan sapi dengan
inseminasi buatan (Lampiran 4). Hasil simulasi yang dilakukan pada skenario II
yang dimulai dari tahun 2013 sampai tahun 2022 dapat dilihat pada Gambar 6.

15

Berat daging sapi (kg)

15000000
10000000
5000000
0
-5000000
-10000000
2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

2020

2021

2022

Tahun
Total produksi daging sapi bersih

Ketersediaan daging sapi

Total kebutuhan daging sapi

Gambar 6 Diagram simulasi skenario II tahun 2013 sampai tahun 2022
Gambar 6 menunjukkan bahwa, perubahan perilaku model tidak berbeda
signifikan dengan perilaku model yang ditunjukkan oleh hasil simulasi skenario I.
Perilaku model tetap bergerak secara fluktuatif di sepanjang tahun. Meskipun hasil
simulasi menunjukkan terjadinya penguatan total produksi sehingga menurunkan
defisit ketersediaan daging sapi. Pada simulasi ke-6 (2018), swasembada daging
sapi tidak tercapai pada tahun tersebut di Kabupaten Bogor. Presentase pemenuhan
daging sapi di tahun 2018 adalah 69 persen dengan total kebutuhan daging sapi
10.547.607 kilogram. Perkembangan hasil produksi di tahun selanjutnya juga
menunjukkan terjadinya defisit ketersediaan daging sapi di Kabupaten Bogor.
Berdasarkan perkembangan perilaku ketersediaan daging sapi tersebut, maka
dapat dinilai bahwa besar potensi populasi sapi di Kabupaten Bogor tahun 2013
juga belum cukup memadai untuk dikembangbiakkan dalam mencapai target
swasembada daging sapi. Target swasembada daging sapi hanya dapat dicapai, jika
kapasitas produksi bernilai sama atau lebih terhadap permintaan daging sapi tiap
tahunnya. Kapasitas produksi daging juga harus didukung oleh sistem reproduksi
dan budidaya yang kuat dengan memperhatikan perencanaan produksi yang efektif
dan efisien.
Simulasi III: Penambahan populasi sapi jika hasil simulasi skenario I dan II
tidak sesuai harapan.
Pada skenario ketiga ini, tetap menerapkan program peningkatan
produktivitas sapi yang tersaji pada skenario II. Perbedaan dengan dua skenario
sebelumnya adalah penambahan sapi hidup yang didatangkan dari luar ke dalam
Kabupaten Bogor secara bertahap. Tujuan skenario ini adalah meransang
peningkatan regenerasi sapi dengan penambahan sapi betina dewasa produktif dan
meningkatkan hasil produksi daging dengan pemasukan sapi jantan muda. Indukan
sapi betina tergolong kepada sapi yang baru beranak sekali sehingga memiliki

16
peluang melahirkan anak sebanyak 7 ekor sapi. Jumlah pemasukan sapi ke dalam
Kabupaten Bogor tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Besar rekomendasi tambahan sapi potong
Tahun
2014
2015
2016
2017
2018
2019
2020
2021
2022

Sapi betina dewasa produktif (ekor)
19 729
18 298
23 087
24 724
18 419
19 388
20 377
23 569
20 977

Sapi jantan muda (ekor)
19 018
23 077
20 553
18 910
24 338
18 419
19 388
20 377
23 569

Sumber: Data diolah 2014

Hasil simulasi berlaku jika populasi sapi yang ada dikelola dengan
pencegahan kematian sapi (Lampiran 2), penyelamatan sapi betina produktif
(Lampiran 3), inseminasi buatan (Lampiran 4), dan penambahan sapi (Tabel 6).
Hasil simulasi yang dilakukan pada skenario III pada tahun 2013 sampai tahun
2022 tersaji pada Gambar 7.

Berat daging sapi (kg)

15000000
10000000
5000000
0
-5000000
-10000000
2013

2014

2015

2016

2017

2018

2019

2020

2021

2022

Tahun

Total produksi daging sapi bersih

Ketersediaan daging sapi

Total kebutuhan

Gambar 7 Diagram simulasi skenario III tahun 2013 sampai tahun 2022
Gambar 7 menunjukkan bahwa pada simulasi ke-3 (2015), total hasil
produksi melebihi total kebutuhan daging pada angka 10.419.260 kilogram.
Perkembangan akibat penambahan sapi hidup dari luar tidak selalu menyebabkan
perilaku pergerakan produksi daging sapi yang cenderung naik. Pada simulasi ke4 (2016), hasil produksi mengalami penurunan 49,12 persen ke posisi 5.301.421

17
kilogram. Penurunan ini disebabkan oleh pasokan sapi jantan muda yang relatif
kecil dibanding tahun sebelumnya. Pada simulasi ke-5 (2017), hasil produksi
mengalami peningkatan sebesar 59,28 persen dibandingkan dengan tahun 2016
dengan total produksi sebesar 8.444.468 kilogram daging sapi. Pada simulasi ke-6
(2018), swasembada daging sapi juga belum tercapai, namun hasil produksi telah
mendekati total kebutuhan daging sapi pada titik 9.608.014 kilogram daging sapi.
Pada tahun 2018, jumlah permintaan daging sapi yang tidak terpenuhi adalah
939.592 kilogram. Swasembada daging sapi di Kabupaten Bogor diprediksi terjadi
di tahun 2020 dengan surplus ketersediaan daging sapi adalah 1.112.568 kilogram
dan berlanjut hingga tahun 2022 pada hasil simulasi.
Berdasarkan perkembangan perilaku ketersediaan daging sapi di Kabupaten
Bogor di atas pada skenario III, maka penambahan sapi hidup turut mempengaruhi
kapasitas produksi daging sapi. Penambahan indukan betina produktif
menyebabkan perkembangan populasi di Kabuapten Bogor meningkat serta
penambahan sapi jantan muda sebagai persediaan sapi potong pada tahun
berikutnya, memberikan pengaruh terhadap hasil produksi daging sapi.
Penambahan sapi hidup dari luar dapat dijadikan sebagai cerminan besar populasi
sapi potong di Kabupaten Bogor yang harus tersedia di tiap tahunnya dalam rangka
mencapai swasembada daging. Selain itu, berdasarkan hasil simulasi skenario III
juga menunjukkan bahwa perilaku kebutuhan daging sapi yang mengandalkan
industri penggemukan/pembesaran sapi potong, tidak bisa dijadikan sebagai
pemasok utama daging sapi Kabupaten Bogor. Industri pembibitan sapi harus
dilibatkan dalam menyuplai sapi bakalan untuk seterusnya digunakan dalam
penggemukan sapi. Alur bisnis yang terintegrasi ini akan membantu tercapainya
tujuan pembangunan daerah dalam hal menjaga kestabilan daging sapi di
Kabuapten Bogor.

Implikasi Manajerial
Berdasarkan pembangunan skenario yang telah dibangun, jika skenario
tersebut diimplementasikan dari tahun 2013 sampai 2022 di Kabupaten Bogor maka
hasil simulasi dapat dibandingkan perbedaan perilaku model terhadap kondisi
peternakan sapi potong dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Perbandingan tiga skenario kebijakan yang dikembangkan.
Indikator skenario
Skenario I:
Tanpa perlakuan
Skenario II:
Pengelolaan peternakan
secara terpadu
Skenario III:
Pengelolaan sapi secara
terpadu dan penambahan
sapi
Sumber: Data diolah 2014

Populasi sapi

Produksi daging
sapi lokal

Ketersediaan
daging sapi

Rendah

Rendah

Tidak ada

Agak rendah

Agak rendah

Tidak ada

Lebih cukup

Lebih cukup

Tersedia

18
Tabel 7 menunjukkan bahwa indikator di atas dapat dijadikan sebagai salah
satu bahan pertimbangan bagi pemerintah daerah Kabupaten Bogor dalam
menentukan alternatif untuk mewujudkan swasembada daging sapi. Peningkatan
produktivitas daging sapi yang disarankan untuk peternakan sapi di Kabuapten
Bogor tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8 Rekomendasi kebijakan pendukung implementasi skenario
Simulasi
Skenario I
(Bussines as
usual)
Skenario II
(Terpadu)

Skenario III
(Terpadu dan
Penambahan sapi
hidup)

Rekomendasi kebijakan pendukung implementasi skenario
1. -

1. Sosialisasi dan penegakan aturan hukum UU No.18 Tahun
2009 tentang pemotongan sapi betina produktif di tempat
pemotongan hewan dan peternak rakyat. Sapi yang
diperbolehkan untuk dipotong adalah sapi betina dewasa yang
tergolong sudah akfir, steril atau sapi betina yang tak layak
jadi indukan sapi. Tahapan ini dilanjutkan dengan monitoring
secara berkala untuk memastikan pelanggaran tidak terjadi.
2. Pencegahan dan penanganan penyakit sapi potong
berdasarkan aturan yang ditetapkan perundang-undangan No.
47 Tahun 2014 tentang pengendalian dan penanggulangan
penyakit hewan.
3. Pemanfaatan fungsi unit lokasi inseminasi buatan secara
optimal dalam pengawinan silang sapi dengan jangkauan
maksimum 90 persen.
1. Pemasukan indukan sapi betina Kabupaten Bogor perlu
dikelola secara good breeding practice. Penanganan tersebut
akan membantu mengurangi resiko kerugian atas penanaman
modal investasi pada unit usaha cow calf operation. Hasilnya
dapat diperoleh bakalan sapi dengan kualitas baik, yang untuk
selanjutnya bisa dikembangkan sebagai indukan sapi betina
atau pun sapi siap potong pada unit usaha fattening.
2. Pembangunan sistem informasi pencatatan dan perencanaan
stok ketersediaan daging sapi di Kabupaten Bogor yang
terintegrasi dengan perusahanaan sapi potong dan peternak
rakyat. Sistem ini akan memudahkan para stakeholder dalam
mengidentifikasi
informasi dasar sapi potong melalui
barcode yang telah tertanam pada sapi dalam sehingga hal ini
menunjang bisnis peternakan sapi potong. Pemda Kabupaten
Bogor juga lebih mudah dalam pengontrol arus keluar masuk
sapi, penindakan terhadap pelanggaran pemotongan sapi
betina produktif dan lainnya.

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
Berdasarkan penelitian dan analisis yang dilakukan maka kesimpulan yang
dapat diambil antara lain:
1. Perilaku ketersediaan daging sapi di Kabupaten Bogor mengalami penurunan
berdasarkan simulasi yang dilakukan dari tahun 2013 sampai tahun 2022.
Penurunan ketersediaan daging sapi tersebut disebabkan oleh faktor jumlah sapi
pada tahun 2013 yang tidak mencukupi untuk program pengembangan
swasembada daging sapi. Hal ini dibuktikan oleh skenario I dan II.
2. Besaran rencana produksi dengan penambahan sapi hidup dari luar Kabuapten
Bogor seperti pada skenario III mampu mengubah ketersediaan daging sapi di
Kabupaten Bogor. Swasembada daging sapi diproyeksi terjadi di tahun 2020.

Saran
1. Sebaiknya Pemda Kabupaten Bogor juga mendorong pembangunan industri
pembibitan sapi (on farm) yang belum tergarap secara intensif. Hal dikarenakan
faktor tersebut penting guna mencapai swsembada daging sapi.
2. Evaluasi terhadap kinerja kawasan pengembangan sapi di Jonggol, Cariu,
Tanjung Sari dan Suka Makmur. Apakah pendekatan agribisnis di daerah
tersebut berjalan sesuai dengan target pembangunan daerah, sehingga tindakan
perbaikan secara terus menerus oleh pemerintah daerah dapat dilakukan.
3. Evaluasi terhadap kinerja kelompok peternak sapi potong di Kabupaten Bogor
dalam mendukung upaya swasembada daging sapi.
4. Pada penelitian selanjutnya lebih dianjurkan melakukan kajian mengenai kondisi
peternakan Kabupaten Bogor dengan analisis SWOT, analisis IFE Matrix,
analisis EFE Matrik dan analisis QSPM guna merancang strategi
pengemabangan peternakan yang berkelanjutan. Dengan begitu hubungan antara
penelitian yang telah dilakukan dengan rekomendasi penelitian lanjutan dapat
saling terkait.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, Ilham N, Nuryanti S. 2012. Dinamika program swasembada daging sapi:
Reorientasi konsepsi dan implementasi. Bogor (ID): Pusat Sosial Ekonomi
dan Kebijakan Pertanian. J Analisis Kebijakan Pertanian. 10(2):181-198.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Berita resmi statistik [Internet]. [diunduh 2014
Des
20].
No.
62/09/
Th.
XV.
Tersedia
pada:
bps.go.id/brs_file/asem_02sep13.pdf

20
.2013. Indikator ekonomi daerah Kabupaten Bogor
2013. Bogor (ID) : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor.
[Disnak] Dinas Peternakan Jawa Barat. 2009. Statistik peternakan. Bandung (ID):
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
. 2010. Statistik peternakan. Bandung (ID):
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
. 2011. Statistik peternakan. Bandung (ID):
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
. 2012. Statistik peternakan. Bandung (ID):
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
. 2013. Statistik peternakan. Bandung (ID):
Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat.
[Disnak] Dinas Peternakan Jawa Barat. 2014. Dilarang memotong sapi betina
produktif [Internet]. [diakses 2014 Des 5]. Tersedia pada:
http//disnak.jabarprov.go.id/index.php/subblog/read/2014/3052/DilarangMemotong-Ternak-Sapi-Betina-Produktif/sorotan-kita.
[Disnakan] Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bogor. 2010. Statistik peternakan.
Bogor (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
. 2011. Statistik peternakan.
Bogor (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
. 2012. Statistik peternakan.
Bogor (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
. 2013. Statistik peternakan.
Bogor (ID): Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor.
[Disnakan] Dinas Peternakan dan Perikanan Kab Bogor. 2013. Strategi
pengembangan ternak sapi potong dalam mendukung pembangunan daerah.
[Internet].
[diakses
2015
Feb
5].
Tersedia
pada:
http//disnakan.bogorkab.go.id/index.php/multisite/post/87/strategipengembangan-ternak-sapi-potong-dalam-mendukung-pembangunandaerah#.VP0CbPmsVrg
[Ditjennak] Direktorat Jendral Peternakan dan Keseharaan Hewan. Rencana
Strategi dan kebijakan Pembangunan peternakan nasional menuju
swasembada daging [Internet]. [diakses 2015 Mar 12]. Tersedia pada:
http//ditjennak.pertanian.go.id/berita-256-rencana-strategis-dan-kebijakanpembangunan-peternakan-nasional-menuju-swasembada-daging.html
Fahey L. and Randall R.M. 1998. What is Scenario Learning? In: Fahey L. and
Randall R.M., editor. Learning from the Future: Competitive Foresight
Scenarios. New Yo