Kapasitas Kader Dalam Penyuluhan Keluarga Berencana Di Kota Palembang.

฀APASITAS ฀ADER
DALAM PENYULUHAN ฀ELUARGA BERENCANA
DI ฀OTA PALEMBANG

SHANTI DEVI

SE฀OLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
฀engan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kapasitas Kader dalam
Penyuluhan Keluarga Berencana di Kota Palembang adalah benar karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa
pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam ฀aftar Pustaka di bagian
akhir tesis ini.
฀engan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016
฀฀฀฀฀฀Shanti฀Devi
NIM I351120111

RING฀ASAN
SHANTI ฀EVI. Kapasitas Kader dalam Penyuluhan Keluarga Berencana di Kota
Palembang. ฀ibimbing oleh ANNA FATCHIYA and ฀JOKO SUSANTO.
Mengatasi berbagai masalah kependudukan diperlukan langkah nyata, salah
satu program yang dipandang penting adalah Keluarga Berencana (KB). Melalui
KB diupayakan mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan, melakukan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Melalui
program KB, perempuan bisa mengatur kehamilannya dan angka kematian ibu
hamil dapat ditekan. Program KB juga menurunkan konsumsi, biaya kesehatan
reproduksi serta biaya pendidikan. Ibu berkesempatan mengembangkan potensi
dirinya, serta anak yang dilahirkan menjadi lebih sehat dan cerdas karena
perhatian dan nutrisi yang cukup.
Pelaksanaan program KB membutuhkan keseriusan dalam keterlibatan

semua pihak, termasuk petugas lapangan KB sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan petugas
pelaksana penyuluhan. Pelaksana penyuluhan KB adalah para Penyuluh KB
(PKB) dan kader KB. Sehubungan ketidakcukupan jumlah PKB, maka dalam
menjalankan tugas, dibantu oleh kader KB yang merupakan penduduk setempat.
Kenyataannya di lapangan, kader KB yang lebih banyak berperan dalam kegiatan
penyuluhan KB; karena jumlahnya yang lebih banyak dan kedekatan tempat
tinggal menjadikan lebih sering berinteraksi dengan masyarakat. Sejauhmana
kapasitas kader KB dalam melaksanakan penyuluhan KB dan faktor-faktor apa
saja yang berhubungan dengan kapasitas tersebut sangat penting dikaji.
Tujuan penelitian adalah: (1) Mengidentifikasi tingkat kapasitas kader KB
dalam kegiatan penyuluhan KB di Kota Palembang. (2)
Menganalisis faktor faktor yang berhubungan dengan kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan
KB di Kota Palembang. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai
September 2015 di Kota Palembang. Populasi penelitian adalah 4020 kader KB di
Kota Palembang dan pengumpulan data dilakukan kepada 100 kader KB
berdasarkan area฀ random฀ sampling. ฀ata dalam penelitian ini meliputi data
primer dan data sekunder. ฀ata primer diperoleh secara langsung dari responden
dan informan penelitian, melalui wawancara dan pengamatan langsung di
lapangan. Selanjutnya data dianalisis secara kuantitatif serta untuk menguji

hipotesis yang telah dirumuskan digunakan uji korelasi Rank฀Spearman.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kapasitas kader KB di Kota
Palembang termasuk kategori rendah; faktor yang penting diperhatikan untuk
mengembangkan kapasitas kader KB adalah: pengalaman, pelatihan yang diikuti,
dukungan penyuluh, dan dukungan informasi. Usaha mengembangkan kapasitas
kader KB dapat dilakukan dengan menyediakan akses pelatihan secara optimal
bagi kader KB; penyuluh dan instansi KB mengintensifkan kegiatan-kegiatan
pertemuan dengan kader KB, serta memotivasi kader KB supaya mengembangkan
potensi diri sehingga terampil dalam mengakses internet dan memastikan
tersedianya informasi yang sesuai dengan kebutuhan kader KB.
Kata kunci: kader keluarga berencana, kapasitas, keluarga berencana, penyuluhan

SUMMARY
SHANTI ฀EVI. The Capacity of Family Planning Volunteers in Extension in
Palembang. Supervised by ANNA FATCHIYA and ฀JOKO SUSANTO.
To overcome the population problems in Indonesia, a program so-called
Family Planning is considered as a concrete step. This program is expected to be
able not only to create healthy and happy families but also to control the
population explosion in our country.
Family Planning is a method to regulate or prevent the birth of children,

limit or space childbirth, ensure the ideal age for women to become pregnant and
give birth, and assist as well as protect women related to their reproductive rights
so that the mortality rate of mothers and infants could be reduced drastically.
Through the family planning program, it is hoped that public welfare can be
further improved, because with small families they do not have to spend as much
money as large families on their daily life, including education expenses of their
children. On the other hand, the mothers would have the opportunity to develop
their potential.
Therefore, the family planning program should be taken seriously by
involving all relevant parties, particularly the volunteers of family planning in the
field.
฀ue to the shortage of officers in carrying counseling activities, the
volunteers of family planning, who are the local residents, usually assist them in
the field. In fact, the volunteers of family planning play a greater role in family
planning counseling activities, simply because there are more volunteers of family
planning than there are extension officers. In addition, their residence is close to
the women they serve, allowing them for a frequent interaction. Thus, the
capacity of volunteers of family planning in carrying out the family planning
counseling is a vary important factor in the success of the family planning
program.

The objectives of this study were: (1) to identify the capacity level of
volunteers of family planning in extension activities in the city of Palembang, and
(2) to analyze the factors related to the capacity of the volunteers of family
planning in performing family planning counseling activities in the city of
Palembang.
This research was conducted from August to September 2015 in the city of
Palembang. The study population consisted of 4020 volunteers of family planning
in the city of Palembang and the data was obtained from 100 volunteers of family
planning based on area random sampling. The data used in this study included
primary data and secondary data. The primary data was obtained directly from the
respondents and informants of the research, through interviews and direct
observation in the field. The data obtained was then analyzed quantitatively.
Meanwhile, the correlation test of Rank Spearman was performed to test the
hypothesis that had been formulated.
The results showed that the capacity level of the volunteers of family
planning in Palembang was categorized as low, while the factors that were
considered important to develop the capacity of family planning volunteers
included experience, the training obtained, the support of extension officers, and

information support. To develop the capacity of family planning volunteers could

be done by providing optimal access to training for volunteers of family planning.
Additionally, counselors and family planning agencies should intensify the
activities of meeting with volunteers of family planning, not only to motivate
them to develop their own potential in accessing the internet, but also to ensure
the availability of the information needed for the success of performing their
duties in the field.
Key words: capacity, extension, family planning, family planning volunteers

฀ Hak cipta milik IPB, tahun 2016
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang฀ mengutip฀ sebagian฀ atau฀ seluruh฀ karya฀ tulis฀ ini฀ tanpa฀ mencantumkan฀
atau฀ menyebutkan฀ sumbernya.฀ Pengutipan฀ hanya฀ untuk฀ kepentingan฀ pendidikan,฀
penelitian,฀ penulisan฀ karya฀ ilmiah,฀ penyusunan฀ laporan,฀ penulisan฀ kritik,฀ atau฀
tinjauan฀suatu฀masalah;฀dan฀pengutipan฀tidak฀merugikan฀kepentingan฀yang฀wajar฀
IPB
Dilarang฀ mengumumkan฀ dan฀ memperbanyak฀ sebagian฀ atau฀ seluruh฀ karya฀ tulis฀
dalam฀bentuk฀apapun฀tanpa฀izin฀IPB

฀APASITAS ฀ADER
DALAM PENYULUHAN ฀ELUARGA BERENCANA

DI ฀OTA PALEMBANG

SHANTI DEVI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan

SE฀OLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: ฀r Ir Ninuk Purnaningsih, MSi

PRA฀ATA
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena rahmat dan
pertolongan-Nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul penelitian adalah

“Kapasitas Kader dalam Penyuluhan Keluarga Berencana di Kota Palembang.”
Penyelesaian karya ilmiah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada komisi pembimbing
yaitu: Ibu ฀r Ir Anna Fatchiya, MSi dan Bapak Prof ฀r ฀joko Susanto, SKM
yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dengan sabar dalam
menyelesaikan karya ilmiah ini. Rasa terima kasih juga ingin penulis sampaikan
kepada :
(1) Semua keluarga yang senantiasa memberikan dukungan kepada penulis.
(2) Para Kepala UPT฀ Keluarga Berencana di Kota Palembang.
(3) Para penyuluh KB di Kota Palembang.
(4) Para enumerator yang telah membantu pengumpulan data.
(5) Semua responden/kader Keluarga Berencana di Kota Palembang yang telah
berkenan diwawancarai dalam pengumpulan data penelitian.
(6) Teman-teman mahasiswa S2 dan S3 PPN - SPs IPB, atas segala bantuan,
masukan dan semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2016
฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀฀Shanti฀Devi


DAFTAR ISI
฀AFTAR TABEL

x

PEN฀AHULUAN

1

Latar Belakang

1

Masalah Penelitian

2

Tujuan Penelitian

3


Manfaat Penelitian

3

TINJAUAN PUSTAKA

3

Program KB

3

Penyuluhan Keluarga Berencana

5

Kader KB

5


Konsep Kapasitas

7

Karakteristik Personal yang Berhubungan dengan Kapasitas

8

Faktor Eksternal yang Berhubungan dengan Kapasitas

12

KERANGKA BERPIKIR ฀AN HIPOTESIS

15

METO฀E PENELITIAN

16

Lokasi dan Waktu Penelitian

16

Rancangan Penelitian

17

Populasi dan Sampel

17

฀ata dan Instrumentasi

17

Pengumpulan ฀ata

22

Analisis ฀ata

22

HASIL ฀AN PEMBAHASAN

23

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

23

Karakteristik Personal Kader KB

26

Faktor Eksternal Kader KB

30

Kapasitas Kader KB di Kota Palembang

36

Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kapasitas Kader KB

39

SIMPULAN ฀AN SARAN

43

฀AFTAR PUSTAKA

44

DAFTAR TABEL
1.

Jumlah kader KB dan sampel per kecamatan populasi

17

2.

Peubah, indikator, dan pengukuran karakteristik personal kader KB

19

3.

Peubah, indikator, dan pengukuran faktor eksternal kader KB

20

4.

Peubah, indikator, dan pengukuran kapasitas kader KB

21

5.

Luas wilayah menurut kecamatan di Kota Palembang

23

6.

Jumlah kelurahan, rukun warga, rukun tetangga, dan keluarga
di Kota Palembang

24

7.

Jumlah penduduk menurut kecamatan dan jenis kelamin

24

8.

Luas daerah, jumlah penduduk dan kepadatan penduduk menurut

9.

kecamatan di Kota Palembang

25

฀eskripsi karakteristik personal kader KB

26

10. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator motivasi

29

11. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator pelatihan
12. ฀eskripsi faktor eksternal kader KB

29
31

13. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan keluarga

31

14. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan penyuluh

32

15. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan tokoh masyarakat

33

16. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan informasi

34

17. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
dukungan kebijakan pemerintah daerah

35

18. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator kapasitas kader KB di Kota Palembang

36

19. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan indikator
kemampuan kader KB menjalankan fungsi-fungsi

37

20. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator kemampuan kader KB dalam memecahkan masalah

38

21. Jumlah dan persentase responden per kategori berdasarkan
indikator kemampuan kader KB merencanakan kegiatan

39

22. Nilai koefisien korelasi antara karakteristik personal dan faktor eksternal
dengan kapasitas kader KB

40

23. Nilai koefisien korelasi antara indikator pelatihan yang diikuti
dengan kapasitas kader KB

41

24. Nilai koefisien korelasi antara indkator dukungan penyuluh dengan
kapasitas kader KB

41

25. Nilai koefisien korelasi antara indikator dukungan informasi dengan
kapasitas kader KB

42

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke-4 di
dunia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, jumlah
penduduk Indonesia adalah 248,8 juta jiwa. Masalah kependudukan ini diikuti
oleh masalah kemiskinan dan pengangguran. ฀ata BPS (2013) menunjukkan
bahwa jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang atau
11,47 persen dari total penduduk Indonesia; sedangkan jumlah pengangguran
terbuka sebanyak 6,25 persen atau 15,55 juta orang.
Mengatasi berbagai masalah kependudukan diperlukan langkah nyata, salah
satu program yang dipandang penting adalah Keluarga Berencana (KB). Melalui
KB diupayakan mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan,
mengatur kehamilan, melakukan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas (UU nomor
52 tahun 2009). Program KB tidak “sekedar” bertujuan mengendalikan penduduk
(birthcontrol), melainkan diarahkan hingga sampai pada terwujudnya keluarga
berkualitas.
Mewujudkan keluarga berkualitas dalam lingkungan yang sehat, perlu
diprioritaskan karena keluarga merupakan unit sosial ekonomi terkecil dalam
masyarakat yang menjadi landasan dasar suatu masyarakat. Keluarga juga
mempunyai sejumlah fungsi strategis yang tidak dapat digantikan oleh lembaga
manapun. Terbentuknya keluarga berkualitas akan melahirkan masyarakat dan
bangsa yang berkualitas.
Melalui program KB, perempuan bisa mengatur kehamilannya dan angka
kematian ibu hamil dapat ditekan. Program KB juga menurunkan konsumsi, biaya
kesehatan reproduksi serta biaya pendidikan. Ibu berkesempatan mengembangkan
potensi dirinya, serta anak yang dilahirkan menjadi lebih sehat dan cerdas karena
perhatian dan nutrisi yang cukup. (www.bkkbn.go.id). Sejalan dengan hal
tersebut, program KB mendukung pembangunan Sumber ฀aya Manusia (S฀M);
karena pembangunan kualitas sumberdaya manusia akan sulit terlaksana jika
jumlah penduduk tidak terkendali.
Seiring dengan diterapkannya otonomi daerah dengan konsep desentralisasi,
justru menyebabkan “terbengkalainya” program KB. Keadaan ini menjadikan
program KB tidak tersosialisasi dengan baik kepada masyarakat. Penelitian
Puspita (2011) menyebutkan bahwa menurunnya kuantitas dan kualitas program
KB berakibat rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya program
KB. Hal tersebut diperkuat penelitian Utsman (2002) dan Amanah et฀ al.฀ (2009)
yang menemukan rendahnya tingkat pengetahuan pasangan usia subur tentang KB
dan Kesehatan Reproduksi (KR). Penelitian Harun (2014) menyatakan bahwa
rendahnya pengetahuan masyarakat tentang program KB menyebabkan rendahnya
peserta aktif KB.
Puspita (2011) menyimpulkan bahwa rendahnya pemahaman dan
keikutsertaan masyarakat dalam program KB berdampak pada meningkatnya
pertumbuhan penduduk dengan pesat. Berdasarkan data BPS tahun 2013, laju
pertumbuhan penduduk Indonesia adalah 1,49 persen pertahun, artinya setiap

tahun terjadi pertambahan penduduk 3-4 juta orang. ฀ata BPS juga menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah anak yang dilahirkan dari seorang perempuan usia
produktif (Total฀Fertility฀Rate) adalah 2,6 masih jauh diatas dari target 2,11.
Pelaksanaan program KB membutuhkan keseriusan dalam keterlibatan
semua pihak, termasuk petugas lapangan KB sebagai pihak yang berhubungan
langsung dengan masyarakat. Hal ini berkaitan dengan kemampuan petugas
pelaksana penyuluhan. Pelaksana penyuluhan KB adalah para Penyuluh KB
(PKB) dan kader KB. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), jumlah PKB pada tahun 2014 adalah 22.481
orang. Jumlah ini baru memenuhi 56,2 persen dari jumlah PKB ideal yang
dibutuhkan yaitu setiap desa mempunyai dua PKB (www.bkkbn.go.id).
Sehubungan ketidakcukupan jumlah PKB, maka dalam menjalankan tugas,
dibantu oleh kader KB yang merupakan penduduk setempat.
Kenyataannya di lapangan, kader KB yang lebih banyak berperan dalam
kegiatan penyuluhan KB; karena jumlahnya yang lebih banyak dan kedekatan
tempat tinggal menjadikan lebih sering berinteraksi dengan masyarakat.
Sejauhmana kapasitas kader KB dalam melaksanakan penyuluhan KB dan faktorfaktor apa saja yang berhubungan dengan kapasitas tersebut sangat penting dikaji,
yang selanjutnya dapat dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan kapasitas
kader KB.
Masalah Penelitian
Kader KB sebagai pelaksana penyuluh KB di lapangan, di samping
mengatasi masalah ketidakcukupan jumlah PKB, juga sejalan dengan pendekatan
community-based฀ service฀ delivery,฀ yaitu dalam rangka mendekatkan pelayanan
KB kepada masyarakat (Herartri 2008).
Pendekatan berbasis komunitas (community-based) tersebut, program KB
kemudian menjadikan partisipasi komunitas (community฀ participation) atau
peran-serta masyarakat sebagai kebijakan utama, yaitu diantaranya merekrut kader
KB sebagai pelaksana penyuluh KB di lapangan.
Sepanjang perjalanan program KB, kader KB telah banyak menunjukkan
peran yang besar, sebagai ujung tombak program KB di masyarakat. Namun pada
sisi lain, kemampuan kader KB masih belum optimal sebagaimana yang
diharapkan. Penelitian Herartri (2008) menemukan bahwa kader KB belum
mampu melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal dan masih sebatas
melaksanakan yang diperintahkan oleh PKB. Kader KB belum mampu
merumuskan perencanaan dan evaluasi kegiatan dengan baik, serta belum mandiri
dalam melaksanakan kegiatan.
Temuan di atas mengindikasikan rendahnya kemampuan kader KB dalam
melaksanakan penyuluhan KB, sehingga diperlukan pengembangan kapasitas
kader KB dalam melaksanakan penyuluhan KB. Upaya–upaya untuk
mengembangkan kapasitas kader KB dapat dilakukan terlebih dahulu dengan
mengetahui sejauhmana tingkat kapasitas yang telah dimiliki oleh kader KB dan
mengkaji faktor – faktor apa saja yang berhubungan dengan kapasitas kader KB.
Berdasarkan pada data BPS (2013) laju pertumbuhan penduduk Indonesia
mencapai 1,49%, jauh dari angka ideal yang semestinya di bawah 1%. Laju

pertumbuhan penduduk kota Palembang, diatas rata-rata nasional, yaitu: 1,76%.
฀ibandingkan dengan kota dan kabupaten lain di provinsi Sumatera Selatan,
Palembang merupakan kota dengan kepadatan penduduk paling tinggi. Upaya
mengurangi laju pertumbuhan penduduk dapat dilakukan dengan mengendalikan
jumlah kelahiran dan penundaan usia kawin, sehingga diperlukan peran kader KB.
Berdasarkan uraian di atas, dirumuskan permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Bagaimana tingkat kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan KB di kota
Palembang?
2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan kapasitas kader KB dalam
kegiatan penyuluhan KB di kota Palembang?
Tujuan Penelitian
Berdasarkan masalah penelitian yang telah dirumuskan, maka tujuan
penelitian adalah:
1. Mengidentifikasi tingkat kapasitas kader KB dalam kegiatan penyuluhan KB
dikota Palembang.
2. Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas kader KB
dalam kegiatan penyuluhan KB di kota Palembang.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini mengarahkan perhatian utama pada kader KB sebagai ujung
tombak dari program KB di masyarakat. Kesuksesan program KB banyak
dipengaruhi kemampuan kader KB, oleh sebab itu perlu dikaji kapasitas kader
KB dikota Palembang, sehingga diharapkan dapat memberikan informasi yang
mendalam mengenai unsur-unsur kapasitas yang harus dimiliki dan dikuasai oleh
kader KB untuk menekan tingginya laju perkembangan jumlah penduduk serta
faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas tersebut.
Hasil penelitian ini secara akademis diharapkan memberikan perluasan
wawasan tentang kapasitas kader dalam kegiatan penyuluhan program KB melalui
pemahaman yang tepat tentang berbagai faktor yang berhubungan terhadap
penguatan kapasitas kader KB. Hasil penelitian ini secara praktis diharapkan
berguna bagi pemerintah dan instansi terkait lainnya sebagai masukan untuk
penguatan kapasitas kader dalam kegiatan penyuluhan program KB.

TINJAUAN PUSTA฀A
Program ฀eluarga Berencana
Pengertian Keluarga Berencana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan sebagai pembatasan kelahiran dan jarak antar anak. WHO (2011)
menyebutkan bahwa family฀ planning฀ mengarahkan individu - individu dan

pasangan untuk mengantisipasi dan mengatur jumlah dan jarak anak, serta waktu
melahirkan (www.who.int). Upaya ini dicapai melalui penggunaan alat
kontrasepsi modern dan perlakuan tentang “involuntary฀infertility”.฀
Buku Pegangan Penyuluh Keluarga Berencana (BKKBN 2004)
menyebutkan bahwa Program KB Nasional adalah upaya peningkatan kepedulian
dan peran serta masyarakat melalui pendewasaan usia perkawinan, pengaturan
kelahiran, pembinaan ketahanan keluarga, peningkatan kesejahteraan keluarga
untuk mewujudkan keluarga kecil bahagia dan sejahtera menuju keluarga
berkualitas. Menurut UU yang baru yakni UU Nomor 52 Tahun 2009 tentang
Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, keluarga berencana
adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan usia ideal melahirkan, mengatur
kehamilan, melakukan promosi, perlindungan dan bantuan sesuai dengan hak
reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berkualitas. Program KB di
Indonesia฀ tidak sekedar bermakna “pengendalian penduduk” (birth control),
melainkan diarahkan hingga sampai pada terwujudnya sebuah keluarga
berkualitas. ฀ari uraian di atas dapat dirangkum bahwa program KB merupakan
upaya peningkatan kepedulian masyarakat dalam perencanaan perkawinan,
kelahiran, dan perekonomian untuk mewujudkan keluarga sejahtera.
Penyuluhan ฀eluarga Berencana
Penyuluhan KB adalah kegiatan penyampaian informasi untuk
meningkatkan pengetahuan, sikap dan perilaku keluarga dan masyarakat guna
mewujudkan keluarga berkualitas (BKKBN 2004). Sasaran utama program KB
adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yakni suami istri di mana istri berusia 15-49
tahun karena mempunyai kemungkinan untuk hamil dan memiliki anak. ฀engan
demikian, PKB harus mampu memberikan informasi kepada mereka agar menjadi
tahu, mau, dan mampu merencanakan sendiri keluarganya agar berkualitas.
Program KB mengenal istilah Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)
yang merupakan proses penyampaian dan penerimaan pesan dalam rangka
meningkatkan dan memanfaatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan
masyarakat, dan mendorongnya agar secara sadar menerima program KB
(BKKBN 2007). Komunikasi, Informasi dan Edukasi yang responsif gender
adalah salah satu pendekatan dalam komunikasi yang bertujuan mempercepat
perubahan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Hal ini diukur dari berbagai
saluran komunikasi, di mana penyampaian dan penerimaan pesannya
memperhatikan kepentingan laki-laki dan perempuan. Tujuannya adalah: (1)
mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan seseorang, keluarga dan
masyarakat agar mempunyai pemahaman tentang adanya kepentingan antara lakilaki dan perempuan; (2) mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender,
(3) mengurangi atau menghilangkan segala bentuk diskriminasi gender yang
berkembang di masyarakat, dan (4) mendorong tersusunnya kebijakan/program/
peraturan yang responsif gender. Caranya adalah dengan melalui lima tahap
yakni: (1) analisis situasi, (2) desain strategi, (3) pengembangan rencana, ujicoba
bahan dan produksi, (4) pelatihan dan monitoring, dan (5) kegiatan evaluasi.
Perlunya KIE terutama bagi perempuan disebabkan banyak (terlebih lagi yang
kurang berpendidikan dan tinggal di pedesaan) yang masih belum terlalu (atau

bahkan tidak sama sekali) paham tentang hal-hal penting yang terkait dengan
kesehatan mereka. Hal ini akan mengganggu keberlangsungan keluarga secara
optimal.
Jenis komunikasi lain yang sering digunakan dalam program KB adalah
konseling. Konseling adalah proses di mana seseorang membantu orang lain
dalam membuat keputusan atau mencari jalan untuk mengatasi masalah, melalui
pemahaman tentang fakta-fakta dan perasaan-perasaan yang terlibat di dalamnya
(BKKBN 2006). Suatu hubungan konseling berpedoman pada pandangan bahwa
pengambilan keputusan adalah tanggung jawab klien. Sedangkan pada pemberian
nasehat, si pemberi nasehat berperan seakan ia seorang “ahli” dan memikul
tanggung jawab lebih besar terhadap tingkah laku/tindakan klien. Persamaannya,
keduanya mengandung unsur pemberian informasi yang tepat.
Menjadi komunikator yang efektif, perlu memahami 12 langkah sebagai
berikut: (1) deskripsikan pesan dengan jelas, (2) peka terhadap sikap klien
mengenai masalah yang disampaikan, (3) peka terhadap sikap klien terhadap
komunikator, (4) menyesuaikan cara penyampaian pesan dengan karakteristik
penerima pesan, (5) berusaha menempatkan diri pada posisi penerima pesan, (6)
pesan disampaikan dengan ringkas dan sederhana, (7) pesan diberikan secara
bertahap dan sistematis, (8) ulangi hal-hal yang penting dan ingin ditekankan, (9)
berikan contoh-contoh konkret, (10) kaitkan suatu ide dengan hal yang sudah
diketahui penerima pesan, (11) kemukakan ide-ide penting terlebih dahulu, jangan
tenggelam ke dalam detil-detil, dan (12) hindari situasi bising yang mengganggu
(BKKBN 2006).
Secara ringkas, langkah-langkah konseling dapat dijelaskan dengan akronim
“SATU TUJU” yang “SA”= beri salam kepada klien (menciptakan hubungan),
“T” = tanyakan kepada klien untuk menjajagi pengetahuan, perasaan dan
kebutuhannya tentang kontrasepsi, “U” = uraikan (menyediakan informasi)
tentang alat/cara KB yang ingin diketahui klien, “TU”= bantu klien menyocokkan
alat/cara KB dengan keadaan dan kebutuhannya, “J”= jelaskan lebih rinci
alat/cara KB yang dipilih/akan dipakai klien, dan “U”= kunjungan ulang klien
atau rujuk ke tempat pelayanan lain bila diperlukan (BKKBN 2006).
Menurut Erwindi (2013), tantangan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional dalam rangka peningkatan partisipasi dalam ber KB. Salah
 satu sasaran programnya adalah meningkatkan pria/suami sebagai peserta KB,
 motivator  dan kader,  serta mendukung  istri dalam  KB  dan  kesehatan
reproduksi, yang tolak ukurnya
(1) Meningkatnya peserta
 KB Kondom dan Medis Operasi Pria (MOP) 10 %, dan (2) Meningkatnya
motivator/kader pria 10 %. ฀engan demikian, penyuluhan KB adalah upaya
meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan keluarga dan masyarakat
guna mewujudkan keluarga berkualitas, melalui komunikasi, informasi dan
edukasi.
฀ader ฀B
Kader KB adalah anggota masyarakat yang membantu pelaksanaan program
KB. Mereka yang menjalankan tugas di tingkat desa tergabung dalam Pembantu

Pembina KB ฀esa (PPKB฀), di tingkat RW dikenal dengan Sub PPKB฀ dan di
tingkat RT dikenal dengan kelompok-kelompok akseptor.
Kader KB lahir beriringan dengan kelahiran program KB. Pada waktu itu
tahun 1970- pendekatan yang digunakan adalah community-based฀service฀delivery
guna mendekatkan pelayanan kepada masyarakat perdesaan. Pelayanan ulang alat
kontrasepsi, mencakup pil dan kondom, dilakukan oleh masyarakat di bawah
pengawasan PLKB dan Puskesmas. Tempat pelayanan ulangnya diberi nama Pos
KB (Haryono Suyono et฀al., dalam Herartri, 2008).
Fungsi PPKB฀ kemudian dianggap sebagai ”perpanjangan tangan” PLKB
di tingkat desa/ kelurahan. Pada pedoman kerja PLKB dan kader KB(2001)
dicantumkan: ”PLKB/PKB memerlukan peran serta institusi masyarakat untuk
membantu pelaksanaan berbagai kegiatan Gerakan Keluarga Berencana Nasional
di tingkat desa/kelurahan ke bawah. Oleh karena itu perlu ditumbuhkan, dibina
dan dikembangkan PPKB฀”.
Pedoman yang dikeluarkan pada tahun 2001, fungsi PPKB฀ sebagai
organisasi pengelola program KB di desa, bukan sekadar ”pembantu” atau
”perpanjangan tangan” PLKB. Pada pedoman tersebut dinyatakan PPKB฀ adalah
”organisasi pengelola dan pembina kegiatan program KB di desa yang berperan
mulai dari merencanakan, mengorganisasikan, menyelenggarakan kegiatan,
membina, mengembangkan.” Peran PPKB฀ juga mencakup membina poktan
(kelompok kegiatan) yang merupakan “wadah sekaligus pelaksana kegiatankegiatan substantif program KB yang telah direncanakan (oleh PPKB฀) tersebut”
(BKKBN 2001).
Pedoman mengenai peran yang harus dilaksanakan oleh PPKB฀, yaitu 6
peran yang terdiri dari: pertama, pengorganisasian: membentuk kepengurusan
PPKB฀, SubPPKB฀, dan Kelompok KB, serta membentuk Pokja KB tingkat
desa. Kedua, pertemuan rutin: untuk melakukan up-dating฀ data, membahas
perencanaan dan evaluasi kegiatan, serta. Pertemuan yang dilakukan antarpengurus IMP (Institusi Masyarakat Pedesaan) maupun antara pengurus IMP
dengan PLKB atau petugas sektor terkait. Ketiga, KIE dan konseling: mencakup
substansi KB-Keluarga Remaja (KR) dan Keluarga Sejahtera (KS)-Pendataan
keluarga (PK). Keempat, pencatatan dan pendataan: memanfaatkan data untuk
pelayanan dan pembinaan di wilayahnya. Kelima, pelayanan kegiatan: mencakup
pelayanan KB-KR dan KS-PK. Keenam, upaya kemandirian dalam pelaksanaan
kegiatan: mencakup kemandirian dalam aspek substansi kegiatan.
Penelitian yang dilakukan oleh Budisantoso (2009), menyebutkan bahwa
masih ada nilai-nilai sosial budaya negatif yang berhubungan dengan partisipasi
pria dalam KB seperti: faktor malu terhadap lingkungan apabila pria berpartisipasi
dalam KB, masih ada yang menganggap nilai anak laki-laki lebih tinggi dari pada
anak perempuan dan urusan KB adalah urusan wanita. Hal ini memerlukan
Kapasitas Kader KB dalam menghadapi tantangan dengan solusi yang sesuai
dengan keadaan sosial budaya yang ada.
Kader KB, yakni masyarakat setempat yang membantu program KB. Para
penyuluh formal (PKB/PLKB) terus membina mereka agar tetap aktif membantu.
Melalui cara pemberian pelatihan dan insentif, penyediaan sarana dan prasaranan
kerja, serta hubungan kerja yang setara dan saling menghargai. ฀engan demikian,
kader KB adalah anggota masyarakat yang menjadi perpanjangan tangan

penyuluh KB dalam meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan keluarga
dan masyarakat tentang program keluarga berencana.
฀onsep ฀apasitas
Secara harfiah istilah kapasitas berasal dari istilah bahasa Inggris, capacity฀
yang memiliki makna: kemampuan, daya tampung yang ada. Penggunaan kata
kapasitas sering diidentikkan dengan istilah posisi kemampuan ataupun kekuatan
seseorang yang ditampilkan dalam bentuk tindakan.
Konsep kapasitas dalam pembangunan telah lama dikembangkan terutama
oleh Organization฀ for฀ Economic฀ Co-operation฀ and฀ Development (OEC฀) dalam
rangka membantu negara-negara berkembang dalam melaksanakan pembangunan.
Menurut OEC฀ (1996), pengembangan kapasitas merupakan gambaran
kemampuan dari individu ataupun masyarakat untuk menghadapi permasalahan
mereka sebagai bagian dari usaha mereka untuk mencapai tujuan pembangunan
secara berkesinambungan. Alikodra (2004) berpendapat bahwa kapasitas individu
maupun masyarakat menyangkut kemampuan dan keterampilan dalam
memecahkan permasalahan yang dimiliki individu ataupun masyarakat tersebut
berdasarkan tujuan pembangunan yang telah ditetapkan. Makna kapasitas yang
dikembangkan oleh The Ontario Prevention Clearinghouse (2002) memberikan
definisi pengertian lebih luas yaitu: pengetahuan yang sebenarnya, keahlian,
partisipasi, kepemimpinan, dan sumberdaya yang oleh dibutuhkan individu,
organisasi, atau komunitas untuk secara aktif menangani masalah di tingkat
organisasi atau komunitas terebut .
฀emikian juga pengertian kapasitas yang dikembangkan oleh Canadian
International ฀evelopmetn Agency(CI฀A 2000): “capacity฀as฀the฀abilities,฀skills,฀
under-standings,฀ attitudes,฀ values,฀ relationships,฀ behaviors,฀ motivations,฀
resources฀ and฀ conditions฀ that฀ enable฀ individuals,฀ organzations,฀ network/sectors฀
and฀ broader฀ social฀ system฀ to฀ carry฀ out฀ functions฀ and฀ achieve฀ thier฀ development฀
objectives฀ over฀ times“. Secara implisit pengertian tersebut memberikan makna
bahwa kapasitas merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu, organisasi
maupun masyarakat untuk memecahkan permasalahan yang dimiliki secara
efektif.
Lebih jauh Goodman (Brown et฀ al. 2001), mengatakan bahwa kapasitas
diperlukan untuk membangun tingkat kesiapan yang dimiliki oleh individu,
organisasi maupun masyarakat sehingga dapat ditandai dengan suatu kemajuan
maupun kemunduran. Konsep kapasitas menurut Goodman (Brown et฀ al. 2001)
memiliki makna kemampuan dalam melaksanakan tujuan yang telah ditetapkan
(the฀ ability฀ to฀ carry฀ out฀ stated฀ objectives). Sejalan dengan pendapat Goodman
tersebut, Havelock (Sumardjo 1999) memberikan pengertian konsep kapasitas
adalah suatu kemampuan untuk mengerahkan dan mengivestasikan berbagai
sumber daya yang dimiliki.
Liou (2004) menyatakan bahwa kapasitas mengacu pada kinerja,
kemampuan, kapabilitas dan potensi kualitatif dari suatu objek atau seseorang.
Millen (2001) mendefinisikan kapasitas sebagai kemampuan individu, organisasi
atau sistem untuk melakukan fungsi-fungsi yang tepat secara efektif, efisien, dan
berkelanjutan. Kapasitas berhubungan dengan kinerja yang ditargetkan dan

kesesuaian menjalankan fungsi dan tugas, yaitu pemberian kontribusi terhadap
pencapaian tujuan yang telah dirumuskan.
Govnet (Morgan 2006) menyatakan bahwa kapasitas adalah kemampuan
orang-orang, organisasi, dan masyarakat dalam mengelola segala urusan/usaha
secara optimal. Kaplan (Morgan 2006) mendefinisikan kapasitas adalah
kemampuan mengorganisir suatu pekerjaan/urusan secara ulet, sesuai
rencana/tujuan, dan dengan kekuatan/daya sendiri. Sejalan dengan hal tersebut,
United฀ Nation฀ Development฀ Program฀ (UN฀P 1998) mendefinisikan kapasitas
adalah kemampuan individu, lembaga dan masyarakat untuk melaksanakan
fungsi-fungsi, menyelesaikan masalah-masalah, dan menyusun serta mencapai
tujuan secara berkelanjutan.
Memperhatikan uraian tersebut di atas, maka dapat dinyatakan bahwa
kapasitas adalah segala daya-daya kekuatan yang menghasilkan kemampuan, yang
dimiliki oleh individu, organisasi maupun masyarakat untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kapasitas dalam rencana penelitian ini adalah kemampuan
kader KB dalam menjalankan fungsi-fungsi kegiatannya (program KB),
kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan merencanakan kegiatan.
฀arakteristik Personal yang Berhubungan dengan ฀apasitas ฀ader ฀B
Penelitian Fatchiya (2010) membuktikan bahwa tingkat kapasitas yang ada
pada diri seseorang dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dirinya sendiri
maupun dari lingkungan diluar dirinya, terutama dari lingkungan kelompok
tempat dirinya hidup. Rogers dan Shoemaker (1987) menyebutkan bahwa
karakteristik mendasari tingkah laku seseorang dalam situasi kerja maupun situasi
lainnya. Mardikanto (1993) mengemukakan bahwa karakteristik personal adalah
sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan berhubungan dengan aspek
kehidupan.
Penelitian Fatchiya (2010) menyimpulkan bahwa karakteristik personal yang
terbukti secara nyata berhubungan dengan kapasitas seseorang adalah umur,
pendidikan, pengalaman, pendapatan, dan skala usaha. Sidi dan Setiadi (2005)
menyatakan bahwa pendidikan adalah upaya membekali seseorang dengan ilmu
dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik,
serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri.
Menurut Morgan (2006) pendidikan dan pelatihan sebagai alat untuk
meningkatkan kapasitas seseorang. van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan
bahwa seseorang yang belajar dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan
untuk melaksanakan suatu pola sikap melalui pengalaman dan praktik. Penelitian
Batoa dkk. (2008), ฀omihartini dan Jahi (2005), Abdullah dan Jahi (2006),
Kustiari dkk. (2006), serta Putra dkk. (2006) menunjukkan bahwa tingkat
pengalaman berhubungan dengan kemampuannya dalam menjalankan usaha.
฀enny (1997) menjelaskan bahwa motivasi berkaitan sangat erat dengan
kemampuan yang terkandung dalam pribadi seseorang. Penelitian Subagio, dkk
(2008) menyimpulkan bahwa kosmopolitan berhubungan dengan kapasitas.
฀alam penelitian ini, karakteristik personal kader KB dibatasi pada umur,
pendidikan formal, tingkat pengalaman, tingkat motivasi, pelatihan yang diikuti,
dan tingkat kekosmopolitan.

Umur
Padmowihardjo (1994) mengatakan umur bukan merupakan faktor
psikologis, tetapi sesuatu yang diakibatkan oleh umur adalah faktor psikologis.
Terdapat dua faktor yang menentukan kemampuan seseorang berhubungan
dengan umur. Faktor pertama adalah mekanisme belajar dan kematangan otak,
organ-organ sensual dan otot organ-organ tertentu. Faktor kedua adalah akumulasi
pengalaman dan bentuk-bentuk proses belajar lainnya. Wiraatmadja (1990)
mengemukakan bahwa umur seseorang akan memengaruhi penerimaan seseorang
terhadap hal-hal baru.
Umur merupakan suatu indikator umum tentang kapan suatu perubahan
harus terjadi. Umur menggambarkan pengalaman dalam diri seseorang sehingga
terdapat keragaman tindakannya berdasarkan usia yang dimiliki (Bettinghaus,
1973). Rakhmat (2001) mengatakan bahwa kelompok orangtua melahirkan pola
tindakan yang pasti berbeda dengan anak-anak muda. Kemampuan mental tumbuh
lebih cepat pada masa anak-anak sampai dengan pubertas, dan agak lambat
sampai awal dua puluhan, dan merosot perlahan-lahan sampai tahun-tahun
terakhir (Berelson dan Garry, 1973).
Umur merupakan aspek yang berhubungan terhadap kemampuan fisik,
psikologis, dan biologis seseorang (Setiawan et฀al., 2006). Umur dengan demikian
merupakan aspek yang berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam belajar,
baik dalam proses belajar maupun mengaktualisasikan hasil belajar dalam
pengalaman hidup. Umur dalam penelitian ini adalah jumlah tahun hidup kader
KB.
Tingkat Pendidikan formal
Pendidikan merupakan usaha sadar dan sistematis untuk mencapai taraf
hidup atau kemajuan yang lebih baik. Pada akhirnya pendidikan bertujuan untuk
menjadikan seseorang menjadi anggota masyarakat tempat dia tinggal,
sebagaimana yang dinyatakan UNESCO dengan Empat Pilar Pendidikan, yaitu
sebagai berikut: (a) learning฀ to฀ know: belajar untuk mengetahui; (b) learning to฀
do: belajar untuk berbuat; (c) learning฀to฀be:฀belajar untuk menjadi dirinyasendiri;
dan (d) learning฀to฀live฀together: belajar untuk hidup bersama dengan orang lain
(www.unesco.org). Undang-undang ฀asar tahun 1945, pasal 31 ayat (3) secara
eksplisit menyebutkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan
satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan
serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur
dengan undang-undang. Tujuan pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 Tahun 2003 pasal 3, adalah untuk
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, serta untuk
mengembangkan potensi peserta didik supaya menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab
Pendidikan formal dengan demikian merupakan proses yang dijalani
seseorang untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang kemudian
menghasilkan perubahan perilaku. Pendidikan formal dalam penelitian ini adalah
jumlah tahun pendidikan formal yang telah ditempuh kader KB.

Tingkat Pengalaman
Menurut Padmowihardjo (1994), pengalaman adalah suatu kepemilikan
pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan.
฀alam otak manusia dapat digambarkan adanya pengaturan pengalaman yang
dimiliki oleh seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya. Melalui proses
belajar, seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan
pengalaman yang dimiliki.
van den Ban dan Hawkins (1999) menyatakan bahwa seseorang yang belajar
dapat memperoleh atau memperbaiki kemampuan untuk melaksanakan suatu pola
sikap melalui pengalaman dan praktik. Pengalaman dengan demikian dapat
berupa pengalaman belajar (kepemilikan pengetahuan dan pengalaman dalam
praktek) seseorang dalam masa tertentu. Pengalaman seseorang dalam rencana
penelitian ini adalah lamanya waktu dalam tahun yang telah dicurahkan oleh
seseorang (kader KB) dalam suatu program/kegiatan (program KB). Selama kurun
waktu itu, selain mendapatkan pengalaman langsung dalam menghadapi
masyarakat, juga didapat melalui pertukaran pengalaman antar kader untuk
mengembangkan kemampuan diri.
Tingkat Motivasi
Morgan et฀ al., (1963) mengemukakan bahwa konsep motivasi tidak bisa
dilepaskan dari adanya motif (motive), dorongan (drive) dan kebutuhan (needs).
Tindakan yang bermotif dapat dikatakan sebagai tindakan yang didorong oleh
kebutuhan yang dirasakannya, sehingga tindakan tersebut tertuju ke arah suatu
tujuan yang diidamkan. Menurut Padmowihardjo (1994), motivasi merupakan
usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau
melakukan tindakan. Motivasi tersebut menggambarkan kecenderungan asli
manusia untuk menggerakkan, mendominasi dan menguasai lingkungan di
sekelilingnya.
Suparno (2000) mengemukakan bahwa seseorang akan melakukan sesuatu
jika mengharapkan akan melihat hasil, memiliki nilai (value) atau manfaat.
Perasaan berhasil (the฀ experience฀ of฀ success) akan menimbulkan motivasi
seseorang untuk mempelajari dan melakukan sesuatu. Motivasi dengan demikian
merupakan dorongan yang berasal dari dalam maupun luar diri seseorang untuk
melakukan tindakan dalam upaya mencapai suatu tujuan. Motivasi dalam rencana
penelitian ini adalah faktor-faktor yang mendorong seseorang (kader KB) untuk
melakukan kegiatan/program (program KB).
Pelatihan yang diikuti
Pelatihan adalah kegiatan untuk memperbaiki kemampuan seseorang dengan
cara meningkatkan pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan
suatu pekerjaan (Soeprihanto 2008). Pelatihan merupakan upaya untuk
meningkatkan kecakapan sesorang dalam melaksanakan suatu pekerjaan tertentu,
dan pelatihan itu sendiri harus dapat menimbulkan perubahan diri yang dilatihnya.
Latihan dan pengembangan merupakan langkah akhir dalam upaya menjamin
seseorang memiliki pengetahuan, keterampilan yang diperlukan dalam
melaksanakan pekerjaannya (฀epartemen Pertanian 2006).
Pelatihan adalah suatu proses pendidikan yang memerlukan lebih dari
informasi yang memberi atau pengembangan keterampilan (Maalouf 1993).

Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performansi pekerja pada suatu
pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggung jawabnya, atau suatu pekerjaan
yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Supaya efektif biasanya pelatihan harus
mencakup pengalaman belajar (learning฀ experience), aktifitas – aktifitas yang
terencana (be฀ a฀ planned฀ organizational฀ activity), dan didesain sebagai jawaban
atas kebutuhan – kebutuhan yang berhasil diidentifikasikan, yaitu untuk mencapai
tujuan organisasi, yang pada waktu bersamaan juga mewujudkan tujuan – tujuan
dari para pekerja (Gomes 2002).
Melalui pelatihan seperti pelatihan penggerakan KB bagi Kader KB,
diharapkan Kader dapat memiliki kapasitas sebagai berikut:
1. Mampu melakukan penyuluhan KB;
2. Mampu melakukan pembinaan peserta KB;
3. Mampu mengintegrasikan kegiatan Kader KB;
4. Mampu membina keluarga tentang tumbuh kembang anak;
5. Mampu menjaga kelangsungan kesertaan KB bagi anggota;
6. Mampu memadukan kegiatan BKB dengan kegiatan Posyandu dan Paud;
7. Mampu melakukan pelaporan BKB
Peningkatan Kapasitas Tenaga Program Keluarga Berencana dan Keluarga
Sejahtera, dilaksanakan melalui orientasi/pelatihan menggunakan metoda
partisipatif, pendekatan orang dewasa, komunikatif dan membantu upaya
penyelesaian kasus serta memberikan ruang dan kreatifitas seluas-luasnya pada
peserta, dengan memperhatikan :
1. Jumlah peserta per angkatan maksimal 30 orang
2. Kelas didisain untuk memaksimalkan dukungan aktif antara fasilitator dan
peserta
3. Membangun suasana yang menyenangkan (nyaman)
(Peraturan Kepala BKKBN Nomor : 232/Hk-010/G1/2010)
฀engan demikian, pelatihan merupakan upaya untuk mengubah diri
seseorang sesuai target yang direncanakan melalui proses pendidikan atau
pengalaman belajar. Pelatihan, dalam rencana penelitian ini adalah kegiatan untuk
meningkatkan kemampuan seseorang (kader KB) dengan cara meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan operasional dalam menjalankan suatu pekerjaan
(program KB).
Tingkat ฀ekosmopolitan
Kekosmopolitan secara umum dapat diartikan sebagai keterbukaan
seseorang terhadap berbagai sumber informasi sehingga memiliki wawasan dan
pengetahuan yang luas. Sifat kekosmopolitan menurut Mardikanto (1993) adalah
tingkat hubungan seseorang dengan dunia luar di luar sistem sosialnya sendiri.
Kekosmopolitan seseorang dapat dicirikan oleh frekuensi dan jarak perjalanan
yang dilakukan. Bagi warga masyarakat yang lebih kosmopolit, adopsi inovasi
dapat berlangsung lebih cepat. Tetapi bagi yang localite฀(tertutup, terkungkung di
dalam sistem sosialnya sendiri), proses adopsi inovasi akan berlangsung sangat
lambat karena tidak adanya keinginan-keinginan baru untuk hidup lebih baik
seperti yang telah dapat dinikmati oleh orang-orang lain di luar sistem sosialnya
sendiri.
Menurut Mosher (1978), keterbukaan seseorang berhubungan dengan
penerimaan perubahan-perubahan seseorang untuk meningkatkan usaha mereka.

Hanafi (1986) mengutip pendapat Rogers mengemukakan bahwa kekosmopolitan
individu dicirikan dengan sejumlah atribut yang membedakan mereka dari orang
lain di dalam komunitasnya, yaitu: (1) individu tersebut memiliki status sosial, (2)
partisipasi sosial lebih tinggi, (3) lebih banyak berhubungan dengan pihak luar,
(4) lebih banyak menggunakan media massa, dan (5) memiliki lebih banyak
hubungan dengan orang lain maupun lembaga yang berada di luar komunitasnya.
Menurut Rogers, salah satu ciri kosmopolit adalah memiliki intensitas hubungan
atau kontak yang lebih tinggi dengan pihak di luar komunitasnya. Hanafi (1986)
menyatakan bahwa kosmopolit memiliki hubungan dengan pihak – pihak maju
atau pihak-pihak lain yang berada di luar komunitasnya.
Salah satu penyebab terjadinya perubahan sosial menurut Soekanto (2006)
adalah adanya kontak dengan budaya lain. Bila pendapat Soekanto tersebut
diterjemahkan pada konteks individu, dapat dimaknai bahwa perubahan perilaku
seseorang dapat diakibatkan oleh adanya kontak dengan pihak di luar komunitas.
Lebih lanjut Soekanto menyebutkan bahwa pertemuan individu dari satu
masyarakat dengan individu dari masyarakat lainnya memungkinkan terjadinya
difusi. Penelitian Agussabti (2002) menunjukkan bahwa perilaku seseorang dalam
mengelola usaha kegiatannya berhubungan dengan frekuensi dukungan sesama.
Semakin intensif mereka berdukungan, maka semakin banyak mendapat informasi
baru untuk mengembangkan usaha kegiatannya. Kekosmopolitan dalam penelitian
ini adalah tingkat hubungan kader KB dengan dunia luar di luar sistem sosialnya
sendiri dan dicirikan oleh frekuensi ke luar sistem sosial yang dilakukan kader
KB.
Faktor Eksternal yang Berhubungan dengan ฀apasitas ฀ader ฀B
Menurut Rakhmat (2001) faktor eksternal adalah ciri – ciri yang menekan
seseorang yang berasal dari luar dirinya, yang merupakan faktor yang penting
dalam rangka mengetahui upaya seseorang untuk melakukan usaha. Penelitian
Fatchiya (2010) menyimpulkan bahwa dukungan penyuluh dalam meningkatkan
kapasitas tidak bisa dilepaskan dari filosofi penyuluhan itu sendiri, yaitu
membantu individu untuk mampu menolong dirinya sendiri dalam menyelesaikan
masalah lingkungannya. Penelitian Farid (2008) menyimpulkan bahwa
akses/dukungan informasi, etos kerja, dan keaktifan dalam kelompok terbukti
secara nyata berhungan dengan kapasitas sumber daya seseorang. Menurut
Haryani (2004), keaktifan seseorang untuk berhubungan dengan lingkungan untuk
mencari informasi merupakan sifat positif dalam pengembangan kapasitas
seseorang. Penelitian Subagio, dkk (2008) menyimpulkan bahwa akses/dukungan
informasi berhungan dengan kapasitas. ฀alam penelitian ini, karakteristik
eksternal kader KB dibatasi pada dukungan keluarga, dukungan penyuluh,
dukungan tokoh masyarakat, dukungan informasi dan dukungan kebijakan
pemerintah daerah.
Dukungan ฀eluarga
Keluarga dalam suatu sistem sosial adalah subsistem terkecil yang sangat
berpengaruh pada perkembangan anak manusia selanjutnya. Pada awal kehidupan
manusia, agen sosial seorang anak adalah orang tua dan saudara kandungnya.

Suatu masyarakat yang mengenal sistem keluarga luas (extended฀ family), agen
sosialisasi lebih banyak lagi seperti nenek, kakek, paman, bibi, dan lain-lain
(Maruis 2007). ฀i dalam dan melalui kelurgalah seseorang anak manusia mulai
belajar bagaimana ia hidup. Kebiasaan – kebiasaan belajar, norma, kelakuan
dalam rumah tangga akan menentukan perilaku selanjutnya.
Fenomena proses belajar yang berawal dari keluarga yang juga menjadi
fenomena proses belajar seorang kader KB. Keluarga adalah tempat awal semua
tata nilai disosialisasikan dan kemudian diteruskan disekolah, lingkungan
bermain, lingkungan sosial masyarakat secara umum. Perilaku displin, jujur,
keingintahuan, suka belajar, dan mencari hal – hal baru berawal dari didikan
keluarga. Keluarga adalah “sekolah” pe