Sebaran Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Bandung.

SEBARAN INFESTASI EKTOPARASIT PADA ANJING DI BANDUNG

CUCU SUTRISNA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Sebaran Infestasi
Ektoparasit pada Anjing di Bandung“ adalah benar karya saya dengan arahan dari
komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi apapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari hasil karya yang
diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Cucu Sutrisna

NIM B04100068

ABSTRAK
CUCU SUTRISNA. Sebaran Infestasi Ektoparasit pada Anjing di Bandung.
Dibimbing oleh UPIK KESUMAWATI HADI.
Anjing merupakan hewan kesayangan yang paling diminati selain kucing,
anjing juga merupakan sahabat dan teman bermain, selain itu dimanfaatkan untuk
berburu dan penjaga rumah yang handal. Infestasi ektoparasit pada anjing dapat
mengganggu kesehatan anjing dan pemiliknya. Penelitian ini bertujuan untuk
mempelajari sebaran infestasi ektoparasit pada anjing di kota Bandung.
Pengamatan dilakukan berdasarkan data rekam medik dari tahun 2008 sampai
2014 dari 7 Klinik Hewan yang terdapat di Bandung. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Prevalensi infestasi ektoparasit sebesar (0.91%) dari 70800
ekor anjing yang datang ke klinik. Ragam jenis ektoparasit yang umum
menyerang anjing adalah caplak Rhipicephalus sanguineus (19.9%), kutu
Trichodectes canis (74.6%), dan pinjal Ctenocephalides felis (5.5%). infestasi
ektoparasit lebih banyak ditemukan pada anjing jantan (60.24%) daripada anjing
betina (39.4%). Anjing dengan ras murni memiliki sebaran tertinggi yaitu
(65.46%) diikuti oleh anjing ras campuran (23.09%) dan anjing lokal (11.45%).
Berdasarkan umur, anjing berumur di atas 1 tahun lebih sedikit terserang

ektoparasit (20.48%) daripada anjing berumur di bawah 1 tahun (41.57%) dan
sisanya (39.7%) tidak terdata. Hasil uji Chi-square (p>0.01) menunjukkan tidak
adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, jenis anjing, dan umur
dengan infestasi ektoparasit pada anjing di Bandung dengan P-value jantan 0.319
dan P-value betina 0.982.
Kata kunci : anjing, ektoparasit, infestasi, ras murni, ras campuran, ras lokal

ABSTRACT
CUCU SUTRISNA. Distribution of Ectoparasites Infestations in Dogs in
Bandung. Supervised by UPIK KESUMAWATI HADI
Dogs is the most desirable pets than cats, dogs also companions and
playmates, other than that utilized for hunting and a reliable house keeper.
Ectoparasite infestations in dogs can damage the health of the dog and its owner.
The study aims to learn distribution of ectoparasite infestations in dogs in
Bandung. Observations were made based on the medical records from 2008 to
2014, from 7 veterinary clinic located in the city of Bandung. The result showed
that prevalence of ectoparasites infestations ( 0.91%) of 70800 dogs come to
clinic. Diverse types of ectoparasites commonly attack dogs i.e. tick,
Rhipicephalus sanguineus (19.9); lice, Trichodectes canis (74.6%); and flea,
Ctenocephalides felis (5.5%). Ectoparasites infestation found more on male dogs

(60.24%) than female dogs (39.4%). The pure breed dog had the highest
distribution (65.46%), followed by the mixed dog (23.09%), and the local dog
(11.45%). However, based on age, the dogs over the age of 1 year less infested
(20.48%) than the dogs under 1 year old (41.6%), and the rest of (39.7%) was
unidentified. The result of Chi-square test (p>0.01) showed no significant
different between sex, breed, and age with the ectoparasites infestations in dogs in
Bandung with P-value male 0.319 and female 0.982.
Keywords: dog, ectoparasite, infestation, pure breed, mixed breed, local breed

SEBARAN INFESTASI EKTOPARASIT PADA ANJING DI BANDUNG

CUCU SUTRISNA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan
KaruniaNya, sehingga skripsi dengan judul Sebaran Infestasi Ektoparasit pada
Anjing di Kota Bandung dapat diselesaikan
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihakpihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
penulisan skripsi ini :
1. Kedua orangtua dan keluarga besar yang selalu memberikan doa serta
dukungan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Prof Dr Drh Upik Kesumawati Hadi, MS selaku dosen pembimbing
yang telah berkenan membimbing dan memberikan pengarahan,
kritik, dan saran kepada penulis selama penelitian sampai akhir
penulisan skripsi ini selesai.
3. Drh Fadjar Satrija, PhD selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan banyak motivasi dan saran kepada penulis selama
masa perkuliahan.
4. Seluruh staff Bagian Entomologi Kesehatan, Departemen Ilmu

Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.
5. Drh Dwiati Nirvana Bahari yang telah bersedia membantu
mengumpulkan data rekam medik di Bandung.
6. Teman-teman seperjuangan Acromion FKH-47, khususnya Fahmi
Khairi dan Grady Priasdika yang merupakan teman sepenelitian yang
telah memberikan semangat dan warna-warni selama kuliah di FKH
IPB.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari
para pembaca. Besar harapan penulis kiranya skripsi ini dapat berguna khususnya
bagi penulis dan umumnya bagi para pembaca, serta untuk kemajuan ilmu
pengetahuan khususnya dibidang kedokteran hewan dan kesehatan masyarakat
veteriner.
Bogor, Agustus 2015

Cucu Sutrisna

DAFTAR ISI


`

DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Caplak
Klasifikasi dan Morfologi Rhipicephalus sanguinus
Siklus Hidup Rhipicephalus sanguinus
Pinjal
Klasifikasi dan Morfologi Ctenocephalides felis
Siklus Hidup Pinjal
Kutu (Trichodectes canis)
Klasifikasi dan Morfologi Kutu (Trichodectes canis)
Siklus Hidup T canis
METODOLOGI
Waktu dan Tempat Penelitian
Metode Penelitian

Pengambilan Data
Analisis Data
HASIL DAN PEMBAHASAN
Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit
Ragam Jenis Ektoparasit
Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing
Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing
Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing
Hasil uji Chi-square
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

vii
1
1
2

2
2
2
3
3
4
5
5
6
6
7
7
7
8
8
8
8
8
9
10

11
12
14
14
14
15
15
18
20

DAFTAR TABEL

1
2
3
4
5
6

Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit

Ragam Jenis Ektoparasit
Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing
Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing
Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing
Hasil Uji Chi-square

9
10
11
12
13
14

DAFTAR GAMBAR
1
2
3
4
5
6

7
8
9
10

Caplak Rhipicephalus sanguineus
Siklus hidup caplak pada anjing
Ctenocephalides canis
Siklus hidup pinjal
Kutu Trichodectes canis
Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit
Ragam Jenis Ektoparasit
Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing
Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing
Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing

3
4
5
6
7
9
10
11
12
14

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing merupakan hewan kesayangan yang paling banyak diminati selain
kucing, hal ini berkaitan dengan hubungan sosial yang erat antara anjing dengan
manusia. Anjing memiliki tingkat intelegensi yang cukup tinggi di antara mamalia
lain dan memiliki sifat setia pada majikannya. Tujuan pemeliharaan anjing bukan
hanya sebagai sahabat dan teman bermain, namun juga untuk berburu dan sebagai
penjaga rumah yang bisa diandalkan.
Lingkungan yang tidak memadai dan cara perawatan yang kurang baik
merupakan penyebab utama anjing terserang ektoparasit seperti caplak, pinjal, dan
kutu sebagai vektor penyakit. Caplak hidup di permukaan kulit hewan dan
menghisap darah inang melalui pembuluh darah perifer yang berada di bawah
kulit. Ektoparasit mudah ditemukan karena ukurannya yang cukup besar dan
melekat pada kulit inangnya. Predileksi yang paling disukai caplak adalah leher,
sela-sela jari, dan bagian dalam telinga (Hadi dan Soviana 2010).
Pinjal Ctenocephalides felis merupakan ektoparasit penyebab dermatitis
pada anjing (Muller dan Kirk 1969). Gigitannya dapat menimbulkan rasa gatal
yang hebat yang kemudian berlanjut hingga menjadi radang kulit yang disebut
flea bites dermatitis. Selain gigitannya, kotoran dan saliva pinjal juga berbahaya
karena dapat menyebabkan radang kulit. Infestasi pinjal dalam jumlah yang tinggi
dapat menyebabkan anjing menderita kekurangan darah (anemia), lemah, dan
pucat. Selain itu, C. felis dapat bertindak sebagai inang antara cacing pita anjing
yaitu Dipylidium caninum dan cacing filarial anjing Dipetalonema reconditum
(Levine 1990; Hadi dan Soviana 2010).
Anjing juga sering terinfeksi kutu, kutu merupakan ektoparasit yang bersifat
obligat karena seluruh hidupnya tergantung pada tubuh inangnya. Morfologi kutu
sudah beradaptasi dengan cara hidupnya, misalnya dengan tidak memiliki sayap,
sebagian besar tidak bermata, bentuk tubuh yang pipih dorsoventral, bagian mulut
disesuaikan untuk menusuk atau menghisap. Selain itu, kutu memiliki kaki yang
kokoh dengan kuku yang besar pada ujung tarsus yang bersamaan dengan
tonjolan tibia berguna untuk merayap dan memegangi rambut inangnya. Rambut
halus dan hangat yang dimiliki anjing merupakan lingkungan yang nyaman bagi
kutu. Ektoparasit ini hidup dengan menghisap darah anjing dan bisa menyebabkan
masalah kesehatan mulai dari alergi sampai ke masalah yang serius seperti infeksi
cacing pita. Ektoparasit ini biasanya muncul pada kondisi atau cuaca yang hangat.
Gigitan kutu memicu reaksi alergi seperti infeksi kulit.
Pinjal dan kutu adalah dua contoh ektoparasit yang banyak menyerang
anjing. Hal ini banyak tercatat oleh pengelola klinik di beberapa kota di Indonesia.
Sejauh mana infestasi ektoparasit pada pasien-pasien yang datang ke klinik,
belum banyak dilaporkan secara detail. Penelitian ini ditunjukan untuk menjawab
pertanyaan yang kelak dapat bermanfaat bagi para dokter hewan praktik hewan
kecil di Indonesia.

2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mempelajari sebaran infestasi ektoparasit pada
anjing di kota Bandung.

Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar tentang
ektoparasit yang menyerang anjing di kota Bandung.

TINJAUAN PUSTAKA

Caplak
Caplak adalah ektoparasit penghisap darah yang mempunyai peranan
penting dalam bidang kesehatan hewan. Penyebaran caplak di seluruh dunia
sangat luas dan umumnya terdapat di lingkungan meliputi hutan, rawa, gunung,
dan padang rumput (Soulbsy 1982; Levine 1994).
Rhipicephalus sanguineus adalah caplak yang tersebar luas di dunia dan
merupakan vektor bagi banyak patogen yang menyerang anjing, caplak ini bisa
menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat dimana anjing (inang) tinggal
(Dantas-Torres 2010). Di Indonesia penduduk setempat menyebutnya kutu anjing
atau kutu babi, sedangkan di luar negeri disebut kutu anjing coklat (brown dog
tick) (Saim 1992). Di Inggris (Featherstone et al. 2012) melaporkan adanya R.
sanguineus pada persilangan anjing liar yang sebelumnya diimpor dari Yunani
pada Mei 2012.
Dari sudut pandang etiologis, R. sanguineus merupakan ektoparasit yang
endofilik dan monotropik. Namun, meski sangat endofilik, R. sanguineus juga
mampu bertahan di lingkungan luar. Selain itu, mesti monotropik, R. sanguineus
kadang-kadang dapat menginfeksi host lain seperti manusia (Dantas-Torres 2010).
Caplak yang sering juga disebut sengkenit (tick) terdiri atas dua famili yaitu
Ixodidae dan Argasidae. Ixodidae terdiri atas genus Ixodes, Haemaphysalis,
Dermacentor, Hyalomma, Nosomma, Rhipicepalus, Boophilus, dan Margropus,
sedangkan Argasidae terdiri atas genus Argas, Ornithodoros, dan Otobius (James
dan Harwood 1969). Caplak dari spesies R. sanguineus merupakan jenis caplak
yang sering terdapat pada anjing (Gambar 1).

3

Gambar 1 Caplak Rhipicephalus sanguineus
(Hadi et al. 2013)

Klasifikasi dan Morfologi Rhipicephalus sanguineus
Menurut (Krantz 1970), caplak anjing (R. sanguineus) diklasifikasikan
sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Arachnida
Ordo
: Parasitiformes
Sub Ordo
: Metastigmata
Famili
: Ixodidae
Genus
: Rhipicephalus
Spesies
: Rhipicephalus sanguineus
Rhipicephalus sp. yang sering menyerang pada anjing di Indonesia adalah
R. sanguineus (Subronto 2006). Caplak mudah dikenali karena ukurannya yang
besar hingga 30 mm dengan bentuknya yang memiliki tiga pasang kaki (tahap
belum dewasa) dan empat pasang kaki (tahap dewasa) serta berwarna coklat gelap
(Levine 1994). Caplak betina bagian punggungnya berbentuk heksagonal. Parasit
ini paling sering ditemukan di kepala, leher, telinga, dan telapak kaki anjing.
Caplak jantan memiliki lempeng adrenal menyolok.
Siklus Hidup Rhipicephalus sanguineus
Daur hidup caplak terdiri dari telur, larva, nimfa, dan dewasa (Gambar 2).
Dari larva sampai dewasa dapat menempel pada satu individu inang ataupun tiap
tahap memiliki inang yang berbeda-beda. Caplak jantan ataupun betina menghisap
darah sepanjang hidupnya. Setelah kenyang menghisap darah, caplak betina jatuh
ke tanah dan kemudian bertelur, caplak betina dapat bertelur sampai 3000 butir
pada temperatur 24 °C sesudah itu mati, sedangkan pada caplak jantan akan mati
setelah perkawinan. Perkembangan caplak sangat ditentukan oleh cuaca
lingkungannya, suhu yang lebih hangat membuat perkembangan caplak lebih
cepat, tetapi caplak memang toleran terhadap berbagai kondisi. Telur yang
menetas menjadi larva, larva tersebut merayap ke ujung-ujung rumput
untuk kemudian menempel pada hewan-hewan yang melewatinya. Pada rumput

4
larva dapat bertahan sampai 3 bulan. Kehidupannya terdapat pada 2 tempat yaitu
kehidupan di tubuh hewan atau disebut stadium parasitik dan kehidupan di luar
tubuh hewan yang disebut stadium non parasitik. Kehidupan caplak pada stadium
parasitik dimulai dari saat larva menempel pada hewan sampai caplak dewasa
jenuh darah (engorged) dan jatuh dari tubuh hewan, sedangkan kehidupan caplak
pada stadium non parasitik dimulai dari saat caplak jenuh darah jatuh dari
hewan sampai stadium larva generasi berikutnya sebelum menempel pada tubuh
hewan. Larva mempunyai 3 pasang kaki, dan tempat yang disenangi caplak yaitu
bagian leher, dada, dan bagian antara kedua kaki belakang (Lord 2001). Caplak
lain yang menyerang ternak di Indonesia yaitu genus Amblyomma spp.,
Haemaphysalis bispinosa., Rhipicephales pilans. Umumnya caplak hidup pada
kelembaban 40% sampai 80%, suhu dengan 19 ºC – 40 ºC (Hadi dan Soviana
2010).

Gambar 2 Siklus hidup caplak pada anjing
(Hadi et al. 2013)
Pinjal
Pinjal termasuk ke dalam ordo Siphonaptera yang pada awalnya dikenal
sebagai ordo Aphniptera. Menurut (Service 1988) terdapat sekitar 3000 spesies
pinjal yang masuk ke dalam 200 genus. Pinjal yang telah teridentifikasi baru 2000
spesies (Zentko dan Richman 1997).
Ordo Siphonaptera terdiri atas tiga super famili yaitu Pulicoidea,
Copysyllodea, dan Ceratophyllidea. Ketiga super famili ini terbagi menjadi 9
famili yaitu Pulicidae, Rophalopsyllidae, Hystrichopsyllidae, Pyglopsyllidae,
Stephanocircidae, Macropsyllidae, Ischnopsyllidae, Leptopsyllidae, dan
Ceratophillidae (Dunnet dan Mardon 1991). Dari semua famili dalam ordo
siphonaptera ini yang paling penting dalam bidang kesehatan hewan adalah famili
Pulicidae.
Pinjal anjing, C. canis tampak serupa dengan Pinjal kucing tetapi jarang
ditemukan di AS. Pinjal kucing biasanya ditemukan pada kucing dan anjing di
Amerika utara, sementara Pinjal anjing ditemukan di Eropa. Kedua spesies (C.

5
felis dan C. canis) dibedakan oleh perbedaan morfologi sedikit yang terdeteksi
hanya di bawah pembesaran tinggi (Zentko dan Richman 2003).
Klasifikasi dan Morfologi Ctenocephalides felis
Menurut (Soulsby 1982), C. felis berdasarkan taksonominya termasuk ke
dalam :
Filum
: Arthropoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Siphonaptera
Famili
: Pulicidae
Genus
: Ctenocephalides
Spesies
: Ctenocephalides felis
Pinjal merupakan insekta yang tidak memiliki sayap dengan tubuh
berbentuk pipih bilateral dengan panjang 1.5–4.0 mm (Soulsby 1982), sedangkan
menurut (Service 1988) pinjal dewasa memiliki ukuran tubuh yaitu 1.0–8.5 mm.
Ukuran tubuh pinjal jantan biasanya lebih kecil dari betina (Levine 1990).
Secara umum morfologi dari pinjal C. felis (Gambar 3) adalah seperti yang
telah dijelaskan di atas, tetapi ciri khas dari pinjal ini terdapat pada duri pertama
dari ktenidia genalnya yang mempunyai panjang yang sama dengan duri di
belakangnya, selain itu pinjal ini memiliki manubrium yang menyempit di bagian
apeks. Kaki belakang dari pinjal ini terdiri atas 6 sampai 7 ruas dorsal.
Secara morfologi C. felis jantan dan betina memiliki beberapa perbedaan. C.
felis jantan dan C. felis betina diantaranya adalah pada ruas abdomen ke 9 dari
pinjal C. felis jantan terdapat organ clasper yang sedikit meruncing dan dapat
digerakkan bagian ujungnya. C. felis betina perangkap mulutnya dilengkapi
dengan stilet yang panjangnya hampir tiga kali dari lebarnya (Sen dan Fletcher
1962).

Gambar 3 Ctenocephalides canis
(Hadi et al. 2013)

Siklus Hidup Pinjal (Gambar 4)
Pinjal mengalami metamorfosis yang sempurna (Borror et al. 1992), yang
dimulai dari telur, larva, pupa kemudian menjadi pinjal dewasa (Gambar 4). Pinjal
betina biasanya mengeluarkan telur sampai 20 butir telur setiap periode

6
bertelurnya (Soulsby 1982), sedangkan menurut (Rust dan Dryden 1997) C. felis
dapat bertelur 40–50 butir setiap hari selama puncak reproduksi. Telur pinjal
berbentuk oval dan berwarna kekuningan (Taboada 1966) dengan panjang kurang
lebih 0.5 mm (Soulsby 1982). Biasanya telur diletakkan di kandang, alas kandang,
rumput ataupun di bawah karpet. Pada sarang atau kandang (alas kandang) anjing
sering ditemukan telur, larva, dan pupa pinjal.

Gambar 4 Siklus hidup pinjal
(Hadi et al. 2013)

Kutu (Trichodectes canis)
Trichodectes canis diketahui banyak menghuni berbagai tempat di seluruh
dunia dan mampu mentolelir kondisi temperatur yang ekstrem (Emerson dan
Harga 1985). Di Chile dilaporkan bahwa kutu ini menginfeksi anjing liar (rubah),
kutu ditemukan pada paha, pinggang, dan sisi lateral hewan. Identifikasi kutu
sebagai T. canis berdasarkan ukuran, bentuk antena, bentuk toraks, dan alat
kelamin (Gonzalez et al. 2006).
Klasifikasi dan Morfologi Trichodectes canis
Menurut (Soulsby 1982), T. Canis berdasarkan taksonominya termasuk ke
dalam :
Kingdom
: Animalia
Kelas
: Insekta
Ordo
: Phthiraptera
Famili
: Trichodectidae
Genus
: Trichodectes
Spesies
: Trichodectes Canis
Trichodectes canis berukuran kecil dimana ukuran tubuh kutu betina lebih
besar dari pada kutu jantan dengan panjang tubuh mulai 1.75–1.82 mm pada
betina dan 1.60–1.68 mm pada jantan (Gambar 5). Namun spesimen T. canis yang

7
ditemukan pada anjing rakun berbeda dalam hal panjang tubuh dari yang
ditemukan pada anjing domestik, yang menunjukan adanya polimorfolisme di
antara kutu di habitat yang berbeda (Allaby 2009). Betina dari genus T. canis juga
dapat dicirikan oleh organ khusus yang tumbuh dari bawah ujung perut. Bila
dilihat dari atas, bagian puncak struktur ini keluar dari bawah perut yang
menyerupai dua pelengkap melengkung yang terjadi di kedua sisi wilayah genital.
Tujuan dari embel-embel ini adalah untuk membantu lem telurnya pada rambut
inang dan pegangan bulu agar tetap pada inang.

Gambar 5 Trichodectes canis
(Hadi et al. 2013)
Siklus Hidup T. canis
Kutu mengalami metamorfosis tidak sempurna yang dimulai
dari telur, nimfa instar pertama sampai ketiga kemudian dewasa. Telur
yang dihasilkan kutu betina dewasa berjumlah 10–300 selama
hidupnya dengan ukuran 1–2 mm, berbentuk oval, berwarna putih,
dan beberapa jenis telur dilengkapi operkulum. Telur akan menetas
menjadi nimfa setelah 5–18 hari. Warna nimfa dan kutu dewasa
putih, makin tua akan menjadi gelap. Kutu dewasa dapat hidup 10
hari sampai beberapa bulan (Hadi dan Soviana 2010).

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di 7 klinik hewan di wilayah 1 Bandung Timur, 2
Gunung Batu, 3 Terusan Djundjunan, 4 Buah Batu, 5 Cibatat, 6 Soreang, dan 7
Pasir Koja di Bandung sejak Januari 2008 sampai dengan April 2014.

8
Metode Penelitian
Pengambilan Data
Data penelitian diambil dari data rekam medik pasien anjing dari 7 klinik
hewan di wilayah 1 Bandung Timur, 2 Gunung Batu, 3 Terusan Djundjunan, 4
Buah Batu, 5 Cibatat, 6 Soreang, dan 7 Pasir Koja di Bandung dari Januari 2008
sampai dengan April 2014.
Analisis Data
Data kasus dianalisis secara deskriptif dan dikelompokan berdasarkan
jenis/ras, umur, jenis kelamin serta lokasi anjing, kemudian dianalisis dengan uji
Chi-square menggunakan software SPSS 15.0. Data disajikan secara deskriptif
dan dalam bentuk tabel dan gambar.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Penyebaran ektoparasit di Bandung bisa digambarkan dengan rekam medik
yang ada pada beberapa klinik hewan yang dijadikan sampel yaitu 7 klinik dari
total sekitar 23 klinik yang tersebar didaerah Bandung. Data rekam medik yang
diperoleh dari klinik hewan di wilayah Bandung dari Januari 2008 sampai dengan
April 2014 menunjukkan pasien yang datang sedikitnya ada 252 ekor sampai
6000 ekor anjing pertahun yang datang ke klinik dengan berbagai ras/jenis anjing.

Prevalensi Kejadian Infestasi Ektoparasit
Tabel 1 dan Gambar 6 menunjukkan prevalensi kejadian ektoparasit di 7
(tujuh) wilayah di Bandung dari Januari 2008–April 2014. Data rekam medik
menunjukkan adanya fluktuasi tiap tahun di semua wilayah di Bandung.
Penurunan yang signifikan terjadi di Terusan Djundjunan dari tahun 2008 ke 2009
dan di Buah Batu dari tahun 2011 ke 2012. Kenaikan yang signifikan terjadi di
Cibatat tahun 2012 ke 2013. Secara keseluruhan prevalensi kejadian infestasi
ektoparasit memiliki presentase rata-rata sebesar 0.91%. Fluktuasi kejadian
infestasi ektoparasit dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti musim, suhu,
kelembaban, cara pemeliharaan, dan perlakuan pemilik anjing. Di Indonesia
dengan iklim tropis memungkinkan infestasi ektoparasit terjadi. Selain itu,
perilaku pemilik anjing yang tidak berusaha memisahkan anjing-anjing yang
terinfestasi dengan anjing-anjing yang bebas ektoparasit, juga mempengaruhi
penyebaran infestasi ektoparasit. Berbeda dengan Negara 4 musim, infestasi
ektoparasit umumnya meningkat pada musim panas. Kondisi panas dan
kelembaban yang tinggi menyebabkan adanya kelainan kulit pada hewan
kesayangan akibat infestasi ektoparasit. Perilaku pemilik anjing sangat
menentukan tinggi atau rendahnya infestasi ektoparasit. (Dantas-Torres et al.
2006) menyatakan bahwa, setiap orang yang tinggal di lingkungan dengan
infestasi ektoparasit tinggi memiliki resiko untuk terinfeksi, termasuk dokter
hewan yang selalu berkontak langsung dengan ektoparasit yang menjadi endemik
di daerah tersebut.

9
Tabel 1 Prevalensi kejadian infestasi ektoparasit di beberapa klinik di wilayah
Bandung dari Januari 2008–April 2014
2008
(%)

2009
(%)

2010
(%)

2011
(%)

2012
(%)

2013
(%)

2014
(%)

Jumlah
(%)

Ratarata
(%)

Bandung Timur

-

0.35

0.24

0.16

0.43

0.9

0.81

2.89

0.48

Gn Batu

-

-

-

0.22

0.61

0.5

0.41

1.74

0.44

TerusanDjundjunan

1.16

0.5

0.44

0.45

0.6

0.43

0.62

4.2

1.05

Buah Batu

-

-

0.94

0.76

0.12

0.14

1.19

3.15

0.63

Cibatat

0.17

0.33

0.1

0.12

0.11

2.32

1.87

5.02

0.72

Soreang

-

-

-

-

0.26

0.63

1.03

1.92

0.64

Pasir Koja

-

-

0.33

0.33

0.8

1.02

0.41

2.89

0.58

Jumlah

1.33

1.18

2.05

2.04

2.93

5.94

6.34

Rataan (%)

0.67

0.39

0.41

0.34

0.42

0.85

0.91

Klinik di Wilayah

2.5
2008

2

2009
1.5

2010

1

2011

0.5

2012
2013

0
Bdg
T imur

Gn Batu T er Djun Buah Batu Cibatat

Soreang Ps Koja

2014

Gambar 6 Prevalensi kejadian infestasi ektoparasit di beberapa klinik di wilayah
Bandung dari Januari 2008–April 2014

Ragam Jenis Ektoparasit
Ragam jenis ektoparasit berdasarkan data rekam medik 7 (tujuh) klinik
hewan di wilayah Bandung disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 7. Data tersebut
menunjukkan bahwa ektoparasit yang dominan adalah kutu dengan nilai rata-rata
(74.6%), diikuti oleh caplak (19.9%), dan pinjal (5.5%). Infestasi kutu tertinggi di
Bandung diduga karena cuaca yang mendukung perkembangan kutu. Kutu dapat
menetas menjadi larva setelah 12 hari pada suhu 18–27 oC dan kelembaban 75–
80% (Silverman 1994). Bandung yang memiliki suhu 25–30 oC pada siang hari,
dan pada malam hari 18–25 oC, serta kelembaban rata-rata yaitu 85% (Van der
kaars 1995). Selain itu, siklus hidup kutu secara keseluruhan umumnya berada
pada inangnya. Tingginya kasus kutu dan caplak pada anjing di Bandung
merupakan bukti bahwa faktor cuaca mendukung perkembangan ektoparasit
tersebut. Dantas-Torres 2010 melaporkan bahwa pemanasan global yang terjadi
membuat suhu mengalami kenaikan sekitar 2–3 oC mengakibatkan populasi

10
ektoparasit seperti caplak R. sanguineus dan kutu T. canis di Eropa semakin
bertahan di alam.
Tabel 2 Ragam Jenis Ektoparasit dari Januari 2008–April 2014
Klinik di Wilayah

Jumlah
Pasien
Anjing
(ekor)

Jumlah
Pasien
Positif

Jenis Ektoparasit

Ektoparasit
(ekor)

Caplak
Rhipicephalus
sanguineus
(%)

Kutu
Trichodectes
canis (%)

Pinjal
Ctenocephalides
felis (%)

Bandung Timur

16900

96

19.2

76.9

3.9

Gn Batu

12808

63

0

100

0

TerusanDjundjunan

6177

87

0

84.8

15.2

Buah Batu

2465

64

0

100

0

Cibatat

11400

56

54.2

43.8

2.1

Soreang

6050

38

28.9

63.2

7.9

Pasir Koja

15000

94

36.8

53.8

9.4

10114

71

19.9

74.6

5.5

Rata-rata

100
80
60

Caplak

40

Pinjal

20

Kutu

0
Bdg Gn Batu Ter Djun Buah
Timur
Batu

Cibatat Soreang Ps Koja

Gambar 7 Ragam Jenis Ektoparasit dari Januari 2008–April 2014

Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Jenis Kelamin Anjing
Sebaran ektoparasit berdasarkan jenis kelamin anjing dari data rekam medik
7 (tujuh) wilayah di Bandung ditampilkan pada Tabel 3 dan Gambar 8. Anjing
jantan lebih banyak terinfestasi dengan sebaran rata-rata (60.2%) diikuti betina
dengan (39.4%). Sebaran anjing jantan tiap wilayah tidak jauh berbeda tetapi yang
tertinggi ada di wilayah Soreang dengan (65.8%) dan yang terendah di Terusan
Djundjunan yaitu (54.0%). Sementara itu, sebaran infestasi ektoparasit pada
anjing betina yang tertinggi persentasenya ada di Terusan Djundjunan dengan
(46.0%) dan yang terendah di Soreang yaitu dengan (34.2%). Sama halnya pada
penyakit dermatosis di Indonesia yang dilaporkan oleh (Wiryana et al. 2014)
bahwa anjing jantan memiliki kerentanan lebih tinggi (50.9%) dibandingkan
dengan anjing betina (32.9%). Namun demikian, (Mattalah et al. 2012)
melaporkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin anjing dengan jumlah
caplak/ektoparasit yang menginfestasi anjing di Algeria. Banyaknya anjing yang

11
terinfestasi caplak dikarenakan adanya penularan caplak antar anjing di dalam
penampungan anjing (kennel) yang sama.
Tabel 3 Sebaran infestasi ektoparasit berdasarkan jenis kelamin di beberapa
Klinik di wilayah Bandung dari Januari 2008–April 2014
Jenis Kelamin
Jumlah
Pasien
Anjing
(ekor)

Jumlah
Anjing
Positif
Ektoparasit
(ekor)

Bandung Timur

16900

Gn Batu

Klinik di Wilayah

Jantan

Betina

ekor

%

Ekor

%

96

63

65.6

33

34.4

12808

63

39

61.9

24

38.1

TerusanDjundjunan

6177

87

47

54.0

40

46.0

Buah Batu

2465

64

41

64.1

23

35.9

Cibatat

11400

56

31

55.4

25

44.6

Soreang

6050

38

25

65.8

13

34.2

Pasir Koja

15000

94

54

57.5

40

42.6

Rata-rata/
Klinik

10114

71

42.9

60.2

28.3

39.4

50
40
30
Jantan
Betina

20
10
0
BdgTim GnBatu TerDjun Buah Cibatat Soreang PsKoja
Batu

Gambar 8 Sebaran infestasi ektoparasit berdasarkan jenis kelamin di beberapa
Klinik di wilayah Bandung Tahun 2008–2014

Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Ras Anjing
Sebaran Infestasi ektoparasit berdasarkan ras anjing ditampilkan pada Tabel
4 dan Gambar 9. Anjing ras murni seperti shihtzu, pug, pitbul, pomerian, helder,
mini pom, golden, Labrador, husky, teckle, maltiese, chihua-hua, Yorkshire,
poodle, dan terrier dengan sebaran rata-rata (65.5%) lebih mudah terinfestasi
ektoparasit daripada anjing mix dengan sebaran rata-rata (23.1%), dan anjing
lokal dengan sebaran rata-rata (11.5%). Sebaran anjing ras murni yang tertinggi
ada di wilayah Buah Batu sebesar (75%), sedangkan yang terendah ada di
Bandung Timur sebesar (50%). Anjing ras murni lebih mudah terinfestasi
ektoparasit dimungkinkan karena memiliki rambut yang tebal, gimbal, ataupun

12
kulit yang menggulung yang membuat ektoparasit nyaman untuk bersembunyi.
Data pasien anjing di wilayah Bandung lebih banyak anjing ras murni yang
dipelihara kemungkinan anjing yang lebih banyak terinfeksi adalah anjing ras
murni. Adapun, di Brazil yaitu wilayah Recife ektoparasit banyak menyerang
anjing lokal, karena penduduk Recife lebih banyak memelihara anjing lokal
sehingga potensi anjing lokal terinfestasi ektoparasit lebih tinggi seperti yang
dilaporkan oleh (Dantas-Torres et al. 2006) meskipun ektoparasit ini sudah
banyak juga menyerang anjing mix dan ras murni, tetapi lebih banyak yang
menyerang anjing domestik.
Tabel 4 Sebaran ektoparasit berdasarkan ras anjing di beberapa klinik di wilayah
Bandung dari Januari 2008–April 2014
Total Anjing
Positif
Ektoparasit
(ekor)

Ekor

%

Ekor

%

Ekor

%

Bandung Timur

96

48

50

29

30.2

19

19.8

Gn Batu

63

45

71.4

12

19.1

6

9.5

TerusanDjundjunan

87

60

69.0

22

25.3

5

5.8

Buah Batu

64

48

75

7

10.9

9

14.1

Cibatat

56

38

67.9

12

21.4

6

10.7

Soreang

38

27

71.1

8

21.1

3

7.9

Pasir Koja

94

60

63.9

25

26.6

9

9.6

71

46.6

65.5

16.43

23.1

8.14

11.5

Klinik di Wilayah

Rata-rata/ klnik

Ras Murni

Mix

Lokal

60
50
40
Ras M urni

30

M ix

20

Lokal
10
0
Bdg Gn BatuTer Djun Buah
Timur
Batu

Cibatat Soreang Ps Koja

Gambar 9 Sebaran ektoparasit berdasarkan ras anjing di beberapa Klinik di
wilayah Bandung Tahun 2008–2014

Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing
Tabel 5 dan Gambar 10 menunjukkan sebaran infestasi ektoparasit
berdasarkan umur anjing. Infestasi ektoparasit pada anjing yang berumur kurang
dari 1 (satu) tahun memiliki sebaran rata-rata (41.6%) lebih tinggi dari anjing

13
yang berumur lebih dari 1 (satu) tahun dengan rata-rata (20.5%), dan yang tidak
tercatat sebesar (37.94%). Sebaran tertinggi anjing yang berumur kurang dari 1
(satu) tahun dan lebih dari 1 (satu) tahun ada di wilayah Buah batu dengan
masing-masing (54.7%) dan (28.1%), sementara persentase terbanyak untuk
anjing yang tidak terdata umurnya ada di Bandung Timur dengan (53.13%).
Anjing yang berumur kurang dari 1 tahun banyak terinfestasi ektoparasit karena
mobilitas anak anjing yang tinggi pada tempat-tempat yang menjadi habitat
ektoparasit seperti rerumputan. Selain itu, anakan anjing memiliki paparan yang
konstan dari induk yang positif ektoparasit. Menurut (Belot et al. 1984),
ektoparasit seperti caplak, pinjal, dan kutu sebenarnya terdapat pada kulit tetapi
tidak menunjukkan gejala klinis pada hewan yang sehat, penularan ektoparasit
terjadi mulai anak anjing berumur 3 hari. Ketika kekebalan tubuh anak anjing
menurun maka parasit akan berkembang menjadi lebih banyak dan menimbulkan
penyakit kulit. Pada anak anjing akan tertular oleh induknya. Hal ini sama dengan
yang terjadi pada kejadian demodekosis yang dilaporkan oleh (Sardjana 2012)
bahwa kejadian infeksi demodekosis dapat terjadi pada anjing semua umur,
khususnya pada anjing muda dan anakan sangat sering terjadi.
Tabel 5 Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing dari Januari
2008–April 2014
Jumlah Pasien
Anjing Positif
Ektoparasit
(ekor)

Ekor

%

Ekor

%

Ekor

%

Bandung Timur

96

36

37.5

9

9.38

51

53.13

Gn Batu

63

24

38.1

14

22.2

25

39.68

TerusanDjundjunan

87

37

42.5

17

19.5

33

37.93

Buah Batu

64

35

54.7

18

28.1

11

17.19

Cibatat

56

21

37.5

15

26.8

20

35.71

Soreang

38

13

34.2

6

15.8

19

50

Pasir Koja

94

41

43.6

23

24.5

30

31.91

71.14

29.57

41.6

14.57

20.5

27

37.94

Klinik di Wilayah

Rata-rata/ Klinik

Umur Anjing
1 Tahun

Tidak Terdata

60
50
40
Umur < 1 th
30

Umur 1-3 th
Umur >3 th

20
10
0
Bdg Timur

Gn Batu

Ter Djun Buah Batu

Cibatat

Soreang

P koja

Gambar 10 Sebaran Infestasi Ektoparasit Berdasarkan Umur Anjing dari Januari
2008−April 2014

14
Hasil Uji Chi-square
Kasus infestasi ektoparasit pada anjing dari Januari 2008 sampai April
2014 (Tabel) apabila dianalisis lebih lanjut, maka total anjing terinfestasi pada
jantan (176 ekor) lebih banyak daripada betina (138 ekor). Anjing jantan dengan
ras murni lebih banyak terinfestasi oleh ektoparasit (117 ekor), diikuti oleh anjing
mix (57 ekor), anjing lokal (2 ekor). Sedangkan, jika dilihat dari segi umur, maka
anjing berumur kurang dari 1 tahun paling banyak terinfestasi ektoparasit baik
pada jantan (116 ekor) maupun pada betina (89 ekor). Berdasarkan analisis uji
Chi-square ternyata tidak terdapat hubungan yang signifikan antara jenis
ektoparasit dengan jenis kelamin, jenis anjing, dan umur (p>0.01) (Tabel).
Penelitian Priasdika (2014) melaporkan bahwa infestasi ektoparasit pada anjing di
Pondok Pengayom Satwa Jakarta menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara jenis ektoparasit dengan jenis kelamin, jenis anjing, dan umur dengan pvalue untuk anjing jantan sebesar (0.013) dan anjing betina sebesar (0.004)
(p