Pengaruh status ekonomi keluarga terhadap motif menikah dini di Perdesaan

PENGARUH STATUS EKONOMI KELUARGA
TERHADAP MOTIF MENIKAH DINI DI PERDESAAN

WULANDARI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Status
Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini di Perdesaan adalah benar karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau

dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Wulandari
NIM I34100070

iv

v

ABSTRAK
WULANDARI. Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah
Dini di Perdesaan. Di bawah bimbingan SARWITITI SARWOPRASODJO.
Pernikahan yang dilakukan pada perempuan di bawah umur berkaitan
dengan kesiapan fisik maupun psikis yang belum mencapai kematangan termasuk

pembentukan identitas diri maupun sosial individu sebagai remaja yang berada
pada masa pencarian identitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi motif-motif dan faktor yang melatarbelakangi pernikahan dini
yang terjadi, serta menganalisis hubungannya terhadap pembentukan identitas.
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian survei.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik purposive sampling dengan
jumlah responden sebanyak 30 orang. Pengujian pengaruh antara variabel faktorfaktor menikah dini terhadap motif menikah dini dilakukan dengan menggunakan
uji regresi berganda, sedangkan variabel pembentukan identitas diuji melalui
pendekatan kualitatif deskriptif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa
pernikahan dini yang terjadi dilatarbelakangi oleh motif remaja untuk memenuhi
kebutuhan akan keamanan, sosial, dan harga diri. Pembentukan identitas yang
terbentuk pada remaja putri yang melakukan menikah dini ialah pembentukan
identitas diri kuat dan pembentukan identitas sosial lemah.
Kata kunci: Pernikahan dini, Faktor-faktor menikah dini, Motif menikah dini,
Pembentukan identitas

ABSTRACT
WULANDARI. The Influence of Economic Family State towards Motive of
Early
Marriage

in
Rural
Area.
Supervised
by
SARWITITI
SARWOPRASODJO.
A marriage of under age women related with physical as well as
psychological state of readiness which have not reached maturity include the
formation of self identity and social identity as an adolescence that in fact are on
the search for identity. The purpose of this research is to identify the motives and
factors which aspects influenced early marriages that occurred, as well as
analyzing its relationship towards the formation of identity. The research was
carried out using survey research methods. Data collection was done using a
purposive sampling technique with 30 respondents. Influence testing between
variables factors of early married toward motives of early married conducted
using test of multiple regression while formation of identity tested through by
qualitatif description. The result showed that early marriage occurred by
adolescence motives to fulfill the security, social, and self esteem. The identity
formation related in adolescence who married early is strong formation self

identity and weak formation social identity.
Keywords: Early marriage, Factor-factor of early marriage, Motives of early
marriage, Identity formation.

vii

PENGARUH STATUS EKONOMI KELUARGA TERHADAP
MOTIF MENIKAH DINI DI PERDESAAN

WULANDARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

viii

ix

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah
Dini di Perdesaan
: Wulandari
: I34100070

Disetujui oleh

Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, M.Sc
Ketua Departemen

Tanggal Lulus: _______________

x

xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif
Menikah Dini di Perdesaan” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini merupakan
syarat kelulusan sebagai Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan

Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Penelitian
yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi pernikahan dini yang masih
marak terjadi pada remaja putri perdesaan dan menganalisis pengaruhnya terhadap
pembentukan identitas remaja putri.
Skripsi ini tidak mungkin terwujud tanpa bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1) Ibu Dr Ir Sarwititi Sarwoprasodjo, MS selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan, arahan, dan masukan selama proses penulisan
hingga penyelesaian skripsi ini.
2) Ibu Ratri Virianita, S.sos, M,Si selaku dosen penguji utama dan Bapak Ir
Murdianto, M.Si selaku penguji akademik yang telah memberikan masukan
dan saran bagi perbaikan skripsi ini.
3) Mama Lina Rodiah, Teteh Purwaningsih serta Bapak Moh. Nurdin atas
semangat dan doa yang tiada henti-hentinya mengalir untuk kelancaran
penulisan skripsi ini.
4) Almarhum Papa Jana Kristiana dan Almarhum Abah Moch. Kasdi yang
senantiasa menemani dan menyemangati penulis lewat mimpi.
5) Lathiffida Noor Jaswandi, Citra dewi, dan Mugi lestari selaku sahabat
terdekat penulis yang senantiasa mengingatkan untuk tetap semangat dan
tidak mudah menyerah.

6) Dinasti Tri Ranti selaku teman seperjuangan dalam penelitian dan keluarga
Bapak Tholib yang telah berbaik hati membantu penulis selama penelitian.
7) Aparat KUA Kecamatan Anjatan, Aparat desa dan masyarakat Desa Anjatan
Utara atas kerjasama yang baik selama pengumpulan data.
8) Achmad Fauzi dan Sekar Anjani selaku teman satu bimbingan.
9) Dwi izmi, Saefihim dan Keluarga besar SKPM angkatan 47 yang telah
bersedia memberikan semangat, doa, dan dukungan, serta berkenan menjadi
rekan yang baik untuk bertukar pikiran.
Penulis menyadari bahwa karya ini terdapat banyak kekurangan, sehingga kritik
dan saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga skripsi ini
nantinya dapat bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juli 2014

Wulandari

xii

xiii


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Pernikahan Dini
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini
Perilaku dan Motif Perilaku
Remaja
Identitas Diri
Identitas Sosial
Kerangka Penelitian
Hipotesi Penelitian
Definisi Operasional

PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu Penelitian
Teknik Pengambilan Sampel
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
PROFIL DESA ANJATAN UTARA
Kondisi Geografis
Kondisi Demografi
Kondisi Sosial Budaya
Kondisi Sosial Ekonomi
Ikhtisar
GAMBARAN UMUM PELAKU PERNIKAHAN DINI
Pernikahan Dini yang Terjadi
Karakteristik Sosio Ekonomi
Karakteristik Biososial
Karakteristik Lingkungan
Motif yang Melatarbelakangi Pernikahan Dini
Tingkat Kejadian Perceraian
Ikhtisar

PENGARUH FAKTOR-FAKTOR MENIKAH DINI TERHADAP MOTIF
MENIKAH DINI
Pengaruh Tingkat Pendidikan Pelaku terhadap Motif Menikah Dini
Pengaruh Tingkat Pendidikan Orangtua Pelaku terhadap Motif Menikah
Dini
Pengaruh Status Ekonomi Keluarga terhadap Motif Menikah Dini
Pengaruh Umur Menstruasi Pertama terhadap Motif Menikah Dini

xv
xvi
xvi
1
1
3
4
4
5
5
5
6
7
9
10
11
12
13
14
17
17
17
17
18
18
21
21
22
25
26
26
29
29
29
33
33
34
38
39
40
42
42
43
44

xiv

Pengaruh Tingkat Keyakinan Norma terhadap Motif Menikah Dini
Ikhtisar
PEMBENTUKAN
IDENTITAS
REMAJA
PUTRI
PELAKU
PERNIKAHAN DINI
Pembentukan Identitas Diri pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan Dini
Pembentukan Identitas Sosial pada Remaja Putri Pelaku Pernikahan
Dini
Ikhtisar
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP

44
45
47
47
49
50
51
51
51
53
57
63

xv

DAFTAR TABEL

Tabel

1

Tabel

2

Tabel

3

Tabel

4

Tabel

5

Tabel

6

Tabel

7

Tabel

8

Tabel

9

Tabel

10

Tabel

11

Tabel

12

Tabel

13

Tabel

14

Tabel

15

Tabel

16

Tabel

17

Tabel

18

Tabel

19

Tabel

20

Tabel

21

Luas lahan dan persentase pemanfaatan lahan Desa Anjatan
Utara, 2013
Komposisi jumlah penduduk dan kepala keluarga (KK) Desa
Anjatan Utara, 2014
Jumlah dan persentase penduduk Desa Anjatan Utara
berdasarkan tingkat pendidikan, 2014
Sebaran penduduk Desa Anjatan Utara menurut jenis pekerjaan,
2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara berdasarkan tiga golongan usia remaja, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut usia saat menikah, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat pendidikan, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat pendidikan ayah dan ibu, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara berdasarkan status ekonomi keluarga, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut usia menstruasi pertama, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan Desa Anjatan Utara
menurut tingkat keyakinan terhadap norma, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat motif menikah dini, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat motif fisiologi, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat motif rasa aman, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat motif sosial, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat motif harga diri, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut tingkat motif aktualisasi diri, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara menurut status pernikahan, 2014
Nilai koefisien regresi berganda antara faktor-faktor menikah
dini terhadap motif menikah dini, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara berdasarkan pembentukan identitas diri dan identitas
sosial, 2014
Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan
Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikatorindikator identitas diri, 2014

21
22
23
24
30
30
31
31
32
33
34
35
35
36
36
37
37
38
41
47

48

xvi

Tabel

22 Jumlah dan persentase pelaku pernikahan dini Desa Anjatan 49
Utara berdasarkan tingkat kuat lemah terhadap indikatorindikator identitas diri, 2014

DAFTAR GAMBAR
Gambar

1

Gambar
Gambar

2
3

Gambar

4

Gambar

5

Gambar

6

Gambar

7

Gambar
Gambar

8
9

Gambar

10

Kerangka penelitian pengaruh pernikahan dini terhadap
pembentukan identitas remaja putri perdesaan
Peta Desa Anjatan Utara
Salah satu responden yang terpaksa putus sekolah dan
memutuskan untuk menikah diusia dini
Salah satu responden yang terpaksa menjanda diusianya
yang masih muda
Kondisi gang dan pemukiman masyarakat Desa Anjatan
Utara
WC umum yang digunakan masyarakat Desa Anjatan
Utara
Bank keliling sebagai salah satu lembaga ekonomi yang
dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
hidup
Sungai menjadi sumber mata air bagi masyarakat
Salah satu responden yang sudah menjalankan peran
sebagai ibu diusianya yang masih muda
Usaha pembuatan batu bata dipinggiran sungai sebagai
salah satu usaha yang dijalankan oleh masyarakat Desa
Anjatan Utara

13
59
60
60
60
60
61

61
61
61

DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
Lampiran
Lampiran

1
2
3

Lokasi Penelitian
Dokumentasi Penelitian
Daftar Nama Responden

59
60
62

xvii

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus
dihadapi sebagian remaja di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Diperkirakan
lebih dari 60 juta perempuan yang berusia 20-24 tahun di seluruh dunia menikah
sebelum mencapai usia 18 tahun. Secara nasional, jumlah kasus pernikahan dini di
Indonesia mencapai 1 359 kasus dengan rata-rata usia perkawinan di bawah usia
19 tahun (Zai 2012). Secara umum pernikahan dini cenderung terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki. Data Susenas (2006) menunjukkan bahwa
sebesar 68.88 persen perempuan telah menikah pada usia 10 tahun ke atas,
sementara laki-laki hanya sekitar 59.88 persen. Persentase pernikahan dini
tersebut secara umum terjadi di wilayah perdesaan. Analisis Survei Penduduk
Antar Sensus (SUPAS) tahun 2005 yang dikutip Fadlyana dkk (2009)
menunjukkan bahwa pernikahan di perkotaan lebih rendah dibanding di
perdesaan, untuk kelompok umur 15-19 tahun terdapat perbedaan yang cukup
tinggi yaitu 5.28 persen di perkotaan dan 11.88 persen di perdesaan. Hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa perempuan usia muda di perdesaan lebih
banyak yang melakukan perkawinan pada usia muda dibandingkan perempuan
usia muda di perkotaan.
Keberadaaan Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 No 1 bab II pasal 7
ayat 1 maupun ketetapan Badan Koordinasi Keluarga Berencana (BKKBN) terkait
pembatasan minimal usia untuk melangsungkan pernikahan nyatanya tidak
memberikan dampak positif pada penekanan pernikahan dini di Indonesia.
Penelitian Zai (2012) menunjukkan bahwa masih tingginya kejadian pernikahan
pada perempuan di bawah usia 20 tahun, yakni 4.8 persen pada usia 10-14 tahun
dan 41.9 persen pada usia 15-19. Hal tersebut menunjukkan bahwa pernikahan
dini yang terjadi tidak dapat di batasi hanya oleh suatu peraturan. Pernikahan dini
yang terjadi merupakan suatu perilaku yang dipengaruhi oleh berbagai faktorfaktor pendorong.
Faktor-faktor pendorong di setiap wilayah kejadian pernikahan dini
nyatanya memiliki keragaman. Jannah (2012) menemukan bahwa pernikahan dini
yang terjadi pada remaja perdesaan di Madura pada umumnya didorong oleh
kondisi ekonomi keluarga dan rendahnya tingkat pendidikan yang ditempuh baik
orangtua maupun remaja. Keluarga dari kalangan status ekonomi bawah dengan
mayoritas orangtua berpendidikan rendah secara sengaja menikahkan anak
perempuannya pada usia muda agar dapat meringankan beban keluarga. Penelitian
lain yang dilakukan Bayisenge (2009) menunjukkan bahwa nilai sosial budaya
yang ada berupa legitimasi sistem patriarki, pembentukan makna bersama terkait
nilai seorang gadis remaja serta praktik budaya mutilasi alat kelamin perempuan
menjadi pendorong pernikahan dini di wilayah Afrika. Pemaknaan negatif
masyarakat mengenai gadis remaja yang belum menikah dan pelabelan manja
pada gadis yang menempuh pendidikan tinggi mendorong orangtua akan sesegera
mungkin menikahkan anak perempuan mereka walau masih berusia remaja,

2

karena jika tidak dilakukan maka hal tersebut akan menjadi aib dan beban bagi
keluarga. Landung dkk (2009) menunjukkan bahwa dorongan rasa kemandirian
dan keinginan bebas pada remaja putri menjadi faktor pendorong pernikahan dini
pada masyarakat Kecamatan Sangalangi, Toraja.
Faktor-faktor pendorong tersebut erat kaitannya dengan motif individu
remaja putri dalam memutuskan untuk menikah dini. Penelitian Rusiani (2013)
menemukan bahwa motif menikah dini merupakan dorongan pada individu pelaku
pernikahan dini yang melatarbelakangi tingginya kejadian pernikahan dini di Desa
Girikarto, Kabupaten Gunung Kidul. Motif memenuhi kebutuhan dasar, sosial,
rasa aman dan harga diri menjadi dorongan yang kuat pada diri individu pelaku
pernikahan dini. Nyatanya, pernikahan dini yang dilakukan oleh remaja putri
menimbulkan beberapa permasalahan fisiologi bagi para pelakunya. Sebagaimana
yang dinyatakan Jannah (2012) bahwa pernikahan yang dilakukan remaja putri
pada usia terlalu dini berpotensi pada kerusakan alat reproduksi yang disebabkan
oleh hubungan seks yang terlalu dini. Fadlyana dkk (2009) menyebutkan bahwa
anatomi tubuh remaja yang belum siap untuk proses mengandung maupun
melahirkan, berpotensi pada terjadinya komplikasi berupa obstetric fistula. Data
United Nations Population Fund (UNPFA) pada tahun 2003, mempertegas bahwa
15-30 persen persalinan pada usia dini akan disertai dengan komplikasi kronik,
yaitu obstetric fistula1.
Masalah lain yang ditimbulkan dari pernikahan dini ialah permasalahan
secara psikologis bagi para pelakunya. Pernikahan dini yang terjadi tidak jarang
berkontribusi pada tingginya kasus perceraian dini dan kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT). Penelitian Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa pernikahan
dini yang dilakukan memberikan dampak negatif pada kemampuan gadis remaja
dalam negosiasi dan pengambilan keputusan hidup. Hal tersebut berkaitan dengan
ketidakmampuan remaja putri dalam menyampaikan pendapat maupun sikapnya
ketika menghadapi permasalahan hidup, sehingga terjadi dominasi pasangan
(suami) yang lebih dewasa. Hal tersebut dijelaskan oleh Hermawan (2010) bahwa
kematangan diri remaja yang belum tercapai mendorong terjadinya percekcokan
antara suami-istri yang berujung pada perceraian dini. Oleh sebab itu, tidak jarang
ditemui remaja putri yang sudah menjanda pada usia yang masih muda.
Selain itu, pernikahan dini yang terjadi tak jarang merupakan pernikahan
yang dilakukan di bawah tangan. Hal tersebut berkaitan dengan pemaknaan
negatif pada diri remaja putri yang melakukan menikah dini. Pemaknaan negatif
tersebut berhubungan dengan pemaknaan diri individu maupun pemaknaan diri
sosial pelaku pernikahan dini. Hal ini berkaitan dengan pembentukan identitas diri
dan identitas sosial seorang remaja putri. Keberadaan individu remaja pada tahap
identitas versus kebingungan identitas (identity vs identity confusion) merujuk
pada masa dimana remaja harus memutuskan siapa dirinya (keberadaan diri), apa
dan bagaimana dirinya mencapai masa depannya (Steinberg 1993). Selain itu,
Purwadi (2004) menyebutkan bahwa keberadaan remaja sebagai individu pada
masa transisi mengakibatkan remaja akan banyak dipengaruhi oleh lingkungan
beserta proses sosial yang ada. Oleh karena itu, akan terjadi krisis identitas yang
timbul akibat dari konflik internal antara keberadaannya sebagai remaja dan
statusnya sebagai seseorang yang telah menikah di usia yang masih sangat muda..
1

Obstetric fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan kebocoran urin
atau feses ke dalam vagina.

3

Masalah tersebut menjadi perhatian dan perlu segera mendapat penyelesaian
yang baik, sebab jika krisis identitas tersebut tidak segera diselesaikan maka akan
menjadi sumber stress bagi remaja dalam menjalankan peran yang dimilikinya
(Sussman 2000 dikutip Baron dan Bryne 2003). Terlebih terkait keberadaan
individu sebagai remaja juga bagian dari suatu masyarakat, seorang individu
remaja diharapkan memiliki kesamaan identitas dengan identitas yang dimiliki
oleh masyarakat. Oleh karena itu, menjadi penting untuk diteliti mengenai
pembentukan identitas baik diri maupun sosial pada remaja putri pelaku
pernikahan dini serta hubungan antara faktor-faktor pendorong pernikahan dini
dengan motif menikah dini.

Rumusan Masalah
Skinner yang dikutip Notoadmojo (2003) menjelaskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar.
Perilaku yang muncul bisa berupa perilaku alami atau bisa juga berupa perilaku
operan (Skinner dikutip Walgito 1999). Menikah diusia dini merupakan perilaku
operan yang dipelajari melalui belajar sosial. Sebagaimana perilaku pada
umumnya, menikah dini juga dipengaruhi oleh motif-motif individu dalam
mencapai suatu tujuan. Motif merupakan suatu pengertian yang meliputi semua
penggerak, alasan-alasan dan dorongan-dorongan dalam diri manusia yang
mengakibatkan dirinya berperilaku (Gerungan dikutip Santoso 2010). Masingmasing individu memiliki motif-motif sendiri yang mendorongnya untuk menikah
dini. Keragaman motif individu tersebut menjadi hal yang penting untuk diteliti
berkaitan dengan maraknya menikah dini yang terjadi pada remaja putri
perdesaan. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis
motif apa yang mempengaruhi remaja putri perdesaan dalam menikah dini?
Pernikahan dini yang terjadi memberikan berbagai permasalahan bagi
remaja putri yang melakukannya, baik secara fisik maupun psikis. Sebagaimana
dijelaskan oleh Bayisenge (2010) dalam penelitiannya yang menunjukkan bahwa
pernikahan dini yang terjadi baik resmi maupun tidak resmi akan memberikan
dampak pada pelanggaran hak-hak remaja putri karena menghalangi seorang
remaja putri dari kebebasan, kesempatan untuk membangun diri dan hak-hak
lainnya termasuk hak atas kesehatan alat reproduksi, kesejahteraan, pendidikan
maupun partisipasi dalam masyarakat. Masalah-masalah yang ditimbulkan tidak
lain dilatarbelakangi oleh rendahnya pemahaman dan pengetahuan orangtua,
remaja maupun masyarakat terkait masalah tersebut. Penelitian Achmad (2011)
menyebutkan bahwa pernikahan dini yang terjadi pada remaja putri di Indonesia
tidak lain dipengaruhi oleh faktor-faktor pendorong. Faktor-faktor tersebut
memberikan dorongan atau motif remaja untuk menikah dini. Oleh karena itu,
menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis faktor-faktor apa yang
mempengaruhi motif remaja putri perdesaan dalam menikah dini?
Masa remaja merupakan masa yang penting dalam perjalanan kehidupan
manusia. Golongan umur ini penting karena menjadi jembatan antara masa kanakkanak yang bebas menuju masa dewasa yang menuntut tanggung jawab. Santrock
(1998) menyebutkan bahwa pada masa tersebut seorang individu dipandang
sedang mengalami masa evaluasi dan penentuan statusnya di masa depan.

4

Pernikahan dini yang marak terjadi pada remaja putri perdesaan merujuk pada
perilaku sosial masyarakat yang dimaknai secara bersama. Pemaknaan tersebut
berkaitan dengan pemaknaan individu remaja terhadap identitas dirinya maupun
identitas sosialnya. Perilaku sosial tersebut dipengaruhi oleh dorongan atau motifmotif individu remaja dalam menikah dini. Keberadaan remaja sebagai individu
yang berada pada masa transisi dengan segala motif individu yang mendorong
perilaku sosialnya tersebut berkaitan dengan pemaknaan atas diri maupun
sosialnya. Oleh karena itu, menjadi penting bagi peneliti untuk menganalisis
bagaimana pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang melakukan
pernikahan dini?

Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah penelitian, maka secara umum penelitian
ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh pernikahan dini terhadap pembentukan
identitas remaja putri perdesaan. Secara khusus, tujuan yang ingin dicapai dari
penelitian ini adalah:
1. Menganalisis motif-motif yang mempengaruhi remaja putri perdesaan
dalam menikah dini.
2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi motif remaja putri
perdesaan dalam menikah dini.
3. Menganalisis pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang
melakukan pernikahan dini.

Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai kajian
pernikahan dini dan pembentukan identitas remaja putri perdesaan yang menikah
dini. Secara spesifik penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi beberapa
pihak, diantaranya adalah:
1. Bagi akademisi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan pustaka dalam khasanah
penelitian mengenai pernikahan dini dan pembentukan identitas remaja bagi
akademisi yang ingin mengkaji lebih jauh mengenai pernikahan dini dan
pembentukan identitas remaja.
2. Bagi pembuat pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah
khususnya BKKBN dalam pembuatan kebijakan yang tepat terkait penekanan
jumlah pernikahan dini dalam rangka menangani jumlah penduduk. Penelitian
ini juga diharapkan dapat dijadikan rujukan dalam memahami pembentukan
identitas pada remaja guna membangun generasi bangsa yang beridentitas.
3. Bagi pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai faktorfaktor menikah dini, motif remaja dalam menikah dini dan kaitan hubungan
pernikahan dini terhadap pembentukan identitas remaja.

5

PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka

Pernikahan Dini
Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 No.1 Pasal 1 menyebutkan bahwa
perkawinan merupakan suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita untuk membentuk rumah tangga atau keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Penjelasan lebih lanjut pada pasal
7 ayat 1 bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas)
tahun. Berdasarkan definisi tersebut, Landung dkk (2009) menyimpulkan bahwa
pernikahan yang dilaksanakan pada usia yang melanggar aturan undang-undang
perkawinan disebut dengan istilah pernikahan dini. Sejalan dengan definisi
tersebut, NGO (2002) menyebutkan bahwa Pernikahan dini merupakan
pernikahan yang dilakukan gadis remaja pada usia 11-16 tahun.
Batasan usia yang lebih tua terkait pernikahaan dini dijelaskan oleh
Bayisenge (2010), pernikahan dini adalah pernikahan yang terjadi pada gadis di
bawah usia 18 tahun (baik resmi maupun tidak resmi). Definisi tersebut sejalan
dengan definisi pernikahan dini yang dijelaskan oleh UNICEF (2001), early
marriage atau pernikahan dini ialah pernikahan yang dilakukan gadis remaja pada
usia kurang dari 18 tahun, dimana belum adanya kesiapan baik fisik maupun
psikologi dari gadis tersebut. Penelitian Jannah (2012) juga menyebutkan bahwa
pernikahan dini yang terjadi merupakan pernikahan yang dilakukan gadis remaja
pada usia terlalu muda, sehingga tidak ada/kurang ada kesiapan biologis,
psikologis maupun sosial. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka dalam
penelitian ini yang dimaksud dengan pernikahan dini merupakan pernikahan yang
dilakukan oleh gadis remaja di bawah usia 18 tahun, dimana belum adanya
kesiapan fisik, psikologi maupun sosial.
Penelitian Jannah (2012) menyebutkan bahwa dari segi psikologi,
sosiologi maupun hukum Islam, pernikahan dini terbagi menjadi dua kategori,
yakni:
1. Pernikahan dini asli yaitu pernikahan di bawah umur yang benar murni
dilaksanakan oleh kedua belah pihak (baik laki-laki maupun perempuan)
untuk menghindarkan diri dari dosa tanpa adanya maksud semata-mata
hanya untuk menutupi perbuatan zina yang telah dilakukan oleh kedua
mempelai.
2. Pernikahan dini palsu yaitu pernikahan di bawah umur yang pada
hakekatnya dilakukan sebagai kamuflase dari moralitas yang kurang etis
dari kedua mempelai. Pernikahan ini dilakukan hanya untuk menutupi
perzinaan yang pernah dilakukan oleh kedua mempelai dan berakibat
adanya kehamilan. Ketika terjadi fenomena pernikahan seperti ini,
tampaknya antara anak dan kedua orang tua bersama-sama melakukan
semacam “manipulasi” dengan cara melangsungkan pernikahan yang mulia
dengan maksud untuk menutupi aib yang telah dilakukan oleh anaknya.

6

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pernikahan Dini
Achmad (2011) menyebutkan bahwa fenomena pernikahan dini yang
banyak terjadi di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu
diantaranya adalah faktor pergaulan bebas di kalangan remaja. Namun, Ahmad
(2011) juga menyebutkan masih terdapat beberapa faktor lainnya yang kuat dalam
mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Pernikahan dini yang terjadi berkaitan
dengan keadaan sosio ekonomi remaja yakni meliputi tingkat pendidikan remaja,
tingkat pendidikan orangtua, dan status ekonomi keluarga. Tingkat pendidikan
merupakan faktor penting dalam logika berpikir untuk menentukan perilaku
menikah di usia muda, perempuan yang berpendidikan rendah pada umumnya
menikah dan memiliki anak di usia muda (Widhaningrat dan Wiyono 2005).
Penelitian Landung dkk (2009) menjelaskan bahwa rendahnya tingkat pendidikan
orang tua, menyebabkan adanya kecenderungan mengawinkan anaknya yang
masih di bawah umur. Hal tersebut berkaitan dengan rendahnya tingkat
pemahaman dan pengetahuan orangtua terkait kesehatan reproduksi pada remaja
putri maupun dampak yang akan ditimbulkan dari pernikahan dini. Jannah (2012)
menegaskan bahwa rendahnya pendidikan merupakan salah satu pendorong
terjadinya pernikahan dini. Para orang tua yang hanya bersekolah hingga tamat
SD merasa senang jika anaknya sudah ada yang menyukai, dan orang tua tidak
mengetahui adanya akibat dari pernikahan di usia muda ini.
Penelitian Landung dkk (2009) menemukan bahwa adanya keinginan pada
remaja untuk dapat membantu perekonomian keluarga. Faktor ini berhubungan
dengan rendahnya tingkat ekonomi keluarga. Keadaan sosial ekonomi keluarga
yang rendah dimana orang tua tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan keluarga secara optimal sehingga mendorong remaja untuk
memutuskan menikah diusia dini. Sejalan dengan hal itu, Jannah (2012)
menjelaskan dalam penelitiannya bahwa para orang tua yang menikahkan anaknya
pada usia muda mengganggap bahwa dengan menikahkan anaknya, maka beban
ekonomi keluarga akan berkurang satu. Hal ini berkaitan dengan faktor ekonomi
keluarga, dimana pernikahan dini dianggap sebagai cara meringankan beban
keluarga. Anggapan bahwa jika seorang remaja putri sudah menikah, maka akan
tanggung jawabnya akan dialihkan kepada suaminya. Bahkan para orang tua yang
menikahkan anaknya di usia dini juga berharap jika anaknya sudah menikah akan
dapat membantu meningkatkan kehidupan orang tuanya.
Faktor selanjutnya yang mempengaruhi pernikahan dini pada remaja putri
ialah faktor biososial yang meliputi umur menstruasi pertama. Menstruasi pertama
merupakan salah satu tanda bahwa seorang gadis berada pada masa pubertas.
Masa pubertas merupakan masa yang disertai dengan perubahan-perubahan fisik
yang mempengaruhi perkembangan kehidupan seksual seorang remaja (Zai 2012).
Terjadinya menstruasi merupakan awal berfungsinya organ-organ reproduksi
seorang remaja. Apabila remaja tidak memiliki pengetahuan yang baik dan benar,
maka hal ini dapat menjadi sumber masalah bagi remaja terkait perilaku
seksualnya (Soejoeti 2001). Terutama bagi remaja putri, ini memiliki arti bahwa
seorang remaja putri sudah dapat mengalami kehamilan. Jika terjadi kehamilan
yang tidak diinginkan, maka pernikahan dini cenderung menjadi pilihan jalan
keluar. Hal tersebut menunjukkan bahwa umur menstruasi pertama mempercepat

7

remaja memiliki pengalaman seksual dini yang menyebabkan kehamilan,
sehingga menggiring remaja perempuan ke dalam pernikahan dini.
Penelitian Zai (2012) menemukan bahwa umur menstruasi pertama yang
semakin cepat akan mempercepat seorang remaja memasuki pernikahan. Dengan
demikian, pernikahan dini rawan terjadi pada remaja dengan umur menstruasi
pertama yang cepat. Masih terdapatnya nilai budaya yang menganggap
kedewasaan seorang perempuan diukur dari kemampuannya untuk dapat
melahirkan seorang anak yang ditandai dengan menstruasi pertama,
mengakibatkan kejadian pernikahan dini lebih cepat terjadi pada remaja dengan
umur menstruasi pertama cepat. Sebagaimana yang terjadi pada remaja putri di
Afrika, penelitian Bayisenge (2010) menunjukkan masih terdapat budaya mutilasi
alat kelamin perempuan yang sudah menstruasi dan belum menikah sebagai cara
untuk mengontrol perilaku seks remaja putri. Oleh karena itu, tidak sedikit
orangtua akan segera menikahkan anak gadisnya sebagai perlindungan utama dari
budaya yang ada terkait perilaku seks remaja yang sudah mengalami menstruasi
pertama.
Penelitian Landung dkk (2009) menyebutkan bahwa keberadaan budaya lokal
(Parampo Kampung) pada masyarakat kecamatan Sanggalangi Kabupaten Tana
Toraja memberi pengaruh besar terhadap pelaksanaan pernikahan dini, sehingga
masyarakat tidak memberikan pandangan negatif terhadap pasangan yang
melangsungkan pernikahan meskipun pada usia yang masih remaja. Hal ini yang
menyebabkan kaum pemuka adat tidak merniliki kemampuan untuk dapat
mengatur sistem budaya yang mengikat bagi warganya dalam melangsungkan
perkawinan karena batasan tentang seseorang yang dikatakan dewasa masih
belum jelas. Menurut Hasyim dikutip Jannah (2012) menyebutkan bahwa dalam
konteks Indonesia pernikahan lebih condong diartikan sebagai kewajiban sosial
dari pada manifestasi kehendak bebas setiap individu. Suhadi (2012) menjelaskan
bahwa dalam masyarakat yang pola hubungannya bersifat tradisional, pernikahan
dipersepsikan sebagai suatu “keharusan sosial” yang merupakan bagian dari
warisan tradisi dan dianggap sakral. Cara pandang tradisional terhadap
perkawinan sebagai kewajiban sosial, tampaknya memiliki kontribusi yang cukup
besar terhadap fenomena pernikahan dini yang terjadi di Indonesia.

Perilaku dan Motif Perilaku
Sebagaimana diketahui perilaku atau aktivitas yang ada pada itu tidak timbul
dengan sendirinya, tetapi merupakan akibat dari rangsangan yang diterimanya
baik dari luar maupun dari dalam dirinya. Walgito (1999) menyebutkan bahwa
perilaku atau aktivitas-aktivitas individu dalam pengertian yang luas merupakan
respon dari stimulus. Skinner yang dikutip Walgito (1999) membedakan perilaku
menjadi (a) perilaku yang alami (innate behavior), (b) perilaku operan (operant
behavior). Perilaku alami yaitu yang dibawa sejak organisme dilahirkan, yaitu
yang berupa refleks-refleks dan insting-insting, sedangkan perilaku operan yaitu
perilaku yang dibentuk melalui proses belajar.
Skinner yang dikutip Notoadmodjo (2003) menjelaskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar.
Perilaku ini terjadi melalui proses stimulus terhadap organisme dan kemudian

8

organisme tersebut merespon. Respon yang muncul dipengaruhi oleh karakteristik
atau faktor lain dari individu yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun stimulus yang diberikan sama, namun respon yang akan memunculkan
berbeda pada masing-masing individu. Notoadmojdo (2003) menjelaskan bahwa
terdapat empat hal-hal pokok yang mendorong seseorang berperilaku:
1. Pemikiran dan perasaaan yakni dalam bentuk pengetahuan, persepsi, sikap,
kepercayaan dan penilaian terhadap objek.
2. Orang penting sebagai referensi, apabila seseorang itu penting untuknya,
maka apa yang ia katakan atau berbuat cenderung dicontoh.
3. Sumber-sumber daya, mencakup fasilitas, uang, waktu, tenaga dan
sebagainya semua itu berpengaruh terhadap perilaku seseorang.
4. Perilaku normal, kebiasaan, nilai-nilai dan penggunaan sumber-sumber di
dalam suatu masyarakat akan menghasilkan suatu pola hidup (way or life)
yang pada umum disebut kebudayaan.
Salah satu kekuatan yang ada pada diri individu sehingga individu bertindak
atau berperilaku tertentu adalah adanya motif atau penggerak. Motif adalah apa
yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, motif dapat dikatakan
sebagai daya penggerak dalam diri dan di dalam subjek untuk melakukan
aktivitas-aktivitas tertentu demi mencapai suatu tujuan (Sardiman dikutip Rusiani
2013). Motif timbul dilatarbelakangi oleh keberadaan kebutuhan individu
terhadap hal tertentu, oleh Maslow yang dikutip Santoso (2010) motif dibagi
menjadi lima macam, yakni:
1. Physiological Needs (kebutuhan fisiologi)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari kebutuhan
yang berhubungan dengan kondisi tubuh seperti pangan, sandang, papan,
maupun kebutuhan akan seks.
2. Safety Needs (kebutuhan rasa aman)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya yang berkenaan dengan keamanan dan keselamatan seperti
perlakuan adil, pengakuan hak dan kewajiban, dan jaminan keamanan.
3. Social Needs (kebutuhan sosial)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya untuk memiliki hubungan sosial yang baik dengan individu
lain. Individu berusaha mencari kasih sayang, persahabatan, penerimaan
dan perhatian. Contoh dari kebutuhan ini ialah diakui sebagai anggota dan
dianggap berpartisipasi.
4. Ego and Esteem Needs (kebutuhan penghargaan)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya yang berfokus pada ego, status, harga diri, dikenal, percaya
diri, dan gengsi individu setelah melakukan kegiatan seperti dihargai,
dipuji, dan dipercaya.
5. Self-actualization Needs (kebutuhan aktualisasi diri)
Suatu dorongan berperilaku pada diri individu yang berasal dari
kebutuhannya untuk tumbuh dan berkembang dengan potensi diri
sepenuhnya. Individu akan mengembangkan diri dan berprestasi sebaik
mungkin sesuai dengan potensi diri sepenuhnya seperti kebutuhan
menyesuaikan diri dengan situasi.

9

Penelitian Rusiani (2013) menjelaskan kaitan teori ini dengan fenomena
pernikahan dini yang terjadi pada masyarakat Desa Girikarto, Kabupaten Gunung
Kidul. Rusiani (2013) menemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi disebabkan
oleh motif fisiologi dan motif rasa aman, yakni dorongan pribadi individu pelaku
untuk memenuhi kebutuhan dasar sebagai manusia, yakni kebutuhan akan seks,
kebutuhan ekonomi, dan kebutuhan keamanan dari pergaulan bebas yang terjadi
di kalangan remaja desa. Penelitian lain yang dilakukan oleh NGO (2002)
menemukan bahwa pernikahan dini yang terjadi pada gadis Hmong di Amerika
disebabkan oleh motif sosial dan penghargaan, dimana pernikahan dini yang
terjadi di dorong dari kebutuhan akan pengakuan sebagai individu yang dewasa
dan bebas dalam menentukan pilihan hidup baik di mata masyarakat Hmong
maupun di mata masyarakat Amerika. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka
yang dimaksud perilaku menikah dini dalam penelitian ini adalah suatu respon
dari stimulus melalui proses belajar yang di dorong oleh motif-motif untuk
memenuhi kebutuhan fisiologi, rasa aman, sosial, penghargaan dan aktualisasi
diri.

Remaja
Hall dikutip Santrock (1998) menganggap masa remaja merupakan masa
topan-badai dan stres (storm and stress). Hal tersebut disebabkan pada masa
tersebut seorang individu sedang mengalami masa pergolakan yang diwarnai
dengan konflik dan perubahan suasana hati. Pada masa tersebut pula seorang
remaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan nasib diri sendiri. Lebih
lanjut Santrock (1998) menjelaskan bahwa pada masa tersebut seorang individu
dipandang sedang melalui masa evaluasi, pengambilan keputusan, komitmen, dan
menentukan statusnya kedepan.
Istilah remaja atau adolescence berasal dari bahasa Latin, yakni
adolescentia yang berarti masa muda. Pada masa muda, seorang individu sedang
berada pada masa transisi/peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa
yang ditandai dengan adanya perubahan aspek fisik, psikis dan psikososial
(Dariyo 2004). Marcia yang dikutip Sprinthall dan Collins (2002) menyatakan
bahwa pada umumnya penggolongan remaja dibagi menjadi tiga tingkatan, yaitu
remaja awal (11-15 tahun), remaja menengah (16-18 tahun), dan remaja akhir (1921 tahun). Seorang remaja mencapai tugas-tugas perkembangannya dapat
dipisahkan menjadi tiga tahap secara berurutan:
a. Masa Remaja Awal
Masa remaja awal adalah masa remaja dengan usia 11-15 tahun. Secara
umum individu telah memasuki pendidikan di bangku sekolah menengah
tingkat pertama (SMP). Masa ini remaja mengalami perubahan fisik yang
sangat drastis, misal pertambahan berat badan, tinggi badan, panjang organ
tubuh dan pertumbuhan fisik yang lainnya. Pada masa remaja awal memiliki
karakteristik sebagai berikut lebih dekat dengan teman sebaya, lebih bebas,
lebih banyak memperhatikan keadaan tubuhnya dan mulai berpikir abstrak.
b. Masa Remaja Menengah
Masa remaja menengah adalah masa remaja dengan usia sekitar 16-18
tahun. Umumnya individu pada masa ini sudah duduk di sekolah menengah

10

atas (SMA) dan berkeinginan mencapai kemandirian dan otonomi dari
orangtua, terlibat dalam perluasan pertemanan dan keintiman dalam sebuah
hubungan pertemanan. Masa remaja menengah ini memiliki karakteristik
sebagai berikut mencari identitas diri, timbulnya keinginan untuk kencan,
mempunyai rasa cinta yang mendalam, mengembangkan kemampuan berpikir
abstrak, dan berkhayal tentang aktifitas seks. Remaja pada usia ini sangat
tergantung pada penerimaan dirinya di kelompokyang sangat dibutuhkan untuk
identitas dirinya dalam membentuk gambaran diri.
c. Masa Remaja Akhir
Masa remaja akhir adalah masa remaja dengan usia 19-21 tahun. Remaja
pada fase ini, umumnya remaja sudah memasuki dunia perguruan tinggi atau
lulus SMA dan mungkin sudah bekerja. Individu pada masa ini fokus pada
persiapan diri untuk lepas dari orangtua menjadi kemandirian yang ingin
dicapai, membentuk pribadi yang bertanggungjawab, mempersiapkan karir
ekonomi, dan membentuk ideologi pribadi. Karakteristik dalam kelompok ini
adalah sebagai berikut pengungkapan identitas diri, lebih selektif dalam
mencari teman sebaya, mempunyai citra jasmani dirinya, dapat mewujudkan
rasa cinta, dan mampu berpikir abstrak.

Identitas Diri
Erikson yang dikutip oleh Purba (2012), identitas merupakan perasaan
subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu, dalam
berbagai tempat dan berbagai situasi sosial, seseorang masih memiliki perasaan
menjadi orang yang sama, sehingga, orang lain yang menyadari kontinuitas
karakter individu tersebut dapat merespon dengan tepat. Sejalan dengan definisi
tersebut, Erikson yang dikutip Deaux (2001) menyebutkan bahwa identitas diri
adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak
terlarut dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar,
atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai
dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan
orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin
menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang.
Menurut Waterman yang dikutip Purba (2012) menyebutkan bahwa
identitas memiliki arti sebagai gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan
yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut.
Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena
tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk
memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup individu. Sejalan dengan definisi
tersebut, Baron dan Byrne (2003) menjelaskan bahwa identitas diri sangat
berhubungan erat dengan konsep self. Konsep self merupakan identitas diri
seseorang sebagai sebuah skema dasar yang terdiri dari kumpulan keyakinan dan
sikap terhadap diri sendiri yang terorganisir. Self memberikan sebuah kerangka
berpikir yang menentukan bagaimana kita mengolah informasi tentang diri kita
sendiri termasuk motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan, dan
banyak hal lainnya.

11

Marcia yang dikutip Walgito (1999) mengatakan bahwa identitas diri
merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu.
Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar
individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar
akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya,
jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber
eksternal untuk evaluasi diri. Berdasarkan definisi-definisi tersebut maka yang
dimaksud dengan identitas diri merupakan pemaknaan diri individu terkait citacita, imajinasi dan ide-ide pribadi, nilai-nilai moral pribadi dan kesadaran akan
keunikan diri yang berkaitan dengan peran yang dijalankan.

Identitas Sosial
Identitas sosial merupakan sebuah definisi diri yang memandu bagaimana
kita mengkonseptualisasi dan mengevaluasi diri sendiri. Identitas sosial mencakup
banyak karakteristik unik, seperti nama, konsep diri, jenis kelamin, gender,
hubungan interpersonal (anak, perempuan, orangtua, dll), afiliasi politik atau
ideologi (feminis, demokrat, dll), atribut khusus (homoseksual, pintar,
keterbelakangan mental, dll) dan identitas etnik atau religius (Katolik, Muslim,
Orang Minangkabau, dll) (Deaux 2001). Selain itu, Baron dan Bryne (2003)
menyebutkan bahwa identitas sosial adalah definisi seseorang tentang siapa
dirinya, termasuk atribut personal dan atribut yang dibaginya dengan oranglain
seperti gender dan ras.
Castells (2010) mendefinisikan identitas sosial sebagai aspek yang ada pada
individu terkait dirinya sendiri yang didapatnya dari kategori sosial tempat ia
berada. Identitas sosial merupakan semua identitas dikonstruksikan atau dibentuk
oleh sejarah, letak geografis, biologis, institusi-institusi produkif, collective
memory dan fantasi personal serta kekuasaan dari aparatur-aparatur dan syariah
keagamaan (kitab). Oleh karena itu, identitas sosial memiliki sifat majemuk /
jamak (plurality of identites), karena identitas sosial merupakan sumber
pemaknaan dan pengalaman serta atribut kultural yang diperuntukkan bagi
seseorang individu atau kumpulan aktor (collective actor). Sejalan dengan
definisi tersebut, Jackson dan Smith (1999) dikutip Baron dan Bryne (2003)
menyebutkan bahwa identitas sosial dapat dikonseptualisasikan paling baik dalam
empat dimensi, yakni persepsi dalam konteks antarkelompok (hubungan antara
seseorang dengan grup lain yang menjadi perbandingan bagi diri individu), daya
tarik in-group (afek yang ditimbulkan dari in-group kepada diri individu),
keyakinan yang saling terkait (norma dan nilai yang menghasilkan tingkahlaku
anggota kelompok ketika mereka berusaha mencapai tujuan dan berbagi
keyakinan yang sama), depersonalisasi (definisi diri individu terhadap dirinya
sebagai bagian dari kategori sosial yang ada di lingkungan sosialnya).
Banyak kategori yang menyusun identitas sosial terkait dengan dunia
interpersonal. Kategori tersebut mengindikasikan sejauh mana individu serupa dan
tidak serupa dengan oranglain disekitar kita. Adapun komponen yang terdapat
dalam identitas sosial adalah the self (konsep diri), dan konsep diri sosial. Konsep
diri merupakan kumpulan keyakinan dan persepsi diri terhadap diri sendiri yang
terorganisir. Artinya konsep diri memberikan sebuah kerangka berpikir yang

12

menentukan bagaimana individu mengolah informasi tentang dirinya sendiri,
termasuk didalamnya motivasi, keadaan emosional, evaluasi diri, kemampuan dan
banyak hal lainnya. Konsep diri sosial merupakan suatu identitas kolektif yang
meliputi hubungan interpersonal dan aspek-aspek identitas yang datang dari
keanggotaannya dalam suatu kelompok, seperti ras, etnis dan budaya (Baron dan
Bryne 2003). Berdasarkan definisi-definisi tersebut, maka definisi identitas sosial
dalam penelitian ini adalah suatu pemaknaan diri sosial terkait kesadaran diri akan
kesamaan perilaku dengan suatu kelompok, kesadaran akan kewajiban menjaga
nama baik kelompok, kepatuhan terhadap adat istiadat dan moral yang berlaku di
dalam kelompok dimana individu tinggal.

Kerangka Penelitian
Menurut Skinner yang dikutip Notoadmodjo (2003), perilaku merupakan
respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus rangsangan dari luar. Respon yang
muncul dipengaruhi oleh karakteristik individu maupun faktor-faktor luar dari
individu yang bersangkutan. Salah satu kekuatan yang ada pada diri individu
sehingga individu bertindak dan berperilaku tertentu adalah keberadaan motif
yang dimiliki oleh individu. Perilaku menikah dini merupakan suatu perilaku
operan yang dipelajari remaja melalui proses belajar dari lingkungan. Perilaku
menikah dini yang dilatarbelakangi oleh motif individu yang diduga berkaitan
dengan keberadaan faktor-faktor pendorong menikah dini pada remaja.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Zai (2012) menyebutkan
bahwa terdapat tiga faktor utama yang mempengaruhi kejadian menikah dini di
kalangan remaja desa, yakni karakteristik sosio ekonomi, biososial, dan
lingkungan. Karakteristik sosio ekonomi merujuk pada tingkat pendidikan remaja,
tingkat pendidikan orangtua, pekerjaan orangtua dan status ekonomi keluarga.
Tingkat pendidikan remaja dan orangtua berhubungan dengan pola pikir yang
dimiliki terkait dampak yang akan ditimbulkan dari pernikahan dini. Rendahnya
tingkat pendidikan tersebut diduga mempengaruhi keputusan dan motif remaja
dalam menikah dini. Rendahnya status ekonomi keluarga diduga mempengaruhi
keputusan orangtua maupun remaja putri untuk menikah dini guna membantu
orangtua dalam meringankan beban keluarga. Karakteristik lingkungan dalam hal
ini merujuk pada keyakinan terhadap norma, nilai dan kepercayaan yang diyakini
bersama di lingkungan sosial remaja. Diduga keyakinan remaja terhadap norma
yang ada mempengaruhi motif remaja untuk melakukan pernikahan di usia dini.
Selain itu, umur menstruasi pertama pada remaja putri diduga mempengaruhi
pernikahan dini yang terjadi. Hal tersebut berkaitan dengan motif remaja dalam
memenuhi kebutuhan seksualnya. Menstruasi yang telah dialami remaja putri
berkaitan dengan status kedewasaan dan kemampuannya untuk melahirkan.
Motif perilaku menikah dini yang beragam pada individu remaja putri
perdesaan diduga memiliki hubungan dengan pembentukan definisi diri remaja
sebagai individu yang unik maupun definisi diri remaja sebagai bagian dari
masyarakat. Hal tersebut merujuk pada pembentukan identitas diri maupun sosial
pada remaja. Sehingga diduga motif perilaku menikah dini diduga memiliki
hubungan secara signifikan terhadap pembentukan identitas remaja perdesaan.
Oleh karena itu, kerangka penelitian di bawah ini menggambarkan adanya

13

hubungan pengaruh antara karakteristik sosio ekonomi, biososial dan lingkungan
terhadap motif menikah dini pada remaja. Serta menggambarkan adanya
hubungan antara motif menikah dini terhadap pembentukan identitas remaja putri
perdesaan.
Variabel yang diuji hubungan maupun pengaruhnya yaitu variabel faktorfaktor pernikahan dini, variabel motif menikah dini dan variabel pembentukan
identitas sosial remaja putri. Variabel faktor-faktor penikahan dini yang dimaksud
dalam penelitian ini ialah tingkat pendidikan remaja, tingkat pendidikan orangtua,
pekerjaan orangtua, status ekonomi keluarga, umur menstruasi pertama remaja,
dan keyakinan terhadap norma. Variabel faktor-faktor pernikahan dini tersebut
diuji hubungan pengaruhnya terhadap motif menikah dini pada remaja.
Selanjutnya, variabel motif menikah dini dihubungkan terhadap pembentukan
identitas (diri dan sosial) remaja putri yang menikah dini. Adapun keterkaitan