Pengaruh Tingkat Ekonomi Keluarga Terhadap Kenakalan Dan Kejahatan Anak Dintinjau Dari Aspek Hukum Perlindungan Anak (Studi di Pusat Kajian Perlindungan Anak)

(1)

PENGARUH TINGKAT EKONOMI KELUARGA TERHADAP

KENAKALAN DAN KEJAHATAN ANAK DINTINJAU DARI

ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN ANAK

(

Studi di Pusat Kajian Perlindungan Anak

)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH

RAHMAT ALFIAN PANGGABEAN NIM : 070200005

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH TINGKAT EKONOMI KELUARGA TERHADAP KENAKALAN DAN KEJAHATAN ANAK DITINJAU DARI ASPEK

HUKUM PERLINDUNGAN ANAK

(Studi di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Guna Memenuhi Syarat Dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Oleh :

RAHMAT ALFIAN PANGGABEAN NIM : 070200005

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Dr. M. Hamdan. SH. MH NIP. 19570326198601001

Telah diperiksa dan disetujui oleh :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Madiasa Ablisar S.H. MH Edi Yunara S.H. M.Hum NIP. 196104081986011002 NIP. 195908131989031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Segala hormat, dan puji syukur, Penulis ucapan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkat dan rahmatNya Penulisan dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Adapun tujuan penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

Judul Skripsi ini adalah “PENGARUH TINGKAT EKONOMI KELUARGA TERHADAP KENAKALAN DAN KEJAHATAN ANAK

DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERLINDUNGAN ANAK”. (Studi di

Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan)

Penulis telah menggerakkan segala kemampuan yang dimiliki dalam penulisan skripsi ini. Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan skripsi penulis ini. Akan tetapi Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak luput dari segala kekurangan bahkan mungkin masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu tidak tertutup untuk segala bentuk kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, dengan segala hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H,. M. Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M. Hum; Bapak Syafrudin Hasibuan, S.H,. M.H, DFM; dan Bapak Husni, S.H.,M. Hum; selaku


(4)

Pembantu Deka I dan Pembantu Dekan II dan Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

3. Bapak Dr. M. Hamdan. SH. MH, selaku ketua Departemen Hukum Pidana, yang telah banyak membantu dalam penulisan skripsi ini.

4. Ibu Liza Ewina, S.H. MH, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana, yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. 5. Bapak Dr. Madiasa Ablisar S.H. MH, selaku Pembimbing I, yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing, mengarahkan dan memeriksa skripsi agar lebih baik.

6. Bapak Edi Yunara S.H. M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II, yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan arahan serta memberikan masukan-masukan dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Azwar Mahyuzar S.H, selaku Dosen Wali yang telah banyak membantu dalam pengurusan perkuliahan selama menuntut ilmu di Fakultas tercinta ini.

8. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen dan Staf Pengajar Fakultas Hukum yang telah memberikan ilmunya serta mendidik dan membimbing Penulis selama mengikuti perkuliahannya sampai penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum dengan baik, serta Bapak dan staf administrasi (Pegawai Tata Usaha) sehingga Penulis dapat menyelesaikan urusan-urusan administrasi dengan baik.


(5)

9. Bapak dan Ibu staf perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, yang telah membantu dalam memberikan bahan penulisan skipsi ini.

10. Ibu Azmiati S.H ( Kordinator pada Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan) beserta Staff, yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan riset an diskusi di Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan. 11. Secara khusus Penulis juga ingin, mengungkapkan penghargaan dan penghormatan serta menghanturkan ribuan terimakasih kepada seluruh keluargaku:

a. Ayahanda tercinta Masito Panggabean Penulis mengucapkan terimakasih kepada ayah, disamping ayah adalah orang tua Penulis ayah juga telah memberikan inspirasi dan menjadi panutan penulis dari dulu, kini hingga di masa-masa yang akan datang.

b. Ibunda tersayang Tenni Marbun atas segala kasih sayang, cinta, nasehat doa dan perjuanganmu yang tidak henti-hentinya hingga Penulis bisa menjadi seperti ini. Apa jadinya aku tanpa kesabaran, ketabahanmu, doamu terus memayungiku dalm menghadapi kerasnya hidup ini. Bunda, melalui skipsi ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya, meskipun ini hanyalah skripsi yang jauh dari layak, tapi Penulis percaya dikemudian hari aku akan dapat berbuat suatu yang lebih baik lagi yang bisa membuatmu bangga.


(6)

c. Buat Dewi Yusriati, Spd, kak walaupun kita sering banyak berselisih namun banyak dorongan dari dirumu untuk aku penulis agar selalu ingat untuk serius kuliah, dan dengan adanya skipsi ini aku ingin mengucapkan banyak-banyak terimakasih atas dorongan dan masukan-masukannya, dan Penulis juga tak lupa mengucapkan untuk adik-adikku tersayang Febry, Zulfadli, Fitri, Andre terimakasih juga penulis ucapkan untuk kalian atas dukungan dan semangat dan dorongan serta doa-doanya yang adik-adik berikan untuk penulis..

12. Buat sahabat-sahabatku seperjuangan, Pesta, Jamron, Yusup, Syukur, dan sahabatku yang terbaik waktu SMA Pardamean B, Tumbur S terimaksih atas segala masukan dan arahannya; serta kepada seluruh teman-teman Grup A stambuk 2007 terimakasih kerena tetap memberikan dukungan dan semangatnya.

Medan, Agustus 2011


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… i

DAFTAR ISI ………. v

ABSTRAK……… vii

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ……… 1

B. Perumusan Masalah ……… 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 6

D. Keaslian Penulisan ……….. 8

E. Tinjauan Kepustakaan ………. 8

1. Pengertian Anak ……… 8

2. Pengertian Kejahatan dan Kenakalan ……….. 11

3. Pengertian Kejahatan Anak ………. 14

4. Pengertian Sosial Ekonomi ………. 17

5. Pengertian Keluarga ………..18

6. Pengertian Perlindungan Anak ……….... 20

F. Metode Penelitan ………...… 23

G. Sistematika Penulisan ……….... 25

BAB II. PENGATURAN SANKSI PIDANA ANAK DIBEBERAPA NEGARA SERTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK ANAK A. Pengaturan Sanksi Pidana di Beberapa Negara ……….… 26

a. Sanksi Pidana Anak dalam Pidana Indonesia ……….. 28

b. Sanksi Pidana Anak dalam Pidana Belanda ………,... 32

c. Sanksi Pidana Anak dalam Pidana Yugoslavia ……….….. 35

d. Sanksi Pidana Anak dalam Pidana Jepang ……….. 38

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Hak-haknya …….…….. 43

a. Hak-hak Anak yang Berlawanan dengan Hukum ……….…….. 43

b. Tujuan dan Pedoman Pemidanaan Anak ……….…... 45

c. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak ……….….. 48

d. Jenis-jenis Sanksi Bagi Anak ……….. 50

BAB III. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KENAKALAN DAN KEJAHATAN ANAK A. Faktor Internal ………... 54


(8)

a. Faktor Biologis ………... 54

b. Faktor Keluarga ………..………... 55

c. Faktor Pendidikan Individu ………..….. 57

d. Faktor Agama Individu ……….. 59

B. Faktor External ………...… 60

a. Faktor Sosial ……….….. 60

b. Faktor Lingkungan ………. 61

c. Faktor Media Massa. ……….. 63

d. Faktor Sekolah ………... 64

BAB IV. UPAYA MENANGGULANGI KENAKALAN DAN KEJAHATAN ANAK AKIBAT TINGKAT EKONOMI KELUARGA A. Upaya Penanggulangan dalam Sistem Pidana Indonesia …………. 67

1. Upaya Penal ……… 67

2. Upaya Non Penal ……… 68

B. Peranan Keluarga dalam Mengatasi Kenakalan dan Kejahatan Anak Akibat Tingkat Ekonomi Keluarga………... 72

C. Peranan Pemerintah dalam Menanggulangi Kenakalan Akibat Tingkat Ekonomi Keluarga ….………... 81

D. Peran Masyarakat dalam Menanggulangi Kenakalan Anak ..…... 82

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ……….... 85

B. Saran ……….. 87


(9)

ABSTRAKSI

Rahmat Alfian Panggabean*1 Mediasa Albisar**

Edi Yunara***

Pembangunan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup orang banyak, untuk itu pembangunan memerlukan sarana pendukung seperti trasportasi, komunikasi dan informasi, tetapi setiap pembangunan memiliki dampak positif dan negatife, adapun dampak negatife dari pembangunan antara lain pencurian, pembunuhan, anak yang berkonflik dengan hukum dan kemacetan lalu lintas. Anak yang berkonflik dengan hukum dalam bentuk yang pokok diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Pengadilan Anak Bab I, dalam pasal tersebut memuat yaitu: Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah : anak yang melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, maka diancam pidana pokok dan pidana tambahan dan selain pidana pokok dan tambahan itu dapat juga dijatuhkan sebagai Tindakan yang diberikan oleh Pemerintah.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana pengaturan dan penerapan kenakalan dan kejahatan Anak di Indonesia, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan dan kejahatan Anak, serta bagaimana penanggulangan kenakalan dan kejahatan Anak akibat tingkat Ekonomi. Pendekatan dalam penulisan ini adalah pendekatan secara normatif dan empiris. Sumber data yang digunakan adalah data yang sekunder dan data primer sebagai penunjang pengumpulan data dilakukan studi lapangan, studi pustaka dan wawancara kepada Kordinator PKPA Medan.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk penanggulangan kenakalan dan kejahatan anak dengan mendirikan sarana dan prasarana yang ada serta meningkatkan subsidi terhadap pusat-pusat industri kecil agar mereka dapat mengembangkan usahanya dan penyuluhan kepada petani sehingga dapat meningkatkan produksi dan mampu meluaskan usahanya dan pemerintah memberikan dukungan, maka pengangguran akan dapat diatasi.

Kepada pihak pemerintah dan para penegak hukum serta masyarakat agar memberikan kesempatan kepada anak muda untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat, menyerahkan mereka pada kegiatan menentukan keputusan penting demi keadilan yang lebih merata dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya, memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang lebih relevan dengan anak muda zaman sekarang.

*

Mahasiswa Departeman Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

**Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan ***Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan


(10)

ABSTRAKSI

Rahmat Alfian Panggabean*1 Mediasa Albisar**

Edi Yunara***

Pembangunan mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup orang banyak, untuk itu pembangunan memerlukan sarana pendukung seperti trasportasi, komunikasi dan informasi, tetapi setiap pembangunan memiliki dampak positif dan negatife, adapun dampak negatife dari pembangunan antara lain pencurian, pembunuhan, anak yang berkonflik dengan hukum dan kemacetan lalu lintas. Anak yang berkonflik dengan hukum dalam bentuk yang pokok diatur dalam Pasal 1 Undang-undang Pengadilan Anak Bab I, dalam pasal tersebut memuat yaitu: Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Anak nakal adalah : anak yang melakukan tindak pidana; atau anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan, maka diancam pidana pokok dan pidana tambahan dan selain pidana pokok dan tambahan itu dapat juga dijatuhkan sebagai Tindakan yang diberikan oleh Pemerintah.

Permasalahan dalam penulisan ini adalah bagaimana pengaturan dan penerapan kenakalan dan kejahatan Anak di Indonesia, dan faktor-faktor yang mempengaruhi kenakalan dan kejahatan Anak, serta bagaimana penanggulangan kenakalan dan kejahatan Anak akibat tingkat Ekonomi. Pendekatan dalam penulisan ini adalah pendekatan secara normatif dan empiris. Sumber data yang digunakan adalah data yang sekunder dan data primer sebagai penunjang pengumpulan data dilakukan studi lapangan, studi pustaka dan wawancara kepada Kordinator PKPA Medan.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk penanggulangan kenakalan dan kejahatan anak dengan mendirikan sarana dan prasarana yang ada serta meningkatkan subsidi terhadap pusat-pusat industri kecil agar mereka dapat mengembangkan usahanya dan penyuluhan kepada petani sehingga dapat meningkatkan produksi dan mampu meluaskan usahanya dan pemerintah memberikan dukungan, maka pengangguran akan dapat diatasi.

Kepada pihak pemerintah dan para penegak hukum serta masyarakat agar memberikan kesempatan kepada anak muda untuk beremansipasi dengan cara yang baik dan sehat, menyerahkan mereka pada kegiatan menentukan keputusan penting demi keadilan yang lebih merata dan peningkatan kesejahteraan rakyat pada umumnya, memberikan bentuk kegiatan dan pendidikan yang lebih relevan dengan anak muda zaman sekarang.

*

Mahasiswa Departeman Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

**Pembimbing I dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan ***Pembimbing II dan Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan


(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa sebagai titipan yang diberikan kepada orang tua, selain itu anak merupakan generasi penerus bangsa, yang akan bertanggung jawab atas eksistensi bangsa ini di masa yang akan datang. Sebagai negara yang bijak maka selayaknya hal tersebut dijadikan sebuah peringatan kepada bangsa ini, agar senantiasa menjaga generasi mudanya dari segala kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Pembinaan terhadap generasi muda harus selalu dilaksanakan dengan sebaik-baiknya demi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan mental serta perkembangan sosialnya.

Memelihara kelangsungan hidup anak adalah tanggung jawab orangtua, yang tidak boleh diabaikan. Pasal 45 UU No 1 Tahun 1974 Pokok-pokok Perkawinan, menentukan bahwa orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak-anak yang belum dewasa atau belum dapat berdiri sendiri. Orang tua merupakan orang yang pertama-tama bertanggaung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Arif Gosita

mengatakan bahwa anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta maupun pemerintahan) baik secara langsung maupun tidak langsung.2

2


(12)

Pada hakikatnya anak tidak dapat melindungi diri sendiri dari berbagai macam tindakan yang menimbulkan kerugian mental, fisik, sosial dalam bearbagai bidang kehidupan dan penghidupan. Anak harus dibantu oleh orang lain dalam melindungi dirinya, mengingat situasi dan kondisinya, khususnya dalam pelaksaan Peradilan Pidana Anak yang asing bagi dirinya. Anak perlu mendapat perlindungan kesalahan dari penerapan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan terhadap dirinya, yang menimbulkan kerugian mental, fisik, dan sosisial. Perlindungan anak dalam hal ini disebut perlindungan hukum/ Yuridis

Kondisi yang paling memungkinkan guna pencapaian hasil yang optimal atas cita-cita tersebut adalah terciptanya kondisi sosial yang kondusif, dan merupakan tanggung jawab negara dalam menciptakan kondisi yang semacam itu. Kondisi sosial yang kondusif selalu ditandai dengan perkembangan perekonomian yang merata di seluruh masyarakat yang ada, dan hal itu sudah barang tentu harus didukung oleh sebuah sistem hukum yang baik dalam mengawali pembangunan ekonomi yang baik.

Realitas sosial menunjukkan bahwa kondisi kondusif tersebut belum dapat diwujudakan oleh pemerintah, di tengah globalisasi yang terus melaju, negara ini nampaknya mengalami anomie kondisi di mana sosial kehilangan nilai dan patokan-patokan hidup. Pemenuhan ekonomi yang menjadi barometer kesuksesan hidup menyebabkan banyaknya penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh masyarakat dalam mencapainya, tidak terkecuali juga dilakukan oleh anak yang merupakan generasi muda bangsa ini. Dengan keadaan seperti itu maka


(13)

nampaknya penanganan anak harus menjadi perhatian yang serius. Namun demikian penanganan secara hukum terhadap anak harus pula memerhatikan sifat-sifat khas anak.

Penanganan terhadap perilaku menyimpang anak merupakan perhatian dunia. Adalah UNICEF badan dunia yang dibentuk oleh PBB yang diperuntukkan untuk menangani anak. UNICEF telah melakukan riset di seluruh dunia guna menemukan bagaimana menangani perilaku penyimpangan anak secara universal atau paling tidak menentukan patron yang tepat dalam pembentukan hukum perlindungan bagi anak bagi anak-anak di seluruh dunia. Namun demikian out put hukum perlindungan anak pada akhirnya digantungkan kepada kebijakan negara.3

Indonesia sendiri mengeluarkan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Aturan perundang-undangan tersebut merupakan bagian dari hukum pidana perlindungan anak.

Dua regulasi tersebut memiliki peran masing-masing dalam upaya memberikan perlindungan terhadap anak. Pada UU No. 3/1997 berfungsi melindungi anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini anak adalah pelaku tindak pidana tertentu, sedangkan pada UU No. 23/2002 berfungsi melindungi anak dalam konteks anak yang menjadi korban kejahatan. Dengan kedua regulasi tersebut diharapkan dapat menopang upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada anak.

3

UNICEF, Conventiom on The Rights of The Juvenile. Resolusi PBB No 44/25, 20 Nopember 1989


(14)

Perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda. Pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari Pembangunan Nasional dan juga menjadi sarana guna tercapainya tujuan Pembangunan Nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur serta aman dan sentosa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam ketertiban pergaulan internasional yang damai, adil dan merdeka.4

Sedangkan konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas, dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas jiwa dan raga sianak, tapi mencakup pula perlidungan atas semua hak serta kepentingannya yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang wajar, baik secara rohaniah, jasmani maupun sosialnya sehingga diharapkan Anak Indonesia akan berkembang menjadi orang dewasa Indonesia yang mampu dan mau berkarya untuk mencapai dan memelihara tujuan Pembangunan Nasional.5

Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundang-undangan. Kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak, pertama-tama didasarkan atas pertimbangan bahwa anak-anak merupakan golongan yang rawan dan dependent, disamping karena adanya golongan anak-anak yang mengalami

4

Penjelasan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

5


(15)

hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan, baik rohani, jasmani, maupun sosial.6

Perlindungan anak bermanfat bagi anak dan orang tuanya serta pemerintahnya, maka koordinasi kerja sama perlu diadakan dalam rangka mencegah ketidak seimbangan kegiatan perlindungan anak secara keseluruhan.7

Sehubungan denga hal ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara mengatakan :

” Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak bisa didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial, dan budaya.”8

Kejahatan yang terjadi di Indonesia beragam diantarnya, seorang guru mencabuli anak didiknya, seorang suami membunuh istrinya yang selingkuh, seorang kakek mencabuli cucunya, seorang anak melakukan pencurian HP akibat terdesak kebutuhan hidup, seorang saudara kandung merengguk kehormatan adiknya, seorang ayah kandung memperkosa anaknya yang masih dibangku sekolah dasar, seorang ibu (janda) memiliki dua orang anak melakukan pencurian disebuah supermarket di Tangerang karena alasan terdesak kebutuhan hidupnya yang terus meningkat, seorang anak pengamen menjambret dompet ibu-ibu yang sedang belanja, seorang anak yang berumur 15 tahun melakukan tindak pidana

6

Maidin Gultom. Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Refika Aditama.2010.hlm 35 7

Maidin Gultom. Tesis. Aspek Hukum Pencatatatan Kelahiran dalam Usaha Perlindungan Anak pada Kantor Catatan Sipil Kotamadya Medan. Medan: Program Pasca Sarjana USU, 1997, hlm 53

8

Abdul Hakim Garuda Nusantara. . Makalah “Proses Perlindungan Anak”. Jakarta: seminar perlindungan Hak-hak Anak, 1986, hlm. 22


(16)

pemerkosaan kepada 2 orang anak perempuan berumur 10 tahun bersama 5 orang temannya. Pelaku melakukan tindakannya setelah selesai menoton VCD porno sendiri.9 Siswi SMP Terpaksa Membayar Traktiran Semangkok Bakso Dengan Menyerahkan Keperawanannya, Siswi Pelajar SMP Diperkosa Sehari Semalam Oleh 9 Pemuda dan Hasilnya Direkam Pakai HP Untuk Kenang Kenangan, Makin Banyak ABG Putri Memilih Jadi Pelacur Karena Ingin Hidup Enak dan Mewah Tanpa Kerja Keras, Siswi Kelas 5 SD Diperkosa Di Sekolah Malakasari Oleh Dua Orang Teman Sekelasnya, Kejahatan seksual terhadap remaja putri di Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur cenderung meningkat, 6 Anak Usia 11-12 Tahun Pesta Seks dan Memperkosa Bocah Perempuan Balita di Palembang.10 Ruangan asing yang mengisolasinya dari kehidupan keluarga dan teman-temannya harus dihuni oleh Andang Pradika Purnama selama 52 hari. Keluguan wajahnnya belum bisa mengeja makna perlakuan yang diberikan kepadanya. Yang ia ingat sebelum menghuni ruangan tersebut ia telah mengambil dua ekor burung leci milik tetangganya. Pemilik burung tahu, lalu menangkap dan menyerahkannya kepada Pak Polisi. Sementara lima anak sebayanya di lampung ; Nanang, Madroni, Herman, Safrizal dan Samsudi mengalami nasib sama, harus meringkuk dalam tahanan selama 20 hari. Lima kurcaci yang baru kelas 3 SD itu harus menerima sanksi, karena ingin memiliki stiker yang ada dimobil Petrus, salah satu Direktur

9

Acara Reportase Pagi, Televisi Tranformasi Indonesia, Senin, Tanggal 9 Mei 2011 10

http://www.detiknews.com/read/2011/04/20/ya-ampun-sekumpulan-bocah-di-palembang-pesta-seks, diakses tanggal 04 Agustus 2011


(17)

Artomoro Plaza, Tnjung Karang, Lampung. Dan empat anak yang lain dituntut hukukman 9-11 hari karena telah mencuri kelapa sawit di Medan.11

Mengingat dalam kejadian-kejadian yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang ada didalam kehidupan masyarakat, maka timbul keinginan penulis untuk mengetahui secara mendalam lagi bagaimana bentuk perlindungan anak sebagai pelaku tindak pidana.

Berdasarkan latarbelakang di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul: ”PENGARUH TINGKAT EKONOMI KELUARGA TERHADAP KENAKALAN DAN KEJAHATAN ANAK DINTINJAU DARI ASPEK HUKUM PERLINDDUNGAN ANAK”

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah Pengaturan dan Penerapan Kejahatan dan Kenakalan Anak di Indonesia

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Kejahatan dan Kenakalan Anak?

3. Bagaimana Upaya Penanggulangan Kenakalan dan Kejahatan Anak akibat Tingkat Ekonomi Keluarga?

11


(18)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana pengaturan dan penerapan kejahatan dan kenakalan anak di Indonesia.

2. Untuk memahami faktor-faktor sosial ekonomi keluarga yang mempengaruhi kenakalan dan kejahatan anak serta memberikan jalan keluar untuk menanggulangi kenakalan dan kejahatan anak yang dewasa ini semakin meningkat.

3. Untuk menyadarkan semua pihak bahwa masalah kenakalan anak dewasa ini tetap merupakan persoalan actual dan tanggung jawab semua bangsa karena anak adalah aset bangsa yang potensial.

4. Untuk mengetengahkan mengenai arti pentingnya perlakuan khusus terhadap anak yang terlibat dalam tindak pidana sehingga dapat diharapkan dalam proses peradilan pidana. Hal ini demi upaya melindungi dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras, dan seimbang dalam perkembang kepribadiannya kelak.

Sedangkan manfaat penulisan ini sebagai berikut:

1. Secara teoritis, penelitian dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan hokum pidana di Indonesia.


(19)

2. Secara praktis, penulisan ini dapat menjadikan sumber pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya masyarakat agar dapat mengetahui permasalahan tentang kejahatan dan kenakalan anak yang merebak dimasyarakat ini.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan ini tentang “ Pengaruh Tingkat Ekonomi Keluarga Terhadap Kenakalan dan Kejahatan Anak ditinjau dari Aspek Hukum Perlindungan Anak”. Berdasarkan penelusuran kepustakaan dan dari media cetak, media massa ataupun eletronik, setelah sebelumnya penulis memeriksa bahwa belum pernah ada judul yang sama dengan skipsi ini.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Anak

Menurut Maulana Hasan Wadong

Pengertian anak di sini mencakup batas usia anak. Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk dapat disebut sebagai anak. Yang dimaksud dengan batas usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud kemampuan anak dalam status hukum.12

Untuk dapat disebut sebagai anak maka orang itu harus berada pada batas usia bawah atau usia minimum 0 (nol) tahun (terhitung dalam kandungan) sampai dengan batas usia atas atau usia maksimum 18 tahun sesuai dengan ketentuan

12

Maulana Hasan Wadong, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, Jakarta. Grafindo,2000 , hal 24-27


(20)

hokum yang berlaku, yaitu ketentuan pasal 1 ayat 1 UU No 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak

Untuk meletakkan batas usia seseorang yang layak dalam pengertian yang diletakkan oleh spesifikasi hokum seperti berikut ini.

1. Menurut Hukum Perdata.

Mengenai pengertian anak di bawah umur (belum dewasa) tercantum dalam pasal 330 KUHPerdata yang bunyinya sebagai berikut:

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dari dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dalam kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke-tiga, ke-empat, ke-lima, ke-enam,bab ini.13

Jadi yang dimaksud belum dewasa(di bawah umur) berdasarkan pasal 330 KUHPerdata adalah:

a. Belum penuh berumur 21 tahun b. Belum pernah kawin

2. Menurut Hukum Adat

Menurut hukum adat tidak ada batasan umur yang pasti bilamana dikatakan seseorang itu masih dibawah umur atau tidak, hal ini dapat

13

R. Subekti, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Burgerlijk Wetboek dengan tambahan Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Perkawinan, Jakarta, Pradnya Paramita,, 1984, hal 98.


(21)

dilihat dari ciri-ciri Ter Haar dalam bukunya “BEGINSELLEN EN STELSEL VAN HET ADATRECHT”

Mengatakan:

“Seseorang sudah dewasa menurut hukum adat di dalam persekutuan hukum yang kecil adalah pada seseorang baik perempuan maupun laki-laki apabila dia sudah kawin dan disamping itu telah meninggalkan orang tuanya ataupun rumah mertua dan pergi pindah mendirikan kehidupan rumah keluarganya sendiri.14

3. Menurut Hukum Pidana

Berdasarkan KUHPidana bahwa mengeai anak di bawah umur (belum dewasa) adalah mereka yang berusia di bawah 16 tahun.

Dalam pasal 45 KUHP menyebutkan:

“Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan sitersalah itu dikembalikan kepada orang tunya, wali, atau pemeliharaanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 417-519, 526, 531, 532, 536, dan 540 dan perbuatan itu dilakukannya sebelum lalu 2 tahun sesudah keputusan dahulu yang menyalahkan dia melakukan

14

Datuk Usman, Medan, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana Balai Pemnas SU, ,1984, Hal 8.


(22)

salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan; atau menghukum anak yang bersalah itu.15

4. Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak

Yang dimaksud dari Anak di dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 perlindungan anak bab I Ketentuan umum pasal 1 nomor 1 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.16

Menarik garis batas antara belum dewasa dan sudah dewasa, tidak perlu dipermasalhkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan Hukum, misalnya anak yang belum dewasa sudah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya, walaupun ia belum berwewenang kawin. Dengan demikian untuk menentukan batas usia baik minimum atau maksimum dari seseorang anak ditentukan berdasarkan kepentingan hukum yang dipenuhi. Perbedaan-perbedaan yang diberikan oleh masing-masing sub system hokum tentang batas usia seseorang anak tidak terlalau menunjukkan jarak perbedaan usia terlalu menonjol. Artinya perselisihan itu hanya mencapai waktu ± 1-3 tahun. Dengan diketahui batas perbedaan usia perbedaan tersebut tidak memiliki siknipikasi terhadap bidang hukum yang satu dengan bidang hukum yang lain. Atau terhadap anak sebagai subjek hokum dengan para

15

R. Soesilo, Op. Cit pasal 45 16


(23)

pihak yang terikat dalam lingkaran hukum yang ditimbulkan dari perbuatan hukum oleh anak yang bersangkutan.

2. Pengertian Kejahatan dan Kenakalan

Sebelum dikemukakan beberapa pengertian, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu beberapa istilah yang sering dipergunakan dalam bahasa kita. Seperti diketahui bahwa tampaknya adanya keaneka ragaman istilah yang dipergunakan untuk kejahatan dan kenakalan anak. Istilah yang sering terdengar dan lazim dipergunakan dalam media massa adalah kejahatan anak atau sering juga dipergunakan istilah kejahatan anak atau Juvenile Delinquency.

Mengenai juvenile Delinguency ini masih belum ada keseragaman dalam terjemahan istilah. Ada sebahagian sarjana menyebutkan Tindak pidana anak-anak ataupun kejahatan anak.

Secara etimologi Juvenile Delinquency berasal dari bahasa latin, “Juvenilis” yang artinya anak-anak, anak muda, ini karasteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada saat remaja. Delinquent berasal dari bahasa latin “Delinquere” artinya terabaikan, mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, asosial, criminal, pelanggaran aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diprbaiki lagi, dll.17

Istilah kejahatan Anak dirasakan terlalu tajam. Sementara istilah Kenakalan anak sering disalah tafsirkan dengan kenakalan yang tertuang dalam pasal 489 KUHP (Kitap Undang-undang Hukum Pidana). Penjelasan pasal tersebut selanjutnya menerangkan serta memperinci beberapa perbuatan yang

17

Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Jakarta, Rajawali Pers, 1992 hal 7


(24)

dapat dimasukkan kedalam pengertian umum dan dapat pula terjadi pada anak-anak.18

Istilah kejahatan anak ini terlalu tajam, karna memiliki konotasi negative secara kejiwaan terhadap anak, sehingga diperhalus dengan istilah Kenakalan Anak yang dirasakn lebih baik, namun sering ditafsirkan dengan kenakalan pada pasal 489 KUHP. Oleh karena itu disepakati dengan istilah Juvenile Delinquency.

Kartini Kartono memberikan pengertian Juvenile Delinquency sebagai berikut :

Juvenile Delinquency ialah perilaku jahat/ dursila, atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. 19

Romli Atmasasmita memberikan rumusan sebagai berikut :

Juveline Delinquenci ialah setiap perbuatan/ tingkah lakuseseorang anak dibawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi seseorang anak yang bersangkutan.20

18

R. Soesilo : “ Kitap Undang-undang Hukum Pidana” , Komentar; Polites Bogor, 1965; hal 249

19 Ibid 20

Romli Atmasasmita, Problema Kenakalan Anak-anak/ Remaja, Bandung. Armico 1983. hal. 40


(25)

Kemudian Bismar Siregar menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada pengertian tertentu mengenai kejahatan anak yang ada ialah perbuatan pelanggaran hukum dilakukan oleh seorang, mungkin ia seorang dewasa atau seorang anak. Jadi hanya perbedaan siapa pelaku.21

Dalam Undang-undang peradilan Anak No 3 Tahun 1997, disebutkan defenisi” adalah anak pelaku kejahatan. Dalam pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa:

1. Anak nakal adalah anak yang melakukan tindak pidana.

2. Anak nakal adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik bagi peraturan Perundang-undangan maupun bagi peraturan hukum lain yang peka dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (patologi).22

Dari uraian diatas kelihatannya untuk memberikan penafsiran seragam tentang kejahatan anak adalah sulit, karena dalam penafsiran tersebut kita akan kembali mempersoalkan defenisi anak. Apalagi jika kita simak pasal 45 KUHP, secara teoritis sejak anak usia 0 tahun sampai 16 tahun dapat dikenakan ancaman pidana. Hal ini tidak masuk akal jika seorang bayi melakukan tindak pidana. Oleh karena itu penulis sependapat dengan pendapat Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu yang menyatakan adalah rasional untuk menentukan batas usia minimum dan maksimum secara juridis dengan pertimbangan sosiologis phisikologis seperti yang tertera dalam Undang-undang Peradilan Anak (Undang-Undang No 3 Tahun

21

Bismar Siregar, Masalah Penahanan dan Hukuman Terhadap kejahan Anak. Majalah Hukum dan Pembangunan No.4 Tahun x, 1980.hal. 340

22


(26)

1997) pasal 4 ayat 1bahwa batas umur minimum 8(delapan) tahun dan maksimum 18(delapan belas tahun) dapat diajukan ke Pengadilan Anak.23

3. Pengertian Kejahatan Anak

Menurut Bimo Walgito dalam bukunya ; Kenakalan Anak (Juvenile Delinquency), Juvenile delinquency adalah tiap perbuatan, bila perbuatan itu dilakukan oleh orang dewasa, maka perbuatan itu merupakan kejahatan. Jadi perbuatan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, khusus anak remaja dinamakan kenakalan.24

Jadi menurut pendapat sarjana ini, istilah kejahatan anak itu tidak ada. Yang ada hanya kenakalan anak. Karena perbuatan kejahatan itu hanya dilakukan orang dewasa. Sedangkan perbuatan yang sama yang dilakukan oleh anak-anak dinamakan kenakalan.

Bersamaan dengan pendapat Bimo Walgito yaitu pendapat dari Fuat Hasan. Sarjana ini berpendapat, dilinquensi adalah perbuatan snit sosial yang dilakukan oleh anak remaja yang bila mana dilakukan orang dewasa, dikwalifikasikan sebagai tindak kejahatan.25

Sedangkan Kartini Kartono dalam bukunya; Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, tidak membedakan istilah kejahatan anak dengan kenakalan anak seperti pendapatnya tentang arti dan Juvenile delinquency, yaitu perilkaku jahat/ dursila, atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda: merupakan gejala sakit (patologis)

23

Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak Indonesia,

Jakarta, Sinar Grafika 1993 hal. 108 24

Bimo Walgito, Kenakalan Anak ( Juvenile Delinquency), Yogyakarta Fakultas Psykologi UGM, , 1982, hal 2

25

B.Simanjuntak. Latar Belakang Anak (Etiologi Juvenile Delinguency) Bandung . Rineka Cipta. 1975, hal 187


(27)

secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak-anak muda yang delinkuen atau jahat itu disebutpula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan pengaruh sosial yang ada ditengah masyarakat.26

Menurut B. Simanjuntak dalam bukunya. Latar belakang kenakalan Anak (Etiologi Junvenile Delinquency), penterjemahan juvenile delinquency dengan kejahatan anak mempunyai efek psikologis yang tidak baik bagi anak-anak tersebut. Anak merasa dirinya telah dicap dengan predikat jahat yang menimbulkan isolasi diri. Padahal kriteria yang digunakan untuk mencapnya adalh criteria orang dewasa. Anak-anak bukanlah manusia dewasa kecil. Mereka dalam berbuat belum dapat memikirkan akibat negatife yang terjadi, dalam dirinya atau terhadap masyrakat. Tidak merasakan bahwa tingkah lakunya itu keliru. Karena motivasi dari tindakannya itu belum disadarinya sebagai syarat dari suatu tindakan. Karena itulah istilah kejahatan anak dalam hal ini kurang tepat kita gunakan.27

Sedangkan Paul Moedikko, berpendat, juvenile delinquency adalah ; 1. Semua perbuatan yang dari orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi

anak-anak merupakan delinkuensi; jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti menganiaya, mencuri, membunuh, dan sebagainya. 2. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial

termasuk gelandangan, mengemis.

26

Kartini Kartono, Op, Cit, hal, 12 27


(28)

3. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat itu, misalnya memakai pakaian yang tidak sopan dan sebagainya.

Jadi dari pendapat sarjana-sarjana ini kita bisa mengambil kesimpulan bahwa juvenile delinquency adalah perbuatan anak-anak yang melanggar norma-norma ; norma-norma sosial, norma-norma hukum, norma-norma kelompok, mengganggu ketertiban masyarakat sehingga yang berwajib mengambil suatu tindakan pengasingan.

4. Pengertian Sosial Ekonomi

Dalam pengertian ekonomi, status anak sering dikelompokkan pada golongan yang non produktif. Jika terdapat kemampuan ekonomi yang persuasif dalam kelompok anak, kemampauan tersebut dikarenakan anak mengalami transformasi finansial yang disebabkan dari terjadinya perbedaan didalam lingkungan keluarga yang berdasarkan nilai kemanusiaan. Kenyataan-kenyataan dalam masyarakat sering memprotes anak-anak dalam melakukan kegiatan ekonomi atau kegiatan produktivitas yang dapat menghasilkan nilai-nilai ekonomi.

Kedudukan pengertian anak dalam bidang ekonomi adalah elemen yang mendasar untuk menciptakan kesejahtraan anak kedalam suatu konsep normatif, agar status anak tindak menjadi korban (victim) dari ketidakmampuan ekonomi keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.

Kelompok pengertian anak dalam bidang ekonomi mengarah pada konsepsi kesejahteraan anak yang ditetapkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan termasuk didalam klasifikasi menafkahkan


(29)

anak, mendidik untuk melakukan kegiatan berproduktivitas yang wajar, sehat dan tidak bertentangan dengan hak asasi anak.28

Sistem hukum yang berlaku di Indonesia menetapkan pengertian anak kedalam pengertian status atau eksistensi anak yang menjadi permasalahan hukum. Hal ini disebabkan negara Indonesia yang memiliki sistem hukum yang berasal dari sendi-sendi hukum adat berbagai suku dan ras, kedudukan anak menjadi bagian utama dalam sendi pertumbuhan mental spiritual yang berstatus dan berkedudukan sebagai anak dan sekaligus sebagai subjek hukum.

5. Pengertian Keluarga

Pengertian keluarga berarti nuclear family yaitu yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah dan ibu secara ideal tidak terpisah tetapi bahu membahu dalam melaksanakan tanggung jawab sebagai orang tua dan mampu memenuhi tugas sebagai pendidik.

Keluarga merupakan wadah pertama bagi seseorang untuk mempelajari bagaimana dirinya merupakan suatu pribadi yang terpisah dan harus berinteraksi dengan orang-orang lain di luar dirinya. Interaksi sosial yang terjadi dalam keluarga ini merupakan suatu komponen vital dalam sosialisasi seorang manusia. Anak akan menyerap berbagai macam pengetahuan, norma, nilai, budi pekerti, tatakrama, sopan santun, serta berbagai keterampilan sosial lainnya yang sangat berguna dalam berbagai kehidupan masyarakat. Anak akan belajar bagaimana memikul rasa bersalah, bagaimana menghadapi secara konstruktif berbagai tanggapan anggota keluarganya yang lain, anak akan mengembangkan rasa

28

Maulana Hassan Wadong, Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, , Jakarta Gramedia Wirasarana Indonesia Indonesia, 2000, hlm 27


(30)

percaya diri, harga diri, kepuasan, dan cinta kasih terhadap sesama mahluk. Dengan demikian, keluargalah pelaku pendidikan utama bagi seorang anak menjadi manusia secara penuh, manusia yang mampu hidup bersama manusia lain dalam lingkungannya yang diliputi suasana harmonis, bukan manusia congkak yang memiliki dorongan agresi, merusak, dan mengganggu lingkungan sosialnya.

Suatu keluarga yang penuh dengan kehangatan, cinta kasih, dan dialog terbuka akan diserap oleh anak dan dijadikan sebagai nilainya sendiri. Hal inilah yang menjadi landasan kuat anak dalam berinteraksi dengan orang lain di masyarakat yang lebih luas. Pada kenyataannya, keluarga dengan kondisi seperti itu tidak selalu terbentuk. Banyak keluarga yang penuh dengan kekerasan, akibat berbagai situasinya tidak sempat mendidik anaknya menjadi manusia yang secara sosial memiliki kematangan, misalnya anak yang hanya diarahkan kepada pembantu rumah tangga dari pagi hingga malam hari, enam hari dalam seminggu, akibat kedua orang tuanya harus bekerja mencari nafkah. Banyak keluarga yang merasa lingkungan sosialnya kurang aman sehingga melarang anak-anaknya bergaul di luar rumah, sedangkan orang tuanya sendiri sibuk dengan pekerjaannya. Keluarga akan menghasilkan manusia yang “kering”, “kerdil” dan “tidak bersahabat”. Inilah yang memungkinkan menjadi pra kondisi bagi kenakalan anak dan remaja. Anak akan menyerap perilaku, kebiasaan, tatakrama, serta norma yang berasal dari televisi tanpa mendapat bimbingan


(31)

yang cukup berarti dari kedua orang tuanya. Anak akan menyerap tanpa evaluasi, atas perilaku orang lain yang diamatinya.29

6. Pengertian Perlindungan Anak.

Kedudukan anak sebagai generasi muda yang akan meneruskan cita-cita luhur bangsa, calon-calon peminpin bangsa dimas mendatang dan sebagai sumber harapan bagi generasi teerdahulu, perlu mendapat kesempatan seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani, jasmani, dan sosial. Perlindungan anak merupakan usaha dan kegiatan seluruh lapisan masyarakat dalam berbagai kedudukan dan peranan yang menyadari betul pentingnya anak bagi nusa dan bangsa dikemudian hari. Jika mereka telah matang pisik maupun mental dan sosialnya, maka tiba saatnya menggantikan generasi terdahulu.

Perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkebangan dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial. Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegitan perlindungan anak.30

29

http://mo2gi.studen.umm.ac.id/ 2010/02/05/ remaja problema dan solusinya, diakses tanggal 27 Juni 2011

30


(32)

Perlindungan anak adalah meletak hak asasi kedalam status sosial anak dalam kehidupan masyarakat , sebagai bentuk perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan anak yang mengalami masalah sosial. Perlindungan dapat diberikan pada hak-hak dalam berbagai proses edukasional terhadap ketidak pahaman dan ketidak mampun anak dalam melakukan suatu tugas-tugas sosial kemasyarakatan. Perlindungan anak adalah suatu usaha mengadakan kondisi dan situasi, yang memungkinkan pelaksanaan hak dan kewajiban anak secara manusiawi positif.31

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Melindungi anak adalah melindungi manusia, dan membangun manusia seutuh mungkin. Hakekat pembangunan nasional adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya yang berbudi luhur. Mengabaikan masalah perlindungan anak berati tidak akan memantapkan pembangunan nasional. Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan bebagai permasalahan sosial yang dapat mengganggu penegakan hukum, ketertiban, keamanan, dan pembangunan nasional. Maka ini berarti bahwa perlindungan anak harus diusahakan apabila ingin mengusahakan pembangunan nasional dengan baik.

Perlindungan anak dalam arti luas adalah semua usaha yang melindungi anak melaksanakan hak dan kewajibannya secara manusia positif. Setiap anak dapat melaksanakan haknya, ini berarti dilindungi untuk memperoleh dan mempertahankan haknya untuk hidup, mempunyai kelangsungan hidup,

31

Romli Atmasasmita, Peradilan Anak di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1997 hlm 165


(33)

bertumbuh kembang dan perlindungan dalam pelaksanaan hak dan kewajibannya sendiri dan atau bersama para pelindungnya.32

Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan yang membawa akibat negative yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan perlindungan anak.33

Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri, sehingga usaha perlindungan yang dilakukan tidak berakibat negative. Perlindungan anak dilaksanakan rasional, bertanggunjawab dan bermanfaat dan mencerminkan suatu usaha yang efektif dan efesian. Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif, keraktivitas, dan hal-hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan berperilaku tak terkendali sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.34

Sehubungan dengan hal ini, Abdul Hakim Garuda Nusantara, mengatakan: “Masalah perlindungan hukum bagi anak-anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia. Masalahnya tidak semata-mata bisa

didekati secara yuridis, tapi perlu pendekatan lebih luas, yaitu ekonomi, sosial dan budaya.35

32

Ibid,.Op, Cit hlm 167 33

Arf Gosita. Op.Cit, hlm. 19 34

Maidin Gultom.. Op, Cit.hlm 35 35

Abdul hakim Garuda Nusantara. Makalah.”Prospek Perlindungan Anak” Jakata : Seminar Perlindungan Hak-hak Anak, 1986, hlm.22


(34)

Perlindungan Anak berhubungan dengan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, yaitu:

1. Luas lingkup perlindungan:

a. Perlindungan yang pokok meliputi antara lain: sandang, pangan, pemukiman, pendidikan, kesehatan, hukum.

b. Meliputi hal-hal yang jasmaniah dan rohaniah

c. Mengenai pula penggolongan keperluan yang primer dan sekunder yang berakibat pada perioritas pemenuhannya.

2. Jaminan pelaksanaan perlindungan:

a. Sewajarnya untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ada jaminan terhadap pelaksanaan kegiatan perlindungan ini, yang dapat diketahui, dirasakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan perlindungan. b. Sebaiknya jaminan ini dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik

dalam bentuk undang-undang atau peraturan daerah yang perumusannya sederhana tetapi dapat dipertanggung jawapkan serta disebarluaskan secara merata dalam masyrakat.

c. Pengaturan harus disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia tanpa mengabaikan cara-cara perlindungan yang dilakukan dinegara lain, yang patut dipertimbangkan dan ditiru (peniruan yang kritis).36

36


(35)

F. Metode penelitian

Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan dua macam metode pengumpulan data dengan maksud agar dapat diungkapkan secara jelas dan lengkap.

Adapun kedua metode tersebut adalah :

a. Library research (Penelitian Perpustakan).

Penulisan ini dilakukan melalui sumber bacaan (literature) baik dengan menggunakan buku-buku bacaan yang penulis miliki, perpustakaan, diktat kulia, media massa,maupun ketentuan-ketentuan peraturan yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

b. Observasi (Pengamatan).

Yaitu dengan cara mengamati subjek langsung dari permasalahan ini. Penelitan ini dilakukan dengan pendekatan partisipatif, dimana peneliti ikut bersama anak-anak dalam bersahabat dengan mereka. Pendekatan ini berdasarkan pada prinsip-prisip penelitian kualitatif deskriptif dengan meletakkan anak sebagai subjek, bukan sebagai objek dan mengutamakan hubungan persahabatan. Penelitian ini juga penulis lakukan dilapangan yang menjadi bahan hukumnya adalah data sekunder sedangkan sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian hukum normatife dengan metode pendekatan empiris sedangkan bahan hukum primer diperoleh dilapangan yaitu dengan melalui wawancara pada Bagian Pusat Kajian Perlindungan Anak Medan.


(36)

Berpegangan pada pola penelitian seperti itulah maka dalam pelaksanaannya penulis tidak menggunakan kuisioner tetapi hanya menggunakan suatu kerangka acuan dalam mengumpulkan data kualitatif untuk mengungkapkan kehidupan dan realitas yang dialami oleh anak-anak tersebut seperti:

1. Gambaran lokasi aktifitas anak-anak 2. Tempat tinggal

3. Latar belakang ekonomi keluarga

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikaan gambaran yang akan merupakan isi pembahasan dari

skripsi ini dan mempermudah penguraiannya maka penulisan membagi skripsi ini menjadi 5 bab.

Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan, Pada Bab ini penulis menjelaskan tentang latar belakang, perumusan masalah, keaslian penulisan, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian serta sistematika penulisan juga diuraikan dalam bab ini.

Bab II : Dalam bab ini penulis menguraikan tentang pengaturan sanksi pidana di Indonesia dan perlindungan hukum terhadap hak-hak anak

Bab III : Disini penulis menjelas dan menguraikan faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan dan kenakalan anak.


(37)

Bab IV : Pada bab ini penulis menjelaskan dan menguraikan tentang upaya penanggulangan kenakalan dan kejahatan anak akibat tingkat ekonomi keluarga.


(38)

BAB II

PENGATURAN SANKSI PIDANA ANAK DIBEBERAPA NEGARA SERTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK ANAK A. Pengaturan Sanksi Pidana Anak di Beberapa Negara

Peradilan adalah tiang teras dan landasan Negara hukum. Peraturan hukum yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh/ kuat dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan dalam undang-undang dan peraturan hukum lainnya. Pengaturan ancaman pidana demikian, dalam praktik seringkali menimbulkan permasalahan terutama berkaitan dengan persoalan disparitas pidana (disparity of Sentencing).37 Permasalahan disparitas pidana saja muncul dan dirasakan oleh offender sebagai pihak yang terlibat langsung, namun muncul juga dari penilaian masyarakat pada umumnya. Masyarakat sering kali menilai bahwa sanksi yang dijatuhkan kurang bahkan tidak memenuhi rasa keadilan, karena lamanya sanksi pidana yang dijatuhkan terlalu rendah.

Pengaturan secara khusus tentang sistem pemidanaan terhadap anak, dalam KUHP diatur dibawah Bab III buku I tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana. Ketentuan system pemidanaan anak tersebut diatur dalam tiga pasal, yakni Pasal 45,46 dan 47. Ketiga pasal tersebut antara lain mengatur batas usia anak dibawah umur, kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang jenis-jenis sanksi yang

37

Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Bandung Alumni 1948 hlm 52


(39)

berupa pidana dan tindakan, serta mengatur tentang lamanya pidana untuk anak yang melakukan tindak pidana.

Sebagai bentuk kepedulian Negara terhadap generasi penerus bangsa, sampai saat ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak, dan Undang-undang No 5 Tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Selanjutnya, ditetapkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta peraturan perundang-undangan lainnya.

Diterbitkannya Undang-undang Pengadilan Anak, Antara lain ditujukan untuk memperbaiki hukum pidana anak di Indonesia, agar putusan pengadilan anak menjadi lebih baik dan bekualitas, karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak dimasa yang akan dating. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis maupun filofofis dibentuknya undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan


(40)

mereka dan bangsa dimasa depan.38 Termasuk, munculnya fenomena penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri, maupun masyarakat.

Dalam hal pelaksanaan proses peradilan pidana, misalnya anak-anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa. Ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Pengadilan Anak telah mengacu pada rambu-rambu semacam ini.

Upaya perlindungan terhadap Anak sudah sejak lama menjadi perhatiaan dunia. Kenyataan tersebut, secara normatif dapat dilihat dengan adanya pengaturan-pengaturan khusus masalah anak tersebut, antara lain:

a. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Indonesia

Bernes dan Teeters, mengungkapkan salah satu sisi negatif dari sanksi pidana pencabutan kemerdekaan, penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab ditempat ini penjahat-penjahat kebetulan pendatang baru didunia kejahatan dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat kronis. Bahkan personil yang paling baikpun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini.39

Dari sudut politik kriminal, tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan. Setidak-tidaknya perumusan pidana didalam Undang-undang yang kurang tepat menjadi faktor timbul dan

38

Penjelasan umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 39


(41)

berkembangnya kriminalitas (faktor kriminogen).40 Penerapan hukum pidana untuk menanggulangi anak nakal sampai saat ini belum mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap menurunnya tingkat kenakalan anak di Indonesia. Melihat fakta yang ada, tampaknya esensi dikeluarkannya Undang-undang Pengadilan Anak sebagai wujud perlindungan terhadap anak bermasalah sangat jauh dari apa yang diharapkan. Adanya Undang-undang (legal substance) yang baik belum tentu dapat memberi jaminan akan dapat menghasilkan hal yang baik, tanpa ditunjang dengan aspek-aspek struktur hukum (legal structure), serta budaya hukum (legal culture) yang baik. Oleh karena itu, upaya pembaharuan hukum harus dilakukan secara menyeluruh, baik substansi, struktur, maupun budaya.

Namun demikian, satu hal yang perlu mendapatkan perhatian bahwa walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber kepada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi penegakan hukum harus berbeda dengan filosofi penegakan hukum pidana seperti dizaman Belanda. Hal ini karena kondisi lingkungan atau kerangka besar hukum nasional sebagai tempat dioperasionalisasikannya sudah jauh berubah. Penegakan hukum pidana positif harus berada dalam konteks ke Indonesian, bahkan dalam konteks Pembangunan Nasional dan Pembangunan Hukum nasional. Dalam salah satu kesimpulan Konvensi Hukum Nasional yang diselenggarakan pada bulan Maret 2008 menyatakan, bahwa; “Penegakan hukum dan sikap masyarakat terhadap hukum

40


(42)

tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditegakkan atau diberlakukan”.41

Sebagai bagian dari proses peradilan, maka proses pemidanaan tentunya tidak hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan pidana (hukum pidana positif) saja, tetapi harus memperhatikan rambu-rambu penegakan hukum dan keadilan dalam sistim hukum nasional. Rambu-rambu yang dimaksud cukup banyak kita jumpai dalam Undang-undang Kekuasaan kehakiman antara lain menyatakan:

1. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 (amandemen ke dua)

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang”

2. Pasal 28 D UUD 1945 (amandemen ke dua)

“Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”.

3. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 (amandemen ke tiga), menyatakan:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

4. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

41

Nandang Sambas. Pembaharuan Sistim Pemidanaan Anak di Indonesia. Bandung, Graha Ilmu, 2010 .,hlm 136


(43)

“Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadian berdasarkan Pancasila”.

5. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

6. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”.

7. Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

“Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

8. Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:

“Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.42

42


(44)

b. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Belanda

Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda, ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur masalah sanksi pidana bagi anak diatur tersendiri dalam Bab VIII A KUHP Belanda, dan terahir diperbaharui dengan Undang-undang 7 Juli 1994 Stb.1994 No. 528.

Substansi yang diatur dalam Undang-undang tersebut meliputi:

1. Pasal 77 a, bahwa “Pasal 9 ayat (1), 10-22a, 24c, 37-38i, 44 dan pasal 57-62 tidak dapat diterapkan pada seorang yang telah berumur 12 (dua belas0 tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun pada saat tindak pidana dilakukan. Ketentuan-ketentuan khusus dalam pasal 77d-77gg berlaku sebagai penggantinya.

Pasal yang tidak berlaku bagi anak usia antara 12-18 tahun tersebut meliputi:

a. Pasal 9 ayat (1) tentang jenis-jenis pidana pokok b. Pasal 10-22a aturan pidana

c. Pasal 24c pembayaran denda cicilan

d. Pasal 37-38i penempatan di Rumah sakit jiwa e. Pasal 44 pemberatan pidan karena jabatan f. Pasal 57-62 concursus realis

2. Pasal 77b; “ Dalam hal seseorang telah mencapai usia 16 tahun tetapi belum 18 tahun pada saat delik dilakukan, hakim dapat tidak menerapkan Pasal 77g-77 gg, dan memberlakukan ketentuan dalam bab terdahulu ,apabilaada alasan


(45)

berdasarkn kualitas delik, sifat/ karakter pembuat, atau pembuat ataukeadaan-keadaan waktu delik dilakukan”.

3. Pasal 77c: Dalam hal seseorang telah mencapai usia 18 tahun tetapi belum mencapai 21 tahun pada saat delik dilakukan, hakim dapat menerapkan Pasal-pasal 77g-77gg. Apabila ada alasan berdasarkan sifat sipembuat, atau keadaan-keadan pada saat delik dilakukan. Pidana kurungan anak (juvenile detection) akan dilaksanakan didalam lembaga penjara yang dirancang untuk tujuan itu boleh menteri kehakiman.

4. Pasal 77 d:

1. Batas waktu daluarsa penuntutan dalam pasal 70, untuk kejahatan dikurangi separuh dari tenggang waktu yang berlaku.

2. Ketentuan ayat (1) tidak berlaku untuk kejahatan dalam pasal 240b dan 245-250 ter, yang dilakukan terhadap anak oleh orang yang telah mencapai usia 16 tahun pada saat delik dilakukan.

5. Pasal 77h:

1. Pidana Pokok:

a. Untuk kejahatan: kurungan Anak/ denda b. Untuk pelanggaran: denda

2. Satu atau lebih sanksi alternatife berikut ini dapat dikenakan sebagai pengganti pidana pokok dalam ayat(1):

a. Kerja social (community sevice)

b. Pekerjaan umum memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana diakibatkan oleh tindak pidana


(46)

c. Mengikuti proyek pelatihan 3. Pidana tambahan terdiri dari:

a. Perampasan b. Pencabutan SIM

4. Tindakan-tindakan terdiri dari:

a. Penempatan pada lembaga khusus untuk anak b. Penyitaan

c. Perampasan keuntungan dari perbuatan melawan hukum d. Ganti rugi atas kerusakan.

5. Pasal 77 I:

1. Kurungan Anak:

a. Minimal 1 hari dan maksimal 12 bulan dalam hal seseorang belum mencapai usia 16 tahun pada saat kejahatan dilakukan,

b. Maksiamal 24 bulan untuk kasus-kasus

2. Kurungan anak ditetapkan dalam hari, minggu atau bulan.

3. Pasal 26 dan 27 dapat dikenakan untuk seseorang yang dijatuhi pidana “kurungan anak”

4. Kurungan anak harus dilaksanakan dilembaga Negara atau fasilitas yang ditentukan pasal 65 UU Pemberian Bantuan Anak yang disubsidi untuk tujuan itu oleh Menteri Kehakiman, seperti diatur dalam pasal 56 UU tersabut.43


(47)

c. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Yugoslavia

Sama halnya dengan Belanda, ketentuan yang mengatur masalah sanksi dan tindakan untuk anak dalam KUHP Yugoslavia ditentukan dalam bab khusus.44

1. Ketentuan Umum

Berdasarkan Pasal 64 ketentuan bagi anak yang melakukan tindak pidana berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab VI, serta ketentuan-ketentuan laian sepanjangtidak ditentukan lain.

Berdasarkan Pasal 65:

Ayat (1) terhadap “anak” yang pada saat tindak pidana dilakukan belum mencapai 14 tahun tindak dapat dipidana maupun tindakan edukatif (educative meansure) atau tindakan keamanan (security meansure).

Ayat (2) dinyatakan bahwa terhadap anak itu, badan perwalian akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan sesuai dengan kewenangannya.

2. Tindakan-tindakan Edukatif (Edukative Meansure)

Tujuan dari tindakan edukatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 68, yaitu: untuk melindungi pendidikan, perbaikan dan pengembangan para pelaku anak dengan memperluas perlindungan, bantuan dan pengawasan kepada mereka, dan juga untuk mencegah mereka melakukan tindak pidana.

Jenis dari tindakan diatur dalam Pasal 69 terdiri atas: 1. Tindakan disiplin (disciplinary meansure)

a. Teguran keras atau pencercaan

44


(48)

b. Dimasukkan ke Pusat Pendisplinan atau Penertiban Anak. 2. Tindakan Pengawas Intensif (Meansures of Intensitief supervion):

a. Pengawasan orang tua atau wali

b. Pengawasan dalam keluarga lain atau badan-badan perwalian. 3. Tindakan Intitusional (Institutional meansure)

a. Penempatan di Lembaga Pendidikan;

b. Penempatan pada panti asuhan pendidikan korektif c. Penempatan pada panti asuhan anak cacat.

Pedoman Pemilihan Tindakan dalam pasal 70 bahwa;

1. Dalam pemilihan tindakan-tindakan edukatif, pengadilan harus mempertimbangkan usia anak, tingkat perkembangan kejiwaan anak, kecenderungan-kecenderungannya, motif melakukan tindak pidana yang dilakukan, apakah pernah mendapatkan tindakan edukatif atau pidana sebelumnya.

2. Tindakan pendisplinan harus diberikan kepada anak yang kepadanya tidak perlu dilakukan tindakan edukatif dan reformatif yang diperluas, dan khususnya apabila ia telah melakukan tindak pidana karena kekurangajaran. 3. Tindakan pengawasan intensif harus diberikan apabila perlu dilakukan

tindakan-tindakan edukatif dan reformatif yang diperluas terhadap anak itu, dan pengasingan dari lingkungannya tidak diperlukan.

4. Tindakan institusional diberikan kepada anak apabila perlu dilakukan tindakan edukatif dan reformatif yang diperluas dan perlu dilakukan pengasingan (isolasi) dari lingkungannya.


(49)

Teguran Keras (Reprimet) dalam pasal 71, yaitu:

1. Teguran keras diberikan apabila hal itu cukup untuk mencela atas tindak pidana yang dilakukannya.

2. Dalam menjatuhkan teguran hakim menunjukkan kepada anak sifat berbahaya anak dan perbuatannya dan member peringatan bahwa tindakan lebih berat dikenakan kepadanya apabila ia melakukan lagi tindak pidana lain.

Pusat Pendisplinan Anak dalam pasal 72 yaitu:

1. Pengadilan akan memasukkan anak kepusat pendisplinan apabila hal itu diperlukan untuk mempengruhi kepribadian dan perilakunya dengan mengenakan tindakan-tindakan berjangka waktu pendek yang sesuai.

2. Pengadilan dapat memasukkan anak kepusat pendisplinan:

a. Untuk beberapa jam tertentu pada hari libur dan tidak boleh lebih dari empat hari libur berturut-turut;

b. Untuk beberapa jam tertentu dalam sehari, tetapi tidak boleh lebih dari satu bulan;

c. Untuk tinggal terus-menerus dalam beberapa hari, tetapi tidak lebih dari 20 hari;

3. Dalam menjatuhkan tindakan ini, harus diperhatikan dengan teliti bahwa anak itu meninggalkan pendidikan formalnya sebagai akibat dari tindakan ini.

4. Dalam pusat pendisplinan, anak itu dipekerjakan pada pekerjaan yang bermanfaat sesuai dengan usianya.


(50)

3. Pemidanaan Anak Senior (antara usia 16-18 tahun)

Berdasarkan Pasal 79C, Pengadilan dapat menjatuhkan pidana kepada anak-anak senior yang mampu bertanggaung jawab apabila ia melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana lebih dari 5 (lima) tahun penjara.

Pasal 79D menetapkan bahwa pidana penjara anak tidak boleh kurang dari 1 (satu) tahun dan tidak boleh lebih dari 10 (sepuluh) tahun dan pelaksanaan pidana ini tidak boleh ditunda.

Pidana penjara anak dilaksanakan dalam lembaga khusus (penal corrective home) atau “lembaga koreksi penal” dimana mereka dapat berada disana sampai mencapai usia 23 tahun.

Berdasarkan Pasal 79I, seorang dewasa hanya dapat diadili untuk tindak pidana yang dilakukannya sebagai anak senior apabila ia belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan apabila pidana lebih dari 5 (lima) tahun penjara diancam untuk tindak pidana yang dilakukannya.

Berdasarkan Pasal 79J, seorang dewasa yang diadili seorang dewasa yang diadili untuk tindak pidana yang dilakukan sebagai anak senior dapat dikenakan tindakan berupa penempatan pada lembaga koreksi-edukatif atau dikenakan pidana penjara anak. 45

d. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Jepang

Jepang merupakan salah satu Negara yang diakui paling aman didunia. Berdasarkan pasal 2 Undang-undang Anak nomor 168 Tahun 1948, yang dikategorikan sebagai “Anak” (Shoonem) adalah mereka yang berumur kurang

45


(51)

dari 20 (dua puluh) tahun. Adapun seorang anak yang digolongkan sebagi pelaku kenakalan yang dapat diajukan kepengadilan diklasifikasikan kedalam tiga kriteria, yaitu:

1. Anak pelaku kejahatan (juvenile offender), yaitu anak yang sudah berumur diatas 14 (empat belas) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun yang melakukan kejahatan.

2. Anak Pelanggar Hukum (children offender) yaitu anak yang belum mencapai umur 14 (empat belas) tahun yang melakukan kejahatan.

3. Anak predeliguen (pre-delinquent juvenile) yaitu anak yang mempunyai salah satu kecenderungan sifat, serta dapat dipandang akan melakukan kejahatan atau perbuatan pelanggaran hokum. Sifat/sikap yang cenderung dimiliki anak predelinquen, antara lain:

a. Tidak menaati pengawasan dan bimbingan orang tua; b. Meninggalkan rumah tanpa alasan yang sah.

c. Bergaul dengan orang-orang pelaku tidak bermoral atau sering mengunjunggi tempat-tempat yang tidak pantas bagi anak.

d. Melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain.46

Perbedaan antara anak pelaku kejahatan dan anak pelaku pelanggaran hukum terletak pada batas usia sebelum 14 (empat belas) tahun dan setalah 14 (empat belas) tahun. Hal tersebut didasarkan kepada ketentuan tentang kemampuan bertanggung jawabbsebagaimana diatur dalam Pasal 41

46

.Tatsuya Ota, “Situasi Pembinaan Anak Nakal di Dalam Lembaga Jepang, Depok, Universitas Indonesia, 1995, hal 11.


(52)

undang hokum Pidana (UHP) Jepang Nomor Tahun 1907. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa orang yang berumur kurang dari 14 (empat belas) tahun dianggap belum mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Walaupun setiap anak yang melakukan kejahatan akan ditetapkan perlakuan, namun anak yang melakukan pelanggaran hukum tidak dikirim kepengadilan keluarga 47, namun diserahkan ke Pusat Bimbingan Anak dan Perlakuan berdasarkan Undang-undang Kesejahteraan Anak.

Menurut UUA di Jepang, terdapat perbedaan prosedur penanganan bagi anak yang melakukan kejahatan disebut “Prosedur Perlindungan” prosedur ini sangat berbeda dengan “Prosedur Pidana” yang diberlakukan terhadap orang dewasa yang melakukan kejahatan. Karena penanganan anak dilandasi pada tujuan kesempatan untuk mencari tindakan yang paling cocok bagi perlindungan dan pembinaan anak, namun diakui bahwa tindakan inipun dianggap sebagai tindakan yang membatasi hak-hak anak serta tindak menguntungkan bagi anak. Oleh karena itu, maka penanganan terhadap perkara anak hakim menentukan pilihan sebagai berikut:48

1. Tidak ada tindakan, dimana hakim karena alasan tertentu menyelesaikan perkara terhadap anak tanpa ada tindakan apapun. Penanganan seperti ini terjadi karena hakim menganggap perbuatan yang dituduhkan tidak terbukti, atau dianggap kasusnya ringan.

2. Tindakan Perlindungan terdiri dari:

47

Organisasi Pengadilan di Jepang berdasarkan Courts At (Saibansho Ho) 1947 Mandar maju, Perbandingan Hukum Pidana. 1996, hlm. 81-83

48


(53)

a. Menyerahkan anak kepada Sekolah Pendidikan Anak b. Menyerahkan kepada Panti Pelatihan dan Latihan Anak

c. Menyerahkan anak kepada masyarakat dengan pengawasan dan bimbingan oleh pekerja social (pengawas social, probation).

3. Menyerahkan kembali ke kejaksaan, merupakan perkara yang akan ditangani dengan acara pidana yang sama sebagaimana perkara orang dewasa.

4. Menyerahkan ke Gubernur atau Ketua Pusat Bimbingan Anak merupakan acara kesejahteraan.

Dalam perkara anak yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman mati, penjara atau hukuman tutupan, hakim pengadilan keluarga berpendapat bahwa perkara lebih cocok dikirim kembali ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan, sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Berdasarkan Pasal 20 UUA , tindakan demikian hanya diterapakan terhadap anak yang berusia diatas 16 tahun. Walaupun anak terbukti bersalah, namun sanksi pidana yang dijatuhkan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi anak.49

Apabila terhadap anak dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara atau tutupan, berarti sianak dijatuhkan pidana yang masa pidananya tidak tetap. Kecuali pidana bersyarat, maka anak ditampung di penjara Anak yang terpisah dari lembaga untuk orang dewasa.50

49

Berdasarkan Pasal 51 UUA , terhadap anak yang berumur kurang dari 18 tahun pada melakukan kejahatan diancam pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara atau pidana tutupan antara 10 tahun dan 15 tahun.

50


(54)

Berikut tabel batas usia minimum dan maksimum anak pelaku tindak pidana dibeberapa Negara.

Tabel 1. Batas usia Minimal dan Usia Maksimal Anak Pelaku Tindak Pidana di Beberapa Negara.

Negara Batas usia Minimal Batas usia Maksimal

Amerika Serikat 8 Tahun 18 tahun

Belanda 12 Tahun 16 Tahun

Inggris 12 Tahun 18 Tahun

Jepang 14 Tahun 20 Tahun

Kamboja 15 Tahun 18 Tahun

Malasya 7 Tahun 18 Tahun


(55)

A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Hak-haknya. a. Hak-hak Anak yang Berlawanan dengan Hukum

Hak tersangka meliputi: Hak untuk mendapatkan surat perintah penahanan atau penahan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat (2) KUHAP); Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat (3) KUHAP); Hak untuk mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat(7) KUHAP); hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah sebagai berikut; sebagi tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan) : (viktim) hak untuk yang dilayani kerena penderitaan fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari bentuk-bentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan.51

Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan, hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan

51

1998/1999. Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru, Jakarta; Badan Pembinaan Hukum nasional Departemen Kehakiman.


(56)

Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum.

Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP)

Hak anak selama persidangan, masih dibedakan lagi dalam kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku:

1. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan kasusnya. 2. Hak untuk mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan. 3. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan

mengenai dirinya.

4. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja.

5. Hak untuk menyatakan pendapat.

6. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa


(57)

alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.

7. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya.

8. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya.

Pengembanan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat, penegak hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak.52

Hak-hak yang diperoleh anak di PKPA sebagai pelaku tindak kejahatan:53 1. Memperoleh bantuan hukum dan bantuan hukum lainnya secara efektif mulai

dari proses kepolisian, kejaksaan sampai kepengadilan. 2. Tidak dipublikasikan Identitasnya

3. Untuk tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara kecuali upaya terahir.

b. Tujuan dan Pedoman Pemidaan Anak

Hukuman yang terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya. “Ganti Rugi yang dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan oleh

52

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung PT Refika Aditama 2010 hlm 113-135

53

Wawancara dengan Ibu Azmiati Zuliah (Kordinator) di PKPA Setia Budi Medan, 20 Mei 2011


(58)

sistem peradilan pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar sejumlah uang atau kerja, baik langsung maupun pengganti”.54

Hukum pidana untuk anak yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap belum memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu perlu adanya perubahan dan pembaruan.

Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan pidana anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial.

Lady Wotton, menyatakan tujuan dari hukum pidana untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pembuat dimasa yang lampau akan doktrin yang telah berlaku secara konvensional ini telah menempatkan mens rea ditempat yang salah. 55 Mens rea itu hanya penting setelah penghukuman, sebagai suatu petunjuk tentang ukuran-ukuran apakah yang akan diambil untuk mencegah terulangnya kembali perbuatan-perbuatan terlarang itu.

Marlina, menyatakan tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan aatau telah melakukan perbuatan

54

Burt Galaway and Joe Hudson. Offender Restiturion in Theory and Actions,

Lexington: Mass eath, 1978, hlm 1 55

Roeslan Saleh.Pertanggung Jawaban Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1982 Cetakan I. hlm. 30


(59)

menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hokum. Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu-satunya upaya untuk memproses anak yang telah melakukan tindak pidana.56

Dalam perkembangannya banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggaunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan, yang sering dipersoalkan adalah efektifitasnya.

Bender OP menyatakan, hukum pidana itu ialah hukum alam, sebagai tandanya ialah pada zaman dan disebuah negara selalu ada suatu hukum pidana, hanya saja yang satu lebih sempurna dari yang lain. Tetapi di manapun akan ada hukuman pidana. Dengan alasan sudah pembawaan alami manusia menuntut agar hak-haknya dipertahankan dengan selayaknya, dan hal tidak bisa terjadi jika orang-orang tidak hidup didalam suatu masyarakat dengan hukum pidan posititif.57

Menurut Alf Ross pidana adalah merupakan tanggung jawap sosial di mana terdapat pelanggaran terhadap aturan hokum yang dibuat. Tanggung jawab untuk menegakkan aturan terhadap aturan tersebut dilaksanakan oleh lembaga yang mengatasnamakan penguasa. Selanjutnya Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat melainkan agar jangan berbuat kejahatan lagi.58

Berbicara masalah pidana tentu tidak lepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Menurut Prof. Soedarto dikatakan bahwa:

56

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009 Cetakan I., hlm 158

57

Lili Rasjidi. Filsafat Hukum Apakah Hukum itu. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 1991 hlm 151-152

58


(1)

c. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kenakalan dan kejahatan anak dengan langkah-langkah yang terutama dilakukan pemerintah memperbaiki kehidupan warga masyarakat, agar dibidang sosial ekonomi mengalami peningkatan, misalnya kenaikan gaji pegawai negeri, peningkatan subsidi terhadap pusat-pusat industri kecil, dan masyarakat juga harus melakukan nasehat langsung kepada anak yang bersangkutan agar anak tersebut meninggalkan perbuatan yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku yakni norma hukum, susila dan agama dan masyarakat juga harus berani melaporkan kepada pihak yang berwenang tentang adanya perbuatan delinkuen sehingga dilakukan langkah-langkah prevesi secara menyeluruh.

B.Saran

Setelah menganalisa data-data yang ada, maka saran penulis mengenai “Pengaruh Tingkat Ekonomi Keluarga Terhadap Kenakalan dan Kejahatan Anak di Tinjau dari Aspek Hukum Perlindungan Anak”, adalah sebagai berikut:

1. Memperhatikan kondisi global saat ini, maka sangat diharapkan kepada pemerintah untuk menangani masalah juvenile delinquency diadakan dalam totalitas anasir sedini mungkin, yang dapat meningkatkan taraf hirup orang banyak. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerusan cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas


(2)

perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.

Meskipun Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, perlu didasarkan pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya merupakan bagian pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian Orangtua, keluarga dan masyarakat bertanggung jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam menyelenggarakan perlindungan anak, Negara dan pemerintahan bertanggung jawab menyediakan fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara optimal dan terarah.

2. Menindak lanjuti pelaku kenakalan dan kejahatan anak baik yang dilakukan perorangan maupun yang dilakukan dengan cara terorganisasi. Dalam hal ini diperlukan ketegasan dan keteguhan hati dari aparat penegak hukum untuk memberikan perlindungan dan jaminan bagi masyarakat untuk menindak tegas kenakalan dan kejahatan anak baik kalangan ekonomi rendah atau ekonomi menengah keatas. Dalam hal ini pemerintah, masyarakat dan keluaraga atuapun aparat penegak hukum sangat dibutuhkan kerjasama sama yang baik agar dapat memberikan suatu kepastian untuk menindak lanjuti dalam proses hukum ataupun proses tindakan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Arif Gosita,1989. Masalah Perlindungan Anak. Jakarta: Akademi Presindo Abdul Hakim Garuda Nusantara. 1986” Proses Perlindungan Anak”. Makalah.

Jakarta: Seminar perlindungan Hak-hak Anak.

Agung Wahyono dan Ny. Siti Rahayu, 1993Tinjauan Tentang Peradilan Anak Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.

Bismar Siregar, 1980 Masalah Penahanan dan Hukuman Terhadap kejahantan Anak. Majalah Hukum dan Pembangunan No.4 Tahun x.

Bimo Walgito, 1982. Kenakalan Anak ( Juvenile Delinquency), penerbit yayasan Fakultas Psykologi UGM, Yogyakarta.

B. Simanjuntak. 1975. Latar Belakang Anak Kenakalan Anak dan Remaja Bandung .


(4)

Kartini Kartono, 1992 Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta.

Lilik Mulyadi. Pengadilan Anak di Indonesia dan Teori, Praktik dan Permasalahannya. Bandung

Maidin Gultom. 2010. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. PT. Refika Aditama, Bandung.

Maulana Hasan Wadong. 2000, Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak, PT. Grafindo, Jakarta

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni

Muladi. 1995 Kapita selekta Hukum pidana. Semarang: Badan penerbit Universitas Diponegoro.

Marlina (2009), Peradilan Pidana Anak di Indonesia, PT Refika Aditama, Cetakan I. Bandung.

Romli Atmasasmita, 1983. Problema Kenakaln Anak-anak/ Remaja, Armico Bandung.

Saleh, Roeslan. 1982. Pertanggungjawaban Hukum Pidana. Cetakan I. Jakarta: Galia Indonesia.

Soedjono Dirjosisworo. 1984. Ruang Lingkup Kriminologi. Remajda Karya, Bandung.


(5)

Sudarsono. 2008. Kenakalan Remaja (prevesi, rehabilitas, dan resosialisasi, Jakarta

Wagiati Soetodjo, SH.,M.S. 2005. Hukum Pidana Anak. PT. Refika Aditama. Bandung.

Peraturan Perundang-undangan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

Undang-undang No.23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Negara Indonesia

Internet

http/www.google. Menanggulangi Kenakalan Anak- Remaja: diakses pada 03 Juni 2011.


(6)

http://mo2gi.studen.umm.ac.id/ 2010/02/05/ remaja problema dan solusinya, diakses tanggal 27 Juni 2011

Jones dan Pritchard http//www. Google.com 2008 Menanggulangi Kenakalan Anak- Remaja: 03 Juni 2011

Maslow,Teori Kebutuhan Memahami Remaja.

http://www.unicef.org/indonesia/uni-jjs1_2final.pdf, diakses pada tanggal 28 April 2011