Dilihat dari Sudut Kebutuhan Primer Manusia

72 E. PERKEMBANGAN TEKNOLOGI

a. Dilihat dari Sudut Kebutuhan Primer Manusia

Menurut J.J. Honigmann dalam bukunya The world of Man 1959: 290 teknologi diterjemahkan sebagai segala tindakan baku dengan apa manusia merobah alam, termasuk badannya sendiri atau badan orang lain...‖. Teknologi tradisional paling tidak mengenal delapan macam sistem peralatan dan unsur kebudayaan fisik yang dipakai manusia meliputi: alat produktif, senjata, wadah, alat-alat menyalakan api, makanan, minuman, jamu, bahan pembangkit gairah, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan alat-alat transportasi. Dari kedelapan unsur tersebut hanya empat unsur yang akan menjadi topik pembahasan di makalah ini. 1. Alat Produksi: Dari Kapak Batu Sampai Mesin Alat-alat produksi merupakan alat yang dipakai dalam pekerjaan untuk menghasilkan barangbenda yang dikonsumsi atau diperjualbelikandipertukarkan. Alat-alat produksi terdiri dari alat yang sangat sederhana sampai yang kompleks. Dari segi bahan bakunya, mulai terbuat dari batu sampai logam atau besi. Dari sudut pemakaiannya bisa dibedakan menurut fungsinya dan lapangan pekerjaaanya. Dari sudut fungsinya, alat-alat produksi dapat berupa alat potong, alat tusukpembuat lubang, alat pukul, alat penggiling, alat peraga, untuk menyalakan api, meniup api, tangga, dan sebagainya. Dari sudut lapangan pekerjaannya dapat berupa alat-alat rumah tangga, alat pengikaltenun, alat pertanian, alat penangkap ikan, jerat dan sebagainnya. Teknik tradisional pembuatan alat-alat dari batu pernah dikaji oleh ahli prehistori K.T. Oakley Man the Toolmaker, 1950, menurutnya pembuatan alat-alat dari batu dapat diakukan dengan empat teknik yaitu: teknik pemukulanpercussion-flaking; teknik penekananpressure flaking; teknik pemecahanchipping; teknik penggilingangrinding. Alat-alat yang terbuat dari tulang, gading atau gigi, teknik pembuatannya lebih bersifat pembentukan. Hal ini disebabkan bentuk tulang, gading dan gigi telah memiliki bentuk yang kurang lebih sama dengan bentuk yang diperlukan. Teknik ini disebut retouching. Sedangkan 73 pembuatan alat-alat dari logam, biasanya menggunakan teknologi pandaitempa serta teknologi menuang. Kerangka teknologi pada masyarakat tradisional yang belum banyak tersentuh oleh unsur budaya modern pada tabel di bawah ini Koentjaraningrat, 1981: 344 – 345. Sebagaian dari teknologi tersebut sudah tidak dipakai lagi, ada yang telah berpindah tempat menghiasi ruangan museum ataupun galeri. Sebagian lagi menjadi barang souvenir atau cinderamata. Kapak batu, sudah sangat sulit untuk ditemukan dalam kehidupan masyarakat. Pembuatan api dengan memukul batu sudah jarang ditemukan. Koteka orang Papua sebagaian telah menghiasi dinding rumah mereka. Alat-alat pemotong tidak lagi terbuat dari batu ataupun tulang, tetapi dari logam maupun dari stanlees. Pembuatannya tidak lagi dengan hand made tetapi dengan mengunakan alat-alat modern. Tabel: Kerangka Teknologi Tradisional Macam Peralatan Bahan Mentah Teknik Pembuatan Pemakaian Alat-alat Produktif Batu Logam Tulang Dipukul, ditekan, dipecah Retouching Menuang Alat memotong, menusuk, membuat lubang, pemukul, penggiling Senjata Batu Tulang Logam Kayu, bambu Dipukul, ditekan, dipecah Retouching Memandai, menuang Senjata potong, pukul, tusuk, lempar, penahan. Alat-alat menyalakan api Batu Api Menggesek Alat Meniup Api Kulit Bambo Ububan api Pompa api Makanan Sayuran, daunan, akar-akaran, biji- bijian, daging, susu Masak diatas api Masak dengan batu panas Pembuatan arak Dimakan, diminum, dihisap Pakaian Kulit pohon Kulit binatang Bahan tenun Memintal, menenun, teknik ikat, teknik celup Penahan pengaruh alam, lambang gengsi, 74 lambang suci, perhiasan Tempat Perlindungan Kayu, bambu, kulit pohon, tanah liat Menyusun, mengikat, memangku Tadah angin, tenda, gubuk, rumah Alat Transportasi Kulit binatang Kulit kayu Prinsip moccasin Prinsip sandal Sepatu, sepatu salju Kayu Travois, alat seret, kereta kuda Kayu, bambo, jerami, kulit kayu, kulit binatang Rakit, perahu, lesung, perahu cadik, perahu kecil Alat transportasi di air Sumber: Koentjaraningrat, 1981. 2. Pakaian: Dari Daun Hingga Kain Sutera Pakaian dikenakan oleh sekelompok masyarakat ketika mereka membutuhkan alat pelindung tubuhnya dari cuaca alam serta untuk menutupi alat kemaluannya. Pada perkembangan selanjutnya, pakaian tidak hanya berfungsi sebagaimana disebutkan di atas, tetapi telah berkembang menjadi benda-benda kesenian. Pakaian juga merupakan bagian terpenting dalam sistem upacara. Secara umum, pada sistem upacara agama ‗modern‘. Komunitas agama Hindu dan Islam dalam ritualnya dianjurkan untuk mengenakan pakaian warna putih. Kain ihram yang dikenakan ada saat ibadah haji umat Islam. Kain yang berwarna kuning yang diselempangkan dan membalut tubuh seorang Biksu pada agama Budha. Atau pakaian warna hitam dalam upacara kematian komunitas Tionghoa, merupakan beberapa contoh hubungan pakaian dengan ritual. Dari aspek bahannya, pakaian bisa berasal dari bahan tenun, kulit pohon, kulit binatang, daun-daunan, bulu binatang, kulit labu, atau bambu. Masyarakat Baduy, Jawa, SumateraMelayu yang telah mengenal alat tenun biasanya telah menggunakan pakaian dari kain. Pada masyarakat Baduy warna pakaian dipakai sebagai identitas budaya mereka. Bagi Baduy dalam, ikat kepala putih menjadi simbol mereka. Sementara Baduy luar 75 menggunakan ikat kepala hitam . masyarakat Baduy tidak terlalu banyak mengenal konsep warna untuk pakaiannya. Berbeda dengan masyarakat Jawa yang mengenal teknik batik. Warna dan motif bajunya sangat beragam. Beberapa antropolog pernah melakukan studi tentang batik, diantaranya J.E. Jasper dan M. Pirngadie De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch-Indie, 1912 – 1930. G.P. Rouffaer dan H.H. Juynboll De Batikkuns in Nederlandsch-Indie en Haar Geschiedenis, 1914. Pakaian dari kulit binatang ditemukan pada masyarakat Indian Amerika Utara, dan masyarakat yang hidup di daerah sub-tropis Kanada, Greenland. Masyarakat Dhani di Papua hanya menggunakan koteka dari labu untuk kaum laki-laki. Sementara kaum perempuannya mengenakan salee dari jerami yang dirangkai untuk menutupi tubuh bagian bawah. Tradisi pemakaian koteka dilakukan ketiak anak laki-laki sudah mencapai usia 5 – 6 tahun, sedangkan pemakaian salee dilakukan pada saat bayi perempuan baru disapih, usia 2 – 3 tahun. Dari aspek fungsinya, pakaian dikelompokan ke dalam empat golongan: a. Pakaian sebagai menahan pengaruh alam b. Pakaian sebagai lambang keunggulan dan gengsi c. Pakaian sebagai lambang yang dianggap suci d. Pakaian sebagai perhiasan badan Masyarakat suku di daerah tropis pada awal perkembangan kebudayaannya tidak begitu mengenal pakaian yang berfungsi menahan pengaruh alam. Jika mereka mengenal konsep pakaian, biasanya hanya digunakan untuk menutupi bagian alat kelaminnya. Di Indonesia dapat dilihat tradisi mengenakan koteka dan salee pada laki-laki dan perempuan Papua. Orang Tugutil dan anak rimba di Jambi yang hanya membalutkan kain pada bagian kelaminnya. Pakaian sebagai lambang keunggulan dan gengsi bisa dilihat pada model-model pakaian orang-orang Indian yang didominasi leh tulang dan bulu unggas yang biasanya dikenakan oleh ketua sukunya. Pada masyarakat 76 modern, pakaian kebesaran militer atau seragam pegawai negeri menunjukan keunggulan. Seorang komandan militer akan mengenakan pakaian dengan atribut kepangkatannya yang berimplikasi pada penghormatan orang-orang dibawahnya. Sesungguhnya seseorang memiliki kewenangan dan kekuasaan bisa dipengaruhi oleh pakaian yang dikenakan. Seorang polisi akan dengan sigap dan berani mengatur lalu lintas ketika ia memakai seragam polisi lalu lintas dan orang akan patuh padanya. Tetapi jika baju seragamnya dilepas, maka orang-orang di jalan mungkin tidak akan menghormati dan mematuhi aba-aba yang diberikannya. Begitu pula halnya dengan sesorang yang memakai seragam pegawai negeri sipil. Ia bisa saja menerima dan menolak untuk memberikan pelayanan publik pada masyarakat. Ketika ia melepas baju seragamnya, ia tidak memiliki kewenangan lagi. Sebagai lambang yang dianggap suci, pakaian biasanya dikenakan pada saat upacaramelaksanakan ritual keagamaan. Mukena pada komunitas muslimah dianggap sebagai pakaian suci. Jubah pendeta hanya dikenakan pada ritul keagamaan. Pakaian raja yanga hanya dikenakan pada upacara kebesaran juga dianggap sebagai pakaian suci. Pakaian sebagai hiasan badan biasanya hanya mengedepankan aspek estetika. Munculnya konsep mode pakaian, kerena melihat fungsi dari keempat pakaian. Pada masyarakat tradisional, mode pakaian tidak begitu beragam dibanding pada masyarakat modern. Pakaian sebagai bagian perhiasan badan pada umumnya dipakai pada saat-saat tertentu. Pada masyarakat modern nilai-nilai estetika pakaian kadang berbenturan dengan nilai etika. Mode tank top pada kaum remaja putri mungkin sangat indah dan menarik. Tetapi pada komunitas tertentu mode ini dianggap tidak baik. Motif warna-warni dan beraneka bentuk, bagi masyarakat tertentu mungkin indah dan baik. Tetapi tidak bagi masyarakat Baduy dalam. Hukum relativitas budaya pada akhirnya berlaku pada pakaian. Artinya jenis pakaian tertentu dianggap sebagai pakaian yang wajar, baik, dan indah. Tetapi masyarakat lainnya menganggapnya tidak wajar, tidak baik, dan tidak indah. Bagi perempuan Suku Dhani Papua memakai salee 77 adalah wajar, tetapi menjadi tidak wajar jika dikenakan oleh masyarakat luar Papua. Mengenakan sarung pada komunitas pesantren adalah hal yang wajar, tetapi tidak wajar jika dikenakan pada saat ke gereja. Salah satu masalah yang berkaitan dengan pakaian masyarakat tradisional adalah ancaman kepunahan, sebagaimana teknologi dan peralatan hidup lainnya yang telah punah. Pakaian tradisional pada masa sekarang ini telah tergeser oleh mode pakaian Barat. Ketika masyarakat telah melakukan kontak budaya dengan masyarakat lainnya yang lebih maju, maka terdapat kecenderungan cara berpakaian yang sama diantara keduanya. Kini sudah tidak ada lagi perbedaan penampilan antara laki-laki dan perempuan. Mereka sama-sama menggunakan jas, t-shirt dan celana jeans, baju berdasi dan celana resmi. Semakin modern jaman, semakin sedikit juga bagian tubuh yang ditutupi. Bahkan di salah satu pantai di Australia mewajibkan pengunjung untuk benar-benar telanjang bulat jika memasuki pantai tersebut. 3. Transportasi: Dari Jalan Kaki Sampai Concorde Pada awal kebudayaan umat manusia, transportasi hanya mengandalkan jalan kaki. Masyarakat yang berburu, mencari binatang buruannya dengan cara jalan kaki. Masyarakat yang mengumpulkan bahan makanan dihutan juga dengan jalan kaki. Pejalan kaki yang bertelanjang kaki banyak ditemukan pada suku bangsa Afrika Timur dan Selatan, Asia Tenggara dan suku Aborigin. Beberapa masyarakat kemudian menemukan konsep sandal untuk melindungi kaki dari benda-benda tajam. Konsep sandal banyak ditemukan pada suku bangsa Eropa, Asia, Amerika Tengah dan Selatan. Atau membungkus kaki dengan kulit binatang yang disebut moccasin. Prinsip moccasin ditemukan pada suku-suku bangsa di Siberia Utara dan Amerika Utara. Di daerah Utara, masyarakatnya mengenakan sepatu salju yang terbuat dari dahan kayu. Meskipun jaman sudah berubah, sampai sekarang masih dijumpai kelompok masyarakat yang hanya berjalan kaki untuk menuju suatu tempat. Ada dua alasan, mengapa mereka berjalan kaki. Pertama, mereka tidak 78 mengenal alat-alat transportasi lain. Kedua, terdapat pantangan dari adat yang melarang warganya bepergian dengan menggunakan alat transportasi. Pada masyarakat tradisional alat-alat transportasi bisa berupa sepatu, binatang, alat seret, kereta beroda, rakit ataupun perahu. Alat-alat seperti itu hanya mengandalkan tenaga manusia dan binatang yang dikombinasikan dengan alat-alat yang lain. Travois anjing misalnya. Alat transportasi ini menggunakan tenaga anjing sebagai tenaga penggeraknya dengan memberikan dua kayu panjang disisi tubuh anjing sebagai tempat barang. Travois anjing ini ditemukan pada suku bangsa Indian Amerika Utara yang hidup di daerah stepa. Delmanandong merupakan contoh alat transportasi yang menggabungkan unsur roda pada pada alat yang ditarik oleh binatang. Berbagai alat transportasi tradisional tersebut geraknya sangat dibatasi oleh ruang dan waktu. Berbeda dengan alat transportasi modern yang mampu menaklukkan ruang dan waktu. Pesawat Concorde, pesawat ulang- alik Discovery, atau pesawat terbang yang mampu mengatasi ruang dan waktu. Bahkan pesawat terbang dengan kecepatan 2000 kmjam mampu melewati batas waktu. Ruang dan waktu dengan menggunakan alat transortasi super cepat lagi sudah bukan kendala lagi. Meskipun demikian, bukan berarti seluruh alat transportasi modern menjadi punah dan tidak dipakai lagi. Di kota-kota besar atau daerah-daerah yang mengandalkan pendapatan dari pariwisata, alat-alat transportasi tradisional justru menjadi bagian dari paket wisata. Sebagai contoh, kereta Onta di kawasan Taj Mahal India. Becak di kawasan wisata malioboro Yogyakarta. Kuda di padang pasir Gunung Bromo, sepeda kayuh di Jakarta dan lain-lain. 4. Tempat Tinggal: Dari Gua Sampai Apartement Ketika peradaban manusia masih sangat sederhana, belum mengenal konsep rumah, villa apalagi apartement, gua dan pohon merupakan bentuk tempat tinggal dan berlindung yang sangat primitif. Gua tidak hanya berfungsi melindungi diri dari panas terik matahari, udara dingin, hujan yang mengguyur tubuh, tetapi juga sebagai tempat berlindung dari ancaman 79 binatang buas. Manusia zaman batu yang belum mengenal konsep rumah, tidak memiliki teknologi dan peralatan hidup yang memungkinkan mereka membuat tempat tinggal yang lebih kompleks dan rumit. Jenis-jenistempat berlindung dan tempat tinggal telah banyak mendapat perhatian dari para antropolog. Aneka bentuk perlindungan telah teridentifikasi dalam literature antropologi. Hasil identifikasi tersebut menunjukan bahwa, tempat tinggal yang terbuat dari kayu, bambu, serat, jerami serta kulit kayu dapat dijumpai di setiap benua. Rumah yang terbuat dari tanah liat dapat dijumpai di daerah-daerah yang sangat kering sekali dengan curah hujan yang sangat rendah, misalnya di Afrika. Suku bangsa di Asia Barat Daya, Asia Tengah, Siberia dan Amerika Utara yang hidup dari berternak dan berburu, hidup di dalam tenda-tenda yang terbuat dari kulit binatang. Suku bangsa Indian di Amerika Utara hidup di rumah yang terbuat dari kulit pohon. Rumah yang terbuat dari batu atau batu bata merupakan tempat tinggal yang dapat ditemukan di daerah perkotaan atau pedesaan. Rumah salju iglo dapat ditemukan di suku bangsa Eskimo di daerah Kanada Utara bagian tengah dan Greenland. Secara antrompologis, bentuk rumah manusia dikelompokkan ke dalam tiga jenis, yaitu: rumah yang setengah di bawah tanah semi- subterranian dwelling, rumah di atas tanah surface dwelling, dan rumah di atas tiang pile dwelling. Dari sudut penggunaannya, tempat berlindung dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: tadah angin, tenda atau gubuk yang bisa dilepas, dibawa serta dipasang lagi, serta rumah untuk menetap. Rumah untuk menetap memiliki beberapa fungsi sosial, diantaranya rumah tempat tinggal keluaraga inti, tempat tinggal keluarga besar, rumah suci, rumah pemujaan, rumah tempat berkumpul umum serta rumah pertahanan Koentjaraningrat, 1981: 350 – 351. Tempat tinggal adalah bangunan fisik yang berfungsi sebagai tempat berlindung guna menunjang aktivitas sosial para penghuninya. Pemukiman merupakan satuan kelompok rumah yang memiliki ciri spesifik tertentu dan berfungsi sebagai kawasan huniantempat tinggal yang dilengkapi dengan sarana, prasarana, serta fasiltas penunjang aktivitas para warganya. Secara 80 antropologi, istilah pemukiman dari masing-masing komunitas berbeda- beda. Bahan dan alat yang dipakai untuk membuat tempat tinggal seringkali ditentukan oleh kondisi lingkungan dan sumber daya alamnya. Sejak awal memang terdapat saling keterkaitan antara organisme hidup dengan lingkungannya yang pada akhirnya melahirkan istilah ekologi budaya. Meskipun tidak semua antropolog berpendapat bahwa tidak selalu alam sekitar mempengaruhi kebudayaan masyarakat, termasuk dalam membuat tempat tinggal. Keampuan manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan geografinya kemudian melahirkan konsep ekologi budaya. Rumah dengan mobil yang berjajar di garasi, pilar yang kokoh, pagar yang artistic menunjukan status sosial ekonomi tinggi pada masyarakat perkotaan. Tempat tinggal di apartement, dengan pembagian ruang secara vertikal, didiami keluarga-keluarga inti, atau bahkan single parent. Hubungan sosial yang renggang dengan privacy yang tinggi sebagai simbol tempat tingal orang-orang kaya yang sangat membutuhkan privacy. Orang- orang yang tinggal di rumah susun yang kurang terawat, dengan nuansa kampung merupakan simbol tempat tinggal orang-orang kelas menengah yang tidak mampu untuk mendirikan rumah atau membeli sebuah apartement. Bahan bangunan rumah masa kini sebagian besar merupakan hasil pabrikan. Seperti batako, semen, besi, kaca, alumnium, dan plastik. Oleh karena itu, membangun rumah pada masyarakat perkotaan membutuhkan biaya yang besar. Belum lagi untuk membayar ongkos tukang. Bagi orang kaya membangun rumah bukanlah hal yang rumit. Mereka bisa langsung membeli rumahapartement yang sudah jadi. Tinggal masuk tanpa boyongan membawamengangkutmemindah barang, karena keperluan perabotan rumah tangga sudah disediakan oleh pihak pengembang. Faktor lain yang membedakan bentuk tempat tinggal masyarakat satu dengan lainnya, adalah faktor demografi. Tempat tinggal keluarga inti dengan jarak yang berjahuan pada umumnya dikarenakan jumlah penduduknya yang sedikit sementara wilayahnya sangat luas. Pola 81 pemukiman yang padat dan cenderung kumuh, dikarenakan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan luas wilayah. Muncunlya rumah susun dan apartement, untuk menjawab kepadatan penduduk yang tinggi dengan keterbatasan dan mahalnya lahan untuk tempat tinggal. Pemnbangunan menyamping sudah tidak mungkin lagi dilakukan. Oleh karen itu tempat tinggal dalah bentuk rumah susun dan apartement hanya ditemukan pada masyarakat yang jumlah penduduknya sangat banyak.

b. Dilihat dari Sudut Sistem Teknologi Informasi