Mandiarin De No Kekkon No Dandori

(1)

MANDAIRIN DE NO KEKKON NO DANDORI” KERTAS KARYA

Dikerjakan O

L E H

NIM : 062203036

AZHARI RIFANDI SIREGAR

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA

BIDANG STUDI BAHASA JEPANG MEDAN


(2)

“MANDAIRIN DE NO KEKKON NO DANDORI”

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

NIM : 062203036

AZHARI RIFANDI SIREGAR

Pembimbing Pembaca

M Pujiono, S.S.,M.Hum NIP. 132299344

Muhibbah, S.S.

Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA


(3)

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra

Univesitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua,

Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum. NIP 131662152


(4)

PENGESAHAN

Diterima Oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk Melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 132098531

Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

Panitia :

No Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S.,M.Hum. ( )

2. M Pujiono, S.S.,M.Hum. ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesikan kertas karya ini, sebagai persyaratan untuk memenuhi ujian akhir Diploma III Program Study Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kertas karya ini berjudul “TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DI MANDAILING” .

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna dimana masih banyak kekurangan baik dari segi materi maupun penulisan. Sehingga dengan segala kerendahan hati penulis akan menyambut saran dan kritik dari pembaca untuk kearah perbaikan demi kesempurnaan tulisan ini.

Dalam penulisan kertas karya ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, Untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

− Bapak Drs. Syaifuddin, MA., Ph.D selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

− Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

− Bapak M. Pujiono, S.S., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan kertas karya ini.

− Ibu Muhibbah, S.S. Selaku Dosen Pembaca yang telah ikut membantu dalam penulisan kertas karya ini.


(6)

− Seluruh Staff pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

− Teristimewa kepada kedua Orang tua tercinta Ayahanda Faedha Ara Siregar dan Ibunda Nurmawati Pasaribu, yang telah mencurahkan segala daya dan upaya baik berupa dorongan moril maupun materil selama ini sehingga selesainya Kertas Karya ini.

− Yang tercinta buat semua Kakak dan Abang saya, Desmayani, Wildayani, Juhendri, Rahmayani, Rizki Hamdani Siregar, yang sudah memberikan dorongan, semangat dan materi sehingga selesainya perkuliahan dan penyusunan kertas karya ini.

− Buat teman-temanku: Edwin Syahputra, Marini Halimah, Ilmi, Yos Pranata, T Agri, Noprialdi, Maman Arman, Yafidz Home, Ramadanil Qodri yg mewakili dari alumni 2005 dan teman-teman Mahasiswa di Fakultas Sastra USU

Terkhusus teman-teman stambuk 2006 dan 2007 Bahasa Jepang.Buat Fadiah “Thanks awfully because already will accompanies me during compile this final project compilation and thank you also make attention that you give for me”.

Medan, 25 Mei 2009 Penulis,

Azhari Rifandi Siregar


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ... 1

1.2 Tujuan Penulisan ... 1

1.3 Pembatasan Masalah ... 2

1.4 Metode Penulisan ... 2

BAB II GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING ... 3

2.1 Letak Geografis ... 3

2.2 Agama ... 4

2.3 Penduduk ... 5

2.4 Mata Pencaharian ...5

BAB III TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DI MANDAILING ... 6

3.1 Acara di Rumah Boru Na Ni Oli ... 6

3.2 Manulek Sere ... 7

3.3 Mangalehen Mangan Pamunan ... ... 9

3.4 Acara Pernikahan ... ... 10

3.4.1. Horja Pabuat Boru ... ... 10

3.4.2. Horja Haroan Boru ... ... 11


(8)

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ... 14

4.1 Kesimpulan ... 14

4.2 Saran ... 14


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Alasan Pemilihan Judul

Di Indonesia terdapat kebudayaan daerah yang beragam. Kebudayaan daerah yang beraneka ragam itu merupakan harta budaya bangsa yang tidak ternilai harganya. Namun seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya teknologi, kebudayaan di Indonesia mulai dilupakan. Salah satu kebudayaan itu terdapat di daerah Mandailing.

Di Mandailing terdapat beraneka ragam kebudayaan yang sangat menarik untuk dibahas, seperti adat istiadat pelaksanaan perkawinan, upacara pernikahan, tata cara pelaksanaan pernikahan dan lain-lain. Di dalam tata cara pelaksanaan pernikahan ada beberapa tahap yang harus dilakukan sebelum upacara pernikahan dilaksanakan, dan tahap – tahap tersebut sangat menarik untuk dibahas.

Dengan alasan diatas, maka penulis tertarik untuk membahas Tata Cara Pelaksanaan Perkawinan Di Mandailing sebagai judul kertas karya ini.

1.2. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memperkenalkan salah satu upacara pernikahan yang ada di Indonesia. 2. Untuk menambah wawasan pembaca dan penulis tentang tata cara pelaksanaan

pernikahan yang ada di Mandasiling.

3. Untuk mengetahui tata cara pelaksanaan pernikahan di Mandailing.

4. Melengkapi persyaratan untuk kelulusan dari D3 Bahasa Jepang Universitas Sumatera Utara.


(10)

1.3

Pembatasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis hanya membahas tentang tata cara pelaksanaan perkawinan di Mandailing, Yaitu Acara di Rumah Boru Na Ni Oli, Manulak Sere, Mangalehen Mangan Pamunan dan Acara Pernikahan.

1.4

Metode Penulisan

Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan yaitu metode mengumpulkan data atau informasi dengan membaca buku yang berhubungan dengan judul. Selanjutnya data dibahas dan dirangkum untuk kemudian dideskripsikan ke dalam bab yang ada di kertas karya ini.


(11)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT MANDAILING

2.1. Letak Geografis

Sebelum Mandailing menjadi sebuah kabupaten, wilayah ini masih termasuk Kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah terjadi pemekaran, dibentuklah Kabupaten Mandailling berdasarkan undang-undang Nomor 12 tahun 1998, secara formal diresmikan oleh Menteri Dalam negeri pada tanggal 9 Maret 1999.

Mandaling adalah suatu wilayah yang terletak di Kabupaten Mandailing Natal di tengah pulau Sumatera. Batas – batas Kabupaten Mandailing adalah sebagai berikut :

1. Di sebelah Utara berbatasan dengan Angkola. 2. Di sebelah Barat berbatasan dengan Pesisir.

3. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Minangkabau. 4. Di sebelah Timur berbatasan dengan Padanglawas.

Masyarakat Mandailing membagi wilayahnya menjadi dua bagian. Kawasan di bagian utara dan sedikit di barat dinamakan Mandailing Godang, sedangkan dibagian selatan disebut Mandailing Julu. Keadaan tanah Mandailing Godang merupakan kawasan yang dikelilingi gunung-ganung. Di antaranya gunung berapi yang masih hidup, yaitu Gunung Sorik Marapi yang terletak di perbatasan antara Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Di tengah-tengah gunung-gunung yang terletak di sebelah timur, barat dan selatan, terhampar dataran rendah Mandailing Godang yang cukup luas dan berhawa panas. Dahulu terdapat banyak rawa-rawa yang mengeluarkan hawa yang tidak sehat dan menjadi sarang nyamuk malaria. Di


(12)

kemudian hari, dataran itu diolah penduduk menjadi persawahan. Sekarang Mandailing Godang terkenal sebagai penghasil beras utama di Mandailing. Kaki-kaki gunung dan tanah-tanah yang tidak digunakan untuk persawahan ditanami penduduk dengan getah (karet). Tanah pendesaan dan lingkungan sekitarnya umumnya ditanami kelapa. Sehingga Mandailing Godang terkenal sebagai sumber kelapa di Mandailing.

2.2. Agama

Orang Mandailing kira-kira 60% menganut agama Islam, 30% agama Kristen, 5% agama Hindu, 4% agama Budha, dan kira-kira 1% masih menyembah Berhala. Oleh karena itulah agama islam sangat besar pengaruhnya dalam pelaksanaan upacara-upacara adat. Bahkan dalam upacara-upacara kematian dan hukum waris sebagian besar memakai huku m Islam.

Di Mandailing ada falsafah yang menyebutkan Hombar do adat dohot ibadat, yang berarti adat dan ibadah tidak dapat dipisahkan, adat tidak boleh bertentangan dengan agama Islam. Jika dalam upacara adat ada hal-hal yang mengganggu dengan pelaksanaan agama, maka adat itu harus dikesampingkan.

2.3. Penduduk

Jumlah penduduk Kabupaten Mandailing tahun 2007 yakni 417.590 jiwa. Penduduk asli Kabupaten Mandailing terdiri dari dua etnis yaitu masyarakat etnis Mandailing dan masyarakat etnis Pesisir.

Dalam sistem kehidupan, masyarakat Mandailing menggunakan sistem Dalihan Na Tolu atau tiga tumpuan. Artinya mereka terdiri dari Mora (kelompok kerabat pemberi anak dara) Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara).


(13)

Penduduk Mandailing sangat terikat dan percaya dengan susunan dari bawah hingga atas yang berdasarkan dari latar belakang kemasyarakatan. Orang-orang sangat hormat kepada pendiri silsilah dan jabatan. Daerah Mandailing mempunyai majelis sendiri, pemimpin yang dipilih berdasarkan dari warisan nenek moyang mereka. Pemimpin bertugas memimpin acara-acara tradisional dan mendirikan hukum-hukum yang berhubungan dengan warisan dan perkawinan.

2.4. Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Mandailing yang paling utama adalah bertani dengan mengolah sawah. Areal persawahan yang paling cukup luas terdapat di Mandailing Godang.

Orang Mandailing senantiasa bergotong royong untuk mengolah sawah, misalnya dalam mengerjakan tanah dan menanam padi secara bersama-sama yang disebut Marsialap Ari, dan kegiatan bersama-sama memanen padi disebut Manyaraya.


(14)

BAB III

TATA CARA PELAKSANAAN PERKAWINAN DI MANDAILING

3.1

Acara di Rumah Boru Na Ni Oli

Apabila seorang laki-laki dan seorang perempuan saling kenal dan saling suka sama suka diharapkan hubungan ini berlanjut ke jenjang perkawinan. Perempuan yang akan masuk ke dalam keluarga laki-laki diharapkan membawa tuah, oleh sebab itu tata cara perkawinan ini harus sesuai dengan tata cara yang dilakukan sejak nenek moyang.

Dengan ikatan kekeluargaan ini bukan saja menimbulkan dua hubungan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan, namun lebih luas lagi yaitu hubungan kekeluargaan yang bersifat dalihan na tolu (kahanggi, anak boru dan mora).

Mangaririt Boru merupakan sebuah tugas orang tua untuk terlebih dahulu menyelidiki dan menjajaki siapa perempuan itu, apakah kalau mereka datang nanti untuk meminang akan diterima atau mungkin gadis tersebut sudah menerima pinangan orang lain.

Dalam acara Mangaririt boru ini pihak orang tua laki-laki menjelaskan terlebih dahulu bahwa anaknya (laki-laki) telah berkenalan dengan anak perempuan mereka. Mangaririt boru biasanya dilakukan oleh orang tua si laki-laki secara langsung, ada kalanya dengan membawa kahanggi dan anak boru. Setelah itu orang tua perempuan akan meminta waktu untuk menanyakan anaknya apakah ia menerima pinangan itu atau belum menerima pinangan orang lain.

Padamos Hata, merupakan pihak keluarga laki-laki yang akan datang kembali kerumah keluarga perempuan untuk meminang. Di dalam acara meminang ini


(15)

biasanya dibicarakan tentang hari yang tepat untuk datang meminang secara resmi (patobang hata). Dan membicarakan persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi pada waktu pinangan, yaitu tuhor (uang jujur), mas kawin dan perlengkapan-perlengkapan lainnya.

Patobang Hata, merupakan hari yang tepat untuk datang meminang. Dalam acara ini pihak keluarga laki-laki akan menyampaikan hasratnya dengan kata-kata yang benar-benar menunjukkan kesungguhan dan keinginan yang amat sangat dan biasanya disampaikan dengan perumpamaan.

3.2

Manulak Sere

Pada waktu acara manulak sere ini semua sanak famili harus lengkap. Pihak keluarga laki-laki berangkat setelah kahanggi, anak boru dan moranya sudah hadir terlebih dahulu untuk menyampaikan maksud kedatangan ke rumah perempuan untuk manulak sere (mengantar sere).

Dalam proses manulak sere, pihak keluarga laki-laki membawa batang boban yang telah disepakati sebelumnya ke rumah keluarga perempuan. Pada waktu manulak sere, di rumah keluarga perempuan sudah siap menunggu kedatangan rombongan anakboru yang akan manulak sere.

Rombongan yang datang biasanya selain membawa batang boban, juga membawa silua (oleh-oleh) berupa indahan tungkus (nasi yang dibungkus) dengan daun serta lauk pauknya dan juga beserta sipulut (ketan) yang sudah dimasak dengan intinya.

Pada pertemuan ini segala sesuatu yang telah dibicarakan sebelumnya diutarakan kembali dan menyampaikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk


(16)

mangaririt boru. Walaupun sudah ada pembicaraan sebelumnya dan sudah saling mengetahui, pada saat acara formal ini semua itu dianggap tidak pernah terjadi.

Adapun peralatan manulak sere ini harus disediakan oleh pihak laki-laki pada waktu berangkat menuju rumah pihak perempuan. Peralatan tersebut adalah

1. Pahar, sebagai tempat atau wadah untuk meletakkan semua peralatan dan barang yang

akan diserahkan.

2. Abit tonun patani (kain adat).

3. Bulung ujung (ujung daun pisang yang dipotong kira-kira selebar pahar). 4. Beras Kuning.

5. Keris. 6. Jagar-jagar.

7. Puntu (sebagai simbol pengikat). 8. Uang logam.

9. Arihir (tali pengikat).

3.3

Mangalehen Mangan Pamunan

Di dalam perkawinan menurut adat mandailing yang menganut sitem patriarchart, dimana anak perempuan yang akan melangkah ke jenjang perkawinan berarti akan meninggalkan keluarganya dan beralih kepada keluarga calon suami.Oleh sebab itu sebelum calon pengantin perempuan tersebut diberangkatkan, maka orangtuanya beserta sanak famili akan berkumpul untuk memberi makan anaknya yang disebut mangan pamunan (makan perpisahan).

Biasanya makanan yang dihidangkan adalah kambing yang sudah dimasak sempurna, kepala, hati, dan sepasang kaki, bagan atas harus masih terlihat bentuknya


(17)

dan diletakkan di atas tampi yang dialasi dengan ujung daun pisang. Lengkap dengan nasi, telur, udang, ikan, daun ubi (singkong) serta garam, sehingga upacara mangalehen mangan ini hampir sama dengan mangupa. Bedanya upacara mangalehen mangan ini dengan upacara mangupa adalah makanan yang dihidangkan harus benar –benar dimakan sampai kenyang. Itulah sebabnya upacara mangalehen mangan ini disebut juga dengan mambutongi mangan yang artinya makan sekenyang-kenyangnya.

3.4

Acara Pernikahan

Pernikahan merupakan suatu persyaratan yang harus dilaksanakan menurut hukum agama (islam). Perkawinan menurut hukum merupakan suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan disaksikan oleh sedikit-dikitnya 2 (dua) orang saksi, dimana ijab kabul (aanbodaanname) dikatakan dan mas kawin dipastikannya.

Pada umumnya pernikahan menurut islam adalah bagian dari perkawinan adat seluruhnya. Pernikahan dilangsungkan sebelum calon pengantin wanita (boru na ni oli) dibawa ke rumah calon pengantin pria (bayo pangoli). Meskipun acara perkawinan dilakukan menurut adat, namun persyaratan perkawinan menurut islam tidak boleh diabaikan.

1.

Horja Pabuat Boru

Perkawinan di Mandailing adalah perkawinan manjujur, pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak perempuan.Menurut hukum adat apabila terjadi sesuatu yang hilang (berpindah) harus ada pengganti agar tetap terjadi keseimbangan.


(18)

Akibat manjujur ini maka perempuan tersebut menjadi tetap di dalam lingkungan keluarga suaminya, demikian juga dengan anak-anaknya. Hubungan dengan keluarganya menjadi putus. Kalau suaminya meninggal, ia akan tetap tinggal dilingkungan keluarga suaminya. Jika ia ingin kawin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya. Jika ia ingin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya.

2.

Horja Haroan Boru

Di pihak boru na ni oli acaranya disebut Pabuat Boru, dan dirumah keluarga Bayo Pangoli disebut Haroan Boru. Pada saat direncanakan Patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), sebelum menetapkan untuk mengadakan Horja Godang (pesta adat) tersebut, pihak keluarga laki-laki (suhut) mengundang sanak famili (keluarga dekat) untuk Marpokat (mufakat). Biasanya di dahului dengan marpokat sabagas kemudian Marpokat Saripe dilanjutkan Marpokat Sahuta.

Dalam marpokat sahuta, Suhut menjelaskan tujuan melaksanakan horja godang dan mengharapkan bantuan dari semua pihak agar horja dapat berlangsung dengan baik. Dalam mufakat inilah di tentukan siapa yang ikut rombongan manglap boru, siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi, kesenian, undangan dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja.

Setelah acara marpokat tersebut, bayo pangoli dan boru na ni oli sampai di kampung bayo pagoli di Mandailing Godang. Mereka disambut dengan acara yang disebut mangalo-alo boru.

Pengantin Pria yang datang biasanya jika datang dari jauh (naik kendaraan) tidak langsung diturunkan didepan rumah, tetapi harus diarak kira-kira 50 m sebelum sampai rumah. Mereka disambut dengan penyambutan secara adat yang terdiri dari


(19)

gendang, pencak silat, payung kuning, tombak, pedang serta barisan keluarga penganten laki-laki sampai ke depan pintu.

3.

Mata Ni Horja

Mata Ni Horja merupakan hari pelaksanaan pesta perkawinan yang disebut “hari H”. Pada pagi harinya setelah tamu-tamu mulai berdatangan, uning-uningan (gendang) sudah dibunyikan. Untuk menyambut tamu dibunyikan gong. Raja-raja yang datang secara bergiliran diundang untuk manortor. Setelah selesai acara manortor, raja-raja, seluruh tamu-tamu harajoan diundang ke pantar bolak paradaton untuk markobar adat (sidang adat).

Setelah selesai markobar adat, sebelum penganten diupah-upah dan diberi gelar, diadakan acara marudur (arak-arakan) untuk melakukan acara marpangir (berlangir) kedua mempelai. Pengantin diarak ke tapian raja bangunan yang artinya membawa pengantin ke tepian untuk mandi (tapian rarangan). Mandi dan berlangir mempunyai tujuan untuk menghanyutkan habujingan (masa gadis) dan haposoan (masa anak muda). Jarak antara rumah dan tempat acara marpangir tersebut biasanya kira-kira berjarak 300m dari rumah, dan disesuaikan dengan kemampuan pengantin untuk berjalan.

Bahan yang diperlukan untuk mandi tersebut adalah pangir yang disediakan di dalam cambung (mangkok nasi). Pangir tersebut adalah jeruk purut yang sudah dipotong-potong, dan air.

Kemudian akan dilanjutkan dengan Mangalehen gorar (memberi gelar adat), yang artinya memberi gelar untuk kedua pengantin telah melepaskan masa mudanya dan menjalani adat matobang (masa berkeluarga-rumah tangga). Gelar ini yang akan dipakai untuk memanggil yang bersangkutan, terutama pada upacara-upacara adat.


(20)

Setelah itu dilanjutkan acara Mangupa yang merupakan acara puncak dari segala acara dari upacara perkawinan. Mangupa diartikan ungkapan kegembiraan, karena sesuatu yang diharapkan itu telah terwujud. Tujuan mangupa ini adalah agar tondi yang di upa selalu dalam perlindungan. Pelaksanaan mangupa di adakan setelah Manggoar (manabalkan nama). Tujuannya agar nama yang diberikan tersebut diterima tondi dohot badan kedua penganten.

Setelah Mangupa dilaksanakan, maka selesai seluruh rangkaian upacara perkawinan menurut adat.


(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Acara di rumah Boru Na Ni Oli merupakan acara meminang seorang anak perempuan,

2. Manulak Sere merupakan acara untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan serta membawa sebuah batang boban.

3. Sebelum calon pengantin perempuan diberangkatkan, maka orang tua beserta sanak family berkumpul untuk memberi makan terakhir kali kepada calon pengantin perempuan.

4.2 Saran

Adat istiadat (budaya) Mandailing yang mempunyai nilai-nilai luhur yang ada di dalam masyarakat haruslah dipertahankan dan dilestarikan. Karena adat adalah suatu nilai yang hidup ditengah masyarakat, sehingga nilai-nilai itu harus terus menerus tumbuh dan berkembang selaras dengan kehidupan itu sendiri.


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Forkala Sumut. Medan.

Hasil Musyawarah Adat Persadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna. 1993. Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. Padang Sidempuan.


(1)

dan diletakkan di atas tampi yang dialasi dengan ujung daun pisang. Lengkap dengan nasi, telur, udang, ikan, daun ubi (singkong) serta garam, sehingga upacara mangalehen mangan ini hampir sama dengan mangupa. Bedanya upacara mangalehen mangan ini dengan upacara mangupa adalah makanan yang dihidangkan harus benar –benar dimakan sampai kenyang. Itulah sebabnya upacara mangalehen mangan ini disebut juga dengan mambutongi mangan yang artinya makan sekenyang-kenyangnya.

3.4

Acara Pernikahan

Pernikahan merupakan suatu persyaratan yang harus dilaksanakan menurut hukum agama (islam). Perkawinan menurut hukum merupakan suatu perjanjian antara pengantin laki-laki dan wali pengantin perempuan disaksikan oleh sedikit-dikitnya 2 (dua) orang saksi, dimana ijab kabul (aanbodaanname) dikatakan dan mas kawin dipastikannya.

Pada umumnya pernikahan menurut islam adalah bagian dari perkawinan adat seluruhnya. Pernikahan dilangsungkan sebelum calon pengantin wanita (boru na ni oli) dibawa ke rumah calon pengantin pria (bayo pangoli). Meskipun acara perkawinan dilakukan menurut adat, namun persyaratan perkawinan menurut islam tidak boleh diabaikan.

1.

Horja Pabuat Boru

Perkawinan di Mandailing adalah perkawinan manjujur, pihak laki-laki berkewajiban memberi sesuatu yang berharga berupa barang atau uang kepada pihak perempuan.Menurut hukum adat apabila terjadi sesuatu yang hilang (berpindah) harus ada pengganti agar tetap terjadi keseimbangan.


(2)

Akibat manjujur ini maka perempuan tersebut menjadi tetap di dalam lingkungan keluarga suaminya, demikian juga dengan anak-anaknya. Hubungan dengan keluarganya menjadi putus. Kalau suaminya meninggal, ia akan tetap tinggal dilingkungan keluarga suaminya. Jika ia ingin kawin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya. Jika ia ingin kembali harus dengan persetujuan keluarga suaminya.

2.

Horja Haroan Boru

Di pihak boru na ni oli acaranya disebut Pabuat Boru, dan dirumah keluarga Bayo Pangoli disebut Haroan Boru. Pada saat direncanakan Patobang anak (mengawinkan anak laki-laki), sebelum menetapkan untuk mengadakan Horja Godang (pesta adat) tersebut, pihak keluarga laki-laki (suhut) mengundang sanak famili (keluarga dekat) untuk Marpokat (mufakat). Biasanya di dahului dengan marpokat sabagas kemudian Marpokat Saripe dilanjutkan Marpokat Sahuta.

Dalam marpokat sahuta, Suhut menjelaskan tujuan melaksanakan horja godang dan mengharapkan bantuan dari semua pihak agar horja dapat berlangsung dengan baik. Dalam mufakat inilah di tentukan siapa yang ikut rombongan manglap boru, siapa yang menerima, siapa yang bertanggung jawab terhadap urusan konsumsi, kesenian, undangan dan lain-lain yang menyangkut pelaksanaan horja.

Setelah acara marpokat tersebut, bayo pangoli dan boru na ni oli sampai di kampung bayo pagoli di Mandailing Godang. Mereka disambut dengan acara yang disebut mangalo-alo boru.

Pengantin Pria yang datang biasanya jika datang dari jauh (naik kendaraan) tidak langsung diturunkan didepan rumah, tetapi harus diarak kira-kira 50 m sebelum sampai rumah. Mereka disambut dengan penyambutan secara adat yang terdiri dari


(3)

gendang, pencak silat, payung kuning, tombak, pedang serta barisan keluarga penganten laki-laki sampai ke depan pintu.

3.

Mata Ni Horja

Mata Ni Horja merupakan hari pelaksanaan pesta perkawinan yang disebut “hari H”. Pada pagi harinya setelah tamu-tamu mulai berdatangan, uning-uningan (gendang) sudah dibunyikan. Untuk menyambut tamu dibunyikan gong. Raja-raja yang datang secara bergiliran diundang untuk manortor. Setelah selesai acara manortor, raja-raja, seluruh tamu-tamu harajoan diundang ke pantar bolak paradaton untuk markobar adat (sidang adat).

Setelah selesai markobar adat, sebelum penganten diupah-upah dan diberi gelar, diadakan acara marudur (arak-arakan) untuk melakukan acara marpangir (berlangir) kedua mempelai. Pengantin diarak ke tapian raja bangunan yang artinya membawa pengantin ke tepian untuk mandi (tapian rarangan). Mandi dan berlangir mempunyai tujuan untuk menghanyutkan habujingan (masa gadis) dan haposoan (masa anak muda). Jarak antara rumah dan tempat acara marpangir tersebut biasanya kira-kira berjarak 300m dari rumah, dan disesuaikan dengan kemampuan pengantin untuk berjalan.

Bahan yang diperlukan untuk mandi tersebut adalah pangir yang disediakan di dalam cambung (mangkok nasi). Pangir tersebut adalah jeruk purut yang sudah dipotong-potong, dan air.

Kemudian akan dilanjutkan dengan Mangalehen gorar (memberi gelar adat), yang artinya memberi gelar untuk kedua pengantin telah melepaskan masa mudanya dan menjalani adat matobang (masa berkeluarga-rumah tangga). Gelar ini yang akan dipakai untuk memanggil yang bersangkutan, terutama pada upacara-upacara adat.


(4)

Setelah itu dilanjutkan acara Mangupa yang merupakan acara puncak dari segala acara dari upacara perkawinan. Mangupa diartikan ungkapan kegembiraan, karena sesuatu yang diharapkan itu telah terwujud. Tujuan mangupa ini adalah agar tondi yang di upa selalu dalam perlindungan. Pelaksanaan mangupa di adakan setelah Manggoar (manabalkan nama). Tujuannya agar nama yang diberikan tersebut diterima tondi dohot badan kedua penganten.

Setelah Mangupa dilaksanakan, maka selesai seluruh rangkaian upacara perkawinan menurut adat.


(5)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

1. Acara di rumah Boru Na Ni Oli merupakan acara meminang seorang anak perempuan,

2. Manulak Sere merupakan acara untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan serta membawa sebuah batang boban.

3. Sebelum calon pengantin perempuan diberangkatkan, maka orang tua beserta sanak family berkumpul untuk memberi makan terakhir kali kepada calon pengantin perempuan.

4.2 Saran

Adat istiadat (budaya) Mandailing yang mempunyai nilai-nilai luhur yang ada di dalam masyarakat haruslah dipertahankan dan dilestarikan. Karena adat adalah suatu nilai yang hidup ditengah masyarakat, sehingga nilai-nilai itu harus terus menerus tumbuh dan berkembang selaras dengan kehidupan itu sendiri.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Nasution, H. Pandapotan. 2005. Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman. Forkala Sumut. Medan.

Hasil Musyawarah Adat Persadaan Marga Harahap Dohot Anak Boruna. 1993. Horja Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. Padang Sidempuan.