Ronboku Ni Okeru Sasaku No Kekkon No Dentotekina Gishiki

(1)

RONBOKU NI OKERU SASAKU NO KEKKON NO

DENTOTEKINA GISHIKI

KERTAS KARYA

Dikerjakan

O L E H

IRVINA SARI NIM. 072203024

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA

PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN 2010


(2)

RONBOKU NI OKERU SASAKU NO KEKKON NO

DENTOTEKINA GISHIKI

KERTAS KARYA Dikerjakan

O L E H

IRVINA SARI NIM. 072203024

Dosen Pembimbing Dosen Pembaca

Rani Arfianty, S.S

NIP : 19761110 2005 01 2002 NIP : 19691011 2002 12 1001 Muhammad Pujiono, S.S., M.Hum

Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian

Program pendidikan Non-Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM PENDIDIKAN NON-GELAR SASTRA BUDAYA DALAM BIDANG STUDI BAHASA JEPANG

MEDAN 2010


(3)

PENGESAHAN

Disetujui Oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara Medan

Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua,

Adriana Hasibuan,S.S.,M.Hum NIP 19620727 198703 2 005


(4)

PENGESAHAN

Diterima oleh :

Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya

Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada : Tanggal : Hari :

Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP 19650909 199403 1 004 Prof. Syaifuddin, M.A., Ph.D.

Panitia :

No. Nama Tanda Tangan

1. Adriana Hasibuan, S.S., M. Hum ( )

2. Rani Arfianty, S.S ( )


(5)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia Nya penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai syarat kelulusan dari program Diploma III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Kertas karya ini berjudul " UPACARA TRADISIONAL DALAM PERKAWINAN SASAK DI LOMBOK "

Penulis menyadari bahwa apa yang penulis sajikan dalam kertas karya ini, masih jauh dari sempurna baik dari segi materi maupun penulisannya. Demi kesempurnaannya penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca untuk menujuke arah perbaikan

Dalam penyelesaian kertas karya ini penulis banyak menerima bantuan dari berbagai pihak yang tak ternilai harganya. Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof.Syaifuddin.M.A.,Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Adriana Hasibuan,S.S.,M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Alimansyar,S.S, selaku Dosen Wali.

4. Ibu Rani Arfianty,S.S, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu demi selesainya kertas karya ini.

5. Bapak Muhammad Pujiono,S.S, selaku Dosen Pembaca

6. Seluruh staf Pengajar Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis sehingga dapat menyelesaikan studi.


(6)

7. Teriatimewa kepada keluarga besar penulis, Ayahanda Sumariyoto Arisaka dan Ibunda Sudiarti. Kepada abang Irvan Irawan dan kak Lia dan juga ponakan aq tercinta Nara dan Alfi. Terma kasih atas smua dukungannya dan doa yang telah dipanjatkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

8. Tidak lupa penulis juga ingin mengucapkan banyak rasa terima kasih buat teman saya terutama YONINSTU O2 yaitu Aan ( aCunK ). Izal ( LebOy ), Imel ( p0H ), Tomi ( cOm coM ), Yana ( pAdanK ), Wahyu ( bOgeL ), Winda ( bAhen0L ) dan teman- teman stambuk 07 dan juga semua keluarga besar HINODE. Semua pihak yang telah membantu menyelesaikan kertas karya ini.

Akhir kata penulis memohon maaf kepada para pembaca atas segala kesalahan ataupun kekurangan dalam pengerjaan kertas karya ini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.

Medan, Juli 2010

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI……… iii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul……….. 1

1.2 Tujuan Penulisan...……….. 2

1.3 Pembatasan Masalah….……….….... 2

1.4 Metode Penulisan………... 2

BAB II PERKAWINAN SUKU SASAK DI LOMBOK……… 3

2.1 Latar Belakang Masyarakat……… 3

2.2 Kepercayaan...……….……. 5

BAB III UPACARA TRADISIONAL DALAM PERKAWINAN SASAK DI LOMBOK…...………..…….. 7

3.1 Jenis-jenis Perkawinan Sasak Di Lombok... ………. 7

3.1.1 Perondongan ( perjodohan )... 7

3.1.2 Kawin Lamar ( marpadik lamar )... 9

3.1.3 Merarik ( selarian )... 9

3.2 Waktu Penyelenggaraan Upacara...…… ……….. 10

3.3 Tempat Penyelenggaraan Upacara... ... 10

3.4 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Upacara... 10

3.5 Tahap Persiapan Upacara... ... 11

3.6 Tahap Pelaksaan Upacara... ... 12

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN………...……….. 14

4.1 Kesimpulan……… 14

4.2 Saran……….. 14


(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan pemilihan judul

Kebudayaan adalah bentuk masyarakat. Kebudayaan membentuk jati diri suatu bangsa. Seperti apa jati diri suatu bangsa tergantung dari kemampuan bangsa yang bersangkutan dalam merancang dan membangun kebudayaan nasional. Kebudayaan nasional adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Itu tidak berarti semua unsur kebudayaan tradisional yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia merupakan unsur kebudayaan nasional. Menurut Robert H.Lowie (1937) kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat-istiadat, norma-norma artistik, kebiasan makanan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau.

Setiap suku bangsa di Indonesia memiliki Adat Istiadat tersendiri. Adat Iatiadat ini bisa merupakan kebiasaan, tata upacara tradisional yang dilakukan di suatu daerah. Tata upacara tradisional berbeda-beda menurut daerah asalnya. Seperti halnya upacara tradisional perkawinan sasak di lombok. Upacara tradisional perkawinan sasak di lombok yang disebut Sorong-Serah yang diikuti oleh acara Nyondol dikarenakan upacara ini memeng tidak diumumkan dan kalau tidak ada hubungan kekeluargaan atau tidak diundang langsung, kecil kemungkinan untuk dapat menyaksikannya. Karena itu, penulis merasa ada beberapa manfaat positif yang bisa kita ambil dari tiap tahapan upacara ini.


(9)

1.2 Tujuan penulisan

Adapun tujuan penulisan mengangkat "Upacara Tradisional Perkawinan Sasak Di Lombok" sebagai judul kertas karya adalah sebagai berikut:

1. Agar upacara ini dapat dikenal oleh masyarakat Indonesia.

2. Untuk menambah bahan pengkajian bagi para ahli yang berminat mempelajari adat perkawinan suku bangsa sasak.

3. Agar dapat dimanfaatkan untuk dijadikan dasar perencanaan bagi pembinaan dan pengembangan adat Sorong-Serah dan Nyondol.

4. Untuk pengetahuan baik terhadap pembaca dan juga penulis. 5. Melengkapi persyaratan untuk dapat lulus dari D3 Bahasa Jepang

Universitas Sumatera Utara.

1.3 Pembatasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis membahas tentang latar belakang, kepercayaan, jenis perkawinan suku Sasak di Lombok, tahap persiapan, tahap pelaksanaan, waktu upacara, tempat upacara, dan pihak-pihak yang terlibat dalam upacara

1.4 Metode Penelitian

Dalam kertas karya ini penulis menggunakan metode kepustakaan. yaitu pengumpulan data atau informasi dengan membaca buku sebagai referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam kertas karya ini. Selanjutnya data dianalisa dan dirangkum untuk kemudian dideskripsikan ke dalam kertas karya ini.


(10)

BAB II

PERKAWINAN SUKU SASAK DI LOMBOK

2.1 Latar Belakang Masyarakat

Masyarakat desa Kopang Rembiga adalah masyarakat agraris hampir 80% adalah petani, yang menggarap tanah sawah yang sempit. Hasil utama adalah padi sebagai makanan pokoknya, sebagian kecil menggarap kebun dan ladang yang menghasilkan kelapa, buah-buahan dan sayur-sayuran. Hasil palawijanya mereka jual untuk membeli beras dan kebutuhan sehari-hari

Sebagian dari mereka adalah petani penggarap dan buruh tani. Mereka menggarap tanah milik bangsawan atau pemilik tanah yang cukup luas dengan sistem bagi hasil yang bervariasi. Pembagiannya sesuai perjanjian yang didasarkan tugas dan tanggung jawab masing-masing.

Masyarakat desa Kopang Rembiga deipimpin seorang Kepala Desa. Sebelum dasawarsa ke tujuh abad kedua puluh, Kepala Desa menjadi prioritas orang Menak (orang bangsawan), berasal dari keturunan pendiri desa yang pertama. Sampai sekarang jabatan Kepala Desa di desa Kopang Rembiga masih merupakan hak prioritas orang Menak. Orang kebanyakan merasa segan dicalonkan atau mencalonkan diri selama ada calon orang Menak, disisi lain masyarakat juga tidak menyukai Kepala Desa yang berasal dari orang kebanyakannya.

Stratifikasi sosial yang dominan mempengaruhi kehidupan masyarakat adalah didasarkan pada keturunan. Orang yang bersal dari raja dan keluarga raja-raja dari zaman dahulu termasuk golongan Menak. Mereka yang berasal dari rakyat biasa dimasukan ke


(11)

dalam golongan kaula atau jajar-karang.

Golongan menak berkelas banyak yang ditentukan oleh jauh dan dekatnya hubungan darah dengan raja. Selain Menak keturunan ada pula Menak karena diangkat. Pada zaman dahulu seorang laki-laki dari kalangan orang kebanyakan dapat wisuda menjadi Menak karena jasanya yang besar kepada bangsa dan negara, Menak yang demikian disebut menak kapardanan. Status Menak Kapardanan sama dengan Menak keturunan dan orang yang dapat diwisuda tetap menjadi Menak hanya laki-laki. Anak-anaknya yang lahir sebelum diwisuda tetap menjadi orang kebanyakan, lain dengan anak-anaknya yang lahir setelah wisuda termasuk golongan menak.

Selain stratifikasi sosial yang didasarkan pada keturunan ada pula kelas-kelas masyarakat yang didasarkan pada tugas dalam masyarakat, seperti pemimpin masyarakat desa, pemimpin masyarakat kampung (pembantu kepala desa), pemimpin agama (kyai), petugas keamanan (lang-lang) atau hansip zaman sekarang dan pengayah yaitu golongan masyarakat yang bertugas menyisihkan waktu dan tenaga untuk mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh raja beberapa hari dalam setahun tanpa upah dan imbalan jasa lainnya. Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, golongan inilah yang diwajibkan kerja rodi memperbaiki jalan raya.

Besarnya Ajikrama ditentukan berdasarkan pembagian kelas. Pada zaman kekuasaan raja-raja, besarnya ajikrama bagi setiap golongan masyarakat ditentukan oleh raja. Setelah raja tidak ada, ketetapan lama masih tetap berlaku tetapi sangat bervariasi.

Pada prinsipnya Ajikrama terdiri dari tampak lemah dan oleh-oleh hanya merupakan perlambangan. Penyerahannya hanya formalitas kemudian dikembalikan lagi kepada pihak laki-laki setelah upacara Sorong-Serah selesai.


(12)

Sesuai dengan prinsip kekerabatan suku bangsa Sasak, besarnya Ajikrama yang diserahkan didasarkan pada martabat mempelai laki-laki. Hal ini sesuai dengan tujuan penyerahan Ajikrama itu yakni untuk menetapkan status mempelai wanita dalam keluarga suaminya dan status anak-anak yang akan lahir dari perkawinan itu.

2.2 Kepercayaan

Pada umumnya penduduk desa Kopang Rembiga beragama Islam, hanya ada 151 orang yang tidak beragama Islam dan mereka adalah pendatang yang bertugas menjadi guru di sana. Penduduk desa Kopang Rembiga, seperti desa-desa lain yang terdapat di pulau Lombok sangat patuh menjalankan syariah Islam. Dakwah-dakwah agama Islam dilakukan oleh pemuka agama, guru ngaji, dan biasa disebut Tuan Guru. Anak-anak diajarkan mengaji di mesjid atau di rumah oleh guru ngaji atau orang tua masing-masing.

Dalam kehidupan keagamaan ini masih terdapat unsur-unsur pra Islam. misalnya yang pergi ziarah ke kuburan keramat untuk membayar kaul atau sesuatu nazar, melakukan selamatan yang berhubungan dengan kehidupan yang tidak ada dalam agama Islam.

Pada pandangan awam keharusan adat dan agama hampir tidak dapat dibedakan. Hampir semua peristiwa kehidupan disertai dengan selamatan, mulai dari kelahiran, potong rambut, khitanan, perkawinan dan kematian, bayar kaul atau tolak bala, berangkat haji, lulus dari ujian, khatam Al Quran, selesai panen dan lain-lain karena memperoleh keuntungan yang diharapkan atau yang tidak terduga-duga. Pada waktu sebelum dasa warsa ke 7 abad ke 20 potong gigi juga disertai dengan selamatan. Bayar kaul diadakan sehubungan dengan lepas dari suatu kesulitan, sembuh dari penyakit yang berat dan


(13)

lain-lain.

Upacara tolak bala diadakan pada malam jumat, dan dalam bahasa Sasak disebut tersentulak. Asal kata tulak artinya kembali. Bersentulak artinya mengembalikan. Maksudnya menolak bala. Upacara dimulai dengan pembacaan berjanji dan diakhiri dengan doa.

Waktu upacara yang berhubungan dengan syukuran, bayar kaul atau tolak bala biasanya pada malam jumat,atau hari jumat sehabis sholat jumat. Hidangan selamatan nasi dan lauk-pauk, diikiti dengan minim teh atau kopi dan makanan kecil jajan dan buah-buahan. Hidangan selamatan tolak bala cukup dengan minum kopi atau teh dengan makana kecil. Kelebihan dari yang dimakan dapat mereka bawa pulang sebagai berkat.

Kehidupan keagamaan yang terdapat di Kantor Desa Kopang Rembiga terungkap, jumlah mesjid 15 buah, musholah 65 buah, madrasah Ibtidaiyah 5 buah dan madrasah Tsanawiyah 2 buah.


(14)

BAB III

UPACARA TRADISIONAL DALAM PERKAWINAN SASAK DI LOMBOK

Perkawinan tidak harus memenuhi syarat agama dan peraturan atau perundang-undangan negara saja, tetapi juga pelaksanaan syarat-syarat adat. Jika tidak, akan kurang baik bagi anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Agar kedudukan hukum anak-anak yang akan lahir dari suatu perkawinan yang jelas, maka perkawinan tersebut dibebankan suatu upacara Sorong-Serah yang diikuti oleh acara Nyondol. Tetapi Nyondol bukanlah suatu kewajiban seperti upacara Sorong-Serah.

3.1Jenis-jenis Perkawinan Sasak Di Lombok

Terdapat tiga jenis perkawinan adat sasak, yaitu: 3.1.1Perondongan (Perjodohan)

Perjodohan merupakan salah satu bentuk perkawinan yang sering dilakukan oleh masyarakat adapt sasak di masa lampau. Paling tidak ada dua alasan orang tua melakukan perjodohan pada anak- anak mereka, yaitu:

a. Untuk memurnikan keturunan dari sebuah keluarga, biasanya keluarga keturunan bangsawan tidak mau darahnya bercampur dengan darah orang lain yang bukan bangsawan atau terutama dari sosialnya rendah.

b. Untuk melanggengkan hubungan persahabatan antar kedua orang tua mempelai.

c. Karena alasan-alasan tertentu, diantaranya adalah akibat kesewenang-wenangan rezim kolonial, dalam hal ini kolonial Jepang di Lombok.


(15)

Semasa pendudukan Jepang seringkali tentara Jepang mangambil gadis-gadis lokal secara paksa untuk dijadikan wanita simpanan. Yang mereka ambil adalah perempuan yang belum memiliki suami atau perempuan yang belum memiliki ikatan perjodohan. Karena itu masyarakat melakukan langkah dengan cara menjodohkan anak-anak perempuannya sejak kanak-kanak. Perkawinan ini kemudian dikenal dengan nama "kawin tadong". Kalau sudah mendapatkan status perkawinan otomatis tentara jepang tidak akan mengambilnya.

Alasan yang pertama dan kedua adalah alasan yang paling banyak ditemukan karena itu biasanya perjodohan dilakukan di dalam garis kekerabatan, misalnya antar sepupu, yang dalam bahasa sasal disebut pisak.

Dalam perjodohan ini terdapat tiga cara yang digunakan, yaitu:

• Setelah adanya kesepakatan antar kedua orang tua diadakan upacara pernikahan layaknya upacara perikahan orang dewasa, namun sekalipun mereka telah berstatus sebagai suami istri mereka dilarang hidup bersamaan sebagai suami istri. Tempat tinggal mereka dipisahkan dan tetap tinggal bersama orang tua masing-masing. Mereka akan dinikahkan dalam arti yang sebenarnya kelak setelah memasuki usia dewasa. Jadi dengan perikahan dini tersebut sesungguhnya anak-anak telah terikat dalam sebuah tali perkawinan

• Anak-anak tidak akan dinikahkan akan tetapi hanya cukup dengan pertunangan, bahwa kelak setelah dewasa anank-anak tersebut akan dikawinkan dengan perkawinan yang sesungguhnya


(16)

cukup diumumkan di publik bahwa anak mereka telah dijodohkan. Anak-anak tersebut baru akan diberithukan setelah mereka dianggap dewasa. Jika kelak anak yang telah dijodohkan ini menolak melanjutkan perkawinannya, orang tua akan memaksa anak-anaknya untuk tetap melanjutkan perkawinan itu, hal kemudian menimbulkan tradisi kawi paksa. Akan tetapi jika anak tetap menolak maka orang tua akan melakukan pengusiran ke desa tertentu. Pengusira itu kemudian disebut"bolang" yang artinya buang 3.1.2 Kawin Lamar ( Merpadik Lamar )

Sistem ini tidak jauh beda dengan sistem lamar yang berlaku di tepat lain, bahwa setelah calon mempelai bersepakatan melakukan pernikahan, calon mempelai laki-laki akan memberitahukan orang tuanya dan meminta dilamarkan ke orang tua si gadis. Cara melamar ini dalam perakteknya sering sekali memerlukan waktu yang panjang, ribet dan berliku-liku, sehingga sering sekali membuat rasa jenuh dan jengkel bagi sepasang kekasih, yang bahkan tidak jarang berakhir dengan kegagalan. Karena itu cara ini sangat populer. Akan di masyarakat yang taat beragama dan atau di masyarakat perkotaan sistem ini justru lebih populer.

3.1.3Merarik ( Selarian )

Sistem ini adalah yang paling populer, sekalipun mengandung bahaya namun cara ini adalah cara yang umum dipergunakan oleh masyarakat sasak sampai sekarang. Menarik adalah sebuah langkah awal dari suatu proses perkawinan yang panjang. Menarik sering dikonotasikan dengan mencuri wanita dalam arti melarikan wanita untuk dijadikan istri oleh laki-laki. Jadi perbuatan mencuri wanita bukan kejahatan. Filosofinya menurut pengertian yang umum diketahui, menarik dalam persepsi masyarakat sasak


(17)

merupakan suatu bentuk penghormatan kepada kaum wanita. Bagi mereka, wanita tidak bisa disamakan dengan benda yang bisa ditawar-tawar atau diminta.

3.2 Waktu penyelenggaraan Upacara

Waktu penyelengaraan upacara ini selalu dipilih waktu yang senggang, pada hari dan bulan yang baik, karena upacara ini selalu melibatkan masyarakat banyak, sekurang-kurangnya segenap anggota keluarga, tetangga dan sahabat. Tetapi ada pula hari-hari kurang baik menurut kepercayaan untuk menyelenggarakan suatu pesta perkawinan. Seperti hari Jumat, hari raya Islam, hari-hari berkabung karena kematian seoarang anggota keluarga kedua mempelai. Penyelenggaraan Sorong-Serah menurut tradisi pada waktu sore sekitar waktu sholat Ashar.

3.3 Tempat Penyelenggaraan Upacara

Upacara Sorong-Serah umumnya diselenggarakan dirumah orang tua mempelai wanita, atau dapat juga dirumah kerabat terdekat orang tua mempelai wanita, seperti dirumah paman atau kakak lelaki yang sudah kawin. Ada juga yang melaksanakan Sorong-Serah dirumah mempelai laki-laki karena persetujuan kedua keluarga, atau karena mempelai wanita bukan orang Sasak.

3.4 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Upacara

Upacara ini banyak melibatkan keluarga besar dari kedua mempelai, tetangga dan sahabat. Mereka dapat dibagi kedalam beberapa golongan sesuai dengan tugas dan fungsinya, yaitu ;


(18)

• Golongan yang bertugas mempersiapkan makanan dan minuman untuk menjamu tamu.

• Golongan yang bertugas menerima dan mendampingi tamu duduk. • Golongan yang bertugas melayani tamu.

• Pemuka adat dan agama yang menyaksikan dan meluruskan pelaksanaan adat yang keliru dan yang memimpin upacara doa.

• Mereka yang bertugas menyerahkan Ajikrama ( dari piahak laki-laki dan sebaliknya ) • Mereka yang bertugas Nyondol, mengarak kedua mempelai dari rumah laki-laki

kerumah wanita dan yang bertugas menyongsong rombongan pengantin • Mereka yang bertugas merias pengantin laki-laki dan wanita

• Mereka yang bertugas sebagai penabuh gamelan yang mengiringi rombongan pengantin.

3.5 Tahap Persiapan Upacara

Kedua belah pihak keluarga beberapa hari sebelum upacara, sudah mulai sibuk. Persiapan mulai dari pengumpulan bahan makanan dan minuman, menjalankan undangan lisan dan tulisan. Keluarga dekat dan tetangga cukup diundang lisan. Sehari sebelum upacara keluarga dekat dan tetangga sudah mulai berdatangan untuk membantu memasak dan membuat kelengkapan tempat upacara

Pada hari upacara sejak pukul sepuluh sesuai dengan undangan tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Mereka disambut penerima tamu dan didudukan sesuai martabatnya, sementara belum dijamu makan dan minum, mereka mengobrol satu dengan yang lain.


(19)

persatu. Diantaranya ada yang bertugas mempersiapkan benda-benda yang dipakai untuk upacara, kelengkapan Ajikrama. Benda-benda Ajikrama, seperti nampak lemah, oleh-oleh, dan benda-benda lain kalau ada.

Nampak lemah hanya merupakan lambang dan sebagai lambang merupakan sarana pembinaan kesadaran bagi kedua mempelai dan semua orang yang menyaksikan upacara tersebut. Nampak lemah dikembalikan utuh kepada keluarga mempelai pria setelah upacara selesai.

3. 6 Tahap Pelaksanaan Upacara

Upacara Sorong-Serah dan Nyondol dilaksanakn oleh orang sebanyak-banyaknya diiringi dengan bunyi-bunyian seperti rebana dan rudat. Benda-benda yang akan diserahkan diatur dalam tempat sesuai dengan jenis bendanya.

Dengan berbaris teratur dan tertib, rombongan penyorong, diikuti oleh rombongan pengantin yang diiringi bunyi-bunyian, keluar dari rumah orang tua mempelai pria. Sepanjang jalan benda pelengkapannya itu dibawa dan dijaga dengan baik oleh anggota rombongan. Setiba di pintu orang tua mempelai wanita, mereka duduk tertib sesuai urutan seperti sewaktu mulai berangkat. Dan seseorang melaporkan bahwa diluar pintu rombongan pengantin telah siap masuk dengan berbagai ungkapan. Upacara adat pun dimulai.

Setelah itu kedua pengantin disambut dan didudukan di pelaminan sejenak dan anggota rombongan dijamu. Terakhir memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan kedua orangtuanya. Pada zaman dahulu tidak ada pelaminan. Kedua pengantin langsung menyalami kedua orang tuanya beserta beberapa kerabat terdekat,


(20)

sementara itu rombongan dijamu dengan makanan dan minuman. Waktu mereka hanya sebentar kemudian balik membawa pengantin pulang dan selesailah upacara Sorong-Serah dan Nyondol dalam adat pekawinan suku bangsa sasak di Lombok.


(21)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut

1. Perbedaan masyarakat Suku Sasak di Lombok terlihat sangat jelas misalnya: antara orang Menak adalah keturunan pendiri desa yang pertama.

2. Kepercayaan yang dianut didaerah ini adalah islam.

3. Jenis-jenis perkawinan Suku Sasak di Lombok ada tiga jenis yaitu: perjodohan, kawin lamar dan merarik.

4. Perkawinan Sasak di Lombok ini sangat berbeda dikarenakan upacara ini tidak diumumkan dan kalau tidak ada hubungan atau diundang langsung kecil kemungkinan untuk dapat dilihat langsung.

4.2 Saran

Dari pembahasan tentang upacara adat di Lombok ini maka penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Agar pemerintah membuat pameran ataupun festival tentang kebudayaan. 2. Agar pemerintah membuat buku-buku tentang adat istiadat daerah.

3. Agar pemerintah memperkenalkan Adat Istiadat melalui radio, televisi dan juga membuat website.


(22)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1985. Persepsi Manusia Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia

Hamzah. 1988. Upacara tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Gramedia


(1)

merupakan suatu bentuk penghormatan kepada kaum wanita. Bagi mereka, wanita tidak bisa disamakan dengan benda yang bisa ditawar-tawar atau diminta.

3.2 Waktu penyelenggaraan Upacara

Waktu penyelengaraan upacara ini selalu dipilih waktu yang senggang, pada hari dan bulan yang baik, karena upacara ini selalu melibatkan masyarakat banyak, sekurang-kurangnya segenap anggota keluarga, tetangga dan sahabat. Tetapi ada pula hari-hari kurang baik menurut kepercayaan untuk menyelenggarakan suatu pesta perkawinan. Seperti hari Jumat, hari raya Islam, hari-hari berkabung karena kematian seoarang anggota keluarga kedua mempelai. Penyelenggaraan Sorong-Serah menurut tradisi pada waktu sore sekitar waktu sholat Ashar.

3.3 Tempat Penyelenggaraan Upacara

Upacara Sorong-Serah umumnya diselenggarakan dirumah orang tua mempelai wanita, atau dapat juga dirumah kerabat terdekat orang tua mempelai wanita, seperti dirumah paman atau kakak lelaki yang sudah kawin. Ada juga yang melaksanakan Sorong-Serah dirumah mempelai laki-laki karena persetujuan kedua keluarga, atau karena mempelai wanita bukan orang Sasak.

3.4 Pihak-pihak Yang Terlibat Dalam Upacara

Upacara ini banyak melibatkan keluarga besar dari kedua mempelai, tetangga dan sahabat. Mereka dapat dibagi kedalam beberapa golongan sesuai dengan tugas dan fungsinya, yaitu ;


(2)

• Golongan yang bertugas mempersiapkan makanan dan minuman untuk menjamu tamu.

• Golongan yang bertugas menerima dan mendampingi tamu duduk. • Golongan yang bertugas melayani tamu.

• Pemuka adat dan agama yang menyaksikan dan meluruskan pelaksanaan adat yang keliru dan yang memimpin upacara doa.

• Mereka yang bertugas menyerahkan Ajikrama ( dari piahak laki-laki dan sebaliknya ) • Mereka yang bertugas Nyondol, mengarak kedua mempelai dari rumah laki-laki

kerumah wanita dan yang bertugas menyongsong rombongan pengantin • Mereka yang bertugas merias pengantin laki-laki dan wanita

• Mereka yang bertugas sebagai penabuh gamelan yang mengiringi rombongan pengantin.

3.5 Tahap Persiapan Upacara

Kedua belah pihak keluarga beberapa hari sebelum upacara, sudah mulai sibuk. Persiapan mulai dari pengumpulan bahan makanan dan minuman, menjalankan undangan lisan dan tulisan. Keluarga dekat dan tetangga cukup diundang lisan. Sehari sebelum upacara keluarga dekat dan tetangga sudah mulai berdatangan untuk membantu memasak dan membuat kelengkapan tempat upacara

Pada hari upacara sejak pukul sepuluh sesuai dengan undangan tamu-tamu sudah mulai berdatangan. Mereka disambut penerima tamu dan didudukan sesuai martabatnya, sementara belum dijamu makan dan minum, mereka mengobrol satu dengan yang lain.


(3)

persatu. Diantaranya ada yang bertugas mempersiapkan benda-benda yang dipakai untuk upacara, kelengkapan Ajikrama. Benda-benda Ajikrama, seperti nampak lemah, oleh-oleh, dan benda-benda lain kalau ada.

Nampak lemah hanya merupakan lambang dan sebagai lambang merupakan sarana pembinaan kesadaran bagi kedua mempelai dan semua orang yang menyaksikan upacara tersebut. Nampak lemah dikembalikan utuh kepada keluarga mempelai pria setelah upacara selesai.

3. 6 Tahap Pelaksanaan Upacara

Upacara Sorong-Serah dan Nyondol dilaksanakn oleh orang sebanyak-banyaknya diiringi dengan bunyi-bunyian seperti rebana dan rudat. Benda-benda yang akan diserahkan diatur dalam tempat sesuai dengan jenis bendanya.

Dengan berbaris teratur dan tertib, rombongan penyorong, diikuti oleh rombongan pengantin yang diiringi bunyi-bunyian, keluar dari rumah orang tua mempelai pria. Sepanjang jalan benda pelengkapannya itu dibawa dan dijaga dengan baik oleh anggota rombongan. Setiba di pintu orang tua mempelai wanita, mereka duduk tertib sesuai urutan seperti sewaktu mulai berangkat. Dan seseorang melaporkan bahwa diluar pintu rombongan pengantin telah siap masuk dengan berbagai ungkapan. Upacara adat pun dimulai.

Setelah itu kedua pengantin disambut dan didudukan di pelaminan sejenak dan anggota rombongan dijamu. Terakhir memberikan ucapan selamat kepada kedua mempelai dan kedua orangtuanya. Pada zaman dahulu tidak ada pelaminan. Kedua pengantin langsung menyalami kedua orang tuanya beserta beberapa kerabat terdekat,


(4)

sementara itu rombongan dijamu dengan makanan dan minuman. Waktu mereka hanya sebentar kemudian balik membawa pengantin pulang dan selesailah upacara Sorong-Serah dan Nyondol dalam adat pekawinan suku bangsa sasak di Lombok.


(5)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Dari pembahasan diatas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut

1. Perbedaan masyarakat Suku Sasak di Lombok terlihat sangat jelas misalnya: antara orang Menak adalah keturunan pendiri desa yang pertama.

2. Kepercayaan yang dianut didaerah ini adalah islam.

3. Jenis-jenis perkawinan Suku Sasak di Lombok ada tiga jenis yaitu: perjodohan, kawin lamar dan merarik.

4. Perkawinan Sasak di Lombok ini sangat berbeda dikarenakan upacara ini tidak diumumkan dan kalau tidak ada hubungan atau diundang langsung kecil kemungkinan untuk dapat dilihat langsung.

4.2 Saran

Dari pembahasan tentang upacara adat di Lombok ini maka penulis menyarankan sebagai berikut:

1. Agar pemerintah membuat pameran ataupun festival tentang kebudayaan. 2. Agar pemerintah membuat buku-buku tentang adat istiadat daerah.

3. Agar pemerintah memperkenalkan Adat Istiadat melalui radio, televisi dan juga membuat website.


(6)

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1985. Persepsi Manusia Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia

Hamzah. 1988. Upacara tradisional, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta: Gramedia