1
“Suwung” Membawa Seni Dalam Panggung Nasionalisme :
Sebuah Tinjauan Sejarah
Abstrak
Pada tahun 1954 untuk pertama kalinya Indonesia mengirim misi kebudayaan ke luar negeri. Misi kebudayaan pertama ini dikirim ke Cina RRC
selama tiga bulan, dan diikuti oleh seniman-seniman dari berbagai daerah di Indonesia. Ini merupakan bagian dari semangat “Seni Nasional” dan “Menjadi
Indonesia, yang digalakkan oleh pemerintah. Pada masa selanjutnya orde baru seni sering menjadi alat propaganda politik pemerintah, baik lewat Departemen
Penerangan maupun kampanye partai Golkar. Selain itu seni juga menjadi bagian penting dalam program pariwisata yang tengah digalakkan pemerintah
saat itu, yang kemudian menjadi penyebab dari lahirnya seni-seni kreasi baru atau seni untuk hiburan, dan kemudian menjadi keadaan yang terus berlangsung
hingga saat ini.
Perubahan seni ini baik dari bentuk, fungsi maupun maknanya merupakan hasil dari bagaimana seni diposisikan sesuai kebutuhan zamannya. Dalam
hubungannya dengan upaya nasionalisme adalah bagaimana seni ini diposisikan untuk upaya tersebut, mengingat “kelebihan” seni yang mudah diterima serta
mampu menyentuh sesuatu yang terdalam dari diri manusia, yaitu jiwa dan rasa.
1. Pendahuluan
Dalam dunia seni, terutama seni pertunjukan, terdapat bagian yang dianggap sangat penting untuk membuat karya seni menarik dan menjadi karya
seni yang mengagumkan, bagian itu disebut penjiwaan. Penjiwaan adalah bagian yang tidak boleh dilewatkan dari seorang seniman, sekaligus bagian yang akan
membuatnya berbeda dari orang kebanyakan. Kebanyakan orang lain dapat melakukan sesuatu seperti yang dilakukan seorang seniman, akan tetapi tetap
tidak lebih indah dari apa yang dilakukan seniman. Sumaryono menyebut bagian ini sebagai suatu daya yang membuat suatu karya itu “hidup”.
1
Jika dihubungkan dengan permasalahan saat ini nasionalisme, apakah bagian ini penjiwaan
adalah sesuatu yang terlewat atau menjadi nilai minus dari nasionalisme bangsa ini? sehingga nasionalisme menjadi permasalahan yang berkepanjangan.
1
Sumaryono dan Endo Suanda. Tari Tontonan. Jakarta : Lembaga pendidikan Seni Nusantara. 2006, hlm. 17.
2
Pada tahun 1928, dalam sebuah kongres pemuda yang kedua, dilantunkan lagu Indonesia Raya oleh W.R. Supratman untuk pertama kali dan dijadikan lagu
kelahiran pergerakan Indonesia, pada tahun 1954 untuk pertama kalinya Indonesia mengirim misi kebudayaan yang berisi seniman-seniman Indonesia ke Cina, pada
tahun 1950-an sampai awal 1965 muncul semboyan “seni untuk revolusi” dalam panggung kebudayaan nasional, pada kurun waktu 1970-1998 seni sering menjadi
bagian dari program sosialisasi Departemen Penerangan di desa-desa. Apa yang disebutkan di atas adalah sedikit contoh dari keterlibatan seni dalam usaha-usaha
untuk membentuk “sesuatu” yang kemudian disebut “menjadi Indonesia”. Suatu usaha yang membuktikan bahwa seni telah difungsikan sebagai alat untuk
mencapai sesuatu yang bahkan di luar dari fungsi seni itu sendiri, yakni sebagai hiburan. Mengapa hal ini dilakukan? Dan bagaimana bisa? karena memang hal ini
terbukti berhasil. Bukan tidak mungkin seni kembali dapat digunakan sebagai cara untuk “memikat” hati bangsa ini, menjadikannya nasionalis, yang tentu saja
dengan penuh penjiwaan. Lalu dimana tepatnya posisi dunia seni dalam usaha pembentukan
nasionalisme dan rasa kebangsaan ini? Dan bagimana posisinya? Tentu saja ini akan menjadi kajian yang menarik. Akan tetapi dalam kajian ini tidak membahas
tentang dimana dan bagaimana posisi seni, melainkan dimana dan bagaimana seni ini diposisikan dalam usaha pembentukan nasionalisme dan rasa kebangsaan.
2. Sebuah Tinjauan Sejarah