Hegemoni dari atas panggung seni tradisi.

(1)

ABSTRAK

Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya, ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai

program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua

pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasional-global. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya.

Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra, teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon

Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian

tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global. Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua lakon itu.

Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut. Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan

Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak

lagi dijadikan fokus kritik. Alih-alih mendukung untuk memperjuangkan kondisi sosial masyarakatnya, keduanya terkesan lebih fokus pada masalah moral-parsial, yang pada titik selanjutnya lebih mengarah pada keuntungan pihak-pihak di tingkat global.


(2)

ABSTRACT

The growth of capitalism that goes through globalization in each country has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national economic development that has in turn obliged all parties at the local level to participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program, is very influential on the social, political and even to the local economic level. As we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s

special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into national-global economy. It has affected the condition of space and its people.

Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only limited to social, political and economic space. They have also expanded into the space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local

scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony.

This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism of Hegemony operated on stage of the two plays.

On the next step, this research has discovered that on the characterization of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for

the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is

affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical

statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t

reached the basic problem of the government system and its relation to the interest of the people. The research has found that global interests have tactically penetrated to the frame of traditional art movement. The dominant hegemony has existed on stage. The traditional intellectual has worked to build their historical bloc, awareness and consensus through the plays, Magersari and Ledhek Bariyem. The implementation of economic program and certain government system is no longer the target of criticism. Instead of supporting the social condition of the people, both of the plays tend to focus on moral-partial matter, which on the next


(3)

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

Oleh:

Vini Oktaviani Hendayani

116322013

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2016


(4)

HALAMAN JUDUL

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Oleh:

Vini Oktaviani Hendayani

116322013

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

2016


(5)

PERSETUJUAN

Ii

Ii.

",

Tesis

/

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

Oleh:


(6)

·'

Ketua Sekretaris Anggota

PENGESAHAN

Tesis

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

Oleh:

Vini Oktaviani Hendayani NIM: 116322013


(7)

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang Bertanda tangan di bawah ini,I I'

Nama

NIM

Program Universitas

: Vini Oktaviani Hendayani : 116322013

: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya : Sanata Dharma

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:

Iudul : HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI Pembimbing : Dr. Katrin Bandel

Tanggal diuji : 26 Ianuari 2016

"

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam tesis/karya tulis/makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-olah sebagai tulisan saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sangsi sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Y ogyakarta, termasuk pencabutan gelar Master Humaniora (M.Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 26 Februari 2016


(8)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLlKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya, yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa Sanata Dharma Nama : Vini Oktaviani Hendayani

: 116322013

: Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

NIM

Program

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma Y ogyakarya karya ilmiah yang berjudul:

"

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI:

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada), Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainnya demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin kepada saya atau memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikianlah pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di Tanggal

: Y ogyakarta : 26 Februari 2016


(9)

KATA PENGANTAR

Setelah selesainya penulisan tesis ini, ada perasaan lega sekaligus sedih, yang muncul secara bersamaan dalam diri saya. Lahirnya tesis ini selayaknya lahirnya anak yang selama ini saya idamkan. Janin tesis ini, berkali-kali gugur, karena ketidaksiapan saya sebagai seorang ibu, yang tidak jua belum mampu memenuhi diri dengan berbagai vitamin berupa asupan keilmuan yang cukup. Setelah sekian lama berproses, pada akhirnya tesis ini selesai juga dituliskan. Saya harus mengakui bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan, terutama di wilayah analisis. Namun secara sadar pula saya merasa memiliki kewajiban pada diri sendiri, untuk tidak menghentikan proses belajar saya hanya sampai di atas meja ujian saja.

Bukan hal yang mudah memang membicarakan kethoprak dari sisi sosial politik. Walaupun, masyarakat umum sudah mafhum mengenai tema-tema cerita kethoprak, yang tidak pernah jauh dari semesta pembicaraan mengenai kekuasaan dan masyarakat. Terlebih lagi, menarik pembicaraan mengenai kethoprak dalam konteks sosial politik di wilayah Yogyakarta pada khususnya. Berbekal kacamata yang dipinjam dari Antonio Gramsci, tesis ini mencoba menghadirkan kethoprak melalui sudut pandang yang berbeda. Tidak lagi terpaku pada pembicaraan mengenai muatan estetika semata. Namun juga membahas mengenai praktek tarik menarik kepentingan politis yang hadir secara estetis di muka khalayak penontonnya.

Untuk kesemua proses yang luar biasa ini, saya tidak dapat menahan diri untuk mengucapkan kata terima kasih pada mbak Katrin Bandel. Beliau dengan sabar membantu dan memberikan saya kebebasan untuk menentukan arah penulisan tesis dengan menyenangkan. Terima kasih juga pada bapak ST. Sunardi, yang mendorong rasa penasaran saya untuk datang dan belajar di IRB. Beliau banyak membantu saya untuk lebih melek wacana dan fenomena, bukan sekedar paham, namun juga menggelisahkannya. Terima kasih pada Romo G. Budi Subanar, beliau selayaknya ayah yang baik, yang selalu mendukung dan mengayomi kami dengan segala kebaikannya. Terima kasih pada Romo Benny Hari Juliawan, yang pada awal penulisan tesis, selalu memberikan masukan yang asyik dan amat berarti. Terima kasih pada bapak Prof. A. Supratiknya, untuk semua keramahan dan dukungan selama masa belajar saya di Pascasarjana ini. Selanjutnya, terima kasih banyak untuk mbak Desy. Tanpa campur tangan beliau, semua proses pembelajaran saya selama di IRB, tidak akan sebaik dan selancar ini. Terima kasih pada mbak Dita, karena telah mendukung dan memberi kesempatan saya untuk ikut dalam kegiatan-kegiatan di Pascasarjana. Saya juga berterima kasih pada mas Mulyadi. Sosok yang selalu dapat menularkan semangat, melalui sapaan dan laku kerjanya.


(10)

Lantas saya merasa wajib mengucapkan terima kasih secara khusus pada saudara-saudara yang saya dapatkan di IRB. Salah satu alasan saya menyelesaikan tesis ini adalah karena mereka. Mereka lah yang telah membuat saya kembali tegak berdiri, setelah keterpurukan yang panjang, karena dilempari masalah yang bertubi-tubi selama penulisan tesis ini berlangsung. Terima kasih pada Wahmuji, manusia dengan kesabaran, pengertian dan kebaikan luar biasa. Siuss, terima kasih untuk selalu dapat menampung keluh kesah yang berkepanjangan dengan cara yang berbeda. Zuhdi dan mbak Laksmi, terima kasih telah menjadi kakak yang terus menyemangati adiknya ini. Lisis, terima kasih untuk empati dan dukungannya yang menyentuh. Anto, terima kasih bro untuk semangat dan dukungannya. Fafa, terima kasih untuk obrolan-obrolan yang menyenangkan selama ini. Mbak Ekaningrum, terima kasih atas suntikan semangat yang tidak pernah putus. Mbak Puji dan mas Harry, terima kasih yang terdalam atas rasa sayang dan perhatian kalian. Pak Eko, terima kasih atas dukungan yang khas darimu. Vidya, terima kasih untuk terus menjagaku dengan caramu. Sugi, terima kasih atas doa khusus yang selalu dikirimkan dari jauh. Terima kasih untuk kawan-kawan di Prodi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Lembaga Anak Wayang Indonesia, Kelompok Pencinta Sains dan Ilmu Pengetahuan (KLETHING), Filsafat UGM angkatan 1998 dan banyak kawan lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Terima kasih untuk simbahku terkasih, Kapsah. Terima kasih karena tetap menerima si pemberontak ini dengan baik. Terima kasih kepada Alm Bapak dan Alm Ibu, saya sangat tahu bahwa njenengan berdua selalu menemani dalam diam. Beristirahatlah dengan tenang. Terima kasih kepada kakak dan adikku tercinta, Yosep dan Ratna. Kita akan selalu saling menjaga. Terima kasih juga pada para ipar, mbak Novi dan Gagat, atas segala doanya. Terima kasih pada krucil-krucilku tercinta: Nanda, Aisha, Prabu, Hafidz dan Malika. Kalian sumber semangat tante. Dan untuk Arham Rahman, lelaki istimewa, yang bersamanya saya belajar banyak hal. Terutama untuk mengenali siapa sesungguhnya saya ini. Terima kasih telah menemani sejauh ini. Mari terus belajar.


(11)

ABSTRAK

Gelombang kapitalisme yang masuk melalui globalisasi di setiap negara, berimbas pula pada Indonesia. Posisi Indonesia sebagai salah satu negara pelaku ekonomi dunia, mau tidak mau mengikutsertakan hampir sebagian besar asetnya, ke dalam pertaruhan ekonomi global. Dengan dicanangkannya Program seperti Master Plan Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI), sebagai

program pembangunan ekonomi nasional, pada akhirnya “mewajibkan” semua

pihak di tingkat lokal untuk ikut nyukseskannya. MP3EI sebagai program berskala global-nasional, amat berpengaruh pada kondisi sosial, politik dan ekonomi di tingkat lokal. Seperti halnya di Yogyakarta. Setelah pengesahan Undang-undang Keistimewaan pada tahun 2012, Kasultanan/ Pakualaman menyandang status Badan Hukum Warisan Budaya yang bersifat swasta. Status tersebut, menjadikan keduanya dapat ikut serta dalam lintas ekonomi nasional-global. Hal tersebut berdampak pada kondisi wilayah dan masyarakatnya.

Globalisasi dan kapitalisme tidak hanya melakukan ekspansi ke ruang sosial, politik dan ekonomi masyarakat. Akan tetapi juga merambah ruang lainnya. Tidak terkecuali kebudayaan, khususnya pada ruang kesenian. Sastra, teater, dan juga kesenian tradisional, seperti kethoprak mendapatkan banyak peluang, sekaligus tantangan dari globalisasi. Tantangan dan peluang yang hadir tidak selalu sama, namun masuk dalam bentuk kepentingan yang berbeda. Lakon

Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai 2 (dua) dari sekian banyak kesenian

tradional, pada penelitian ini diselidiki hubungannya dengan kepentingan global. Untuk melihat mekanisme penetrasi global di ranah lokal, khususnya melalui kedua lakon tersebut, digunakanlah teori hegemoni dari Antonio Gramsci. Teori ini digunakan sebagai kacamata analisis guna mencari tahu mengenai konteks yang melatarbelakangi kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, serta melihat sejauh mana hegemoni bekerja dari atas panggung pertunjukan kedua lakon itu.

Pada tahap selanjutnya, penelitian ini menemukan adanya peristiwa tarik menarik menarik antara kepentingan global-lokal, melalui lakon-lakon tersebut. Semisal pada lakon Magersari, yang menjadi bagian dari gerakan perjuangan keistimewaan Yogyakarta. Polemik muncul seiring dengan penetapan status keistimewaan Yogyakarta. Terutama kala Kasultanan dan Pakualaman mengaktifkan kembali Rijksblad No 16 dan No 18 tahun 1918. Sedangkan pada lakon Ledhek Bariyem, nada kritis terhadap moral dari sosok pemimpin, masih kental didapatkan dari lakon ini. Ledhek Bariyem belum menyentuh permasalahan mendasar mengenai sistem pemerintahan yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Dalam penelitian ini, didapati bahwa, kepentingan global, secara taktis masuk dalam kerangka gerakan kesenian tradisional. Hegemoni dominan hadir dari atas panggung pertunjukan. Para inteletual tradisional bekerja membentuk blok hitoris, kesadaran dan konsensus, melalui pertunjukan lakon Magersari dan

Ledhek Bariyem. Pemberlakuan program ekonomi dan sistem pemerintahan tidak

lagi dijadikan fokus kritik. Alih-alih mendukung untuk memperjuangkan kondisi sosial masyarakatnya, keduanya terkesan lebih fokus pada masalah moral-parsial, yang pada titik selanjutnya lebih mengarah pada keuntungan pihak-pihak di tingkat global.


(12)

ABSTRACT

The growth of capitalism that goes through globalization in each country has affected Indonesia as well. The position of Indonesia as a world scale economic actor has inevitably to put its asset to the stake of global economy. With the introduction of programs such as the Master Plan for the Acceleration and Expansion of Indonesian Economic Growth (MP3EI), a program of national economic development that has in turn obliged all parties at the local level to participate in succeeding the program. MP3EI as global - scale national program, is very influential on the social, political and even to the local economic level. As we can see in Yogyakarta, after the legalization of the law on Yogyakarta’s

special status in 2012, the Sultanate/Pakualaman has got the status of Cultural Heritage Law Firm which mean private. This status has put both institutions into national-global economy. It has affected the condition of space and its people.

Globalization and capitalism have expanded into many spaces, not only limited to social, political and economic space. They have also expanded into the space of culture, mainly on art, such as visual art, literature, theatre and even to the traditional art, such as Ketoprak, that has its threat and chance from globalization. The Magersari and the Ledhek Bariyem play are two out of many created traditional art. This research investigates the relation of the two plays with the global interest. In order to see the mechanism of global penetration in the local

scale, especially through the two plays, I employ Gramsci’s theory of Hegemony.

This theory is used as an analysis tool to investigate the context, the background of Magersari and the Ledhek Bariyem play. It is also used to see the mechanism of Hegemony operated on stage of the two plays.

On the next step, this research has discovered that on the characterization of the characters of the plays, the power of global and local has pulled it each other. It, for instance, can be found on a character, in Magersari, who struggle for

the legalization of the law on Yogyakarta’s special status. The dynamics is

affected by the polemic, mainly when Sultanate and Pakualaman have reactivated Rijskblad No. 16 and No. 18/ 1918. While on the Ledhek Bariyem, critical

statement is addressed to the figure of moralistic leader. Ledhek Bariyem hasn’t

reached the basic problem of the government system and its relation to the interest of the people. The research has found that global interests have tactically penetrated to the frame of traditional art movement. The dominant hegemony has existed on stage. The traditional intellectual has worked to build their historical bloc, awareness and consensus through the plays, Magersari and Ledhek Bariyem. The implementation of economic program and certain government system is no longer the target of criticism. Instead of supporting the social condition of the people, both of the plays tend to focus on moral-partial matter, which on the next


(13)

DAFTAR ISI

Contents

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS... iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK... viii

ABSTRACT... ix

DAFTAR ISI... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an. ... 1

B. Tema ... 11

C. Rumusan masalah ... 11

D. Tujuan penelitian ... 11

E. Pentingnya Penelitian... 12

F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis ... 12

F.1. Tinjauan Pustaka... 12

F.2. Kerangka Teoretis... 18

G. Metode Penelitian ... 36

G.1. Lokasi penelitian ... 36

G.2. Kelompok Sasaran ... 37

G.3. Jumlah yang akan diteliti ... 37

G.4. Sumber Data... 37

G.5. Teknik Pengumpulan Data... 38

H. Skema Penulisan ... 39

Bab II SENI PASCA-REFORMASI, SENI YANG MENCARI POSISI... 41

A. Pengantar... 41

B. Reformasi: Musuh bersama, Ke mana Perginya?... 45


(14)

C.1. Era Baru, Harapan Baru?... 52

C. 2. Identitas dalam Pasar... 55

C. 3. Perlawanan terhadap Pusat Sastra ... 59

D. Memanggungkan Peristiwa dalam Teater ... 63

D. 1. Pasca Reformasi, Teater yang terus Mencari ... 63

D.2. Representasi isu dalam Teater Lokal ... 65

E. Kethoprak, dari Hiburan ke Gerakan yang Berserak... 70

E. 1. Kethoprak Bukan Sekedar Klangenan... 70

E. 2. Kethoprak, antara Bertahan dan Melawan... 75

F. Kesimpulan ... 82

BAB III KETHOPRAK YANG BERBICARA (BUKAN) DI PANGGUNG POLITIK . 86 A. Pengantar... 86

B. Negosiasi Kethoprak Garapan ... 87

C. Mari Menonton melalui Lakon ... 97

C.1. Magersari: Tanah, Rakyat dan Politik Kekuasaan... 98

C.2. Ledhek Bariyem: Mencecap Seram dalam Konflik Kekuasaan... 109

D. Lakon Kethoprak di Mata Mereka ... 126

D.1. Guyub Rukun Paseduluran ... 129

D.2. Politik Kekuasaan dalam Kethoprak ... 134

D.3. Imaji Pemimpin Idaman... 139

D.4. Nguri-uri Kabudayan di antara Riuhnya Globalisasi... 144

D.5. Dilema Pergerakan dalam Seni Tradisi... 149

E. Kesimpulan ... 157

BAB IV Hegemoni Di Ranah Seni Tradisi... 161

A. Pengantar... 161

B. Seni Kethoprak sebagai Laku Politik... 162

C. Pembentukan Blok Historis di Atas Panggung ... 166

C.1. Guyub Rukun Demi Siapa?... 168

C.2. Moral Pemimpin Sebagai Fokus Pembicaraan... 175

C.3. Magersari, Kepentingan Global dalam Artikulasi Lokal ... 180

D. Intelektual Tradisional dari Ranah Tradisional... 190

E. Konsensus Hegemoni di Ruang Seni Tradisi... 195

F. Hegemoni Tandingan: (Potensi) Bangkit dari Keterjerembaban ... 205


(15)

DAFTAR PUSTAKA ... 217

Lampiran 1 ... xiii

M a g e r s a r i ... xiii


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Kethoprak: Lakon yang di-lakon-kan di ruang pe-lakon-an.

Ruang yang berukuran hampir seluas lapangan bola itu disesaki oleh banyak orang. Ruang pertunjukan yang biasanya hanya terisi setengahnya, kali itu dipenuhi sesak. Semua bangku sudah terpakai. Sisa penonton lainnya, yang tetap berkeinginan untuk menonton, harus rela duduk melantai tepat di depan panggung, ataupun duduk di tangga, di antara kursi-kursi yang telah terisi. Jujur saja, saya belum pernah melihat antusiasme setinggi ini, terutama untuk tontonan berformat seni tradisi. Saya tidak bermaksud mengecilkan seni tradisi, akan tetapi sepanjang pengalaman saya menonton pertunjukan seni, terutama seni tradisi, baru malam itu saya menemui peristiwa semacam itu. Peristiwa yang melahirkan keheranan. Keheranan yang menyenangkan tentunya. Antusiasme saya malam itu, mungkin dirasakan juga oleh penonton lainnya, antusiasme terhadap kerinduan terhadap pertunjukan yang lahir dari masa lalu. Sebuah romatisme pada pertunjukan kethoprak.

Kethoprak. Bukan kata yang asing bagi telinga orang Jawa (yang dimaksud- etnis Jawa). Ya. Untuk orang Jawa. Mengapa? Karena kethoprak yang merupakan salah satu seni pertunjukan itu memang lahir dari rahim tradisi Jawa. Secara personal, persentuhan saya dengan kethoprak dapat dikatakan sangat dini. Sebagai seorang anak yang juga lahir dari seorang ibu dari suku Jawa, dan pernah


(17)

tinggal (walau sebentar) di salah satu wilayah di Jawa Tengah, saya sempat menikmati beberapa jenis kesenian masyarakat Jawa.

Jagat ingatan kanak-kanak saya menyimpan beberapa hal itu secara kuat dan apik, namun kadang juga samar. Dulu semasa saya kecil, saya sempat tinggal di rumah simbah. Selama tinggal bersama simbah, saya memiliki kebiasaan yang terjadwal, yaitu selalu menunggu malam minggu datang dan menonton acara

televisi yang cukup digandrungi di masa itu. Acara televisi “Kethoprak Sayembara”, yang rutin ditayangkan oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI)

Semarang. Dapat dikatakan acara itu adalah acara favorit saya. Bagaimana tidak? Pada malam hari (saat kethoprak sayembara tayang) biasanya saya sudah jatuh tertidur, karena kelelahan setelah seharian bermain. Akan tetapi, saya selalu wanti-wanti (berpesan) pada simbah atau pun ibu, untuk membangunkan saya, bila acara tersebut sudah mulai tayang. Dengan rasa kantuk yang amat sangat, dan kelopak mata yang terasa berat untuk dibuka, saya akan memaksakan diri untuk tetap duduk di depan layar televisi, agar episode pada kali itu tidak terlewati begitu saja.

Kegandrungan saya terhadap kethoprak bukan tanpa alasan. Bahkan saya yakin, kegandrungan ini tidak hanya menjangkiti diri saya sendiri, akan tetapi juga terjadi pada banyak orang. Sebagai satu-satunya stasiun televisi yang tayang pada masa itu (pertengahan tahun 1980an), TVRI menjadi patron tontonan bagi masyarakat Indonesia. Begitu pun dengan masyarakat di daerah-daerah tertentu. TVRI pusat yang kemudian direlay melalui TVRI daerah, menghadirkan tontonan khas daerahnya masing-masing. Seperti halnya TVRI Semarang yang


(18)

menayangkan acara “Kethoprak Sayembara” pada setiap Sabtu malam. Selain

belum ada pilihan tontonan lain, sebagai orang Jawa, saya memang menyukai keseruan ceritanya.

Pada saat menonton, saya dapat terpaku dan terkagum-kagum pada para tokoh utama yang (biasanya digambarkan) berwatak baik dan ksatria. Begitu pula sebaliknya, saya bisa begitu benci dan geram, terhadap kelakukan para penjahat atau pengkhianat yang lihai dan lancar melakukan aksinya. Saya sering dibuat berdebar-debar, saat melihat para telik sandi beraksi secara cerdas namun tersembunyi, agar keberadaanya tidak diketahui oleh pihak lawan. Di saat lainnya, saya dapat ber-euforia terhadap kemenangan para pahlawan yang berjaya setelah melawan segala bentuk kejahatan, konflik dan intrik yang ditemuinya. Impresi itu melekat begitu kuat dalam ingatan visual saya terhadap kethoprak. Memang harus diakui bahwa pada saat itu, saya belum sepenuhnya paham mengenai pokok masalah yang dibicarakan dalam pertunjukan kethoprak tersebut. Saya hanya menikmati keseruannya di tiap adegannya, tidak lebih. Semua bersifat parsial, bukan pemahaman yang menyeluruh.

Semakin dewasa, pengalaman saya dalam menonton kethoprak semakin bertambah. Pemaknaan yang saya dapatkan pun semakin bertumbuh. Tidak lagi sebatas menikmati sensasi yang parsial. Saya menikmatinya beriringan dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan mengenai apa-apa saja yang disajikan di dalam tontonan. Pertanyaan-pertanyaan yang menyeruak dan sedikit menganggu. Pertanyan-pertanyaan itu tidak muncul secara tiba-tiba, akan tetapi jelas dipantik oleh tema yang diusung secara baik dalam pertunjukan kethoprak. Tema di


(19)

seputaran permasalahan konflik, intrik dan kontestasi politik dan kekuasaan, sangat kental hadir dan tersaji dalam dialog maupun adegan dalam kethoprak. Politik dan kekuasaan, memang bukan tema usang yang terus menerus hadir, hampir sama dengan realitas yang hidup di dalam masyarakat kita. Kita bahkan dapat mengatakan bahwa para seniman kethoprak selalu berusaha memotret kondisi nyata masyarakat, bahkan juga negara, lantas kemudian diwujudkan kembali dalam bentuk yang khas kethoprak. Kethoprak hadir tidak hanya sebagai tontonan biasa, dan menghasilkan pengalaman menonton yang juga tidak biasa.

Perjumpaan dengan tontonan semacam kethoprak membawa pengalaman khusus bagi saya, juga bagi masyarakat Jawa pada umumnya. Kethoprak bukan sekedar tontonan, akan tetapi juga tuntunan dalam praktek hidup masyarakat Jawa. Pelajaran mengenai nilai moral tidak hanya disebarkan melalui tata aturan dalam lisan maupun tulisan, akan tetapi juga dihidupkan melalui lakon-lakon yang di-lakon-kan dalam pertunjukan kesenian, salah satunya kethoprak. Mengutip Budi Susanto SJ, yang mengatakan bahwa kethoprak tidaklah sekedar membantu

rakyat untuk “membaca” kata-kata yang terlihat (melalui dialog yang dituturkan),

akan tetapi juga mengajak mereka untuk ikut “menuliskan” bahasa-atau lebih tepatnya budi bahasa, sebagai mekanisme untuk berkomunikasi tentang beberapa kebenaran dari dunia ini; adalah lebih baik untuk memperhatikan bahasa sebagai yang memudahkan, mencontohkan atau menyinggung sesuatu yang sesungguhnya tidak mudah untuk dijelaskan.1 Kethoprak menjadi media untuk mentransfer

1Budi Susanto SJ, Kethoprak: Politik Masa lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini,


(20)

substansi mengenai sesuatu, kemudian dikemas dalam format kultural yang estetis.

Pada masa lalu, masyarakat nusantara (Indonesia) adalah masyarakat dengan budaya bertutur yang kuat, sehingga pertunjukan yang dilakonkan lebih menekankan pada cara-cara penyampaian lisan. Sri Paduka Mangkunegara VII dari Surakarta menyebut pertunjukan yang dilakonkan ini sebagai sandiwara. Sandiwara merupakan gabungan kata dari sandi dan wara. Sandi berarti bahasa rahasia yang menggunakan lambang tertentu, sedangkan wara memiliki arti pengajaran. Melalui sandi atau bahasa perlambanglah pengajaran disampaikan.2 Pengajaran mengenai kehidupan, berupa moral, budi pekerti dan hal-hal penting lainnya. Ada anjuran atau sesuatu yang disampaikan melalui pertunjukan. Bukan sekedar tontonan atau hiburan.

Di dalam sandiwara tradisional ini, unsur kebersamaan, terutama antara penonton dan pemain jauh lebih diutamakan. Tiada sekat di antara mereka. Misalnya saja, pada masa dulu belum dikenal adanya konsep panggung. Penonton biasanya duduk melingkari tempat pertunjukan, atau bahkan tempat pertunjukan adalah juga tempat dimana para penonton berada. Tidak ada area khusus. Para pemain duduk menyebar. Begitu pula posisi penonton. Interaksi antara penonton dan pemain sangat cair. Penonoton bisa dapat ikut berdialog dengan para pemain. Tidak ada batas, namun tetap tertib. Semua mengetahui aturan, tanpa ada peraturan ketat yang tertulis. Konsep semacam ini dikenal dengan Desa-Kala-Patra, yaitu penyelarasan diri dengan tempat, waktu dan juga keadaan.


(21)

Seni pertunjukan ini, oleh sebagian orang digolongkan ke dalam seni tradisi, dan sebagian lainnya memasukannya dalam kelompok seni rakyat. Belum ada kesepakatan yang pasti mengenai golongan yang (semestinya) dimasuki oleh kethoprak. Namun tidak ada yang mempermasalahkannya, bila kethoprak dimasukan dalam kedua golongan itu. Karena kethoprak memang lahir dari tradisi dan kehidupan rakyat Jawa sehari-hari. Kethoprak mempertontonkan kehidupan yang tak berbeda jauh dari kehidupan para penontonnya. Tiada sekat pemahaman antara penonton dan yang ditonton dalam kethoprak. Kethoprak adalah potret sejarah dan kondisi kekinian rakyat. Semuanya hadir selayaknya peristiwa yang terjadi di ruang tamu, di dapur, di gang depan rumah atau tempat-tempat publik yang kita kenal dengan baik. Kondisi masyarakat diperlihatkan secara sederhana melalui pertunjukan ini.

Kethoprak lahir sekitar akhir tahun 1920-an, dipengaruhi oleh popularitas seni drama Barat (tonil), dan banyak meminjam unsur-unsur wayang demi tujuan dan kepentingannya sendiri.3 Kesenian ini hadir dengan cerita keseharian yang sederhana. Belum dipertujukan secara serius di depan khalayak ramai. Kethoprak pada awalnya menggunakan lesung, yang biasa digunakan oleh para wanita untuk menumbuk padi. Bila bulan purnama datang, semua orang orang akan sangat gembira menyambutnya. Itulah saat di mana semua orang akan keluar dari rumah, berkumpul di tempat yang lapang, bertemu, berbincang, menikmati cahaya bulan dan menikmati hiburan khas kampung mereka. Kesenian ini mampu mengumpulkan banyak orang di satu tempat dan waktu tertentu. Acara tabuh


(22)

lesung biasanya menjadi ajang kumpul rutin para penduduk desa, terutama pada saat bulan purnama.

Persoalan- persoalan hidup dari yang serius, hingga yang ringan hadir berjejal secara mulus dalam pertunjukan ini. Masyarakat Jawa pada khususnya, membicarakan anyak hal yang mereka hadapi, salah satunya melalui kesenian kethoprak. Kegelisahan yang hadir sebagai keseharian, diarahka menjadi proses refleksi, pembelajaran, atau bahkan hanya jadi sekedar bahan tertawaan. Misalnya saja menertawankan kekuasaan. Menertawakan kekuasaan dalam “pakaian” seni

pertunjukan kethoprak memang bukan hal baru. Para seniman kethoprak, sesekali berupaya untuk menciptakan ruang pementasan kesenian ini sebagai ruang publik. Ruang publik yang memungkinkan rakyat untuk ikut mengkritik dengan sajian estetika tertentu. Kritik disampaikan memalui sentilan-sentilan genit, obrolan selayaknya bersama. Kritik atas kegelisahan terhadap hubungan kekuasaan yang hadir dalam kehidupan sehari-hari, mengantarkan kethoprak masuk dalam ranah pembahasan yang jauh lebih politis.4

Beberapa pertunjukan kethoprak, memang sarat pesan politis. Cerita-cerita sejarah kerajaan, kepahlawanan dan cerita yang diangkat berdasar isu yang kontekstual pun, memuat pesan-pesan politik tertentu. Pada jaman pendudukan Jepang misalnya. Pada tahun 1942-1945, kethoprak digunakan sebagai salah satu alat propaganda militer. Dalam bukunya yang berjudul Kethoprak: Politik Masa

lalu untuk Masyarakat Jawa Masa Kini, Budi Susanto SJ menyinggung soal

keberadaan kethoprak di jaman pendudukan Jepang. Ia menjelaskan bahwa


(23)

pasukan bangsa Jepang yang saat itu datang sebagai saudara tua bagi rakyat Indonesia, ingin memperoleh kepercayaan rakyat Indonesia, melalui berbagai mekanisme. Salah satunya melalui kethoprak. Dari tontonan inilah, nasionalisme rakyat Indonesia dibangkitkan. Guna melawan Sekutu dan para elite Priyayi Jawa yang mendukung serta pernah menjadi perpanjangan tangan Kolonial Belanda.5

Tidak hanya sebatas pada jaman penjajahan Jepang dan Belanda, bahkan pada masa setelah kemerdekaan negara ini, kethoprak masih selalu ambil bagian dalam pembicaraan seputaran politik dan kekuasaan. Kethoprak selalu hidup di tiap zamannya, dan terus menerus mereproduksi pandangan politiknya. Menilik hal tersebut, saya ingin sekali melakukan penelitian lebih mendalam, mengenai muatan politik yang dibawa dalam pertunjukan kethoprak. Muatan yang kadang secara eksplisit ditampilkan, atau kadang juga sebaliknya. Terutama kethoprak yang hadir dengan masalah politik kekuasaan di wilayah Yogyakarta.

Sekian banyak jejak pengalaman kesenian dalam ranah sosial, terekam dalam berbagai literatur. Sedari dulu kita bisa melihat bahwa kesenian selalu mengambil peran di dalam banyak sektor kehidupan manusia. Begitupun kethoprak. Kethoprak mengambil peranan penting dalam lingkup kehidupan negeri ini. Pada awal kehadirannya, kethoprak tidak nampak sebagai bagian dari perlawanan terhadap penjajah pada masa kolonial. Namun secara perlahan dan pasti, kethoprak hadir untuk melakukan fungsi untuk mengorbarkan semangat perlawanan, melalui cerita-cerita kepahlawanan masyarakat Jawa di masa lalu.


(24)

Pada masa kemerdekaan hingga Orde Baru, saat kesenian seperti sastra, musik, tari dan teater mulai menemukan ruang berekspresi yang lebih leluasa, kethoprak juga aktif untuk mengambil posisi. Namun di kala cabang-cabang kesenian tadi hadir dengan kritik sosial, maka mereka akan berhadapan dengan represi politik dan militer (pada masa Orde Lama dan Orde Baru). Berbeda dengan yang dihadapi para seniman kethoprak. Mereka seakan tidak masuk dalam radar pengawasan yang terlampau ketat dari penguasa. Mengapa? karena kethoprak sebagai salah satu kesenian tradisi yang akrab dengan masyarakat (khususnya etnis Jawa), kerap dipentaskan sebagai agenda penyebaran doktrin rejim penguasa. Lantas bagaimana dengan kethoprak selepas bebas dari jeratan Orde Baru?

Pada titik inilah, kethoprak menjadi sangat menarik untuk diteliti. Bila sedarai dulu kita mendapati bahwa kethoprak menggunakan dirinya sebagai senjata sosial rakyat, apakah itu juga berlaku pada hari ini? untuk melihat hal tersebut, saya hendak menyoroti 2 produksi kethoprak, yang dipentaskan pada pasca reformasi. Pertama, kethoprak dengan judul Magersari. Sedangkan kethoprak yang kedua, berjudul Ledhek Bariyem.

Ke-hampir-samaan kedua pertunjukan itu adalah respon terhadap peristiwa penting dalam kontelasi politik di kota Yogyakarta dan Indonesia. Kethoprak

Magersari misalnya, pertunjukan ini berusaha merespon peristiwa Pemilihan

Kepala Daerah kota Yogyakarta (Pilkada), tepatnya pemilihan walikota Yogyakarta pada tahun 2011. Sedangkan kethoprak Ledhek Bariyem dipentaskan


(25)

tepat sebelum peristiwa Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2014 terjadi, khususnya pemilihan presiden Republik Indonesia.

Walau lahir dan dipentaskan pada momen politik kekuasaan yang hampir mirip, kedua pertunjukan kethoprak itu tidak melulu bicara mengenai politik kekuasaan secara gamblang, seperti halnya para politisi di arena kampanye, maupun ruang-ruang politik lainnya. Namun keduanya bertutur dengan kesan

mlipir namun sarat kritik terhadap peristiwa politik tersebut. Kethoprak dianggap

dapat menjadi salah satu corong untuk menyuarakan aspirasi politik. Budi Susanto SJ, bahkan menyebutkan bahwa kethoprak memiliki fungsi sebagai sarana untuk menciptakan kesadaran bersama massa rakyat, yang memiliki kesulitan untuk mengakses jalan ke bentuk-bentuk birokrasi ataupaun lembaga lainnya dari sebuah kekuatan politik6.

Lantas suara politik semacam apa yang hendak disampaikan dari atas panggung pertunjukan lakon Magersari dan Ledhek Bariyem? Apakah memang kethoprak telah memberikan ruang pemikiran dan kegelisahan sosial politik masyarakat, khususnya masyarakat Jawa? Apakah kegelisahan itu bersifat mendidik atau menggiring pendapat politik masyarakat? Bagaimana sikap seniman yang diejawantahkan melalui lakon Magersari dan Ledhek Bariyem sebagai kesenian tradisi, dalam menghadapi globalisasi sebagai sebuah skenario besar yang tak terhindarkan? Sepertinya akan ada banyak pertanyaan berkaitan dengan (seniman dan komunitas) kethoprak. Terutama yang berkaitan dengan

6Budi Susanto SJ, 2012,“Me(meper)mainkan Sandi Wara Rakyat: Ketoprak Eksel, dalam Jurnal

Retorik Vol.3- No.1, Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta


(26)

posisi politik para seniman dan komunitas, bila dikaitkan dengan isu yang dibawa dan dipertunjukannya di atas panggung kesenian tradisi.

B. Tema

HEGEMONI DARI ATAS PANGGUNG SENI TRADISI

C. Rumusan masalah

Titik berangkat penelitian hadir melalui pertanyaan-pertanyaan kunci. Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan rumusan masalah, yang menjadi pijakan analisisnya. Pertanyaan-pertanyaan kunci tersebut antara lain:

1. Bagaimana peran kethoprak dan bidang kesenian lainnya, dalam merespon kondisi sosial-politik masyarakat pasca reformasi?

2. Apa konteks yang melatarbelakangi, dan bagaimana cara dihadirkannya dalam kethoprak lakon Magersari dan Ledhek Bariyem?

3. Bagaimana hegemoni bekerja dari atas panggung kethoprak lakon

Magersari dan Ledhek Bariyem?

D. Tujuan penelitian

1. Menggali peran kethoprak dalam gerakan kritik politik masyarakat terhadap kekuasaan.

2. Mencari tahu format hegemoni semacam apa yang dihadirkan dalam lakon kethoprak di masyarakat.


(27)

E. Pentingnya Penelitian

Hasil dari penelitian ini nantinya diharapkan dapat berarti penting bagi:

1. Ilmu sosial, khususnya Kajian Budaya. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran khususnya tentang kesenian kethoprak, yang berusaha meningkatkan pemahaman dan perubahan sosial-politik di masyarakat.

2. Para aktivis kebudayaan dan politik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi penting dalam melakukan gerakan-gerakan kebudayaan dan politik, yang berorientasi pada perubahan dan peningkatan posisi serta daya tawar masyarakat terhadap kekuasaan lokal, nasional dan global.

3. Mahasiswa (peneliti) agar dapat mengembangkan pengetahuan dan kemampuan profesionalnya dibidang kajian budaya, terutama yang berkaitan dengan gerakan politik dalam kethoprak.

4. Peneliti lain, agar hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam proses penelitian sejenis.

F. Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teoritis F.1. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka ini lebih menitikberatkan pada pembahasan mengenai penelitian-penelitian yang pernah dilakukan, terutama penelitian yang memiliki fokus objek material dan objek formal yang hampir sama. Penelitian pertama dilakukan oleh Afendy Widayat pada tahun 1997, mengangkat judul Kethoprak:


(28)

Seni Pertunjukan dan Seni Sastranya, Media Menuju Konteks Multikultural. Pada

penelitiannya, Afendy Widayat menyoroti kedudukan kethoprak sebagai hasil seni tradisional Jawa. Menurutnya, kesenian mampu mengikuti perubahan di dalam masyarakat. Kemampuan mengikuti perubahan atau kemampuan beradaptasi ini ditarik masuk dalam konteks multikultural. Sebagai sebuah kesenian yang lahir dari tradisi masyarakat Jawa, kethoprak bersifat sangat luwes. Penilaian konvensional yang melekat pada kethoprak tidak lantas membuatnya menjadi kaku. Afendy Widayat menyatakan bahwa sejak awal pertumbuhnnya, kethoprak memang penuh dengan inovasi-inovasi yang baru sama sekali, maupun yang dicangkokan dari cabang-cabang seni lainnya. Sehingga sah-sah saja mengikuti perkembangan masyarakat dan keilmuan yang relevan. Agar dapat dihasilkan bentuk yang paling pas dan dapat diterima oleh masyarakat luas.

Lanjutnya, kethoprak harus mampu membongkar dan menata kembali bentuknya, agar keberadaannya dapat terus bertahan, terutama dalam pergaulan multikultural. Melalui pergaulan tersebut, kethoprak semestinya dapat membawa nilai-nilai filosofi Jawa, yang serupa dengan sebagian besar kesenian dari daerah lain di nusantara. Sehingga keberadaan kethoprak tetap dapat mengakomodir kepentingan dari kesenian-kesenian tradisi di nusantara, tanpa menghilangkan misi utamanya, yaitu penanaman nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal.

Berbeda dengan penelitian di atas, penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada menggunakan pemaparan kronologi kesejarahan kethoprak, dan lebih menitikberatkan permasalahan kethoprak yang diperhadapkan dengan globalisasi. Menurutnya dari jalan sejarah yang telah dilalui kethoprak, telah membuktikan


(29)

bahwa kesenian tersebut dapat terus hidup dan mengikuti perubahan jaman. Perubahan yang dialami kethoprak, tidak lantas membuatnya meninggalkan akar tradisi.

Pada penelitian yang diselesaikannya bulan Juni 2008, sebagai hasil dari proses program Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies (ACICIS) Angkatan IIVI, Sukada menjelaskan bahwa kebutuhan untuk beradaptasi dan memodifikasi sesungguhnya dipicu oleh globalisasi. Semua aspek yang mengglobal dan modern, telah menyediakan begitu banyak pilihan hiburan bagi masyarakat. Sehingga bentuk hiburan atau media kritik semacam kethoprak, pasti menemukan tantangannya. Bila kethoprak hadir dengan format lama, sudah pasti kethoprak akan ditinggalkan oleh para penontonnya. Di sini Sukada terus menerus menekankan bahwa kethoprak haruslah ikut merubah dirinya. Para seniman tidak hanya dituntut untuk sekedar mengikuti kondisi global, akan tetapi juga harus merasa bahwa perubahan adalah kebutuhannya. Tanpa meninggalkan pakem tradisi yang menjadi kekhasannya. Globalisasi bisa disiasati dengan mengikuti perubahan jaman, melalui strategi adaptasi dan modifikasi.

Bila penelitian di atas sedikit banyak menggunakan pendekatan sejarah, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, pada tahun 2009. Dalam disertasinya, Retnowati menggunakan perspektif antropologi. Penelitian tersebut berjudul Kesenian Kethoprak sebagai Identitas: Suatu Kajian Kelompok

Kesenian Kethoprak Arum Budoyo di Juwana- Pati, Jawa Tengah. Retnowati

menemukan bahwa kethoprak adalah salah satu ekspresi identitas yang lahir dari kondisi sosial-budaya (yang dihadapi oleh) kelompok tersebut.


(30)

Menurutnya, komunitas kethoprak yang ditelitinya, yaitu komunitas kethoprak pesisiran di daerah Pati Jawa Tengah, telah melakukan mekanisme dekonstruksi terhadap modernisasi dan globalisasi. Kethoprak telah bisa menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Di sini kethoprak mengambil peranan penting, yaitu posisi (dalam bahasa yang disampaikan oleh) orang-orang yang terpinggirkan, di sebuah wilayah di pesisiran utara Jawa Tengah.

Barbara Hatley (2008) dalam bukunya yang berjudul Javanese Performance on an Indonesian Stage: Contesting Culture, Embracing Change,

banyak mengulas mengenai teater dan kethoprak. Pada bukunya ini, Hatley jauh lebih lengkap memaparkan mengenai kedua hal itu, dalam kaitannya dengan perubahan kondisi di Indonesia. Buku yang ditulis berdasarkan penelitiannya itu, melihat bahwa pada awalnya kethoprak merupakan pertunjukkan yang dilakukan

dan diperuntukan bagi masyarakat “kelas bawah”, di kampung-kampung. Hingga pada perkembangannya, bentuk awal dari kethoprak berubah setelah beberapa bagian dari teater barat mulai diadopsi di dalam pertunjukan (kethoprak).

Titik penting yang dikemukakan Hatley dalam buku tersebut, adalah pemaparannya mengenai andil penting dari pertunjukan teater maupun kethoprak di dalam peristiwa politik di negeri ini. Menurutnya, kethoprak berperan dalam upaya menyatuan visi dan pengumpulan massa, untuk melawan rejim kekuasaan Soeharto pada masa orde baru. Perlawanan terhadap kekuasaan yang ada di pusat (pemerintahan), diperhadapkan dengan kekuasaan yang ada di daerah, dalam kasus ini pemerintahan daerah istimewa Yogyakarta. Perlawanan ini kemudian


(31)

menjadi isu yang berbau kedaerahan. Identitas kejawaan dan pengagungan terhadap Sultan sebagai simbol pemimpin Jawa (Yogyakarta), menjadi ciri khas yang nampak dalam gerakan tersebut. Hatley tidak melihat teater dan kethoprak hanya sebagai dua bentuk pertunjukan yang menghibur. Akan tetapi juga melihat keduanya sebagai bagian dari gerakan yang melibatkan banyak orang, sebagai agen dari gerakan politik.

Penelitian-penelitian yang saya ajukan di atas, merupakan hasil temuan yang menampilkan ketoprak sebagai salah satu bentuk kesenian pertunjukan Jawa, yang bersifat multidimensional. Pada penelitian pertama yang dilakukan oleh Afendy Widayat, Ia melihat bahwa kethoprak dapat mengakomodir kepentingan untuk menanamkan nilai moral kemanusiaan yang bersifat universal. Kethoprak menjadi semacam agen pendidikan dan penanaman nilai moral ideal dalam masyarakat. Ketoprak memikul tanggungjawab dalam proses transformasi nilai. Penelitian ini melihat bahwa seperti di banyak format seni pertunjukan tradisi, etika dan nilai moral kemanusiaan adalah poin penting yang harus disampaikan dan dipelihara di setiap generasi dalam masyarakat.

Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Annisa Sukada, lebih menekankan pada titik perubahan yang harus dilakukan oleh para seniman kesenian kethoprak. Perubahan ditujukan agar dapat bisa bertahan dan bersaing dalam era globalisasi sekarang ini. Sesungguhnya penelitian ini dapat dikatakan sebagai lagu lama dalam penelitian-penelitian terhadap tradisi yang hidup di dalam masyarakat. Tradisi yang merupakan hasil budaya masyarakat baik material maupun non material, dan di wariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya,


(32)

harus dapat menyesuaikan diri dengan laju modernisasi, dan pastinya juga globalisasi. Hampir sama dengan penelitian Sukada, penelitian yang dilakukan oleh Retnowati, sedikit banyak juga berbicara tentang usaha kethoprak agar bisa tetap eksis dan survive di era sekarang ini. Penelitian ini memaparkan bahwa kethoprak telah dapat menciptakan solidaritas sosial, bahasa bersama dan nasionalisme. Dalam upaya penciptaannya itu, kethoprak harus melalui proses mimikri dengan ke-modern-an dan globalisasi. Daya juang yang tidak setengah-setengah, agar dapat tetap hidup dalam pikiran dan kebutuhan akan hiburan di masyarakat.

Lain halnya dengan peneliti asal Australia yang cukup fokus mengulik mengenai kethoprak, Barbara Hatley. Ia banyak menjelaskan bahwa melalui kethopraklah, representasi kondisi sosial politik negeri ini dapat dilihat. Misal pada peristiwa menumbangan rejim Orde baru. Upaya untuk mengkritik pemerintah yang berkuasa pada masa itu, telah melahirkan karya-karya yang berorientasi pada penggalangan kesadaran masyarakat untuk lebih berani mengkritik penguasanya, dan menyentil pemerintah dalam penerapan sistemnya yang represif. Kethoprak tidak lagi berdiri sebagai alat hiburan, akan tetapi juga menjadi alat politik rakyat.

Harus diakui, mungkin penelitian yang saya lakukan cukup berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, yang mengetengahkan kethoprak sebagai objek materialnya. Kethoprak yang merupakan seni pertunjukan rakyat, merupakan magnet yang luar biasa untuk ditonton, sekaligus untuk dianalisa lebih dalam. Yang membedakan penelitian ini adalah karena tidak lagi melulu


(33)

meneropong kethoprak dari kacamata estetika, pendidikan (transformasi nilai), ataupun dalam posisi sosialnya. Penelitian ini akan membawa kethoprak dalam pembicaraan di ranah politik. Penelitian ini hendak melihat potensi kethoprak sebagai kesenian sangat ketal dengan aktivitas kritik politik, terutama pada masa pasca reformasi.

F.2. Kerangka Teoretis

Perspektif politik, adalah pilihan objek formal dari penelitian ini. Kethoprak akan dilihat sebagai aksi politis masyarakat, dalam menyikapi kondisi politik negaranya. Kethoprak tidak hanya dijadikan sumber hiburan yang menyenangkan. Akan tetapi, kethoprak juga akan dilihat sebagai sebuah formula serius dalam ranah pembicaraan politik masyarakat. Melalui kacamata teori hegemoni yang diusung oleh Antonio Gramsci, sekelumit mengenai teori globalisi (terutama yang berkaitan dengan budaya), kethoprak akan didedah lebih spesifik. pemikir tersebut, akan membantu kita membaca kethoprak dengan cara baca yang berbeda.

F.2.1. Mengkritik Determinisme Ekonomi

Di mulai sub-sub bab ini hingga seterusnya, saya hendak membicarakan peta teori Gramsci, terutama pembahasannya mengenai hegemoni. Peta teori ini, berdasar pada apa yang ia kritisi atau ia kembangkan dari pokok pikiran Marxisme awal. Melalui pijakan teori Marx, Gramsci mencoba untuk menyandingkan dengan kumpulan pengalaman yang didapatinya selama menjadi aktivis gerakan kiri, baik di partai sosialis, maupun patai komunis. Buah pikiran


(34)

yang menjadi pintu baru bagi semesta pemahaman mengenai aliran Marxis. Saya mengetengahkan alur peta ini, sebagai acuan untuk membaca objek material penelitian saya, yaitu gerakan politik dari kethoprak lakon Magersari dan Ledhek

Bariyem.

Posisi Gramsci dalam peta aliran pemikiran Marxis, diletakkan pada kelompok Neo-Marxis, terutama pada Marxisme Hegelian. Posisi tersebut dijelaskan dalam buku George Ritzer dan Douglas J. Goodman yang berjudul

Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxis.7 Bukan tanpa alasan Gramsci di tempatkan pada posisi tersebut. Gramsci melakukan transisi penting mengenai konsep determinisme ekonomi Marx. Ia mengkritik konsep determinisme ekonomi yang bersifat fatalistik. Dalam pemikiran Marx, segala sesuatu sudah ditentukan oleh capital. Positivisme Marxisme ortodoks cenderung menggiring pada determinisme dan materialis objektif sejarah.8 Determinisme ekonomi semacam inilah yang coba digugat oleh Gramsci.

Gramsci menggugat determinisme secama itu, stelah ia melihat kondisi kelas pekerja, kala ia menjabat sebagai pimpinan PCI. Ia skeptis terhadap doktrin

sosialis Internasional kedua dan ketiga, karena telah digerogoti oleh ‘scientisme kasar’ (crude scientism) dan ‘ekonomisme primitif’. Scientime kasar adalah

keyakinan bahwa selalu ada kontradiksi inheren dalam moda produksi kapitalisme yang dapat dianalisis, diprediksi dan dikuantifikasi oleh hukum kapital Marx.

Scientime kasar menghasilkan kekeliruan yang bernama “ekonomisme”. Dimana

elemen semacam politik, budaya dan ideologi, terpisah dari elemen moda 7George Ritzer dan Douglas J Goodman, (2004), Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori


(35)

ekonomi produksi. Dengan kata lain, pada tingkatan base, terdapat segala hal yan berkaitan dengan uang, material, dan segala hal yang berkaitan dengan moda produksi. Lantas pada tingkatan super structure, terbangun institusi yang berkaitan dengan hal yang bersifat non material, baik itu yang bersifat sosial, politik, budaya dan lain sebagainya. Materlisme historis berisikan pendapat bahwa sejarah dapat dapat direduksi hanya sebagai menifestasi moda produksi, dan hanya dapat dianalisis sebagai proses objektif evolusi.9

Hal tersebutlah yang dikritisi Gramsci. Menurutnya, hal tersebut mengabaikan keberadaan manusia/ masyarakat sebagai agen yang aktif dan sadar. Manusia buka semata-mata menerahkan diri pada dunia alamiah, namun aktf dengan berbagai mekanisme kerja dan tekniknya.10 Manusia diposisikan sebagai agen sejarah, yang mampu melakukan perubahan sejarah. Karena sangat tidak mungkin bila hanya mengandalkan krisis ekonomi, untuk menghadapi kapitalisme. Meskipun ia mengakui bahwa ada sejumlah keteraturan dalam sejarah, ia menolak gagasan perkembangan sejarah yang otomatis dan tak terhindarkan. Maka pada titik ini, masyarakat haruslah dapat bertindak untuk mewujudkan revolusi sosial. Namun sebelumnya melakukan tindakan tersebut, masyarakat harus sadar terlebih dahulu mengenai situasi, hakikat serta sistem yang sedang dijalaninya.11 Dalam menjalani revolusi sosial semacam itu, masyarakat paham pada apa yang diperjuangkannya. Bukan sekedar melakukannya secara buta.

9Muhadi Sugiono, 2006, hal. 21-23 10Muhadi Sugiono, 2006, hal. 24


(36)

F.2.2. Pengembangan Konsep Pertentangan Kelas

Pada kala Gramsci memegang jabatan sebagai sekjen PCI, aroma subordinasi terasa sangat kencang berhembus di ranah kapitalisme Italia, khususnya di Turin. Dengan tingginya permintaan pasar terhadap produk dari pabrik mobil FIAT (Fabrica Italiana Automobilii Torino), para pemilik modal berfikir untuk menggejot produktivitas buruhnya. Para buruh terkesan hanya selayaknya menjalankan ban berjalan, yang terus menerus tiada henti. Karena bila mereka berhenti, maka keuntungan akan pabrik berkurang. Federich Taylor dalam bukunya The Principles as Scientific Management (1911) yang melihat manusia

sebagai “mesin” istimewa, yang dapat disesuaikan untuk kebutuhan industri

modern. Pemikiran Taylor, ditentang oleh Gramsci. Ia melihat bahwa Taylorisme dapat mematikan sikap kritis para buruh, juga memelihara penindasan terhadap mereka. rasionalisasi pekerjaan hanya akan menumbuhsuburkan penindasan dan memperbesar keuntungan para pemilik modal. Taylorisme pada akhirnya akan membunuh kemampuan kritis kelas pekerja, serta membunuh tendensi alamiah mereka untuk mewujudkan organisasi-organisasi kolektif.12

Jauh sebelum menuliskan penentangannya terhadap Taylorisme maupun Fordisme, Gramsci berhadapan dengan kondisi saat seusai perang dunia ke-2, pola industri Amerika, khususnya Ford banyak diadopsi di wilayah Eropa. Tak

terkecuali di Italia. FIAT mengambil beberapa mekanisme “pengelolaan buruh”,

sama seperti yang dilakukan oleh Ford di Amerika. Maka untuk menghalau pengaruh ini, Gramsci dan kawan-kawannya membentuk dewan buruh. Kekhawatiran meraka cukup beralasan, karena dengan penerapan Taylorisme


(37)

yang didaku oleh Ford, akan berbengaruh pada buruh dari FIAT. Pemikiran bahwa kelas pekerja atau buruh adalah mesin, yang mampu mendukung kenaikan jumlah produksi, sehingga membuka ruang para pemilik modal untuk mengurusi masalah di luar proses produksi. Agar proses produksi tidak terganggu, maka para pemilik modal mulai masuk dan ikut mengatur ruang-ruang privat, seperti permasalahan seksual. Melihat realita semacam itu, Gramsci menyimpulkan bahwa hegemoni lahir di pabrik atau perusahaan.13

Pada titik ini konsep pertentangan kelas yang diperkenalkan oleh Marx, hadir dan berkembang dalam pemikiran Gramsci. Bila dalam Marx, ide dari para pemilik modal diformulasikan agar dapat mengontrol para kelas pekerja, mekanisme untuk mengamankan posisi pemilik modal sebagai kelas yang berkuasa. Marx meletakkan kedinamisan dalam pertentangan kelas, melalui revolusi. Kelas pekerja dapat memproduksi ide mereka sendiri, baik dalam ranah industri maupun organisasi politik. Pandangan inilah yang menjadi modal bagi gerakan yang dilakukan oleh Gramsci dan kawan-kawannya. Terutama dalam merespon Amerikanisme dan Fordisme. Hal tersebut memantik kegusaran para pemilik modal. Mereka kemudian meminjam tangan negara untuk menekan laju perlawanan buruh, dengan cara kekerasan.

Negara, berfungsi sebagai pelindungan bagi kepentingan para pemilik modal (masyarakat kapitalis). Mekanisme itu dilaksanakan melalui jalur kekerasan (coercion) yang dilakukan oleh tangan-tangan penegak disiplin negara,

serta melalui bantuan para intelektual tradisional, agar terbangun ‘persetujuan’,


(38)

yang hadir melalui ideologi sebagai bentuk hegemoni. Hegemoni yang dihayati, amini sebagai sebuah kebutuhan, tanpa perlu difikirkan kembali. Bila negara (dalam hal ini penguasa) dapat menyingkirkan oposisi, serta mendapatkan kepatuhan dan persetujuan dari kawan sekutunya, maka di pada tahap inilah hegemoni dominan dapat dikatakan mencapai keberhasilannya. Gramsci memaknai pertentangan kelas adalah aksi yang harus dilakukan oleh kelas pekerja. Melalui aksi federasi buruh, dan juga tani, bahaya yang dihadirkan oleh masyarakat kapitalis dapat ditangkal. Kedua kelompok itu adalah ujung tombak perubahan.

Meskipun Gramsci mengakui arti penting dari faktor struktural, namun faktor tersebut tidaklah mampu untuk menggiring kelas tersubordinasi dapat melawan kelas yang berkuasa. Ia menekankan arti penting pembangunan ideologi revolusioner yang dikembangkan oleh masyarakat. Gagasan mengenai hal ini dikembangkan oleh para inteletual, yang kemudian akan disebarkan pada masyarakat. Masyarakat tidak dapat secara mandiri menghasilkan pemikiran semacam ini, sehingga fungsi intelektual sangatlah diperlukan. Kala masyarakat telah mampu memahaminya, pada tahap kemudian akan dapat didorong adanyanya revolusi sosial.

F.2.3. Konsesus Sebagai Orientasi Hegemoni

Gramsci’s main concern became why men were committed to certain

beliefs and to a certain system and what was need to make the accept a new system of values. Here he lighted on the notion of hegemony, which

he maintained was implicit in the ideas of Lenin. (…) hegemony was what was secured through the “spontaneous consensus” which the mass of

populace gave to the mode of life impressed on society by the dominant group, a consensus given because of the prestige and trust the dominant group enjoy due to its position. (Alastair Davidson, 1968: 32-33).


(39)

Gramsci, sebagai salah satu tokoh penting Marxisme, banyak memberikan sumbangan dan pengembangan penting bagi aliran Marxisme tradisional. Terutama dalam dengan mengangkat hegemoni dominan sebagai titik penting pembicaraan dalam pemikirannya. Mesti dicatat, bahwa Gramsci memang tidak menuliskan teorinya secara lengkap dan final. Muhadi Sugiono mengatakan bahwa pemikiran Gramsci lebih bersifat sementara, karena diperoleh dari catatan yang berserak, terfragmentasi dan tidak lengkap, sehingga wajar bila melahirkan banyak interpretasi. Terlepas dari kenyataan itu, namun tema tunggal yang diusungnya adalah hegemoni.14 Baginya, konsep hegemoni benar terjadi terutama di kalangan kelas pekerja di Italia. Ia melihat bahwa kelas pekerj) dengan suka rela menerima nilai yang ditanamkan oleh kelas penguasa atau kelas yang mendominasi. Hegemoni dominan bekerja guna memperoleh kepatuhan, dan dipercayai sebagai sesuatu yang dibutuhkan. Konsep ini, seringkali dikaitkan dengan konsep kesadaran palsu yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Keduanya berhubungan sangat erat.

Kelas penguasa mendapatkan kepatuhan dari kelompok yang didominasi melalui 2 (dua) cara, yaitu melalui jalan kekerasan (coersi) dan jalan konsensus (consent). Cara kekerasan sringkali dianggap sebagai cara lama dan kuno, namun cukup efektif dan cenderung dapat dengan cepat mendapatkan kepatuhan dari kelas yang didominasi. Karena kelas penguasa (yang mendominasi) kerap menggandeng negara beserta aparatnya. Sedangkan pada cara kedua, yaitu konsensus (consent), kelas penguasa akan mengupayakan kepatuhan dari kelas 1414Muhadi Sugiono, 2006, Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Pustaka


(40)

yang didominasi dengan cara yang cenderung halus. Kelas penguasa menanamkan doktrin melalui sistem-sistem yang dipercayai oleh kelas yang didominasi. Disinilah hegemoni dominan bekerja. Hegemoni dominan bekerja secara cerdas, dengan bentuk kepemimpin budaya yang dijalankan oleh kelas yang berkuasa.

Menurut Ritzer, hegemoni dominan mempertentangkan cara-cara dengan kekerasan (coersi) yang dijalankan oleh kekuasaan legislatif atau eksekutif, atau diekspresikan melalui campur tangan kekerasan dari aparat negara.15 Hegemoni merupakan rantai kemenangan yang diperoleh dari mekanisme konsensus, bukan melalui kekerasan dan terhadap kelas yang didominasi. Hegemoni tidak lain adalah upaya untuk menggiring orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangkan yang ditentukan oleh kelas penguasa.16 Hegemoni dominan merupakan sebuah sarana budaya dan ideologi, dimana kelompok kelas penguasa, mempertahankan dominasi mereka dengan mengamankan kepatuhan dari kelompok yang didominasi. Hal ini dicapai dengan pembangunan negosiasi dari konsensus politik dan ideologi yang menggabungkan kedua kelompok dominan dan mendominasi. Budaya yang dibentuk merupakan penjelmaan dari hegemoni dominan.

Gramsci melihat bahwa kelompok yang berkuasa akan selalu berusaha untuk melanggengkan dominasi dan kekuasaannya, melalui berbagai kontrol sosial. Baginya kontrol melalui cara kekerasaan (coersi), bukanlah cara kerja hegemoni dominan. Hegemoni dominan dikatakan dapat bekerja, bila kelompok yang didominasi, atau masyarakat kebanyakan dapat secara suka rela memeluk


(41)

dan menyakini apa yang ditanamkan oleh kelompok penguasa. Hegemoni dominan dapat sukses diraih, apabila mencapai konsensus (consent). Hegemoni dominan adalah suatu organisasi konsensus. Menurut Dominic Strinati, hal tersebut berarti bahwa kelompok yang didominasi menjalani penerimaan konsensual. Dimana kelompok yang didominasi menerima ide, nilai dan kepemimpinan dari kelompok penguasa atau dominan. Gramsci sendiri lagi-lagi menegaskan bahwa hegemoni dominan semacam ini tidak didapatkan melalui jalan kekerasan ataupun mekanisme indoktrinasi ideologi, akan tetapi karena keinginan mereka sendiri.17

Hegemoni dominan memiliki tingkatan sesuai penguasaan kepatuhan pada kelas yang didominasi. Gramsci, seperti yang dikutip dari Femia, membagi hegemoni dominan menjadi 3 (tiga) tingkatan. Tingkat pertama adalah hegemoni integral. Hegemoni ini ditandai dengan afiliasi massa yang mendekati totalitas. Ada persatuan moral dan intelektual yang kokoh, dan memiliki hubungan yang organis antara kelompok yang menguasai dan yang didominasi. Selain itu, tidak ada hubungan antagonis sama sekali di antara keduanya. Kedua, hegemoni

decadent atau merosot. Hegemoni ini menunjukkan bahwa upaya penanaman

hegemoni sudah dilakukan, dan semua nampak dikuasai, namun tetap menyisakan celah dan masalah. Bila pada permukaan semua terlihat sudah bersatu, baik kelompok yang menguasasi dengan kelompok yang didominasi, pada kenyataan tetap hadir potensi disintegrasi. Potensi itu dapat sewaktu-waktu membuncah. Sedangkan yang ketiga, adalah hegemoni yang minimum. Hegemoni ini

17Dominic Strinati, 1995, An Introduction to Theories of Popular Culture, Routledge, London, hal.


(42)

menduduki tingkat yang paling rendah. Hegemoni ini bersandar pada pada kesatuan ideologis antara elit ekonomis, politik dan intelektual. Pada saat yang bersamaan masyarakat pun enggan ikut campur tangan dalam merumuskan kehidupan bersama. Hingga pada akhirnya, semua arah hegemoni ditentukan oleh kelompok penguasa.18

Berdasar pada pengalamannya, Gramsci mencontohkan bahwa kekuatan kelompok penguasa pada umumnya berasal dari kelas pemilik modal, berupaya membentuk konsesinya, atas latar ekonomi. Untuk memperoleh konsensus, maka kelas yang didominasi (pada kasus ini adalah kelas pekerja), diajak untuk memikirkan persoalan mereka, berupa kesejahteraan dan upah yang layak. Bukan tanpa alasan para pemilik modal mengajak para pekerja untuk membahas hal tersebut. persoalan semacam itu merupakan kunci masuk agar dominasi yang dimiliki oleh para pemilik modal dapat tetap aman. Dengan masuknya pemikiran para pemilik modal dalam pembicaraan mengenai kesejahteraan para pekerjanya, maka mereka dapat melanggengkan dengan mudah kepatuhan dan nilai-nilai subordinasinya. Ide-ide mereka diakui, sebagai sebuah hegemoni.

Kelompok yang didominasi kehilangan kesadaran, terutama kesadaran kelas dari sejarahnya. Kehilangan kesadaran ini tidak hanya melalui jalan kekerasan, akan tetapi juga melalui jalan konsensus dalam moral dan intelektual. Konsensus harus disertai kesepakatan dari aliansi, tahap inilah yang disebut sebagai blok historis. Menurut Nezar dan Andi, blok historis ini terbentuk apabila kelas penguasa berhasil memunculkan keseimbangan dalam menjaga


(43)

hegemoninya, melalui kepemimpinan dan dominasi. Blok ini ini mewakili tatanan sosial tertentu. Karena di sinilah hegemoni dominan direproduksi ke dalam lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi, salah satunya pendidikan.19

Peran inteletual amat diperlukan di sini. Terutama sebagai agen dalam pembentukan blok historis. Gramsci membagi kelompok intelektual menjadi 2 (dua), yaitu intelektual tradisional dan intelektual organik. Kelas penguasa

membutuhkan para agen untuk menanamkan “kesadaran baru”. Di sinilah peran

para intelektual tradisional dianggap sangat penting. Intelektual ini hadir untuk bekerja demi kepentingan kelas penguasa, atau dari kelas selain dari kelas penguasa, namun dirinya terpisah dari kelas asal. Berbeda dengan intelektual tradisional, intelektual organik merupakan intelektual yang lahir setiap kelas, yang berpikir untuk bergabung dan mengorganisir kelas yang didominasi. Intelektual organik dapat saja berasal dari intelektual tradisional, yang secara sadar menginggalkan posisi mereka sebelumnya. Demi memperjuangkan kepentingan kelas yang didominasi.

Pada Marxisme, salah satu konsep kunci lainnya adalah adanya pertentangan kelas. Bila pada Marxisme tradisional, yang saling bertentang adalah kelas kapitalis (pemilik modal) dengan kelas pekerja (buruh). Namun pada proses hegemoni, Gramsci mengatakan bahwa pertentangan kelas seringkali terbentur dengan upaya netralisasi oleh kelompok penguasa. Mereka melemahkan melalui mekanisme pengawasan dan iming-iming kenaikan upah yang jauh lebih baik (pada kasus kelas pemilik modak dan buruh). Hingga pertentangan kelas, menjadi


(44)

sebuah ilusi. Kelas pekerja (buruh) menginternalisasi pengawasan dan iming-iming tersebut sebagai sesuatu yang memang dibutuhkannya. Mereka menjadikan hal tersebut sebagai konsensus dan meligitimasinya sebagai budaya.

Konsensus terselubung semacam ini semakin memperkuat hegemoni dominan kelompok penguasa. Konsesus masuk dalam gejala integrasi budaya. Integrasi juga masuk melalui pendidikan dan mekanisme kelembagaan. Menurut Gramsci, pendidikan tidak lagi mengusung semangat awalnya, yaitu membangun pola berpikir yang kritis dan sistematis dari kelompok buruh yang didominasi. Sedangkan keberadaan lembaga semacam lembaga keagamaan, sekolah, media massa dll, pun turut dalam penyebaran ideologi kelompok penguasa. Konsesus dibentuk guna melemahkan pertentangan kelas, kelompok yang didominasi ditundukkan melalui instrumen budaya, yaitu bahasa. Bahasa yang disampaikan merupakan bahasa pelayanan bagi kelompok penguasa. Konsensus yang merupakan kesadaran palsu itu, diyakini oleh kelas yang didominasi sebagai kepentingan mereka.

Akan tetapi, Gramsci memandang bahwa kelas yang didominasi, tidak sepenuhnya berada di bawah pengaruh kesadaran palsu. Menurutnya, kelas yang didominasi dapat membangun kesadaran dan konsep hegemoninya tersendiri, sebagai mekanisme untuk melawan hegemoni dominan dari kelas penguasa. Blok historis yang dibentuk oleh hegemoni dominan (dari kelas peguasa) dibuat absen. Hegemoni tandingan (counter hegemony) dibentuk oleh kelas yang didominasi . Mereka membentuk blok historis baru. Mereka menyatakan kesejarahannya


(45)

sebagai kesadaran baru, yang berasal dari kondisi nyata yang dihadapinya. Blok historis ini pun kepentingan kolektif dari aliansinya.

Gramsci berpendapat bahwa jikalau kelas yang didominasi menggabungkan seluruh sektornya, maka mereka akan dapat memecahkan permasalahan pokok masyarakat. Dalam hal ini, nilai, ideologi dan praktek dapat dirajut dalam blok historis baru, dan pada tahap selanjutnya dapat disebarluarkan pada masyarakat. Dalam upayanya mengontrol penguasa, kelompok yang semula didominasi, harus melibatkan kelompok atau pihak lainnya. Guna menghimpun kekuatan sosial bersama. Dari kelompok-kelompok kecil yang merasakan ketertindasan yang sama, mereka berangkat untuk saling menyatu, namun tetap menghormati perbedaan masing-masing, dalam sebuah payung bersama. Sebagai bentuk perlawanan terhadap kapitalisme. Selain itu, mereka mempersiapkan diri untuk memperkuat gerakan sebagai sebuah kombinasi dan aliansi strategis. Aliansi strategis ini akan menyatukan misi mereka guna melawan kelompok penguasa. Misi yang dihasilkan pada akhirnya akan menghadirkan jaringan kerja dan identitas kolektif.20

Gramsci meletakkan perang posisi dengan basis gagasan untuk mengepung apparatus negara dengan suatu counter hegemony. Hegemoni ini diciptakan oleh organisasi massa kelas yang didominasi dan dengan membangun lembaga-lembaga serta mengembangkan budaya dari kelas yang sebelumnya didominasi. Melalui perang posisi dalam hegemoni tandingan ini, Gramsci berharap agar kaum buruh dan petani dapat diorganisir, agar mampu membangun

20Daniel Hutagalung, Januari-Februari 2006, Laclau-Mouffe Tentang Gerakan Sosial, Majalah


(46)

pondasi baru. Hegemoni tandingan ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk mewujudkan pondasi baru, yang terdiri dari budaya, kosmologi, maupun budaya alternatif, yang berasal dari kondisi dan kebutuhan mereka sendiri.21 Pondasi baru ini menjadi gagasan yang mendorong kelas yang didominasi untuk melawan hegemoni dominan (dari kelas penguasa).

F.2.4. Globalisasi yang Membuka Batas

Membaca kethoprak, khususnya lakon Magersari dan Ledhek Bariyem, sepertinya akan jauh lebih lengkap bila menyertakan globalisasi sebagai pisau analisis sekunder. Terlebih lagi, seniman dari kesenian ini banyak mengambil fokus pada upaya untuk membendung dampak (buruk) yang dibawa oleh globalisasi. Sehingga teori globalisasi, khususnya yang berkaitan dengan budaya, dipakai untuk memindai kedua lakon tersebut.

Globalization does not simply refer to the objectivness of increasing interconnectedness. It also refers to cultural and subjective matters [namely, the scope and depth of conciousness of the world as a single place].

(Roland Robertson 1992)22

Globalisasi menurut Jan Aart Scholte, dapat diartikan sebagai suatu proses sosial yang didapatkan dari mekanisme penghapusan kualitas jarak dan batas. Sehingga setiap manusia dapat dengan bebas memperlakukan dunia sebagai satu kesatuan tempat. 23 Hingga kini tidak ada yang dapat dengan yakin menyebutkan waktu kelahiran globalisasi. Ada banyak versi mengenai hal tersebut. Namun banyak ahli menyebutkan bahwa globalisasi lahir tidak kurang dari 1980an. 21Nezar Patria dan Andi Arief, 2003, hal. 172-173

22Jan Aart Scholte, John Baylis and Steve Smith (Eds), 1999, The Globalization of World Politics;


(1)

17. Suta : Nek dipikir tekan kana, pancen kowe bener Di…. Ning apa yo ana sambung e, suasana ing wengi iki karo pati ne Bariyem????

18. Wadi :Iso lho…Bariyem nglambrang, merga kepingin nggoleki sapa sing mateni…. 19. Suta : Mbok kowe ora meden -medeni ngono kui, Di….

20. Wadi : Aku ki ora meden -medeni, ming mbok menawa ngono kui kok…wis to saiki bali wae yo...

21. Suta : Wah..!!ngko nek awake dewe mulih njur sapa sing arep njaga neng kene?? Nek nganti ana apa - apa njur piye ????

22. Wadi : Ning nek awake dewe tetep neng kene, nek njur Bariyem teka mrene piye ?? Bariyem teka ing papan kono, kanthi wewujudan sing nggegirisi

23. Suta :(weruh luwih disik ) Nek…nek…Bariyem nganti mrene…messs…messti wujude nggegirisi yo ???

24. Wadi :Ha…iyo..

24. Suta :Ram…rambute…mesti…mesti..aawuul…awulan..yo??? 25. Wadi : Ha..iyo...

26. Suta :San….san…sandangane..mees…messtii…sarwo..rusak..yo ??? 27. Wadi : Ha..iyo...

28. Suta :Tur…tur..mesti….mam…mambu….wangi..wangi….pengar kae yo?? 29. Wadi : Ha..iyo..

30. Suta :Ning…suwe..suwe…dadi…mambu…kaaa….kaayaaa bathang kae ??

31.Wadi : Haa iyo... (lagi sadar)…Nek kowe iso kanda ngana,tegese Bariyem mesti wis neng mburiku yoo..???!!!

Wadi alon -alon mengo…..

32. Wadi & Suta: Whhhuaaaaaaaaaaaaaaaaa !!!!!!!!!!!!!!!

Wadi lan Suta banjur ambruk... Semaput.. Klenger... Lampu black out, adegan V rampung

ADEGAN VI : WARUNG TUAK Swasanan : Gumyak

Paraga : Bakul Tuak, Brawa, Brandal-brandal, Memedi Bariyem Keterangan : Brawa sak kanca saweg ndem - ndeman ing warung tuak

1. Brawa :Ayo…!!! Kabeh kudu mendem..!!!! Aja sumelang...mengko aku sing mbayari……ha ha ha...

2. Bagong :( wis mendem ) Waaaah…nek iki…puenaaaak…tenan!!!...Rasane awak ku enteng, kaya nunggang kupu…mak pleper…pleperrrr...


(2)

3. Bakul Tuak :Ning iki mengko do dibayar tenan lho, Wa….

4. Kunthing :Rasah sumelang…ora-ora nek kang Brawa kok ora mbayar…

5. Bakul Tuak : Adate nek wis do mendem ngono kuwi, njur do minggat dewe-dewe je... 6. Brawa : Kowe ra ngandel nek aku isih kuat mbayar, ngono po piye?? Bagong, Kunthing, karo Si Dul kon ngombe satutugke…mengko aku sing mbayari….!!!!

7. Si Dul :Ho’oh…aja lali utangku sing wingi dibayar sisan..Kabeh di etung, mengko ben dibayari karo kang Brawa…mumpung kang Brawa bar nampa duwit seka Pak Saranta….Ho’o to kang ???!!!

8. Brawa :Haiyooo….!! Neng nek utangmu, yo bayaren dewe Dul !!! 9. Bakul Tuak :Nahhhh….rak tenan, wiiiss.... ngalamat ora kebayar meneh iki..!!!

10. Si Dul : Wis to..rasah sumelang, sing bakul kowe ming gari ngladeni kanca - kanca iki !!..Ning yo kui…tuakke aja sing pengar…!!! Gek winginanae aku ngombe tuakmu sing pengar njur rong ndina murus wae je….

11. Bagong :Nek leh mu murus kae ora merga ngombe tuak…ning pancen rong ndina kae,kowe ming disambel ke thok karo bojomu, ora dilawuhi.. merga kowe ora mblanja….Ho’o ra???? ( ngguyu lakak-lakak )

12. Kunthing :Bener..bener kowe Gong… Mangka nek si Dul arep ora mangan neng omah, iso malah dikrawu sambel raine… Mula gelem ra gelem yo kudu mangan neng omah nganggo sambel thok…Hahahahaha !!!

13. Si Dul : (rada mangkel) Matamu!!!!!

14. Brawa :Wis….rasah do crigis wae!!!...nek arep mendem gek do mendem!!! 15. Bakul Tuak :(marang Brawa ) Hee…Wa !!! kowe wis krungu kabar durung ?? 16. Brawa : Kabar apa to yu..??!!

17. Bakul Tuak : Aku krungu seka wong - wong pasar, nek jarene saiki Bariyem urip meneh….

Kabeh kaget nggrungokake kabar kui, nanging banjur pada nylamur-nylamur 18. Brawa : Heee ??...Urip meneh?? Ora sida mati ngono po piye? 19. Bagong : Gek - gek ngko nyawane Bariyem kui serep ???

20. Bakul Tuak : Ora….dudu ngono kui.. Saiki kuwi Bariyem nglambrang!!Dadi memedi !! Wis bola-bali ngetok -ngetoki kok… Malah wingenane kae jare ndhodogi omahe kang Woto,…nganti kang Woto ki klenger ngenggon lho..!!!

21. Kunthing :Kowe ora dleweran lho yu…ora meden- medeni!!

22. Bakul Tuak : Nggo ngapa aku meden -medeni kowe kabeh…arep a tak wedeni kae, kowe kui rak sengara do wedi to???


(3)

23. Si Dul :Heee ??!!...Wooo…Haaa…haaaiyooo!!! Nek aku sak kanca ki sengara wedi karo dhemit…

24. Brawa : Apa kowe yo tau krungu, nek dhemite Bariyem kui, nggoleki sapa yu????

25. Bakul Tuak :Wah…nek kui aku ora ngerti Wa,..ning mbok menawa Bariyem kui durung trima, merga nganti saiki sapa sing mateni dheweke durung konangan…

26. Brawa : Arep maleske lara atine, ngono po ??

27. Bakul Tuak : Yo mbok menawa…saiki sapa wonge sing ora lara ati coba…wong Bariyem kae rumangsaku ora tau natoni ati ne wong liya…kok yo ana sing tumindak tegel. Nek aku..mbok wis ben nek Bariyem kui arep maleske lara atine. Ben sing wis do tegel mateni, do ditekak !!!

28. Bagong : Cangkemmmmmu !!!!

29. Brawa : Wis..wis..saiki rasah ngrembuk Bariyem meneh, wong sing wis mati kui ora bakal urip meneh. Apa meneh kok nganti nglambrang…

30. Bakul Tuak :Hmmm.... nek do ra ngandel yowis…

31. Brawa : Nyooooh..iki duwit dinggo mendem sak tutuge. Aku tak lunga disik.. 32. Bagong :( wedi ) Kowe arep neng ndi kang.. Aku tak melu kowe wae yooo…??? 33. Brawa :Haeeeesssh!!! Ra sudi aku kok eloni…aku wis duwe kangsen dewe karo rondo anyar wetan ndesa kae…teneh mengko kowe ming ngganggu lehkuarep seneng-seneng!!!! 34. Bagong :Aku tak ngenteni neng njaba wae wis…

35. Brawa : Hussh!!..Wegah !! Janji kowe ngeyel malah tak penthungi dewe !!! Wis aku tak pamit disik !!!

Brawa banjur lunga seka papan kana..ora suwe swasana dadi beda..Bariyem kanthi wewujudan kang nggegirisi teka neng kana lan malesake lara atine marang Bagong, Kunthing, lan Si Dul. Bakul Tuak sing dadi seksi malah semaput. Sutrisna lan warga teka ing papan kono. Lampu black out adegan VI rampung.

ADEGAN VII : DALAN

Swasanan :

Pemain : Brawa, Bariyem,Sutrisna,Wong-Wong Desa

Katarangan :Brawa lagi mlaku ijen ,ora krasa jebul deweke liwat ing ndalan sing kanggo mateni bariyem

1. Brawa : Aku kok dadi liwat dalan kene to..?! kamangka neng papan kene iki,aku mateni Bariyem ...wah...nek ati lagi ora jenjem ngene iki lakuning sikil dadi ora pener. Ning apa sing dikandake bakule tuak mau tenan po yo..??Mokal...mokal nek ana wong sing wis mati isa urip meneh... Kok iki hawane rumangsa ku beda karo adat sabene yo..?!Aeasshh...iki mung merga atiku sing lagi ora jenjem wae...

Nalika Brawa arep nerusake laku,deweke dipethuke karo wujude Bariyem kang ngegirisi ,banjur kedadosan pancakara, Brawa bisa dikalahake lan dipateni. Sutrisna lan wong-wong ndesa teka ing papan kono.


(4)

2. Sutrisno : Kanca-kanca ....wis saya cetha lelakon e nek sing mateni Bariyem,mesti Brawa sak kanca ...Nyatan e.. Yo ming Brawa sak kanca sing dipateni dening Bariyem

3. Karta : Nek ngono ora jeneng tembung aneh, menawa pak Saranta kang dadi dalang e lelakon iki.

4. Marji : Kowe bener kang Karta..merga wong - wong desa kene wes ngerti nek pak Saranta kuwi kepingin njago lurah . Mula...sapa wae sing ngombyongi pak lurah Sarjana, mesti bakal di pilara kaya dene Bariyem kui....

5. Sutrisna : Nek petung ku ora kleru.. saiki Bariyem mesti tumuju neng ngomahe pak Saranta ,mula ayo ..awake dewe nututi playune Bariyem.

6. Kabeh : Ayo...ayo..!!!!!

Kabeh banjur budal, lampu black out adegan VII rampung

ADEGAN VIII : OMAHE PAK SARANTA

Swasanan :

Pemain : Pak Saranta, Bu Saranta, Bariyem,Sutrisna,Wong-wong desa

Katarangan : Pak Saranta ketok lagi bingung ,merga ngerti kahanan sing ora tentrem 1. Bu Saranta : Pak ...niki pun tekan titi wancine , sampeyan kedah ngakeni menapa ingkang sampun di lampahi

2. Saranta : Kok kowe isa kanda kaya ngono..???

3. Bu Saranta : Kahanan sak niki pun mboten tentrem malih, merga Bariyem kepingin males lara ati.

4. Saranta : Tak akoni..aku pancen perintah marang Brawa sak kanca supaya nyikara

Bariyem..nanging karepku aja nganti tumekaning pati, perlune wong-wong sing nyengkuyung Lurah Sarjana pada wedi lan tundhone banjur malik nyengkuyung aku.

5. Bu Saranta : Menika teges e sampeyan kepingin dadi lurah,ning nganggo cara sing kleru.

Sampeyan mung gawe warga ajrih, nanging mboten gawe warga kurmat kalih sampeyan. Lurah niku kudune isa disuyuti dening wargane .

6. Saranta : Nek kanggoku, sing jenenge panguasa lan kamukten kuwi dadi wenang e saben uwong. Sok sapa a di wenangke nggayuh kamukten lan panguasa.

7. Bu Saranta : Nggayuh nanging nganggo cara sing bener.

8. Saranta : Benere wong liya, durung mesti bener kanggoku, semana uga kosok baline. Saben uwong kuwi duwe wenang kanggo nggayuh apa sing dadi panjangkan e nganggo carane dewe - dewe 9. Bu Saranta : Nek ngaten... sampeyan pun klentu nggon e negesi kamukten lan panguasa.

10. Saranta : Kok kowe dadi mulang aku, apa rumangsa mu luwih pinter kowe tinimbang aku,ngono...??

11. Bu Saranta : Menika dede perkawis pinter utawi bodho,nanging perkawis luput lan bener. Kamukten niku mboten kudu di petung kanthi bandha. Semanten ugi panguwasa... nek tiyang pun


(5)

nyepeng penguwasa ,mboten teges saged kangge nguwasani tiyang sanes. Nanging kados pundi panguwasa niku saged damel tentrem lan migunani kangge tiyang sanes.

12. Saranta : Cukup..!!! Nek aku mulya ,tundone kowe uga bakal nemani mulya. Apa kang tak tindakake saiki ora liya yo mung kanggo awake dewe !!

13. Bu Saranta : Nyuwun ngapunten pak ....kula mung kepingin ngemutake mawon.

14. Saranta : Wis.. Wis...aku ora sah di elingke, aku ora lali.Wong wedok kok rumangsaku kakean penemu. Wis kana neng mburi wae.

Sakwetawis wekdal, Bariyem kang wujudipun ngegirisi dugi ing papan miru lan mejahi pak Saranta. Sakderengipun Bareiyem kesah, Sutrisna sakkanca sampun ngupeng Bariyem.

15. Sutrisna : Kecandak kowe saiki..!!! wiwit sepisan aku ora ngandel nek kowe kuwi Bariyem. Merga mokal nek ora wong sing wis mati kok isoh nglambrang !!

Bariyem dipun tingkes lajeng topengipun dipun bikak

16. Giman : Ampun...ampun kang.!!! Kula ampun di pilara malih, kula niki mung sak dermi di dawuhi.

17. Sutrrisna : Lho....kowe iki rak Giman to...?? Kowe wong e pak Lurah Sarjana. 18. Giman : Ho oh...aku pancen di prentah dening pak Lurah Sarjana .

19. Sutrisna : Wis saiki ngene wae....aku tak nusul mbok Minten terus tak ketemu Lurahe Sarjana ,kowe kabeh nggawa Giman iki neng ngomahe Jagabaya njur do nusul a neng ngomahe pak Lurah. 20. Kabeh : Yo kang...!!!

Sedaya lajeng bidal, lampu black out adegan VIII rampung.

ADEGAN IX : OMAH PAK LURAH

Swasanan :

Pemain : Lurah Sarjana,Mbok Minten,Sutrisna,Warga

Keterangan : Lurah Sarjana Saweg Ngantu-Ngantu Tekane Giman

1. Sarjana : Nek Giman ,wis bisa mateni Saranta sak kanca...bisa tak pestekake menawa aku mesti kelakon dadi lurah meneh. Yo nganggo sarana pati ne Bariyem ngene iki aku bisa ngresiki wong - wong sing kepingin dadi lurah,sisan sak pengombyong e... Ning wes nganti yah mene kok yo Giman durung menehi kabar aku yo....???

Mbok Minten dumugi ing mriku

2. Mbok Minten: Giman mboten saged paring atur malih.!!!

3. Sarjana : Lho....Mbok Minten ... Apa karep mu ngomong kaya ngono kuwi..?? Sing tak karepke kuwi Giman kok durung menehi kabar sapa sing wis mateni anak mu.

4. Minten : Sinten ingkang mejahi anak kula sampun kecepeng. Mboten wonten sanes inggih Brawa sak kanca...abdi nipun Pak Saranta.


(6)

6. Minten : Naning sak menika..jebul kula mangihi piyambak ,wonten tiyang ingkang langkung kejem tinimbang Brawa sak kanca.

7. Sarjana : Karepmu...??

8. Minten : Brawa pancen sampun mejahi anak kula. Piyambakipun sampun ngrampas gesangipun Bariyem, nanging sampeyan tumindak langkung kejem.. sampeyan sampun ngrampas ketentremanipun Bariyem ing alam kelanggengan .

9. Sarjana : (KAGET ) Aku kok durung isa nampa karepmu..??

10. Minten : Menapa lepatipun anak kula.?? Menapa lepatipun tiyang ingkang sampun pejah...?? Napa tiyang ingkang sampun pejah tasih saged damel kapitunangin liyan..?? Sampeyan sampun tegel mitenah Bariyem. Anak kula kedahipun sampun tentrem ing alam kelanggengan, nanging sak menika piyambakipun kedah nanggel tumindak ingkang boten dipun lampahi.

11. Sarjana : Kowe aja waton ngucap kaya ngono kuwi Mbok Minten...

12. Minten : Sak limpat-limpat e kidang ingkang saget uwal saking pangoyakipun macan, wonten kala mangsanipun kidang badhe lena sak temah saged pun mangsa dening macan menika...Tumindak sampeyan ingkang sampun ngginakaken pejah e Bariyem, sampun mitenah Bariyem kangge nggayuh kekarepan sampeyan.... Sampun dumugi titi wancinipun tumindak sampeyan kewiyak..!!

13. Sarjana : ( Meneng )

14. Minten : Menapa tiyang ingkang sampun pejah, tetep mboten gadhah wenang kangge manggihi katentreman ...?? Sampeyan jejering pengayom sing kudu ne saged ngayomi, nanging sampeyan malah tegel mitenah tiyang ingkang sampun pejah...?? Lajeng kados pundi tumindak sampeyan dhateng tiyang gesang..??

15. Sarjana : Ngarani tanpa bukti lan seksi kuwi uga bisa di arani mitenah..!!

16. Sutrisna : Seksine kulo lan buktinipun sampun cetha, bilih sampeyan perentah Giman supaya memba - memba dadi Bariyem.

Sutrisna lan para warga desa sami nglempak ing papan mriku.

17. Surtisna : Pak lurah kedah tanggel jawab marang sedaya ingkang sampun di tindakaken, kalebet kedah tanggel jawab marang pejahipun Brawa sak kanca. Ukum kedah lumampah... Ingkang leres sampun ngantos dipun anggep lepat, lan ingkang lepat sampun ngantos dipun anggep leres..!! Ing pojok panggung ,wujuding Bariyem sing sarwa pucet jumedul...

18. Bariyem : Simboook !!! 19. Minten : Bariyeeemm...!!!! RAMPUNG