CATATAN SEJARAH DALAM PUISI Sebuah Kajia

CATATAN SEJARAH DALAM PUISI
(Sebuah Kajian Hermeneutika Paul Ricoeur pada Puisi “Balada Api 26 Tak
Pernah Mati” Karya Alifdal)

1.

Latar Belakang
Alifdal adalah nama pena dari Anwar Dharma. Disamping itu ia juga

memiliki banyak nama lainnya, seperti Dharmawati, Andhar, dan Andi Massani.
Pernah menjadi redaktur luar negeri Harian Rakyat, Organ PKI dan kemudian
mendapatkan tugas sebagai koresponden Harian Rakyat berkedudukan di
Moskow, yang ketika itu merupakan Ibu Kota USSR. Disebabkan adanya
perbedaan politik dengan pemerintah Uni Sovyet, Anwar diusir dan terpaksa
pindah ke Cina. Dari sana ia mendapat tugas ke Albania. di Ibukota Albania,
Tirana, ia memimpin redaksi majalah API (singkatan dari Api Pemuda Indonesia),
penanggungjawab siaran bahasa Indonesia Radio Tirana dan anggota redaksi
majalah bahasa Inggris Indonesian Tribune. Kemudian oleh pemimpin delegasi
PKI, ia ditarik kembali ke Cina dan meninggal dunia di Beijing pada tanggal 11
Mei 1984.
Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” merupakan salah satu puisi karya

sastrawan-sastrawan PKI yang masih tersisa. Karena sejak pergolakan politik
pada tahun 1965, banyak karya sastrawan-sastrawan PKI, baik yang tergabung
dalam Lekra maupun yang ada di luar negeri dihancurkan dan dilarang terbit.
Pasca reformasi tahun 1998, puisi-puisi yang hanya beredar dalam kalangan
terbatas, sesama tapol dan napol, bermunculan satu persatu. Sebagian besar puisi
karya para tapol dan napol tersebut berisi memoar perjalanan hidup mereka sejak
diasingkan, selama menjalani masa tahanan, hingga masa pembebasannya.
Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” ini merupakan salah satu puisi
yang menarik untuk dilakukan kajian. Selain kata-katanya yang sederhana, juga
muatan-muatan catatan sejarah pergerakan PKI yang disipkan di dalamnya.
Namun di sisi lain, puisi ini seakan hendak membangkitkan kembali semangat

pembaca untuk terlibat secara emosional dalam kejadian yang tercatat di
dalamnya.
Arif Bagusprasetia (2002) menyatakan bahwa; “Sastra tidak pernah lahir
dalam tabung vakum sejarah. Sastrawan penciptanya, bahkan setiap orang,
senantiasa hidup dalam, dan dihidupi oleh, sejarah yang tertanam dalam ruang
ingatan pribadi, sering tanpa disadari. Sungguh patut disayangkan, betapa mudah
melupakan sejarah. Begitu banyak dari kita menganggapnya tidak penting,
menyekapnya di balik urgensi persoalan hari ini dan impian hari depan. Padahal,

hilangnya kesadaran sejarah, terhapusnya tilas waktu yang berlalu bisa
menjerumuskan kita ke dalam lubang lingkaran-setan. Kesalahan dan tragedi akan
terus menerus diulang.”
Berdasarkan latar belakang di atas kiranya perlu dilakukan kajian terhadap
Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati. Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya
mengungkap kebenaran sejarah yang tertuang dalam puisi tersebut. Sehingga
pembaca mendapatkan pengetahuan baru terkait dengan pencatatan sejarah yang
perlu dilengkapi. Kajian akan dilakukan dengan Kajian Hermeneuitika Paul
Ricoeur. Paul Ricoeur membedakan interpretasi teks tertulis dan percakapan.
Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup pengarang, tetapi juga
menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya

2.

Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan yang dikaji

sebagai berikut :
1. Bagaimanakah Struktur Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati ?
2. Bagaimanakah Latar Belakang penulisan Puisi Balada Api 26 Tak Pernah

Mati ?
3. Bagaimanakah hubungan Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati dengan
teks lainnya?
4. Bagaimanakah Pandangan pembaca terhadap Puisi Balada Api 26 Tak
Pernah Mati?

3.

Analisis

a. Kajian Teori
1) Sekilas tentang Hermenetika
Menurut bahasa, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani,
hermeneuein, yang berarti menafsirkan (Sumaryono, 1999:23).

Asal kata

hermeneutik, dari kata hermes, dewa dalam mitologi Yunani. Dewa Hermes ini
bertugas sebagai penghubung antara Sang Maha Dewa di langit dengan para
manusia di bumi. Sebetulnya, secara theologis, peran Dewa Hermes bisa

dianalogikan dengan peran Nabi utusan Tuhan. Tugas Nabi utusan Tuhan, sebagai
penerang sekaligus juga penghubung untuk menyampaikan pesan dan atau ajaran
dari Tuhan kepada umat manusia. Dalam mediasi dan proses penyampaian pesan,
yang disandarkan pada Hermes ini, tercakup dalam 3 (tiga) bentuk makna dasar
hermeneuein dan hermenia dalam penggunaan aslinya. Tiga bentukan kata kerja
hermeneuein, ialah: 1. Mengungkapkan kata-kata, 2. Menjelaskan suatu kondisi,
dan 3. Menerjemahkan bahasa asing. Ketiga makna tadi, bisa diwakili kata kerja
bahasa Inggris to interpret, yang membentuk makna independen dan signifikan
bagi interpretasi. Karena itu, interpertasi mengacu ke 3 (tiga) persoalan berbeda,
yaitu: 1. Pengucapan lisan, 2. Penjelasan yang masuk akal, dan 3. Penerjemahan
dari bahasa lain (Palmer: 2005:15-16).
Hermeneutika adalah studi pemahaman, khususnya tugas pemahaman
teks. Dan ada 2 (dua) fokus perhatian di sini; yaitu 1. Peristiwa pemahaman teks,
dan 2. Persoalan yang lebih mengarah mengenai apa pemahaman dan interpretasi
itu (Palmer: 2005:8). Ada 3 (tiga) pilar dalam pemahaman dan penafsiran, yaitu
dunia pengarang, dunia teks dan dunia pembaca. Akan menjadi lebih rumit, jika
jarak waktu, tempat dan budaya antara pembaca dengan pihak lainnya, yaitu
pengarang dan teks, begitu jauh. Melalui 3 (tiga) pilar tadi, upaya pemahaman,
atau lebih lanjut penafsiran, menjadi merekonstruksi dan mereproduksi makna
teks, juga mencari bagaimana suatu teks itu diungkap oleh pengarang, serta

muatan apa yang terpancar dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks,
akhirnya juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi
saat teks dibaca dan dipahami. Karena jarak waktu, tempat dan nuansa kultural

antara pembaca dengan teks dan sang pengarang, pasti menimbulkan keterasingan
dan kesenjangan, bahkan bukan suatu mustahil, penyimpangan. Masalah
keterasingan inilah yang menjadi tekanan hermeneutika sebagai sebuah teori,
hingga pemahaman teks dalam hermeneutika mengharuskan perbedaan antara
makna teks dan signifikansi konteks. Ada 3 (tiga) yang terlibat dalam proses
pemahaman, penafsiran dan pemaknaan atas suatu teks, yaitu dunia pengarang,
dunia teks dan dunia pembaca (the world of the text, the world of author and the
world of reader). Berkaitan dengan peringatan di atas, maka ada gambaran dalam
hermeneutika. Gambaran struktur triadik seni interpretasi tersebut adalah: 1.
Tanda (sign) atau pesan (message) atau teks (text), 2. Perantara atau penafsir dan
3. Audiens.
Hermeneutika, bagaimanapun bisa dipahami sebagai ilmu yang berusaha
untuk merefleksikan tentang bagaimanakah suatu teks itu merupakan wahana
yang merekam gagasan-gagasan atau peristiwa-peristiwa (events) yang sudah
berlangsung lama, dimungkinkan untuk dapat dipahami dengan benar dan secara
eksistensial bisa mempunyai makna dalam kondisi kekinian kita.

Suatu teks yang merupakan produk yang telah berlalu itu, di dalam
hermeneutika harus bisa mendorong untuk berdialog dengan penafsir maupun
audiensnya yang keberadaannya tidak bersamaan waktu dan tempatnya, yang baru
dan kulturnya berbeda pada sepanjang sejarah. Sungguhpun begitu, hermeneutika
bukanlah berarti asal memindahkan teks tersebut ke dalam konteksnya yang baru
dengan sembarangan. Mengapa? Hal ini disebabkan jika pemindahan semenamena itu dilakukan, maka ada kesan yang tidak dapat dihindari bahwa teks
tersebut seakan-akan turun begitu saja kepada masyarakat yang statis, masyarakat
yang tidak mengenal perubahan. Itu hal yang mustahil.
Demikian pula sebaliknya, hermeneutika itu bukanlah bermaksud untuk
menenggelamkan suatu teks dalam konteks kekinian secara serampangan juga.
Bila hal itu terjadi, maka pengabaian teks tersebut cenderung akan menggugurkan
teks itu sendiri. Lantas apa yang dibutuhkan? Yang dibutuhkan adalah dialog
intensif antara teks di satu pihak, meski itu merupakan produk atau warisan masa
lalu, dengan penafsir dan audien, dengan waktu, tempat dan kultur yang berbeda.

Jika hal ini dianalogikan dengan suatu gerakan, maka hermeneutika itu bergerak
dari masa kini, dengan horison kekinian ke masa yang telah lewat di mana teks
tersebut muncul dengan horison masa lalunya. Lebih dari itu, masa lalu itu
bertemu dengan horison masa kini.
Hermeneutika sangat menentukan antara kesadaran dengan objeknya.

Harus ada kesadaran terhadap sejarah yang akan menjelaskan makna teks dan
membuatnya rasional. Selanjutnya ada kesadaran praktis untuk mempergunakan
makna tersebut sebagai dasar teoritis untuk tindakan praktis. Atas dasar tatanan
itu, maka tidak hanya menyangkut proses pemahaman dan penafsiran saja dalam
menggunakan pendekatan hermeneutika untuk menginterpretasikan suatu teks.
Namun lebih dari itu, harus dimulai dari keberanian untuk melakukan kritik
historis, kemudian dilanjutkan dengan kritik eiditis serta diteruskan dengan kritik
praktis. Dengan menengok masa lalu, hermeneutika telah dipergunakan untuk
memahami pesan yang telah dikenal dan dipakai dalam meneliti teks-teks kuno
yang otoritatif di bidangnya, seperti kitab suci atau dokumen sejarah dan juga
termasuk karya sastra.

2) Tokoh-tokoh Hermeneutika
Menurut Palmer (2005), Sumaryono (1999), dan Rahardjo (2007),
beberapa tokoh yang mempunyai peran besar dalam perkembangan hermeneutika,
ya itu pertama Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768 -1834), tokoh
hermeneutika romantisis, ia yang memperluas pemahaman hermeneutika dari
sekedar kajian teologi (teks bible) menjadi metode memahami dalam pengertian
filsafat. Menurut perspektif tokoh ini, dalam upaya memahami wacana ada unsur
penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.

Kedua, Wilhelm Dilthey (1833 -1911), tokoh hermeneutika metodis,
berpendapat bahwa proses pemahaman bermula dari pengalaman, kemudian men
gekspresikannya. Pengalaman hidup manusia merupakan sebuah neksus struktural
yang mempertahankan masa lalu sebagai sebuah kehadiran masa kini.
Ketiga,

Edmund

Husserl

(1889

-1938),

tokoh

hermeneutika

fenomenologis, menyebutkan bahwa proses pemahaman yang benar harus mampu


membebaskan diri dari prasangka, dengan membiarkan teks berbicara sendiri.
Oleh

sebab

itu,

menafsirkan

sebuah

teks

berarti

secara

metodologis

mengisolasikan teks dari semua hal yang tidak ada hubungannya, termasuk bias bias subjek penafsir dan membiarkannya mengomunikasikan maknanya sendiri

pada subjek.
Keempat, Martin Heidegger (1889 -1976), tokoh hermeneutika dialektis,
menjelaskan tentang pemahaman sebagai sesuatu yang muncul dan sudah ada
mendahului kognisi. Oleh sebab itu, pembacaan atau penafsiran selalu merupakan
pembacaan ulang atau penafsiran ulang.
Kelima, Hans Georg Gadamer (1900 -2002), tokoh hermeneutika dialogis,
baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat
ontologis, bukan metodologis. Artinya , kebenaran dapat dicapai bukan melalui
metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Dengan
demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog.
Keenam,

Jurgen

Habermas

(1929),

tokoh


hermeneutika

kritis,

menyebutkan bahwa pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan
horison pemahaman adalah kepentingan sosial yang melibatkan kepentingan
kekuasaan interpreter. Setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias dan unsur
kepentingan politik, ekonomi, sosial, suku, dan gender.
Ketujuh Paul Ricoeur (1913) yang membedakan interpretasi teks tertulis
dan percakapan. Makna tidak hanya diambil menurut pandangan hidup
pengarang, tetapi juga menurut pengertian pandangan hidup dari pembacanya.
Kedelapan, Jacques Derrida (1930), tokoh hermenutika dekonstruksionis,
mengingatkan bahwa setiap upaya menemukan makna selalu menyelipkan
tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda.
Makna teks selalu mengalami perubahan tergantung konteks dan pembacanya.

3) Hermeneutika Paul Ricoeur
Dalam bukunya, Hermeneutics and The Human Sciences (1981: 43)
Ricoeur mendefinisikan hermeneutika sebagai berikut, “hermeneutics is the
theory of the operations of understanding in their relation to the interpretation of

text”. Berdasarkan pengertian ini Ricoeur kemudian mengatakan, “So, the key
idea will be the realisation of discourse as a text; and elaboration of the
catagories of the text will be the concern of subsequent study”.
Discourse (wacana) sendiri, dilihat Ricoeur sebagai sesuatu yang lahir dari
tuturan individu. Dalam hal ini Ricoeur menyinggung teori linguistik Ferdinand
de Saussure yang diperbandingkan dengan konsep Hjemslev. Saussure, dalam
Course in Linguistic General (1974) membedakan bahasa dalam dikotomi tuturan
individu (parole) dengan sistem bahasa (langue). Sedangkan Hjemslev
mengkategorikan-nya dalam skema dan penggunaan. Dari dualitas inilah, menurut
Ricoeur, teori tentang wacana (discourse) lahir. Dalam perspektif Ricoeur, parole
atau ujaran individu identik dengan wacana (discourse). Menurut Ricoeur, wacana
berbeda dengan bahasa sebagai sistem (langue).
Wacana lahir karena adanya pertukaran makna dalam peristiwa tutur.
Karakter peristiwa sendiri merujuk pada orang yang sedang berbicara. Ricoeur
menulis, “The eventful character is now linked to the person who speaks; the
event consists in the fact that someone speaks, someone expresses himself in
taking up speech” (1981: 133). Selanjutnya dijelaskan bahwa terdapat empat
unsur pembentuk wacana, yakni terdapatnya subjek yang menyatakan, isi atau
proposisi yang merupakan dunia yang digambarkan, alamat yang dituju, dan
terdapatnya konteks (ruang dan waktu). Dalam wacana terjadi lalu-lintas makna
yang sangat kompleks.
Tindakan pengujaran dan penerimaan gambaran dunia selalu ada dalam
temporalitas. Dengan fakta demikian, tidak ada kebenaran mutlak dalam soal
penafsiran atas wacana. Pemaknaan atau penafsiran yang bersifat temporal
(bersifat sementara karena adanya konteks) selalu diantarai oleh sederet penanda
dan, tentu saja, oleh teks. Dengan demikian, tugas hermeneutika tidak mencari
kesamaan antara maksud penyampai pesan dan penafsir. Tugas hermeneutika
adalah menafsirkan makna dan pesan seobjektif mungkin sesuai dengan yang
diinginkan teks. Teks itu sendiri tentu saja tidak terbatas pada fakta otonom yang
tertulis atau terlukis (visual), tetapi selalu berkaitan dengan konteks. Di dalam
konteks terdapat berbagai aspek yang bisa mendukung keutuhan pemaknaan.

Aspek yang dimaksud menyangkut juga biografi kreator (seniman) dan berbagai
hal yang berkaitan dengannya. Hal yang harus diperhatikan adalah seleksi atas
hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Ini berarti bahwa
analisis harus selalu bergerak dari teks, bukan sebaliknya. Hal terpenting dari
semua itu adalah bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan
penafsir. Ricoeur, dengan merujuk pada Dilthey, menyebutnya sebagai lingkaran
hermenetik (hermeneutical circle) (1981: 165).
Ricoeur menawarkan empat kategori metodologis sebagai jawabannya,
yakni objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui
dunia teks, dan apropriasi (pemahaman diri). Dua yang pertama merupakan kutub
objektif. Hal ini penting sebagai prasyarat agar teks bisa mengatakan sesuatu.
Objektivasi melalui struktur adalah usaha menunjukkan relasi-relasi intern dalam
struktur atau teks3. Di sini tampak bahwa hermeneutika berkaitan erat dengan
analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menguraikan teks
(objek yang ditafsirkan).
Namun begitu, analisis hermeneutik kemudian melampaui kajian
struktural demikian. Bergerak lebih jauh dari kajian struktur, analisis
hermeneutika melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan
tafsir menjadi lebih luas dan dalam. Bagaimanapun berbagai elemen struktur yang
bersifat simbolik tidak bisa dibongkar dengan hanya melihat relasi antarelemen
tersebut. Oleh sebab itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga
mencakup semua ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya: psikologi,
sosiologi, politik, antropologi, sejarah, dan lain-lain. Ini yang dimaksud dengan
distansiasi atas dunia teks (objek) dan apropriasi atau pemahaman diri. Dengan
perkataan lain, jika teks (objek) dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya
(struktural), bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui
bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan
(Haryatmoko, 2002).
Saidi (2008) menyebutkan bahwa konsep dan cara kerja metode dan
pendekatan tersebut dalam kaitannya dengan karya seni sebagai subjek penelitian,
dapat divisualisasikan sebagai berikut:

(1) Mula-mula teks (seni) ditempatkan sebagai objek yang diteliti
sekaligus sebagai subjek atau pusat yang otonom. Karya seni
diposisikan sebagai fakta ontologi.
(2) Selanjutnya, karya seni sebagai fakta ontologi dipahami dengan
cara mengobjektivasi strukturnya. Di sini analisis struktural
menempati posisi penting.
(3) Pada tahap berikutnya, pemahaman semakin meluas ketika masuk
pada lapis simbolisasi. Hal ini terjadi sebab di sini tafsir telah
melampaui batas struktur.
(4) Kode-kode simbolik yang ditafsirkan tentu saja membutuhkan halhal yang bersifat referensial menyangkut proses kreatif seniman
dan faktor-faktor yang berkaitan dengannya.
(5) Kode simbolik yang dipancarkan teks dan dikaitkan dengan
berbagai persoalan di luar dirinya menuntut disiplin ilmu lain
untuk melengkapi tafsir.
Akhirnya, ujung dari proses itu adalah ditemukannya makna atau pesan.
Dari skema tampak bahwa makna dan pesan dalam tafsir hermeneutik berada pada
wilayah yang paling luas dan paling berjauhan dengan teks (karya seni sebagai
fakta ontologisnya), tetapi tetap berada di dalam horizon yang dipancarkan teks.
Menurut Ricoeur, karya wacana atau karya literer ditandai tiga unsur
formal yang membentuknya yaitu komposisi, genre, dan gaya bahasa. Ketiganya
digunakan untuk memaknai karya yang dalam pemaknaan hermeneutik Ricoeur
disebut sense atau makna tekstual yakni makna yang terbangun dari hubungan
antartanda yang ada dalam teks sendiri juga mencari makna tekstual dalam
keutuhannya. Komposisi adalah struktur otonom semantik karya sastra, genre
adalah jenis karya sastra, dan gaya adalah gaya bahasa yang digunakan pengarang
yang menjadi ciri khas karyanya.
Pemaknaan dalam terminologi Ricoeur adalah suatu dialektika antara
penjelasan dan pemahaman. Penjelasan merupakan analisis secara struktural yang
dilakukan terhadap karya dengan tidak melihat hubungannya pada dunia yang ada

di luar teks. Sedangkan pemahaman merupakan analisis dengan melihat rujukan
yang ada di luar teks yang disebut sebagai makna kontekstual. Pemahaman
sepenuhnya diperantarai oleh seluruh prosedur penjelasan yang mendahuluinya
dan mengiringinya. Jadi, analisis struktural adalah mediasi untuk memahami teks
yang berarti mengikuti pergerakannya dari pengertian kepada rujukan, dari apa
yang ia katakan kepada tentang apa yang dibicarakannya.
Permasalahan sosial, politik, sastra, dan sebagainya tidak pernah lepas dari
unsur bahasa sebagai medianya, sebab bahasa merupakan sarana seseorang
mengungkapkan ide, berpikir, menulis, berbicara, meng -apresiasi karya. Di sisi
lain, pembicaraan tentang interpretasi terhadap teks untuk dicari maknanya terkait
erat dengan her -meneutika. Hermeneutika teks dalam konteks diri manusia
dengan relasi sosialnya dan dalam relasi berbahasa dan berelasi sistem tanda
itulah dirumuskan “siapa aku/diri ini dan siap diri yang lain itu? Contoh yang baik
terdapat dalam bahasa Indonesia sastrawi yang dieks -plorasi Pramoedya Ananta
Toer. Ekspresi kreatif kode bahasa dan konvensi egaliter bahasa Indonesia Pram
secara tajam mengungkapkan perlawanan terhadap strategi feodal budaya jawa
yang memperbudak Nusantara ditambah kolonialisme sehingga menjadi bangsa
yang kerdil. Bahasa Pram mengungkapkan perlawanan terhadap kultur yang
menindas agar kemerdekaan diri dan kemerdekaan bangsalah yang dimenangkan
(Sutrisno, 2004:4-5).
Interpretasi teks dilakukan juga oleh strukturalisme, semiotik, dan lain
sebagainya. Oleh sebab itu, hermeneutika hadir kembali untuk merespon
pengaruh strukturalisme dan positivisme yang mengkaji bahasa hanya dari
struktur empiriknya belaka sehingga kajian bahasa dari segi hakikatnya dalam
mengungkapkan dunia manusiawi kurang memperoleh perhatian. Filsafat
hermenutika menguak seluruh realitas bahasa sebagai ungkapan hakikat manusia
sebagai makhluk yang berbudaya dan menjadikan bahasa sebagai pusat berawal
dan berakhirnya segala persoalan manusia, melalui analisis bahasa dapat
dijelaskan berbagai persoalan konseptual yang terkandung dalam teks (Rahardjo,
2007:56).

b. Pemaknaan Terhadap “Balada Api 26 Tak Pernah Mati”
1) Segi Struktur
Analisis struktural akan dilakukan dengan menyajikan contoh secara acak.
Balada Api 26 Tak Pernah Mati
I
Awan kelam hitam membenam
Tidak tertahan,
berat menimpa rakyat
marah membara mengandung dendam
harus berlawan,
dan prambanan (1) suara menggelegar:
”siap memimpin dan mengangkat senjata
tumbangkan pemerintah kolonial belanda!”
gema perkasa partai tercinta
partai proletar!
Utusan-utusan komite pemberontakan
menyebar ke seluruh nusantara
membawa pesan,
ke Jakarta, Banten, dan Periangan
ke Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan,
di mana-mana semangat menyala
ke senjata, ke senjata
partai di depan.
Kumpulkan senapang, asahlah parang,
pertajam tombak, kumpulkan uang,
pemberontakan tak dapat ditunda-tunda
tekad utama: berani dan setia
biar darah tertumpah, mati menanti,
demi rakyat, demi kemerdekaan.
Nyala api dicetuskan sudah
berkobar-kobar menjilat merah
Jakarta-kota, Jatinegara, dan Tangerang,
Menes, Caringin, dan Labuan,
Ciamis, Tasikmalaya, dan Padelarang,
Solo, Boyolali, Banyumas,
Kediri dan Pekalongan,
Sawahiunto, Padang-Sibusuk, dan Silungkang, dan rakyat di Kalimantan Barat,
bangkit perkasa bertekad bulat
untuk merdeka, untuk bebas.
Sekali pemberontakan dicetuskan

komunis tak pernah surut di tengah jalan,
harus teruskan,
meski perang tidak seimbang
tak pernah bimbang,
memang mereka kurang teori
tapi mereka orang berani
mereka pantang berkapitulasi
bukan tukang likwidasi
seperti trotskis-trotskis dalam pari.(2)

II
Korban yang gugur memupuk dendam
ke tiang gantungan tak pernah muram
di bibir Egom, Hasan, dan Dirja
terkilas senyum perwira
dan pekik perkasa: hidup PKI!
di mata Siroda, Siganjil dan Sipati
memancar sinar kekuatan
bagaikan jurus-jurus pencak silatnya
membela kawan-kawan partai,
melihat gantungan dengan senyum
sambil berpantun:
“panyalaian bukit surungan
bancah laweh bergantung batu,
bernyanyilah tiang gantungan
rakyat mendengar merasa rindu.”
Ribuan diangkut ke pengasingan
tanah tinggi, gudang-arang dan tanah merah
jauh, di hutan belantara Digul hulu,
namun mereka berlawan tak pemah menyerah
karena mereka punya keyakinan:
“suluh dinyalakan dalam malam-mu
kami yang meneruskan kepada pelanjut angkatan.”(3)
Mereka bukan patah, bukan hilang
tapi tumbuh dan berkembang
dalam dada generasi-generasi mendatang, semangat mereka pemberi ilham
keberanian dan kesetiaan
angkatan demi angkatan.
Senapang, penjara, dan pengasingan
pengawal, tembok, dan kawat berduri
tak kuasa membunuh PKI.

III
Dalam masa-masa sulit PKI
partai dibangun kembali
situasi ilegal tahun-tahun tigalimaan
atau ketika disiksa tangan-tangan kompetai(4)
api dua-enam tetap membara
mendekap dada tetap setia
kepada rakyat, kepada partai.
Ketika di tepi hang maut ngalihan
Indonesia Raya dan internasionale dinyanyikan
dan pekik perkasa melepas gema:
“aku mati untukmu,
kubela dengan jiwa”(5)
menjelujur merah semangat pahlawan
pejuang-pejuang dua-enam.

IV
Pengalaman dan pengalaman dikumpulkan
tapi kesalahan masih terulang
dan serigala-serigala fasis menyeringai
menerkam, merusak, dan membantai
namun komunis tetap berlawan
semangat dua-enam memberi ilham.
Sebutlah penjara demi penjara
Cipinang, Bukit Duri, dan Kali Sosok,
sebut juga kamp-kamp konsentrasi
Plantungan, Buru, dan di mana saja
di tengah-tengah bencah darah penyiksaan
“12 november” selalu dinyanyikan,
komunis tak gentar, tak pernah takut
menghadapi siksaan
dan regu penembak
di dadanya menyala api dendam
yang tak pernah padam,
sebelum musuh rakyat dilenyapkan
sebelum tercapai kebebasan dan kemerdekaan.
Komunis bukan perindu warna-warni bianglala
di kaki langit lenyap kembali,
tapi pejuang hari depan yang megah
yang tak tercegah,
penaka fajar merah setiap pagi

dan tak ada kekuatan fasis,
kapitalis dan imperialis
atau sebutlah seribu iblis
bisa menahan sinar mentari!
Kemudian pengalaman telah disimpulkan
kesalahan-kesalahan telah dibetulkan
semangat juang dua-enam dipadukan
dengan ajaran abadi marxisme-leninisme
keberanian berpadu dengan strategi.
taktik dan teori revolusi.
Api dendam dua-enam tak pemah padam
bergaung di gunung-gunung disambut desa
menyatu dengan gegap-gempita buruh di kota
dan nelayan berdendang di tengah lautan
sedang meraih pagi meninggalkan malam
ke senjata, ke senjata!
***
Keterangan Tambahan di bawah Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” dalam
Buku Balada Api 26, Kumpulan Puisi dan Cerpen:
(1) Konferensi CC PKI yang berlangsung pada tanggal 25 Desember 1925 di
Prambanan, memutuskan untuk mencetuskan pemberontakan 12
November 1926.
(2) PARI (Partai Republik Indonesia) nama partai yang dibentuk Trotskis Tan
Malaka, karena dia tidak menyetujui pemberontakan.
(3) Bagian dari bait sajak Aliarcham yang ditulis di Digul
(4) Kompetai adalah polisi militer fasis Jepang
(5) Ucapan Amir Sjarifudin dan Suripno ketika akan ditembak di Ngalihan
setelah teror putih peristiwa Madiun 1948
Puisi “Balada Api 26 Tak Pernah Mati” di atas terdiri dari 4 bagian, 16
bait, 128 baris. Bagian pertama terdiri atas 5 bait, bagian dua terdiri atas 4 bait,
bagian tiga terdiri atas 2 bait, dan bagian empat terdiri atas 5 bait. Bunyi a pada
sebagian besar baris akhir baris dalam bait-bait puisi ini memberikan efek gelora
semangat. Efek tersebut semakin terlihat dalam rangkaian kata yang bersemangat.
Kita bisa melihat gelora semangat ini mulai dari bait pertama:
....
dan prambanan (1) suara menggelegar:
”siap memimpin dan mengangkat senjata
tumbangkan pemerintah kolonial belanda!”

gema perkasa partai tercinta
partai proletar!
Kemudian dilanjutkan pada bait ketiga sebagai berikut:
Kumpulkan senapang, asahlah parang,
pertajam tombak, kumpulkan uang,
pemberontakan tak dapat ditunda-tunda
tekad utama: berani dan setia
.....
Pada tahun 1900-1928, perlawanan-perlawanan banyak dikobarkan
melalui kelompok-kelompok. Namun kesadaran nasionalisme mulai nampak.
Perjuangan dilakukan oleh kelompok-kelompok. Seperti misalnya kelompok
komunis, kelompok Islam, kelompok nasionalis, dan lain-lain. Dalam puisi ini
juga menggambarkan semangat yang dikibarkan oleh kelompok PKI.
Korban yang gugur memupuk dendam
ke tiang gantungan tak pernah muram
di bibir Egom, Hasan, dan Dirja
terkilas senyum perwira
dan pekik perkasa: hidup PKI!
.......
Semangat kelompok ini muncul dalam bait ke 9:

Senapang, penjara, dan pengasingan
pengawal, tembok, dan kawat berduri
tak kuasa membunuh PKI.
.......
Hingga bait akhir puisi ini, semangat tersebut masih mencoba
mengobarkan semangat juang. Seperti berikut ini:
......
Api dendam dua-enam tak pemah padam
bergaung di gunung-gunung disambut desa
menyatu dengan gegap-gempita buruh di kota
dan nelayan berdendang di tengah lautan
sedang meraih pagi meninggalkan malam
ke senjata, ke senjata!

Bab satu puisi ini berisi tentang perjalanan peristiwa pemberontakan yang
dilakukan terhadap pemerintahan kolonial Belanda pada 12 November 1926.
Berdasarkan catatan tambahan yang diberikan di bawah puisi, peristiwa
pemberontakan tersebut sudah direncanakan sejak tanggal 25 Desember 1925.
Rapat partai dilaksanakan di Prambanan pada tanggal 25 Desember 1925.
Kemudian masing-masing utusan menyebarkan rencana pemberontakan tersebut
ke kota-kota lain, bahkan hingga luar jawa. Seperti tergambar dalam bait berikut:
.........
dan prambanan suara menggelegar:
”siap memimpin dan mengangkat senjata
tumbangkan pemerintah kolonial belanda!”
Utusan-utusan komite pemberontakan
menyebar ke seluruh nusantara
membawa pesan,
ke Jakarta, Banten, dan Periangan
ke Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan,
.............

Persiapan pemberontakan tersebut dilaksanakan dengan segala upaya.
Berdasarkan catatan tambahan di bawah puisi, persiapan dilakukan hampir satu
tahun. Semangat mempersiapkan pemberontakan tergambar dalam bait berikut:
Kumpulkan senapang, asahlah parang,
pertajam tombak, kumpulkan uang,
pemberontakan tak dapat ditunda-tunda
tekad utama: berani dan setia
biar darah tertumpah, mati menanti,
demi rakyat, demi kemerdekaan
........

Maka pada tanggal yang sudah direncanakan tersebut, pecahlah berbagai
pemberontakan terhadap Belanda. Berbagai wilayah di sebutkan dalam puisi ini,
seperti terlihat dalam bait ke-4 berikut:
Nyala api dicetuskan sudah
berkobar-kobar menjilat merah
Jakarta-kota, Jatinegara, dan Tangerang,
Menes, Caringin, dan Labuan,

Ciamis, Tasikmalaya, dan Padelarang,
Solo, Boyolali, Banyumas,
Kediri dan Pekalongan,
Sawahlunto, Padang-Sibusuk, dan Silungkang, dan rakyat di Kalimantan
Barat,
bangkit perkasa bertekad bulat
untuk merdeka, untuk bebas.
......

Bab dua puisi ini menceritakan peristiwa perlawanan yang dilakukan oleh
PKI kepada Belanda. Peristiwa tersebut digambarkan secara sederhana dalam
puisi ini. Hingga kemudian banyak orang PKI yang asingken ke Digul. Namun
kekalahan tersebut tidak menyurutkan semangat perlawanan yang dilakukan oleh
PKI. Peristiwa peperangan yang terjadi digambarkan bait ke-6 sebagai berikut:
Korban yang gugur memupuk dendam
ke tiang gantungan tak pernah muram
di bibir Egom, Hasan, dan Dirja
terkilas senyum perwira
dan pekik perkasa: hidup PKI!
di mata Siroda, Siganjil dan Sipati
memancar sinar kekuatan
bagaikan jurus-jurus pencak silatnya
membela kawan-kawan partai,
melihat gantungan dengan senyum
sambil berpantun:
“panyalaian bukit surungan
bancah laweh bergantung batu,
bernyanyilah tiang gantungan
rakyat mendengar merasa rindu.”
Pada bait selanjutnya, dikisahkan peristiwa pengasingan pejuang PKI ke
Digul. Seperti digambarkan sebagai berikut:
Ribuan diangkut ke pengasingan
tanah tinggi, gudang-arang dan tanah merah
jauh, di hutan belantara Digul hulu,
..........

Bagian ketiga puisi ini mengisahkan kebangkitan PKI pada tahun 1935-an.
Namun seiring dengan kebangkitannya tersebut, musuh PKI sudah mulai berubah.

Musuh PKI saat ini adalah tentara-tentara Jepang. Pada era ini, semangat keIndonesia-an sudah mulai muncul. Hal ini seiring dengan kesadaran nasionalisme
dan persatuan yang dicetuskan oleh aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1928. Seperti terlihat dalam Bait berikut:
Dalam masa-masa sulit PKI
partai dibangun kembali
situasi ilegal tahun-tahun tigalimaan
atau ketika disiksa tangan-tangan kompetai
api dua-enam tetap membara
mendekap dada tetap setia
kepada rakyat, kepada partai.
Ketika di tepi hang maut ngalihan
Indonesia Raya dan internasionale dinyanyikan
dan pekik perkasa melepas gema:
“aku mati untukmu,
kubela dengan jiwa”
menjelujur merah semangat pahlawan
pejuang-pejuang dua-enam.
Bab keempat mengisahkan perjalanan kekalahan PKI pasca pergolakan
politik pada tahun 1965. Peristiwa tersebut kemudian disusul maksuknya aktivis
partai ke dalam penjara dan kamp-kamp penahanan. Seperti digambarkan dalam
bait berikut:
Sebutlah penjara demi penjara
Cipinang, Bukit Duri, dan Kali Sosok,
sebut juga kamp-kamp konsentrasi
Plantungan, Buru, dan di mana saja
......
Rangkaian empat bab dari puisi ini mengisahkan tentang perjalanan
pergerakan kelompok komunis yang tergabung dalam PKI sejak perjuangan
sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan. Pada saat perjuangan
kemerdekaan PKI menjadi salah satu kelompok yang memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Namun pada perjalanannya hingga peristiwa pergolakan
politik tahun 1965, perjuangan PKI lebih banyak kepada perjuangan ideologi
kelompoknya yang berdasarkan pada Marxisme-Leninisme.

2) Latar Belakang Tulisan
Puisi ini tidak bisa dilepaskan dengan catatan pergerakan Partai komunis
Indonesia. Terlebih jika melihat biografi pengarangnya yang merupakan salah
satu aktivis PKI. Peristiwa yang melatarbelakangi penulisan puisi ini tidak lepas
dari peristiwa kegagalan PKI menguasai pemerintahan Indonesia. Sehingga terjadi
pengasingan orang-orang yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung,
dengan aktivitas PKI.
Mengutip tulisan Asep Sambodja dalam pengantar Buku Balada Api 26,
Kumpulan Puisi dan Cerpen. Bahwa peristiwa Prambanan menjadi titik tonggak
perlawanan Partai Komunis dalam melakukan perjuangan kemerdekaan. Pada 25
Desember 1925, bertepatan dengan hari Natal, para petinggi Partai Komunis
Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di Prambanan, Yogyakarta. Dalam
pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal
sebagai Keputusan Prambanan. Bunyi dari keputusan itu adalah, “Perlunya
mengadakan aksi bersama, mulai dengan pemogokan-pemogokan dan disambung
dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus
ditarik dalam pemberontakan ini.” (Soe Hok Gie, 2005).
Sardjono yang mantan pimpinan Sarekat Islam (SI) Sukabumi ini berhasil
menelurkan suatu keputusan yang maha penting di saat petinggi-petinggi PKI
seperti Semaoen, Tan Malaka, Darsono, Ali Archam, Alimin Prawirodirdjo,
Musso, Haji Misbach, dan Mas Marco Kartodikromo berada di daerah
pembuangan dan atau berada dalam posisi yang sewaktu-waktu bisa diciduk dan
dipenjara oleh kolonial Belanda. Intinya, keputusan rapat gelap di Prambanan itu
adalah mengadakan suatu pemberontakan terhadap Belanda yang dijadwalkan
pada 18 Juni 1926. Namun, karena berbagai alasan, pemberontakan itu baru
meledak pada 12 November 1926 (Williams, 2003).
Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta,
Solo,

Boyolali,

Tasikmalaya,

Kediri,

Pekalongan,

Ciamis,

Banyumas,

Sawahlunto, Padang Panjang, Padang Sibusuk, Silungkang, Indramayu,
Majalengka, Kuningan, dan yang paling dahsyat terjadi di Banten. Yang menjadi
target utama pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki

tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael C. Williams (2003),
Banten merupakan salah satu pusat utama pemberontakan. Dari 13.000 tahanan
yang ditangkap pascaperistiwa 1926 itu, sebanyak 1.300 orang (10%) di antaranya
berasal dari Banten.
Ada beberapa alasan yang menyebabkan gagalnya pemberontakan di Jawa
pada 1926 dan Sumatera Barat pada awal 1927. Pertama, tidak ada kesepakatan
bulat di antara pimpinan PKI mengenai Keputusan Prambanan itu. Tan Malaka
adalah salah satu pimpinan PKI yang menolak keputusan itu, karena menurutnya
pemberontakan itu masih sangat prematur (Zara, 2007). Lebih lanjut, Tan Malaka
yang juga menjadi Wakil Komunis Internasional (Komintern) untuk Asia
Tenggara memberikan alasan penolakannya yakni: a) Situasi revolusioner belum
ada; b) PKI belum cukup berdisiplin; c) Seluruh rakyat belum berada di bawah
PKI; d) Tuntutan atau semboyan konkret belum dipikirkan; e) Imperialisme
internasional bersekutu melawan komunisme (Soe Hok Gie, 2005). Penolakan
Tan Malaka ini didukung oleh Jamaludin Tamin, Subakat, dan Suprodjo. Grup
Tan Malaka ini dicap oleh anggota komunis lainnya sebagai kaum Trotsky
(sebagaimana juga disinggung dalam baris terakhir bagian satu), yakni kaum yang
suka memecah belah partai.
Kedua, banyaknya resersir (detektif/mata-mata Belanda) atau pengkhianat.
Orang-orang yang dicap sebagai pengkhianat bisa berasal dari lingkungan partai
(PKI) sendiri maupun orang-orang dari kelompok Sarekat Hijau atau Sarekat Idjo.
Dalam peristiwa Banten, orang yang paling dikenal sebagai pengkhianat adalah R.
Oesadiningrat, mantan pegawai Stasiun Kereta Api Tanah Abang yang juga
kerabat Bupati Serang, Achmad Djajadiningrat. Oesadiningrat inilah yang pada
mulanya memprovokasi para ulama dan petani untuk bergabung ke dalam PKI.
Tapi,

menjelang

pemberontakan

1926

meletus,

Oesadiningratlah

yang

menunjukkan kepada Belanda ulama-ulama yang terlibat dalam pemberontakan
itu. Bahkan sebelum pemberontakan terjadi, penangkapan terhadap ulama-ulama
PKI sudah dilakukan secara intensif. Ini pula yang menjadi titik kelemahan
pemberontakan Banten 1926. Ketika para pimpinan PKI dan ulama pro-PKI
ditangkap, yang memimpin pemberontakan adalah para jawara. Sementara orang-

orang Sarekat Hijau memang antek-antek Belanda tulen. Yang dirugikan dengan
kehadirannya tidak saja pejuang-pejuang PKI, melainkan juga pejuang-pejuang SI
nasionalis. Organisasi Sarekat Hijau ini kelihatannya bersifat Islam, kostumnya
sangat islami, tetapi sebenarnya didirikan oleh pihak Belanda dengan maksud
mengacaukan kalangan Islam sendiri (Noer, 1996).
Ketiga, sebelum pemberontakan terjadi, para pimpinan PKI yang juga
ulama-ulama terkenal di Banten, seperti Kyai Achmad Chatib, Kyai Alipan, dan
Tubagus Hilman sudah ditangkap Belanda. Senjata-senjata yang dibeli dengan
cara swadaya masyarakat juga berhasil disita Belanda. Dengan demikian, rakyat
Banten berjuang dengan persenjataan yang minim dan tanpa komando. Sementara
musuh yang dihadapi memiliki persenjataan modern dan sangat terlatih.
Meskipun demikian, semangat perjuangan yang dikobarkan PKI pada
1925-1926 itu merupakan turning point dalam sejarah bangsa Indonesia.
Semangat revolusioner ini baru mendapatkan hasilnya yang konkret 20 tahun
kemudian, yakni pada 17 Agustus 1945.
Buku Gelora Api 26 ini para sastrawan Lekra merekam peristiwa
pemberontakan 1926 itu dalam karya berupa cerpen dan puisi. Agam Wispi dan S.
Anantaguna yang kita kenal sebagai penyair kuat Lekra, dalam buku ini menulis
cerpen. Demikian pula dengan Sugiarti Siswadi, T. Iskandar A.S., dan Zubir A.A.
yang dikenal sebagai cerpenis papan atas Lekra. Para sastrawan inipun
menyumbangkan cerpen-cerpen mereka. Sementara penyair Chalik Hamid dan
Nurdiana menyumbangkan puisi. Selain nama-nama yang telah disebut, sastrawan
lain yang cerpennya dimuat dalam buku ini adalah A. Kembara (yang juga
menulis puisi) dan A. Awiyadi. Dan penyair yang puisinya dimuat dalam buku ini
adalah Alifdal, Anantya, Mahyuddin, dan M.D. Ani.

3) Hubungan antar Teks
Asep Sambodja (2010) berpendapat karya-karya puisi dalam buku Balada
Api 26, Kumpulan Puisi dan Cerpen merupakan sumbangsih sastrawan Lekra bagi
sejarah bangsa dan negaranya. Dalam arti, sastrawan membaca peristiwa
bersejarah itu dengan perspektif yang unik, yang otomatis memperkaya sejarah

kebangsaan yang sudah ada. Kalau kita baca buku teks sejarah, maka yang kita
dapatkan adalah data-data yang diperoleh dari arsip, artefak, dan berbagai
peninggalan sejarah lainnya. Sementara sastrawan memberikan roh atau jiwa pada
setiap peristiwa sejarah yang diangkat dalam karya sastra. Dalam hal ini,
sastrawan mencoba masuk, merasuk, dan memerankan salah satu tokoh atau
pelaku sejarah dan mencoba menghidupkannya dengan perasaan dan pikiran
imajinatif pengarangnya. Ia pun dituntut untuk menghidupkan tokoh-tokoh lain
sezamannya demi membangun struktur cerita. Namun, sastrawan postmodern
biasanya tidak mau takluk dengan konteks zaman seperti itu. Ia bisa mencipta
secara arbitrer.
Pelukisan suasana Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati terkait dengan
perjuangan benar-benar tampak dan tampil. Hubungan antar karya tampak dalam
buku kumpulan puisi dan cerpen karya sastrawan Lekra ini. Adanya rapat gelap,
kekhawatiran dikuntit resersir atau mata-mata atau intel, pengkhianatan yang
dilakukan teman maupun bangsa sendiri, sampai keteguhan menghadapi hukuman
yang disertai siksaan terdapat dalam cerpen “Sabotase” karya Zubir A.A.,
“Sukaesih” karya Sugiarti Siswadi, “Dari Daerah Pembuangan” karya T. Iskandar
A.S., dan “Kakek” karya A. Kembara. Perspektif yang digunakan para cerpenis
itu adalah perspektif para pejuang yang berada di garis depan, bukan perspektif
para priyayi yang duduk di kursi kekuasaan sembari menikmati kesengsaraan
bangsanya. Bukan pula dari perspekif para pengkhianat seperti orang-orang
Sarekat Hijau yang dibentuk Belanda. Tidak juga dari perspektif kolonial
Belanda. Dengan demikian, atmosfir perjuangan sangat terasa dalam cerpencerpen tersebut. Perasaan geregetan karena ingin membunuh tentara Belanda,
perasaan sakit karena dikhianati oleh teman sendiri, dan perasaan tak menentu
saat melakukan rapat gelap dan hidup nomaden, semuanya hadir dan mengalir
dalam karya-karya tersebut.
Hubungan antara Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati dengan puisi lain
adalah munculnya beberapa kata dan data yang ditampilkan. Seperti yang
ditampilkan Nurdiana, nama pena Suar Suroso. Puisi yang ada dalam buku yang
sama berjudul November Bulan Historis . Gaya ucapnya yang khas itu pula yang

digunakan Nurdiana dalam merefleksikan peristiwa pemberontakan PKI pada
1926 khususnya di Banten. Berikut ini kutipan puisi “November Bulan Historis”
karya Nurdiana selengkapnya.

November Bulan Historis
12 November tahun dua enam,
memancar sinar dalam kelam,
khatulistiwa gempita meronta,
berlambang Palu Arit rakyat bangkit,
angkat senjata melawan Belanda,
yang telah menjajah tiga abad,
penguasa kalap bermata gelap,
membantai pejuang anti penjajah.
Korban pahlawan di medan juang,
dari Banten hingga Silungkang,
di ujung senapan dan tiang gantungan,
gugur Egom, Dirdja, dan Hasan,
serta Si Patai dan Si Manggulung,
berpencaran makam pahlawan,
di Digul Ali Archam terpendam dalam,
bersama banyak kawan seperjuangan,
ribuan lagi dipenjarakan,
sekeluarga bersama bocah,
dibuang ke Digul, Tanah Merah,
Ternate dan Nusa Kambangan.
Tak kunjung usai kisah sejarah,
tahanan Digul Tanah Merah,
disiksa malaria, ular, buaya,
banyak penyakit, kencing berdarah,
duka nestapa ciptaan penjajah,
Digul menjadi neraka dunia,
pejuang tertempa bagai baja,
teguh tak luntur cita-cita.
Pejuang tangguh tak tertundukkan,
jasmani disiksa rohani perkasa,
seperlima abad hidup didera,
tetap setia untuk merdeka,
yang sempat pulang kampung tercinta,
jadi saksi kekejaman penjajah.

Betapa banyak pejuang tumbang,
pemberontakan tahun dua enam,
bagaikan obor nyala cemerlang,
bak mercusuar di alam kelam.
Pemberontakan tahun dua enam,
Sangkakala revolusi Indonesia!
Gelora semangat sangat terasa dalam puisi di atas. Senada dengan Puisi
Balada Api 26 Tak Pernah Mati. Terdapat kaitan dan kesamaan isi di dalamnya.
Tentang semangat perjuangan kemerdekaan yang dilakukan oleh Partai Komunis
pada tanggal 12 November 1926, tentang tokoh-tokoh seperti Egom, Hasan, dan
Dirja, tentang pembuangan ke Digul, dan tentang semangat meneruskan
perjuangan ideologi.

4) Pemahaman Pembaca
Puisi menuntut kepekaan dan kelihaian penyair dalam membaca suatu
peristiwa. Yang ditangkap penyair dari sebuah peristiwa adalah sesuatu yang inti
dan hakiki. Karena itu, kekuatan penyair terletak pada pilihan kata yang mewakili
sebuah peristiwa. Jika cerpenis mencoba mengangkat suatu peristiwa dengan
mendeskripsikan sebuah konflik yang menjadi pusat narasi, maka penyair
ditantang untuk memilih diksi yang tepat, sehingga sebisa mungkin sebuah kata
bisa mewakili sebuah peristiwa. Atau, dalam satu kata terdapat seribu makna.
Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati memberikan sedikit gambaran
tentang rentetan peristiwa sejarah yang “mungkin” selama ini tidak pernah
terungkap. Meskipun tidak detail, namun memberikan pandangan baru terhadap
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. pencatatan sejarah perjuangan harus
bisa dipandang dari berbagai sudut pandang. Sehingga catatan-catatan sejarah
yang tercecer bisa dirangkai menjadi catatan sejarah yang lebih utuh dan
berimbang. Siapapun pihak yang berjuang untuk kemerdekaan Negara Indonesia,
sudah seharusnya mendapatkan pengakuan. Terlepas dari perbedaan pandangan
dan ideologi yang dibawa.

Dalam Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati terungkap kejadian yang
mengiringi sejarah negara Indonesia ini. Bahwa pada tanggal 12 November 1926
pernah terjadi pemberontakan yang cukup besar dalam memperjuangkan
kemerdekaan negara Indonesia. Keberadaan tokoh-tokoh dan organisasi
kemerdekaan yang selama ini “mungkin” belum diterima masyarakat.
Sastra sejarah semacam ini sangat penting artinya bagi para sejarawan.
Kalau ditanyakan apakah karya sastra bisa menjadi sumber sejarah, maka
jawabannya sudah pasti: bisa. Sastrawan yang berpaham realisme sosialis pasti
sangat paham apa arti karya sastra bagi manusia dan kemanusiaan, karena
sastrawan yang tergabung dalam Lekra sangat menyadari bahwa dirinya adalah
bagian dari suatu gerakan penyadaran rakyat, gerakan pencerdasan rakyat
(Setiawan, 2003).
Karya sastra yang diciptakan bukanlah hasil dari igauan atau lamunan
semata, bukan pula hasil dari rekayasa angan-angan. Dalam proses kreatifnya,
para sastrawan sangat meyakini bahwa mencipta karya sastra itu yang penting
adalah isinya. Jangan sampai mencipta karya sastra hanya unggul dalam bentuk,
namun isinya hanya pepesan kosong. Istilah tersebut dipakai untuk menyebut
penyair-penyair salon untuk mereka yang berkarya semata-mata demi keindahan
kata-kata hampa. Apa yang dirasakan rakyat, apa yang dipikirkan rakyat, bahkan
apa yang digelisahkan rakyat seyogyanya tertangkap dengan baik oleh para
sastrawan. Dan segala perasaan, pikiran, dan kegelisahan itu kemudian dituangkan
dalam karya sastra, baik prosa maupun puisi, setelah mengalami internalisasi atau
pengolahan dan pengendapan dalam diri masing-masing sastrawan. Dengan
demikian, bentuk artistik karya sastra akan melekat dan muncul dengan sendirinya
pada kekhasan masing-masing sastrawan dalam berekspresi. Isi yang terdapat
dalam karya sastra yang diekspresikan secara jujur oleh para sastrawan itulah
yang dapat menjadi pintu masuk bagi para sejarawan menguak sejarah di masa
silam.

c. Simpulan

Puisi Balada Api 26 Tak Pernah Mati telah mengungkapkan catatan
sejarah yang cukup penting bagi sejarah kemerdekaan Indonesia. Tanggal 12
November 1926 yang selama ini jarang atau bahkan tidak pernah dicatat sebagai
hari bersejarah bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia minimal menjadi perlu
diingat sebagai salah satu hari terjadinya peristiwa perjuangan kemerdekaan
Indonesia. Karena pada tenggal tersebut juga pernah terjadi pemberontakan yang
cukup besar dalam memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia. Terlepas dari
perbedaan dan ideologi, bahwa sejarah tersebut pernah terjadi.
Bahwa catatan sejarah bisa berwujud macam-macam. Salah satunya adalah
karya sastra. Karya sastra sejarah semacam ini bisa dijadikan rujukan bagi para
sejarawan untuk kembali menengok catatan sejarah yang pernah terjadi. Karya
sastra banyak diciptakan tidak hanya dari lamunan semata. Namun dalam proses
kreatifnya, penciptaan karya sastra para sangat dimungkinkan berasal dari
perenungan akan fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat waktu itu,
pengalaman-pengalaman pribadi penulis, bahkan penelitian mendalam yang
pernah dilakukan. Segala bentuk perasaan, pikiran, dan kegelisahan itu kemudian
dituangkan dalam karya sastra, baik prosa maupun puisi. Tentunya hal itu
dilakukan setelah mengalami proses internalisasi atau pengolahan dan
pengendapan. Hasil perenungan dan penuangan yang terdapat dalam karya sastra
tersebut, dapat menjadi pintu masuk bagi para sejarawan untuk menengok
kembali sejarah yang telah ditulis.

Daftar Pustaka

Ali, Lukman, dkk., 1999. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah Pengantar Komprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra.
Hamid, Chalik. 2008. Mawar Merah. Bandung: Ultimus.
Hamid, Chalik. 2010. Gelora Api 26: Kumpulan Cerpen dan Puisi. Bandung:
Ultimus.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia: 1900-1942. Jakarta:
LP3ES.
Nurdiana. 2008. Jelita Senandung Hidup. Bandung: Ultimus.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika: Teori Baru mengenai Interpretasi.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Poespoprodjo, W. 2004. Hermeneutika. Bandung: Pustaka Setia.
Rahardjo, Mudjia. 2007. Hermeneutika Gadamerian: Kuasa Bahasa dalam
Wacana Politik Gus Dur. Malang: Universitas Islam Negeri Malang
Press.
Ricklefs, M.C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi.
Ricoeur, P. 1981. Hermeneutics and The Human Sciences, Essays on language,
action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University Press.
------------. 2002. The Interpretation Theory, Filsafat Wacana Membelah Makna
dalam Anatomi Bahasa (terjemahan Musnur Hery). Yogyakarta:
IRCiSOD
Saidi, Acep Iwan. 2008. Hermeneutika, Sebuah Cara Untuk Memahami Teks.
Bandung: ITB Bandung.
Saussure, Ferdinand de. 1974. Course in Linguistics General. London:
Fontana/Colins
Setiawan, Hersri. 2003. Aku Eks Tapol. Yogyakarta: Galang Press.
Soe Hok Gie. 2005. Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yogyakarta:
Bentang.

Sumaryono, E. 1999. Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta:
Yayasan Kanisius.
Supriyono, J. 2004. “Mencari Identitas Kultur Keindonesiaan,” dalam
Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan
Hendar Putranto (ed.). Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2004. “Rumitnya Pencarian Diri Kultural” dalam Hermeneutika
Pascakolonial: Soal Identitas. Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto
(editor). Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
Williams, Michael C. 2003. Arit dan Bulan Sabit: Pemberontakan Komunis 1926
di Banten. Yogyakarta: Syarikat.
Yuliantri, Rhoma Dwi Aria dan Muhidin M. Dahlan. 2008. Lekra Tak Membakar
Buku. Yogyakarta: Merakesumba.
Zara, M. Yuanda. 2007. Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia: Orangorang Cerdas yang Mati di Tangan Bangsanya Sendiri. Yogyakarta:
Pinus.