KOORDINASI POLISI KHUSUS KERETA API DAN PENYIDIK POLRI DALAM TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI DALAM KERETA API

(1)

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KERUSUHAN ANTAR SUKU (Studi Kasus di Kalianda-Lampung Selatan)

Oleh

Chandra Okstrawan

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2013


(2)

ABSTRAK

ANALISIS KRIMINOLOGIS TERHADAP KERUSUHAN ANTAR SUKU (Studi Kasus di Kalianda-Lampung Selatan)

Oleh

Chandra Okstrawan

Kerusuhan antar suku yang terjadi di Lampung Selatan telah menimbulkan banyak korban materil maupun immateril, sehingga pada kerusuhan yang melibatkan suku diperlukan penanganan yang tepat. Kenyataan yang terjadi, peran pemerintah dan aparat penegak hukum tidak bekerja dengan semestinya sehingga kerusuhan dengan cepat memuncak dan meluas. Kerusuhan serupa juga sering terjadi dibeberapa daerah lainnya yang menunjukkan bahwa kerusuhan antar suku merupakan permasalahan di negara ini. Berdasarkan permasalahan diatas, ada dua hal yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu faktor-faktor penyebab terjadinya kerusuhan antar suku dan upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris guna memperoleh suatu hasil penelitian yang benar dan objektif. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan cara mempelajari dan menelaah teori-teori, konsep-konsep serta peraturan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. Sedangkan pendekatan secara yuridis empiris dilakukan dengan mengadakan studi lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan adalah kesalah pahaman dari warga suku Lampung yang menganggap warga desa Balinuraga telah melakukan tindakan pelecehan pada saat menolong gadis lampung yang terjatuh di desa Balinuraga, ketidaksigapan aparat kepolisian dalam menangani kerusuhan yang terjadi sehingga menyebabkan meluasnya kerusuhan dan pemberitaan yang tidak proporsional juga menambah keruhnya suasana kerusuhan. Upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan adalah dengan diadakannya mediasi yang dilakukan oleh tetua-tetua adat Lampung, tetua-tetua-tetua-tetua adat Bali dan pihak kepolisian. Dalam mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan yang berisi permintaan maaf warga Bali di Lampung kepada suku Lampung yang ada di Lampung Selatan atau yang berada di luar Lampung Selatan, serta warga Bali di Lampung Selatan bersedia hidup berdampingan dengan suku lain dimanapun berdomisili dan berdamai.

Adapun saran yang diberikan adalah agar warga Bali bersosialisasi dengan warga Lampung dan warga suku lainnya yang ada di Lampung, sehingga tidak menimbulkan sikap ekslusif pada suku Bali guna menghindari terjadinya lagi kerusuhan suku Lampung dan suku Bali. Adanya koordinasi antara para Pihak Kepolisian dan para Tetua Adat Bali dan


(3)

Tetua-Chandra Okstrawan

Tetua Adat Lampung, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat dan cepat apabila kerusuhan antar suku terulang kembali serta dapat meminimalisir meluas dan membesarnya kerusuhan. Pihak media massa dan elektronik seharusnya tidak membesar-besarkan permasalahan, dalam kerusuhan ini pihak media massa terlalu membesar-besarkan permasalahan sehingga memperkeruh suasana kerusuhan, pihak media massa dan elektronik seharusnya tidak menampilkan foto-foto korban kerusuhan, memberitakan tindakan kekerasan yang tidak berimbang, menyiarkan secara berulang-ulang sehingga menggugah emosi dan solidaritas masing-masing pihak.


(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 5

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 5

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 6

E. Sistematika Penulisan ... 10

II. TINJAUAN PUSTAKA` ... 12

A. Pengertian Kriminologi Secara Umum ... 12

B. Pengertian Umum tentang Kerusuhan Antar Suku ... 16

C. Teori-Teori tentang Kerusuhan ... 18

D. Pengertian Konflik Sosial ... 21

E. Konflik Kebudayaan ... 24

F. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan ... 25

III. METODE PENELITIAN ... 40

A. Pendekatan Masalah ... 40

B. Sumber dan Jenis Data ... 41

C. Penentuan Narasumber... 42

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data ... 43


(7)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Karakteristik Responden ... 45

B. Faktor-Faktor Penyebab Kerusuhan Antar Suku di Kabupaten Lampung Selatan ... 46

C. Upaya Penanggulangan Kerusuhan Antar Suku di Kabupaten Lampung Selatan ... 54

V. PENUTUP ... 67

A. Simpulan ... 67

B. Saran ... 68


(8)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keanekaragaman suku, adat istiadat, dan agama yang berada pada ribuan pulau serta berbeda sumber kekayaan alamnya, memungkinkan untuk terjadi keanekaragaman kehendak dalam negara karena tumbuhnya sikap premordalisme sempit, yang akhirnya dapat terjadi konflik yang negatif, oleh karena itu dalam pendidikan dibutuhkan alat perekat bangsa dngan adanya kesamaan cara pandang tentang misi dan visi negara melalui wawasan nusantara sekaligus akan menjadi kemampuan menangkal ancaman pada berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1

Paham Negara RI adalah demokratis, karena itu idealisme Pancasila yang mengakui adanya perbedaan pendapat dalam kelompok bangsa Indonesia.Hal ini telah diatur dalam undang-undang pelaksanaan tentang organisasi kemasyarakatan yang tentunya berdasarkan falsafah Pancasila.

Kejahatan sejak dahulu hingga sekarang selalu mendapatkan sorotan, baik itu dari kalangan pemerintah maupun dari masyarakat itu sendiri.Persoalan kejahatan bukanlah merupakan persoalan yang sederhana terutama dalam masyarakat yang

1

Riza Sihbudi dan Moch Nurhasim. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Grasindo, Jakarta, hlm. 10


(9)

2

sedang mengalami perkembangan seperti Indonesia ini. Dengan adanya perkembangan itu dapat dipastikan terjadi perubahan tata nilai, dimana perubahan tata nilai yang bersifat positif berakibat pada kehidupan masyarakat yang harmonis dan sejahtera, sedang perubahan tata nilai bersifat negatif menjurus ke arah runtuhnya nilai-nilai budaya yang sudahada.“Kejahatan adalah suatu tindakan anti sosial yang merugikan, tidak pantas, tidak dapat dibiarkan yang dapat menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat”.2

Salah satu provinsi yang berada di ujung timur Pulau Sumatera adalah Provinsi Lampung. Provinsi Lampung ini memiliki keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan provinsi lainnya di sumatera. Di provinsi yang berpenduduk 7.608.405 jiwa (sensus 2010) ini ditempati oleh berbagai suku, selain suku asli Lampung sendiri di provinsi tersebut juga banyak penduduk atau suku yang berasal dari Semendo (Sumsel), Bali, Lombok, Jawa, Minang/Padang, Batak, Sunda, Madura, Bugis, Banten, Palembang, Aceh, Makasar, warga keturunan, dan warga asing (China dan Arab).

Salah satu keunikan lainnya dari Provinsi Lampung adalah banyaknya nama daerah atau kecamatan yang dinamai seperti nama daerah di Pulau Jawa, seperti Bantul, Wates, Wonosari, Sidoarjo dan sebagainya. Hal tersebut bisa terjadi karena memang sejak zaman dahulu (Belanda) Provinsi Lampung adalah salah satu tempat tujuan transmigrasi besar-besaran dari tanah Jawa.

Masyarakat asli Lampung memiliki falsafah hidup yang terdiri: fiil pesenggiri

(malu melakukan pekerjaan hina menurut agama serta memiliki harga diri), julun

2


(10)

adok (mempunyai keperibadian sesuai dengan gelar adat yang disandangnya),

Nemui-nyimah (saling mengunjungi untuk bersilaturahmi serta ramah menerima tamu), nengah nyampur (aktif dalam pergaulan bermasyarakat dan tidak individualistis), sakai sambaian (gotong royong dan saling membantu dengan anggota masyarakat lainnya) yang berarti ramah dan terbuka kepada orang lain, maka tidak beralasan untuk berkeberatan menerima penduduk pendatang. Tetapi dengan seiring waktu falsafah hidup tersebut mulai luntur dikarenakan berbagai macam hal. Suku asli Lampung pada dasarnya bersikap sangat baik terhadap para pendatang, mereka menyambut baik kedatangan para pendatang tersebut tetapi memang terkadang para pendatang lah yang sering menyulut amarah penduduk asli Lampung. Sebagai tuan rumah, suku asli Lampung tentunya tidak akan tinggal diam jika mereka merasa dihina oleh suku lain apalagi hal tersebut berkaitan dengan masalah “harga diri”.

Konflik antar suku di Lampung bukan merupakan sebuah hal baru, konflik tersebut sudah pernah terjadi sebelumnya dan pemicunya hanyalah berawal dari masalah sepele. Dari konflik-konflik kecil tersebut timbulah dendam diantara para suku-suku tersebut sehingga jika terjadi insiden kecil bisa langsung berubah menjadi sebuah konflik besar.Pengelompokan suku di daerah Lampung memang sudah terjadi sejak lama, bahkan hal tersebut sudah terjadi sejak mereka remaja. Di beberapa sekolah di daerah Lampung anak-anak suku Bali tidak mau bermain atau bersosialisasi dengan anak-anak suku lainnya begitu juga dengan anak-anak dari suku Jawa maupun Lampung. Mereka biasanya berkelompok berdasarkan suku mereka sehingga jika diantara kelompok tersebut terjadi perselisihan tentunya akan melibatkan suku mereka.


(11)

4

Salah satu contoh kasus kerusuhan antar suku yang terjadi di Kabupaten Lampung Selatan adalah kerusuhan yang terjadi pada tanggal 28 Oktober 2012. Dalam kerusuhan suku ini terjadi bentrokan antara suku Lampung dan suku Bali. Bentrokan ini disebabkan karena kesalah pahaman antara kedua belah pihak. Kejadian ini bermula dari seorang gadis Lampung yang mengalami kecelakaan di desa Sidorejo dan ditolong oleh pemuda suku Bali namun gadis suku Lampung tersebut mendapat perlecahan dari pemuda suku Bali. Karena gadis suku Lampung tidak terima dengan perlakuan dari pemuda suku Bali, maka gadis tersebut mengadukan perbuatan yang melecehkannya itu kepada ayahnya. Orang tua dan saudara gadis suku Lampung itu tidak terima dan mengajak serta masyarakat sekitar untuk menyerang ke pemukiman warga suku Bali di desa Bali Nuraga Kec. Way Panji Kab. Lampung Selatan.

Kejadian ini menimbulkan banyak korban jiwa, baik yang meninggal dunia maupun yang mengalami luka berat. Kasus ini menjadi salah satu kasus kerusuhan terbesar di Lampung sehingga menjadi sorotan media massa baik lokal maupun nasional, bahkan internasional.

Berdasarkan pada uraian latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai perang suku di Lampung yang kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul Analisis Kriminologis Kerusuhan Antar Suku (Studi Kasus di Kalianda Lampung Selatan).


(12)

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

1. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan dalam penelitian adalah sebagai berikut:

a. Apakah faktor-faktor penyebab terjadinya kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan?

b. Bagaimanakah upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan?

2. Ruang Lingkup

Untuk memfokuskan dan mempermudah penelitian serta keterbatasan peneliti maka ruang lingkup dibidang hukum pidana dan dibatasi pada analisis kriminologis faktor penyebab kerusuhan antar suku. Lokasi penelitian penulisan ini dilakukan di Polres Lampung Selatan pada tahun 2013.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan penelitian

Setiap kegiatan yang dilakukan tentu memiliki tujuan. Karena itu tujuan yang ingin di capai dalam penulisan skripsi ini adalah:

a) Untuk mengetahui penyebab terjadinya kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan.

b) Untuk mengetahui upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan.


(13)

6

2. Kegunaan Penelitian

Agar hasil penelitian dapat di capai, maka setiap penelitian berusaha untuk mencapai manfaat yang sebesar-besarnya. Adapun kegunaan yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Secara teoritis, untuk memberikan sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan hukum dan memperluas wawasan keilmuan penulis bagi penerapan dan pengembangan ilmu hukum yang dipelajari.

b. Secara praktis, dapat memberikan masukan dan sumbangan pikiran bagi aparat penegak hukum dan tokoh-tokoh masyarakat untuk menyelesaikan kerusuhan antar suku dan upaya keamanan dan perdamaian di Kabupaten Lampung Selatan.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan, asas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan, dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.3

Pengkajian mengenai kerusuhan mengalami perkembangan pesat yang memunculkan berbagai teori tentang faktor-faktor penyebab kerusuhan. Secara tradisional teori-teori tersebut dibedakan pada:

3

Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 73


(14)

1. Teori-teori yang mencari sebab kerusuhan dari aspek konflik kebudayaan

(culture conflict) yang terdapat dalam sistem sosial.

2. Teori-teori yang mencari sebab kerusuhan dari aspek sub-budaya (sub-culture) yang terdapat dalam kebudayaan induk (dominan culture).

3. Teori-teori yang mencari sebab kerusuhan dari faktor sosio kultural (sosiologi kriminal).4

Menurut teori sosiologi kriminal, suatu masyarakat dapat dimengerti dan dinilai hanya melalui latar belakang kultural yang dimilikinya, norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Apakah kultur, norma dan nilai-nilai tersebut dipandang baik atau buruk, seberapa jauh konflik yang timbul antara norma/nilai yang satu dengan yang lainnya, dan karenanya dipandang dapat meningkatkan atau paling tidak ikut membantu timbulnya kejahatan.

Menurut Thorsten Sellin dalam “Culture Conflict”, ada dua jenis konflik yaitu:

a. Konflik primer, yaitu terjadi ketika norma-norma dari dua budaya bertentangan (clash). Pertentangan itu bisa terjadi di perbatasan antara area-area yang berdekatan; apabila hukum dari satu kelompok budaya meluas sehingga mencakup wilayah dari kelompok budaya lain; atau apabila anggota-anggota dari suatu kelompok berpindah k budaya yang lain.

b. Konflik sekunder, yaitu konflik yang muncul jika satu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-beda, masing-masing memiliki perangkat konduct norms-nya sendiri-sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika suatu masyarakat homogen atau sederhana menjadi masyarakat-masyarakat yang kompleks di mana sejumlah kelompok-kelompok sosial berkembang secara konstan dan norma-norma sering kali tertinggal.5

4

Barda Nawawi Arief, 2002, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 30

5

Susanto. I.S, 1990,Sosio Kriminologi Amalan Ilmu-ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan, Sinar Baru, Bandung, hlm. 40


(15)

8

Menurut Barda Nawawi Arief, 6 kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik

kriminal iyalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”.

Menurut Barda Nawawi Arief, 7 pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus

menunjang tujuan (“goal”) “Social Welfare” (SW) dan “Social Defence” (SD). Aspek Social Welfare dan Social Defence yang sangat penting adalah aspek kesejahteraan/ perlindungan terhadap masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/ kejujuran/ keadilan. Pencegahan dan

penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral”, artinya ada keseimbangan sarana “penal”(hukum pidana) dan “non penal” (di luar hukum pidana).

Kebijakan untuk mensejahterakan melalui suatu kebijakan sosial dan kebijakan kriminal, dapat dilakukan dengan pendekatan kebijakan.Pendekatan kebijakan yang dimaksud dalam arti:

1) Adanya keterpaduan (integralitas) politik kriminal dengan politik sosial; 2) Adanya keterpaduan (integralitas) antara penanggulangan kejahatan dengan

penal dan non-penal.

6

Barda, Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 22 7


(16)

Kebijakan kriminal sangat berkaitan erat dengan berbagai aspek diantaranya aspek penanggulangan kejahatan, aspek penegakan hukum, aspek perlindungan masyarakat maupun aspek kesejahteraan sosial/masyarakat (Social Welfare).8

2. Konseptual

Konseptual adalah susunan dari beberapa konsep sebagai satu kebulatan yang utuh, sehingga terbentuk suatu wawasan untuk dijadikan landasan, acuan, dan pedoman dalam penelitian atau penulisan.9 Ada beberapa konsep yang bertujuan untuk menjelaskan pengertian dasar mengenai konsep atau arti dari beberapa istilah yang digunakan dalam penulisan skripsi, yaitu sebagai berikut:

a. Analisis adalah penyelidikan suatu peristiwa karangan, perbuatan dan sebagainya untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya, sebab musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya.10

b. Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Kata kriminologis pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard, seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata “crime” yang berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan.11 c. Kerusuhan adalah suatu tindakan yang bersifat negatif dalam hal kekerasan

dilakukan secara serentak, dapat merugikan orang lain yang terkait dalam

8

Ibid, hlm. 26 9

Abdulkadir Muhammad,Op.Cit, hlm. 78 10

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembimbingan dan Pembinaan Bahasa, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 12

11


(17)

10

suatu masalah tersebut. Kerusuhan terjadi karena adanya konflik di antara pihak-pihak yang keduanya ingin saling menjatuhkan satu sama lain dengan berkumpul untuk melakukan tindakan kekerasan, sebagai tindak balas dendam terhadap perlakuan yang tidak adil ataupun sebagai upaya untuk penentangan sesuatu, sehingga salah satu dari kelompok yang terlibat dalam kerusuhan akan mengalami kekalahan bahkan dapat belanjut secara terus menerus.12

d. Suku (etnis) dalam ilmu sosial kata Suku (etnis) itu sendiri mengacu pada sekelompok penduduk yang mempunyai kesamaan sifat-sfat kebudayaan misalnya bahasa, ada istiadat, perilaku dan karakteristik budaya serta kesamaan sejarah.13

E. SistematikaPenulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika penulisan maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan. Adapun sistematika penulisan hukum terdiri dari lima bab, yaitu:

I. PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang, permasalahan, perumusan masalah dan ruang lingkup, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teori dan konseptual serta sistematika penulisan.

12

Riza Sihbudi dan Moch Nurhasim, Op. Cit, hlm. 5 13


(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

Merupakan bab yang membahas tentang pengertian kriminologi secara umum, pengertian umum tentang kerusuhan antar suku, berbagai teori tentang kerusuhan serta Provinsi Lampung.

III. METODE PENELITIAN

Merupakan bab yang membahas tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisikan pembahasan terhadap permasalahan yang terdapat dalam penulisan ini dengan menggunakan data yang diperoleh dilapangan baik berupa data primer maupun data sekunder mengenai faktor penyebab terjadinya perang suku yang terjadi daerah Lampung Selatan.

V. PENUTUP

Bab ini merupakan penutup yang merupakan kesimpulan tentang hal-hal yang telah diuraikan dalam bab-bab terdahulu, guna menjawab permasalahan yang telah diajukan. Dalam bab ini diberikan juga sumbangan pemikiran serta saran-saran terhadap permasalahan dalam penulisan ini.


(19)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kriminologi Secara Umum

Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan. Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya serta berbeda pula dari suatu waktu atau zaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.

Beberapa pengertian kriminologi menurut para ahli antara lain adalah: Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan dari berbagai aspek. Kata kriminologis pertama kali dikemukakan oleh P. Topinard, seorang ahli antropologi Perancis. Kriminologi terdiri dari dua suku kata yakni kata “crime” yang berarti kejahatan dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan.

“Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya (kriminologis teoritis atau kriminologis murni).


(20)

Kriminologis teoritis adalah ilmu pengetahuan yang berdasarkan pengalaman, yang seperti ilmu pengetahuan lainnya yang sejenis, memperhatikan gejala-gejala yang mencoba menyelidiki sebab-sebab dari gejala tersebut dengan cara-cara yang ada padanya”.1

Menurut Sukerland: “Criminology is the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomena (Kriminologi adalah kumpulan pengetahuan yang membahas kenakalan remaja dan kejahatan sebagai gejala sosial)”.2

Paul Moedigdo Moeliono, merumuskan “Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari kejahatan sebagai masalah manusia”.3 Dari kedua defenisi di atas dapat dilihat perbedaan pendapat antara Sutherland dan Paul Moedigdo Moelino, keduanya mempunyai defenisi yang bertolak belakang.Dimana defenisi Sutherland menggambarkan terjadinya kejahatan karena perbuatan yang ditentang masyarakat, sedangkan defenisi Paul Moedigdo Moeliono menggambarkan terjadinya kejahatan karena adanya dorongan pelaku untuk melakukan kejahatan.

Kriminologi adalah “sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan sebagai gejala manusia dengan menghimpun sumbangan-sumbangan dari berbagai ilmu pengetahuan”.4 Dari defenisi Soedjono tersebut ia berpendapat bahwa kriminologi bukan saja ilmu yang mempelajari

1

Topo Santoso dan Eva Achyani Zulfa, 2004, Kriminologi, PT Grafindo Raja Persada, hlm. 5 2

J.E, Sahetapy, 2005, Pisau Analisis Kriminologi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 5 3

Soedjono Dirdjosisworo, 1984, Sosio Kriminologi Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi

Kejahatan, Sinar Baru, Bandung, hlm. 24

4 Ibid


(21)

14

tentang kejahatan dalam arti sempit, tetapi kriminologi merupakan sarana untuk mengetahui sebab-sebab kejahatan dan akibatnya, cara-cara memperbaiki pelaku kejahatan dan cara-cara mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.

Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan.Kemunculan aliran positif mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula hukum serta dampak-dampaknya.Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan.

Para pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis. Dalam pembahasan mengenai asal-usul tingkah laku kriminal dan dalam pertimbangan mengenai faktor mana yang memegang peran, utamanya di antara faktor keturunan atau faktor lingkungan, kriminologi tersebut menarik kesimpulan bahwa, kriminalitas manusia normal adalah akibat, baik dari faktor keturunan maupun dari faktor lingkungan, dimana kadang-kadang dari faktor keturunan dan kadang-kadang pula faktor lingkungan memegang peran utama, dan di mana kedua faktor itu juga dapat saling mempengaruhi.


(22)

Secara garis besarnya, bahwa faktor keturunan dan faktor lingkungan masing-masing bukan satu faktor saja melainkan suatu gabungan faktor, dan bahwa gabungan faktor ini senantiasa saling mempengaruhi di dalam interaksi sosial orang dengan lingkungannya.Jadi, seorang manusia normal bukan ditentukan sejak lahir untuk menjadi kriminal oleh faktor pembawaannya yang dalam saling berpengaruh dengan lingkungannya menimbulkan tingkah laku kriminal, melainkan faktor-faktor yang terlibat dengan iteraksi lingkungan sosial itulah yang memberikan pengaruhnya bahwa ia betul-betul menjadi kriminal dalam pengaruh-pengaruh lingkungan yang memudahkannya itu.

Kejahatan merupakan persoalan yang dialami manusia dari waktu ke waktu, bahkan dari sejak Adam-Hawa kejahatan sudah tercipta, maka dari itulah kejahatan merupakan persoalan yang tak henti-hentinya untuk diperbincangkan

oleh karena itu di mana ada manusia, pasti ada kejahatan “Crime is eternal-as eternal as society”. Masalah ini merupakan suatu masalah yang sangat menarik,

baik sebelum maupun sesudah kriminologi mengalami pertumbuhan dan perkembangan seperti dewasa ini.

Maka pengertian kejahatan adalah relatif tak memiliki batas relatifitas kejahatan dan aspek yang terkait di dalamnya tidaklah merupakan konsepsi hukum semata-mata, sekalipun memang legalitas penentuan kejahatan lebih nyata nampak dan dapat dipahami, akan tetapi aspek-aspek hukum diluar itu (extra legal) tidaklah mudah untuk ditafsirkan. karena kenisbian konsep kejahatan yang aneka macam seperti itu sering didengar didalam percakapan sehari-hari, kejahatan dalam artian hukum, sosiologi, dan kombinasi dari semuanya itu.


(23)

16

Relatifitas jelas akanberpengaruh terhadap penggalian faktor sebab musababnya yang pada gilirannya berpengaruh terhadap metode penanggulangan kriminalitas pada umumnya. Tentunya relatifitas kejahatan memerlukan atau bergantung kepada ruang dan waktu, serta siapa yang menamakan seuatu itu adalah

kejahatan.”Misdaad is benoming” yang berarti tingkah laku didefenisikan sebagai

jahat oleh manusia-manusia yang tidak mengkualifikasikan diri sebagai

penjahat.Meskipun kejahatan itu relatif, ada pula perbedannya antara “mala in se

dengan “mala in prohibita”.Mala in se adalah suatu perbuatan yang tanpa dirumuskan sebagai kejahatan sudah merupakan kejahatan. Sedangkan Mala in prohibita, adalah suatu perbuatan manusia yang diklasifikasikan sebagai kejahatan apabila telah dirumuskan sebagai kejahatan dalam Undang-Undang.

B. Pengertian Umum tentang Kerusuhan Antar Suku

Kerusuhan antar suku adalah peristiwa atau aksi saling menyerang dengan senjata tajam antara dua suku atau etnis dan dapat dikatakan juga konflik kekerasan aksi saling menyerang dan membunuh antara dua etnis di suatu tempat. Pembedaan

“etnis” dengan “suku”, dan “konflik” dengan “perang”, dalam kasus tadi bukan

saja memperlihatkan kekacauan logika, melainkan juga bisa kultural dalam cara berfikir. Kalau cara berbahasa seseorang adalah materialisasi dari cara berfikirnya, maka bias cara berfikir seseorang itu akan terlihat dalam caranya berbahasa atau menjelaskan sesuatu. Dalam anggapan umum, istilah suku dan anggota suku sebagai terjemahan istilah tribe dan tribesman dalam Bahasa Inggris, sering


(24)

Konflik sering mempertegas dan memperkuat batas kelompok dan meningkatkan pengalaman solidaritas internal kelompok. Konflik antar kelompok merupakan penghadapan antara in group dan out group. Ketika konflik terjadi masing-masing anggota dalam suatu kelompok akan meningkat kesadaran sebagai sebuah kelompok (in group) untuk berhadapan dengan kelompok lain (out group). Menurut Ralf Dahrendorf, kita semua tidak akan memahami dan memikirkan masyarakat kalau kita tidak menyadari dialetika, stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan motifasi serta konsensus dan paksaan.

Semua insan, secara naluriah, mempunyai keinginan-keinginan yang berlainan, tetapi pada keseluruhan, pada hakekatnya, mempunyai tujuan yang sama yaitu merealisasikan makna hidup yang berusaha untuk selalu survival dalam sebuah komunitas. Namun dalam berkomunikasi dan kontak sosial, mereka tidak dapat mencegah adanya benturan-benturan. Hal ini dikarenakan masing-masing induvidu memiliki kemampuan yang relatif berbeda dalam mengaktualisasikan kemampuannya. Pada sisi lain, problematika yang berkembang di masyarakat, terutama yang berkaitan dengan status sosial ekonomi, sering menyulut munculnya persoalan sosial.5

C. Teori-Teori tentang Kerusuhan 1. Teori Faktor Individual

Menurut beberapa ahli, setiap perilaku kelompok, termasuk kekerasan dan konflik selalu berawal dari tindakan perorangan atau individual.Teori ini mengatakan bahwa perilaku kekerasan yang dilakukan oleh individu adalah agresivitas yang

5


(25)

18

dilakukan oleh individu secara sendirian, baik secara spontan maupun direncanakan, dan perilaku kekerasan yang dilakukan secarabersama atau kelompok.

Menurut MacPhail, kekerasan atau kerusuhan masal walaupun terjadi di tempat ramai dan melibatkan banyak orang, namun sebenarnya hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Tidak semua orang dalam kelompok itu adalah pelaku kerusuhan. Misalnya kerusuhan para suporter sepak bola yang sebenarnya hanya dilakukan oleh orang-orang tertentu saja, namun akhirnya mampu memengaruhi pihak lain untuk melakukan hal serupa.6

2. Teori Faktor Kelompok

Teori ini sebenarnya lahir dari kekurang kesepakatan beberapa orang ahli terhadap teori faktor individual, sehingga muncullah kelompok ahli yang mengemukakan pandangan lain, yaitu individu membentuk kelompok dan tiap-tiap kelompok memiliki identitas. Identitas kelompok yang sering dijadikan alasan pemicu kekerasan dan konflik adalah identitas rasial atau etnik.Contohnya kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina dan Lebanon, yang dipicu oleh permasalahan rasial dan sedikit berbau agama.

3. Teori Deprivasi Relatif

Teori ini berusaha menjelaskan bahwa perilaku agresif kelompok dilakukan oleh kelompok kecil maupun besar.Para ahli mengatakan bahwa negara yang mengalami pertumbuhan yang terlalu cepat mengakibatkan rakyatnya harus menghadapi perkembangan perekonomian masya-rakat yang jauh lebih maju

6


(26)

dibandingkan perkembangan ekonomi dirinya sendiri. Keterkejutan ini akanmenimbulkan deprivasi relatif. Karena kemampuan setiap anggota masyarakat untuk mengikuti pertumbuhan yang sangat cepat ini berbeda-beda, dan ini akan menjadi awal terjadinya pergolakan sosial yang dapat berujung pada kekerasan.

4. Teori Kerusuhan Massa

Kemunculan teori ini sebenarnya untuk melengkapi Teori Deprivasi Relatif yang tidak menyinggung tahapan-tahapan yang menyertai munculnya kekerasan atau konflik. Ahli yang mengemukakan teori ini adalah N.J. Smelser yang menjelaskan tahap-tahap terjadinya kekerasan massa. Menurutnya, ada lima tahapan yang menyertai munculnya kekerasan ini, yaitu sebagai berikut:

a. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan atau kekerasan akibat struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya saluran yang jelas dalam masyarakat, tidak adanya media untuk mengungkapkan aspirasi-aspirasi, dan komunikasi antarmereka.

b. Kejengkelan atau tekanan sosial, yaitu kondisi karena sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai-nilai dan norma yang sudah dilanggar.

c. Berkembangnya prasangka kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu. Sasaran kebencian ini berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan.

d. Mobilisasi massa untuk beraksi, yaitu adanya tindakan nyata dari massa dan mengorganisasikan diri mereka untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan pecahnya kekerasan massa.


(27)

20

Sasaran aksi ini bisa ditujukan kepada pihak yang memicu kerusuhan atau di sisi lain dapat dilampiaskan pada objek lain yang tidak ada hubungannya dengan pihak lawan tersebut.

e. Kontrol sosial, yaitu kemampuan aparat keamanan dan petugas untuk mengendalikan situasi dan menghambat kerusuhan. Semakin kuat kontrol sosial, semakin kecil kemungkinan untuk terjadi kerusuhan.

5. Teori Ideologi

Menurut T.R Gurr, kekerasan yang terjadi di masyarakat sangat dipengaruhi oleh ideologi. Kekerasan yang sangat besar pengaruhnya mungkin saja hanya dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang memiliki ideologi berbeda.Perbedaan ideology antarkelompok kecil dalam masyarakat dapat memunculkan kekerasan, apabila tidak ada media atau wahana yang digunakan untuk menyalurkan peran sertanya dalam kelompok yang lebih luas.7

D. Pengertian Konflik Sosial

Konflik adalah segala bentuk interaksi yang bersifat oposisi atau suatu bentuk interaksi yang bersifat antagonistik. Konflik terjadi karena perbedaan, kesenjangan, kelangkaan kekuasaan, perbedaan atau kelangkaan posisi sosial dan posisi sumberdaya atau karena disebabkan sistem nilai dan penilaian yang berbeda.

7


(28)

“Perspektif konflik”, dilandaskan pada pemikiran-pemikiran sebagai berikut:

a. Masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda.

b. Terdapat perbedaan mengenai hal yang dianggap benar/baik dan sah.

c. Adanya pertentangan kelompok sosial berkaitan dengan masalah kekuasaan, hukum disusun untuk mereka yang memiliki kekuasaan.

Konflik sosial merupakan ciri utama dari semua perilaku politik, pada semua tingkat interaksi manusia, dan peran penting yang dimainkan oleh variabel-variabel penduduk dalam membentuk perilaku politik meletakkan persoalan penduduk dan persoalan konflik sangat dekat satu sama lain.

Menurut Webster, istilah “conflict” didalam bahasa aslinya berarti suatu

“perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yaitu berupa konfrontasi fisik antara

beberapa pihak. Tetapi arti kata itu kemudian berkembang dengan masuknya

“ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas kepentingan, ide dan lain

-lain”.Selanjutnya konflik sosial menurut Dean dan Jeffrey, adalah persepsi

mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.8

Sebuah penelitian World Bank yang dilakukan oleh Paul Collier dan Anke Hoeffler menemukan bahwa konflik lebih banyak menyangkut “keserakahan” dari pada “rasa tidak puas”: pihak-pihak yang terlibat dalam konflik lebih sering mengambil keuntungan ekonomi yang timbul dari situasi perekonomian yang kacau dari pada memperbaiki status kelompoknya yang hidup kekurangan.Stephen P. Robbins, mengemukakan bahwa, konflik sosial sebagai suatu proses yang dimulai tatkala suatu pihak merasa ada pihak lain yang memberikan pengaruh negatif kepadanya atau tatkala suatu pihak merasa

8


(29)

22

kepentingan itu memberikan pengaruh negatif kepada pihak lainnya. Dalam pengertian tersebut, wujud konflik itu menyangkut rentang yang amat luas, mulai dari ketidaksetujuan samar-samar sampai dengan tindakan kekerasan. Pendek kata perbedaan itu merupakan potensi konflik, jika tidak ditangani secara baik, potensi konflik itu bisa berubah menjadi konflik terbuka.

Menurut Horton dan Hunt memberikan pengertian tentang kerusuhan sosial bahwa:

“Kerusuhan mencakup pameran kekuatan, penyerangan terhadap kelompok yang

tidak disenangi, perampasan dan pengrusakan harta benda, terutama milik kelompok yang dibenci”. Setiap kerusuhan memberikan dukungan kerumunan dan kebebasan dari tanggung jawab moral, dengan demikian orang dapat menyalurkan dorongan hati. Secara psikologis orang berada dalam kerumunan merasa bahwa tidak ada orang lain yang memperhatikan dan mengenalnya. Dalam kerumunan orang banyak, orang menjadi mudah meniru perbuatan orang lain. Kondisi seperti inilah yang mengakibatkan anggota kerumunan menjadi lepas kendali, sehingga memungkinkan seseorang melakukan tindakan agresif dan destruktif.9

Sebagai gejala sosial,konflik akan selalu ada pada setiap masyarakat, karena antagonisme atau perbedaan menjadi ciri dan penunjang terbentuknya masyarakat. Menurut Karl Marx terdapat dua kelas yang saling berbenturan, yaitu:

a. Lapisan bawah; b. Lapisan atas.

Secara singkat menurut Ralf Dahrendorf melakukan kritik bahwa masyarakat tidak hanya dikelompokkan pada dua lapisan tetapi juga ada lapisan menengah yang menjadi perantara dari dua lapisan tersebut.Konflik antar kelompok juga sangat ditentukan oleh bangunan nilai dan penggunaan simbol yang berbeda antar kelompok tersebut sehingga menimbulkan penafsiran dan rasa yang berbeda untuk

9


(30)

dihargai atau menghargai. Konflik sosial menurut Dahrendorf sangat dipengaruhi oleh peran para aktor dalam organisasi yang didukung ideologi dan kepentingan tertentu.Bahkan Talcott Parsons menyebutkan bahwa:

“Konflik sosial terjadi kerena benturan-benturan kepentingan (perebutan status, kekuatan dan materi) dari para aktor yang ada. Asumsi yang melandasi konflik tersebut, karena setiap aktor yang ada dalam organisasi saling merebut tujuan tertentu dan aktor-aktor dari kelompok yang berbeda tersebut dihadapkan dengan sejumlah kondisi situasional tertentu yang bisa menimbulkan ketegangan sosial

dan konflik yang terbuka”.10

E. Konflik Kebudayaan

Thorsten Sellin dikenal dengan teori konflik kulturan, ada yang berpendapat bahwa teori Sellin tidak ditujukan secara khusus kepada imigran, yang pada waktu itu, terutama angkatan pertama dan kedua, akan mengalami kesulitan dalam pergaulan karena budaya yang berbeda. Sellin sebetulnya tidak bermaksud untuk hanya membatasi diri pada permasalahan kaum imigran, melainkan ingin menjelaskan betapa rumitnya masyarakat yang heterogen.

Menurut Thorsten Sellin dalam “Culture Conflict”, ada dua jenis konflik yaitu: 1. Konflik primer, yaitu terjadi ketika norma-norma dari dua budaya

bertentangan (clash). Pertentangan itu bisa terjadi di perbatasan antara area-area yang berdekatan; apabila hukum dari satu kelompok budaya meluas sehingga mencakup wilayah dari kelompok budaya lain; atau apabila anggota-anggota dari suatu kelompok berpindah k budaya yang lain.

2. Konflik sekunder, yaitu konflik yang muncul jika satu budaya berkembang menjadi budaya yang berbeda-beda, masing-masing memiliki perangkat

10


(31)

24

konduct norms-nya sendiri-sendiri. Konflik jenis ini terjadi ketika suatu masyarakat homogen atau sederhana menjadi masyarakat-masyarakat yang kompleks di mana sejumlah kelompok-kelompok sosial berkembang secara konstan dan norma-norma sering kali tertinggal.11

Konflik antar etnis adalah peristiwa yang sering terjadi di dalam masyarakat indonesia, sehingga melalui teori anomi dari Robert K. Merton dapat dijelaskan bahwa teori ini berasumsi patologi tidak terdapat dalam perorangan, tetapi terdapat dalam struktur masyarakat. Oleh karena itu struktur sosial yang di

prihatinkan, maka teori ini acapkali disebut dengan “Strain Theory”. Dalam

konteks ini penting untuk diperhatikan adanya nilai-nilai konsensus. Jika terdapat kesepakatan antara tujuan budaya dalam masyarakat dan tersedianya cukup sarana kelembagaan untuk tujuan tersebut, tidak akan menjadi anomi. Jadi, sesungguhnya teori anomi adalah suatu teori struktual. Acapkali teori ini

dinamakan “Funclionalist Theory”.

Menurut Emile Durkheim, satu cara dalam mempelajari suatu masyarakat adalah dengan melihat pada bagian-bagian komponennya dalam usaha mengetahui bagaimana cara masing-masing berhubungan satu sama lain. Dengan kata lain, kita melihat kepada struktur dari suatu masyarakat guna melihat bagaimana ia berfungsi. Jika masyarakat itu stabil, bagian-bagian beroprasi secara lancar, susunan-susunan sosial berfungsi. Masyarakat seperti itu ditandai dengan kepaduan, kerjasama, dan kesepakatan. Namun jika bagian-bagian komponennya tertata dalam satu keadaan yang membahayakan keteraturan/ketertiban sosial, susunan masyarakat itu disebut dengan dysfunctional (tidak berfungsi). Sebagai anologi, jika kita melihat sebuah jam dengan seluruh bagian-bagiannya yang sinkron. Ia berfungsi dengan tepat. Ia menunjuk waktu dengan akurat. Namun jika satu pernya rusak, keseluruhan mekanisme tidak lagi berfungsi secara baik. Demikian perspektif structural functional yang dikembangkan oleh Durkheim sebelum akhir abad ke-19. Durkheim meyakini bahwa, “jika sebuah masyarakat sederhana berkembang menuju sebuah masyarakat modern dan kota maka kedekatan (intimacy) yang dibutuhkan untuk melanjutkan satu set norma-norma umum (a common set of rules) akan merosot. Kelompok-kelompok menjadi terpisah-pisah, dan dalam ketiadaan satu set aturan-aturan umum, tindakan-tindakan dan harapan-harapan orang di satu sektor mungkin bertentangan dengan tindakan dan harapan orang lain. Dengan tidak dapat diprediksinya perilaku,

11


(32)

sistem tersebut secara bertahap akan runtuh, dan masyarakat itu berada dalam

kondisi anomie”.12

F. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

a. Kebijakan Kriminal

a. Pengertian Kebijakan Kriminal

Penggunaan istilah “kebijakan” diambil dari istilah “policy” atau “Politiek”.

J.E. Sahetapy, menggunakan pula kata “kebijakan” sebagaimana dimaksud

dalam Bhs inggris “policy” sedangkan kata “kebijaksanaan” diartikan beliau

dari kata “wisdom”. Padanan kata “kebijakan” dalam bahasa Indonesia sama artinya dengan “politik”.

Jadi Kebijakan (policy) adalah, “suatu prosedur untuk memformulasikan sesuatu berdasarkan aturan tertentu. Pengertian kebijakan disini adalah

merupakan bentuk nyata (praktis) dari kebijaksanaan”.

Kebijakan kriminal sebagaimana muara dalam tulisan ini, pernah dikemukakan oleh Sudarto. Menurutnya, pengertian politik kriminal (kebijakan kriminal) telah ditelaah dalam tiga batasan yaitu:13

a. Dalam arti sempit diartikan sebagai keseluruhan asas dan metode, yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

b. Dalam arti yang lebih luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi.

12

Dean.G.P dan Jepprey Z.Rubin, 2004, Op. Cit, hlm. 52 13


(33)

26

c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk melakukan penegakan norma-norma sentral dari masyarakat.

Penegakan norma-norma sentral ini dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan atau kesimpulannya bahwa politik kriminal merupakan suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam menanggulangi kejahatan. Pendapat serupa pernah dikemukakan Muladi, Menurutnya: “politik kriminal (kebijakan penanggulangan kejahatan) merupakan suatu kebijakan atau usaha yang rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (Law Enforcement Policy).

b. Relasi kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial.

Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik

kriminal iyalah “perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan

masyarakat”.

Barda Nawawi Arief mengidentifikasikan bahwa pencegahan dan penanggulangan

kejahatan harus menunjang tujuan (“Goal”) “Social Welfare” (SW) dan “Social Defence” (SD). Aspek Social Welfare dan Social Defence yang sangat penting


(34)

adalah aspek kesejahteraan/ perlindungan terhadap masyarakat yang bersifat immaterial, terutama nilai kepercayaan, kebenaran/ kejujuran/ keadilan.

Pencegahan dan penanggulangan kejahatan harus dilakukan dengan “pendekatan integral”, artinya ada keseimbangan sarana “penal” dan “non penal”.14

Kebijakan untuk mensejahterakan melalui suatu kebijakan sosial dan kebijakan kriminal, dapat dilakukan dengan pendekatan kebijakan.Pendekatan kebijakan yang dimaksud dalam arti:

1) Adanya keterpaduan (integralitas) politik kriminal dengan politik sosial; 2) Adanya keterpaduan (integralitas) antara penanggulangan kejahatan dengan

penal dan non-penal.

Kebijakan kriminal sangat berkaitan erat dengan berbagai aspek diantaranya aspek penanggulangan kejahatan, aspek penegakan hukum, aspek perlindungan masyarakat maupun aspek kesejahteraan sosial/masyarakat (Social Welfare).

Hal ini seperti diutarakan Muladi, dalam berbagai tulisannya antara lain, “Politik kriminal (Criminal Policy) adalah usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Politik kriminal ini merupakan bagian dari politik penegakan hukum dalam arti luas (Law Enforcement Policy) semuanya merupakan bagian dari politik sosial (Social Policy), yakni usaha dari masyarakat atau negara untuk meningkatkan kesejahteraan warganya”.

Muladi juga menyatakan bahwa, “kebijakan kriminal harus mengkombinasikan bermacam-macam kegiatan preventif itu dan mengaturnya sedemikian rupa

14


(35)

28

sehingga membentuk suatu mekanisme tunggal yang luas, dan akhirnya mengkordinasikan keseluruhannya itu ke dalam suatu sistem kegiatan negara yang

teratur”.15

Bertolak dari konsepsi kebijakan integral yang demikian itu, maka kebijakan penanggulangan kejahatan tidak banyak artinya apabila kebijakan sosial atau kebijakan pembangunan itu sendiri justru menimbulkan faktor-faktor kriminogen (dapat menciptakan kejahatan) dan victimogen (menimbulkan korban kejahatan).

c. Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana (penal policy)

a. Pengertian kebijakan hukum pidana

Istilah kebijakan hukum pidana dapat pula diberi penyebutan lain yaitu dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam berbagai kepustakaan asing istilah politik

hukum pidana sering dikenal dengan berbagai istilah antara lain “Penal Policy”,

Criminal Law Policy” atau “Strafrecht Politiek”.

Menurut Marc Ancel, berpendapat, politik hukum pidana (“penal policy”)

merupakan komponen dari “modern criminal science”, disamping kedua

komponen lainnya, yaitu: “criminologi” dan “criminal law”.

Menurutnya, politik hukum pidana (penal policy) adalah ilmu sekaligus seni yang memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman, tidak hanya kepada pembuat undang-undang, tetapi juga

15

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 67


(36)

kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang dan juga kepada para penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan.

Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan itu sendiri. Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik kriminal, maka politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan

penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana”.

Ada dua masalah sentral dalam menanggulangi kejahatan (criminal policy) dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana) ialah masalah penentuan:

1) Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2) Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada si pelanggar.

Penganalisaan terhadap dua masalah sentral ini, menurut Barda Nawawi Arief, tidak dapat dilepaskan dari konsepsi bahwa kebijakan kriminal merupakan bagian integral dari kebijakan sosial. Pemecahan masalah-masalah tersebut diatas harus pula diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang telah ditetapkan. Dengan demikian kebijakan hukum pidana, termasuk pula kebijakan dalam menangani dua masalah sentral diatas, harus pula dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi kepada kebijakan (policy oriented opproach).


(37)

30

b. Kebijakan penggunaan sanksi pidana

Pada seminar kriminologi ke-3 tahun 1976 ditetapkan bahwa hukum pidana hendaknya dipertahankan sebagai salah satu sarana untuk “Social Defence”.

Pemilihan pada konsepsi perlindungan pada masyarakat inipun membawa konsekuensi pada pendekatan yang rasional.

Segi lain yang perlu dikemukakan dari pendekatan kebijakan ialah yang berkaitan dengan nilai-nilai yang ingin dicapai atau dilindungi oleh hukum pidana. Menurut M. Cherif Bassiouni, tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi. Kepentingan-kepentingan sosial tersebut, ialah:

a) Memelihara tertib masyarakat;

b) Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang tak dapat dibenarkan, yang dilakukan oleh orang lain;

c) Memasyarakatkan kembali (resosialisasi) para pelanggar hukum;

d) Memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar mengenai keadaan sosial, martabat kemanusiaan dan keadilan individu.

Menurut Barda Nawawi Arief, ditegaskan bahwa sanksi pidana harus sepadan dengan kebutuhan untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan-kepentingan ini. Pidana hanya dibenarkan apabila ada suatu kebutuhan yang berguna bagi masyarakat, suatu pidana yang tidak diperlukan atau tidak dibutuhkan tidak dapat dibenarkan dan berbahaya bagi masyarakat. Selain itu


(38)

batas-batas sanksi pidana ditetapkan pula berdasarkan kepentingan-kepentingan ini dan nilai-nilai yang menghujudkannya.16

Berdasarkan pandangan yang demikian, maka disiplin hukum pidana bukan hanya pragmatis tetapi juga suatu disiplin yang berdasar dan berorientasi pada nilai (not only pragmatic but also value-based and value-oriented). Menurut Bassiouni, dalam melakukan kebijakan hukum pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi kepada kebijakan (policy oriented approach) yang bersifat pragmatis dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgement approach).

Mengenai kedua pendekatan diatas, diingat oleh Barda Nawawi Arief, bahwa antara pendekatan kebijakan dan pendekatan yang berorientasi pada nilai jangan

terlalu dilihat sebagai suatu “dichotomy”, karna dalam pendekatan kebijakan

sudah seharusnya juga dipertimbangkan faktor-faktor nilai.

c. Karakteristik hukum pidana

Penggunaan sarana penal atau (hukum) pidana dalam suatu kebijakan kriminal memang bukan merupakan posisi strategis dan masih banyak menimbulkan persoalan. Namun sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa disederhanakan dengan mengambil langkah ekstrim untuk tidak menggunakan hukum pidana itu sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah eksistensinya tetapi terletak pada masalah penggunaannya.

16


(39)

32

Penggunaan upaya”penal” (sanksi/hukum pidana) dalam mengatur masyarakat

(lewat perundang-undangan) pada hakekatnya merupakan bagian dari suatu

langkah kebijakan (“policy”). Mengingat keterbatasan dan kelemahan hukum

pidana, maka dilihat dari sudut kebijakan, penggunaan atau intervensi “penal” seyogianya dilakukan dengan lebih berhati-hati, cermat, hemat, selektif dan limitatif. Dengan kata lain, sarana penal tidak selalu dipanggil/digunakan dalam setiap produk legislatif.

Dalam menggunakan sarana penal Nigel Warkel17, pernah mengingatkan adanya

“prinsip-prinsip pembatas” (“the limiling principles”) yang sepatutnya

mendapatkan perhatian, antara lain:

1) Jangan hukum pidana digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan;

2) Jangan menggunakan hukum pidana untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan;

3) Jangan menggunakan hukum pidana untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana lain yang lebih ringan;

4) Jangan menggunakan hukum pidana apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar dari kerugian/bahaya dari tindak pidana itu sendiri;

5) Larangan-larangan hukum pidana jangan mengandung sifat lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah;

6) Hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik.

Dilihat dari hakekat kejahatan sebagai suatu masalah kemanusiaan dan masalah sosial banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan. Faktor penyebab terjadinya kejahatan itu sangat komfleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Wajarlah hukum pidana mempunyai batasan kemampuan untuk menanggulanginya, karena seperti pernah dikemukakan oleh Sudarto bahwa

“penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan sesuatu gejala (“kurieren

am simptom”) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.

17


(40)

Barda Nawawi Arief,18 menyimpulkan dan mengidentifikasi sebab-sebab keterbatasan kemampuan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan sebagai berikut:

1) Sebab-sebab kejahatan yang demikian kompleks berada diluar jangkauan hukum pidana;

2) Hukum pidana hanya merupakan bagian kecil (sub-sistem) dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks (sebagai masalah sosio-psikologis, sosio-politik, sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sebagainya);

3) Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan hanya merupakan

kurieren am simptom”, oleh karena itu hukum pidana hanya merupakan

“pengobatan simptomatik” dan bukan “pengobatan kausatif”;

4) Sanksi hukum pidana merupakan “remedium” yang mengandung sifat kontradiktif

atau paradoksal yang mengandung unsur-unsur serta efek samping yang negatif; 5) Sistem pemidanaan bersifat fragmentair dan individual/personal, tidak bersifat

struktural/fungsional;

6) Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif;

7) Bekerjanya/berfungsinya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang

lebih bervariasi dan lebih menuntut “biaya tinggi”.

Dalam memilih dan menetapkan (hukum) pidana sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan harus benar-benar memperhitungkan semua faktor yang dapat mendukung berfungsinya atau bekerjanya (hukum) pidana itu dalam kenyataan. Jadi diperlukan pula pendekatan fungsional; dan inipun merupakan pendekatan yang melekat (inherent) pada setiap kebijakan yang rasional.

d. Kebijakan penanggulangan kejahatan diluar hukum pidana (non-penal)

Dalam konteks usaha rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana (penal policy) hanya merupakan salah satu jalur atau metode penanggulangan kejahatan.

18


(41)

34

Disamping itu terdapat pula kebijakan penanggulangan kejahatan yang lain yang dikenal dengan istilah kebijakan di luar hukum pidana (non-penal policy). Non-penal policy berarti bahwa usaha-usaha yang dilakukan tanpa menggunakan sarana hukum pidana. Jadi non-penal itu dapat diartikan segala usaha yang bersifat non-yuridis guna menanggulangi timbulnya kejahatan.

Perlu juga dibedakan penggunaan non-penal ini yaitu tindakan yang bersifat preventif artinya pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dan represif artinya tindakan setelah terjadinya kejahatan. Usaha-usaha non penal ini mempunyai posisi sangat strategis yang harus diintensifkan dan diefektifkan. Kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini justru akan berakibat sangat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.Dalam salah satu tulisannya, Barda Nawawi Arief, menyatakan, usaha-usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi kejahatan (politik kriminal) sudah barang tentu tidak hanya dengan menggunakan

sarana “penal” (hukum pidana), tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana -sarana non penal.

Usaha-usaha non-penal ini misalnya penyantunan dan pendidikan sosial dalam rangka mengembangkan tanggung jawab sosial bagi warga masyarakat; penggarapan kesehatan jiwa masyarakat melalui pendidikan moral, agama dan sebagainya; peningkatan usaha-usaha kesejahteraan anak dan remaja; kegiatan patroli dan pengawasan lainnya secara kontinue oleh polisi dan aparat keamanan lainnya dan sebagainya. Usaha-usaha non penal ini dapat meliputi bidang yang sangat luas sekali diseluruh sektor kebijakan sosial. Tujuan utama dari


(42)

usaha-usaha non-penal ini dapat memperbaiki kondisi sosial tertentu, namun secara tidak langsung mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan.

Menurut G.Peter Hoefnagels,19 menyebutkan usaha-usaha non-penal ini sebagai

prevention without punishment” (pencegahan tanpa pidana) yang dapat

diwujudkan melalui “social policy” (kebijakan sosial), “community planning

(perencanaan masyarakat), “mental health” (kesehatan mental), “social work

(pekerjaan sosial), “child welfare” (kesejahteraan anak-anak) dan “administrative and civil law” (penerapan hukum administrasi dan hukum perdata).

Ditegaskan pula oleh beliau, ruang lingkup kebijakan kriminal dalam menanggulangi kejahatan adalah mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat mass media (influencing view of society on crime and punishment/ mass media). Upaya ini dapat digolongkan usaha non-penal.

Hal ini didasarkan bahwa upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan, berada diluar hukum pidana yaitu mass media dengan tujuan memberikan penerangan atau penyuluhan kepada masyarakat mengenai kejahatan beserta sanksi pidana yang dijatuhkan. Dengan adanya penerangan atau penyuluhan tersebut mampu mencegah terjadinya kejahatan.

Berkaitan dengan usaha-usaha non-penal tersebut, Barda Nawawi Arief, menyatakan, mengingat upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur non-penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya, maka sasaran utamanya adalah menangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan.

19


(43)

36

faktor kondusif itu antara lain berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan. Dengan demikian dilihat dari sudut politik kriminal secara makro dan global, maka upaya-upaya non penal menduduki posisi kunci dan strategis dari keseluruhan upaya politik kriminal.20

Dalam uraian diatas dinyatakan bahwa terdapatnya beberapa masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang dapat merupakan faktor kondusif yang dapat menyebabkan atau menimbulkan tumbuhnya kejahatan seperti pengangguran, kebutahurupan di antara sebagian besar penduduk, standar hidup yang rendah serta bermacam-macam bentuk ketimpangan sosial.

Kondisi sosial ini merupakan masalah yang tidak dapat ditanggulangi hanya dengan mengharapkan upaya penal saja. Disinilah sebenarnya letak keterbatasan dari upaya penal dan oleh sebab itu perlu ditunjang dengan upaya-upaya non-penal. Upaya-upaya non-penal ini dapat berwujud penggarapan kesehatan mental masyarakat termasuk didalamnya kesehatan mental/jiwa keluarga serta masyarakat luas pada umumnya, juga peranan pendidikan agama dengan berbagai bentuk media penyuluhan keagamaan. Dampak positif yang didapat dari hal ini adalah terbinanya pribadi manusia yang sehat jiwa dan raganya serta lingkungan sosial. Penggarapan kesehatan mental masyarakat ini tidak hanya kesehatan rohani saja tetapi juga kesehatan nilai-nilai budaya dan pandangan hidup masyarakat.

20


(44)

Dengan demikian tolak ukur diwujudkannya kegiatan-kegiatan upaya non-penal tersebut merupakan bentuk kegiatan-kegiatan potensial yang dapat menangkal terjadinya kejahatan atau faktor kriminogen. Keseluruhan kegiatan upaya non-penal tersebut dilakukan melalui kebijakan sosial (social policy) yang menurut Barda Nawawi Arief, mempunyai posisi strategis dan efek preventif dalam rangka menanggulangi kejahatan dan kegagalan dalam menggarap posisi strategis ini dapat berakibat fatal bagi usaha penanggulangan kejahatan.

Berkaitan dengan kegiatan upaya non-penal tersebut maka segala potensi yang ada didalam masyarakat secara berkesinambungan terus digali, diintensifkan dan diefektifkan. Hal ini diperlukan sekali, disebabkan masih diragukannya atau dipermasalahkannya efektifitas sarana penal dalam mencapai tujuan politik kriminal. Bahkan untuk mencapai tujuan pemidanaan yang berupa prevensi umum dan prevensi khusus saja, efektivitas sarana penal masih diragukan setidak-tidaknya belum diketahui seberapa jauh pengaruhnya.

Berdasarkan uraian diatas, suatu kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan dan mengharmonisasikan seluruh kegiatan preventif yang non-penal itu kedalam suatu sistem kegiatan negara yang teratur dan terpadu.Menurut Muladi, dalam strategi preventif umumnya terbagi 3(tiga) katagori yang mendasarkan diri pada

public health model yakni:

a) Pencegahan kejahatan primer (primary prevention). Strategi yang melalui kebijakan sosial, ekonomi dan kebijakan sosial yang lain, secara khusus mencoba mempengaruhi kriminogenik dan akar kejahatan. Hal ini misalnya saja melalui pendidikan, perumahan, lapangan kerja dan reaksi yang sering


(45)

38

disebut sebagai pre-offence intervention. Target utamanya adalah masyarakat umum bersifat luas.

b) Pencegahan sekunder (secondary prevention). Dapat ditemukan dalam sistem peradilan pidana dan penerapannya secara praktis seperti peranan polisi dalam pencegahan kejahatan. Targetnya adalah mereka yang cenderung melanggar.

c) Pencegahan tersier (tertiary prevention). Terutama diarahkan pada residivisme oleh polisi atau lembaga-lembaga lain sistem peradilan pidana. Targetnya adalah mereka yang telah melakukan kejahatan.21

Dibedakan pula yaitu:

a) Pencegahan sosial (social crime prevention). Diarahkan pada akar kejahatan. b) Pencegahan situasional (situational crime prevention). Diarahkan pada

pengurangan kesempatan untuk melakukan kejahatan.

c) Pencegahan masyarakat (community based prevention). Dilakukan dengan tindakan-tindakan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat untuk mengurangi kejahatan dengan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menggunakan kontrol sosial informal.

Prevensi diartikan secara luas maka banyak badan atau fihak yang terlibat didalamnya, ialah pembentuk undang-undang, polisi, kejaksaan, pengadilan, pamong-praja, dan aparatur eksekusi pidana serta orang-orang biasa. Proses pemberian pidana dimana badan-badan ini masing-masing mempunyai peranannya dapat dipandang sebagai upaya untuk menjaga agar orang yang

21


(46)

bersangkutan serta masyarakat pada umumnya tidak melakukan tindak pidana. Namun badan langsung yang mempunyai wewenang dan kewajiban dalam pencegahan ini adalah polisi.22

22


(47)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Untuk membahas permasalahan yang penulis ajukan dalam skrpsi ini, pendekatan yang dilakukan secara yuridis normatif dan yuridis empiris guna memperoleh suatu hasil penelitian yang benar dan objektif. Pendekatan secara yuridis normatif dilakukan dengan mempelajari, menelaah peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep yang berhubungan dengan penelitian ini. Pendekatan yang bersifat normatif adalah penelitian dengan data sekunder yang dilakukan dalam mencari data atau sumber yang bersifat teori yang berguna untuk memecahkan masalah melalui studi kepustakaan yang meliputi buku-buku, peraturan-peraturan, surat-surat keputusan dan dokumen resmi yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

Metode pendekatan yuridis empiris, yaitu menelaah hukum dalam kenyataan dengan mengadakan penelitian dilapangan untuk melihat fakta-fakta yang berkaitan dengan faktor penyebab kerusuhan antar suku (studi kasus Lampung Selatan). Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Lampung Selatan, yaitu di daerah tempat terjadinya perang suku.


(48)

B. Sumber dan Jenis Data

Sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah :

1. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari observasi di lapangan. Dalam rangka penelitian lapangan terutama yang menyangkut pokok bahasan ini.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari studi kepustakaan yang berupa bahan hukum primer dan bahan hokum sekunder yang diperoleh dari bahan kepustakaan yang terdiri dari:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hal ini bahan hukum primer terdiri dari: a) UUD 1945.

b) Undang-Undang RI No 39 Tahun 1999 tentang HAM. c) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hokum primer dan dapat membantu dalam menganalisa serta memahami bahan hukum primer, seperti literatur dan jurnal hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini. c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang berguna untuk

memberikan informasi, petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hokum sekunder seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas atau diteliti dalam skripsi ini.


(49)

42

C. Penentuan Narasumber 1. Penentuan Narasumber

Di halaman 774 Kamus Besar Bahasa Indonesia arti kata narasumber yang merupakan kata benda artinya, orang yang memberi (mengetahui secara jelas atau menjadi sumber) informasi. Para narasumber ini diperlukan guna sebagai pertimbangan dalam menganalisis permasalahan yang ditulis dalam skripsi penulis. Adapun narasumber yang diperlukan oleh penulis terdiri 4 (empat) kalangan yang meliputi: Humas Polres Lampung Selatan, Tetua adat daerah Suku Lampung, Tetua adat daerah Suku Bali dan Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila.

2. Narasumber

Penentuan narasumber ditetapkan berdasarkan keterlibatan narasumber dalam peristiwa kerusuhan dan pemahaman narasumber tentang peristiwa yang terjadi sehingga informasi-informasi yang dibutuhkan sangat membantu peneliti. Adapun narasumber dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Humas Polres Lampung Selatan : 1 orang

2. Tetua Adat Daerah Suku Lampung : 1 orang

3. Tetua Adat Daerah Suku Bali : 1 orang

4. Dosen Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Unila : 1 orang Jumlah : 4 orang


(50)

D. Metode Pengumpulan Data dan Pengolahan Data 1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah teknik atau cara-cara yang dapat digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data.1 Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan dalam penulisan ini, penulis menggunakan prosedur, studi kepustakaan dan wawancara.

a. Studi kepustakaan

Studi kepustakaan yaitu pengumpulan data yang dilakukan terhadap data sekunder melalui serangkaian kegiatan dengan cara membaca, mencatat, mengutip buku-buku, menelaah peraturan perundang-undangan, dokumen dan informasi yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini.

b. Wawancara

Wawancara yaitu pengumpulan data yang dilakukan sebagai penunjang agar data benar-benar valid, maka peneliti juga menggunakan teknik wawancara sebagai penunjang data untuk mendapatkan hasil-hasil yang belum terungkap. Wawancara yang dilakukan adalah dengan berpedoman pada teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam..

2. Metode Pengolahan Data

Data yang terkumpul melalui kegiatan pengumpulan data, diproses melalui pengolahan data menyajikan data dengan memeriksa dan meneliti kembali data

1


(51)

44

yang diperoleh mengenai kelengkapan untuk selanjutnya dianalisis. Pengolahan data ini akan dilakukan dengan cara :

1. Editing, yaitu memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan, yang untuk selanjutnya jika ada akan dilakukan pembetulan terhadap data yang keliru, menambah data yang kurang dan melengkapi data yang kurang lengkap.

2. Klasifikasi data, yaitu pengolahan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

3. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga dapat dipersiapkan untuk di analisa.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian diadakan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dari hasil analisis dilakukan dengan cara berfikir yang didasarkan atas fakta-fakta atau data yang terdapat dalam penelitian yang bersifat khusus, kemudian diambil kesimpulan secara umum, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(52)

V.PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan pada skripsi ini adalah:

a. Kesalah pahaman

Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.

b. Ketidaksigapan aparat Kepolisian

Ketidaksigapan aparat kepolisian dalam mengamankan kerusuhan merupakan salah satu penyebab meluasnya kerusuhan yang terjadi di Kalianda-Lampung Selatan.

c. Pemberitaan yang tidak proporsional

Pemberitaan yang membesar-besarkan masalah, memperuncing perbedaan pendapat, membesarkan peristiwa kekerasan, menayangkan korban, atau menyiarkan berulang-ulang, sehingga dapat menggugah emosi atau solidaritas masing-masing pihak.


(53)

68

2. Upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Lampung Selatan adalah dengan jalan mediasi, mediasi yang dihadiri oleh tetua-tetua adat Lampung, tetua-tetua adat Bali, dan pihak Kepolisian. Dalam mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan yang berisi permintaan maaf warga Bali di Lampung kepada suku Lampung yang ada di Lampung Selatan atau yang berada di luar Lampung Selatan, serta warga Bali di Lampung Selatan bersedia hidup berdampingan dengan suku lain dimanapun berdomisili dan berdamai. Upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Lampung Selatan tidak diselesaikan melalui jalur hukum tetapi melalui penyelesaian sengketa alternatif dengan jalan mediasi antar kedua belah pihak yang bertikai.

B.Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan, maka penulis dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Warga Bali yang ada di Lampung harus bersosialisasi dengan warga Lampung dan warga suku lainnya yang ada di Lampung, sehingga tidak menimbulkan sikap eksklusif pada suku Bali serta tidak terlihat sombong dan susah bergaul, sebagai pendatang warga suku Bali juga harus menghayati dan menghormati adat istiadat suku Lampung, sebab tanpa ini mustahil memunculkan rasa senasib antara penduduk asli dan kaum pendatang.

2. Adanya koordinasi antara para Pihak Kepolisian dan para tetua-tetua adat Bali dan tetua-tetua adat Lampung, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat


(54)

dan cepat apabila kerusuhan antar suku terulang kembali serta dapat meminimalisir meluas dan membesarnya kerusuhan.

3. Pihak media massa dan elektronik seharusnya tidak membesar-besarkan permasalahan, dalam kerusuhan ini pihak media massa terlalu membesar-besarkan permasalahan sehingga memperkeruh suasana kerusuhan, pihak media massa dan elektronik seharusnya tidak menampilkan foto-foto korban kerusuhan, memberitakan tindakan kekerasan yang tidak berimbang, menyiarkan secara berulang-ulang sehingga menggugah emosi dan solidaritas masing-masing pihak.


(55)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. PT Rineka Cipta. Jakarta. Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. CV

Mandar maju.

---, 2005. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. PT Rafika Aditama. Bandung.

B, Simandjuntak. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial.Tarsito. Bandung.

Dean.G.P dan Jepprey Z.Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Sosio Kriminologi Amalan Ilmu-Ilmu Sosial dalam Studi Kejahatan. Sinar Baru. Bandung.

J.E, Sahetapy. 2005.Pisau Analisis Kriminologi. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Nitibaskara, Roni. 2001. Kriminologi. Penerbit: Eresco. Bandung.

Riza Sihbudi dan Moch Nurhasim. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Grasindo.


(56)

Topo Santoso dan Eva Achyani Zulfa. 2004.Kriminologi. PT Grafindo Raja Persada.

Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang RI No39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Lain-lain :

www.LampungPost.com www.Detik.com


(1)

44

yang diperoleh mengenai kelengkapan untuk selanjutnya dianalisis. Pengolahan data ini akan dilakukan dengan cara :

1. Editing, yaitu memeriksa atau meneliti data yang telah diperoleh untuk menjamin apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan kenyataan, yang untuk selanjutnya jika ada akan dilakukan pembetulan terhadap data yang keliru, menambah data yang kurang dan melengkapi data yang kurang lengkap.

2. Klasifikasi data, yaitu pengolahan atau pengelompokan data menurut pokok bahasan yang telah ditentukan.

3. Sistematisasi data, yaitu penempatan data pada tiap-tiap pokok bahasan secara sistematis sehingga dapat dipersiapkan untuk di analisa.

E. Analisis Data

Setelah dilakukan pengumpulan dan pengolahan data, kemudian diadakan analisis dengan menggunakan analisis kualitatif dengan cara menguraikan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian dalam bentuk kalimat-kalimat yang disusun secara sistematis, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti. Selanjutnya ditarik suatu kesimpulan dari hasil analisis dilakukan dengan cara berfikir yang didasarkan atas fakta-fakta atau data yang terdapat dalam penelitian yang bersifat khusus, kemudian diambil kesimpulan secara umum, selanjutnya dengan beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran.


(2)

V.PENUTUP

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Faktor-faktor penyebab terjadinya kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan pada skripsi ini adalah:

a. Kesalah pahaman

Salah paham merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan konflik. Misalnya tindakan dari seseorang yang tujuan sebenarnya baik tetapi diterima sebaliknya oleh individu yang lain.

b. Ketidaksigapan aparat Kepolisian

Ketidaksigapan aparat kepolisian dalam mengamankan kerusuhan merupakan salah satu penyebab meluasnya kerusuhan yang terjadi di Kalianda-Lampung Selatan.

c. Pemberitaan yang tidak proporsional

Pemberitaan yang membesar-besarkan masalah, memperuncing perbedaan pendapat, membesarkan peristiwa kekerasan, menayangkan korban, atau menyiarkan berulang-ulang, sehingga dapat menggugah emosi atau solidaritas masing-masing pihak.


(3)

68

2. Upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Lampung Selatan adalah dengan jalan mediasi, mediasi yang dihadiri oleh tetua-tetua adat Lampung, tetua-tetua adat Bali, dan pihak Kepolisian. Dalam mediasi tersebut menghasilkan kesepakatan yang berisi permintaan maaf warga Bali di Lampung kepada suku Lampung yang ada di Lampung Selatan atau yang berada di luar Lampung Selatan, serta warga Bali di Lampung Selatan bersedia hidup berdampingan dengan suku lain dimanapun berdomisili dan berdamai. Upaya penanggulangan kerusuhan antar suku di Lampung Selatan tidak diselesaikan melalui jalur hukum tetapi melalui penyelesaian sengketa alternatif dengan jalan mediasi antar kedua belah pihak yang bertikai.

B.Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kerusuhan antar suku di Kabupaten Lampung Selatan, maka penulis dapat mengemukakan saran-saran sebagai berikut:

1. Warga Bali yang ada di Lampung harus bersosialisasi dengan warga Lampung dan warga suku lainnya yang ada di Lampung, sehingga tidak menimbulkan sikap eksklusif pada suku Bali serta tidak terlihat sombong dan susah bergaul, sebagai pendatang warga suku Bali juga harus menghayati dan menghormati adat istiadat suku Lampung, sebab tanpa ini mustahil memunculkan rasa senasib antara penduduk asli dan kaum pendatang.

2. Adanya koordinasi antara para Pihak Kepolisian dan para tetua-tetua adat Bali dan tetua-tetua adat Lampung, sehingga dapat mengambil langkah yang tepat


(4)

69

dan cepat apabila kerusuhan antar suku terulang kembali serta dapat meminimalisir meluas dan membesarnya kerusuhan.

3. Pihak media massa dan elektronik seharusnya tidak membesar-besarkan permasalahan, dalam kerusuhan ini pihak media massa terlalu membesar-besarkan permasalahan sehingga memperkeruh suasana kerusuhan, pihak media massa dan elektronik seharusnya tidak menampilkan foto-foto korban kerusuhan, memberitakan tindakan kekerasan yang tidak berimbang, menyiarkan secara berulang-ulang sehingga menggugah emosi dan solidaritas masing-masing pihak.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Ashshofa, Burhan. 2004. Metode Penelitian Hukum. PT Rineka Cipta. Jakarta. Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi. CV

Mandar maju.

---, 2005. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi. PT Rafika Aditama. Bandung.

B, Simandjuntak. 1981. Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial.Tarsito. Bandung.

Dean.G.P dan Jepprey Z.Rubin. 2004. Teori Konflik Sosial. Pustaka Pelajar.

Dirdjosisworo, Soedjono. 1984. Sosio Kriminologi Amalan Ilmu-Ilmu Sosial

dalam Studi Kejahatan. Sinar Baru. Bandung.

J.E, Sahetapy. 2005.Pisau Analisis Kriminologi. PT Citra Aditya Bakti. Bandung.

Muhammad, Abdulkadir. 2004. Hukum dan Penelitian Hukum. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. Alumni. Bandung.

Nawawi Arief, Barda. 2002. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Nitibaskara, Roni. 2001. Kriminologi. Penerbit: Eresco. Bandung.

Riza Sihbudi dan Moch Nurhasim. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Grasindo.


(6)

Sunggono, Bambang. 1998. Metodologi Penelitian Hukum. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Topo Santoso dan Eva Achyani Zulfa. 2004.Kriminologi. PT Grafindo Raja Persada.

Perundang-Undangan :

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang RI No39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Lain-lain :

www.LampungPost.com www.Detik.com