Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik Pt.Kereta Api Indonesia Dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang)

(1)

API INDONESIA DENGAN MASYARAKAT

(Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

NIM : 110200394 WAN FITRI MARISSA

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(2)

Wan Fitri Marissa *

Dr. OK. Saidin, SH. M.Hum** Syamsul Rizal, SH.M.Hum**

Perjanjian sewa menyewa tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara dilaksanakan dalam bentuk perjanjian standar kontrak yang di dalamnya tercantum hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder dan penelitian lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian di PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara Medan.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka ditarik kesimpulan bahwa akibat hukum jika salah satu pihak wanprestasi adalah jika salah satu pihak melakukan perbuatan yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menimbulkan kerugian diwajibkan untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Dalam perjanjian sewa menyewa tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara disebutkan bahwa apabila waktu pelaksanaan perjanjian terjadi hal-hal yang di luar dugaan atau di luar perkiraan para pihak yang diklasifikasikan sebagai force majeuryang mengakibatkan kerugian salah satu pihak, maka para pihak dapat mengajukan atau meminta pertimbangan kepada pihak lainnya untuk mendapat ganti rugi yang layak. Akibat hukum jika pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang sah, dapat diajukan tuntutan kepada pihak yang membatalkannya selama perjanjian tersebut telah berlangsung, sebaliknya apabila pembatalan secara sepihak tersebut terjadi sebelum adanya pelaksanaan perjanjian maka pembatalan itu hanya membawa pada keadaan semula yaitu keadaan yang dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.

Kata Kunci: Sewa Menyewa, Tanah Milik, Kereta Api. *Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT selama Penulis menuntut ilmu dan menyelesaikan Skripsi ini. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun yang Penulis pilih sebagai judul Skripsi adalah :

“PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH MILIK PT.KERETA API INDONESIA DENGAN MASYARAKAT (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang). Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan berbagai keterbatasan Penulis, baik keterbatasan pengetahuan, pengalaman Penulis dalam menulis karya ilmiah, maupun segi ketersediaan literatur. Oleh karena itu, Penulis dengan besar hati mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca sekalian.

Pada kesempatan ini Penulis sampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuannya secara moril maupun materil dalam proses penyelesaian skripsi ini kepada:

1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3. Bapak Syarifudin Hasibuan, S.H., M.H., DFM., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. O.K Saidin, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku dosen pembimbing I yang banyak membantu dan membimbing maupun memberikan saran pada skripsi saya dari awal hingga akhir

5. Bapak Dr. Hasim Purba, SH.M.Hum sebagai Ketua Departemen Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

6. Ibu Rabiatul Syariah, SH.M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata.


(4)

7. Bapak Syamsul Rizal, Sh.M.Hum selaku Ketua Program khususan Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus merupakan Dosen Pembimbing II yang telah banyak membimbing dan memperbaiki kesalahan-kesalahan pada skripsi ini dan kemudian memberikan pengetahuan dan nasehat dari proses awal sampai akhir penulisan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu dosen serta semua staf administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

9. Kepada papa saya Ir.masri effendi dan mama saya Ir.syarifah dewi yang selalu memberikan dukungan yang penuh dan selalu menyayangi saya loveyou ma..pa..

10.Kepada oma, tante, om, dan sepupu-sepupu saya yang selalu mendukung dan membantu untuk menyiapkan skripsi ini dan selalu menyemangati hingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

11.Kepada sahabat-sahabat saya Yaumil Tanjung, Lily Sasmita Nst, Lisdiana Sani, Dara Lubis, Indah Fahrunisa, Diah Dhamayanti, Nadya Yusa, Anisasiregar, Cindy Soraya, Hendika Sembiring SH, Cut Raisha yang selalu menemani saya dan selalu mendukung saya dalam pembuatan skripsi ini loveyou Bellz!!

12.Kepada M-girl yaitu Azri Mulia Rezeki, Ria Angelina, SH, Cinthia Febrilla, Dewi Lubis, Desty Hernisya, SH yang hari-hari selalu menemani saya dalam membuat skripsi ini dan sama-sama berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Kepada orang yang paling spesial buat saya yaitu Fauzan Akbar Syahputra Nst makasih banyak support sama omelan omelannya tiap hari thanks seng!!

14.Kepada teman-teman sepermainan yaitu Farida Hanum, Amd, Juwita Sari Manullang, Ulfa Nabila alias Upay yang udah buat hari hari jadi berwarna hehe thanks yaa!!

15.Semua pihak yang telah membantu Penulis baik secara moril maupun materil yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu.


(5)

Demikian yang dapat Penulis sampaikan, semoga kita semua selalu dilindungi Allah SWT.

Medan, April 2015 Penulis,


(6)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI. ... iv

BAB I : P E N D A H U L U A N... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 6

C. Tujuan Penulisan ... 7

D. Manfaat Penulisan ... 7

E. Metode Penelitian ... 7

F. Keaslian Penulisan ... 10

G. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II : PERJANJIAN PADA UMUMNYA ... 13

A. Pengertian Perjanjian ... 13

B. Unsur-Unsur Perjanjian ... 16

C. Syarat-Syarat Perjanjian ... 18

D. Asas-Asas Dalam Perjanjian ... 21

BAB III : TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA 25 A. Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa Menyewa ... 25

B. Isi Perjanjian Sewa Menyewa ... 31

C. Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa ... 35


(7)

BAB IV : PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH MILIK PT.

KERETA API INDONESIA DENGAN MASYARAKAT ... 44

A. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan Masyarakat Penggn ... 44

B. Akibat Hukum Jika Dalam Perjanjian Tersebut Para Pihak Melakukan Perbuatan Wanprestasi ... 61

C. Akibat Hukum PT. Kereta Api (Persero) Memutuskan Perjanjian Secara Sepihak ... 71

BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN ... 81

A. Kesimpulan ... 81

B. Saran ... 81 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

Perjanjian Sewa Menyewa Tanah PT. Kereta Api Indonesia dengan Masyarakat Hasil Wawancara


(8)

PERJANJIAN SEWA MENYEWA TANAH MILIK PT. KERETA API INDONESIA DENGAN MASYARAKAT

(Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

WAN FITRI MARISSA NIM : 110200394

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA B

Disetujui Oleh

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. H. Hasim Purba, SH.M.Hum NIP. 19660303 198509 1 001

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. OK. Saidin, SH.M.Hum Syamsul Rizal, SH.M.Hum NIP. 19620213 199003 1 002 NIP. 19640216 198911 1 001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N


(9)

Wan Fitri Marissa *

Dr. OK. Saidin, SH. M.Hum** Syamsul Rizal, SH.M.Hum**

Perjanjian sewa menyewa tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara dilaksanakan dalam bentuk perjanjian standar kontrak yang di dalamnya tercantum hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak.

Metode yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah dengan menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan telaah pustaka (library research) untuk mentelaah data-data sekunder dan penelitian lapangan (field research) yaitu dengan melakukan penelitian di PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara Medan.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan, maka ditarik kesimpulan bahwa akibat hukum jika salah satu pihak wanprestasi adalah jika salah satu pihak melakukan perbuatan yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menimbulkan kerugian diwajibkan untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan. Dalam perjanjian sewa menyewa tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumatera Utara disebutkan bahwa apabila waktu pelaksanaan perjanjian terjadi hal-hal yang di luar dugaan atau di luar perkiraan para pihak yang diklasifikasikan sebagai force majeuryang mengakibatkan kerugian salah satu pihak, maka para pihak dapat mengajukan atau meminta pertimbangan kepada pihak lainnya untuk mendapat ganti rugi yang layak. Akibat hukum jika pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang sah, dapat diajukan tuntutan kepada pihak yang membatalkannya selama perjanjian tersebut telah berlangsung, sebaliknya apabila pembatalan secara sepihak tersebut terjadi sebelum adanya pelaksanaan perjanjian maka pembatalan itu hanya membawa pada keadaan semula yaitu keadaan yang dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.

Kata Kunci: Sewa Menyewa, Tanah Milik, Kereta Api. *Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**Dosen Pembimbing I dan Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah bagi kehidupan manusia mempunyai arti yang sangat penting, karena setiap kegiatan yang dilakukan baik perseorangan, sekelompok orang, suatu badan hukum ataupun Pemerintah pasti melibatkan soal tanah, oleh karenanya itu sebagian besar dari kehidupan manusia tergantung pada tanah.1

Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi telah memberikan konsekuensi bahwa hubungan antara manusia dengan tanah mutlak diperlukan Kebutuhan manusia akan tanah merupakan kebutuhan yang sangat mendasar dan mutlak. Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa kelangsungan hidup manusia baik sebagai individu maupun sebagai mahkluk sosial senantiasa memerlukan tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan hubungan dan memanfaatkan sumber daya tanah, baik yang ada di atas maupun yang ada didalam tanah. Tanah bagi manusia dapat dinilai sebagai suatu harta yang mempunyai sifat permanen, karena memberikan kemantapan untuk dicadangkan bagi kehidupan di masa yang akan datang.

Bangsa Indonesia meyakini bahwa tanah dalam wilayah Negara Indonesia dengan letak dan kedudukannya yang strategis sebagai kepulauan berikut keanekaragaman ekosistemnya adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia yang patut disyukuri, dilindungi dan dikelola dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

1

Ramli Zein, Hak Penggelolaan Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal. 2


(11)

adanya penataan dan pengaturan yang lebih seksama, khususnya yang berkenaan dengan penguasaan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaanya.2

Tanah yang merupakan permukaan bumi dan tubuh bumi menurut Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang selanjutnya disebut Undang Undang Pokok Agraria ( UUPA ) merupakan elemen yang sangat vital bagi bangsa Indonesia dalam rangka melaksanakan pembangunan nasional untuk mewujudkan kemakmuran rakyat.3

Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan dan sifat dari haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan kebahagiaan yang Kemajuan pembangunan, pertambahan penduduk dan derasnya arus globalisasi semakin mendudukkan masalah pertanahan pada posisi yang semakin penting. Dengan demikian masalah pertanahan akan menyangkut berbagai macam aspek antara lain politik, ekonomi, sosial dan pertahanan keamanan, yang harus ditangani dengan penuh kehati-hatian dan kearifan.

Pasal 6 Undang-Undang Pokok Agraria yang memuat pernyataan penting mengenai hak atas tanah, yang merumuskan secara singkat sifat kebersamaan atau kemasyarakatan hak-hak atas tanah menurut konsepsi yang mendasari hukum tanah nasioanal, Pasal 6 tersebut berbunyi: “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seorang tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apabila kalau hal itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

2Ibid

, hal.3

3

Imam Sutiknjo, Politik Hukum Agraria, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2000, hal 35


(12)

mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan negara. Tetapi dari pada itu, ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria memperhatikan kepentingan-kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapai tujuan pokok: kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.4

Dengan demikian tanah yang dihaki seseorang bukan hanya mempunyai fungsi bagi yang empunya hak itu saja, tetapi juga bagi bangsa Indonesia seluruhnya.5

Sehubungan dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya, bahwa tanah itu harus diperhatikan baik-baik, agar bertambah

Sebagai konsekuensinya, dalam mempergunakan tanah yang bersangkutan bukan hanya kepentingan yang berhak sendiri saja yang dipakai sebagai pedoman, tetapi harus diingat dan diperhatikan kepentingan masyarakat, harus diusahakan adanya keseimbangan antara kepentingan yang mempunyai dan kepentingan masyarakat. Kepentingan umum harus diutamakan daripada kepentingan pribadi, sesuai dengan asas-asas hukum yang berlaku bagi terselenggaranya kehidupan bersama dalam masyarakat. Tetapi biarpun demikian kepentingan individu juga tidak diabaikan, karena seperti telah dikemukakan diatas, hak individu atas tanah dihormati dan dilindungi oleh hukum, maka jika kepentingan umum menghendaki didesaknya kepentingan individu, hingga yang terakhir ini mengalami kerugian, maka kepadanya harus diberikan pengganti kerugian.

4

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I dan II, Prestasi pustaka, Jakarta, 2002, hal.25


(13)

kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Hal ini sesuai dengan Pasal 15 Undang-Undang Pokok Agraria bahwa Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah, dalam pelaksanaan ketentuan tersebut diperhatikan kepentingan pihak yang ekonomi lemah. Pemeliharaan tanah dilaksanakan dengan cara-cara yang lazim dikerjakankan didaerah yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan.

Tanah harus dikuasai dan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pemilik tanah, apabila tanah tersebut ditelantarakan maka tanah dapat dikuasai oleh orang lain.6

6Ibid

, hal.29

Banyak terjadi kasus bahwa tanah-tanah yang lama tidak dipergunakan oleh pemiliknya dikuasai oleh pihak lain yang tidak berhak. Pemakaian tanah tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan hukuman pidana, akan tetapi hal tersebut tidak selalu dilakukan tuntutan pidana, atau dapat diselesaiakan secara lain dengan mengingat kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan dan rencana peruntukan serta penggunaan tanah yang bersangkutan, misalnya rakyat yang mendudukinya dapat dipindahkan ketempat lain atau jika dipadang perlu dapat pula dilakukan pengosongan dengan paksa tanpa perlu adanya perantara atau keputusan pengadilan. Karena persoalannya tidak sama disetiap daerah, maka titik berat kebijaksanaanya diserahkan para penguasa daerah, hingga dapat lebih


(14)

diperhatikan segi-segi dan coraknya yang khusus sesuai situasi dan kondisi daerah.

Sebagaimana diketahui bahwa masih banyak tanah-tanah milik PT. Kereta Api (Persero) pada pinggiran sepanjang rel kereta api yang pada jalur tersebut tidak aktif lagi dilintasi oleh kereta api. Untuk menghindari adanya penggunaan tanah-tanah tersebut oleh masyarakat secara melawan hukum, maka PT. Kereta Api (Persero) menata kembali kepemilikan tanah tersebut dengan cara mengadakan perjanjian sewa menyewa dengan masyarakat untuk mempergunakan tanah kosong disepanjang lintasan rel kereta api yang sudah tidak digunakan lagi.

Perjanjian sewa menyewa pemakaian tanah milik PT. Kereta Api (Persero) tersebut, maka pihak penyewa harus mematuhi segala persyaratan yang telah ditentukan dan penggunaan atau pemanfaatan tanah tersebut tidak boleh bertentangan dengan kepentingan pihak PT. Kereta Api (Persero).

Perjanjian pemanfaatan tanah tersebut, maka PT. Kereta Api (Persero) sebagai pihak yang menyewakan mempunyai kewajiban untuk menyerahkan tanah untuk dimanfaatkan oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang menyewa yaitu masyarakat adalah membayar harga sewa. Jadi, tanah milik PT. Kereta Api (Persero) diserahkan kepada penyewa tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam perjanjian jual beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersifat menyerahkan kekuasaan belaka atas tanah yang disewa itu.

Perjanjian sewa menyewa antara PT. Kereta Api (Persero) dengan masyarakat juga disebutkan bahwa pihak penyewa harus membayar uang


(15)

pemakaian tanah tersebut dengan tarif yang berlaku. Jika dalam perjanjian pemanfaatan tanah milik PT. Kereta Api (Persero) pihak penyewa tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan, maka pihak penyewa dikatakan telah melakukan suatu perbuatan wanprestasi sehingga dapat dituntut untuk memberikan ganti rugi kepada pihak PT. Kereta Api (Persero) atau pihak yang menyewakan dapat memutuskan perjanjian sewa menyewa tersebut secara sepihak tanpa ada ganti rugi kepada pihak penyewa.

Permasalahan timbul dalam perjanjian sewa menyewa tanah milik PT. Kereta Api Indonesia disebabkan karena wanprestasi. Wanprestasi yang dilakukan masyarakat yang menyewa tanah tersebut karena tidak mengembalikan tanah yang disewa setelah berakhirnya perjanjian. Dengan tidak mengembalikan tanah milik PT. Kereta Api Indonesia, maka timbul permasalahan hukum yaitu pihak PT. Kereta Api Indonesia akan melakukan penggusuran dan meminta pihak penyewa untuk segera mengosongkan dan mengembalikan tanah kepada pihak PT. Kereta Api Indonesia.

Dengan latar belakang di atas, maka dipilih judul skripsi tentang: “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik PT. Kereta Api Dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang).”

B. Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana bentuk perjanjian sewa menyewa antara PT. Kereta Api (Persero)

dengan masyarakat masyarakat ?

2. Bagaimana akibat hukum jika dalam perjanjian tersebut para pihak melakukan perbuatan wanprestasi ?


(16)

3. Bagaimana penyelesaian jika dalam perjanjian sewa menyewa tersebut terjadi perselisihan ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk perjanjian sewa menyewa antara PT. Kereta Api

(Persero) dengan masyarakat masyarakat.

2. Untuk mengetahui akibat hukum jika dalam perjanjian tersebut para pihak melakukan perbuatan wanprestasi.

3. Untuk mengetahui penyelesaian jika dalam perjanjian sewa menyewa tersebut terjadi perselisihan

D. Manfaat Penulisan

Manfaat penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoretis penelitian ini diharapkan menjadi bahan untuk pengembangan wawasan dan kajian lebih lanjut bagi teoretis yang ingin mengetahui dan memperdalam tentang perjanjian.

2. Secara praktis adalah memberikan sumbangan pikiran bagi masyarakat dan pihak-pihak yang berhubungan dengan perjanjian sewa menyewa pemanfaatan tanah milik PT. Kereta Api (Persero).

E. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Pengelompokan jenis-jenis penelitian tergantung pada pedoman dari sudut pandang mana pengelompokan itu ditinjau. Ditinjau dari jenis penelitian ini


(17)

termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan sebuah kondisi/fenomena hukum dengan legalitas secara lebih mendalam/lengkap mengenai status sosial dan hubungan antar fenomena. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah menghasilkan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok, menggambarkan sebuah proses atau hubungan, menggunakan informasi dasar dari suatu hubungan teknik dengan definisi tentang penelitian ini dan berusaha menggambarkan secara lengkap perjanjian sewa menyewa pemanfaatan tanah milik PT. Kereta Api (Persero).7

2. Sumber Data.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Dalam perspektif yuridis dimaksudkan untuk menjelaskan dan memahami makna dan legalitas peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perjanjian sewa menyewa. Penelitian yuridis empiris adalah dengan melakukan wawancara secara langsung kepada pimpinan PT. Kereta Api (Persero).

Data yang kemudian diharapkan dapat diperoleh di tempat penelitian maupun di luar penelitian adalah :

a. Data primer

Data primer, adalah data yang diperoleh dari tangan pertama, dari sumber asalnya yang belum diolah dan diuraikan orang lain. Untuk memperoleh data primer peneliti melakukan studi lapangan, yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan wawancara (interview). Wawancara, adalah bertanya

7

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003, hal.16.


(18)

langsung secara bebas kepada responden dengan mempersiapkan terlebih dahulu daftar pertanyaan secara terbuka sebagai pedoman.

b. Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti yang sebelumnya telah diolah orang lain. Untuk memperoleh data sekunder peneliti melakukan studi kepustakaan. Studi kepustakaan adalah penelitian terhadap bahan-bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan ini, sebagai bahan referensi untuk menunjang keberhasilan penelitian. Studi kepustakaan/data sekunder terdiri dari:

1) Bahan hukum primer, terdiri dari bahan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum positif termasuk peraturan perundang-undangan dan website. 2) Bahan hukum sekunder atau sering dinamakan Secondary data yang antara

lain mencakup di dalamnya:

a) Kepustakaan/buku literatur yang berhubungan dengan jual beli. b) Data tertulis yang lain berupa karya ilmiah para sarjana.

c) Referensi-referensi yang relevan dengan perjanjian sewa menyewa. 3) Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberi petunjuk dan penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ekslopedia, Kamus umum dan lain sebagainya.

3. Alat Pengumpul Data.

Alat pengumpul data yang digunakan penulis adalah data primer yaitu wawancara. Alat pengumpul data digunakan dalam penelusuran data sekunder adalah studi dokumentasi atau melalui penelusuran literatur. Kegiatan yang akan dilakukan dalam pengumpulan data dalam penelitian ini yaitu studi pustaka


(19)

dengan cara identifikasi isi. Alat pengumpulan data dengan mengindentifikasi isi dari data sekunder diperoleh dengan cara membaca, mengkaji, dan mempelajari bahan pustaka baik berupa peraturan perundang-undangan, artikel dari internet, makalah seminar nasional, jurnal, dokumen, dan data-data lain yang mempunyai kaitan dengan data penelitian ini.

4. Analisis Data.

Data yang dikumpulkan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat menghasilkan jawaban yang tepat dari suatu permasalahan, maka perlu suatu teknik analisa data yang tepat. Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil penelitian menjadi suatu laporan.8

F. Keaslian Penulisan

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian hukum ini menggunakan pola pikir/logika induktif, yaitu pola pikir untuk menarik kesimpulan dari kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum. Pada dasarnya pengolahan dan analisis data bergantung pada jenis datanya. Pada penelitian hukum berjenis normatif, maka dalam mengolah dan menganalisis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier tidak dapat lepas dari berbagai penafsiran hukum yang dikenal dalam ilmu hukum.

Skripsi ini berjudul “Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik PT. Kereta Api Indonesia Dengan Masyarakat (Studi Kasus Desa Batang Kuis Kabupaten Deli Serdang)”. Di dalam penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan perjanjian sewa menyewa tanah milik PT.

8Ibid


(20)

Kereta Api Indonesia dengan masyarakat, baik melalui literatur yang diperoleh dari perpustakaan maupun media cetak maupun elektronik dan disamping itu juga diadakan penelitian. Dan sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini dilakukan pemeriksaan pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau belum terdapat di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Apabila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini penulis buat, maka hal itu menjadi tanggung jawab penulis sendiri.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan tersebut secara keseluruhan dapat diuraikan, yaitu :

Bab I : Pendahuluan, yang menjadi sub bab terdiri dari, yaitu Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penelitian, Sistematika Penulisan

Bab II : Tinjauan Umum Tentang Perjanjian meliputi : Pengertian Perjanjian, Unsur-Unsur Perjanjian, Syarat-Syarat Perjanjian, Asas-Asas Dalam Perjanjian.

Bab III Tinjauan Tentang Perjanjian Sewa Menyewa meliputi : Pengertian dan Pengaturan Perjanjian Sewa Menyewa, Isi Perjanjian Sewa Menyewa, Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa, Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa.

BAB IV Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik PT. Kereta Api Indonesia Dengan Masyarakat meliputi : Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Antara PT. Kereta Api (Persero) Dengan Masyarakat Penggarap, Akibat Hukum Jika Dalam Perjanjian Tersebut Para Pihak Melakukan Perbuatan Wanprestasi, Akibat Hukum PT. Kereta Api (Persero) Memutuskan Perjanjian Secara Sepihak.


(21)

BAB II

PERJANJIAN PADA UMUMNYA A. Pengertian Perjanjian

Dalam Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.9

Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.

Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Yang menjadi masalah adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti yang sama.

10

a) Hanya menyangkut sepihak saja

Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.

Dari kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dapat dibaca dengan perjanjian.

Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian dalam KUH Perdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.

Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja “mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak.

9

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio., Terjemahan KUH.Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004, hal.306.

10


(22)

Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.

b) Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus

Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”.

c) Pengertian perjanjian terlalu luas

Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.

d) Tanpa menyebut tujuan

Dalam perumusan pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.11 Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum”.12

M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian adalah “hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.13

R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.14

11

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002, hal. 78

12

Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2008, hal. 97.

13

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung, 2006, hal. 6

14

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Tanah. Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 11.


(23)

Dari beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah : 1. Terdapatnya para pihak yang berjanji;

2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian hendak; 3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum; 4. Terletak dalam bidang harta kekayaan;

5. Adanya hak dan kewajiban para pihak; 6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat;

Dari 6 unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan konsep perjanjian yang menurut paham KUH Perdata dikatakan perjanjian hanya merupakan perbuatan (handeling), selanjutnya oleh para sarjana disempurnakan menjadi perbuatan hukum (rechtshandeling) dan perkembangan terakhir dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan hukum. Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.

Sudikno Mertokusumo menjelaskan :

Perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian sebagai berikut : bahwa perbuatan hukum (rechtshandeling) yang selama ini di maksudkan dalam pengertian perjanjian adalah satu perbuatan hukum bersisi dua (een tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan penerimaan (aanvaarding). Berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep


(24)

perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum (rechtsverhoudingen). 15

Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut, Purwahid Patrik menyimpulkan bahwa “perjanjiian dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan hukum sepihak”.16

Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.

Perjanjian itu adalah merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu. Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur, sedangkan pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.

17

B. Unsur-Unsur Perjanjian

Berdasarkan perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

15

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 7-8.

16

Purwahid Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000, hal.15.

17

Djanius Djamin dan Syamsul Arifin., Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan, 2001, hal.153.


(25)

1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak

Dikatakan pihak bukan orang karena mungkin sekali dalam suatu perikatan terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihaknya tetap dua.

2. Ada persetujuan antara para pihak, mengenai : a. Tujuan

b. Prestasi

c. Bentuk tertentu lisan/tulisan

d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian

Dalam perjanjian itu sendiri terdapat 3 (unsur), yaitu sebagai berikut : 1. Unsur essensialia

Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya perjanjian, mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya perjanjian.

2. Unsur naturalia;

Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan atau melekat pada perjanjian. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Jadi sifat unsur ini adalah aanvullendrecht (hukum mengatur).


(26)

3. Unsur accidentalia

Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian artinya undang–undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus secara tegas diperjanjikan para pihak.18

C. Syarat-Syarat Perjanjian

KUH. Perdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.

Adapun keempat syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH. Perdata tersebut adalah :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. 3. Suatu hal tertentu.

4. Suatu sebab yang halal.

ad.1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

Dengan kata sepakat dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, para pihak setuju atau seia sekata mereka mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain. Mereka menghendaki sesuatu hal yang sama secara timbal balik, misalnya

18


(27)

seorang penjual suatu benda untuk mendapatkan uang, sedang si pembeli menginginkan benda itu dari yang menjualnya.

Dalam hal ini kedua belah pihak dalam suatu perjanjian harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan.

ad.2. Kecakapan untuk membuat perjanjian.

Kecakapan di sini orang yang cakap yang dimaksudkan adalah mereka yang telah berumur 21 tahun atau belum berumur 21 tahun tetapi telah pernah kawin. Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 pria sudah mencapai usia 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai usia 16 tahun. Tidak termasuk orang-orang sakit ingatan atau bersifat pemboros yang karena itu oleh Pengadilan diputuskan berada di bawah pengampuan dan seorang perempuan yang masih bersuami.

Mengenai seorang perempuan yang masih bersuami setelah dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963, maka sejak saat itu seorang perempuan yang masih mempunyai suami telah dapat bertindak bebas dalam melakukan perbuatan hukum serta sudah diperbolehkan menghadap di muka Pengadilan tanpa seizin suami.

ad.3. Suatu hal tertentu.

Suatu hal tertentu maksudnya adalah sekurang-kurangnya macam atau jenis benda dalam perjanjian itu sudah ditentukan, misalnya jual beli beras sebanyak 100 kilogram adalah dimungkinkan asal disebutkan macam atau jenis


(28)

dan rupanya, sedangkan jual beli beras 100 kilogram tanpa disebutkan macam atau jenis, warna dan rupanya dapat dibatalkan.

ad.4. Suatu sebab yang halal.

Dengan syarat ini dimaksudkan adalah tujuan dari perjanjian itu sendiri. Sebab yang tidak halal adalah berlawanan dengan Undang-Undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Dari syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.

Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek-subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.19

1. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan.

Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Akibat perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1338 KUH. Perdata yang menyebutkan :

19Ibid


(29)

2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

3. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Dengan demikian, perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUH. Perdata berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian. Artinya pihak-pihak harus mentaati isi perjanjian seperti mereka mentaati Undang-Undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap sama dengan melanggar Undang-Undang. Perjanjian yang dibuat secara sah mengikat pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.

D. Asas-Asas Dalam Perjanjian

Arti asas secara etimologi adalah dasar (sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat)”20 Mahadi menjelaskan bahwa asas adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan.21

Apabila arti asas tersebut diartikan sebagai bidang hukum maka dapat diperoleh suatu makna baru yaitu asas hukum merupakan dasar atau pikiran yang melandasi pembentukan hukum positif. Dengan perkataan lain asas hukum

20

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2008, hal.52

21

Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009, hal.119


(30)

merupakan suatu petunjuk yang masih bersifat umum dan tidak bersifat konkrit seperti norma hukum yang tertulis dalam hukum positif. Bellefroid memberikan pengertian asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum positif dan oleh ilmu hukum tidak dianggap berasal dari aturan yang lebih umum. Asas hukum merupakan pengendapan hukum positif dalam suatu masyarakat.22 Jadi pembentukan hukum sebagaimana yang dikatakan oleh Eikema Hommes adalah praktis berorientasi pada asas-asas hukum, dengan perkataan lain merupakan dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif”.23

Oleh karena sedemikian pentingnya asas hukum ini dalam suatu sistem hukum, maka asas hukum ini lazim juga disebut sebagai jantungnya peraturan hukum, disebut demikian kata Satjipto Rahardjo karena dua hal yakni, pertama, asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, artinya peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Kedua, sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum.24

Asas-asas hukum perjanjian itu, menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut :25

1. Asas kebebasan berkontrak

Terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH. Perdata yang menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Undang-undang-undang memperbolehkan

22

Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal.32.

23

Ibid., hal.33.

24

Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2006, hal.85.

25

Mariam Darus Badrulzaman, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan, 2007, hal.17


(31)

membuat perjanjian berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya. Tujuan dari pembuat undang-undang menuangkan kebebasan berkontrak dalam bentuk formal, sebagai suatu asas dalam hukum perjanjian adalah untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum dilapangan hukum perjanjian.

2. Asas Pacta Sunt Servanda.

Asas ini merupakan asas yang berhubungan dengan mengikatnya suatu perjanjian. Perjanjian yang dibuat secara sah oleh para pihak adalah mengikat bagi mereka yang membuatnya sendiri seperti undang-undang, kedua belah pihak terikat oleh kesepakatan dalam perjanjian yang mereka buat.

3. Asas Konsensualisme

Suatu perjanjian cukup adanya kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu tanpa diikuti dengan perbuatan hukum yang lain.

4. Asas Itikad Baik

Menurut Pasal 1338 ayat (3) KUH. Perdata, semua perjanjian itu harus dilaksanakan dengan itikad baik.

5. Asas Kekuatan Berlakunya Suatu Perjanjian

Pada prinsipnya semua perjanjian itu hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya saja, tidak ada pengaruhnya bagi pihak ketiga, diatur dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUH. Perdata.

6. Asas Kepercayaan

Seseorang mengadakan perjanjian dengan pihak lain menumbuhkan kepercayaan diantara kedua belah pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya atau memenuhi prestasinya.


(32)

7. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, sehingga para pihak wajib menghormati satu sama lain.

8. Asas Keseimbangan

Asas ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu.

9. Asas Kepastian Hukum

Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

10.Asas Moral

Terdapat dalam Pasal 1339 KUH. Perdata, dalam asas ini terdapat faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum berdasarkan pada moral-moral

11.Asas Kebiasaan

Asas ini terdapat dalam Pasal 1347 KUH. Perdata, suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazim diikuti.


(33)

BAB III

TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA

A. Pengertian Tentang Perjanjian Sewa Menyewa

Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya. Demikianlah definisi yang diberikan oleh Pasal 1548 KUHPerdata mengenai perjanjian sewa menyewa. Jadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam sewa-menyewa ada tiga unsur sesuai dengan Pasal 1548 KUHPerdata tersebut, yaitu:

1. Adanya suatu benda. 2. Adanya harga tertentu.

3. Adanya suatu jangka waktu tertentu.

Karena yang diserahkan oleh yang menyewakan kepada penyewa bukanlah hak milik atas benda, melainkan hanyalah hak nikmat saja, maka yang menyewakan tidak perlu pemiliknya sendiri dari benda yang disewakannya, cukuplah bilamana yang menyewakan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan pengelolaan (exploitasi) yang bersangkutan, misalnya: seseorang yang memiliki nikmat hasil.

Sewa menyewa, seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual, artinya ia sudah sah mengikat pada detik tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan


(34)

kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar “harga sewa”, jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki, akan tetapi dipakai, dan dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersipat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu.26

Pasal 1550 KUHPerdata, bahwa pihak yang menyewakan mempunyai Kewajiban:

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak usah pemilik dari barang tersebut, dengan demikian maka seorang yang mempunyai hak nikmat hasil, dapat secara sah menyewakan barang yang dikuasainya dengan hal tersebut.

Jika seorang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar suatu kewajiban apapun, maka yang terjadi, adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika si pemakai barang diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai yang terjadi, tetapi sewamenyewa.

Dasar hukum sewa-menyewa adalah sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1548, yang berbunyi sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Sedangkan yang dimaksud dengan barang, adalah semua jenis barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak dapat disewakan sebagaimana bunyi Pasal 1549 (2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

26


(35)

1. Menyerahkan benda atau barang yang disewakan kepada si penyewa.

2. Memelihara benda atau barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.

3. Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dan damai dari barang yang disewakan, selama berlangsungnya perjanjian sewa-menyewa, dan tidak adanya cacat yang merintangi pemakaian barang yang disewa.

4. Selama berlangsungnya perjnjian sewa-menyewa, melakukan pembetulan-pembetulan pada barangnya yang disewakan yang perlu dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi kewajiban si penyewa.

5. Ia juga harus menanggung si penyewa, terhadap semua cacat dari barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu, walapun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian sewa menyewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan sesuatu kerugian bagi sipenyewa maka kepadanya pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi (Pasal 1551 dan Pasal 1552 KUHPerdata).

Kewajiban memberikan kenikmatan dan ketentraman kepada si penyewa, dimaksud sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga, misalnya membantah hak si penyewa untuk memakai barang yang disewakan. Kewajiban tersebut tidak meliputi pengamanan terhadap gangguan-gangguan fisik, misalnya orangorang melempari rumahnya dengan batu atau tetangga membuang sampah di pekarangan yang disewa dan lain sebagainya.


(36)

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1556 KUHPerdata yang berbunyi: Pihak yang menyerahkan tidaklah diwajibkan menjamin si penyewa terhadap rintangan-rintangan dalam kenikmatannya yang dilakukan oleh orang-orang pihak ke tiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa mengajukan suatu hak atas barang yang disewa dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut sendiri orang itu.

Pihak yang menyewakan, berhak atas:

1. Uang sewa yang harus di bayar oleh penyewa pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa.

2. Pandbeslag, yaitu penyitaan yang dilakukan oleh Pengadilan atas permohonan yang menyewakan mengenai perobot-perabot rumah yang berada dirumah yang disewakan, dalam hal penyewa menunggak uang sewa rumah untuk dilelang dalam hal penyewa tidak membayar lunas tunggakan uang sewa itu.27

Penyewa, ada dua kewajiban utama menurut Pasal 1560 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

1. Memakai barang yang disewakan sebagai seorang kepala keluaraga yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewamenyewa.

2. Membayar uang sewa pada waktu dan tempat yang telah disetujui dalam perjanjian sewa-menyewa.

3. Melengkapi dengan perabot rumah secukupnya bilamana obyek perjanjian sewa-menyewa itu rumah tinggal. Jika tidak, sebagaimana Pasal 1581 KUHPerdata, penyewa dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah yang disewanya itu dengan perantaraan pengadilan, kecuali penyewa dapat memberi jaminan cukup untuk pembayaran sewa. Perlengkapan rumah sewa dengan perabot cukup banyak dimaksudkan sebagai jaminan pembayaran, yang dapat disita oleh pengadilan (pandbeslag), apabila yang menyewakan menuntut penyewa dimuka pengadilan dalam hal penyewa menunggak pembayaran uang sewa.

4. Melakukan reparasi atau perbaikan kecil sehari-hari sesuai Pasal 1583 KUHPerdata.28

27

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.61.

28Ibid


(37)

Penyewa berhak atas:

1. Penyerahan barang dalam keadaan terpelihara sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluan yang diperlukan.

2. Jaminan dari yang menyewakan mengenai kenikmatan tenteram dan damai dan tidak adanya cacat yang merintangi pemakaian barang yang disewanya.29

Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang kepala keluarga yang baik berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang kepunyaannya sendiri. Jika si penyewa memakai barang yang disewakan untuk suatu keperluan lain dari pada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak ini, menurut keadaan, dapat meminta pembatalan sewanya (Pasal 1561 KUHPerdata). Misalnya, sebuah rumah kediaman, dipakai untuk perusahaan atau bengkel mobil. Kalau yang disewa itu sebuah rumah kediaman, maka si penyewa diwajibkan memperlengkapi rumah itu dengan perabot rumah secukupnya, jika tidak, ia dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah itu, kecuali jika ia memberikan cukup jaminan untuk pembayaran uang sewa (Pasal 1581 KUHPerdata).

Berdasarkan hal tersebut, maka perabot rumah itu dijadikan jaminan untuk pembayaran uang sewa. Hal ini menemukan realisasinya dalam apa yang dinamakan pandbeslag. Penyewa diwajibkan melakukan pembetulan-pembetulan kecil sehari-hari. Pasal 1583 KUHPerdata memberikan penjelasan tentang apa yang di maksud dengan pembetulan-pembetulan kecil dan sehari-hari sebagai

29Ibid


(38)

berikut: Jika tidak ada perjanjian, maka dianggap sebagai demikian pembetulan-pembetulan pada lemari-lemari toko, tutupan jendela, kunci-kunci dalam, kaca-kaca jendela, baik di dalam maupun diluar rumah dan segala sesuatu yang dianggap termasuk itu, menurut kebiasaan setempat.

Seorang penyewa rumah, oleh Pasal 1591 KUHPerdata ditetapkan kewajiban, atas ancaman membayar ganti rugi, untuk melaporkan kepada si pemilik tanah tentang segala peristiwa yang dilakukan diatas pekarangan-pekarangan yang disewa. Maksudnya, adalah bahwa si pemilik dapat mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menghentikan perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan pada tanah miliknya.

Dengan demikian perjanjian sewa menyewa yang telah disepakati persetujuannya oleh pihak-pihak, baik pengusaha maupun penyewa, hal ini bisa terjalin hubungan yang nyata (aktual) antara pemilik dengan penyewa, jika kedua belah pihak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.

Perjanjian sewa menyewa juga diatur dalam Buku III KUHPerdata bab ke-7 yang mengatur hak dan kewajiban penyewa dan yang menyewakan. Sewa menyewa merupakan jenis perjanjian yang termasuk di dalamnya antara lain: perjanjian jual beli, perjanjian sewa pakai, perjanjian sewa beli dan lain-lain.

Perjanjian sewa menyewa tidak terlepas dari pada perjanjian pada umumnya. Karena perjanjian yang secara umum (universil) termasuk di dalam suatu perjanjian sewa menyewa. Perjanjian seperti ini menganut asas konsens.


(39)

Artinya persetujuan sah dan mengikat kedua belah pihak setelah ada kesepakatan dan mempunyai unsur pokok, yaitu tanah dan harga.

Tanah atau jenisnya yang disewakan oleh kreditur kepada penyewa yaitu rumah sudah mempunyai perjanjian yang mengikat, kantor yang disewa oleh debitur dipergunakan untuk meningkatkan taraf hidup perekonomian bagi si penyewa dengan cara mempergunakan rumah tersebut. Dengan cara menggunakan rumah inilah sebabnya penyewa ingin menyewa rumah tersebut dan dengan memenuhi kewajibannya sebagai seorang penyewa.

Objek sewa menyewa yaitu benda bergerak dan benda tidak bergerak. Namun dengan perkembangan zaman modern ini, bukan hanya benda bergerak tetapi jasa (imbalan) misalnya gas sudah dapat disewakan. Dari jenis-jenis yang boleh disewakan tersebut di atas, semua tunduk pada peraturan sewa menyewa yang diatur pada Pasal 1548 s/d Pasal 1600 KUHPerdata.

B. Isi Perjanjian Sewa Menyewa.

Perjanjian pada kenyataannya tidak selalu dibuat secara tertulis, tetapi ada juga secara lisan. Hal ini merupakan salah satu dari asas kebebasan berkontrak. Namun karena perkembangan kesadaran hukum yang meningkat pesat telah mendorong para pihak untuk membuat perjanjian ini dihadapan pejabat yang berwenang sehingga merupakan suatu akta autentik.

Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata menyebutkan bahwa persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Namun dalam prakteknya para pihak sering tidak konsekuen


(40)

dengan apa yang diperjanjikan, maka tidak jarang suatu perjanjian pada akhirnya harus diselesaikan melalui pengadilan yang banyak memakan biaya dan waktu. Dalam hal ini perjanjian yang dibuat secara lisan akan mengalami kesulitan pembuktian di pengadilan.

Demikian juga perjanjian sewa menyewa tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan masyarakat, bentuk perjanjiannya adalah berbentuk tertulis yang dituangkan dalam bentuk standar kontrak, syarat-syarat perjanjian ditentukan oleh pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero)ia selaku pihak pengelola atau pihak yang menyewakan tanah.

Adapun yang dimaksud dengan perjanjian standar adalah suatu bentuk perjanjian yang mengatur hubungan para pihak yang telah ditentukan sebelumnya dalam bentuk formulir oleh pihak yang posisinya lebih kuat dan tidak bisa dirubah kecuali ditentukan lain.

Mengenai isi perjanjian standar tidak ada ditentukan dalam KUHPerdata, dengan demikian maka para pihak dapat menentukan sendiri sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang disimpulkan dari Pasal 1338 KUHPerdata yang menyebutkan, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.


(41)

Perjanjian sewa menyewa tanah isinya mengenai, hal-hal sebagai berikut:

1. Definisi. 2. Ruang lingkup

3. Hak dan kewajiban penyewa. 4. Larangan.

5. Harga sewa.

6. Jangka waktu perjanjian. 7. Tatacara pembayaran 8. Sanksi

9. Pernyataan dan Jaminan. 10.Beerakhirnya perjanjian

Perjanjian sewa menyewa tentunya akan menimbulkan hubungan hukum antara para pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak secara timbal balik. Hubungan kewajiban dan hak secara timbal balik yang timbul karena adanya peristiwa hukum berupa perbuatan, kejadian atau keadaan.

Hubungan kewajiban dan hak tersebut terjadi baik karena perjanjian maupun karena ketentuan undang-undang, sedangkan peristiwa hukum yang menimbulkan hubungan hak dan kewajiban ini terbatas pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pihak dalam pemanfaatan tanah tersebut.

Subyek dari perjanjian adalah para pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa yaitu pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang


(42)

menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa rumah dari pihak yang menyewakan.

Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan tanah untuk dinikmati oleh pihak yang lain sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar harga sewa. Jadi tanah yang diserahkan tidak untuk dimiliki seperti halnya dalam jual beli, tetapi hanya untuk dipakai, dinikmati kegunaannya.

Kewajiban pihak yang menyewakan adalah memberikan tanah untuk dinikmati dan penyewa menerima tanah itu dan mempunyai hak menikmati hasil serta secara sah ia akan menguasai. Penyerahan tanah yang dilakukan oleh si kreditur kepada debitur, hanya penyerahan dinikmati tanah tersebut, bukan menyerahkan hak milik tanah itu. Keberadaan penyerahan suatu tanah merupakan kewajiban secara hukum.

Bagi pihak penyewa ada mempunyai kewajiban yaitu melakukan suatu pembayaran. Tanpa suatu pembayaran itu bukan merupakan sewa menyewa, melainkan perjanjian pinjam pakai. Artinya suatu persetujuan antara kreditur dengan debitur dan tanah tersebut dipakai oleh debitur secara cuma-cuma dan akan dikembalikan setelah lewat waktu yang telah ditentukan.

Seseorang diserahi suatu tanah untuk dipakainya tanpa kewajiban sesuatu apa, maka yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika si pemakai tanah itu diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai yang terjadi tetapi sewa menyewa. Harga sewa menyewa pembayaran suatu harga biasanya pembayaran yang dilakukan dalam bentuk uang.


(43)

Kedua belah pihak dalam melakukan perjanjian sewa menyewa maka tidaklah terlepas dari hak dan kewajiban yang harus dilakukan atau dipenuhi oleh kedua belah pihak. Karena keterikatan pihak-pihak di dalam perjanjian sewa menyewa maka timbul suatu tanggung jawab untuk memenuhi transaksi yang disepakati.

Kewajiban memberikan kenikmatan tenteram kepada penyewa dimaksudkan sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga yang misalnya membantah hak si penyewa untuk memakai tanah yang disewanya. Kewajiban tersebut tidak meliputi pengamanan terhadap gangguan-ganguan fisik.

Hal-hal yang diuraikan di atas adalah merupakan kewajiban dari pihak yang menyewakan yang merupakan hak-hak yang dapat dinikmati oleh si penyewa.

C. Wanprestasi dalam Perjanjian Sewa Menyewa

Undang Undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh Undang Undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

Istilah “semua” pembentuk undang undang menunjukan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian bernama. Di dalam istilah “semua” itu, menunjukan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya (will), yang rasanya baik untuk


(44)

menciptakan perjanjian asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.30

1. Isi perjanjian

Istilah secara sah pembentuk Undang Undang hendak menunjukan bahwa pembuatan perjanjian harus menurut hukum. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah adalah mengikat. Pengertian secara sah disini ialah bahwa perbuatan perjanjian harus mengikuti apa yang ditentukan oleh pasal 1320 KUHPerdata.

Berdasarkan Pasal 1329 dan Pasal 1327 KUHPerdata, dapat disimpulkan bahwa isi perjanjian terdiri dari elemen-elemen sebagai berikut:

2. Kepatutan 3. Kebiasaan.

Isi perjanjian adalah apa yang dinyatakan secara tegas oleh kedua belah pihak di dalam perjanjian itu. Kepatutan ialah ulangan dari kepatuhan yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Kebiasaan adalah yang diatur dalam Pasal 1339 KUHPerdata berlainan dengan yang terdapat dalam Pasal 1347 KUHPerdata. Kebiasaan yang tersebut dalam Pasal 1339 KUHPerdata bersifat umum, sedangkan yang disebutkan Pasal 1427 KUHPerdata ialah kebiasaan yang hidup ditengah masyarakat khusus (bestending gebruikelijk beding),31

30

Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). PT. Citrar Aditya Bhakti, Bandung, 2001, hal.18.

31

Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal.24

misalnya pedagang. Hal yang dimaksud dengan undang undang di atas adalah undang undang pelengkap, undang undang yang bersifat memaksa tidak dapat dilanggar para pihak.


(45)

Urutan isi perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata, mengenai keputusan peradilan mengalami perubahan sehingga urutan dari elemen isi perjanjian menjdai sebagai berikut:

1. Isi perjanjian 2. Undang Undang 3. Kebiasaan. 4. Kepatuhan.32

Hal ini didasarkan pada Pasal 3 A.B (algemene bepaligen) yang menentukan bahwa kebiasaan hanya diakui sebagai sumber hukum jika ditunjuk oleh undang undang.

Perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat subyektif dan obyektif seperti yang disebutkan dalam pasal 1338 KUHPerdata, maka:

1. Perjanjian itu berlaku sebagai Undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 2. Perjanjian itu mengikat para pihak sebagaimana Undang-undang.

3. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan para pihak.33 Para pihak yang melanggar perjanjian atau wanprestasi, maka berakibat: 1. Membayar ganti rugi (Pasal 1243 KUHPerdata).

2. Perjanjian dapat diputuskan (Pasal 1226 KUHPerdata).

3. Menanggung beban resiko ( Pasal 1237 ayat (2) KUHPerdata).

4. Membayar perkara jika diperkarakan dimuka Hakim (Pasal 1281 ayat (1) KUHPerdata).34

32Ibid

, hal.25

33

J. Satrio, Op.Cit, hal.56


(46)

Itikad baik dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang Undang Hukum Perdata merupakan ukuran objektif untuk menilai pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar, yaitu harus mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Itikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengandung dua makna yaitu: reasonable sesuai akal sehat dan just, patut serta adil.35

M. Yahya Harahap menyebutkan wanprestsi adalah pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya.

Prinsipnya hubungan sewa menyewa ditimbulkan oleh adanya persetujuan yang tegas antara pihak pemilik dan penyewa, namun demikian apabila seorang beritikad baik telah menghuni secara terus menerus selama 5 tahun atau lebih, tanpa adanya gangguan dari pihak yang berhak, maka penghuninya dianggap telah mendapat persetujuan dari pemilik.

36

35

Zulfirman. Kebebasan Berkontrak Versus Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). USU Pres, Medan, 2003, hal.102.

36

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal.60

Kata “Tidak tepat pada waktunya dan kata tidak layak” apabila dihubungkan dengak kewajiban merupakan perbuatan melanggar hukum. Pihak debitur sebagian atau secara keseluruhannya tidak menempati ataupun berbuat sesuatu yang tidak sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati bersama.

Debitur itu bersalah melakukan wanprestasi perlu ditentukan dalam keadaan bagaimana dikatakan sengaja lalai tidak memenuhi prestasi. Ada tiga keadaan yaitu:


(47)

1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya tidak memenuhi kewajiban yang telah disanggupinya untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian, atau tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan undang-undang dalam perikatan yang timbul karena undang-undang-undang-undang.

2. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak baik atau keliru. Di sini debitur melaksanakan atau memenuhi apa yang diperjanjikan atau apa yang ditentukan oleh undang-undang tetapi tidak sebagaimana mestinya menurut kualitas yang ditentukan dalam perjanjian atau menurut kualitas yang ditetapkan undang-undang.

3. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat pada waktunya. Di sini debitur memenuhi prestasi tetapi terlambat. Waktu yang ditetapkan dalam perjanjian tidak dipenuhi.37

Debitur yang oleh pihak kreditur dituduh lalai, dapat mengajukan pembelaan diri atas tuduhan tersebut. Adapun pembelaan debitur yang dituduh dapat didasarkan atas tiga alasan yaitu:

1. Mengajukan tuntutan adanya keadaan yang memaksa. 2. Mengajukan bahwa si kreditur sendiri juga wanprestasi.

3. Mengajukan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.38

Pihak kreditur melepaskan haknya atas tuntutannya kepada pihak debitur adalah bahwa pihak kreditur telah mengetahui bahwa ketika pihak debitur mengembalikan tanah yang diperjanjikan, pihak kreditur telah mengetahui bahwa waktu pengembalian tanah sudah terlambat selama seminggu. Akan tetapi atas keterlambatan tersebut pihak kreditur tidak mengajukan keberatan ataupun sanksi maka terhadap debitur yang terlambat mengembalikan tanah , dapat diartikan bahwa pihak kreditur telah melepaskan haknya untuk pihak debitur yang telah nyata wanprestasi.

37

Abdulkadir Muhammad. Op.Cit. hal. 20-21

38Ibid


(48)

D. Berakhirnya Perjanjian Sewa Menyewa

Peraturan tentang berakhirnya perjanjian diatur di dalam Bab XII Buku III KUHPerdata. Peraturan untuk itu adalah perlu bagi kedua belah pihak, baik untuk menentukan sikap selanjutnya maupun untuk memperjelas sampai dimana batas perjanjian tersebut.

Pasal 1381 KUHPerdata disebutkan beberapa cara hapusnya suatu perjanjian yaitu:

1. Pembayaran.

2. Penawaran tunai disertai dengan penitipan. 3. Pembaharuan hutang.

4. Perjumpaan hutang. 5. Percampuran hutang. 6. Pembebasan hutang.

7. Musnahnya benda yang terhutang. 8. Kebatalan/pembatalan.

9. Berlakunya syarat batal. 10.Kadaluarsa atau lewat waktu.

Pembayaran adalah pelaksanaan atau pemenuhan perjanjian secara sukarela, artinya tidak dengan paksaan.39

39

M. Yahya Harahap. Op.Cit. hal.141.

Pembayaran hanya dapat dilaksanakan oleh yang bersangkutan saja. Namun Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa pembayaran dapat dilakukan oleh orang lain. Dengan demikian


(49)

undang-undang tidak mempersoalkan siapa yang harus membayar, akan tetapi yang penting adalah hutang itu harus dibayar.

Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan adalah salah satu cara pembayaran untuk menolong debitur. Dalam hal ini si kreditur menolak pembayaran. Penawaran pembayaran tunai terjadi jika si kreditur menolak menerima pembayaran, maka debitur secara langsung menawarkan konsignasi yakni dengan menitipkan uang atau tanah kepada Notaris atau panitera. Setelah itu notaris atau uang yang harus dibayarkan selanjutnya menjumpai kreditur untuk melaksanakan pembayaran. Jika kreditur menolak, maka dipersilakan oleh notaris atau panitera untuk menandatangani berita acara. Jika kreditur menolak juga, maka hal ini dicatat dalam berita acara tersebut, hal ini merupakan bukti bahwa kreditur menolak pembayaran yang ditawarkan. Dengan demikian debitur meminta kepada hakim agar konsignasi disahkan. Jika telah disahkan, maka debitur terbebas dari kewajibannya dan perjanjian dianggap hapus.

Pembaharuan hutang (novasi) lahir atas dasar persetujuan. Para pihak membuat persetujuan dengan jalan menghapuskan perjanjian lama, dan pada saat yang bersamaan dengan penghapusan tadi, perjanjian diganti dengan perjanjian baru. Dengan hakikat, jiwa perjanjian baru serupa dengan perjanjian terdahulu.40

Terjadinya perjumpaan hutang atau kompensasi terjadi jika para pihak yaitu kreditur dan debitur saling mempunyai hutang dan piutang, maka mereka mengadakan perjumpaan hutang untuk suatu jumlah yang sama. Hal ini terjadi jika antara kedua hutang berpokok pada sejumlah uang atau sejumlah tanah yang

40Ibid,


(50)

dapat dihabiskan dari jenis yang sama dan keduanya dapat ditetapkan serta dapat ditagih seketika

Percampuran hutang terjadi akibat keadaan bersatunya kedudukan kreditur dan debitur pada satu orang. Dengan bersatunya kedudukan debitur pada satu orang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi percampuran hutang sesuai dengan Pasal 1435 KUHPerdata.

Pembebasan hutang terjadi apabila kreditur dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak menghendaki lagi adanya pemenuhan prestasi oleh si debitur. Jika si debitur menerima pernyataan si kreditur maka berakhirlah perjanjian hutang piutang diantara mereka.41

Perjanjian akan hapus jika ada suatu pembatalan ataupun dibatalkan. Pembatalan haruslah dimintakan atau batal demi hukum.

Musnahnya tanah-tanah yang menjadi hutang debitur, maka perjanjian juga dapat hapus. Dalam hal demikian debitur wajib membuktikan bahwa musnahnya tanah tersebut adalah di luar kesalahannya dan tanah itu akan musnah atau hilang juga meskipun di tangan kreditur. Jadi dalam hal ini si debitur telah berusaha dengan segala daya upaya untuk menjaga tanah tersebut agar tetap berada seperti semula. Hal ini disebut dengan resiko.

42

41Ibid

, hal.144.

42Ibid.

Karena jika dilihat batal demi hukum maka akibatnya perjanjian itu dianggap tidak pernah ada, sedangkan dalam pembatalan, perjanjian dianggap telah ada akan tetapi karena suatu pembatalan maka perjanjian itu hapus dan para pihak kembali kepada keadaan semula.


(51)

Syarat batal adalah syarat yang jika dipenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, yaitu tidak pernah ada suatu perjanjian. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, hanyalah mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya jika peristiwa yang dimaksud terjadi.43

Daluarsa adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang diterima oleh undang-undang (Pasal 1946 KUHPerdata).44

Perjanjian sewa menyewa yang dilakukan secara tertulis adalah berakhir dengan habisnya jangka waktu penyewaan. Kalau perjanjian hanya diadakan secara lisan, maka untuk memberitahukan telah berakhirnya perjanjian sewa menyewa adalah kewajiban pemberitahuan lebih dahulu dari si penyewa ataupun dari yang menyewakan. Jangka waktu pemberitahuan juga berdasarkan pada kebiasaan setempat (custom).45

Setelah berakhirnya jangka waktu perjanjian sewa menyewa, tetapi si penyewa masih tetap menikmati objek sewa yang bersangkutan, maka menurut Pasal 1573 KUHPerdata timbullah suatu ikatan sewa menyewa Akibat berakhirnya ikatan sewa menyewa, maka si penyewa harus meninggalkan objek yang disewa. Objek sewa yang seharusnya dikembalikan oleh penyewa kepada yang menyewakan, tetapi apabila belum terlaksana penyerahan benda tersebut, maka yang menyewakan dapat mempunyai inisiatif untuk mengambil tindakan sesuatu dengan hukum yang berlaku.

43Ibid

, hal.145

44

J. Satrio, Op.Cit, hal.71

45Ibid


(52)

baru, yang akibat-akibatnya diatur menurut ketentuan ikatan sewa menyewa secara lisan.

Dengan berakhirnya perjanjian sewa menyewa, maka penyewa melepaskan haknya dan menyerahkan tanah yang disewanya sebagai objek sewa kepada yang menyewakan dalam keadaan baik sesuai dengan bentuk objek sewa menyewa yang disepakati bersama.

Perjanjian sewa menyewa tanah merupakan objek sewa ditentukan tentang jangka waktunya maka ketentuan lamanya atau habisnya jangka waktu penyewaan berlangsung sesuai dengan jangka waktu yang disepakati. Lamanya sewa menyewa ditentukan oleh kedua belah pihak, yaitu pihak yang menyewakan maupun pihak penyewa.


(53)

44

INDONESIA (PERSERO) DENGAN MASYARAKAT

A. Bentuk Perjanjian Sewa Menyewa Antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan Masyarakat Penggarap.

Perjanjian pada asasnya adalah terbuka, artinya para pihak yang membuat perjanjian dapat menentukan sebebasnya apa yang hendak mereka perjanjikan, namun kebebasan tersebut bukanlah

kebebasan tanpa batas.46

Perjanjian adalah hak perorangan dan kepada pihak-pihak yang membuat perjanjian, maka apa yang mereka perjanjikan itu mengikat para pihak.

Ada batasan kebebasan bagi pembuatan perjanjian, batasan itu adalah tidak bertentangan dengan Undang-undang, kesusilaan dan keteriban umum.

Setiap orang yang telah mufakat akan sesuatu hal, kesepakatan itu mengikat bagi pihak-pihak yang membuatnya dan daya ikut sepakat itu sama kekuatannya dengan Undang-undang. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa perjanjian ini adalah suatu undang-undang yang dibuat oleh pihak swasta. Prinsip ini adalah akibat dianut sistem terbuka dalam Buku III KUH Perdata dan ini dibenarkan karena apa yang mereka perbuat dalam kesepakatan tersebut adalah jelmaan dari hak perorangan atau hak relatif.

47

Surat dalam hukum pembuktian adalah salah satu alat bukti, walaupun surat yang dibuat tersebut harus dipenuhi beberapa syarat lagi sehingga daya pembuktiannya dapat

Ini merupakan hal materil, namun bagaimana cara mereka menegaskan kesepakatan tersebut adalah merupakan hal formil dalam suatu perjanjian. Cara menunjukkan suatu perjanjian telah terjadi dapat dilakukan dengan secara lisan maupun secara tertulis. Perjanjian yang dibuat secara lisan maupun tertulis mempunyai kemampuan mengikat yang sama, hanya saja dalam hal membuktikan bahwa telah adanya perjanjian lebih mudah pembuktiannya bila dilakukan secara tertulis jika dibandingkan dengan perjanjian yang dilakukan secara lisan.

46

Munir Fuady, Op.Cit, hal.66.


(54)

mengandung kekuatan mutlak atau tidak.48

1. Lebih mudah pembuktian bila terjadi perselisihan.

Artinya tidak semua surat mempunyai daya pembuktian yang serupa, hal ini digantungukan lagi kepada sifat surat tersebut, apakah surat tersebut merupakan akta biasa, akta di bawah tangan atau akta autentik.

Perjanjian yang dilakukan secara tertulis biasanya mengandung keuntungan-keuntungan. Keuntungan yang dimaksud adalah sebagai berikut:

2. Lebih mudah menentukan secara konkrit hak dan kewajiban para pihak.

3. Lebih memudahkan pihak penyelesaian dalam mengakhiri persengketaan.

4. Lebih memudahkan para pihak menyelesaikan prestasinya.

5. Lebih memudahkan menentukan para pihak terlibat dalam perjanjian.49

Berbeda halnya dengan perjanjian secara lisan, biasanya dalam hal membuktikan suatu peristiwa hukum yang terjadi bagi para pihak, pihak penyelesai sengketa mengalami sedikit kesulitan, sebab masing-masing pihak selalu berbeda dalam mengungkapkan peristiwa hukum yang terjadi di antara mereka, demikian juga dalam hal menentukan hak dan kewajiban bagi para pihak, selain itu juga sering juga samar menentukan saat dimulainya dilaksanakan prestasi bagi pihak-pihak yang telah mengadakan perjanjian tersebut.

Perjanjian pada asasnya tidak memerlukan formalitas tertentu, namun untuk perjanjian-perjanjian yang khusus diperlukan suatu formalitas, bila formalitas tersebut tidak dipenuhi, maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum, misalnya perjanjian ini harus dibuat suatu akta autentik, bila tidak dilakukan dengan akta autentik, maka perjanjian hibah atas benda-benda tidak bergerak

48 Retnowulan Sutantio dan Oeripkartawinata Iskandar. Hukum Acara

Perdata Dalam Teori dan Praktek. Mandar Madju, Bandung, 2009, hal.23

49


(55)

tersebut batal demi hukum, batal demi hukum di sini diartikan bahwa perjanjian tersebut walaupun telah disepakati tidak ada sejak semula.

Praktek dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, hampir dapat dikatakan semua perjanjian yang dilakukan secara tertulis, terkecuali perjanjian yang berkenaan dengan benda-benda bergerak yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, perjanjian cukup dilakukan dengan lisan saja. Namun untuk perjanjian yang berkaitan dengan benda-benda bergerak yang mempunyai nilai tertentu, perjanjian sering dibuat dengan tertulis.

Hukum perdata mengenal berbagai jenis perjanjian, salah satu perjanjian tersebut adalah perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama. Perjanjian bernama adalah perjanjian yang telah ditentukan secara tertentu di dalam Undang-undang, sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak ditentukan dalam Undang-undang.50

50

Salim HS. Op.Cit. hal.18

Perjanjian sewa menyewa tanah milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero) adalah perjanjian bernama, karena perjanjian tersebut terdapat dalam KUHPerdata. KUHPerdata tidak menentukan secara tegas tentang bentuk perjanjian sewa menyewa yang dibuat oleh para pihak. Oleh karena itu, perjanjian sewa menyewa dapat dibuat dalam bentuk tertulis dan lisan. Akan tetapi, yang paling dominan dalam menentukan substansi kontrak adalah dari pihak yang menyewakan, sehingga pihak penyewa berada pada pihak yang lemah. Dengan demikian, semua persyaratan yang diajukan oleh pihak yang menyewakan tinggal disetujui atau tidak oleh pihak penyewa.


(1)

dengan biaya menjadi tanggungjawab penyewa sepenuhnya, tanpa penetapan dari pengadilan atau instansi berwenang dilakukan dengan atau tanpa bantuan alat kekuasaan Negara yang sah sehingga untuk itu suatu surat kuasa khusus tidak diperlukan lagi.

5. Apabila dalam waktu 30 hari setelah pihak pertama memindahkan barang-barang penyewa dan penyewa tidak mengambil barang-barang tersebut, maka dengan ditandatanganinya perjanjian, penyewa sepakat bahwa PT. Kereta Api Indonesia (Persero) memiliki hak retensi dan penyewa menyatakan secara tegas memberi kuasa penuh kepada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) untuk menjual, melelang, dan atau memusnahkan barang-barang yang telah dipindahkan tersebut dan hasilnya dapat diperhitungkan dengan kewajiban penyewa.

6. Untuk keperluan tindakan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) sebagaimana tersebut pada angka ayat (3) dan ayat (4) penyewa membebaskan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) untuk waktu sekarang dan seterusnya untuk segala gugatan atau tuntutan baik dari penyewa atau pihak lain yang bertindak untuk dan atas nama penyewa dalam bentuk apapun.

7. Atas tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (4), segala biaya untuk kepentingan dimaksud adalah beban penyewa dan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tidak berkewajiban mengganti kerugian apapun untuk dan atas hal apapun kepada penyewa.

8. Untuk keperluan pengakhiran perjanjian, PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dan penyewa sepakat dan setuju mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata.


(2)

9. Kuasa-kuasa sebagaimana pasal ini tidak dapat dicabut kembali selama penyewa belum menyerahkan objek sewa kepada PT. Kereta Api Indonesia (Persero) kuasa yang diberikan oleh penyewa dengan melepaskan segala aturan-aturan yang termuat dalam undang-undang termasuk Pasal 1813 KUHPerdata dan segala aturan yang mengatur dasar-dasar dan sebab-sebab yang menyebabkan suatu kuasa berakhir. Kewajiban-kewajiban sebagaimana ditetapkan dalam ayat-ayat tersebut di atas akan tetap berlaku meskipun perjanjian ini berakhir atau diakhiri.

Perjanjian sewa menyewa tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan masyarakat/penyewa jika terjadi persengketaan atau perselisihan diantara para pihak, maka akan diusahakan penyelesaiannya dengan cara damai atau musyawarah. Jika dengan cara musyawarah tidak tercapai kata sepakat, maka akan diselesaikan melalui suatu badan arbitrase yang ditunjuk dan disepakati oleh kedua belah pihak. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 18 Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero):81

1. Perjanjian ini dibuat dan ditafsirkan berdasarkan hukum Indonesia.

2. Apabila terjadi perselisihan atau perbedaan pendapat dalam pelaksanaan perjanjian ini, maka akan diselesaikan melalui musyawarah untuk mufakat. 3. Apabila penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) gagal, maka para

pihak sepakat untuk menyelesaikan dengan melalui Pengadilan Negeri sebagaimana dalam perjanjian.

81

Pasal 18 Surat Perjanjian Sewa Menyewa Tanah Milik PT. Kereta Api Indonesia (Persero).


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Bentuk perjanjian sewa menyewa antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan masyarakat penggarap adalah berbentuk standar kontrak yang di dalamnya berisi hak dan kewajiban para pihak. Isi dan ketentuan perjanjian ditentukan oleh pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero). 2. Akibat hukum jika salah satu pihak wanprestasi adalah jika salah satu

pihak melakukan perbuatan yang mengakibatkan timbulnya kerugian bagi pihak lain, maka pihak yang menimbulkan kerugian diwajibkan untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang dirugikan.

3. Akibat hukum jika pihak PT. Kereta Api Indonesia (Persero) memutuskan perjanjian secara sepihak tanpa alasan yang sah, dapat diajukan tuntutan kepada pihak yang membatalkannya selama perjanjian tersebut telah berlangsung, sebaliknya apabila pembatalan secara sepihak tersebut terjadi sebelum adanya pelaksanaan perjanjian maka pembatalan itu hanya membawa pada keadaan semula yaitu keadaan yang dianggap tidak pernah terjadi perjanjian.

B. Saran

1. Agar dalam perjanjian sewa menyewa tanah antara PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dicantumkan hak dan kewajiban yang seimbang. 2. Agar para pihak memenuhi kewajiban masing-masing sehingga tidak ada

pihak yang dirugikan dan tidak timbul silang sengketa antara para pihak dalam perjanjian tersebut.


(4)

3. Agar para pihak jika timbul perselisihan hendaknya terlebih dahulu diselesaikan secara musyawarah. Jika dengan musyawarah tidak tercapai kata sepakat barulah dilakukan melalui pengadilan.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002.

Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan I dan II, Prestasi pustaka, Jakarta, 2002

Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Perkasa, Jakarta, 2003.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2008.

Djanius Djamin dan Syamsul Arifin., Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan, 2001.

Imam Sutiknjo, Politik Hukum Agraria, Gajah Mada University Press, Jogjakarta, 2000

J.Satrio. Hukum Perjanjian. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002.

Mahadi, Falsafah Hukum Suatu Pengantar, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2009. Mariam Darus Badrulzaman, Sistem Hukum Perdata Nasional, Dewan Kerjasama

Hukum Belanda Dengan Indonesia, Proyek Hukum Perdata, Medan, 2007. ---, 2003, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan dengan Penjelasannya.

Alumni, Bandung.

Munir Fuady. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis). PT. Citrar Aditya Bhakti, Bandung, 2001.

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian. Alumni, Bandung, 2006

Purwahid Patrik, Makalah, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian,

Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000.

Ramli Zein, Hak Penggelolaan Dalam Undang-Undang Pokok Agraria, Rineka Cipta, Jakarta, 2005


(6)

Retnowulan Sutantio dan Oeripkartawinata Iskandar. Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek. Mandar Madju, Bandung, 2009

R. Surbekti, Aneka Perjanjian. Alumni, Bandung, 2002.

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio., Terjemahan KUH.Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 2004.

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Tanah. Intermasa, Jakarta, 2002

Salim HS. Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2003.

Sajtipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2006

Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2008.

Zulfirman. Kebebasan Berkontrak Versus Hak Asasi Manusia (Analisis Yuridis Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). USU Pres, Medan, 2003

B. Undang-Undang

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.