Pola Permukiman Masyarakat di Pinggiran Rel Kereta Api (Studi Kasus : Permukiman Lingkungan XII Jalan Arteri Ringroad Medan)

(1)

(Studi Kasus : Permukiman Lingkungan XII Jalan Arteri Ringroad Medan)

SKRIPSI

OLEH

CUT DHAIFINA MALAHATI 110406058

DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

POLA PERMUKIMAN MASYARAKAT DI PINGGIRAN REL KERETA API

(Studi Kasus : Permukiman Lingkungan XII Jalan Arteri Ringroad Medan)

SKRIPSI

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Dalam Departemen Arsitektur

Pada Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara

Oleh

CUT DHAIFINA MALAHATI 110406058

DEPARTEMEN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

PERNYATAAN

POLA PERMUKIMAN MASYARAKAT DI PINGGIRAN REL KERETA API (Studi Kasus : Permukiman Lingkungan XII Jalan Arteri Ringroad Medan)

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juli 2015 Penulis,


(4)

Judul Skripsi : Pola Permukiman Masyarakat di Pinggiran Rel Kereta Api (Studi Kasus : Permukiman Lingkungan XII Jalan Arteri Ringroad Medan)

Nama Mahasiswa : Cut Dhaifina Malahati Nomor Pokok : 110406058

Departemen : Arsitektur

Menyetujui Dosen Pembimbing

(Dr. Wahyu Utami, ST, MT)

Koordinator Skripsi, Ketua Program Studi,

(Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc) (Ir. N. Vinky Rahman, MT)


(5)

Telah diuji pada Tanggal : 04 Juli 2015

Panitia Penguji Skripsi

Ketua Komisi Penguji : Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc

Anggota Komisi Penguji : 1. Dr. Wahyu Utami, ST, MT


(6)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala berkat dan anugerah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dengan judul :

“Pola Permukiman Masyarakat di Pinggiran Rel Kereta Api (Studi Kasus : Permukiman Lingkungan XII Jalan Arteri Ringroad Medan)”

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Drs. Subhilhar, M.A., Ph.D selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Ir. Bustami Syam, M.S.M.E. selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Ir. N. Vinky Rahman, MT selaku Ketua Program Studi Departemen Arsitektur dan Bapak Ir. Rudolf Sitorus, MLA selaku Sekretaris Program Studi Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. 4. Ibu Dr. Wahyu Utami, ST, MT selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak

memberikan arahan, bimbingan, saran, dukungan serta meluangkan waktu dalam proses penulisan untuk menyusun skripsi ini.

5. Ibu Dr. Ir. Dwira N. Aulia, M.Sc dan Ibu Wahyuni Zahrah, ST, MS selaku Dosen Penguji yang telah memberikan saran dan masukan kepada penulis terhadap skripsi ini.

6. Seluruh dosen yang telah menyumbangkan ilmunya yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu selama penulis mengikuti perkuliahan.


(7)

7. Kepada keluarga penulis, Ayahanda Drs. Syamsul Bahri TRB, MM, CPA, CA, Ak, dan Ibunda Radhiatun Mardiah, SE, M.Si yang telah memberikan dukungan, doa, cinta, dan kasih sayang yang tiada hentinya kepada penulis. Serta abang dan kakak Fauzan, Nita, Aufar, Dini dan Odi yang selalu memberikan semangat dan dukungan kepada penulis.

8. Teman-teman seperjuangan Nana, Faizah, Dina dan teman-teman sesama stambuk 2011 Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang sama-sama berjuang menyelesaikan studi serta seluruh rekan penulis yang sudah ikut membantu.

9. Kepada M. Aldo Al Fikri yang senantiasa menemani, memberikan motivasi serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

10.Seluruh pegawai Departemen Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan bantuan selama ini kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Semoga karya tulis ini dapat memberi manfaat bagi penulis terutama dalam penyempurnaannya ke depan. Pada semua pihak yang telah banyak membantu untuk kesempurnaan skripsi ini, penulis ucapkan terima kasih.

Akhirnya, semoga Allah SWT selalu melimpahkan berkah dan hidayah-Nya, serta memberikan kemudahan bagi kita semua. Amin.

Medan, 09 Juli 2015 Penulis

Cut Dhaifina Malahati 110406058


(8)

ABSTRAK

Permukiman adalah kawasan lingkungan hidup baik di perkotaan maupun di pedesaan yang dilengkapi oleh sarana dan prasarana lingkungan yang mendukung kegiatan penduduknya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan ruang hunian semakin meningkat. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa permasalahan permukiman khususnya permukiman kumuh. Permukiman kumuh di perkotaan biasanya tumbuh diatas tanah ilegal, tumbuh dari masyarakat yang ekonomi dan pendidikannya rendah serta masyarakat yang datang dari daerah pedesaan untuk mencari pekerjaan di kota dan tidak mempunyai daya beli yang tinggi. Saat ini Medan memiliki beberapa permukiman kumuh baik di bantaran sungai maupun di bantaran rel kereta api, salah satunya ialah permukiman liar di bantaran rel kereta Jl. Arteri Ringroad. Langkah awal dalam melakukan penelitian yaitu penelusuran literatur kemudian observasi lapangan yang didukung oleh wawancara selanjutnya dilakukan analisis. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Kesimpulan yang didapat dari hasil analisis ialah permukiman liar di bantaran rel kereta Jl. Arteri Ringroad tumbuh karena faktor ekonomi masyarakat dan keterbatasan lahan untuk hunian dengan pola permukiman linier.

Kata Kunci : Pola Permukiman, Permukiman Kumuh, Bantaran Rel Kereta Api

ABSTRACT

A settlement is an environmental area whether it's in the city or countryside which have facilities and environment that support people activities. Along with the increasing number of population, the need of settlements is also growing. Right now Indonesia have some settlement issues especially the slums. Slums in this city usually take place on an illegal land, with the occupants being from the low economy and low educated society to immigrants which came to find jobs in the city and can't afford a decent settlement. Right now slums in Medan usually take place at the riverside or on the side of a railroad, and one of them is the slum on the side of Jl. Arteri Ringroad's railroad. The initial step of the research is the study of literature and followed by field observation which include interviews and analysis. The method that being used is qualitative method. The result of the analysis is that slums in Jl. Arteri Ringroad's railroad is caused by the economic factors and the limited amount of space for settlements with linear patterns. Keywords : Patterns of settlements, Slum settlements, Railroad


(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

1.5. Keaslian Penelitian ... 4

1.6. Kerangka Berfikir ... 8

BAB II KAJIAN TEORI ... 9

2.1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah ... 9

2.2. Permukiman Kumuh ... 12

2.2.1. Pengertian Permukiman ... 12

2.2.2. Pengertian Permukiman Kumuh ... 15

2.2.3. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh ... 17

2.2.4. Karakteristik Permukiman Kumuh ... 19

2.3. Garis Sempadan Rel Kereta Api ... 23

2.4. Penggunaan Tanah Negara Untuk Hunian ... 24

2.5. Bentuk Pola Permukiman Kumuh di Indonesia ... 25

2.6. Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh... 27

2.7. Diagram Kepustakaan ... 30

2.8. Studi Kasus Sejenis ... 31

2.8.1. Kajian Luas Rumah Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Kawasan Pusat Kota, Ahda Mulyati, 2008 ... 31


(10)

2.8.2. Dampak Urbanisasi Terhadap Permukiman Kumuh (Slum Area) di

Daerah Perkotaan, Waston Malau, 2013 ... 32

BAB III METODE PENELITIAN ... 34

3.1. Jenis Penelitian ... 34

3.2. Variabel Penelitian ... 34

3.3. Metode Pengumpulan Data ... 35

3.4. Kawasan Penelitian ... 36

3.5. Tahapan Analisa Data ... 37

BAB IV PERMUKIMAN PINGGIRAN REL KA DI LINGKUNGAN XII KELURAHAN HELVETIA ... 38

4.1. Lokasi Penelitian ... 38

4.1.1. Deskripsi Kecamatan Medan Helvetia ... 38

4.1.2. Deskripsi Kelurahan Helvetia ... 39

4.2. Lingkungan XII Kelurahan Helvetia ... 41

4.2.1. Kondisi Sosial Budaya dan Perekonomian Masyarakat ... 41

4.2.1.1. Tumbuhnya Permukiman Lingkungan XII ... 48

4.2.1.2. Pola Permukiman ... 50

4.2.1.3. Material Bangunan ... 52

4.2.1.4. Orientasi Bangunan ... 56

4.2.1.5. Sarana dan Prasarana Lingkungan ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 61

5.1. Kesimpulan ... 61

5.2. Saran ... 62 DAFTAR PUSTAKA


(11)

DAFTAR TABEL

No Judul Hal

1.1 Keaslian Penelitian ... 7 2.1 Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api ... 24


(12)

DAFTAR GAMBAR

No Judul Hal

1.1 Kerangka Berfikir ... 8

2.1 Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow ... 14

2.2 Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas ... 26

2.3 Pola Permukiman Face to face ... 27

2.4 Diagram Kepustakaan ... 30

3.1 Peta Lokasi Permukiman Bantaran Rel Kereta Api ... 36

4.1 Peta Kecamatan Medan Helvetia ... 38

4.2 Peta Kelurahan Helvetia... 40

4.3 Peta Lingkungan XII Kelurahan Helvetia ... 40

4.4 Kondisi Ruang Hunian Penduduk ... 44

4.5 Penggunaan Ruang Hunian ... 45

4.6 Aktifitas Masyarakat di Sekitar Rel KA ... 46

4.7 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat ... 47

4.8 Foto Kawasan Permukiman Lingkungan XII ... 49

4.9 Pola Permukiman Linier ... 50

4.10 Jarak Antara Bangunan dan Rel KA ... 51

4.11 Bangunan yang Menggunakan Material Dinding Bata ... 53

4.12 Bangunan yang Menggunakan Material Kayu ... 53

4.13 Bangunan yang Menggunakan Material Campuran... 54

4.14 Penggunaan Material pada Bangunan (1) ... 55

4.15 Penggunaan Material pada Bangunan (2) ... 56

4.16 Orientasi Bangunan Menghadap Rel Kereta Api ... 57

4.17 Orientasi Bangunan Membelakangi Rel Kereta Api ... 58

4.18 Jaringan Listrik ... 59


(13)

ABSTRAK

Permukiman adalah kawasan lingkungan hidup baik di perkotaan maupun di pedesaan yang dilengkapi oleh sarana dan prasarana lingkungan yang mendukung kegiatan penduduknya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan ruang hunian semakin meningkat. Saat ini di Indonesia terdapat beberapa permasalahan permukiman khususnya permukiman kumuh. Permukiman kumuh di perkotaan biasanya tumbuh diatas tanah ilegal, tumbuh dari masyarakat yang ekonomi dan pendidikannya rendah serta masyarakat yang datang dari daerah pedesaan untuk mencari pekerjaan di kota dan tidak mempunyai daya beli yang tinggi. Saat ini Medan memiliki beberapa permukiman kumuh baik di bantaran sungai maupun di bantaran rel kereta api, salah satunya ialah permukiman liar di bantaran rel kereta Jl. Arteri Ringroad. Langkah awal dalam melakukan penelitian yaitu penelusuran literatur kemudian observasi lapangan yang didukung oleh wawancara selanjutnya dilakukan analisis. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Kesimpulan yang didapat dari hasil analisis ialah permukiman liar di bantaran rel kereta Jl. Arteri Ringroad tumbuh karena faktor ekonomi masyarakat dan keterbatasan lahan untuk hunian dengan pola permukiman linier.

Kata Kunci : Pola Permukiman, Permukiman Kumuh, Bantaran Rel Kereta Api

ABSTRACT

A settlement is an environmental area whether it's in the city or countryside which have facilities and environment that support people activities. Along with the increasing number of population, the need of settlements is also growing. Right now Indonesia have some settlement issues especially the slums. Slums in this city usually take place on an illegal land, with the occupants being from the low economy and low educated society to immigrants which came to find jobs in the city and can't afford a decent settlement. Right now slums in Medan usually take place at the riverside or on the side of a railroad, and one of them is the slum on the side of Jl. Arteri Ringroad's railroad. The initial step of the research is the study of literature and followed by field observation which include interviews and analysis. The method that being used is qualitative method. The result of the analysis is that slums in Jl. Arteri Ringroad's railroad is caused by the economic factors and the limited amount of space for settlements with linear patterns. Keywords : Patterns of settlements, Slum settlements, Railroad


(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Permukiman adalah kawasan lingkungan hidup baik di perkotaan maupun di pedesaan yang dilengkapi oleh sarana dan prasarana lingkungan yang mendukung kegiatan penduduknya. Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk, kebutuhan ruang hunian semakin meningkat. Penambahan jumlah penduduk yang berdampak pada penambahan kebutuhan ruang hunian sementara kemampuan secara finansial tidak mencukupi, ternyata telah menimbulkan beberapa permasalahan, yang antara lain adalah bermunculannya permukiman-permukiman kumuh.

Saat ini di Indonesia terdapat beberapa permasalahan permukiman khususnya permukiman kumuh. Permukiman kumuh yang erat kaitannya dengan kemiskinan, sebenarnya telah banyak diupayakan oleh pemerintah untuk mengatasinya. Namun pertumbuhan permukiman liar semakin lama terus berkembang di kota-kota besar di Indonesia karena kemiskinan meningkat dan kebutuhan ruang yang bertambah.

Pada umumnya, permukiman liar tersebut tumbuh dari masyarakat yang ekonomi dan pendidikannya rendah serta masyarakat yang datang dari daerah pedesaan untuk mencari pekerjaan di kota dan tidak mempunyai daya beli yang


(15)

tinggi. Perpindahan penduduk yang sangat pesat tidak diimbangi oleh kemampuan pelayanan kota, akibatnya permukiman kumuh di daerah perkotaan semakin luas.

Terbentuknya permukiman liar di kota-kota besar seperti Medan tersebut dipandang dapat menimbulkan banyak persoalan perilaku menyimpang seperti kejahatan dan timbulnya penyakit sosial lainnya. Menurut Mc Gee (1971) dalam Simollah (2011) perpindahan penduduk ke kota sering mengakibatkan urban berlebih yang pada akhirnya menimbulkan banyak masalah yang berhubungan dengan pengangguran, ketidakpuasan di bidang sosial dan ekonomi.

Saat ini Medan memiliki beberapa permukiman kumuh baik di bantaran sungai maupun di bantaran rel kereta api. Seiring kebutuhan ruang hunian dan pertambahan jumlah penduduk, wilayah rel kereta api seringkali menjadi permukiman karena lahan tersebut merupakan lahan yang tidak digunakan serta tidak ada beban biaya penggunaan tanah secara resmi. Hal tersebut memberi kesempatan kepada orang yang berpenghasilan rendah untuk menggunakan lahan tersebut sebagai tempat tinggal dikarenakan tidak mengeluarkan biaya untuk membeli tanah dan tidak ada yang mempermasalahkan. Lemahnya pengelolaan tersebut menjadikan semakin kumuhnya daerah rel kereta api, banyak bangunan liar yang tumbuh yang akhirnya menjadi ruang negatif kota.

Kasus yang diambil pada penelitian ini adalah permukiman Lingkungan XII di Jalan Arteri Ringroad Kel. Helvetia Kec. Medan Helvetia yang berada di bantaran rel kereta api. Pemilihan lokasi ini sebagai objek penelitian dikarenakan permukiman tersebut adalah permukiman yang ilegal dan termasuk salah satu permukiman kumuh yang ada di kota Medan serta letaknya yang dekat dengan Jl.


(16)

Arteri Ringroad sehingga cenderung pesat dan strategis. Selanjutnya, dimana masyarakat yang mampu bertahan hidup di permukiman kumuh dan di bantaran rel kereta api tersebut dan tidak jelasnya status kepemilikan tanah yang dimiliki oleh masyarakat terhadap bangunan tempat tinggalnya.

1.2. Perumusan Masalah

 Bagaimana bentuk fisik pola permukiman liar bantaran rel kereta api di Jl. Arteri Ringroad Medan ?

 Bagaimana masyarakat membentuk permukiman liar bantaran rel kereta api di Jl. Arteri Ringroad Medan ?

 Faktor-faktor apa yang mendorong permukiman tumbuh di bantaran rel kereta api Jl. Arteri Ringroad Medan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian tersebut di atas, penelitian ini bermaksud untuk mengkaji bagaimana masyarakat bertempat tinggal di permukiman liar pinggiran rel kereta api serta mengetahui pola ruangnya. Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

 mengetahui kondisi fisik lingkungan permukiman di bantaran rel kereta api Jl. Arteri Ringroad Medan

 mengetahui alasan masyarakat bertempat tinggal di lahan yang berstatus ilegal yaitu di bantaran rel kereta api Jl. Arteri Ringroad Medan

 mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan tumbuhnya permukiman liar di bantaran rel kereta api Jl. Arteri Ringroad Medan


(17)

1.4. Manfaat Penelitian a. Bagi peneliti

Menambah wawasan mengenai preferensi bermukim b. Bagi ilmu pengetahuan

Dapat menambah wawasan bagi mahasiswa ataupun penulis lainnya d. Bagi peneliti lain

Dapat dijadikan sebagai refrensi bahan perbandingan di masa yang akan datang

1.5. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pengetahuan penulis, penelitian tentang permukiman di pinggiran rel kereta api yang sudah pernah dilakukan yaitu :

 “Keadaan Sosial Budaya Penduduk di Permukiman Kumuh Pinggir Rel Kereta Api Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat” yang

dilakukan oleh Rika Afrilla, tahun 2012. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana cara hidup atau kebiasaan penduduk, bagaimana interaksi antar sesama penduduk serta alasan mereka bertahan untuk bertempat tinggal di permukiman kumuh pinggiran rel kereta api kelurahan Pulo Brayan Kota kecamatan Medan Barat.

 “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman

Kumuh Di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus : Kawasan Pancuran)” yang


(18)

tujuan untuk mengetahui faktor yang menjadi penyebab kekumuhan lingkungan Kawasan Permukiman Pancuran yang ada di kawasan pusat Kota Salatiga, dalam upaya memberikan alternatif penyelesaian masalah berupa rekomendasi perencanaan lingkungan sehingga mempu meningkatkan fungsi dan kualitas Kawasan Permukiman Pancuran Kota Salatiga.

Berikut tabel dari penelitian yang sudah dilakukan :

Judul, Tahun, Wilayah, Nama Peneliti Tujuan Penelitian Metode Penelitian dan Pendekatan Teknik Analisis dan Bahan Penelitian Hasil penelitian Keadaan Sosial Budaya Penduduk di Permukiman Kumuh Pinggir Rel Kereta Api Kelurahan Pulo Brayan Kota Kecamatan Medan Barat, 2012, Medan, Rika Afrilla Untuk mengetahui faktor-faktor penyebab timbulnya permukiman kumuh di kelurahan pulo brayan kota, serta keadaan sosial budayanya termasuk di antaranya interaksi sosial antar sesama penduduk, dan tetap bertahan tinggal di permukiman pinggir rel kereta api. Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif Pendekatan : Kualitatif

Teknik Analisis : Observasi, Wawancara, Kuisioner Bahan Penelitian : Penelitian lapangan Pendidikan responden rata-rata tamatan SD dan SMP, sehingga pengetahuan responden rendah, dan hal ini yang membuat mereka sulit mendapatkan pekerjaan di kota, karena sulitnya mendapatkan pekerjaan yang layak yang

membuat ekonomi mereka pun menjadi tidak berkecukupan. Akibatnya mereka memilih tinggal di pemukiaman kumuh pinggir rel kereta api dengan sarana dan prasarana yang kurang memadai.


(19)

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh Di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus : Kawasan Pancuran Salatiga), 2006, Semarang, Eny Endang Surtiani Untuk mengetahui faktor yang menjadi penyebab kekumuhan lingkungan Kawasan Permukiman Pancuran yang ada di kawasan pusat Kota Salatiga, dalam upaya memberikan alternatif penyelesaian masalah berupa rekomendasi perencanaan lingkungan, sehingga mampu meningkatkan fungsi dan kualitas Kawasan Permukiman Pancuran Kota Salatiga. Metode Penelitian : Metode Analisis Desktiptif Kuantitatif dan Metode Analisis Deskriptif Normatif Pendekatan : Kualitatif dan Kuantitatif

Teknik Analisis : Analisis Deskriptif, Analisis Deskriptif Normatif dan Kualitatif, Kuisioner Bahan Penelitian : Penelitian lapangan Faktor yang mempunyai pengaruh kuat penyebab Kawasan Pancuran menjadi kumuh adalah tingkat penghasilan, status kepemilikan hunian, dan lama tinggal. Dari hasil analisis, maka dapat direkomendasikan upaya perbaikan kualitas lingkungan perumahan dan permukiman di kawasan Pancuran ke arah yang lebih baik. Salah satu diantaranya adalah penataan kawasan melalui pembangunan RUSUNWAMA. Pola Permukiman Masyarakat di Pinggiran Rel Kereta Api (Studi Kasus : Permukiman Lingkungan Untuk mengetahui alasan masyarakat bertempat tinggal di lahan yang berstatus Metode Penelitian : Metode Deskriptif Kualitatf

Teknik Analisis : Studi Literatur, Observasi, Wawancara Bahan Penelitian Dapat mengetahui alasan masyarakat bertempat tinggal di permukiman

tersebut, dan mengetahui faktor-faktor yang


(20)

XII Jalan Arteri Ringroad Medan), 2015, Medan, Cut Dhaifina Malahati ilegal, untuk mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan tumbuhnya permukiman liar di pinggiran rel kereta api, dan untuk mengetahui kondisi lingkungan permukiman yang berhubungan dengan kecenderungan bermukim Pendekatan : Kualitatif : Pengamatan langsung tumbuhnya

permukiman liar di pinggiran rel kereta api, dan mengetahui kondisi lingkungan permukiman tersebut terkait dengan kecenderungan bermukim melalui observasi dan wawancara ke penduduk di permukiman pinggir rel kereta api Jl. Arteri Ringroad.


(21)

1.6. Kerangka Berfikir

Gambar 1.1. Kerangka Berfikir

Latar Belakang : Tingkat pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi sementara terbatasnya lahan untuk permukiman dan daya beli bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Rumusan Masalah :

 Bagaimana bentuk fisik pola permukiman liar bantaran rel kereta api di Jl. Arteri Ringroad Medan ?

 Bagaimana masyarakat membentuk permukiman liar bantaran rel kereta api di Jl. Arteri Ringroad Medan ?

 Faktor-faktor apa yang mendorong permukiman tumbuh bantaran rel kereta api di Jl. Arteri Ringroad Medan ?

Tujuan Penelitian :

 Mengetahui kondisi fisik lingkungan permukiman di bantaran rel kereta api Jl. Arteri Ringroad Medan

 Mengetahui alasan masyarakat bertempat tinggal di lahan yang berstatus ilegal yaitu di bantaran rel kereta api Jl. Arteri Ringroad Medan

 Mengetahui faktor-faktor yang menimbulkan tumbuhnya permukiman liar di bantaran rel kereta api Jl. Arteri Ringroad Medan

Analisis Data dan Pembahasan Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

 Dokumentasi/Arsip

 Observasi

 Wawancara

 Kuisioner

Kesimpulan


(22)

BAB II KAJIAN TEORI

2.1. Masyarakat Berpenghasilan Rendah

Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disingkat MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 Angka 24 UU Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman). Masyarakat berpenghasilan rendah yang selanjutnya disebut MBR adalah masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh sarusun umum (Pasal 1 Angka 14 UU Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Rumah Susun).

Pertambahan penduduk daerah perkotaan mengakibatkan kebutuhan sarana dan pasarana perkotaan semakin meningkat terutama kebutuhan perumahan. Mengingat pengadaan perumahan daerah perkotaan sangat terbatas, masalah pemenuhan kebutuhan perumahan sampai saat ini masih sulit dipecahkan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Di lain pihak, kebutuhan perumahan daerah perkotaan selalu meningkat dengan pesat (Panudju, 2009).

Manakala kita bicara tentang perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah, potret yang terbayang dan muncul di benak kepala biasanya adalah

perumahan yang padat, kacau balau tidak teratur, kotor, merusak atau ‘menodai’


(23)

berpenghasilan rendah ini tercermin dari kondisi sosial ekonomi dalam kehidupannya dan ditunjukkan dengan kondisi perumahan masyarakat diberbagai wilayah. Baik di perdesaan maupun di perkotaan masih dalam kondisi yang tidak layak. Di pedesaan banyak dijumpai rumah penduduk berdinding kayu, beratap daun dan berlantai tanah. Ketidaklayakan rumah mereka juga terlihat dari kondisi prasarana, sarana dan utilitas yang masih belum memadai bagi kelangsungan hidup mereka. Khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan miskin yang menghuni perumahan dan tempat-tempat yang tidak layak, mereka hidup dengan keterpaksaan di kampung-kampung kumuh, di kolong-kolong jembatan, pinggiran rel kereta api, bantaran sungai, pasar, dan fasilitas-fasilitas umum lainnya yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan hidupnya.

Lebih lanjut Turner (1968) dalam Hutapea (2012) menyatakan bahwa terdapat kaitan antara kondisi ekonomi dengan tingkat prioritas kebutuhan perumahan pada setiap manusia. Bagi masyarakat golongan berpenghasilan rendah, terdapat 3 tingkat prioritas kebutuhan perumahan yaitu :

1. faktor jarak menjadi prioritas utama

2. faktor status lahan dan rumah menjadi prioritas kedua 3. faktor bentuk dan kualitas rumah menjadi prioritas ketiga

Menurut Wijaya dalam Budihardjo (2009) pembangunan permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah bukan merupakan usaha yang terisolisir. Karena, pembangunan tersebut mempunyai multiplier effect yang besar, baik peningkatan industri dan jasa kota maupun penyediaan lapangan kerja baru.


(24)

Dalam pembangunannya, usaha-usaha baru yang bersifat mendasar perlu dipikirkan untuk memberi landasan kerja yang mantap. Pertama, nilai dan sikap masyarakat terhadap permukiman dan perumahan perlu ditinjau. Rumah harus dibangun sekali dan baik untuk selamanya tidak merupakan kebutuhan pokok yang mendesak, di samping tidak sesuai dengan realita kemampuan masyarakat. Permukiman merupakan kepentingan bersama semua anggota masyarakat, bukan hanya Pemerintah. Pemerintah hanya membantu mempermudah masyarakat memelihara permukimannya di kota. Pemerintah perlu memikirkan untuk memberi pembinaan dan penerangan yang luas tentang peranan masyarakat dalam pembinaan lingkungan; antara lain pembuangan sampah dan penghematan pengeluaran konsumsi rumah tangga untuk membeli dan memiliki tempat tinggal yang layak.

Kedua, untuk membuat permukiman baru yang terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah memerlukan beberapa kombinasi dan kebijaksanaan untuk di satu pihak menekan biaya dan di lain pihak meningkatkan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah. Harga tanah semakin tinggi di daerah yang mendekati pusat kota, maka perkampungan yang dekat pusat kota tetapi yang parah keadaan perumahannya diremajakan dengan pembanguna flat bertingkat 4 atau maksimum 6 dengan tangga kaki.

Menurut Panudju (2009) dalam menentukan prioritas kebutuhan rumah, masyarakat golongan berpenghasilan rendah cenderung meletakkan prioritas utama pada lokasi rumah yang berdekatan dengan tempat yang dapat memberikan kesempatan kerja. Tanpa kesempatan kerja yang dapat menopang kebutuhan


(25)

sehari-hari, sulit bagi mereka untuk dapat mempertahankan hidupnya. Status pemilikan rumah dan lahan menempati prioritas kedua, sedangkan bentuk maupun kualitas rumah menjadi prioritas terakhir. Yang terpenting bagi mereka adalah tersedianya rumah untuk berlindung dan istirahat dalam upaya mempertahankan hidupnya.

Begitu juga Santoso (2002) dalam Kurniasih (2007) yang mengungkapkan bahwa rumah bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah adalah : (Hutapea, 2012) 1. dekat dengan tempat kerja atau di tempat yang berpeluang untuk mendapatkan

pekerjaan, minimal pekerjaan di sektor informal

2. kualitas fisik rumah dan lingkungan, tidak penting sejauh masih dapat menyelenggarakan kehidupan

3. hak-hak penguasaan khususnya hak milik atas tanah dan bangunan, tidak penting. Yang penting adalah tidak diusir atau digusur, sesuai dengan cara berpikir mereka bahwa rumah adalah sebuah fasilitas

2.2. Permukiman Kumuh 2.2.1. Pengertian Permukiman

Permukiman ialah sebagai suatu tempat bermukim manusia yang menunjukkan suatu tujuan tertentu. Permukiman sudah seharusnya memberikan kenyamanan kepada penghuninya (termasuk orang yang datang ke tempat tersebut). Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari terjemahan kata human settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim.


(26)

Terlihat jelas bahwa kata permukiman mengandung unsur dimensi waktu dalam prosesnya (Suparno dan Marlina, 2005).

Pengertian permukiman menurut Undang-undang No. 1 Tahun 2011 Pasal 1 tentang perumahan dan kawasan permukiman, permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan pedesaan.

Rumah adalah suatu bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Menurut Sarwono dkk dalam Budihardjo (2009) perumahan merupakan sekelompok rumah. Setiap perumahan memiliki sistem nilai serta kebiassan sendiri yang berlaku bagi warganya. Sistem nilai tersebut berbeda antara satu perumahan dengan yang lain, tergantung pada daerah ataupun keadaan masyarakat setempat. Menurut Rapoport (1969) rumah adalah suatu bentuk fenomena budaya dan pengaturannya sangat dipengaruhi oleh budaya lingkungannya.

Hierarki kebutuhan menurut Maslow terlihat dalam gambar 2.1. menunjukkan tingkat intensitas dan arti penting dari kebutuhan dasar manusia. Pada tingkat terbawah, rumah memberikan perlindungan terhadap gangguan alam dan binatang, berfungsi sebagai tempat istirahat, tidur, dan pemenuhan fungsi badani. Pada tingkat di atasnya, rumah harus bisa menciptakan rasa aman sebagai tempat menjalankan kegiatan ritual, penyimpanan harta milik yang berharga dan menjamin hak pribadi (Budihardjo, 1987).


(27)

Gambar 2.1. Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow (Sumber : Budihardjo, 1987)

Menurut Doxiadis (1971) dalam Ahyat (2012) permukiman adalah paduan antara unsur alam, manusia dengan masyarakatnya, dan unsur buatan berupa naungan dan networking. Menurut Turner (1972) dalam Batudoka (2005) rumah adalah bagian yang utuh dari permukiman, dan bukan hasil fisik sekaligus tetapi merupakan sebuah proses yang terus berkembang dan terkait dengan mobilitas ekonomi penghuninya dalam kurun waktu tertentu. Oleh karena itu, yang terpenting dari rumah adalah dampak terhadap penghuni, bukan wujud dan standar fisiknya.

Buku yang berjudul An Introduction to the Science of Human Settlements (1969) oleh dalam Hutapea (2012) Doxiadis menyebutkan bahwa mempelajari tentang kawasan perumahan permukiman tidak hanya mempelajari area terbangun dan area terbuka saja tetapi juga fungsi dari kawasan tersebut. Oleh karenanya dalam mempelajari tentang perumahan permukiman atau fungsinya, kita harus


(28)

mengetahui hubungan kawasan tersebut dengan lingkungan di sekitar luar kawasan tersebut dan mengetahui jalur transportasi yang menghubungkan kawasan tersebut dengan kawasan lainnya, karena aktifitas di sekitar kawasan permukiman juga sangat mempengaruhi fungsi dari permukiman.

2.2.2. Pengertian Permukiman Kumuh

Menurut Yudohusodo (1991) permukiman kumuh adalah suatu kawasan dengan bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola (misalnya letak rumah dan jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan sarana air bersih, MCK) bentuk fisiknya yang tidak layak misalnya secara reguler tiap tahun kebanjiran. Keberadaan kawasan permukiman kumuh diperkotaan dapat menjadi masalah serius bagi masyarakat maupun pemerintah, baik ditinjau dari aspek keruangan, estetika, lingkungan dan sosial.

Lingkungan permukiman kumuh menurut Komarudin (1997) didefinisikan sebagai lingkungan permukiman yang berpenghuni padat (melebihi 500 orang per Ha), kondisi sosial ekonomi rendah, jumlah rumah yang sangat padat dan ukurannya dibawah standar, prasarana lingkungan hampir tidak ada atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, dibangun di atas tanah negara atau tanah milik orang lain, dan diluar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Johan Silas, seorang pakar dalam bidang arsitektur dan permukiman kumuh menjelaskan bahwasanya kriteria pokok untuk menemukan permukiman kumuh/marjinal adalah: bila berada di lokasi yang ilegal, dengan keadaan fisiknya yang sub standar; penghasilan penghuni amat rendah (miskin), tak dapat dilayani


(29)

berbagai fasilitas kota; dan tidak diingini kehadirannya oleh publik (kecuali yang berkepentingan) (Titisari dan Kurniawan, 1999 dalam Hutapea, 2012).

Permukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak layak huni. Ciri-ciri permukiman kumuh antara lain berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, serta kualitas bangunan yang sangat rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai dan membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghidupan penghuninya (Budihardjo, 1987).

Permukiman kumuh mengacu pada aspek lingkungan hunian atau komunitas. Permukiman kumuh dapat diartikan sebagai suatu lingkungan permukiman yang telah mengalami penurunan kualitas atau memburuk baik secara fisik, sosial ekonomi maupun sosial budaya, yang tidak mungkin dicapainya kehidupan yang layak bagi penghuninya, bahkan dapat pula dikatakan bahwa para penghuninya benar-benar dalam lingkungan yang sangat membahanyakan kehidupannya. Pada umumnya permukiman kumuh memiliki ciri-ciri tingkat kepadatan penduduk yang sangat rendah, tidak memadainya kondisi sarana dan prasarana dasar, seperti halnya air bersih, jalan, drainase, sanitasi, listrik, fasilitas pendidikan, ruang terbuka/rekreasi, fasilitas pelayanan kesehatan dan perbelanjaan (Masrun, 2009 dalam Hutapea, 2012).

Lingkungan permukiman kumuh, secara estimologis dapat dibedakan menjadi dua yaitu slum dan squatter. Pengertian dari keduanya adalah : (Budihardjo, 1997 dalam Sulaiman, 2005)


(30)

a. slum yaitu kawasan kumuh tetapi sah sebagai sebagai daerah permukiman b. squatter yaitu permukiman kumuh liar, yang menenempati lahan tidak

ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya di sepanjang rel KA, pinggir sungai, pembuangan sampah dan sebagainya

2.2.3. Penyebab Utama Tumbuhnya Permukiman Kumuh

Tumbuhnya permukiman kumuh merupakan akibat dari urbanisasi, migrasi yang tinggi, masyarakat berbondong-bondong datang ke kota untuk mencari nafkah. Hidup di kota sebagai warga dengan mata pencaharian terbanyak pada sektor informal. Pada dasarnya pertumbuhan sektor informal bersumber pada urbanisasi penduduk dari pedesaan ke kota, atau dari kota satu ke kota lainnya. Hal ini disebabkan oleh lahan pertanian di mana mereka tinggal, sudah terbatas, bahkan kondisi desapun tidak dapat lagi menyerap angkatan kerja yang terus bertambah, sedangkan yang migrasi dari kota ke kota lain, kota tidak lagi mampu menampung, karena lapangan kerja sangat terbatas. Akhirnya dengan adanya pemanfaatan ruang yang tidak terencana di beberapa daerah, terjadi penurunan kualitas lingkungan bahkan kawasan permukiman, terutama di daerah perkotaan yang padat penghuni, berdekatan dengan kawasan industri, kawasan bisnis, kawasan pesisir dan pantai yang dihuni oleh keluarga para nelayan, serta di bantaran sungai, dan bantaran rel kereta api (Marwati, 2004 dalam Mulia, 2011).

Menurut Komarudin (1997) penyebab utama lingkungan kumuh antara lain : 1. urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat


(31)

2. sulitnya mencari pekerjaan

3. sulitnya mencicil atau menyewa rumah

4. kurang tegasnya pelaksanaan peraturan perundang-undangan

5. program perbaikan lingkungan yang hanya dinikmati oleh para pemilik rumah (misalnya tarif sewa rumah makin tinggi)

6. disiplin warga yang rendah

Penyebab adanya permukiman kumuh menurut Nawagamuwa dan Viking (2003) dalam Hutapea (2012) adalah :

1. karakter bangunan yaitu umur bangunan yang sudah terlalu tua, tidak terorganisasi, ventilasi, pencahayaan dan sanitasi yang tidak memenuhi syarat 2. karakter lingkungan yaitu tidak ada open space (ruang terbuka hijau) dan tidak

tersedia fasilitas untuk rekreasi keluarga, kepadatan penduduk yang tinggi, sarana prasarana yang tidak terencana dengan baik

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman kumuh ialah permukiman yang kondisi lingkungannya tidak layak untuk dihuni dan lokasinya yang berada di lahan milik negara (berstatus ilegal). Penyebab timbulnya permukiman kumuh menurut para ahli diantaranya disebabkan oleh tingkat pertumbuhan dan perpindahan penduduk, masyarakat berpenghasilan rendah, serta tingginya harga tanah dan kurangnya lahan untuk permukiman.

Menurut Doxiadis (1968) dalam Hutapea (2012) disebutkan bahwa pertumbuhan permukiman kumuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :


(32)

growth of density (pertambahan penduduk), dengan adanya pertambahan jumlah penduduk yaitu dari kelahiran dan adanya pertambahan jumlah keluarga, maka akan membawa masalah baru. Secara manusiawi mereka ingin menempati rumah milik mereka sendiri. Dengan demikian semakin bertambahlah jumlah hunian yang ada di kawasan permukiman tersebut yang menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman

urbanization (urbanisasi), dengan adanya daya tarik pusat kota maka akan menyebabkan arus migrasi desa ke kota maupun dari luar kota ke pusat kota. Kaum urbanisasi yang bekerja di pusat kota ataupun masyarakat yang membuka usaha di pusat kota, tentu saja memiliki untuk tinggal di permukiman di sekitar pusat kota. Hal ini juga akan menyebabkan pertumbuhan perumahan permukiman di kawasan pusat kota

2.2.4. Karakteristik Permukiman Kumuh

Menurut Kuswartojo dkk (2005) permukiman kumuh yaitu permukiman yang padat, kualitas konstruksi rendah, prasarana, dan pelayanan permukiman minim adalah pengejawantahan kemiskinan. Meskipun ada pengecualian dan keadaan khusus, pada umumnya kita sepakat kalau kita memformulakan bahwa di permukiman kumuhlah masyarakat miskin tinggal. Ini terutama kita jumpai di kawasan perkotaan.

Karakteristik permukiman kumuh menurut Silas (1996) dalam Hutapea (2012) adalah sebagai berikut :


(33)

 keadaan rumah pada permukiman kumuh terpaksa dibawah standar, rata-rata 6 m²/orang. Sedangkan fasilitas kekotaan secara langsung tidak terlayani karena tidak tersedia. Namun karena lokasinya dekat dengan permukiman yang ada, maka fasilitas lingkungan tersebut tak sulit mendapatkannya

 permukiman ini secara fisik memberikan manfaat pokok, yaitu dekat tempat mencari nafkah (opportunity value) dan harga rumah juga murah (asas keterjangkauan) baik membeli atau menyewa

 manfaat permukiman disamping pertimbangan lapangan kerja dan harga murah adalah kesempatan mendapatkannya atau aksesibilitas tinggi

Menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) ciri-ciri kampung/permukiman kumuh terdiri dari :

1. penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit

2. jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain

3. fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air


(34)

4. fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah 5. fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur

dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan

6. tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat

7. pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa

Menurut Turner (1976) dalam Mulyati (2008) permukiman Spontan merupakan salah satu alternatif pemecahan yang mereka lakukan yaitu permukiman yang tidak teratur, tidak legal baik tanah, rumah, atau keduanya. Biasanya merupakan rumah gubuk dengan fasilitas yang tidak memadai tata letak fisiknya, ciri pemilikannya atau lokasinya.

Gambaran lingkungan kumuh menurut Komarudin (1997) yaitu lingkungan permukiman yang kondisi tempat tinggal atau tempat huniannya berdesakan, luas rumah tidak sebanding dengan jumlah penghuni, rumah hanya sekedar tempat berlindung dari panas dan hujan, hunian bersifat sementara dan dibangun di atas tanah yang bukan milik penghuni, lingkungan dan tata permukimannya tidak teratur tanpa perencanaan, prasarana kurang (mck, air bersih, saluran buangan, listrik, jalan lingkungan, fasilitas sosial kurang (sekolah, rumah ibadah, balai pengobatan), mata pencaharian tidak tetap dan usaha non-formal, serta pendidikan masyarakat rendah.


(35)

Menurut Yudohusodo (1991) dalam bukunya yang berjudul Rumah Untuk Seluruh Rakyat, perumahan liar tumbuhnya agak jauh dari jalan kendaraan, di pinggir-pinggir sungai dan bantaran sungai, di sepanjang jalan kereta api, di sekitar pasar dan stasiun kereta api, dan di daerah rendah yang sering kebanjiran. Daerah-daerah tersebut pada umumnya adalah berupa tanah yang belum dipergunakan, ditinggalkan atau yang tidak diawasi oleh pemegang haknya. Penghuninya merupakan pendatang dari pedesaan dan kota-kota lainnya, berpenghasilan rendah bahkan sangat rendah. Mereka tinggal di gubuk-gubuk dari bahan-bahan yang tidak tahan lama dan bahan-bahan bekas, tetapi kadang-kadang terdapat pula bangunan permanen yang cukup baik. Lingkungan permukiman kumuh mempunyai karakteristikk sebagai berikut :

 kondisi fisik lingkungan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas dan utilitas lingkungan. Walaupun ada, kondisinya sangat buruk dan disamping itu, tata letak bangunan tidak teratur.

 kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan yang bersifat semi permanen.

 kepadatan bangunan dengan KDB yang lebih besar dari yang diijinkan, dengan kepadatan penduduk yang sangat tinggi (lebih dari 500 jiwa per ha)

 fungsi-fungsi kota yang bercampur dan tidak beraturan

Siswono (1991) dalam Sulaiman (2005) membagi lingkungan kumuh dalam lima kelompok :


(36)

1. berada pada lokasi yang sangat strategis dalam mendukung fungsi kota yang menurut rencana kota dapat dibangun untuk komersial atau pelayanan masyarakat kota yang baik

2. lokasinya yang kurang strategis dalam mendukung fungsi kota dan memberi pelayanan kepada masyarakat kota. Meskipun dalam rencana kota untuk dijadikan kawasan komersial namun kurang memiliki potensi

3. lokasinya kurang strategis dan menurut rencana kota hanya boleh dibangun untuk perumahan

4. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang menurut rencana kota tidak diperuntukkan bagi perumahan

5. permukiman kumuh yang berada pada lokasi yang berbahaya, yang menurut rencana kota disediakan untuk jalur pengaman, seperti bantaran sungai, jalur jalan kereta api dan jalur tegangan listrik

2.3. Garis Sempadan Rel Kereta Api

Penyediaan RTH (Jalur Hijau) pada garis sempadan jalan rel kereta api merupakan RTH yang memiliki fungsi utama untuk membatasi interaksi antara kegiatan masyarakat dengan jalan rel kereta api. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dengan tegas menentukan lebar garis sempadan jalan kereta api di kawasan perkotaan (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 tentang penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau di kawasan perkotaan).


(37)

Tabel 2.1. Lebar Garis Sempadan Rel Kereta Api (Sumber : Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008)

2.4. Penggunaan Tanah Negara Untuk Hunian

Di daerah perkotaan, tidak tersedianya perumahan yang cukup mengakibatkan tumbuhnya slums dan semi slums yang pada gilirannya menimbulkan berbagai masalah sosio ekonomis. Di samping itu padatnya penduduk di kota akan mengakibatkan semakin kurang memadainya fasilitas permukiman seperti jalan dan prasarana lainnya. Salah satu masalah utama yang menghambat pembangunan perumahan di daerah perkotaan ialah kurang tersedianya tanah yang siap dibangun dan terus menigkatnya harga tanah serta kesulitan-kesulitan dalam proses pembebasan tanah untuk perumahan. Kebijksanaan mengenai tata guna tanah di daerah perkotaan (urban and policy) masih belum didukung oleh peraturan perundangan yang memadai (Cosmas dalam Budihardjo, 2009).

Lahan publik merupakan aset yang dimiliki oleh populasi kota dan hendaknya dimanfaatkan oleh populasi tersebut. Sayangnya saat ini lahan yang

Jalan Rel Kereta Api terletak di :

Obyek

Tanaman Bangunan

a. Jalan rel kereta api

lurus > 11 m > 20 m

b. Jalan rel kereta api belokan/lengkungan - Lengkung dalam - Lengkung luar

> 23 m > 11 m

> 23 m > 11 m


(38)

dimiliki pemerintah cenderung dilihat sebagai komoditas yang dapat dipasarkan tinimbang sebagai lahan untuk kepentingan bersama, sehingga penjualan atau penyewaan seringkali diberikan kepada penawar tertinggi untuk pusat perbelanjaan, lahan parkir, hotel mewah dan lapangan golf, alih-alih taman kota, sekolah, taman bermain, pasar rakyat, dan perumahan murah yang sangat diperlukan oleh kota-kota kita (Sumarwanto, 2014).

Salah satu cara jitu mengurangi biaya lahan untuk perumahan bagi kalangan berpenghasilan rendah adalah menggunakan lahan publik, yang dapat disewakan oleh badan pemerintah yang memilikinya, atau ditetapkan sebagai lahan berhak guna bagi perumahan komunitas berpenghasilan rendah. Ini dapat direncanakan dan dibangun dengan berbagai strategi maupun bentuk kemitraan (Thomas A.Keer-AHCR, 2009) dalam Sumarwanto (2014).

2.5. Bentuk Pola Permukiman Kumuh di Indonesia

Apabila dikaji berdasarkan strukturnya, kampung merupakan salah satu elemen pembentuk kota. Secara fisik, kondisi kampung di kota-kota besar saat ini pada umumnya sangat buruk. Hal ini terutama dipicu karena masalah kepadatan. Tingginya angka kepadatan penduduk di kampung-kampung di perkotaan membawa berbagai dampak negatif bagi kondisi kampung tersebut, yaitu : (Suparno dan Marlina, 2005)

1. kehidupan sosial yang tidak teratur

2. tingkat ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang rendah 3. kurangnya infrastruktur


(39)

4. tataguna lahan yang tidak teratur 5. kondisi rumah yang kurang sehat

Permukiman mempunyai berbagai pola yang umum terjadi akibat berbagai faktor yang mempengaruhi, antara lain: (Ahyat, 2012)

 sub kelompok komunitas, pola permukiman tipe ini berbentuk cluster, terdiri dari beberapa unit atau kelompok unit hunian, memusat pada ruang-ruang penting, seperti penjemuran, ruang terbuka umum, masjid dan sebagainya (Gambar 2.2.)

Gambar 2.2. Pola Permukiman Sub Kelompok Komunitas (Sumber : Ahyat, 2012)

face to face, pola permukiman tipe ini berbentuk linier, antara unit-unit hunian sepanjang permukiman dan secara linier terdapat perletakan pusat aktivitas yaitu tambatan perahu atau dermaga, ruang penjemuran, pasar dan sebagainya (Gambar 2.3.)


(40)

Gambar 2.3. Pola Permukiman Face to face (Sumber : Ahyat, 2012)

2.6. Kebijakan Pemerintah Dalam Mengatasi Permukiman Kumuh

Program pemerintah dalam penanganan permukiman kumuh telah dimulai sejak tahun 1969 melalui Program Perbaikan Kampung (Kampoeng Improvement Program/KIP) dan berakhir tahun 1989. Kemudian dilanjutkan dengan Pembangunan Perumahan Berbasis pada Kelompok (P2BPK) sepanjang periode 1989-2000. Pada saat bersamaan juga dilaksanakan KIP Komprehensif (1998-2002) yang telah mengadopsi aspek modal manusia dan modal sosial. Program sejenis juga dilaksanakan dengan menambahkan aspek modal ekonomi yaitu Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) pada tahun 1999, dan Community-Based Initiatives for Housing and Local Development (COBILD) (2000-2003). Pada tahun 2004 diluncurkan Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project (NUSSP) yang mengadopsi aspek fisik, sosial, manusiadan ekonomi, dan kegiatan Urban Renewal yang fokus pada aspek fisik berupa pembangunan rumah susun, peremajaan kawasan dan penataan lingkungan. Kegiatan terbaru yang dicanangkan oleh presiden pada tahun 2011 adalah


(41)

program Pro Rakyat Klaster IV yang berfokus pada penataan kawasan kumuh (Mungkasa, 2012).

Terlihat pada era tahun 2000, program yang dilaksanakan terbagi dalam 2 (dua) kategori yaitu yang bersifat menyeluruh dan fokus aspek fisik saja. Selain itu, perubahan yang terjadi tidak terlihat benang merahnya, kemungkinan karena kegiatan yang bersifat proyek dan tidak didukung oleh ketersediaan payung kebijakan penanganan permukiman kumuh (Mungkasa, 2012).

Sementara Kementerian Perumahan Rakyat pada tahun 2010 meluncurkan kegiatan Penanganan Lingkungan Perumahan dan Permukiman Kumuh Berbasis Kawasan (PLP2K-BK) dengan pendekatan Tridaya (manusia, lingkungan, ekonomi), kesesuaian dengan tata ruang, penyediaan Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU), dan keterpaduan dengan sektor lain. Kegiatan ini didukung dengan kegiatan bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) berupa penyediaan stimulan peningkatan kualitas (PK) dan pembangunan baru (PB) bagi rumah tangga kumuh, kegiatan pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa), dan disediakan skema pembiayaan melalui Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) (Mungkasa, 2012).

Pada prinsipnya KIP (Kampoeng Improvement Program) bertujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan secara menyeluruh. KIP ini dikembangkan dengan 3 program, yaitu : (Suparno dan Marlina, 2005)

1. program perbaikan lingkungan (bina lingkungan) 2. program pengembangan manusia (bina manusia) 3. program pengembangan ekonomi (bina usaha)


(42)

Berdasarkan tujuan KIP, contoh –contoh kegiatan yang dapat dilakukan pada KIP adalah sebagai berikut : (Suparno dan Marlina, 2005)

1. perbaikan jalan masuk ke lingkungan 2. perbaikan jalan untuk pejalan kaki 3. perbaikan saluran drainase

4. perbaikan saluran pembuangan 5. penyediaan air bersih

6. penyediaan MCK

7. pengadaan fasilitas sosial sebagai tambahan (misal fasilitas kesehatan, dll) 8. penyuluhan kesehatan kepada warga

Secara keseluruhan, program-program yang dilaksanakan tidak sepenuhnya dapat membantu usaha penataan dan perbaikan permukiman kumuh. Poerbo dalam Komarudin (1997) berpendapat program-program yang dijalankan pemerintah masih cenderung bersifat top down, serta kurang mampu menggali aspirasi dan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Selain itu, banyaknya proyek peremajaan permukiman kumuh yang tidak didahului oleh survei sosial merupakan penyebab lainnya. Karakteristik masyarakat yang perlu dikenali, antara lain : aspek sosial, sumber daya manusia, ekonomi (mata pencaharian), alam, dan fisik seperti kondisi fisik rumah dan lingkungan, dan lain sebagainya (Lestari, 2006).


(43)

2.7. Diagram Kepustakaan

Gambar 2.4. Diagram Kepustakaan Permukiman Kumuh

Doxiadis, 1968; Yudohusodo, 1991; Silas, 1996; Komarudin, 1997; Budihardjo, 1997; Kuswartojo, 2005

Permukiman

Rapoport, 1969; Doxiadis, 1969 & 1971; Turner, 1972; Budihardjo, 1987; Suparno

dan Marlina, 2005; Budihardjo, 2009

Budaya Bermukim Rapoport 1969

Masyarakat Berpenghasilan Rendah Turner 1968; Budihardjo, 1987;

Santoso, 2002; Panudju, 2009

Daya Beli

Yudohusodo 1991; Komarudin 1997

Permukiman Di Pinggiran Rel


(44)

2.8. Studi Kasus Sejenis

2.8.1. Kajian Luas Rumah Tinggal Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Kawasan Pusat Kota, Ahda Mulyati, 2008

Permukiman masyarakat berpenghasilan rendah merupakan kampung, yang umumnya terletak di sekitar pusat kota, mempunyai kepadatan tinggi tanpa halaman yang cukup, serta prasarana fisik lingkungan yang kurang memadai. Rumah merupakan kebutuhan dasar manusia selain sandang, pangan dan kesehatan, dan berfungsi sebagai tempat tinggal, tempat bermukim, sebagai proses yang berlanjut, sebagai shelter, mesin kehidupan, tempat bercengkerama, menjamu sahabat, mendidik anak, bekerja dan berprestasi, sebagai aset dan modal kehidupan. Karena keterbatasan lahan, ruang terbuka merupakan ruang yang paling dominan dipergunakan untuk segala aktivitas. Hasil penelitian menunjukkan : Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik sebagai ruang multi fungsi merupakan ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan dalam menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena ruang-ruang adalah milik bersama; karena keterbatasan lahan, rumah tinggal dibangun sesuai dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa mempertimbangkan faktor keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan lingkungan permukiman yang layak untuk hunian; luasan rumah tinggal masih bervariasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni.

Sesuai dengan fungsinya ruang-ruang publik yang multi fungsi merupakan ruang yang paling dominan dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan yang menunjang kehidupan pemukim, dibuat tanpa pembatas karena ruang-ruang


(45)

adalah milik bersama. Karena keterbatasan lahan, rumah tinggal dibangun sesuai dengan keinginan dan kemampuan pemukim tanpa mempertimbangkan faktor keamanan, kesehatan dan persyaratan-persyaratan lingkungan permukiman yang layak untuk hunia. Luasan rumah tinggal masih bervariasi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan jumlah penghuni.

2.8.2. Dampak Urbanisasi Terhadap Permukiman Kumuh (Slum Area) di Daerah Perkotaan, Waston Malau, 2013

Urbanisasi menyebabkan laju pertumbuhan penduduk yang pesat di daerah perkotaan sehingga menimbulkan beragam permasalahan, salah satu diantaranya adalah semakin banyaknya permukiman kumuh (slum area) pada lahan-lahan kosong di daerah perkotaan seperti bantaran sungai, bantaran rel kereta api, taman kota, maupun di bawah jalan layang. Penghuni permukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib. Mereka umumnya tidak memiliki keahlian dan jenjang pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di perkotaan. Mereka hanya bisa memasuki sektor informal dengan penghasilan yang rendah, sehingga tidak mampu mendiami perumahan yang layak.

Angka kelahiran dan urbanisasi merupakan dua faktor utama yang menyebabkan pertambahan penduduk yang pesat di daerah perkotaan. Pertambahan penduduk yang pesat ini mengakibatkan terjadinya sejumlah permasalahan di daerah perkotaan, salah satu diantaranya adalah munculnya permukiman kumuh atau daerah slum (slum area) yaitu daerah yang sifatnya kumuh dan tidak beraturan yang terdapat di daerah perkotaan. Penghuni


(46)

permukiman kumuh (daerah slum) adalah sekelompok orang yang datang dari desa menuju kota dengan tujuan ingin mengubah nasib. Mereka tidak memiliki keahlian dan jenjang pendidikan yang cukup untuk bekerja di sektor industri di daerah perkotaan, sehingga akhirnya memasuki sektor informal. Akibatnya mereka berada dalam kehidupan ekonomi yang miskin karena hanya memiliki penghasilan yang rendah tetapi harus berhadapan dengan biaya hidup yang tinggi dikota.


(47)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, karena masalah yang akan diteliti merupakan permasalahan yang bersifat sosial dan dinamis serta menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif, seperti wawancara, dokumentasi gambar, catatan lapangan dan sebagainya. Tujuan utama penelitian kualitatif menurut Sujarweni (2014) adalah untuk memahami fenomena atau gejala sosial dengan cara memberikan pemaparan berupa penggambaran yang jelas tentang fenomena atau gejala sosial tersebut dalam bentuk rangkaian kata yang pada akhirnya akan menghasilkan sebuah teori.

Definisi penelitian kualitatif menurut Moleong (2014) bahwa penelitian kualitatif adalah penelitian yang bertujuan untuk memahami fenomena secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.

3.2. Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah objek dari suatu penelitian, dapat juga disebut sebagai titik perhatian dalam penelitian. Variabel dalam penelitian ini adalah :

 pola permukiman


(48)

 orientasi bangunan

 kondisi sosial budaya dan perekonomian masyarakat

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dibagi atas 2 (dua) jenis data, yaitu data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai gambaran lingkungan di permukiman pinggiran rel kereta api pada wilayah penelitian, serta wawancara sebagian penduduk dengan tujuan mendapatkan data yang dapat mendukung penelitian ini.

Dokumentasi/Arsip, yaitu pengumpulan data studi literatur yang dilakukan dengan mempelajari teori-teori yang berhubungan dengan permukiman kumuh bantaran rel kereta api. Diperoleh dari buku-buku, karya tulis peneliti pendahulu dan media informasi lainnya untuk mendukung pembahasan dalam penelitian ini.

Observasi, berupa pengamatan langsung ke lapangan untuk mengidentifikasi kecenderungan masyarakat bermukim di pinggiran rel kereta api. Tujuan dari observasi lapangan untuk mendapatkan gambaran fisik dari permukiman tersebut.

Wawancara, yaitu melakukan tanya jawab kepada penduduk di lokasi penelitian. Wawancara ini bertujuan untuk memahami dan mengetahui kondisi masyarakat, lingkungan, serta kondisi fisik permukiman tersebut.


(49)

2. Data Sekunder

Pengumpulan data literatur yang didapatkan dari sumber tertentu untuk mendukung penelitian ini.

3.4. Kawasan Penelitian

Lokasi dalam penelitian yaitu permukiman di sepanjang rel kereta api yang terletak di Jl. Arteri Ringroad Kecamatan Medan Helvetia Kelurahan Helvetia.

Gambar 3.1. Peta Lokasi Permukiman Bantaran Rel Kereta Api (Sumber : Google Earth)


(50)

3.5. Tahapan Analisa Data

Metode analisa data yang digunakan adalah metode analisa deskriptif, untuk mengkaji kondisi sosial budaya masyarakat serta pola permukiman di kawasan penelitian. Metode analisa deskriptif yaitu cara menafsirkan data yang ada sehingga memberikan suatu gambaran yang jelas mengenai kecenderungan bermukim secara umum. Sebagaimana rincian analisanya sebagai berikut :

1. setelah data-data dikumpulkan kemudian dilakukan kompilasi data. Temuan yang diperoleh dari observasi lapangan yang di dukung oleh hasil wawancara dengan responden serta penelusuran literatur kemudian dikelompokan kedalam tema-tema tertentu yang mengilustrasikan fenomena yang ada

2. analisa dimulai dengan data fisik mengenai eksisting lapangan yang digambarkan kembali sesuai dengan hasil survey. Data tersebut dikaji sesuai dengan tujuan di dalam penelitian ini yang sudah dibahas pada bab sebelumnya.

3. data hasil penelitian mengenai pola permukiman dan kecenderungan masyarakat bermukim di pinggiran rel kereta api yang diperoleh melalui hasil observasi dan wawancara ke lapangan disusun dan dianalisis sesuai dengan temuan-temuan yang ada dan dikaitkan dalam teori-teori terkait pada bab sebelumnya.


(51)

BAB IV

PERMUKIMAN PINGGIRAN REL KA DI LINGKUNGAN XII KELURAHAN HELVETIA

4.1. Lokasi Penelitian

4.1.1. Deskripsi Kecamatan Medan Helvetia

Kecamatan Medan Helvetia terletak di wilayah Barat Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut :

 sebelah Utara : Kabupaten Deli Serdang

 sebelah Timur : Kecamatan Medan Petisah

 sebelah Selatan : Kecamatan Medan Sunggal

 sebelah Barat : Kecamatan Medan Sunggal


(52)

Kecamatan Medan Helvetia merupakan wilayah dengan luas 11,55 km² yang jumlah penduduknya sebesar 144.257 Jiwa (2011). Jumlah penduduk Kecamatan Medan Helvetia sebanyak 144.257 penduduk yang terdiri dari 70.507 orang laki-laki serta 73.552 orang perempuan. Kecamatan Medan Helvetia terdiri dari tujuh kelurahan yang membentuknya, yaitu :

1. Kelurahan Cinta Damai 2. Kelurahan Dwikora 3. Kelurahan Helvetia

4. Kelurahan Sei Sikambing C II 5. Kelurahan Helvetia Timur 6. Kelurahan Helvetia Tengah 7. Kelurahan Tanjung Gusta (Sumber : Pemko Medan)

4.1.2. Deskripsi Kelurahan Helvetia

Kelurahan Helvetia merupakan salah satu dari tujuh kelurahan yang membentuk Kecamatan Medan Helvetia dengan luas 1,003 km² yang berbatasan dengan :

 sebelah Utara : Kabupaten Deli serdang

 sebelah Timur : Kelurahan Helvetia Tengah

 sebelah Selatan : Kelurahan Dwi Kora


(53)

`

Gambar 4.2. Peta Kelurahan Helvetia (Sumber : Pemko Medan)

Penelitian yang akan dilakukan berada di Lingkungan XII Kelurahan Helvetia :


(54)

4.2. Lingkungan XII Kelurahan Helvetia

Menurut hasil survey permukiman di Lingkungan XII Kelurahan Helvetia merupakan permukiman yang berada di atas tanah ilegal yaitu tanah milik Perusahaan Jawatan Kereta Api. Awal mula permukiman ini dimulai dari tahun 1981 hingga sekarang dengan adat turun temurun. Pada tahun 1981-1984 hanya ada 3 bangunan saja di permukiman tersebut. Permukiman ini berada di bagian utara rel kereta api yang menuju ke kota Binjai. Di bagian selatan permukiman Lingkungan XII berbatasan dengan permukiman liar pinggiran rel kereta api juga tetapi di Kelurahan Dwi Kora. Sampai saat ini belum ada program pemerintah yang mengatasi permukiman liar tersebut.

4.2.1. Kondisi Sosial Budaya dan Perekonomian Masyarakat

Permukiman Lingkungan XII Kel. Helvetia terlihat cukup padat dari kondisi hunian yang tidak beraturan. Walaupun masyarakat tinggal diatas tanah milik negara, rata-rata penghuni di permukiman Lingkungan XII memiliki kartu tanda penduduk. Berikut ialah kondisi sosial budaya dan perekonomian masyarakat di Lingkungan XII :

1. Keadaan Penduduk

Berdasarkan data yang diperoleh dari Kepala Lingkungan di Lingkungan XII tersebut terdapat 100 rumah dengan 110 KK, beberapa diantaranya terdapat 5 rumah dengan 2 KK dalam satu bangunan/rumah.

Terkait dengan teori menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) yang menyatakan salah satu dari ciri permukiman kumuh ialah penduduk sangat padat


(55)

antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis dan psikologis.

2. Sosial Ekonomi

Kondisi sosial ekonomi penduduk di lingkungan tersebut rata-rata ialah masyarakat berpenghasilan rendah. Mata pencaharian penduduk sekitar menurut hasil survey adalah tukang bangunan, tukang becak, pedagang baju bekas, pedagang kios, pemulung, dan lainnya. Rata-rata penghasilan masyarakat di Lingkungan XII sekitar Rp 50.000 – Rp 150.000 per harinya.

Hal tersebut terkait dengan pernyataan menurut Sumarwanto (2014) yang menyatakan bahawa potret masyarakat berpenghasilan rendah tercermin dari kondisi sosial ekonomi dalam kehidupannya dan ditunjukkan dengan kondisi perumahan yang tidak memadai seperti di pinggiran rel kereta api.

3. Sosial Budaya

Penduduk di Lingkungan XII memiliki keragaman suku (etnis) dan agama. Variasi suku yang telah diketahui ialah suku batak dan jawa yang mayoritasnya beragama Nasrani (Kristen Protestan). Sebagian penduduk adalah masyarakat yang berpindah dari tanah jawa dan sebagian lagi pindahan dari sekitaran kota Medan.

Pada awal-awal penduduk bertempat tinggal di permukiman Lingkungan XII, rata-rata penduduk di permukiman tersebut merasa gelisah dengan suasana


(56)

permukiman yang hanya jarak beberapa meter dari rel kereta api tersebut, tetapi setelah bertahun-tahun penduduk sudah terbiasa dengan suasana kereta api yang berlalu lalang setiap jamnya. Sampai saat ini selama 10 tahun hanya ada 4 kejadian/kecelakaan yang telah terjadi di rel kereta api tersebut.

4. Fungsi dan Kegiatan

Permukiman Lingkungan XII merupakan hunian diatas tanah milik Perusahaan Jawatan Kereta Api, tetapi bangunan rumah adalah milik tiap penghuni. Pada permukiman ini rata-rata masyarakat bekerja diluar permukiman dan fungsi hunian hanya untuk tempat tinggal saja, tetapi ada salah satu masyarakat yang membuka usaha koperasi di permukiman tersebut.

Permukiman Lingkungan XII memiliki ciri-ciri permukiman kumuh terkait dengan teori menurut Budihardjo (1987) yang menyatakan bahwa ciri-ciri permukiman kumuh antara lain berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata ruang dan kepadatan bangunan sangat tinggi.

Masyarakat di permukiman Lingkungan XII memanfaatkan beberapa kegiatan di sekitar rel kereta api seperti tempat penjemuran, duduk santai bagi warga di sore hari, maupun aktifitas lainnya.

5. Ruang Hunian Penduduk

Pada permukiman Lingkungan XII fungsi rumah hanya untuk hunian saja. Luas rumah pada permukiman tersebut bervariasi. Menurut hasil survey pada awal lahan permukiman masih tanah kosong, penduduk yang pertama


(57)

membangun rumah yang mendapat tanah lebih besar dari penduduk lain yang terakhir mendapatkan lahan untuk membangun rumah mereka.

Dari gambar berikut ini, luas rumah di permukiman tersebut ±35 m² yaitu 6x5 m untuk memenuhi kehidupan penduduk sehari-hari. Hunian berfungsi sebagai penunjang kegiatan sehari-hari seperti tempat beristirahat, memasak, menjemur pakaian, dan kegiatan rumah tangga lainnya.

Gambar 4.4. Kondisi Ruang Hunian Penduduk (Sumber : Peneliti, 2015)

Berikut gambaran penggunaan ruang hunian oleh penduduk di permukiman Lingkungan XII :


(58)

Gambar 4.5. Penggunaan Ruang Hunian (Sumber : Peneliti, 2015)

6. Status Kepemilikan Lahan

Bangunan yang berdiri di pinggiran rel kereta api tersebut adalah bangunan yang dibangun langsung oleh penduduk di atas tanah milik Perusahaan Jawatan Kereta Api dengan membayar sewa hak pakai tanah (terakhir pada tahun 2006) ke pihak yang bersangkutan, dengan kata lain tanah tersebut merupakan tanah ilegal dan tidak jelasnya status kepemilikan terhadap tanah dan bangunannya. Hal itu sesuai dalam Budihardjo (1997) dalam Sulaiman (2005) yang menyatakan bahwa permukiman kumuh liar menenempati lahan yang tidak ditetapkan untuk kawasan hunian, misalnya di sepanjang rel KA. Pada kenyataannya, keadaan permukiman di bantaran rel kereta api tersebut merupakan daerah padat permukiman.


(59)

Berikut gambaran aktifitas masyarakat di Lingkungan XII :


(60)

Berikut gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat di Lingkungan XII :


(61)

4.2.1.1.Tumbuhnya Permukiman Lingkungan XII

Kondisi sosial budaya dan ekonomi sangat memprihatinkan bagi penduduk di permukiman Lingkungan XII. Kurangnya sarana dan prasarana serta fasilitas di lingkungan tersebut serta status kepemilikan tanah yang ilegal tetapi tetap ada pungutan biaya sewa hak pakai atas tanah milik negara ke perusahaan yang bersangkutan. Minimnya pendapatan bagi penduduk yang menyebabkan tumbuhnya permukiman liar di pinggiran rel kereta api Lingkungan XII.

Terkait dengan teori menurut Komarudin (1997) yang mengatakan bahwa penyebab utama tumbuhnya lingkungan kumuh adalah urbanisasi dan migrasi yang tinggi terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah, sulitnya mencari pekerjaan serta sulitnya mencicil atau menyewa rumah. Menurut hasil survey, beberapa warga yang berpindah dari permukiman sebelumnya dikarenakan :

 ketidakmampuan mereka dalam membayar sewa, karena pendapatan yang kecil sehingga tidak mampu untuk membayar sewa rumah dan pindah ke permukiman pinggiran rel kereta api

 digusur dari permukiman mereka sebelumnya

 sudah turun temurun dari keluarga, dahulu dihuni oleh orang tua mereka sebelumnya

 pindahan dari pulau Jawa


(62)

(63)

4.2.1.2. Pola Permukiman

Permukiman Lingkungan XII terletak dekat dengan Jl. Arteri Ringroad sehingga cenderung pesat dan strategis. Terkait dengan karakteristik lingkungan kumuh menurut Siswono (1991) dalam Sulaiman (2005) yaitu permukiman tersebut berada pada lokasi yang tidak dibenarkan bagi perumahan serta berada pada lokasi yang berbahaya seperti bantaran sungai, jalur jalan kereta api dan jalur tegangan listrik.

Tipe pola permukiman di Lingkungan XII ini berbentuk linier membentang di sepanjang rel kereta api. Secara linier membentuk pusat aktifitas di halaman bangunan maupun di rel kereta api seperti tempat penjemuran, duduk santai bagi warga di sore hari, maupun aktifitas lainnya.


(64)

Permukiman ini berada sekitar ±4m dari rel kereta api dan ada juga yang sekitar ±2m dari rel kereta api. Hal itu tidak sesuai dari peraturan pemerintah yang manyatakan bahwa garis sempadan rel kereta api bagi bangunan adalah > 20m. Kondisi kampung secara fisik menurut Yudohusodo (1991), tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, yaitu kurangnya atau tidak tersedianya prasarana, fasilitas dan utilitas lingkungan serta kehidupan sosial yang tidak teratur.

Gambar 4.10. Jarak Antara Bangunan dan Rel KA : kiri ±4 m dan kanan ±2 m (Sumber : Peneliti, 2015)


(65)

4.2.1.3.Material Bangunan

Salah satu karakteristik dari permukiman kumuh ialah tampilan dari bangunan yaitu material yang dipakai untuk sebuah rumah. Secara fisik permukiman kumuh dibangun dengan material yang tidak layak dan pada umumnya tidak permanen. Menurut Yudohusodo (1991) bangunan di permukiman liar biasanya kondisi bangunan yang sangat buruk serta bahan-bahan bangunan yang digunakan adalah bahan bangunan yang bersifat semi permanen.

Material bangunan di Lingkungan XII rata-rata menggunakan bahan permanen dan semi-permanen. Masyarakat membangun rumah mereka sesuai dengan kondisi ekonomi masing-masing. Maka dari itu, bangunan rumah di permukiman Lingkungan XII menggunakan material yang berbeda-beda.

a. Dinding Bata

Bangunan rumah di permukiman Lingkungan XII hampir seluruhnya menggunakan dinding bata. Dari data survey, yang menggunakan dinding bata rata-rata sudah bermukim sejak lama di permukiman tersebut. Pada awalnya sebelum menggunakan dinding bata masyarakat membangun rumah mereka menggunakan kayu/tepas terlebih dahulu. Seiring dengan waktu, perlahan-lahan masyarakat mulai membangun rumah mereka menggunakan dinding bata agar lebih kokoh dan nyaman untuk ditinggali.


(66)

Gambar 4.11. Bangunan yang Menggunakan Material Dinding Bata (Sumber : Peneliti, 2015)

b. Dinding Kayu

Tidak banyak bangunan rumah di permukiman Lingkungan XII yang menggunakan bahan material kayu. Rumah yang menggunakan material kayu tersebut terletak diantara rumah-rumah yang menggunakan material bata, tidak mengelompok di satu daerah tertentu.

Gambar 4.12. Bangunan yang Menggunakan Material Kayu


(67)

c. Campuran

Rumah-rumah di Lingkungan XII ada juga yang menggunakan material campuran antara kayu, seng, dan bata. Hanya beberapa rumah saja yang menggunakan material campuran tersebut.

Gambar 4.13. Bangunan yang Menggunakan Material Campuran (Sumber : Peneliti, 2015)

Rumah di Lingkungan XII rata-rata menggunakan material dinding bata. Bangunan yang menggunakan material bata cenderung memiliki kekuatan yang lebih baik dibandingkan bangunan yang menggunakan material kayu dan seng.

Beberapa bangunan di permukiman tersebut menggunakan material kayu dan campuran antara dinding bata, kayu dan seng karena proses pembangunannya yang lebih cepat dan konstruksinya yang tidak sulit untuk dibangun serta tidak menggunakan biaya yang besar sesuai dengan penghasilan penduduk yang rata-rata rendah.


(68)

Berikut gambaran mengenai penggunaan material pada bangunan di Lingkungan XII :


(69)

Gambar 4.15. Penggunaan Material pada Bangunan (2) (Sumber : Peneliti, 2015)

4.2.1.4.Orientasi Bangunan

Permukiman pada suatu lingkungan mempunyai gambaran umum tentang pola pada orientasi bangunan terhadap faktor yang mempengaruhinya. Pada lingkungan ini bangunan berbentuk linier membentang di sepanjang rel kereta api bagian utara dengan sekitar ±51 rumah menghadap rel kereta api dan sekitar ±40


(70)

rumah menghadap tembok (membelakangi rel kereta api). Dari hasil survey, pada awalnya rumah di permukiman tersebut menghadap rel kereta api. Semakin berkembangnya permukiman di lingkungan tersebut rumah-rumah selanjutnya dibangun penduduk membelakangi rel kereta api dikarenakan posisi kamar mandi yang ingin menghadap rel kereta api.

Gambar 4.16. Orientasi Bangunan Menghadap Rel Kereta Api (Sumber : Peneliti, 2015)


(71)

Berikut merupakan orientasi bangunan yang membelakangi rel kereta api :

Gambar 4.17. Orientasi Bangunan Membelakangi Rel Kereta Api (Sumber : Peneliti, 2015)


(72)

4.2.1.5.Sarana dan Prasarana Lingkungan a. Air Bersih

Rumah-rumah di permukiman Lingkungan XII mendapatkan air bersih dari sumur dengan menggunakan mesin air. Sampai saat ini masyarakat tidak menggunakan fasilitas air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM). Terkait dengan ciri-ciri permukiman kumuh menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) yaitu fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan serta fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

b. Jaringan Listrik

Fasilitas listrik di permukiman Lingkungan XII sudah memadai. Seluruh bangunan hunian sudah memiliki aliran arus listrik. Arus listrik di permukiman Lingkungan XII difasilitasi oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Gambar 4.18. (a) Tiang Listrik dan (b) Meteran Listrik di Beberapa Rumah (Sumber : Peneliti, 2015)


(1)

4.2.1.5.Sarana dan Prasarana Lingkungan

a. Air Bersih

Rumah-rumah di permukiman Lingkungan XII mendapatkan air bersih dari sumur dengan menggunakan mesin air. Sampai saat ini masyarakat tidak menggunakan fasilitas air bersih dari Perusahaan Air Minum (PAM). Terkait dengan ciri-ciri permukiman kumuh menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) yaitu fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan serta fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

b. Jaringan Listrik

Fasilitas listrik di permukiman Lingkungan XII sudah memadai. Seluruh bangunan hunian sudah memiliki aliran arus listrik. Arus listrik di permukiman Lingkungan XII difasilitasi oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Gambar 4.18. (a) Tiang Listrik dan (b) Meteran Listrik di Beberapa Rumah (Sumber : Peneliti, 2015)


(2)

c. Drainase

Menurut Sinulingga (2005) dalam Hutapea (2012) salah satu ciri permukiman kumuh ialah fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalan-jalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air.

Pada permukiman Lingkungan XII, saluran drainasenya berbeda-beda ukuran. Saluran drainase di permukiman tersebut tidak memadai bagi sebuah permukiman, seperti halnya lebar dinding parit yang sangat keci, ada juga parit yang tidak berdinding semen tetapi berdinding tanah dan tinggi parit yang sangat minim.


(3)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah disusun pada bab-bab sebelumnya dan sesuai dengan data-data yang diperoleh selama penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Kondisi lingkungan permukiman di Lingkungan XII yang cukup padat serta tidak dilengkapi dengan sarana dan prasarana lingkungan yang baik, termasuk dalam kategori permukiman kumuh.

2. Permukiman kumuh di perkotaan pertumbuhannya di latar belakangi oleh faktor ekonomi masyarakat yaitu terbatasnya kemampuan daya beli masyarakat.

3. Bangunan di bantaran rel kereta api ini berbentuk pola linier yaitu membentang di sepanjang rel kereta api dengan orientasi bangunan yang menghadap rel kereta api dan sebagian membelakangi rel kereta api. Jarak antara rel kereta api dengan bangunan hanya sekitar ±4 m dan ±2 m. Bangunan rumah yang berdiri di pinggiran rel kereta api tersebut secara keseluruhan bangunan permanen yang menggunakan material dinding bata dan ada beberapa bangunan semi-permanen yaitu bangunan yang menggunakan material kayu, seng dan campuran.


(4)

4. Bangunan di permukiman ini terbentuk karena dipengaruhi oleh latar belakang ekonomi penduduk. Faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk bermukim di pinggiran rel kereta api tersebut dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam membeli rumah yang layak serta berpenghasilan rendah. Faktor lain yang mendukung ialah tergusurnya permukiman mereka terdahulu dan tidak mampu membayar uang sewa untuk hunian yang semestinya.

5.2. Saran

Saran yang dapat dipertimbangkan bagi pemerintah untuk Kawasan Permukiman Lingkungan XII Kelurahan Helvetia yaitu perlu dilakukan program permukiman bagi masyarakat berpenghasilan rendah terutama bagi lahan-lahan yang tidak layak untuk dihuni dan berstatus ilegal. Program tersebut dimulai dari sosialisasi kepada warga setempat mengenai permukiman yang layak dan terencana.

Bagi masyarakat setempat perlu mengadakan kegiatan kebersihan lingkungan permukiman dan menjaga kebersihan masing-masing tempat tinggal mereka meskipun sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai pemulung, kemudian memelihara dan menjaga sarana dan prasarana yang telah disediakan dengan baik. Masyarakat harus mentaati peraturan pemerintah dalam memelihara dan meningkatkan kualitas lingkungan permukiman.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Ahyat, Baihaki (2012) Kajian Permukiman Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus : Krueng Langsa). Tesis Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Medan

Basri, Hasyim; dkk (2010), Model Penanganan Permukiman Kumuh (Studi Kasus ; Permukiman Kumuh Kel. Pontap Kec. Wara Timur Kota Palopo), Jurnal Seminar Nasional Perumahan Permukiman dalam Pembangunan Kota 2010, Jurusan Arsitektur ITS.

Batudoka, Zubair (2005), Kota Baru dan Aspek Permukiman Mendepan, Jurnal SMARTek, Vol. 3, No. 1, Pebruari 2005 : 27-36, Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako Palu.

Budihardjo, Eko (1987) Percikan Masalah Arsitektur Perumahan Perkotaan, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Budihardjo, Eko (2009) Perumahan & Permukiman di Indonesia, Bandung : PT. Alumni Bandung.

Hutapea, Julintri (2012) Analisis Faktor Penyebab Permukiman Kumuh Di Kota Medan (Studi Kasus : Kecamatan Medan Belawan). Skripsi Program Studi S1-Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara, Medan

Komarudin (1997) Menelusuri Pembangunan Perumahan Dan Permukiman, Jakarta : Yayasan REI – PT. Rakasindo.

Kuswartojo, Tjuk, dkk (2005) Perumahan dan Permukiman di Indonesia, Bandung : ITB Bandung.

Lestari, Forina (2006) Identifikasi Tingkat Kerentanan Masyarakat Permukiman Kumuh Perkotaan Melalui Pendekatan Suistainable Urban Livelihood (SUL) (Studi Kasus : Kel. Tamansari, Bandung). Skripsi ITB, Bandung Malau, Waston (2013), Dampak Urbanisasi Terhadap Permukiman Kumuh (Slum

Area) di Daerah Perkotaan, Jurnal JUPIIS VOLUME 5 Nomor 2, Desember 2013, Program Studi Pendidikan Antropologi FIS UNIMED. Mulyati, Ahda (2008), Kajian Luas Rumah Tinggal Masyarakat Berpenghasilan

Rendah di Kawasan Pusat Kota, Jurnal SMARTek, Vol. 6, No. 3, Agustus 2008: 184 – 19, Jurusan Arsitektur Universitas Tadulako Palu.


(6)

Moleong, Lexy J. (2014) Metodologi Penelitian Kualitatif(Edisi Revisi), Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Mungkasa, Oswar .2012. Peluang dan Tantangan Penanganan Permukiman Kumuh melalui Kemitraan Pemerintah Swasta dan Masyarakat, (Online), (http://www.academia.edu/2774636, diakses 15 Maret 2015)

Panudju, Bambang (2009) Pengadaan Perumahan Kota Dengan Peran Serta Masyarakat Berpenghasilan Rendah, Bandung : PT. Alumni Bandung. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 05/PRT/M/2008 Tentang Penyediaan

dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan. 2008. Jakarta : Sekretariat Negara.

Rapoport, Amos (1969) House Form and Culture,Englewood Cliffs, New York : Prentice Hall Inc.

Sastra M, Suparno dan Endy Marlina (2005) Perencanaan Dan Pengembangan Perumahan, Yogyakarta : ANDI Yogyakarta.

Simollah, M .2011. Fenomena Perkampungan Kumuh di Tengah Perkotaan, (Online), (http://www.academia.edu/6189333, diakses 25 Februari 2015) Sujarweni, V. Wiratna (2014) Metodologi Penelitian, Jakarta : Pustaka Baru Press Sulaiman (2005) Proses Partisipasi Masyarakat Dalam Program Penataan Lingkungan Permukiman Kumuh di Kelurahan Tanjung Unggat. Tesis Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah Dan Kota Universitas Dipenogoro, Semarang

Sumarwanto (2014), Pengaruh Masyarakat Berpenghasilan Rendah dan Permukiman Kumuh Terhadap Tata Ruang Wilayah di Semarang, Jurnal Ilmiah Serat Acitya, UNTAG Semarang.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. 2011. Jakarta : Sekretariat Negara.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. 2011. Jakarta : Sekretariat Negara.

Yudohusodo, Siswono (1991) Rumah Untuk Seluruh Rakyat, Jakarta : INKOPPOL, Unit Percetakan Bharakerta.