Pengurus Nasional AP2I

G P A N L O Halaman 17 Akuntabilitas Proporsionalitas

C. Standar Pelaksanaan

III. Pengurus Nasional AP2I

SUSUNAN PENGURUS ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA AP2I PERIODE 2006 - 2009 PENUTUP profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaranaan negara, pemerintahan, dan pembangunan. , setiap pelaksanaan dan hasil akhir dari kegiatan dalam institusi unit organisasi harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pimpinan dan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. , selalu mengutamakan kepentingan pelaksanaan tugas, dan tanggungjawab organisasi, dengan tetap memperhatikan adanya kepentingan lainnya secara seimbang. 1. Nilai-nilai pribadi dan standar perilaku seperti tersebut diatas, dilaksanakan dalam bentuk ucapan, sikap dan tindakan. 2. Perencana wajib menjaga kewenangan yang dimiliki dengan berperilaku sesuai dengan kode etik Perencana. 3. Perencana wajib menempatkan loyalitas kepada hukum, norma, etika, dan moral diatas kepentingan pribadi dan atau golongan dalam pelaksanaan tugas pokoknya. 4. Kode Etik diterapkan dengan tegas, dan mengandung sanksi profesi dan penjatuhan hukuman disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi yang melanggarnya. Seluruh Pemangku Jabatan Fungsional Perencana di Pusat dan Daerah diharuskan mematuhi dan melaksanakan Kode Etik Perencana. Perencana dapat dikenakan sanksi profesi atas pelanggaran atau penyimpangan ketentuan dalam Kode Etik Perencana. Pengurus Nasional mewakili ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA keluar dan ke dalam, dengan masa kepengurusan tiga tahun, yang dipilih dan diangkat oleh Musyawarah Nasional; Pengurus Nasional bertugas menjabarkan Garis Besar Program ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA dan menyusun kegiatan-kegiatannya termasuk jadwal pelaksanaannya secara umum; Pengurus Nasional dalam melaksanakan tugasnya memiliki kewenangan untuk: 1. Menetapkan kebijakan operasional dan rencana kerja. 2. Menilai dan mengukuhkan Komisariat Wilayah. 3. Membentuk panitia khusus yang bersifat , mengangkat penasehat akhli yang diperlukan untuk mendukung ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA dalam berbagai kegiatan dan tugas-tugas tertentu. 4. Menetapkan sanksi organisasi terhadap anggota ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA yang melakukan pelanggaran atas Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA. 5. Menetapkan sanksi organisasi terhadap Komisariat Wilayah ASOSIASI PERENCANA PEMERINTAH INDONESIA yang tidak melaksanakan dan atau melakukan pelanggaran atas ketentuan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan organisasi lainnya KETUA : HERRY SUHERMANTO BAPPENAS WAKIL KETUA : NOKO SUDARISMAN BPPT SEKJEN : GUSPIKA BAPPENAS BENDAHARA UMUM : WATTY KARYATI DEP. KEHUTANAN KETUA BIDANG PENGEMBANGAN ORGANISASI : DAROEDONO BAPPENAS KETUA BIDANG KERJASAMA ANTAR LEMBAGA : HERMANI WAHAB BAPPENAS KETUA BIDANG DIKLAT : INDRA TJAHAJA BAPPENAS KETUA BIDANG INFORMASI KEHUMASAN : MARUHUM BATUBARA BAPPENAS KETUA BIDANG HUKUM : YUSNATIN MAHKAMAH AGUNG KETUA BIDANG LITBANG : URBANUS BPPT KETUA BIDANG PENGEMBANGAN PROFESI : ASIH ROHMANI DEP. PERTANIAN Melalui AP2I diharapkan kualitas output perencanaan dapat ditingkatkan melalui komunikasi yang intens baik secara vertikal maupun horizontal, pusat dan daerah, lintas lembaga dan lintas disiplin keilmuan. Diharapkan keberadaan AP2I ini dapat menghasilkan sinergi antara BAPPENAS dengan lembagaunit perencana lain. Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugas sebagai perencana diharapkan tetap memperhatikan kaidah dan norma kompetensi dan profesionalitas perencana yang ditetapkan oleh instansi masing-masing, baik dipusat maupun didaerah Diharapkan AP2I dapat bekerja sama dengan BAPPENAS, untuk turut serta dalam mendukung program peningkatan kompetensi dan profesionalitas perencana. Kerjasama antara lain dapat melalui pengembangan mekanisme sertifikasi dan akreditasi , penerbitan jurnal ilmiah, penyusunan kurikulum diklat , pelaksanaan diklat perencanaan , dan penyususnan mekanisme uji kompetensi perencana pemerintah Diharapkan agar AP2I dapat menjadi organisasi profesi yang demokratis, non partisan, transparan dan inovatif untuk menjadikan perencana menjadi profesional yang produktif, serta mampu menjadikan JFP sebagai jabatan yang menarik, prestisius dan memiliki kesetaraan dengan jabatan struktural . oo00oo ad hoc Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan G P L A N L O BULETIN Halaman 18 Tulisan dibawah ini merupakan integrasi dari beberapa artikel penulis yang telah dimuat antara lain di Majalah Kehutanan Indonesia MKI, Buletin Planolog dan tabloid AGROINDONESIA. Semoga dapat memberi gambaran sisi lain dari kompleksitas persoalan perencanaan ruang kehutanan Pendahuluan Sekilas Penataan Ruang Pengaturan ruang di Indonesia telah ditetapkan melalui UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Urgensi pengaturan ruang ini secara jelas telah dituangkan dalam alasan menimbang yang mendasari penetapan UU ini. Disebutkan antara lain bahwa letak dan kedudukan strategis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan keanekaragaman ekosistemnya merupakan sumberdaya alam SDA yang perlu dikelola dan dilindungi untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, untuk itu pengelolaan SDA yang berada di daratan, lautan dan udara perlu dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan dalam pola yang berkelanjutan dengan mengembangkan dalam dalam satu kesatuan tata lingkungan yang dinamis serta tetap memelihara kelestarian kemampuan lingkungan hidup. Kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang ternyata telah berpengaruh besar pada proses penetapan perencanaan tata ruang suatu wilayah dalam bentuk sulitnya ruang yang akan ditetapkan menjadi acuan pihak-pihak yang akan memanfaatkan ruang tersebut. Beragam alasan dapat disebutkan sebagai penyebabnya, antara lain: Interest ekonomi politik terhadap ruang yang bersangkutan, belum ditampungnya kondisi riil masyarakat yang mendiami ruang tersebut dalam peraturan perundangan, Konflik lahan yang terdapat di dalam kawasan hutan, belum sinkronnya kewenangan pengelolaan ruang oleh berbagai sektor terhadap ruang yang sama. Makalah ini mencoba menelaah kompleksitas permasalahan pengelolaan ruang khususnya ruang kehutanan Kawasan Hutan dalam perencanaan tata ruang dengan fokus pada persoalan tenurial dan konflik pengelolaan ruang dengan sektor non kehutanan, dengan urutan penyajian sbb: memahami sekilas penataan ruang, kawasan hutan sebagai bagian dari tata ruang nasional, tenurial dalam kawasan hutan, konflik ruang lintas sektor. Dalam UU No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, terdapat pengertian yang berkaitan dengan ruang, antara lain: Ruang, Tata Ruang, Penataan Ruang, Rencana Tata Ruang, Wilayah dan Kawasan. adalah wadah yag meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang baik direncanakan maupun tidak. Sedangkan adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Selanjutnya adalah adalah hasil perencanaan tata ruang. adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Sedangkan adalah wilayah dengan fungsi utama lindung dan budidaya. Kawasan ini terdiri dari Kawasan Lindung, Kawasan Budidaya, Kawasan Perdesaan, Kawasan Perkotaan, Kawasan Tertentu. Penjabaran kawasan secara rinci diatur dalam Peraturan Pemerintah PP No. 47 tahun 1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, detailnya diuraikan dibawah ini : 1 Kawasan Lindung a. Kawasan yang memberikan perlindungan kawasan bawahannya - Kawasan hutan lindung HL - Kawasan bergambut - Kawasan resapan air b. Kawasan perlindungan setempat - Sempadan pantai - Sempadan sungai - Kawasan sekitar danauwaduk - Kawasan sekitar mata air - Kawasan terbuka hijau kota termasuk didalmnya hutan kota C. Kawasan Suaka Alam - Cagar Alam CA - Suaka Margasatwa SM d. Kawasan Pelestarian Alam - Taman Nasional TN - Taman Hutan Raya Tahura - Taman Wisata Alam TWA e. Kawasan Cagar Budaya f. Kawasan Rawan Bencana Alam g. Kawasan Lindung lainnya - Taman Buru TB - Cagar biosfir - Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah - Kawasan Pengungsian Satwa - Kawasan Pantai Berhutan Bakau 2 Kawasan Budidaya a. Kawasan Hutan Produksi - Kawasan Hutan Produksi Terbatas - Kawasan Hutan Produksi Tetap - Kawasan Hutan Produksi yang dapat dikonversi b. Kawasan Hutan Rakyat tata ruang Ruang Tata ruang Penataan Ruang Rencana Tata Ruang Wilayah Kawasan PERENCANAAN RUANG KEHUTANAN Oleh : Ali Djajono 1 G P A N L O Halaman 19 - Kawasan Pertanian Lahan Basah - Kawasan Pertanian Lahan Kering - Kawasan Tanaman TahunanPerkebunan - Kawasan Peternakan - Kawasan Perikanan d. Kawasan Pertambangan e. Kawasan Peruntukkan Industri f. Kawasan Pariwisata g. Kawasan Permukiman 3 Kawasan Tertentu Dengan demikian pada dasarnya seluruh wilayah di Indonesia sesuai dengan manfaat dan fungsinya, penataan ruang telah diatur dalam peraturan perundangan ini. Didalamnya juga telah diatur kemungkinan untuk dilakukan peninjauan kembali secara berkala mengingat dinamika pembangunan dan pengembangan wilayah. Namun prosedur pelaksanaan peninjauan kembali tersebut yang berakibat pada perubahan fungsi dan pemanfaatannya khususnya yang berskala besar dan berdampak penting harus melalui persetujuan legeslatif. Kawasan hutan yang merupakan bagian dari wilayah negara RI, pengaturannya juga telah menjadi bagian dari Tata Ruang Nasional. Hanya dalam peraturan perundangan ini tidak diatur mengenai keberadaan hak penguasaan atau hak pengelolaanpemanfataan terhadap ruang yang akan diatur. Penetapan ruangnya lebih ditujukan pada pembagian ruang dalam suatu wilayah sesuai dengan fungsi dan manfaatnya. Padahal permasalahan yang muncul terkait dengan ruang tidak dapat dilepaskan dari penegasan terhadap hak penguasaan terhadap ruang tersebut, apakah itu sebagai ataupun sebagai wilayah Seperti telah ditetapkan dalam PP. No. 47 tahun 1997 tentang Tata Ruang Nasional, Kawasan Hutan merupakan bagian dari Tata Ruang Nasional. Dalam pembagian wilayah kawasan sesuai fungsinya yaitu Lindung dan Budidaya, maka kawasan hutan diatur sebagai berikut: 1. Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan lindung adalah : a. Hutan Lindung HL. b. Kawasan Pelestarian Alam, yang meliputi: Taman Nasional TN, Taman Hutan Raya TAHURA, Taman Wisata Alam TWA. c. Kawasan Suaka Alam, yang meliputi: Cagar Alam CA dan Suaka Margasatwa SM. d. Taman Buru 2. Kawasan Hutan yang berfungsi sebagai kawasan budidaya adalah: a. Hutan Produksi, yang meliputi: Hutan Produksi Tetap, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi. Sesuai dengan PP No. 47 tahun 1997 tentang RTRWN dan PP. No. 34 tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, kriteria dari masing-masing kawasan hutan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Kriteria Hutan Lindung HL: a. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka peningbang mempunyai jumlah nilai skor 175 atau lebih, danatau b. Kawasan hutan yang mempunyai lereng lapangan 40 atau lebih, danatau c. Kawasan hutan yang mempunyai ketinggian di atas permukaan laut 2000 m atau lebih. 2. Kriteria Cagar Alam CA : a. Kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, danatau b. Mewakili formasi biota tertentu adanatau unit-unit penyusunnya, danatau c. Mempunyai kondisi alam, baikbiota mauoun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, danatau d. Mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas, danatau e. Mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta kenberadaannya memerlukan konservasi. 3. Kriteria Suaka Margasatwa SM: a. Kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembang-biakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya dan atau b. Memiliki keanekaragamansatwa yang tinggi, dan atau c. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan atau d. Mempunyai luas yang cukup sebagai habitat habitan jenis satwa yang bersangkutan. 4. Kriteria Taman Nasional TN: a. Wilayah yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup unuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami b. Memiliki sumberdaya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun jenis satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan lestari c. Satu atau beberapa ekosistem yang terdapat didalamnya secara materi atau secara fisik tidak dapat diubah oleh eksploitasi maupun pendudukan oleh manusia d. Memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam e. Merupakan kawasan yang dapat dibagi kedalam zona inti, zona pemanfaatan dan zona lain yang dapat mendukung upaya pelestarian sumberdaya alam hayati da ekosistemnya. state property, common property, private property open acces. Kawasan Hutan Sebagai Bagian Tata Ruang Nasional G P L A N L O BULETIN Halaman 20 a. Merupakan wilayah dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya masih utuh ataupun kawasan yang sudah berubah b. Memiliki keindahan alam, tumbuhan, satwa dan gejala alam c. Mudah dijangkau dan dekat dengan pusat-pusat emukiman penduduk d. Mempunyai luas yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan danatau satwa baik jenis asli danatau bukan asli 6. Kriteria Taman Wisata Alam TWA : a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya yang masih asli serta formasi geologi yang indah, unik dan nyaman b. Mempunyai luas yang cukup untuk menjamin pelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam c. Kondisi lingkungan disekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam d. Mudah dijangkau dan dengan pusat-puast pemukiman penduduk. 7. Kriteria Taman Buru : a. Areal yang ditunjuk mempunyai luas yang cukup dan lapangannya tidak membahayakan danatau b. Kawasan yang terdapat satwa buru yang dikembangbiakkan sehingga memungkinkan perburuan secara teratur dengan mengutamakan segi rekreasi, olahraga dan kelestarian satwa. 8. Kriteria Hutan Produksi Terbatas HPT : d Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 125-175 diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam 9. Kawasan Hutan Produksi Tetap HP : a. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 124 atau kurang, diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam 10. Kawasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi HPK : a. Kawasan hutan dengan faktor-faktor kelas lereng, jenis tanah dan intensitas hujan masing-masing dikalikan dengan angka penimbang mempunyai jumlah nilai skor 124 atau kurang, diluar Hutan Suaka Alam dan Hutan Pelestarian Alam b. Kawasan hutan yang secara ruang dicadangkan untuk digunakan bagi pengembangan transprtasi, transmigrasi, permukiman, pertanian, perkebunan, industri dan lain-lain. Kriteria-kriteria tersebut hanya berdasarkan kriteria teknis lapangan. Selanjutnya pengaturan terhadap pengelolaan ruang kawasan hutan diatur dan tunduk pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan perundangan turunannya, termasuk didalamnya pengaturan mengenai perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan untuk keperluan review atau peninjauan kembali tata ruang. Namun pengaturan ruang kawasan hutan dalam UU No. 41 tentang Kehutanan tidak mengatur secara rinci pengaturan yang terkait dengan tenurial. Hanya disana disebutkan bahwa hutan merupakan kekayaan alam yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Selanjutnya penguasaan hutan oleh negara tersebut memberi wewenang kepada Pemerintah untuk: a mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, b Menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, c Mengatur dan menetapkan hubungan- hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta pengaturan perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. Penguasaan tersebut tetap harus memperhatikan hak masyarakat hukum adat dengan catatan sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Kejelasan status penguasaannya menunjukkan bahwa kawasan hutan merupakan hutan negara atau dalam istilah umum dikenal sebagai “ ”. Melalui penguasaan inilah, ruang kehutanan yang ada di Indonesia telah ditetapkan dalam apa yang namannya Penunjukan Kawasan hutan dan Perairan. Kawasan hutan sesuai fungsi telah diplotting dan dipetakan dalam penunjukan tersebut, berdasarkan kriteria-kriteria yang telah ditentukan. Walaupun menjadi wewenang Pemerintah cq. Departemen Kehutanan pada dasarnya proses penunjukan kawasan hutan dan perairan telah dilaksanakan melalui proses koordinasi dan sinkronisasi dengan Pemerintah Daerah, oleh karena itu ruang kehutanan sekaligus juga telah memperhatikan penataan ruang di daerah. Berdasarkan data yang ada, kawasan hutan tersebut menempati sekitar 60 luas daratan Indonesia dengan luasan sekitar 120,35 juta Ha. Sehingga ruang kehutanan sangat mendominasi ruang secara Nasional. Oleh karena potensi lahannya yang sangat besar itulah maka kawasan hutan selalu dijadikan alternatif pembangunan sektor lain manakala mereka kesulitan untuk ekstensifikasi wilayah pembangunannya. Dari besarnya pengusasaan oleh Departemen Kehutanan inilah biasanya permasalahan mulai muncul. Selain itu penguasaan oleh negara inilah yang kemudian menimbulkan konflik lahan terkait dengan pengakuan sebagian masyarakat di dalam kawasan hutan yang merasa dan mengakui bahwa mereka telah secara turun temurun memiliki hutan adat dalam kawasan hutan negara tersebut. Konflik ini timbul karena antara lain walaupun pada dasarnya keberadaan hutan adat diakui oleh UU, tetapi keleluasaan masyarakat hukum adat yang merasa memiliki hutan adat tersebut dalam mengelola hutannya masih dibatasi oleh ketentuan-ketentuan dalam pengelolaan hutan secara nasional. Usaha dan upaya untuk menjembatani penyelesaian konflik lahan dalam kawasan hutan sudah sering dilakukan, namun hingga saat ini masih belum ditemukan solusi konkret untuk mengatasinya. Masing-masing pihak masih berpegang teguh pada prinsip-prinsip yang dipegangnya. Pemahaman terhadap prinsip tenurial oleh masyarakat kemudian menjadi sangat penting untuk mencoba memahami dimana letak kesenjangannya dengan peraturan perundangan nasional yang mengaturnya. Tidak ada batasan yang baku mengenai definisi tenurial, namun secara umum tenurial atau “tenure” dapat dimaknai sebagai hak pemangkuan dan penguasaan terhadap lahan dan sumberdaya alam yang dikandungnya. Ada juga beberapa pendapat yang state property Tenurial Dalam Kawasan Hutan G P A N L O Halaman 21 kepentingan atas lahan. Pengakuan hak terhadap lahan tersebut bisa bersifat individu, kelompok atau negara. Pengakuan secara individu terhadap lahan yang bukan merupakan lahan yang dikuasai negara biasanya tidak menimbulkan banyak masalah karena sudah diatur secara tunggal dalam UU Agraria. Namun pengaturan hak penguasaan oleh kelompok atau negara masih menjadi polemik yang berkepanjangan. Bagi pemerintah acuannya jelas pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa “Kawasan hutan” dikuasai oleh negara termasuk pengaturan-pengaturan terhadapnya, sedangkan hutan adat merupakan wilayah masyarakat adat atau masyarakat hukum adat yang berada dalam hutan negara. Namun bagi sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat hukum adat lahan “kawasan hutan” tersebut secara “de facto” adalah merupakan hutan adat yang dikuasai oleh masyarakat, bukan merupakan bagian dari hutan negara. Pengakuan hutan adat oleh masyarakat dalam UU memang telah disebutkan, namun pengaturannya belum jelas dan mendetail, sehingga muncul multi-interpretasi terhadap pengaturan “kawasan hutan” yang ada “hutan adat”nya.. Kesimpang-siuran pengaturan lahan kawasan hutan inilah yang selalu menimbulkan permasalahan tenurial yang sangat komplek dalam kawasan hutan. Dari sisi peraturan perundangan secara “de jure” pengakuan penguasaan terhadap kawasan hutan oleh pemerintah sudah jelas, namun secara “de facto” permasalahannya tidaklah sederhana. Apalagi model-model pengakuan penguasaan oleh masyarakat sangatlah lokal specifik, antara daerah satu dengan daerah lainnya sangatlah berbeda. Namun secara umum masyarakat hukum adat menginginkan kedaulatan dan hak penuh atas hutan yang berada di wilayahnya. Pemecahan permasalahan ini sebenarnya sedang diupayakan melalui Peraturan Pemerintah yang mengatur mengenai hutan adat, namun sampai saat ini pembahasannya menemui jalan buntu. Multi-interpretasi dan belum diakomodasikannya secara penuh beberapa keiinginan masyarakat yang diperkirakan menghambat penyelesaian PP tersebut. Apabila diamati terdapat beberapa tipe keberadaan masyarakat adat dan hutan adatnya dalam keterkaitannya dengan kawasan hutan. , yang terdapat dalam kawasan hutan yang telah diserahkan pengelolaannya kepada HPHIUPHHK Hutan alam dan Hutan tanaman. yang terdapat dalam kawasan hutan konservasi dan kawasan hutan lindung HL. , yang terdapat di hutan produksi yang tidak dibebani hak pengelolaanpemanfaatan. Pemberian hak kepada pihak swasta oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan dalam bentuk HPHIUPHHK Hutan Alam maupun Hutan Tanaman biasanya selalu dipertentangkan dengan keberadaan hutan adat dalam kawasan hutan tersebut. Masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam pengaturan hak tersebut, mereka merasa dimarginalkan dari tanah yang mereka tinggali, mereka merasa tidak selalu mendapatkan manfaat dari keberadaan pengelolaan kawasan hutan tersebut. Pada saat ini terdapat arus perjuangan yang sangat kuat dari masyarakat adat dengan dibantu oleh LSMNGO untuk menggolkan keinginan pengakuan secara lebih jelas dan tegas terhadap keberadaan masyarakat adat dan lahan sebagai bagian dari gantungan kehidupan dan aktifitas kesehariannya. Arus tersebut mencoba menghilangkan pengakuan penguasaan lahan oleh negara khususnya terhadap lahan yang diakui sebagai bagian dari masyarakat adat. Melalui berbagai pertemuan atau forum atau aksi baik secara Nasional, Regional maupun Global, mereka mencoba meyakinkan dan memperjuangkan untuk mendapatkan pengakuan melalui kejelasan dalam suatu peraturan perundangan Nasional. Kalau perlu dengan mengamandemen atau merubah UU yang terkait dengan pengaturan lahan yang berhubungan dengan keberadaannya. Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya merupakan salah satu “entry point” yang selalu dipegang untuk memperjuangkan kejelasan yang lebih konkret terhadap pengakuan tenurial dalam kawasan hutan. Banyak argumen yang melandasi keiinginan tersebut, antara lain: a. Negara dianggap gagal dalam mengelola hutan, diindikasikan dengan: hancurnya hutan akibat eksploitasi berlebihan, makin sering terjadinya banjir dan tanah longsor, semakin terdegradasinya hutan, gagalnya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam dan sekitar hutan. b. Pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat adat sejak lama, menunjukkan kelestarian dalam pengelolaannya contoh: Repong damar di Lampung. c. Peraturan perundangan yang ada memarginalkan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Masyarakat cenderung hanya dianggap sebagai obyek dari suatu pengelolaan hutan. d. Makin terkikisnya kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan, program, kegiatan yang digagas oleh pemerintah. Melihat persoalan tenurial tersebut, tampaknya akan sangat sulit untuk mempertemukan dan mensinkronkan pengaturan hutan oleh Pemerintah yang didasari landasan formal dengan aspirasi masyarakat yang berpegangan pada kondisi “de facto” di lapangan. Permasalahan bertambah rumit dengan masuknya unsur yang tidak bertanggung jawab yang coba menunggangi kekisruhan yang terjadi, karena ditengarai bahwa masih banyak terdapat masyarakat yang murni merambah hutan namun mengaku sebagai masyarakat lokal atau masyarakat adat. Lebih parah lagi mereka biasanya didanai oleh oknum-oknum pemilik modal dari kota. Diperlukan keberanian, kejujuran dan keterbukaan semua pihak termasuk saling memahami pihak yang satu dengan pihak lainnya. Penyelesaian permasalahan harus didukung adanya keterbukaan dari semua pihak dan tiadanya unsur pemaksaan pihak satu ke pihak lainnya, tanpa hal tersebut penyelesaian masalah akan “dead lock” menemui jalan buntu. Berlarut-larutnya penyelesaian RPP Hutan Adat mencerminkan persoalan tenurial dalam kawasan hutan yang menemui jalan buntu. Selain permasalahan tenurial, ruang kehutanan juga mendapat tekanan-tekanan dengan dalih untuk keperluan pembangunan sektor non kehutanan, yang memerlukan ekstensifikasi lahan antara lain: untuk pertanianperkebunan, untuk pemukiman, untuk pertambangan. Dalam peraturan perundangan kehutanan keinginan sektor lain untuk memanfaatkan kawasan hutan bagi pembangunan non kehutanan, telah diatur sedemikian rupa, sesuai dengan asas-asas umum berkenaan dengan pengaturan ruang kehutanan. Namun diakui pengaturan ruang kehutanan bagi kepentingan lain diatur sangat ketat, banyak prosedur yang harus ditempuh. Hal ini wajar untuk diatur karena keberadaan sumberdaya hutan sangat vital yaitu sebagai sistem penyangga kehidupan. Ketatnya prosedur pengaturan ruang kehutanan dan perpaduan banyak faktor antara lain:euforia otonomi daerah, tingginya tuntutan pembangunan ekonomi, minimnya ruang gerak untuk ekstensifikasi lahan, telah memunculkan “hasrat” yang sangat Pertama Kedua, Ketiga Konflik Ruang Kehutanan Kawasan Hutan Dengan Sektor Non Kehutanan G P L A N L O BULETIN Halaman 22 Di sisi lain Departemen Kehutanan sebagai instansi pemerintah yang diberi tugas penguasaan dan tanggung jawab terhadap kawasan hutan tentu akan mengajukan argumen-argumen yuridis, ekologis, sosial dan ekonomi, bahwa walaupun perubahan itu diperlukan, namun tetap harus melalui prosedur pengaturan ruang kehutanan yang berlaku. Bisa dicontohkan antara lain bahwa merubah kawasan hutan produksi HP menjadi kawasan non kehutanan untuk perkebunan atau pertanian harus mengikuti ketentuan prosedur perubahan peruntukan kawasan hutan melalui pelepasan kawasan hutan yang prosedur dan persyararatannya sangat ketat. Sehingga tidak dapat dihindarikan “tarik ulur” akan terjadi, Kehutanan akan dianggap sebagi pengahambat pembangunan dan pengembangan wilayah. Apalagi akhir-akhir ini sudah tidak dapat lagi diandalkan sebagi sumber pendapatan ekonomi untuk pembangunan wilayah, termasuk makin terdegradasinya kawasan-kawasan hutan yang ada. Bahkan pembangunan kehutanan telah dianggap sebagai “cost center”. Lalu langkah apa yang diperlukan oleh Pemerintah untuk mengatasi dua permaslahan pokok tersebut?. Menurut Penulis masing-masing permasalahan perlu memperoleh perhatian dan penanganan yang tersendiri. Uraian berikut mencoba memberikan saran alternatif solusi pemecahan maslahnya. Untuk permasalahan tenurial kiranya diperlukan beberapa upaya yang harus diambil, upaya tersebut antara lain: a. Mengidentifikasikan kembali semua peraturan perundangan bidang kehutanan yang terkait dengan penataan ruang kehutanan dan tenurial. Kemudian melakukan kajian dan penelaahan yang mendetail terhadap peraturan tersebut. b. Mengidentifikasi keragaman masyarakat adat yang ada di dalam dan sekitar hutan seluruh Indonesia, termasuk deskripsinya sejarahnya, pola kehidupannya, kekerabatannya, peraturan adatnya dsb. Kemudian memetakannya dalam kawasan- kawasan hutan yang telah ditunjuk oleh Pemerintah. c. Melakukan dialog intensif dengan LSMNGO dan PakarPergurauan Tinggi yang concern dengan permasalahan tenurial. Termasuk merumuskan secara lebih konkret kriteria-kriteria umum maupun khusus apa itu masyarakat adat dan apa itu hutan adat, tentunya dalam konteks Indonesia. d. Mengkaji implikasi sosial, ekonomi dan politik adanya permasalahan tenurial dalam kawasan hutan terhadap hak atau ijin yang telah diterbitkan oleh Pemerintah. e. Melakukan evaluasi komprehensif terhadap skema-skema kebijakan atau kegiatan-kegiatan atau proyek Pemerintah yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. f. Menjadikan “permasalahan tenurial” sebagai suatu bagian dari fokus perhatian dalam pengambilan-pengambilan kebijakan pengelolaan dan pembangunan kehutanan. Karena “permasalahan tenurial” yang tidak terpecahkan akan menjadi salah satu hambatan bagi kemajuan pengelolaan dan pembangunan kehutanan. g. Melakukan kajian-kajian dan riset bidang hukum terkait tenurial dan mencoba merumuskan rancangankonsep peraturan perundangan untuk perbaikan dan penyempurnaan peraturan perundangan kehutanan di masa yang akan datang. Untuk permasalahan yang kedua, langkah yang disarankan antara lain: a. Menata “data base” kawasan hutan, sehingga kawasan hutan dapat teridentifikasi dengan jelas fungsi dan statusnya, permasalahan dan perkembangan penanganannya b. Aparat kehutanan Pusat dan Daerah UPT maupun Dinas Kehutanan harus berinisiatif untuk selalu terlibat dalam pengaturan ruang di daerah. c. mencari terobosan-terobosan dan inovasi hukum, untuk mencari solusi terbaik untuk semua pihak “win-win solution” d. Meningkatkan pengelolaan hutan di kawasan tersebut untuk memberikan bukti bahwa sektor kehutanan dengan kawasan hutannya bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan dan pengembangan wilayah. e. Terus meningkatkan sosialisasi akan pentingnya hutan sebagai penyangga kehidupan . ======================================================== Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan Apa Yang Dapat Diupayakan ? G P A N L O Halaman 23

1. Pendahuluan

2. Perencanaan Hutan

3. Manajemen Resiko

Pada umumnya kegiatan perencanaan telah melembaga menjadi kegiatan rutin, dengan argumen bahwa upaya tersebut merupakan kelengkapan dari tahapan siklus manajemen. Dalam operasionalisasinya penyusunan rencana secara iteratif didasarkan dari hasil evaluasi pelaksanaan sebelumnya, identifikasi permasalahan, analisis dan arahan solusi upaya yang menjamin pelaksanaan tetap menuju tujuan yang telah ditetapkan secara efisien, efektif di dalam proses Program Kehutanan NasionalPKN proses ini dikenal sebagai aAnalisis Umum, b. Analisis Sektoral, c Analisis Strategis dan d Formulasi Program PKN.. Berbagai tahapan analisis tersebut merupakan kajian dari aspek-aspek kehutanan baik secara menyeluruh maupun yang bersifat spesifik, namun tidak terlepas dari 3 tiga fungsi dan manfaat sumberdaya hutan bagi hidup dan kehidupan, yaitu : fungsi manfaat sosial- ekologi dan ekonomi. Tulisan ini merupakan upaya memberikan suatu gambaran aplikasi pertimbangan resiko yang mungkin terjadi dan bagaimana upaya memenej resiko tersebut agar tidak menjadi kendala akut mulai dari tahap perencanaan. Dengan pemahaman berbagai resiko dan pola manajemen minimalisasi peluang terjadinya diharapkan fungsi perencanaan dalam mengarahkan, menjamin langkah upaya pencapaian tujuan menjadi lebih akurat, optimal dan mantap sesuai dengan tujuan penyusunannya.. Perencanaan hutan disusun dalam rangka memaksimalisasi fungsi dan manfaat ekonomi, sosial dan ekologi secara proporsional dari setiap ekotipe sumberdaya hutan. Perencanaan hutan secara garis besar terbagi dalam 2 dua klaster besar, yaitu : Perencanaan KawasanSDH yang juga dikenal sebagai yang masing-masing terbagi lagi dalam Rencana Operasional ProgramKegiatan dan Rencana Keuangannya. i, berukuran dan berskala serta mendukung upaya pelestariankeberlanjutan pengelolaannya dalam jangka panjang. Sedangkan Dari karakteristiknya sumberdaya hutan yang tidak terpisahkan dengan bentangan lahan kawasan hutan sebagai tapak tumbuh dan habitat berkembang biaknya multi ragam flora fauna serta terbentuknya daya dukung lingkungan yang dihasilkan dari interaksi antar komponen yang ada di dalamnya, Berbekal uraian singkat tentang perencanaan hutan di atas serta pemahanan filosofis berbagai tahapan analisis yang diperlukan untuk terjaminnya ketepatan suatu perencanaan yang berujung pada pemilihan alternatif-alternatif atau skenario skenario mulai dari yang pesimis hingga optimis. Setiap pilihan mempunyai resikonya masing-masing, walaupun pada prinsipnya misalnya ketika pendekatan cost benefit ratio dilakukan, upaya minimalisasi resiko dari pilihan telah dilakukan, namun hakiki resiko bukanlah sekedar persoalan untung rugi semata, melainkan multi komparasi pilihan perencanaan yang lebih kompleks. adalah yang mempunyai ber merugikan. Mengacu pada definisi tersebut, besarnya resiko berbanding lurus dengan semakin kompleks dan luasnya atau dengan kata lain semakin kompleks aktifitas semakin besar resiko baca : kata kunci ; kejadian, kemungkinan dan akibat yang dihadapi. Besar resiko ini umumnya sejalan dengan besar peluang profit dengan kata lain selama terkendali atau terukur resiko merupakan “pengorbanan” untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Unsur-unsur lain yang juga menjadi penentu besar kecilnya suatu resiko antara lain aspek k yang menjadi karakteristik suatu kegiatanjenis barang dan jasa. Semakin luas keruangan yang dibutuhkan banyaknya keterkaitan antar kejadian dan semakin besarnya luasan tenpat yang dibutuhkan, semakin panjang waktu proses kegiatan produksi hulu, olah, simpan, jual, dan semakin mudah rusakbusuk jenis barang dan kadaluarsanya jasa berarti semakin rentan, maka semakin besar resiko kerugian yang akan ditanggung. Kunci pemahaman resiko merupakan matriks dari kata kunci definisi resiko di atas, sedangkan jenis resiko dapat dikelompokan dari : a penyebabnya, b akibat yang ditimbulkannya. Sejujurnya, walaupun dalam proses perencanaan. hampir selalu di awali dengan identifikasi yang didominasi isu isu yang cenderung negatif dan di akhiri dengan solusi berupa arahan program- program, namun cakupan analisis diantaranya kerap belum mempertimbangkan besar peluang pencapaian tujuan. Belum lengkapnya pertimbangan tersebut antara lain dicerminkan oleh kemungkinan resiko keberhasilan kegagalan yang sebenarnya inherent dalam setiap proses programkegiatan perencanaan prakondisi pengelolaan karena rencana kelola baru absah bila rencana kawasan telah tersusun dan mantap dan Perencanaan Pengelolaan Perencanaan KawasanPrakondisi kelola terdiri dari kegiatan : Inventarisasi, Pengukuhan kawasan, Penatagunaan Kawasan sampai dengan pembagian hutan ke dalam kesatuan pengelolaan hutan KPH yang kondisi rinci kawasannya diketahu Perencanaan Pengelolaan difokuskan pada penataan pola budidaya, pola usaha dan pola pembiayaanpermodalan yang memberikan kombinasi fungsi manfaat yang paling optimal dari unit KPH baik KPHP atau KPHL maupun KPHK yang akan dikelola maka perencanaan pengelolaan hutan yang paling optimalpun tidak akan terlepas dari pemahaman mendasar dari kondisi sumberdaya hutan yang asalnya tersedia secara alami tersebut. Resiko kejadian kemungkinan akibat eruangan, waktu dan kerentanan manageable DALAM PROSES PERENCANAAN Syaiful Ramadhan G P L A N L O BULETIN Halaman 24 1. Resiko Keuangan Jenis resiko yang disebabkan oleh ukuran-ukuran aspek keuangan seperti adanya perubahan harga, perubahan tingkat bunga, perubahan kurs mata uang dan keberadaan non-tradeable goods serta intangible service yang tak termasuk dalam akuntansi kegiatan. Resiko keuangan ini sangat terkait dengan kebijakan yang menyangkut akurasi penetapan jumlah jenis dan kelengkapan nilai “produk barang dan jasa dalam proses kegiatan” 2. Resiko Operasional Jenis resiko yang disebabkan oleh faktor operasional kebijakan dan imlementasinya seperti faktor manusia, teknologi dan alam. Kecurian, kebakaran, kecelakaan kerja, produk yang rusak, degradasi serta deplisi sumberdaya termasuk dalam resiko ini. Berdasarkan akibat yang ditimbulkannya, resiko dapat dikelompokkan menjadi : 1. Resiko Murni Resiko yang sama sekali tidak ada peluang memberikan keuntungan sama sekali, sehingga bila terjadi, maka yang ada hanya kerugian semata Kecelakaan kerja, kebakaran, kecurian dan bencana alam serta karateristik sumberdaya alami yang bersifat bawaan masuk dalam kelompok resiko murni. 2. Resiko Spekulatif Resiko yang berakibat kemungkinan menguntungkan selain merugikan. Peluang opportunities investasi di pasar uang ataupun modal bersama dalam suatu kegiatan, resiko memproduksi dan menjual barang dalam pasar yang kompetitif yang berpeluang untung dan rugi pun masuk dalam kelompok resiko spekulatif. Pemahaman resiko untuk ketepatan penanganannya dimulai dengan mengidentifikasi resiko. Sementara ketepatan identifikasi resiko, sangat tergantung pada tingkat pemahaman terhadap kegiatansumberdaya yang dikelola. Semakin dalam dan lengkap pemahaman terhadap kegiatan dan sumberdaya yang dikelola, semakin tepat pula lokasi dan jenis simpul-simpul kerawananresiko pencapaian tujuan dapat teridentifikasi. Identifikasi mencakup lokasi resiko, jenis dan bentuk resiko dan seberapa kerap secara empiris resiko menjadi nyata serta apa factor-faktor penyebab yang mendorong terjadinya resiko tersebut baca: Teknik Pendekatan Tempat, Kejadian dan Penyebab Pendekatan identifikasi TKP wajib dilihat dari sisi top down Kesesuaian dengan kebijakan yang ada dan sisi bottom up Kenyataan empiris yang terjadi, sehingga upaya identifikasi layak menjadi basis pengukuran dan penangan resiko. Pengukuran resiko sebaiknya bersifat kuantitatif , yaitu mencakup “peristiwa resiko” terjadi dan dari ukuran yang dikehendaki. Konsekuensi pendekatan tersebut adalah harus tersedianya data histories dalam selang waktu yang cukup. Kembali pada kata kunci dalam definisi resiko, yaitu , maka dapat digunakan metoda mengukur kemungkinan dan akibat dari suatu kejadian sebagaimana skema sebagai berikut :

3.1. Identifikasi Resiko

3.2. Pengukuran Resiko seberapa sering

seberapa besar ukuran penyimpangan rata-rata kejadian, kemungkinan dan akibat G P A N L O Halaman 25 Ukuran akibat dari resiko dilihat dan dihitung dari : 1. Menurunnya penerimaan 2. Meningkatnya kebutuhan penambahan biaya 3. Menurunnya nilai modalsumberdaya 4. Menurunnya nilai aktiva, dan 5. Bertambahnya hutang Cakupan kerugian terdiri dari : 1. Kerugian langsung ketika terjadinya kejadian yang berdampak langsung pada neraca laba rugi. 2. Kerugian tidak langsung berdampak kerugian jangka panjang . 3. Kehilangan kesempatan untuk memperoleh keuntungan Peta resiko yang skala pentingnya ditunjukkan dari hasil dari kombinasi 2 dua faktor ; terjadinya resiko dan yang diderita., dimana hasil perkalian dari 2 dua faktor tersebut, yaitu kemungkinan dengan peluang terjadinya dalam satuan persen dengan nilai akibat dalam satuan tertentu menunjukkan besaran status resiko suatu kejadian. Dari besaran status resiko dapat dibuat komparasi peringkat resiko yang menjadi basis peta resiko..yang menggambarkan sebaran kejadian dengan berbagai tingkat resiko tinggi, medium dan rendah. Tidak semua resiko bisa dihindari dan atau menghindar kadang-kadang bukan cara terbaik, sebagai contoh ; menghindar dari suatu resiko namun berkonsekuensi menghadapi resiko yang lebih besar atau resiko yang menawarkan peluang keuntungan yang sayang bila ditolak dalam bisnis makin besar resiko umumnya makin besar pula pengembalian yang didapat atau dengan kata lain kalau ingin mendapatkan return yang besar , mau tiidak mau harus menghadapi resiko yang besar pula. Jika sangat sulit atau tidak mungkin untuk menghindari resiko, maka ada beberapa strategi yang dapat disarankan, yaitu : Strategi Preventif, berupa upaya mencegah timbulnya resikotidak mengambil resiko. Strategi Minimalisasi, berupa upaya mengurangi kerugian pada tingkat minimal. Strategi Pengalihan, berupa mengalihkan beban resiko ke fihak lainleasinginsurancehedging Strategi Pendanaan dengan mendanai resiko Penerapan manajemen resiko dalam perencanaan kehutanan, pada hakikatnya adalah mengaplikasikan langkah-langkah manajemen resiko pada setiap tahapan perencanaan kehutanan secara efisien dan efektif. Sejalan dengan tujuan dari disusunnya suatu perencanaan hutan, yaitu memaksimalisasi fungsi manfaat ekonomi, social dan ekologi secara proporsional bagi kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan, maka cakupan resiko yang harus dihadapi merupakan kombinasi resiko ekonomi dan ekologi baik yang bersifat spekulatif maupun murni. Simpulsimpul tahapan perencanaan dengan berbagai tingkat nilai dampak kerugiannya dapat didekati dengan desain tabel.1. berikut ini : Direct loss Indirect loss Opportunity cost akemungkinan b besarnya akibat

3.3. Penanganan Resiko status resiko

4. Penerapan Manajemen Resiko dalam Perencanaan Kehutanan

4.1. Identifikasi Resiko : resiko

R E S I K O Hutan Produksi Hutan Lindung Hutan Konservasi No. Tahapan Perencanaan Hutan Ekonomi Sosial Ekologi Ekonomi Sosial Ekologi Ekonomi Sosial Ekologi 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1. Inventarisasi T S S S T T S T T 2. Pengukuhan T T S S S T S S T 3. Penatagunaa n Zonasi S T S T T T T T T 4. Pembentukan Wilayah T T S S T T S T T 5. Penyusunan Rencana Kebijakan T T T T T T T T T 6. Penyusunan Rencana Pengelolaan T T T T T T T T T Tabel 1.Desain Identifikasi dan Pemetaan Resiko dalam Perencanaan Hutan G P L A N L O BULETIN Halaman 26 inheren di dalam kawasan hutan baik HP, HL maupun HK walaupun bobot pertimbangannya berbeda-beda sesuai dengan tujuan pengelolaannya. Secara keseluruhan pengelolaan sumberdaya hutan sangat lah beresiko tinggi rentan karena karakteristik yang dipunyainya, yaitu antara lain : 1. Sumberdaya mencakup meliputi Daerah Aliran Sungai dari Hulu ke Hilir . 2. karena keragaman flora dan fauna pada setiap ekotipe hutan sangat tinggi mengikuti keragaman faktor edafis, klimatis serta faktor geografis dimana sumberdaya berada. 3. terhadap kerusakan ketika pohonnya dimanfaatkan tanpa rencana yang tepat, maka seluruh sistem sumberdaya hutan terganggu dan fungsi manfaat barang dan jasa yang ada menjadi hilang 4. terutama berupa lindung, keragaman plasma nutfah tak tergantikan 5. Kerusakannya mempunyai 6. Sekali rusak, membutuhkan Rincian di setiap tahapan perencanaan tersusun sebagai berikut : 1. Inventarisasi hutan Resiko Sedang sampai Tinggi Masih banyak perencanaan hutan yang belum terdukung “hasil inventarisasi hutan yang lengkap dan utuh”. Pemutakhiran data informasi stock dan flow kondisi hutan Neraca Sumberdaya HutanNSDH secara de facto terkendala oleh kelembagaan dan dana yang tersedia. Tidak efektifnya hasil inventarisasi yang sudah ada kerugian biaya dan waktu 2. Pengukuhan hutan Resiko Sedang sampai Tinggi Tidak efektifnya hasil pengukuhan yang sudah ada ditambah dengan kebutuhan biaya dan waktu untuk penyelesaian konflik tenurial kerugian biaya dan waktu 3. Penata gunaan hutan Resiko Sedang sampai Tinggi Pembagian kawasan hutan ke dalam fungsi-fungsi pokoknya, secara de facto tata batas fungsipun belum mendapat pengakuan sepenuhnya, sementara pelanggaran hasil sinkronisasi Tata Ruang Wilayah belum ada. Tidak efektifnya penetapan hasil tata batas fungsi yang sudah ada ditambah dengan kebutuhan biaya dan waktu untuk penyelesaian konflik tenurial kerugian biaya dan waktu 4. Pembentukan wilayah KPH Resiko Sedang sampai Tinggi 5. Penyusunan rencana-rencana Resiko Sedang sampai Tinggi ifnya hasil rencana-rencana hutan yang sudah ada kerugian biaya dan waktu Dari hasil identifikasi resiko dalam perencanaan hutan di atas, selanjutnya dapat dibuat pemetaan resiko dalam grafik kuadran sebagai berikut : bentangan lahan yang sangat luas Unik, khas dan langka, Rentan Fungsi dan Manfaat jasa efek ganda yang luas mencakup lintas sektor kehidupan. waktu yang sangat lama untuk pemulihannya. identifikasi resiko Pengakuan status hukum kawasan hutanterhadap hasil penunjukkan, penatabatasan dan penetapan kawasan hutan masih rendah. Dinamika perubahan letak dan luas kawasan hutan pengembalian HPHBUMN, kelebihan pelepasan, kebun dan transmigrasi dan tukar menukar tidak terikuti oleh kegiatan pengukuhan bahkan secara parsial, sehingga kepastian data informasi letak dan sebaran hutan.menjadi bias. Belum terbentuknya KPH dan belum jelasnya otoritas serta kelembagaan yang menanganinya mengakibatkan kawasan hutan secara ekonomi, sosial dan ekologi belum dapat terkelola secara efektif dan efisien sesuai peruntukkannya. Tidak efektifnya hasil perencanaan hutan yang sudah ada kerugian biaya dan waktu Tidak akurat dan tidak validnya data dasar penyusunan rencana Tidak jelasnya status kawasan hutan dan derivasinya yang menjadi obyek perencanaan Tidak bertemunya kebutuhan empiris lintas sektor, masyarakat di lapangan dengan “konsep perencanaan hutan” yang digagas dengan data yang lemah. Tidak efekt G P A N L O Halaman 27 Pengukuran resiko dilakukan melalui evaluasi terhadap sistematika perencanaan hutan yang berjalan selama ini dengan dasar tahapan perencanaan sesuai runtut ketentuan yang berlaku, yaitu : a. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak didasari NSDH hasil Inventarisasi Hutan serta data empiris bencana yang ada dan sebaliknya. b. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak didasari data informasi spasial hasil Pengukuhan Hutan dan sebaliknya. c. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak didasari data informasi spasial hasil Penatagunan Hutan terkait Tata Ruang dan kepentingan lintas Sektor dan sebaliknya. d. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak berbasis satuan unit manajemen yang layak kelola hasil Pembentukan Wilayah Hutan. e. Resiko meningkat ketika perencanaan hutan yang tidak sesuai dengan kondisi defacto kawasan hutan dan kebutuhan nyata pembangunan sektor lain dan masyarakat di lapangan. a. Resiko terjadi murni karena kondisi alam seperti kebakaran dan sebab kriminal akibat kecurian. Dalam hal perencanaan hutan, hal ini dijadikan besaran rata-rata resiko awal yang menjadi starting point penghitungan keuntungan dan kerugian. Besaran resiko ditetapkan dalam satuan-satuan :

4.2. Pengukuran Resiko

Resiko Operasional dan Keuangan Resiko Murni Satuan Resiko Kerugian No. Kondisi Perencanaan Jenis Resiko Ekonomi Sosial Ekologi 1. Inventarisasi Hutan tidak lengkap Operasional Keuangan Nilai Hutan tidak diketahui Rpsatuan luas Valuasi Jumlah Nilai interaksi SDH-Masy local wisdom Rpsocial cost Valuasi Indeks Nilai Penting Flora-Fauna dan Kenyamanan ammenities Rpsatuan ekosistem 2. Pengukuhan Penatagunaan Hutan tidak diakui Operasional Keuangan Nilai Besaran luas, letak dan sebaran hutan RpSatuan Luas Nilai biaya penanganan konflik lahan RpSosial cost Nilai biaya pemulihan kondisi lingkungan akibat degradasi hutan Rpsatuan ekosistem 3. Pembentukan Wilayah Hutan belum menjadi dasar Operasional Keuangan Nilai underover dari eeconomic scale RpSatuan Luas Nilai biaya kesempatan akibat ketidak jelasan akses masy. RpSossial Cost Nilai biaya pemulihan kondisi lingkungan akibat degradasi hutan Rpsatuan ekosistem 4. Penyusunan Rencana - rencana hutan tidak akurat Operasional Keuangan Nilai Biaya perencanaan dan Dampak ketidak efektifan dan ketidak efisienan Rp Nilai biaya kesempatan akibat ketidak jelasan akses masy. RpSossial Cost Nilai biaya pemulihan kondisi lingkungan akibat degradasi hutan Rpsatuan ekosistem Tabel 2. Satuan besaran resiko dalam perencanaan hutan Operasional Keuangan Nilai Biaya perencanaan dan Dampak ketidak efektifan dan ketidak efisienan Rp N i l a i b i a y a kesempatan akibat ketidak jelasan akses masy. RpSossial Cost Nilai biaya pemulihan kondisi lingkungan akibat degradasi hutan Rpsatuan ekosistem 4.3. Penanganan Resiko Mengacu pada uraian pembahasan di atas, maka resiko dalam perencanaan hutan sangat dipengaruhi oleh hal-hal : 1. Akurasi data dasar yang meliputi : Data numerik hasil inventarisasi hutan jenis, jumlah, sebaran sumberdaya hutanberupa Neraca Sumber Daya Hutan NSDH, data spasial letak, luas kawasan hutan serta data penunjang kepastian status kawasan yang merupakan hasil pengukuhan hutan. G P L A N L O BULETIN Halaman 28 dalam perencanaan hutan , mekanisme dan prosedur kerja tetap inter dan antar subsistem kelola. 3. Nilai besaran resiko, nilai biaya perencanaan dan biaya penanganan resiko. Beberapa strategi manajemen resiko terkait perencanaan hutan yang dapat disarankan, yaitu : 1. Strategi Preventif, berupa upaya mencegah timbulnya resikotidak mengambil resiko. Kebijakan yang diambil adalah percepatan penyelesaian data dasar dan kepastian kawasan hutan. 2. Strategi Minimalisasi, berupa upaya mengurangi kerugian pada tingkat minimal. Melakukan perencanaan hutan pada kawasan hutan yang berisiko,rendah atau yang telah diinvetarisasi seluruh atau sebagaiannya , sudah seluruh atau sebagaiannya telah dikukuhkan dan dalam satuan perencanaan yang tidak terlampau luas. Kebijakan yang diambil adalah penetapan prioritas perencanaan sesuai kriteria di atas. 3. Strategi Pengalihan, berupa mengalihkan beban resiko ke fihak lain Strategi Privatisasi, Outsourcing kegiatan inventarisasi hutan telah dilakukan selama ini, yang masih layak dicoba adalah pengukuhan hutan partisipatif atau pensertifikatan kawasan hutan sehingga mempunyai status kepastian hukum yang kuat. Strategi asuransihedging sampai dengan saat ini belum populer, karena belum akuratnya nilai nilai ukuran valuasi ekonomis sumberdaya hutan, sehingga strategi ini baru bisa berjalan apabila NSDH dan valuasi ekonomi untuk setiap manfaat ekonomi, ekologi dan sosial didapatkan. 4. Strategi Pendanaan dengan mendanai resiko, konsep ini yang sebenarnya dilakukan selama ini, namun tanpa didasari terlebih dahulu dengan analisa dugaan besaran resiko, sehingga penadanaan resiko menjadi rasionil, karena biaya penanganan resiko masih lebih kecil dari biaya returnpengembalian yang dihasilkan. ============================ system stakeholder leasinginsurancehedging Perencana Madya pada Badan Planologi Kehutanan dan Pemimpin Redaksi Buletin Planolog a a ® ¡ ¡ Tidak melakukan perencanaan hutan pada kawasan hutan yang berisiko, karena belum sama sekali diinvetarisasi, belum dikukuhkan dan belum dibentuk KPH. ® G P A N L O Halaman 29 Oleh : Tedi Setiadi

I. PENDAHULUAN