Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) Di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor

ABSTRACT

Rizqy Arif Ginanjar. Density And Behaviour of Mosquitoes (Diptera :
Culicidae) in Bojong Rangkas Village Bogor District. Under direction of Susi
Soviana and Upik Kesumawati Hadi.
This study was aimed to know the species, density, and behavior of
mosquitoes and its relationship with the temperature, humidity and rainfall in
Cikampak Residence Bojong Rangkas Village Bogor District. This research was
conducted in October 2010 to June 2011 and the data were gathered by bare leg
collection method. Total of 1.350 Culicinae mosquitoes collected, Culex
quinquefasciatus was the most abundant species (89,63 %) followed by
Cx.hutchinsoni (6,22 %), Cx. tritaeniorynchus (2,96 %), and Ae. albopictus (1,19
%). The highest man biting rate and man hour density were appeared on Cx.
quinquefasciatus as 28,81 mosquitoes/man/night and 10,80 mosquitoes /man
/hour). In addition, the biting activity of Cx. quinquefasciatus was highest
between 23.00 to 24.00 and there were positive relation to the humidity, but
negative relation against the rainfall.

Keywords :

biting activity, Cx. quinquefasciatus, man biting rate, man

hour density.

ABSTRAK

Rizqy Arif Ginanjar. Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) di
Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Susi Soviana dan
Upik Kesumawati Hadi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, kepadatan, dan perilaku
nyamuk serta hubungannya terhadap suhu, kelembaban, dan curah hujan di daerah
Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Oktober 2010 s/d Juni 2011 dan data diambil dengan menggunakan
metode bare leg collection. Dari 1350 nyamuk subfamili Culicinae yang
tertangkap, Culex quinquefasciatus merupakan spesies yang paling banyak
ditemukan (89,63 %) diikuti dengan Cx. hutchinsoni (6,22 %), Cx.
tritaeniorynchus (2,96 %), dan Ae. albopictus (1,19 %). Nilai man biting rate dan
man hour density tertinggi terlihat pada Cx. quinquefasciatus sebesar 28,81
nyamuk/orang/malam dan 10,80 nyamuk/orang/jam. Selain itu, puncak aktivitas
menggigit Cx. quinquefasciatus terjadi pada pukul 23.00 s/d 24.00 dan terdapat
hubungan yang positif terhadap kelembaban ruang namun memiliki hubungan

yang negatif terhadap curah hujan.

Kata kunci :

aktivitas menggigit, Cx. quinquefasciatus, man biting rate,
man hour density.

DENSITAS DAN PERILAKU NYAMUK
(DIPTERA : CULICIDAE) DI DESA BOJONG RANGKAS
KABUPATEN BOGOR

RIZQY ARIF GINANJAR

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Densitas dan Perilaku

Nyamuk (Diptera : Culicidae) Di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor adalah
karya saya sendiri dengan arahan Dosen pembimbing dan belum diajukan dalam
bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya ilmiah yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di
bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011
Rizqy Arif Ginanjar
B04070048

ABSTRACT

Rizqy Arif Ginanjar. Density And Behaviour of Mosquitoes (Diptera :
Culicidae) in Bojong Rangkas Village Bogor District. Under direction of Susi
Soviana and Upik Kesumawati Hadi.
This study was aimed to know the species, density, and behavior of
mosquitoes and its relationship with the temperature, humidity and rainfall in

Cikampak Residence Bojong Rangkas Village Bogor District. This research was
conducted in October 2010 to June 2011 and the data were gathered by bare leg
collection method. Total of 1.350 Culicinae mosquitoes collected, Culex
quinquefasciatus was the most abundant species (89,63 %) followed by
Cx.hutchinsoni (6,22 %), Cx. tritaeniorynchus (2,96 %), and Ae. albopictus (1,19
%). The highest man biting rate and man hour density were appeared on Cx.
quinquefasciatus as 28,81 mosquitoes/man/night and 10,80 mosquitoes /man
/hour). In addition, the biting activity of Cx. quinquefasciatus was highest
between 23.00 to 24.00 and there were positive relation to the humidity, but
negative relation against the rainfall.

Keywords :

biting activity, Cx. quinquefasciatus, man biting rate, man
hour density.

ABSTRAK

Rizqy Arif Ginanjar. Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) di
Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor. Di bawah bimbingan Susi Soviana dan

Upik Kesumawati Hadi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis, kepadatan, dan perilaku
nyamuk serta hubungannya terhadap suhu, kelembaban, dan curah hujan di daerah
Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan
pada bulan Oktober 2010 s/d Juni 2011 dan data diambil dengan menggunakan
metode bare leg collection. Dari 1350 nyamuk subfamili Culicinae yang
tertangkap, Culex quinquefasciatus merupakan spesies yang paling banyak
ditemukan (89,63 %) diikuti dengan Cx. hutchinsoni (6,22 %), Cx.
tritaeniorynchus (2,96 %), dan Ae. albopictus (1,19 %). Nilai man biting rate dan
man hour density tertinggi terlihat pada Cx. quinquefasciatus sebesar 28,81
nyamuk/orang/malam dan 10,80 nyamuk/orang/jam. Selain itu, puncak aktivitas
menggigit Cx. quinquefasciatus terjadi pada pukul 23.00 s/d 24.00 dan terdapat
hubungan yang positif terhadap kelembaban ruang namun memiliki hubungan
yang negatif terhadap curah hujan.

Kata kunci :

aktivitas menggigit, Cx. quinquefasciatus, man biting rate,
man hour density.


© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

DENSITAS DAN PERILAKU NYAMUK
(DIPTERA : CULICIDAE) DI DESA BOJONG RANGKAS
KABUPATEN BOGOR

RIZQY ARIF GINANJAR

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Skripsi
Nama
NIM

: Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae)
Di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor
: Rizqy Arif Ginanjar
: B04070048

Disetujui,
Pembimbing I


Pembimbing II

Dr. Drh. Susi Soviana, MSi
NIP. 19630927 199002 2 001

Dr. Drh. Upik Kesumawati Hadi, MS.
NIP. 19581023 198403 2 001

Diketahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor

Dr. Nastiti Kusumorini
NIP. 19621205 198703 2 001

Disetujui tanggal :

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2010 ini ialah mengukur
kepadatan nyamuk, dengan judul Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera :
Culicidae) di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang sebesarbesarnya kepada Dr. drh. Susi Soviana, M.Si dan drh. Upik Kesumawati Hadi,
MS, Ph.D selaku dosen pembimbing yang telah memberikan perhatian,
bimbingan, arahan, dan masukan yang sangat berguna bagi penulis selama
penulisan dan penyusunan skripsi. Terimakasih banyak penulis sampaikan kepada
Dr. drh. Risa Tiuria MS sebagai penilai dalam seminar yang telah memberikan
saran dan arahannya
Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ayahanda Agus Rosadi,
Ibunda Een Kostini, Kakakku tercinta Suci Auliayana Fitrianti dan Adikku
tersayang Kharisma Dhini yang telah memberikan dukungan yang luar biasa
kepada penulis. Ucapan terimakasih juga penulis ucapkan kepada Seluruh Staf
Pengajar dan Pegawai Laboratorium Entomologi FKH-IPB, yang telah membantu
dan memberikan dukungannya. Terimakasih penulis tujukan juga kepada temanteman Gianuzzi 44 dan teman-teman Pondok Suzuran serta kepada semua pihak
yang telah membantu dalam terselesaikannya skripsi ini.
Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis
pribadi dan pihak lain yang membutuhkan.

Bogor, Desember 2011

Rizqy Arif Ginanjar

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Air Molek, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau pada
tanggal 24 Juni 1989 dari Ayahanda Agus Rosadi dan Ibunda Een Kostini. Penulis
merupakan putra ke dua dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 1
Pasir Penyu pada tahun 2007 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama duduk di bangku kuliah penulis aktif dibeberapa organisasi,
diantaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB)
2007-2008, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) 20082009, Himpunan Minat dan Profesi (HIMPRO) Satwaliar 2008-2010. Penulis juga
pernah menjabat sebagai Ketua Divisi Art and Edutainment Komunitas Seni Steril
(KSS) FKH-IPB 2009-2010 dan Ketua Komunitas Basket FKH-IPB 2010-2011.

DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .............................................................................................
ix
DAFTAR TABEL .....................................................................................


x

DAFTAR GAMBAR ................................................................................

xi

PENDAHULUAN
Latar belakang .................................................................................
Tujuan ..............................................................................................
Manfaat ...........................................................................................

1
2
2

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi ................................................
Siklus Hidup ....................................................................................
Bioekologi .......................................................................................
Penyakit yang Ditularkan ................................................................

3
5
9
11

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat...........................................................................
Metode Penelitian ............................................................................
Analisis Data....................................................................................

13
14
15

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis-Jenis Nyamuk yang Tertangkap .............................................
Kelimpahan Nisbi, Angka Frekuensi, dan Angka Dominansi
Nyamuk yang Tertangkap ...............................................................
Kepadatan Nyamuk yang Tertangkap ............................................
Perilaku Nyamuk Menggigit di Malam Hari ...................................
Hubungan Densitas Nyamuk dengan Suhu dan Kelembaban .........
Hubungan Densitas Nyamuk dengan Curah Hujan .........................

18
20
21
22
26

SIMPULAN DAN SARAN .....................................................................

30

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................

31

16

DAFTAR GAMBAR

No

Halaman

1

Skema tubuh nyamuk ....................................................................

4

2

Siklus hidup nyamuk .....................................................................

6

3

Telur (a) Culex sp. dan telur (b) Aedes sp. ....................................

7

4

Jentik (a) Cx. quinquefasciatus dan (b) Ae. albopictus .................

7

5

Pupa Culex sp. (a) dan pupa Aedes sp. ..........................................

8

6

Aedes sp. dewasa (a) dan Culex sp. dewasa (b) ............................

9

7

Lokasi Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah
Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor ..........................................................................

13

Koleksi Nyamuk dengan Menggunakan Metode BLC,
Di Rumah C 30 dan (b) di Rumah B 1 ..........................................

14

Cx. quinquefasciatus (a), Cx. hutchinsoni (b),
Cx. tritaeniorynchus (c), dan Ae. albopictus (d) ...........................

17

10 Tempat-tempatperkembangbiakan nyamuk (a) selokan,
(b) Parit, (c) Bak penampungan air, (d) Kolam, dan
(e) Limbah rumah tangga .............................................................

20

11 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus
terhadap suhu ..............................................................................

23

12 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus
terhadap kelembaban ....................................................................

23

13 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni,
Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus terhadap suhu ...............

24

14 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni,
Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus dengan kelembaban .....

24

15 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus
terhadap curah hujan ....................................................................

27

16 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. hutchinsoni,
Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus dengan curah hujan ......

27

8
9

DAFTAR TABEL
No
1 Jenis-jenis nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai
FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010 ..........
2

3

4

5

Halaman
17

Kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan angka dominansi
nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB
di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010 ..........................

18

Nilai MBR & MHD jenis-jenis nyamuk yang tertangkap
di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak
Oktober-November 2010 .............................................................

21

Rata-rata persentase nyamuk yang tertangkap setiap jam
di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak
Oktober-November 2010 .............................................................

22

Hubungan fluktuasi jenis-jenis nyamuk yang tertangkap dengan
terhadap curah hujan di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah
Cikampak, Oktober-November 2010 ...........................................

28

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang terletak di daerah tropis yang kaya akan
berbagai serangga. Baik yang bermanfaat maupun yang merugikan bagi manusia.
Satu dari ribuan jenis serangga yang terdapat di Indonesia adalah nyamuk.
Nyamuk merupakan kelompok ektoparasit yang menghisap cairan makanan atau
darah sebagai sumber energinya. Nyamuk adalah kelompok serangga yang sangat
merugikan manusia, karena selain sifatnya yang mengganggu kenyamanan juga
berperan sebagai vektor penyebaran berbagai jenis penyakit. Nyamuk tergolong
serangga yang cukup tua di alam, karena telah melewati suatu proses evolusi yang
panjang. Oleh karena itu nyamuk memiliki sifat spesifik dan sangat adaptif tinggal
bersama manusia (Hadi & Koesharto 2006).
Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia (bersifat kosmopolit) mulai dari
daerah kutub hingga ke daerah tropis. Serangga ini bersifat kosmopolit karena
daya tahan hidupnya terhadap lingkungan yang sangat tinggi. Hal ini dibuktikan
dengan tempat hidupnya yang berada di berbagai habitat seperti genangan air,
semak-semak belukar, gundukan sampah, dan tempat-tempat yang gelap serta
sempit. Dari 3.100 jenis nyamuk yang dilaporkan di seluruh dunia, 457 jenis
diantaranya dilaporkan terdapat di Indonesia, yaitu 80 spesies Anopheles, 82
spesies Culex, 125 spesies Aedes, dan 8 spesies Mansonia. Sisanya sebagai
anggota dari genera yang tidak penting dalam penularan penyakit (Hadi &
Koesharto 2006).
Nyamuk termasuk ke dalam ordo Diptera, famili Culicidae, dengan tiga
subfamili yaitu Toxorhynchitinae (Toxorhynchites sp), Anophelinae (Anopheles
sp) dan Culicinae (Aedes sp, Culex sp, Mansonia sp, Armigeres sp). Nyamuk yang
sering terdapat di daerah pemukiman manusia adalah nyamuk Culex
quinquefasciatus yang merupakan vektor utama filariasis akibat Wuchereria
bancrofti atau penyakit kaki gajah (Oemijati 1993). Selain nyamuk Cx
quinquefasciatus, nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus keberadaannya
juga ditemukan disekitar pemukiman penduduk. Sebagaimana telah diketahui

bahwa selain Ae. aegypti, Ae. albopictus juga merupakan vektor Demam Berdarah
Dengue (DBD) yang sangat berbahaya.
Kabupaten Bogor merupakan daerah yang mewakili iklim tropis di
Indonesia. Kebiasaan hidup yang tidak sehat, membuang sampah sembarangan
yang berpotensi sebagai tempat perkembanganbiakan nyamuk, dan kepadatan
perumahan sangat mendukung perkembangan nyamuk dalam perannya sebagai
vektor. Genangan-genangan air akibat curah hujan maupun sistem pembuangan
limbah cair rumah tangga yang buruk juga menambah faktor pendukung
perkembangan jenis nyamuk. Jenis-jenis nyamuk yang berada di sekitar
pemukiman di daerah Kabupaten Bogor ini belum diteliti lebih dalam.

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi, mengukur kepadatan,
dan perilaku mengisap darah nyamuk di Kompleks Perumahan Pegawai FKH IPB
di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan sebagai sumber informasi yang sangat penting,
agar masyarakat lebih waspada terhadap bahaya penyakit yang ditimbulkan oleh
gigitan nyamuk, terutama di Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah
Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat.

TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi, Anatomi dan Morfologi Nyamuk
Nyamuk merupakan serangga yang memiliki tubuh berukuran kecil, halus,
langsing, kaki-kaki atau tungkainya panjang langsing, dan mempunyai bagian
mulut untuk menusuk kulit dan mengisap darah yang disebut dengan probosis
(Hadi & Koesharto 2006).
Nyamuk tersebar luas di seluruh dunia dari daerah kutub sampai daerah
tropis, dapat dijumpai pada ketinggian 5.000 m di atas permukaan laut sampai
kedalaman 1.500 m di bawah permukaan tanah di daerah pertambangan. Karena
keberadaannya menyebar di seluruh dunia, maka ektoparasit ini bersifat
kosmopolit. Di seluruh dunia, dilaporkan terdapat 3.100 spesies dari 34 genus.
Anopheles, Culex, Aedes, Mansonia, Armigeres, Haemagogus, Sabethes, Culiseta,
dan Psorophora merupakan kelompok dari genus nyamuk yang mengisap darah
pada manusia dan berperan sebagai vektor penyebaran penyakit. Namun
kelompok nyamuk yang sebagian besar tersebar di Indonesia adalah kelompok
nyamuk dari genus Aedes, Culex, Mansonia, dan Anopheles (Hadi & Soviana
2010).
Klasifikasi nyamuk menurut Womack 1993 adalah sebagai berikut :
Kerajaan

: Animalia

Filum

: Arthropoda

Kelas

: Insecta

Ordo

: Diptera

Famili

: Culicidae

Subfamili

: Culicinae

Genus

: Culex, Aedes, dan Mansonia

Nyamuk dewasa memiliki ukuran 3-6 mm. Selain tubuhnya yang kecil,
nyamuk memiliki sepasang sayap yang lebar. Pada sayapnya terlihat vena dan
terdapat sisik sayap yang melingkari seluruh bagian sayap. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1, pada dasarnya bagian tubuh dari ektoparasit ini
terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, toraks (dada), dan abdomen (perut) (Hadi &
Koesharto 2006).

Gambar 1 Gambar skema tubuh nyamuk.
Sumber: Darsie & Ward 2000
Kepala
Pada bagian kepala hampir seluruhnya tertutupi oleh sepasang mata
majemuk. Pada bagian kepala terdapat antena yang panjang (filiform). Pada
nyamuk betina antena tidak selebat pada antena nyamuk jantan. Antena betina
disebut pilose sedangkan pada nyamuk jantan disebut plumose. Fungsi dari bulubulu yang lebat pada nyamuk jantan adalah sebagai alat bantu untuk mencari
keberadaan nyamuk betina. Selain pada antena, penentuan jenis kelamin jantan
dan betina dapat dilihat dari palpi maksilari. Pada nyamuk betina, palpi maksilari
lebih pendek dari pada probosis, sedangkan palpi maksilari pada nyamuk jantan
melebihi panjang probosis. Kepala nyamuk Culex sp. kebanyakan berwarna
cokelat sedangkan nyamuk Aedes sp. berwarna hitam (Borror et al. 1992).

Toraks
Pada bagian toraks, nyamuk memiliki skutum yang agak keras yang
berfungsi sebagai pelindung. Pada bagian posterior toraks, terdapat skutellum
yang berbentuk trilobus. Di samping itu, pada bagian ini juga terdapat halter yang
berfungsi sebagai alat keseimbangan ketika terbang. Sayap dan kaki nyamuk
Culex sp. biasanya terdapat bercak berwarna hitam putih. Kaki nyamuk terdiri
atas tiga bagian yaitu, tungkai depan, tungkai tengah, dan tungkai belakang. Tiap
tungkai terdiri atas femur, tibia, enam ruas tarsus, dan kuku. Kaki nyamuk Aedes
sp. memiliki corak khusus, yakni pola belang-belang hitam dan putih. Warna, pola
sisik, dan rambut pada toraks digunakan untuk membedakan genus dan spesies
nyamuk. Culex sp. Toraks memiliki warna coklat, sedangkan Aedes sp. toraks
berwarna hitam, dengan memiliki corak putih pada dorsal (Hadi & Koesharto
2006).
Abdomen
Bagian abdomen Culex sp. lebih mudah untuk diidentifikasi. Nyamuk ini
umumnya memiliki warna abdomen coklat yang terang, dengan tergit berwarna
belang-belang cokelat gelap terang dan bersisik. Biasanya nyamuk Cx.
quinquefasciatus memiliki pola dorsal abdomen (tergit) berbentuk huruf “M”.
Sedangkan Aedes sp. memiliki warna abdomen hitam dengan tergit berwarna
belang-belang hitam dan putih. Ujung abdomen

Culex sp. betina biasanya

tumpul, dengan serkus yang tertarik kedalam. Sedangkan Aedes sp. betina,
memiliki ujung abdomen yang meruncing, dengan serkus yang menonjol keluar
(Borror et al.1992).

Siklus hidup
Siklus hidup serangga umumnya dibagi dalam dua tahap yaitu tahap
perkembangan dan tahap pendewasaan. Selama fase perkembangan energi
tercurahkan untuk proses pertumbuhan, sedangkan selama pendewasaan energi
tercurahkan untuk penyebaran dan reproduksi. Serangga yang baru menetas
mempunyai ukuran dan bentuk yang kadang-kadang berlainan sama sekali dengan
serangga dewasa. Perubahan bentuk yang dialami mulai dari telur sampai
serangga dewasa disebut metamorfosis (Hadi & Koesharto 2006).

Gambar 2 Siklus hidup nyamuk
Sumber: McCafferty & Patrick 2010
Dalam perkembangannya nyamuk mengalami metamorfosis sempurna
(holometabola) yang diawali dengan stadium telur, larva (jentik), pupa, dan
dewasa (imago) (Gambar 2). Air merupakan faktor terpenting dalam
perkembangan nyamuk, karena proses perkembangan pradewasa terjadi di dalam
air (Clements 2000).
Telur
Telur-telur nyamuk subfamili Culicinae tidak memiliki pelampung seperti
telur nyamuk subfamili Anophelinae. Telur nyamuk Culex sp. tampak pada
Gambar 3a berukuran 0,735 mm berkelompok membentuk rakit sehingga terlihat
mengapung pada permukaan genangan air (Chadee & Tikasings 1986).
Telur nyamuk Aedes sp. berbentuk oval, tunggal, berwarna hitam, dan
berukuran 0,664 mm seperti yang terlihat pada Gambar 3b (Christophers 1960).
Pada keadaan kering, telur nyamuk Aedes sp. dapat bertahan hingga enam bulan.

a

b
Gambar 3 Telur Culex sp. (a) dan Telur Aedes sp. (b)
Sumber: McCafferty & Patrick 2010

Telur-telur nyamuk ini biasanya ditemukan pada tempat-tempat yang berisi
genangan air jernih yang tidak beralaskan tanah, seperti gentong air, bak mandi,
vas bunga, drum, barang bekas, lipatan daun yang menampung air, dan
sebagainya di daerah urban dan suburban. Telur menetas antara dua sampai tiga
hari pada suhu 30 °C, tetapi membutuhkan tujuh hari pada suhu 16 °C (Hadi &
Soviana 2010).
Larva
Larva nyamuk beras al dari telur nyamuk yang telah menetas. Larva
nyamuk tidak berkaki dan memiliki toraks yang lebih besar daripada kepala.
Kepala berkembang baik dengan sepasang antena dan mata majemuk, serta sikat
mulut (mouth brush) yang menonjol. Abdomen memiliki sembilan ruas yang
jelas, dan pada ruas yang terakhir terdapat sifon (tabung udara) sebagai alat
pernapasan sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Ketika berada di dalam air, larva
terlihat membentuk sudut terhadap permukaan air. Larva Culex sp. memiliki sifon
yang panjang dan ramping, sedangkan larva Aedes sp. memiliki sifon yang relatif
lebih pendek dan menggembung (Borror et al.1992).
Bagi seekor nyamuk stadium larva ini merupakan stadium makan.
Kebanyakan jenis larva memakan alga dan kotoran organik, tetapi beberapa
bersifat pemangsa dan makan larva nyamuk lain. Dalam kondisi yang sesuai,
larva nyamuk akan berkembang dalam waktu 6-8 hari sejak dari larva stadium
pertama (instar I) hingga stadium terakhir (instar IV), dan akan berubah menjadi
pupa (kepompong). Selama perkembangan larva terjadi pertambanhan ukuran dari
instar I-IV yaitu 0,3-0,95 mm (Christophers 1960).

a

b

Gambar 4 Jentik Cx. quinquefasciatus (a) dan jentik Ae. albopictus (b)
Sumber: ICPMR 2002

Pupa
Pupa (kepompong) merupakan stadium terakhir yang berada di dalam air.
Pupa nyamuk berbentuk seperti koma, kepala dan dada bersatu dilengkapi dengan
sepasang terompet pernapasan, sebagaimana terlihat pada Gambar 5. Stadium ini
disebut juga stadium inaktif dan tidak memerlukan makanan. Tetapi tetap ada
proses pernapasan melalui sifon yang menempel pada permukaan air. Bentuk
sifon pada stadium pupa, menyerupai sifon pada stadium larva dan bervariasi
bergantung pada jenis spesies nyamuk (Clements 2000). Pada fase ini pupa
membutuhkan dua sampai tiga hari untuk menjadi nyamuk dewasa, namun fase
ini dapat menjadi lebih lama hingga sepuluh hari pada suhu rendah (< 25 °C).
Pada suhu lingkungan dibawah 10 °C tidak akan terjadi perkembangan menjadi
dewasa (Hadi & Soviana 2010).
Dewasa
Waktu menetas (ekslosi), kulit pupa tersobek oleh gelembung udara dan
oleh kegiatan bentuk dewasa yang melepaskan diri. Siklus hidup nyamuk dapat
selesai atau sempurna dalam kurun waktu seminggu (6-7 hari) tergantung
terhadap suhu, makanan, spesies, dan faktor lain. Nyamuk jantan rata-rata dapat
hidup di alam selama satu minggu, sedangkan nyamuk betina dewasa rata-rata
hidupnya selama 3-6 minggu bahkan dapat mencapai diatas 5 bulan. Nyamuk
dewasa hanya mengisap sari-sari tanaman sebagai sumber energi. Namun,
nyamuk betina juga mengisap darah untuk memenuhi kebutuhan energi dalam
upaya proses pematangan telur (Rey 2006).

a

b
Gambar 5 Pupa Culex sp. (a) dan Pupa Aedes sp. (b)
Sumber: McCafferty & Patrick 2010

a

b
Gambar 6 Culex sp. dewasa(a) dan Aedes sp. dewasa (b)
Sumber: ICPMR 2002

Nyamuk dewasa akan mencari pasangan dan melakukan perkawinan setelah
keluar dari pupa. Nyamuk betina yang sudah kawin akan mengisap darah. Darah
merupakan

sumber

protein

yang

esensial

untuk

mematangkan

telur.

Perkembangan telur hingga dewasa memerlukan waktu sekitar 10 sampai 12 hari.

Bioekologi
Perilaku dan daur hidup nyamuk bergantung kepada kondisi lingkungan di
sekitar seperti ketersediaan makanan, habitat, dan predator. Nyamuk tertarik pada
cahaya, lokalisasi yang dekat pada suhu yang hangat, dan lembab serta manusia
dan hewan. Ketertarikan nyamuk akan manusia dan hewan adalah, karena
kemampuan manusia dan hewan untuk mengeluarkan zat-zat yang mampu
merangsang nyamuk untuk menghampiri, seperti karbon dioksida (CO2), panas
tubuh, dan bau badan atau keringat (Hadi & Koesharto 2006). Kesukaan nyamuk
terhadap inang yang berbeda-beda mempengaruhi perilaku mengisap darah.
Beberapa nyamuk lebih menyukai darah manusia (anthropophilic) dan lainnya
lebih menyukai darah hewan (zoophilic) atau bahkan menyukai keduanya seperti
nyamuk Cx. quinquefasciatus. Sedangkan Ae. albopictus merupakan salah satu
dari beberapa spesies yang tergolong anthropophilic (Hadi & Soviana 2010).
Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan nyamuk rumahan yang biasanya
hidup atau tinggal di sekitar rumah. Habitat yang biasanya menjadi tempat
berkembangbiak adalah genangan air yang keruh, kolam ikan yang sudah tidak
terpakai lagi, selokan, dan tempat-tempat lembab lainnya. Nyamuk ini aktif
mengisap ketika matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit, namun
puncak terjadi sekitar pukul 22.00-02.00 (Hadi & Koesharto 2006).

Berbeda dengan Cx. quinquefasciatus, nyamuk Aedes sp. cenderung
memilih berkembang biak dalam tempat penampungan air yang tidak beralaskan
tanah dan berisi air bersih seperti bak mandi, gentong air, drum, vas bunga dan
barang bekas yang dapat menampung air. Aktivitas Ae. albopictus mengisap darah
terjadi pada pagi dan sore hari. Daya jelajah terbang nyamuk ini tidak jauh, hanya
sekitar 50 sampai 100 m, kecuali jika terbawa angin kencang (Hadi & Soviana
2010).
Setelah nyamuk betina mengisap darah, nyamuk akan beristirahat selama 2
sampai 3 hari pada tempat yang gelap dan lembab. Waktu istirahat ini digunakan
untuk proses penyerapan darah untuk perkembangan telur. Kemudian nyamuk ini
akan mencari tempat untuk bertelur. Setelah bertelur, nyamuk akan mencari darah
lagi untuk proses pematangan telur selanjutnya siklus ini disebut sebagai siklus
gonotrofik (Clements 2000).
Faktor lingkungan yang mempengaruhi perkembangbiakan nyamuk adalah
suhu, kelembaban, dan curah hujan.
Suhu
Suhu merupakan kandungan panas pada suatu zat atau benda tertentu (Wang
et al. 2001; Grissom et al. 2000). Suhu udara diartikan sebagai suatu derajat panas
udara, yang dinyatakan dalam derajat celcius ( °C). Suhu udara dipengaruhi oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah sinar matahari, vegetasi, dan polusi udara
(Flannigan et al. 2000). Suhu optimum perkembangbiakan nyamuk adalah 25-27
°C, suhu terlalu tinggi (>35 °C) dapat meningkatkan mortalitas nyamuk (Martens
1997; Epstein et al. 1998).
Kelembaban
Air sangat penting bagi fungsi fisiologis bagi tubuh, kondisi air dalam tubuh
dipengaruhi oleh faktor kelembaban. Kelembaban udara merupakan jumlah air
yang terdapat dalam udara yang dinyatakan dalam persen (%). Uap air di alam
sebagian besar berasal dari penguapan air laut. Kelembaban udara mempengaruhi
kelangsungan hidup (survival rate), kebiasaan mencari darah dan istirahat
nyamuk. Kelembaban yang rendah akan memperpendek umur nyamuk.
Peningkatan kelembaban udara berbanding lurus dengan peningkatan kepadatan
nyamuk (Epstein et al. 1998). Pada kelembaban yang lebih tinggi, nyamuk akan

menjadi lebih aktif dan lebih sering mengisap darah. Menurut Martens 1997,
nyamuk pada umumnya menyukai kelembaban diatas 60 %. Penularan lebih
mudah terjadi ketika kelembaban tinggi, sebaliknya di daerah yang gersang
penularan tidak terjadi karena usia nyamuk yang pendek sehingga parasit tidak
dapat menyelesaikan masa siklusnya. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan
pipa udara (trachea) dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk
(spirakle).
Curah hujan
Epstein et al. (1998) menyatakan bahwa semakin tinggi curah hujan akan
menaikan kepadatan nyamuk, demikin juga sebaliknya rendahnya curah hujan
akan mengurangi kepadatan nyamuk. Hujan yang tidak terlalu deras akan
menguntungkan bagi perkembangbiakan nyamuk, namun sebaliknya jika hujan
yang turun terlalu deras akan menyapu tempat perkembangbiakan nyamuk yang
berpotensi untuk menjadi telur, larva, dan pupa nyamuk. Hujan juga dapat
meningkatkan kelembaban relatif, sehingga dapat memperpanjang usia nyamuk.
Curah hujan minimal yang dibutuhkan oleh perkembanganbiakan nyamuk adalah
1,5 mm per hari (Martens 1997).

Penyakit yang ditularkan
Peranan nyamuk dalam dunia kesehatan sangat jelas yaitu sebagai serangga
pengganggu dan juga vektor penularan berbagai jenis penyakit. Berbagai agen
penyakit dapat ditularkan oleh nyamuk karena sifatnya yang mengisap darah.
Proses penularan penyakit oleh nyamuk diawali ketika seekor nyamuk mengisap
darah seseorang yang mengandung agen penyakit dalam stadium infektif. Di
dalam tubuh nyamuk tesebut agen penyakit berkembang dan akhirnya dapat
ditularkan kepada orang lain ketika nyamuk mengisap darah kembali (Rey 2006).
Beberapa penyakit yang dapat ditularkan oleh nyamuk Culex sp. adalah
penyakit kaki gajah atau filariasis Wuchereria bancrofti, West Nile Virus (WNV),
dan juga encephalitis. Sedangkan beberapa penyakit yang sering kali ditularkan
oleh nyamuk Aedes sp. adalah penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dan
penyakit Chikungunya (Hadi & Soviana 2010).

Nyamuk juga mengganggu hewan dan menularkan penyakit cacing jantung
pada anjing (Dirofilariasis immitis) yang ditularkan oleh nyamuk Cx.
quinquefasciatus. Selain pada manusia, Japaneses encephalitis (JE) juga dapat
menyerang kuda, babi, unggas, dan kelelawar dengan perantara nyamuk Cx.
tritaeniorynchus, dan Cx. quinquefasciatus (Hadi & Koesharto 2006)

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama, merupakan
tahap pengumpulan nyamuk dewasa yang dilaksanakan sejak Oktober s/d
November 2010. Tahap kedua merupakan tahapan identifikasispesimen yang
dilaksanakan sejak awal Maret 2011 hingga Juni 2011.
Koleksi nyamuk dilakukan di dalam 14 rumah diKompleks Perumahan
Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat (Gambar 7). Identifikasi nyamuk
dilaksanakan di Laboratorium Entomologi, Bagian Parasitologi dan Entomologi
Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat
Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Gambar 7 Lokasi Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Desa Cikampak
Kecamatan Ciampea Bogor Jawa Barat.
Metode Penelitian
Penelitian diawali dengan penentuan 14 rumah dalam satu komplek
perumahan secara random (acak). Rumah-rumah yang telah dipilih harus
memiliki tipe dan ukuran yang sama satu dengan yang lainnya. Setelah itu
ditentukan orang yang bertindak sebagai penangkap nyamuk (kolektor) dan orang
yang bertindak sebagai umpan dari masing-masing rumah tersebut. Penangkapan
dilakukan tiap jam selama 4 jam sejak pukul 21.00 WIB hingga pukul 01.00
WIB. Tiap jamnya waktu yang dilakukan untuk penangkapan nyamuk yang
hinggap pada umpan selama 40 menit sedangkan 20 menit waktu untuk persiapan
dan istirahat bagi kolektor. Penangkapan dilakukan sebanyak tiga kali dengan
jarak antar penangkapan selama satu minggu.
Penangkapan nyamuk ini dilakukan dengan metode bare leg collection
(BLC). Pertama-tama orang yang bertindak sebagai umpan menggulung celana
hingga ke bagian lutut dan duduk pada tempat yang telah disediakan. Kemudian
ketika nyamuk hinggappada umpan, kolektor dengan cepat menangkap nyamuk
dengan aspirator. Nyamuk yang telah tertangkap kemudian dimasukan ke dalam
gelas kertas (paper cup) yang tertutup kain kasa. Setiap nyamuk yang tertangkap,
dipisahkan berdasarkan jam penangkapannya. Nyamuk yang sudah tertangkap
kemudian dimatikan dengan menggunakan klorofom dan nyamuk dipinning.

a

b

Gambar 8 Koleksi nyamuk dengan menggunakan metode BLC,
(a) di Rumah C 30 dan (b) di Rumah B 1

Proses identifikasi nyamuk dilakukan dengan menggunakan Mikroskop
Stereo dan dicocokkan dengan Kunci Identifikasi Culex dan Aedes Jentik dan
Dewasa di Jawa (DEPKES 1989).

Analisis Data
Analisis data dilakukan secara deskriptif dan hubungan antara beberapa
parameter dianalisis dengan menggunakan uji korelasi pearson (bivariate) dan
kemudian dijelaskan dengan menggunakan gambar dan grafik serta dijabarkan
dalam bentuk narasi.
Man Hour Density (MHD) merupakan jumlah nyamuk spesies tertentu yang
menggigit orang per jam dalam satu hari.
Σ Spesies nyamuk tertentu

MHD =

Σ waktu (jam) x Σ kolektor

Man Biting Rate (MBR) merupakan jumlah nyamuk spesies tertentu yang
menggigit orang dalam sehari.
MBR =

Σ Spesies nyamuk tertentu
Σ waktu (malam) x Σ kolektor

Kelimpahan Nisbi merupakan perbandingan antara jumlah nyamuk spesies
tertentu dengan total jenis nyamuk dari berbagai spesies yang ditangkap.
Kelimpahan Nisbi =

Σ Spesies nyamuk tertentu
Σ total spesies nyamuk yang tertangkap

Angka Frekuensi adalah perbandingan antara banyaknya nyamuk spesies
tertentu yang ditangkap dengan banyaknya penangkapan yang dilakukan menurut
cara tertentu.
Angka Frekuensi =

Banyaknya spesies nyamuk yang tertangkap
Σ Perlakuan

Angka Dominansi Spesies merupakan hasil perkalian dari kelimpahan nisbi
dengan angka frekuensi nyamuk spesies tertentu yang tertangkap.
Angka Dominansi =

Angka Frekuensi x Kelimpahan Nisbi

HASIL DAN PEMBAHASAN
Jenis-Jenis Nyamuk yang Tertangkap
Hasil penangkapan nyamuk dengan metode BLC yang dilakukan di
Komplek Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak di Desa Bojong
Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat menunjukkan
keanekaragaman fauna nyamuk yang mengisap darah manusia atau bersifat
antropofilik. Data yang dihasilkan menunjukkan bahwa nyamuk yang tertangkap
pada pukul 21.00 WIB s/d 01.00 WIB berjumlah 1.350 nyamuk, yang terdiri atas
dua genus nyamuk dan empat spesies, yaitu tiga spesies Culex (98,82 %) dan satu
spesies Aedes (1,18 %), seperti yang tertera pada Tabel 1.
Pada Tabel 1 terlihat bahwa jenis nyamuk yang paling banyak tertangkap
adalah nyamuk Cx. quinquefasciatus, yakni sebanyak 1.210 nyamuk (89,63 %),
84 nyamuk Cx. hutchinsoni (6,22 %), 40 nyamuk Cx. tritaeniorynchus (2,96 %),
dan 16 nyamuk Ae. albopictus (1,19 %). Banyaknya spesies Culex yang
tertangkap disebabkan karena sifatnya yang nokturnal, yaitu beraktivitas pada
malam hari. Selain itu, Culex juga bersifat endofagik dan endofilik, yaitu mencari
makan dan beristirahat di dalam rumah (Rey 2006).
Cx. quinquefasciatus memiliki ciri-ciri yang spesifik yaitu tidak memiliki
gelang putih pada probosisnya, memiliki tergit belang hitam-putih, toraks
berwarna coklat pudar dan integument pleuron berwarna pucat merata. Nyamuk
Cx. hutchinsoni memiliki ciri-ciri yang hampir serupa dengan nyamuk Cx.
quinquefasciatus, tetapi integument pleuron berwarna coklat kehitam-hitaman
sehingga Cx. hutchinsoni terlihat lebih gelap dibandingkan Cx. quinquefasciatus
(Gambar 9a dan 9b).
Nyamuk Cx. tritaeniorynchus (Gambar 9c), memiliki perbedaan yang
mendasar pada probosisnya. Probosis nyamuk ini memiliki gelang putih,
sebagaimana pada nyamuk dari grup sitiens dan secara umum menjadi dasar
pembeda dengan nyamuk grup pipiens. Jenis nyamuk yang termasuk dalam grup
pipiens

adalah Cx. quiquefasciatus dan Cx. hutchinsoni, sedangkan yang

termasuk dalam grup sitiens adalah Cx. tritaeniorynchus. Pada ventral probosis
grup pipiens juga tidak ditemukan bercak pucat.

Tabel 1

Jenis-jenis nyamuk yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB
di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010.
Spesies

Jumlah

Cx. quinquefasciatus

1210

89,63

Cx. hutchinsoni

84

6,22

Cx. tritaeniorynchus

40

2,96

Ae. albopictus

16

1,19

1350

100,00

Total

Persentase (%)

Ciri-ciri grup pipiens lainnya adalah tergit abdomen belang hitam dan putih,
scutum tertutup sisik-sisik coklat merata, dan pada sayap terdapat noda seperti
pada Anopheles dengan sisik berwarna kuning atau putih yang jelas.

Gambar 9

a

b

c

d

(a) Cx. quinquefasciatus, (b) Cx. hutchinsoni,
(c) Cx. tritaeniorynchus, (d) Ae. albopictus.

Nyamuk yang berhasil ditangkap selain jenis Culex sp. adalah nyamuk jenis
Ae. albopictus (Gambar 9d). Ciri-ciri khusus yang terdapat pada semua Ae.
albopictus adalah garis putih memanjang pada mesonotum, pada pleuron terdapat
bercak putih juga tungkai berpola belang hitam-putih. Probosis lebih pendek dari
pada femur kaki depan (DEPKES 1989).
Ae. albopictus yang ditemukan pada malam hari menunjukkan adanya
perubahan aktivitas mencari inang, karena pada umumnya Ae. albopictus
memiliki sifat diurnal, yaitu beraktivitas pada siang hari (Hadi & Koesharto
2006).

Kelimpahan Nisbi, Angka Frekuensi, dan Angka Dominasi Nyamuk Yang
Tertangkap
Data Tabel 2 menunjukkan bahwa nyamuk Cx. quinquefasciatus memiliki
kelimpahan nisbi 89,62 %, frekuensi tertangkap 0,99, dan angka dominansi 88,73.
Hal ini menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciatus merupakan jenis nyamuk yang
mendominasi komposisi nyamuk antropofilik di wilayah ini. Populasi terendah
adalah Ae. albopictus dengan kelimpahan nisbi 1,19 %, frekuensi tertangkap 0,05,
dan angka dominansi 0,06. Nyamuk Cx. hutchinsoni dan Cx. tritaeniorynchus
juga berhasil ditangkap dalam penelitian ini dengan angka kelimpahan nisbi,
frekuensi, dan dominansi berturut-turut adalah 6,22 %, 0,23, dan 0,50 pada
nyamuk Cx. hutchinsoni dan 2,96 %, 0,08, dan 0,68 pada nyamuk Cx.
tritaeniorynchus.
Tabel 2

Kelimpahan nisbi, frekuensi tertangkap, dan angka dominansi nyamuk
yang tertangkap di Perumahan Pegawai FKH IPB di Daerah
Cikampak, Oktober-November 2010.

.
Spesies

Kelimpahan nisbi

Angka

Angka

(%)

frekuensi

dominansi

89,62

0,99

88,73

Cx. hutchinsoni

6,22

0,23

0,50

Cx. tritaeniorynchus

2,96

0,08

0,68

Ae. albopictus

1,19

0,05

0,06

Cx. quinquefasciatus

Banyaknya nyamuk Cx. quinquefasciatus yang tertangkap disebabkan karena
nyamuk Culex sp. memiliki sifat nokturnal (aktif di malam hari) dan nyamuk
Aedes sp. sangat sedikit tertangkap dikarenakan sifatnya yang diurnal (aktif di
siang hari) (Borror et al, 1992).
Satriyo (2009) melaporkan bahwa dari 1.323 ekor nyamuk yang tertangkap
dengan menggunakan metode BLC di Desa Babakan Kecamatan Darmaga,
Kabupaten Bogor terdiri atas lima spesies Culex (99,24 %), dua spesies Aedes
(0,61 %), dan satu spesies Armigeres (0,15 %). Nyamuk yang paling banyak
tertangkap adalah Cx. quinquefasciatus dengan angka dominansi 63,87 %.
Nyamuk Cx. tritaeniorynchus ditemukan cukup tinggi, hal ini dikarenakan adanya
banyak warga yang berternak kerbau di sekitar pemukiman penduduk. Diketahui
bahwa nyamuk ini bersifat antropozoofilik.
Nyamuk Cx. quinquefasciatus merupakan jenis nyamuk yang dominan
ditemukan di wilayah sekitar permukiman penduduk di daerah DKI Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Hampir di seluruh
genangan air yang terdapat dalam sistem pembuangan air limbah (selokan, kolam,
parit dan lain-lain) jentik dan nyamuk Cx. quinquefasciatus dewasa selalu
ditemukan (Laksono 2010).
Tingginya angka kelimpahan nisbi dari nyamuk Cx. quinquefasciatus juga
ditemukan oleh Zinser et al. (2007) di Harris County, Texas Amerika Serikat.
Dari

total

nyamuk

yang

berhasil

ditangkap,

kelimpahan

nisbi

Cx.

quinquefasciatus mencapai 95 %. Hal ini mengindikasikan bahwa populasi
nyamuk ini dominan dan menjadi vektor potensial bagi penyebaran penyakit West
Nile Virus (WNV).
Tinggi rendahnya angka kelimpahan nisbi nyamuk juga dipengaruhi oleh
banyaknya tempat perkembangbiakan nyamuk. Di lokasi penelitian ini ditemukan
banyak sekali tempat perkembangbiakan nyamuk, seperti selokan yang tersumbat
sehingga terlihat genangan air yang keruh dan kotor, parit di sekitar pekarangan
rumah, bak penampungan air dan kolam milik warga yang tidak digunakan lagi,
dan limbah cair rumah tangga yang menyebabkan aliran air tersumbat sehingga
tampak menggenang. Genangan air akibat air hujan maupun limbah rumah tangga
merupakan faktor yang mendukung perkembangan nyamuk.

b

a

c

d

e

Gambar 10 Tempat-tempat perkembangbiakan nyamuk(a) Selokan, (b) Parit, (c)
Bak penampungan air, (d) Kolam, dan (e) Limbah rumah tangga.
Nyamuk Culex sp. biasanya hidup pada genangan air dan lingkungan yang kotor
sedangkan nyamuk Aedes sp. cenderung menyukai genangan air yang jernih dan
bersih (Hadi & Koesharto 2006).

Kepadatan Nyamuk Yang Tertangkap
Kepadatan nyamuk dapat dinyatakan dalam man hour density (MHD) dan
man biting rate (MBR). MHD menggambarkan jumlah nyamuk yang hinggap
atau mengisap darah seseorang yang menjadi inang dalam satu jam, dan MBR
menggambarkan jumlah nyamuk yang menggigit orang dalam semalam. Nilai
MBR dan MHD dapat dilihat pada Tabel 3. Nilai MBR dan MHD tertinggi
ditemukan

pada

nyamuk

Cx.

quinquefasciatus

yaitu

sebesar

28,81

nyamuk/orang/malam dan 10,80 nyamuk/orang/jam. MBR dan MHD terendah
didapatkan pada nyamuk Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus yakni 0,38
nyamuk/orang/malam dan 0,14 nyamuk/orang/jam.
Satu faktor yang menentukan keberhasilan vektor dalam menularkan
penyakit

adalah

kepadatan

spesies

yang

tinggi.

Di

permukiman

Cx.

quinquefasciatus merupakan vektor utama penyebaran penyakit kaki gajah
(filariasis) yang disebabkan oleh Wuchereria bancrofti. Penularan filariasis
memerlukan gigitan jumlah nyamuk yang tinggi (Oemijati 1993).

Tabel 3 Nilai MBR & MHD jenis-jenis nyamuk yang tertangkap di Perumahan
Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010.
Spesies

MBR

MHD

(nyamuk/orang/malam)

(nyamuk/orang/jam)

Cx. quinquefasciatus

28,81

10,80

Cx. hutchinsoni

2,00

0,75

Cx. tritaeniorynchus

0,95

0,36

Ae. albopictus

0,38

0,14

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Huda (2002) di daerah endemik filariasis di
Desa Gondanglegi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, menunjukkan bahwa Cx.
quinquefasciatus merupakan spesies nyamuk yang memiliki kepadatan populasi
yang paling tinggi dibandingkan dengan spesies lainnya dengan MHD sebesar
9,20, sehingga dikatakan sebagai vektor utama penyebaran filariasis di Desa
Gondanglegi Kulon, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
MHD di lokasi penelitian sebesar 10,80 berindikasi bahwa risiko warga
yang bermukim di perumahan tersebut untuk tertular penyakit kaki gajah cukup
tinggi, apabila di lingkungan tersebut terdapat reservoir atau penderita filariasis.

Perilaku Nyamuk Menggigit Di Malam Hari
Tabel 4 menunjukkan bahwa Cx. quinquefasciatus yang menggigit di dalam
rumah di Perumahan Pegawai FKH IPB, di lokasi penelitian sudah sangat tinggi
pada pukul 21.00 WIB yaitu dengan angka persentase 19,78. Angka ini meningkat
mencapai 22,96 % dan puncaknya terjadi pada pukul 23.00 WIB hingga 24.00
WIB 24,89 %. Pada pukul 24.00-01.00 WIB persentase Cx. quinquefasciatus yang
tertangkap terlihat mengalami penurunan menjadi 22,00 %.
Pipitgool et al. (1998) menyatakan bahwa aktivitas Cx. quinquefasciatus
mengisap darah di Khon Kaen City dimulai pada pukul 18.00-06.00. Dari total
1.429 Cx quinquefasciatus yang tertangkap, 4 % tertangkap pada pukul 18.0019.00 WIB. Jumlah ini terus meningkat hingga puncaknya pada pukul 22.0023.00 mencapai 17 % dari total keseluruhan nyamuk yang tertangkap. Pukul
24.00-06.00 jumlah nyamuk yang tertangkap terus mengalami penurunan.

Tabel 4

Rata-rata persentase nyamuk yang tertangkap setiap jam di Perumahan
Pegawai FKH IPB di Daerah Cikampak, Oktober-November 2010.

Spesies

21.00-22.00

22.00-23.00

23.00-24.00

24.00-01.00

Cx. quinquefasciatus

19,78

22,96

24,89

22,00

Cx. tritaeniorynchus

0,37

0,96

0,07

1,56

Cx. hutchinsoni

0,89

1,48

1,70

2,15

Ae. albopictus

0,22

0,15

0,30

0,52

Mahanta et al. (1999) menyatakan bahwa nyamuk Cx. quinquefasciatus
merupakan jenis nyamuk yang dominan tertangkap di daerah Permukiman
Perkebunan Teh Assam India adalah pada 19.00-20.00 dan mencapai puncaknya
pada pukul 22.00-24.00. Menurut Klein et al. (1992) puncak Cx. quinquefasciatus
menggigit di dalam rumah di daerah Costa Marques Randonia Brazil pada pukul
23.00-02.00. Hal ini menunjukkan bahwa puncak aktivitas nyamuk Cx.
quinquefasciatus adalah pada tengah malam (22.00-02.00) sehingga disebut
dengan nyamuk nokturnal.
Beier et al. (1990) menyatakan bahwa kepadatan Cx. quinquefasciatus pada
malam hari di luar rumah lebih tinggi jika dibandingkan di dalam rumah. Namun,
jumlah kasus gigitan pada manusia lebih tinggi (88 %) di dalam rumah jika
dibandingkan dengan di luar rumah (23 %). Hal ini dikarenakan aktivitas manusia
pada malam hari lebih banyak di dalam rumah, sehingga nyamuk Cx.
quinquefasciatus cenderung masuk ke dalam rumah untuk mencari darah
(endofagik).

Hubungan Densitas Nyamuk Terhadap Suhu danKelembaban.
Berdasarkan hasil pengukuran suhu dan kelembaban di Perumahan Pegawai
FKH IPB di Daerah Cikampak, Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea,
Kabupaten Bogor, didapatkan rata-rata suhu ruang selama empat jam dari pukul
21.00 WIB hingga 01.00 WIB adalah 26,6-28 °C dan kelembaban ruang sebesar
79,3-80,3%.

Gambar 11 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan
suhu.

Gambar 12 Hubungan fluktuasi jumlah nyamuk Cx. quinquefasciatus dengan
kelembaban.
Jumlah nyamuk Cx. quinquefascatus yang berhasil tertangkap pada pukul
21.00 WIB rata-rata berjumlah 89 nyamuk. Kemudian diamati pada jam
berikutnya didapatkan jumlah nyamuk sebanyak rata-rata 103 nyamuk. Pada
pukul 23.00 WIB didapatkan rata-rata jumlah nyamuk sebanyak 112 nyamuk dan
terakhir pada pengamatan pukul 01.00 WIB didapatkan nyamuk berjumlah 99
nyamuk.
Gambar 11 menunjukkan hubungan antara kepadatan nyamuk Cx.
quinquefasciatus terhadap suhu ruang. Dengan uji korelasi didapatkan angka
korelasi antara kepadatan Cx. quinquefasciatus terhadap suhu sebesar 0,311.
Angka ini mengindikasikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara
kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus terhadap perubahan suhu.

Gambar 13

Hubungan fluktuasi jenis nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus
dan Cx. tritaeniorynchus dengan suhu.

Gambar 14 Hubungan fluktuasi jenis nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan
Cx. tritaeniorynchus dengan kelembaban.
Angka korelasi pearson antara kepadatan nyamuk Cx. quinquefasciatus
terhadap perubahan kelembaban (Gambar 12) bernilai 0,990, hal ini menjelaskan
bahwa terdapat hubungan positif antara kepadatan jumlah nyamuk Cx.
quinquefasciatus terhadap perubahan kelembaban ruang. Semakin tinggi
kelembaban maka akan semakin meningkatkan jumlah kepadatan nyamuk.

Menurut Gunawan 2000 dalam Suwito 2010, kelembaban berpengaruh penting
terhadap perkembangan hidup nyamuk. Semakin tinggi kelembaban udara maka
akan membuat nyamuk lebih aktif dan sering menggigit sehingga dapat
memperpanjang umur nyamuk, dan sebaliknya jika kelembaban udara rendah
maka akan memperpendek umur nyamuk.
Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa adanya fluktuasi jumlah
nyamuk Cx. hutchinsoni, Ae. albopictus dan Cx. tritaeniorynchus yang tertangkap
(Gambar 13 dan 14). Pada pukul 21.00 WIB diketahui jumlah nyamuk Cx.
hutchinsoni yang tertangkap rata-rata 4 nyamuk. Jumlah nyamuk pada pukul
22.00 WIB rata-rata 6,67 nyamuk. Pada waktu sejam kemudian jumlahnya
kembali naik yaitu rata-rata 7,6 nyamuk. Puncak menggigit nyamuk ini terjadi
pada pukul 01.00 WIB yaitu rata-rata 9,67 nyamuk.
Kepadatan jumlah nyamuk Cx. tritaeniorynchus pada pengukuran selama
empat jam paling berfluktuatif. Hasil penangkapan yang dimulai pada pukul 21.00
WIB didapatkan rata-rata nyamuk Cx. tritaeniorynchus yang mengigit sebanyak
1,67 nyamuk. Jumlah nyamuk ini mengalami peningkatan mengisap darah pada
pukul 22.00 s/d 23.00 WIB yaitu dengan rata-rata 4,33 nyamuk. Pada pukul 24.00
WIB jumlahnya mengalami penurunan hingga mencapai rata-rata 0,3 nyamuk
saja. Satu jam kemudian