Dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak (Studi pada Pekerja Anak di desa Bojong Rangkas, kecamatan Ciampea, kabupaten Bogor)

(1)

Kabupaten Bogor)

Oleh: Amalia Dianah

I34052675

Dosen Pembimbing: Ratri Virianita, S. Sos, MSi.

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 


(2)

CHILD WORKERS. A Study on The Child Workers in Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. (Supervised by RATRI VIRIANITA).

The objective of this study is to know the child workers profile and to analyze the correlation between the social support and self concept of the child workers. The research was conducted in Desa Bojong Rangkas, a village which has the highest amount of child workers in Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Quantitative approach with survey method was used on 32 child workers. The respondents were selected by Quota sampling technique based on its conformity to the population in the operational definition. The primary data were collected by distributing questionnaire immediately to the respondents. Questionnaire of identity was used to select the respondents and analyze their profile. Questionnaire of social support and self concept were used to get the description of social support and self concept of the child workers. The data from questionnaire were catagorized by interval scale and analyzed by Pearson Product Moment Correlation using SPSS 17,0 version.


(3)

ANAK. Studi pada Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. (Di bawah bimbingan RATRI VIRIANITA).

Masalah kemiskinan masih menjadi masalah nasional di Indonesia. Hidup dalam kemiskinan atau Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah menyebabkan berbagai cara dilakukan oleh keluarga untuk mempertahankan hidup, salah satunya dengan mempekerjakan anak. Dalam beberapa penelitian terdahulu, anak-anak yang lahir dari keluarga dengan SSE rendah ditemukan memiliki konsep diri yang rendah (negatif). Penelitian lain mengenai konsep diri anak jalanan menemukan konsep diri positif pada sebagian besar anak jalanan, meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Penulis menduga dukungan sosial dapat menjadi variabel yang membuat anak dari keluarga dengan SSE rendah memiliki konsep diri positif, sehingga dapat memandang masa depan dengan optimis.

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mendapatkan profil pekerja anak dan mempelajari hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri yang dimiliki pekerja anak. Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei. Penelitian dilakukan di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Desa Bojong Rangkas dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan pusat kerajinan tas dan dompet di Bogor, yang tercatat sebagai Desa dengan jumlah pekerja anak terbanyak di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Responden berjumlah 32 orang yang dipilih menggunakan teknik Quota Sampling, berdasarkan kesesuaiannya dengan populasi. Populasi penelitian adalah pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah, memiliki pekerjaan rutin, dan menerima upah dari pekerjaan tersebut. Pengumpulan data primer dilakukan dengan membagikan kuesioner secara langsung kepada responden. Data yang diperoleh dari kuesioner diolah dan dikategorikan menggunakan skala interval, untuk dianalisis dengan uji parameter Pearson Product Moment Correlation (Korelasi Pearson) menggunakan SPSS versi 17,0.

Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah berjumlah 32 orang, terdiri dari: 14 laki-laki dan 18 perempuan. Ayah pekerja anak berpendidikan rendah, yaitu sebanyak 62,5 persen berpendidikan terakhir Sekolah Dasar (SD), sedang 37,5 persen lainnya berpendidikan terakhir Sekolah Menengah Pertama (SMP). Seluruh ibu pekerja anak juga berpendidikan rendah, yaitu sebanyak 96,9 persen berpendidikan terakhir SD, sedang 3,1 persen sisanya berpendidikan terakhir SMP. Sebagian besar pekerja anak, yaitu sebanyak 94 persen memiliki tingkat pendidikan rendah, sedang enam persen pekerja anak lainnya memiliki tingkat pendidikan tinggi, yaitu lulusan SMA. Dalam keluarga pekerja anak hanya ayah yang bekerja. ibu berperan sebagai ibu rumah tangga. Pendapatan orang tua pekerja anak berada dibawah Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor, begitu pula dengan pekerja anak. Jumlah pendapatan yang diterima pekerja anak tidak ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, melainkan berdasarkan lama pengalaman kerja dan jenis pekerjaan yang dilakukan.


(4)

Sebagian besar pekerja anak, baik laki-laki maupun perempuan memiliki konsep diri positif. Pandangan pada aspek diri fisik, diri personal, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang dimiliki sebagian besar pekerja anak juga positif. Persentase pekerja anak perempuan yang memiliki konsep diri positif lebih tinggi dibandingkan pekerja anak laki-laki. Dari keempat aspek diri yang menyusun konsep diri, persentase pekerja anak laki-laki yang memiliki pandangan positif pada aspek diri keluarga mencapai persentase tertinggi dibandingkan pada aspek diri lainnya, yaitu sebanyak 85,7 persen. Jumlah pekerja anak perempuan yang memiliki pandangan positif pada aspek-aspek diri yang dimiliki menunjukkan persentase tertinggi pada aspek diri personal dan kepuasan diri, yaitu sebanyak 88,9 persen. Tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan orang tua tidak berhubungan dengan konsep diri pekerja anak. Tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan pekerja anak juga tidak berhubungan dengan konsep diri yang dimiliki.

Seluruh pekerja anak memiliki dukungan sosial yang kuat dengan proporsi yang berbeda-beda pada setiap jenis dukungan. Tingkat pendidikan dan jumlah pendapatan tidak berhubungan dengan dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak. Pekerja anak yang semula diduga memiliki dukungan instrumental rendah, ternyata sebagian besar justru memiliki dukungan instrumental yang kuat. Dari keempat jenis dukungan sosial, pekerja anak memiliki dukungan kuat dengan persentase tertinggi pada dukungan emosi, yaitu 92 persen untuk pekerja anak laki-laki dan 100 persen untuk pekerja anak perempuan.

Hasil uji korelasi Pearson menunjukkan adanya hubungan searah yang signifikan pada α=0,01 antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak. Dengan demikian semakin kuat dukungan sosial pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimilik, maka hipotesis diterima. Terdapat pula hubungan searah yang signifikan pada α=0,01 antara dukungan sosial dan aspek diri fisik, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang dimiliki pekerja anak.

Terdapat hubungan searah yang signifikan pada α=0,05 antara dukungan instrumental dan konsep diri pekerja anak. Dengan demikian semakin kuat dukungan instrumental pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Terdapat hubungan searah yang signifikan pada α=0,01 antara dukungan emosi dan konsep diri pekerja anak. Dengan demikian semakin kuat dukungan emosi pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Maka hipotesis diterima. Dukungan penghargaan ditemukan tidak berhubungan dengan konsep diri pekerja anak. Maka hipotesis ditolak.

Dukungan sosial terbukti memiliki hubungan searah dengan konsep diri pekerja anak. Karena itu anak yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah perlu diberi dukungan yang kuat, sehingga dapat memiliki konsep diri positif. Mengingat profil pekerja anak menunjukkan bahwa keluarga pekerja anak tidak memandang penting pendidikan, wawasan mengenai pentingnya pendidikan perlu diberikan. Pemberian dukungan yang kuat disertai wawasan mengenai pentingnya pendidikan diharapkan dapat melahirkan generasi yang memiliki konsep diri lebih positif dan SSE yang lebih tinggi.


(5)

Oleh: Amalia Dianah

I34052675

SKRIPSI

Sebagai Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011 


(6)

Judul Skripsi : Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak (Studi pada Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor)

Nama Mahasiswa : Amalia Dianah Nomor Mahasiswa : I34052675

Mayor : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dapat diterima sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ratri Virianita, S.Sos, MSi NIP. 19700617 200501 2001

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003


(7)

“DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK (STUDI PADA PEKERJA ANAK DI DESA BOJONG RANGKAS, KECAMATAN CIAMPEA,

KABUPATEN BOGOR)” BELUM PERNAH DIAJUKAN DAN DITULIS PADA

PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, 25 Januari 2011

Amalia Dianah I34052675


(8)

bersaudara pasangan suami istri, Drs. Minjali AS dan Dra. Gustinaningsih. Pada tahun 1998 penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dari SDN Bunul Rejo 7 Malang, Jawa Timur. Penulis sempat melanjutkan satu tahun studi di SMPN 3 Malang, Jawa Timur, kemudian meneruskan pendidikan Madrasah Tsanawiyah di Pondok Pesantren hingga tahun 2002. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Plus PGRI Cibinong dan lulus pada tahun 2005 dengan predikat “The Best Student in Linguistic Verbal”. Pada tahun 2005 tersebut penulis diterima masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) dan menjalankan studi sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis memiliki beberapa prestasi di bidang pidato Bahasa Indonesia, Inggris, dan Arab sejak duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Penulis memiliki pengalaman kerja sebagai penyiar radio dan pembawa acara pada tahun 2004-2005. Selama duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) penulis aktif sebagai sekretaris Majelis Perwakilan Kelas (MPK) periode 2003, wakil ketua Ekstrakurikuler Agama Islam (EKSIS) periode 2002-2003, dan ketua Kelompok Ilmiah Remaja (KIR) periode 2003-2004. Semasa kuliah, sejak tahun 2005 penulis aktif dalam organisasi Internasional Association of Students in Agriculture and Related Sciences (IAAS) LC IPB, sebagai staf Human Resources Development Department (2006-2007) dan sekretaris divisi Science and Technology Department (2007-2008). Pada tahun 2007 penulis tergabung dalam IPB Debating Community (IDC). Selama kuliah penulis juga memiliki pengalaman kerja sebagai guru privat beberapa mata pelajaran SD dan SMP, penerjemah, serta membangun bisnis jaringan dalam organisasi bisnis Unicore. Penulis bergabung menjadi staf pengajar pada Islamic Boarding Al Umanaa pada tahun 2009. Sejak tahun 2010 hingga saat penyelesaian skripsi, penulis menjabat sebagai Penanggung Jawab Urusan Kesiswaan dan Hubungan Masyarakat Islamic Boarding Al Umanaa.


(9)

rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak (Studi pada Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor)”. Pokok permasalahan yang dikaji berkaitan dengan konsep diri dan dukungan sosial pekerja anak. Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah menyebabkan banyak anak di Desa Bojong Rangkas harus bekerja membantu orang tua dan kehilangan kesempatan bersekolah. Penelitian terdahulu memaparkan bahwa SSE keluarga yang rendah menyebabkan individu memiliki konsep diri yang negatif pula. Penulis menduga dukungan sosial berpotensi membentuk konsep diri positif pada anak. Untuk itu penulis mengkaji dukungan sosial dan konsep diri pada pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Ratri Virianita, S. Sos, MSi selaku dosen pembimbing skripsi, atas bimbingan dan saran-saran yang sangat berharga selama proses penulisan Studi Pustaka, proposal, dan laporan penelitian. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada aparat Desa Bojong Rangkas, Indri, dan seluruh pekerja anak atas kerja sama yang diberikan dalam pengumpulan data. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua penulis, Bapak Drs. Minjali AS dan Ibu Dra. Gustinaningsih, atas dukungan yang telah diberikan. “Arigato” kepada saudari Nunik Ariyani, Nirmala Dewi, Septiani Wesman, seluruh civitas Pondok Mawar Kencana, dan teman-teman mahasiswa lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, atas dukungan yang diberikan kepada penulis dalam proses penyelesaian laporan penelitian. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih untuk Iezham, yang telah membantu penulis menyelesaikan slide presentasi pada detik-detik menjelang ujian skripsi. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi penelitian terkait anak selanjutnya, khususnya yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah.

Bogor, 25 Januari 2011 Amalia Dianah


(10)

DAFTAR ISI... ix

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 3

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Kegunaan Penelitian... 4

BAB II PENDEKATAN TEORITIS... 5

2.1 Tinjauan Pustaka... 5

2.1.1 Pekerja Anak... 5

2.1.1.1 Definisi dan Hak-Hak Anak... 5

2.1.1.2 Tinjauan Hukum dan Psikososial Anak... 6

2.1.2 Konsep Diri... 7

2.1.2.1 Definisi dan Pembentukan Konsep Diri... 7

2.1.2.2 Konsep Diri Anak... 8

2.1.2.3 Pengukuran Konsep Diri... 11

2.1.3 Status Sosial Ekonomi... 14

2.1.3.1 Definisi Status Sosial Ekonomi... 14

2.1.3.2 Upah Minimum Regional... 15

2.1.4 Dukungan Sosial... 16

2.1.4.1 Definisi dan Jenis dukungan Sosial... 16

2.1.4.2 Pengukuran Dukungan Sosial... 18

2.2 Kerangka Pemikiran... 18

2.3 Hipotesis Penelitian... 21

2.4 Definisi Operasional... 21

BAB III PENDEKATAN LAPANG... 25

3.1 Metode Penelitian... 25

3.2 Teknik Pemilihan Sampel... 25

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian... 25

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 26

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data... 26

BAB IV GAMBARAN LOKASI PENELITIAN... 28 28 4.1 Gambaran Desa Bojong Rangkas...


(11)

4.2 Gambaran Industri Tas dan Dompet... 29

32 BAB V PROFIL PEKERJA ANAK... 5.1 Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin... 32

5.2 Tingkat Pendidikan... 33

5.2.1 Tingkat Pendidikan Orang Tua Pekerja Anak... 34

34 5.2.2 Tingkat Pendidikan Pekerja Anak... 5.3 Pendapatan Orang Tua Pekerja Anak... 35

5.4 Kondisi Kerja dan Pendapatan Pekerja Anak... 37

BAB VI GAMBARAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK... 40

40 6.1 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin... 6.2 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Pendidikan... 44

6.2.1 Pendidikan Pekerja Anak... 45

6.2.2 Pendidikan Orang Tua Pekerja Anak... 45

6.3 Konsep Diri Pekerja Anak Berdasarkan Pendapatan... 46

47 47 49 51 52 53 54 54 55 57 59 6.3.1 Pendapatan Orang Tua... 6.3.2 Pendapatan Pekerja Anak... BAB VII GAMBARAN DUKUNGAN SOSIAL PEKERJA ANAK... 7.1 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Jenis Kelamin... 7.2 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Pendidikan... 7.3 Dukungan Sosial Pekerja Anak Berdasarkan Pendapatan... BABVIII HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN KONSEP DIRI PEKERJA ANAK... 8.1 Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Pekerja Anak... 8.2 Dukungan Informasi dan Konsep Diri Pekerja Anak... 8.3 Dukungan Emosi dan Konsep Diri Pekerja Anak... 8.4 Dukungan Penghargaan dan Konsep Diri Pekerja Anak... 8.5 Dukungan Sosial dan Konsep Diri Pekerja Anak... 60

BAB IX KESIMPULAN DAN SARAN... 64 64 66 67 9.1 Kesimpulan... 9.2 Saran... DAFTAR PUSTAKA...


(12)

Umur Tahun 2009... 29 2. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Konsep Diri Tahun 2010...

40 3. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Konsep Diri dan Jenis Kelamin Tahun 2010...

42 4. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Konsep Diri dan Pendidikan Pekerja Anak Tahun 2010....

45 5. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Konsep Diri dan Pendidikan Orang tua Tahun 2010...

46 6. Jumlah dan Presentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Konsep Diri dan Pendapatan Orang Tua Tahun 2010...

47 7. Jumlah dan Presentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Konsep Diri dan Pendapatan Pekerja Anak Tahun 2010...

47 8. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Sosial Tahun 2010...

49 9. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Sosial dan Jenis Kelamin Tahun 2010...

52 10. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Sosial dan Pendidikan Tahun 2010...

53 11. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Instrumental dan Konsep Diri Tahun 2010...

54 12. Hasil Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Instrumental dan

Konsep Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Tahun 2010... 55 13. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Informasi dan Konsep Diri Tahun 2010...

57 14. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Emosi dan Konsep Diri Tahun 2010...

58 15. Hasil Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Emosi dan Konsep

Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas...

59 16. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Penghargaan dan Konsep Diri Tahun 2010...

60 17. Jumlah dan Persentase Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas

Menurut Dukungan Sosial dan Konsep Diri Tahun 2010...

61 18. Hasil Uji Korelasi Pearson antara Dukungan Sosial dan Konsep

Diri Pekerja Anak di Desa Bojong Rangkas Tahun 2010...

62


(13)

2. Distribusi Pekerja Anak Menurut Jenis Kelamin, Desa Bojong Rangkas, 2010...

32 3. Distribusi Pekerja Anak Menurut Tingkat Pendidikan Orang Tua,

Desa Bojong Rangkas, 2010...

34 4. Distribusi Pekerja Anak Menurut Tingkat Pendidikan, Desa

Bojong Rangkas, 2010...

35 5. Distibusi Pekerja Anak Menurut Jumlah PendapatanOrang Tua,

Desa Bojong Rangkas, 2010...

36 6. Distribusi Pekerja Anak Menurut Mata Pencaharian Orang Tua,

Desa Bojong Rangkas, 2010...

37 7. Distribusi Pekerja Anak Menurut Jumlah Pendapatan, Desa

Bojong Rangkas, 2010...

38


(14)

1.1 Latar Belakang

Masalah kemiskinan masih menjadi masalah nasional di Indonesia. Data menunjukkan semenjak krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk miskin di Indonesia meningkat dari 22,5 juta jiwa menjadi 49,5 juta jiwa. Sebanyak 17,6 juta jiwa tinggal di kota dan 31,9 juta jiwa tinggal di pedesaan (DEPDIKNAS, 2004). Meningkatnya angka kemiskinan ini biasanya seiring dengan meningkatnya jumlah pengangguran dan kasus kriminalitas. Hidup dalam kemiskinan atau Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah dengan banyaknya tuntutan hidup menyebabkan berbagai cara dilakukan agar dapat bertahan hidup. Salah satunya dengan melibatkan anak dalam upaya pencarian nafkah. SSE rendah diidentifikasi sebagai hal yang paling mendasari munculnya pekerja anak di Indonesia (Asih, 2007). Kemampuan membaca, menulis, dan sedikit berhitung yang didapatkan di Sekolah Dasar telah dianggap cukup. Anggapan tersebut menyebabkan banyak anak meninggalkan bangku sekolah demi berkontribusi bagi pendapatan keluarga.

Anak adalah aset yang sangat berharga, generasi yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan bangsa, sehingga perlu diupayakan agar SSE rendah keluarga tidak mengorbankan masa depan anak. Perkembangan anak dipengaruhi oleh lingkungannya. Anak yang dibesarkan dengan dorongan, tumbuh dengan kepercayaan diri, sedang anak yang dibesarkan dengan cemoohan, tumbuh dengan rasa rendah diri (Nolte, 1998). Alasan seorang anak yang dikatakan baik selalu melakukan pekerjaan baik, sedang anak yang dikatakan nakal selalu melakukan pekerjaan buruk, berkaitan dengan konsep diri anak tersebut. Konsep diri seorang anak menjadi kerangka acuan bagi anak untuk memahami apapun yang berhubungan dengan dirinya dan menentukan apa yang akan ia lakukan.

Puspasari (2007) dalam Pramuchtia (2008) merumuskan bahwa faktor keterbatasan ekonomi dan kelas sosial mempengaruhi konsep diri seorang anak. Hidup dalam keterbatasan ekonomi dinyatakan akan menimbulkan permasalahan perkembangan yang berkaitan dengan proses pertumbuhan aktualisasi diri. Dijelaskan pula bahwa kesulitan hidup secara finansial/ekonomi akan


(15)

menghasilkan konsep diri yang rendah. Namun Pramuchtia (2008) menemukan konsep diri positif pada sebagian besar anak jalanan dalam penelitiannya, meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa ada faktor lain yang dapat membantu anak dari keluarga dengan SSE rendah untuk dapat memiliki konsep diri positif.

Bursteln (n.d.) menyatakan bahwa anak-anak bertingkah laku baik jika mendapat hadiah atau imbalan sosial dari orang tuanya, namun bertingkah laku buruk jika tidak mendapat pengakuan atas kerjasama yang telah dilakukan. Seorang anak yang diberi cap “pemalas”, “tidak berguna”, dan “tidak ada harapan lagi” oleh guru-guru dan orang tuanya atas keterlambatannya dalam pelajaran berhitung, akan semakin membenci pelajaran tersebut atau bahkan menghentikan usahanya sama sekali. Sebaliknya, jika anak tersebut mendapat sikap positif dan penghargaan untuk setiap jenis pekerjaan hitungan yang dapat dilakukannya tanpa kesulitan, kemampuannya dalam berhitung akan meningkat, walaupun ia tidak akan menjadi jenius. Peristiwa tersebut menunjukkan betapa perhatian dan penghargaan dari guru dan orang tua mempengaruhi tingkah laku anak.

Heller (n.d.) dalam Sarason et al. (1983) memaparkan bahwa informasi atau tindakan yang menyebabkan individu merasa diperhatikan, memiliki nilai, dan tempat untuk mendapatkan pertolongan dari orang lain pada saat membutuhkan, diartikan sebagai dukungan sosial. Perhatian dan penghargaan dari guru dan orang tua pada contoh di atas dapat digolongkan sebagai bentuk dukungan sosial. Mengingat tingginya angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan banyaknya jumlah anak yang lahir dari keluarga dengan SSE rendah, perlu diupayakan agar anak-anak tersebut dapat memiliki konsep diri positif. Oleh karena itu hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pada anak dari keluarga dengan SSE rendah menjadi menarik untuk dikaji.

Asih (2007) menemukan bahwa fenomena pekerja anak dari keluarga dengan SSE rendah turut menambah jumlah anak putus sekolah. Berdasarkan informasi dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans) Kabupaten Bogor provinsi Jawa Barat, Program Pengurangan Pekerja Anak guna mendukung Program Keluarga Harapan (PPA-PKH) telah dilaksanakan pada tahun 2007 di Kabupaten Bogor. Tujuan program ini adalah untuk menarik


(16)

anak-anak yang terpaksa bekerja, padahal seharusnya masih mengenyam pendidikan. Kecamatan Ciampea dinyatakan sebagai salah satu kecamatan yang memiliki jumlah pekerja dibawah umur terbanyak di Kabupaten Bogor berdasarkan data PKH 2007, yang terpusat di Desa Bojong Rangkas. Melalui PKH 2007, pekerja dibawah umur di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea dinyatakan telah berhasil dihapuskan dan usia pekerja bergeser ke usia anak-anak. Penelitian International Labor Organization (ILO) dan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2009 di 248 kabupaten/kota dengan 760 blok sensus menemukan banyak anak-anak bekerja, terutama anak-anak usia 5-17 tahun di Indonesia (http://ekerala.net/r.php?url=http://www.poskota.co.id/beritaterkini/2010/05/14/il o-prihatinkan-pekerja-anak&title=pekerja%20anak&type=web). Mengingat anak adalah aset yang berharga, masa depan pekerja anak yang terpaksa bekerja untuk membantu perekonomian keluarga, perlu mendapat perhatian.

1.2 Rumusan Masalah

Konsep diri positif pada seorang anak dapat membantu anak memandang dan merencanakan masa depannya. Anak dengan konsep diri positif diharapkan dapat memiliki masa depan yang lebih baik. SSE rendah keluarga dinyatakan menyebabkan anak memiliki konsep diri negatif. SSE rendah keluarga juga merupakan alasan utama anak untuk bekerja. Oleh karena itu, perlu diupayakan agar pekerja anak yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah, dapat memiliki konsep diri positif. Dukungan sosial dianggap dapat menjadi faktor yang mampu membantu anak dari keluarga dengan SSE rendah untuk dapat memiliki konsep diri positif. Karenanya, disusun beberapa permasalahan yang hendak dikaji dalam penelitian, antara lain:

1. Bagaimana profil pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor;

2. Bagaimana konsep diri pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor;

3. Bagaimana dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor; dan

4. Bagaimana hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor?


(17)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan profil pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor;

2. Mendeskripsikan konsep diri pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor;

3. Mendeskripsikan dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor;

4. Menganalisis hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak:

1. Bagi akademisi, penelitian diharapkan dapat menjadi referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai pekerja anak, dukungan sosial, dan konsep diri anak;

2. Bagi masyarakat, penelitian diharapkan menumbuhkan kesadaran pentingnya pemberian dukungan sosial guna membentuk konsep diri positif pada anak;

3. Bagi pemerintah, penelitian diharapkan dapat menjadi referansi dalam pengambilah keputusan bagi kebijakan-kebijakan terkait dengan anak, khususnya yang hidup dalam keluarga dengan SSE rendah.


(18)

2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pekerja Anak

Hidup dalam Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah menuntut upaya ekstra bagi keluarga untuk dapat bertahan hidup dengan mengoptimalkan sumberdaya keluarga, salah satunya anak. Hal ini menyebabkan banyak anak harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Meski memiliki penghasilan sendiri di usia muda dapat menjadi suatu kebanggaan, namun membiarkan anak putus sekolah demi bekerja bukanlah hal yang bijak. Anak memiliki hak-hak yang harus dipenuhi untuk dapat melewati fase-fase perkembangan menuju kedewasaan dengan baik.

2.1.1.1 Definisi dan Hak-Hak Anak

Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak pasal 1, menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

(http://tantrapuan.wordpress.com/2009/05/13/undang-undang-republik-indonesia-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/). Aristoteles (n.d.) dalam Willis (2008) membagi fase perkembangan manusia ke dalam: masa kanak-kanak (0-7 tahun), masa anak sekolah (7-14 tahun), dan masa remaja/puberteit (14-21 tahun). Jersild (1978) dalam Willis (2008) membagi fase-fase perkembangan menjadi: masa kanak-kanak/early childhood (1-5 tahun), masa anak-anak/middle childhood (5-12 tahun), masa remaja/adolescence (15-18 tahun), masa dewasa awal/pre adulthood (18-25 tahun), dan seterusnya. Setiap anak memiliki potensi yang unik, yang bila dibina dan dikembangkan dengan benar dapat turut memberikan sumbangsih pada dunia, karenanya menjadi tantangan bagi orang tua dan pendidik untuk menyingkirkan hambatan yang menghalangi jalan anak menggapai impian (Armstrong, n.d. dalam Ellys J., n.d.).

Pada abad pertengahan terdapat berbagai pandangan lingkungan terhadap anak, antara lain sebagai miniatur orang dewasa, anak sebagai orang yang berdosa, anak sebagai kertas yang masih kosong (tabularasa), anak sebagai tanaman yang tumbuh, anak sebagai milik, dan anak sebagai investasi orang tua,


(19)

masyarakat, dan bangsa di masa depan (Patmonodewo, 2003). Pandangan-pandangan tersebut kerap membuat anak diperlakukan sewenang-wenang tanpa diperhatikan hak-haknya. Tahun Internasional Anak yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1979 membantu mengarahkan perhatian dunia pada anak. Deklarasi PBB terhadap hak anak meliputi hak untuk: memperoleh kasih sayang, cinta, dan pengertian; mendapatkan gizi dan perawatan kesehatan; mendapatkan kesempatan bermain dan berekreasi; memiliki nama dan kebangsaan; mendapat perawatan khusus bila cacat; belajar agar menjadi warga negara yang berharga; hidup dalam kedamaian dan persaudaraan; tidak dibedakan dan didiskriminasikan (Patmonodewo, 2003). 2.1.1.2 Tinjauan Hukum dan Psikososial Pekerja Anak

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan melarang pengusaha mempekerjakan anak. Definisi pekerja menurut UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 1 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Depnakertrans, 2008). Adapun usia kerja di Indonesia dimulai dari usia 15 tahun. Anak berusia 13-15 tahun mendapat pengecualian untuk dapat bekerja hanya pada pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial, sebagaimana dijelaskan dalam UU No.13 Tahun 2003 pasal 69, dengan syarat: (a) memiliki izin tertulis dari orang tua; (b) terdapat perjanjian antara pengusaha dengan orang tua atau wali; (c) waktu kerja maksimum 3 jam; (d) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; (e) keselamatan dan kesehatan kerja terjamin; (f) adanya hubungan kerja yang jelas; dan (g) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun ketentuan a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya (Depnakertrans, 2008).

Mengenai keterlibatan anak dalam dunia kerja di atur pula dalam UU No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, pasal 70 dan 71 (Depnakertrans, 2008). Anak berusia minimal 14 tahun dinyatakan boleh bekerja di tempat kerja jika merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang berwenang. Anak diperkenankan bekerja untuk mengembangkan bakat dan minatnya atas pengawasan langsung orang tua/wali


(20)

dengan waktu kerja tidak lebih dari 3 jam sehari, dalam kondisi dan lingkungan kerja yang tidak mengganggu perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah. Selain itu, tempat kerja bagi anak-anak yang bekerja bersama-sama orang dewasa harus dipisahkan.

Asih (2007) dalam penelitiannya menemukan pekerja anak yang berada dalam karakteristik usia 9 sampai 15 tahun, yaitu usia Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Anak dikerahkan bekerja karena sumberdaya keluarga merupakan sumberdaya satu-satunya yang dimiliki warga miskin untuk bertahan hidup (Baskara, 2010). Baskara (2010) menemukan adanya perbedaan secara psikososial antara anak yang bekerja dan yang tidak bekerja, yang terlihat dari cara bersikap, pola pikir, serta keadaan psikologis. Pekerja anak mengalami kedewasaan dini, pernikahan dini, perceraian dini, serta kurang mandiri akibat tidak dapat lepas dari campur tangan orang tua sebagai pengambil keputusan. 2.1.2 Konsep Diri

2.1.2.1 Definisi dan Pembentukan Konsep Diri

Konsep diri merupakan suatu konseptualisasi yang dilakukan individu terhadap dirinya sendiri (Burns, 1984). Raimy (1948) dalam Burns (1984) menyatakan bahwa konsep diri merupakan suatu sistem persepsi yang dipelajari, yang berfungsi sebagai suatu obyek di dalam lapangan persepsi. Senada dengan Raimy Rogers (1947) dalam Burns (1984) mengungkapkan bahwa konsep diri merupakan organisasi dari persepsi-persepsi diri. Kelly (1995) dalam Burns (1984) mengemukakan bahwa sebagai hasil dari pengalaman, masing-masing individu mengembangkan konsepsi-konsepsi diri yang kompleks, suatu jaringan dan hierarki dari struktur-struktur kognitif hingga ia sampai pada keputusan mengenai tingkah laku yang paling tepat digunakan dalam menghadapi situasi saat ini dan di masa depan. Konsep diri dapat dilihat dari aspek kemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan dengan lawan jenis, hubungan dengan teman berjenis kelamin sama, hubungan dengan orang tua, kejujuran dan kepercayaan terhadap orang lain, kestabilan emosi, dan kemampuan akademis (Puspasari, 2007 dalam Pramuchtia, 2008).

Konsepsi-konsepsi diri berasal dari berbagai hal, lima hal yang tampak sangat penting, meskipun kepentingan relatifnya berbeda dalam masa yang


(21)

berbeda sepanjang kehidupan adalah kesan tubuh, bahasa, umpan balik dari significant others, identifikasi model peran seks dan stereotip, serta pola asuh orang tua (Burns, 1984). Konsep diri dapat relatif sentral atau periferal (Sedikides, 1995 dalam Baron & Byrne, 2004). Konsepsi diri sentral akan bertahan pada diri individu dalam situasi apapun, sedang konsepsi diri periferal dipengaruhi oleh manipulasi suasana hati. Dengan demikian orang yang berpikir bahwa dirinya sangat cerdas dan menarik (sentral) tetapi hanya sedang-sedang saja dalam kekuatan fisik (periferal), akan tetap merasa sangat menarik dan cerdas ketika sedang sedih, namun akan kurang menghargai kemampuan fisiknya.

Pembentukan persepsi-persepsi berasal dari tiga perspektif mengenai diri yaitu diri yang merupakan dasar diri, diri sosial, dan diri ideal (Burns, 1984). Diri dasar adalah konsep pribadi apa adanya sebagaimana yang dipikirkan oleh individu itu sendiri. Diri sosial merupakan perspektif diri yang berasal dari penilaian-penilaian orang lain. Diri ideal adalah pribadi yang diharapkan individu ada pada dirinya. Semakin individu merasa dirinya mirip dengan seseorang yang ia anggap ideal, semakin bisa ia memenuhi kebutuhan sekundernya. Pembentukan konsep-konsep diri ini memudahkan interaksi sosial sehingga individu yang bersangkutan dapat mengantisipasi reaksi-reaksi orang lain. Adapun ketidakmampuan seseorang untuk menyesuaikan diri merupakan hasil dari usaha individu untuk mempertahankan diri yang telah ada dari ancaman pengalaman-pengalaman yang tidak konsisten dengannya, mengarah pada persepsi memilih-milih dan distorsi atau penolakan pengalaman, karena pengalaman tersebut diinterpretasikan sebagai yang keliru sehingga tidak patut diikuti.

2.1.2.2 Konsep Diri Anak

Pada seorang anak, diri ideal dapat diasumsikan penting seketika setelah ia menginternalisasikan nilai-nilai dari model-model identifikasinya. Ketidaksesuaian antara diri dan diri ideal meningkat pada anak usia 8 sampai 13 tahun seiring dengan meningkatnya kesadaran anak terhadap standar-standar orang tua dan masyarakat (Jorgensen & Howell, 1969 dalam Burns, 1984). Diri ideal bagi seorang anak sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Lebih lanjut


(22)

Burns (1984) menjelaskan bahwa anak-anak dan muda-mudi dari keluarga dengan SSE rendah tertinggal di belakang anak-anak yang berasal dari keluarga dengan SSE menengah dalam melangkah maju ke tahap seleksi menjadi orang dewasa penuh pesona sebagai diri idealnya. Davie, Butler, dan Goldstein (1972) dalam Burns (1984) menemukan bahwa anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan dari kelas pekerja memperlihatkan karakteristik kepribadian yang diasosiasikan dengan rendahnya harga diri, seperti depresi, menarik diri, dan agresi sampai ke tahap yang jauh lebih luas dari anak-anak dari kelas menengah. Selain itu, dalam beberapa wilayah kompetensi akademis tertentu anak-anak dari kelas pekerja berprestasi lebih buruk dibandingkan dengan anak-anak dari kelas menengah. Hal ini mengindikasikan terhalangnya anak-anak dari kelas pekerja dalam pencarian harga dirinya karena kurangnya prestasi, penetapan standar-standar yang kurang jelas, dan kurangnya kompetensi orang tua.

Dahlan (2004) dalam bukunya mengungkapkan perbedaan antara konsep diri anak dan remaja dari Status Sosial Ekonomi (SSE) rendah dengan yang berasal dari SSE menengah ke atas, dalam keterkaitannya dengan pola asuh orang tua. Lebih lanjut Dahlan (2004) memaparkan bahwa orang tua dari kelas bawah (lower class) cenderung lebih keras dalam “toilet training” dan lebih sering menggunakan hukuman fisik, dibandingkan dengan kelas menengah. Pola asuh tersebut menyebabkan anak-anak dari kelas bawah cenderung lebih agresif, independen, dan lebih awal dalam pengalaman seksual. Orang tua dari kelas menengah (middle class) cenderung lebih memberikan pengawasan dan perhatian. Para ibu dari kelas menengah merasa bertanggung jawab terhadap tingkah laku anak-anaknya dan menerapkan kontrol yang lebih halus. Para Ibu dari kelas menengah juga memiliki ambisi untuk meraih status yang lebih tinggi, dan menekan anak untuk mengejar statusnya melalui pendidikan atau latihan profesional. Berbeda dengan orang tua dari kelas bawah dan menengah, orang tua dari kelas atas (upper class) cenderung lebih memanfaatkan waktu luangnya dengan kegiatan tertentu, lebih memiliki latar belakang pendidikan yang reputasinya tinggi, dan biasanya senang mengembangkan apresiasi estetikanya. Anak-anak dari kelas atas cenderung memiliki rasa percaya diri, dan cenderung bersikap memanipulasi aspek realitas. Adapun pengaruh SSE terhadap pola asuh


(23)

orang tua sebagaimana diungkapkan Dahlan (2004), orang tua dari SSE rendah cenderung menekankan kepatuhan kepada figur-figur yang mempunyai otoritas, sementara orang tua dari SSE menengah dan atas cenderung memberi penekanan pada pengembangan inisiatif, keingintahuan, dan kreatifitas anak.

Terdapat sebuah kesepakatan besar bahwa diri ideal sangat dipengaruhi oleh asosiasi dengan orang lain yang memiliki wibawa karena lebih tua, lebih berkuasa, dan lebih baik dalam hal mendapatkan apa yang diinginkan dalam hidup dibandingkan dengan anak atau remaja yang mengobservasinya. Berdasarkan eksperimen-eksperimen mengenai konsep diri anak dan remaja, Burns (1984) menyimpulkan bahwa penilaian individu mengenai dirinya berasal dari penilaian orang lain terhadap dirinya. Pada hakikatnya, jika peran seseorang diterima, disetujui, dan disukai dan dia menyadarinya, konsep diri positif akan dimilikinya. Sebaliknya, jika perilaku atau keadaan fisik seseorang diperolok, diremehkan, ditolak, dan dikritik oleh masyarakat, orang tua, teman sebaya, dan guru-guru, maka kemungkinan ia memiliki penghargaan yang kecil terhadap dirinya.

Konsep diri anak-anak serupa dengan pandangan dari orang tua kepadanya sebagaimana yang diyakini. Tingkat harga diri anak-anakpun sangat berhubungan dengan tingkat penghargaan yang diberikan oleh orang tua (Jourard & Remy, 1955; Helper, 1955 dalam Burns, 1984). Sebagai contoh, anak-anak yang diasuh oleh orang tua yang selalu mengkritik, memperolok, dan membandingkan dengan anak-anak lain mengenai hal-hal yang tidak mengenakkan, dikenal sebagai anak-anak yang kurang bertanggung jawab. Perkembangan kualitas kepemimpinan ternyata juga dikaitkan dengan derajat perlindungan orang tua. Over protection (perlindungan yang berlebih) merusak kepercayaan diri dan kemampuan anak dalam menilai dirinya sendiri. Sears, Maccoby, dan Levin (1957) dalam Burns (1984) mencatat bahwa pola asuh yang berorientasi kasih sayang, yang menggunakan pujian dan penarikan kasih sayang menghasilkan anak-anak dengan hati nurani yang kuat, dibandingkan dengan pola asuh berorientasi fisik, yang menggunakan penghargaan dan hukuman.

Pola asuh anak tampak sangat penting dalam perkembangan konsep diri, karena:


(24)

1. Konsep diri merupakan hal yang dipelajari,

2. Sebagian besar pembelajaran ini berasal dari umpan balik significant others, terutama orang tua,

3. Orang tua hadir sangat konsisten pada tahun-tahun permulaan yang penting dari kehidupan anak,

4. Anak memiliki ketergantungan fisik, emosional, dan sosial pada orang tua, sehingga orang tua berada pada posisi unik dalam mempengaruhi anak mempelajari mengenai dirinya.

Sears (1970) dalam Burns (1984) pada sebuah studi terhadap anak berusia 11 tahun menghubungkan konsep diri dengan ukuran keluarga yang kecil, urutan lebih awal dalam posisi kelahiran di keluarga, dan kehangatan dari orang tua. Berdasarkan teori-teori konsep diri yang ditemukan, konsep diri pekerja anak merupakan organisasi persepsi diri pekerja anak mengenai dirinya sendiri. SSE keluarga pekerja anak yang rendah dapat menyebabkan pekerja anak memiliki konsep diri negatif.

2.1.2.3 Pengukuran Konsep Diri

Burns (1984) memaparkan bahwa terdapat dua metode umum yang bisa digunakan untuk mengukur konsep diri individu, yaitu dengan: a) memberikan kesempatan bagi individu bersangkutan untuk melaporkan dirinya sendiri dalam bentuk respon terhadap pernyataan-pernyataan mengenai konsep diri maupun elemen spesifik dari konsep diri yang dimiliki, yang biasanya diberi kode agar dapat dilakukan penghitungan; b) mengamati tingkah laku individu yang dilakukan oleh seorang ataupun sejumlah pengamat eksternal. Enam metode pelaporan diri yang dapat digunakan adalah: rating scales (skala bertingkat), dimana subyek merespon pernyataan-pernyataan yang umumnya diberi label “tidak pernah”, “jarang”, “kadang-kadang”, “sering”, hingga “selalu”; check list, dimana subyek mencocokkan kata sifat atau pernyataan-pernyataan yang menggambarkan dirinya; Q sorts, yaitu penyortiran pernyataan-pernyataan mengenai konsep diri yang terdapat dalam kartu; unstructured and free response method, dimana subyek diminta untuk menceritakan dirinya dengan melengkapi kalimat atau menulis sebuah esai; projective techniques, yaitu metode yang


(25)

digunakan untuk mengukur konsep diri yang tidak disadari; wawancara yang digunakan dalam konseling dan studi-studi psikoterapi.

Puspasari (2007) dalam Pramuchtia (2008) memaparkan bahwa konsep diri anak dan remaja dapat dilihat dari berbagai aspek konsep diri meliputi kemampuan fisik, penampilan fisik, hubungan dengan lawan jenis, hubungan dengan teman yang berjenis kelamin sama, hubungan dengan orang tua, kejujuran dan kepercayaan terhadap orang lain, kestabilan emosi, kemampuan akademis, dan konsep diri umum. Konsep diri kemampuan fisik didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mendeskripsikan dirinya dalam melakukan kegiatan yang bersifat menguji kemampuan fisik. Konsep diri berkaitan dengan penampilan fisik merupakan deskripsi seseorang terhadap penampilan fisiknya. Konsep diri dalam hubungan dengan lawan jenis dan teman berjenis kelamin sama merupakan deskripsi diri yang berkaitan dengan proses sosial dengan lawan jenis dan teman yang berjenis kelamin sama. Konsep diri kestabilan emosi berkaitan dengan proses pengendalian emosi pada diri individu. Konsep diri akademis umum merupakan konsep diri akan kemampuan akademis atau keberhasilannya di sekolah. Konsep diri umum merupakan generalisasi pemahaman konsep diri tanpa spesifik melihat deskripsi khusus, yang digunakan untuk melihat kemampuan menghargai diri sendiri dan membangun rasa percaya diri.

Piers dan Harris (1964) dalam Burns (1984) mengembangkan sebuah instrumen pengukuran konsep diri anak-anak dalam wilayah usia 8-16 tahun dengan menggunakan rating scale dengan bentuk pilihan jawaban “ya” dan “tidak”. Instrumen ini berisi pernyataan-pernyataan yang secara seimbang dibagi ke dalam bentuk-bentuk yang positif hingga negatif dan dalam refleksi-refleksi konsep diri yang positif hingga negatif mencakup aspek penampilan fisik, tingkah laku sosial, status akademik, depresiasi, ketidakpuasan dan kepuasan terhadap diri sendiri. Pengembangan skala dari dua pilihan jawaban (“ya” dan “tidak) menjadi skala pengukuran bertingkat lima dirasa tepat bagi pengembangan skala Piers-Harris ini di masa mendatang (Burns, 1984).

Fitts (1955) dalam Burns (1984) mengembangkan instrumen pengukuran konsep diri untuk usia 12 tahun ke atas menggunakan skala pengukuran


(26)

bertingkat lima. Instrumen ini terdiri dari dua subskala, yaitu subskala kritik diri dan subskala positif. Subskala positif terdiri atas 90 pernyataan yang secara seimbang dibagi ke dalam pernyataan-pernyataan positif hingga negatif. Pernyataan-pernyataan tersebut menyajikan keseluruhan tingkatan harga diri. Skor tinggi menggambarkan perasaan bernilai, memiliki harga diri, dan kepercayaan diri. Skor rendah mengindikasikan keraguan terhadap harga diri, dengan subyek sebagai orang yang gelisah, depresi, tidak bahagia, dan kurang percaya diri. Subskala positif ini mengukur: a) Identity (identitas); b) Self satisfaction (kepuasan diri) – bagaimana persepsi individu terhadap apa yang dirasakan mengenai dirinya; c) Behaviour (tingkah laku) – bagaimana individu mempersepsikan tingkah laku dirinya sendiri; d) Physical self (diri fisik) – bagaimana individu memandang kesehatan, tubuh, dan penampilannya; e) Moral / ethical self (diri etis) - bagaimana individu memandang nilai moral dirinya; f) Personal self (diri pribadi) – bagaimana individu menilai kecakapan dirinya sebagai sebuah pribadi; g) Family self (Diri keluarga) – bagaimana individu mempersepsikan dirinya mengacu pada orang-orang terakrab dan terdekatnya; h) Social self (Diri sosial) – bagaimana individu mempersepsikan dirinya mengenai kecakapannya dalam berinteraksi sosial dengan bermacam-macam orang.

Bledsoe (1964, 1967) dalam Burns (1984) mengembangkan instrumen pengukuran konsep diri untuk usia 7-16 tahun. Instrumen ini berisi tiga puluh kata sifat yang akan diekspresikan oleh skala bertingkat tiga, untuk menunjukkan tiga kategori yaitu “nearly always”, “about half the time”, “just now and then”. Ketiga puluh kata sifat yang dicantumkan menggambarkan dimensi evaluatif, potensi, dan aktivitas dari semantic differential untuk setiap sepuluh kata. Setiap sepuluh kata sifat mengenai masing-masing dimensi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu enam kata sifat yang positif, sedang empat lainnya merupakan kata sifat yang negatif. Instrumen ini dibagi menjadi dua bagian dengan kata sifat yang sama, bagian pertama diisi oleh subyek berdasarkan penilaian subyek terhadap sifat yang dimilikinya, sedangkan bagian kedua diisi oleh subyek berdasarkan penilaian subyek mengenai bagaimana subyek menginginkan sifat tersebut ada pada dirinya. Hal ini untuk melihat diskrepansi antara diri pribadi dan diri ideal individu.


(27)

Mengingat pekerja anak merupakan pekerja yang berusia di bawah 18 tahun, skala pengukuran konsep diri yang sesuai untuk digunakan adalah skala Piers-Harris yang dimodifikasi. Pernyataan-pernyataan yang disusun dalam instrumen pengukuran konsep diri pekerja anak, meliputi aspek diri fisik, diri pribadi, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri. Kelima aspek ini dianggap cukup mewakili konsep diri pekerja anak. Aspek status akademik dianggap tidak perlu diukur karena pekerja anak memiliki latar belakang sebagai anak-anak putus sekolah.

2.1.3 Status Sosial Ekonomi

2.1.3.1 Definisi Status Sosial Ekonomi

Masalah sosial ekonomi menjadi masalah yang penting untuk dikaji, mengingat manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari interaksi dengan manusia dan makhluk hidup lainnya. Di sisi lain manusia memerlukan perbaikan taraf ekonomi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Aspek sosial ekonomi juga mempengaruhi pendominasian manusia terhadap sumberdaya alam dan bahkan manusia lainnya. Rendahnya SSE yang sering disebut sebagai masalah kemiskinan sering menjadikan manusia termarjinalkan dan dalam kehidupan keluarga masalah kemiskinan dapat menimbulkan masalah-masalah baru. Adapun karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi jumlah anggota keluarga, status perkawinan, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, dan jumlah pendapatan (Dianah, 2010).

Ellis dalam Effendi (1993) menyatakan bahwa kemiskinan dapat diidentifikasi dalam dimensi ekonomi, sosial, dan politik. Kemiskinan ekonomi dilihat dari pendapatan dan kebutuhan. Jika pendapatan seseorang atau rumah tangga tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum atau dibawah Upah Minimum Regional (UMR), rumah tangga tersebut dapat digolongkan sebagai rumah tangga miskin dengan kategori miskin absolut. Seseorang atau suatu rumah tangga yang telah dapat mencukupi kebutuhan dasarnya atau memiliki pendapatan di atas atau sama dengan UMR dapat pula dikategorikan miskin jika ternyata pendapatannya tersebut belum dapat mencukupi kebutuhan fisik minimum yang biasa dipenuhi oleh masyarakat (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain). Konsep ini disebut kemiskinan relatif. Pada dimensi sosial, kemiskinan


(28)

diartikan sebagai kekurangan jaringan sosial dan struktur yang mendukung untuk mendapatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia. Jika faktor penghambat untuk mendapatkan kesempatan berasal dari luar kemampuan orang tersebut, maka disebut kemiskinan struktural. Lain halnya dengan kemiskinan politik yang dinilai dari derajat akses seseorang terhadap kekuasaan (power).

Rendahnya SSE keluarga menimbulkan berbagai fenomena, seperti meningkatnya jumlah kasus kriminalitas, pekerja anak, dan anak jalanan (Dianah, 2010). Asih (2007) mengungkapkan bahwa faktor karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi jumlah anggota keluarga, status perkawinan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan orang tua menjadi faktor yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya dalam menjelaskan penyebab seorang anak dalam rumah tangga miskin bekerja. Menariknya Asih (2007) melaporkan bahwa semakin banyak jumlah anak dalam keluarga, semakin banyak sumber daya keluarga (anak) yang dikerahkan untuk bekerja. Dari beberapa karakteristik ekonomi yang diuji, status perkawinan orang tua ditemukan tidak berhubungan dengan alasan seorang anak bekerja, namun pendapatan orang tualah yang berhubungan dengan alasan seorang anak bekerja. Mengingat pekerja anak masih di bawah tanggung jawab orang tua, SSE keluarga pekerja anak diukur dari karakteristik sosial ekonomi keluarga meliputi tingkat pendidikan orang tua, dan tingkat pendapatan orang tua.

2.1.3.2 Upah Minimum Regional

Keputusan Gubernur Jawa Barat (2009) nomor 561/Kep.1665-Bangsos/2009 tentang upah minimum Kabupaten/ Kota di Jawa Barat tahun 2010 memutuskan: 1) Pencabutan keputusan gubernur Jawa Barat nomor 561/Kep.605-Bangsos/2008 tentang Upah Minimum Provinsi Jawa Barat tahun 2009, nomor 561/Kep.684-Bangsos/2008 tentang Upah minimum kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2009, nomor 561/Kep.687-Bangsos/2008, dan nomor 561/Kep.694-Bangsos/2008; 2) Menetapkan besarnya Upah Minimum pada 26 (dua puluh enam) kabupaten/kota di Jawa Barat tahun 2010; 3) Perusahaan di Jawa Barat yang telah memberikan upah lebih tinggi dari ketentuan Upah Minimum kabupaten/kota tidak dibenarkan untuk mengurangi dan/atau menurunkan upah pekerjanya; 4) Ketentuan pengajuan penangguhan Upah Minimum kepada


(29)

Gubernur Jawa Barat bagi perusahaan yang tidak mampu melaksanakan ketentuan Upah Minimum kabupaten/kota yang telah ditetapkan; 5) Pengawasan dan pengendalian atas pelaksanaan Upah Minimum kabupaten/kota tahun 2010 dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat dan Bupati/Walikota setempat sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; 6) Keputusan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010.

Upah Minimum Kabupaten Bogor berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Barat nomor 561/Kep.1665-Bangsos/2009 ditetapkan Rp 1.056.914,- per bulan, sedangkan Upah Minimum Sektoral Kabupaten Bogor ditetapkan Rp 1.109.760,- per bulan. Terdapat 37 industri yang termasuk ke dalam unit kerja sektoral di Kabupaten Bogor, beberapa diantaranya adalah: Industri makanan dari cokelat dan kembang gula, industri moulding dan komponen bahan bangunan, industri kerajinan ukir-ukiran dari kayu kecuali mebeller, industri alat-alat dapur dari kayu, rotan, dan bambu, dll.

2.1.4 Dukungan Sosial

2.1.4.1 Definisi dan Jenis dukungan Sosial

Lahey (2002) mendefinisikan dukungan sosial sebagai the role played by friends and relatives providing advice, assistance, and somenone in whom to confide private feelings. Senada dengan Lahey, Sarason (1983) dalam Anitaliza (1999) menyatakan bahwa dukungan sosial merupakan kumpulan informasi yang menyebabkan individu percaya bahwa ia diperhatikan, bernilai, dan akan mendapat pertolongan ketika ia membutuhkan. Dukungan sosial terdiri atas dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan emosi, dan dukungan penghargaan (Sarafino, 1990 dalam Hanggarawati, 2007). Dukungan instrumental merupakan dukungan dalam bentuk uang, barang, makanan, dan pelayanan. Dukungan informasi mencakup dukungan yang diberikan dalam bentuk informasi dan saran tentang situasi atau kondisi. Dukungan emosi ialah dukungan dalam bentuk rasa sayang, perhatian, kehangatan, dan penerimaan secara apa adanya. Adapun dukungan penghargaan merupakan dukungan yang diberikan dalam bentuk penghargaan positif, pemberian semangat, persetujuan pendapat, dan perbandingan positif dengan orang lain.


(30)

Cohen dan Willis (1986) dalam Astuti (1998) mengemukakan empat jenis dukungan sosial, yaitu:

1. Esteem Support atau dukungan penghargaan, yaitu adanya informasi diri dimana individu tetap merasa dihargai dan diakui kemampuannya serta tetap diterima walau sedang mengalami keadaan yang tidak menyenangkan.

2. Informational Support, yaitu adanya informasi tentang strategi terbaik menghadapi suatu kejadian yang tidak menyenankan.

3. Social Companionship, yaitu adanya aktivitas sosial dalam hubungan sosial yang menyenangkan sehingga seseorang dapat mengalami penurunan stress melalui afiliasi dengan orang lain.

4. Instrumental Support, yaitu dukungan sosial yang lebih bersifat material/finansial.

Dukungan sosial menyebabkan individu menyadari bahwa ada orang-orang di sekitarnya yang dapat diandalkan untuk membantu mengatasi tekanan hidupnya, sehingga harga dirinyapun meningkat (Astuti, 1998). Hal tersebut membuat individu yang memperoleh dukungan sosial cenderung dapat mengatasi tekanan-tekanan dalam kehidupan, tampil lebih percaya diri, dan tetap optimis. Selain itu dalam proses penyesuaian sosial, dukungan sosial membuat individu lebih mudah untuk menyesuaikan diri (Anitaliza, 1999). Wiggins et al. (1994) menjelaskan bahwa seseorang dengan sistem dukungan yang kuat, tampak lebih baik dalam menghadapai perubahan-perubahan penting dalam hidup dan permasalahan sehari-hari. Dukungan sosial yang diterima berawal dari adanya penghargaan dari teman-teman, saudara-saudara, dan rekan-rekan kerja. Harga diri individu akan diperkuat dengan adanya bentuk penerimaan ini. Selanjutnya, orang lain kerap memberikan dukungan informasi yang membantu individu memahami masalah yang sedang dihadapi dan menemukan solusinya. Selain itu setiap individu memiliki kecenderungan mencari dukungan sosial dan orang lain dapat saja memberikan dukungan instrumental yang membantu individu mengurangi rasa stresnya. Sebagaimana konsep yang telah dikemukakan di atas, dukungan sosial pekerja anak merupakan kumpulan informasi yang dimiliki pekerja anak mengenai dukungan instrumental, dukungan informasi, dukungan emosi, dan dukungan penghargaan yang diterima.


(31)

2.1.4.2 Pengukuran Dukungan Sosial

Menurut Sarason et al. (1987) dalam Anitaliza (1999) terdapat tiga cara pengukuran dukungan sosial, yaitu: 1) Perceived social support, yaitu penilaian subyektif yang dirasakan individu mengenai ada/tidaknya dukungan dari orang-orang di sekitarnya, 2) Social embededness, yaitu berdasarkan ada/tidaknya interaksi antara individu dengan orang lain di sekitar individu, dan 3) Enacted support, yaitu dengan memfokuskan pada seberapa sering perilaku dari orang-orang di sekitar individu yang dapat digolongkan ke dalam jenis dukungan sosial tanpa melihat adanya persepsi tentang dukungan sosial yang diterima individu. 2.2 Kerangka Pemikiran

Konsep diri merupakan hal yang esensial bagi pembentukan tingkah laku manusia. Konsep diri memberikan kerangka tingkah laku bagi individu untuk mengantisipasi reaksi-reaksi orang lain di dalam interaksi sosial yang dilakukan. Konsep diri anak merupakan gambaran anak mengenai dirinya. Konsep diri memberikan gambaran mengenai penghargaan diri anak pada dirinya sendiri dan kemampuan anak membangun rasa percaya diri, yang penting dalam pencapaian keberhasilan di masa depan. Beberapa studi membuktikan bahwa SSE rendah menyebabkan individu memiliki konsep diri negatif.

Penelitian Pramuchtia (2008) mengenai konsep diri anak jalanan menemukan bahwa SSE keluarga yang rendah merupakan hal yang paling mendasari munculnya anak jalanan. Sebagian besar anak-anak jalanan dengan SSE rendah dalam penelitian Pramuchtia (2008) ditemukan memiliki konsep diri yang positif. Tingkat pendidikan yang sebagian hanya menempuh pendidikan formal hingga Sekolah Dasar dan sebagian lain hingga Sekolah Menengah Pertama (SMP) ternyata tidak berpengaruh terhadap konsep diri yang dimiliki. Konsep diri positif anak jalanan tersebut yang merupakan pandangan, keyakinan, dan evaluasi positif anak jalanan terhadap dirinya, dimungkinkan berasal dari umpan balik positif orang-orang yang dihormatinya yang tidak dikaji dalam penelitian tersebut. Sebuah studi kasus lain mengenai anak jalanan yang dilakukan Astuti (1998), menunjukkan harga diri yang tinggi dimiliki oleh anak jalanan meskipun berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Anak-anak jalanan tersebut merasa bebas, gembira, tidak malu dengan pekerjaan yang ditekuni, dan


(32)

tetap optimis memandang masa depan. Dalam penelitian tersebut diketahui bahwa anak-anak jalanan mendapat dukungan dari saudara, orang tua, teman, sahabat, dan significant others.

Bursteln (n.d.) memaparkan bahwa anak yang dibesarkan oleh orang tua dengan kasih sayang, kehangatan, dibanjiri pujian yang tulus untuk sekecil apapun perbuatan baiknya atau peningkatan yang ia capai, menjadi percaya diri pada kemampuannya untuk bangkit di setiap kegagalan. Pola asuh orang tua yang demikian dapat dikategorikan sebagai bentuk dukungan emosi dan dukungan penghargaan yang diterima anak. Dengan demikian konsep diri anak dengan SSE rendah yang positif, dapat berasal dari dukungan sosial yang mungkin diperolehnya dari orang tua, teman, atau significant others. Meskipun tidak mendapatkan dukungan instrumental yang kuat dari orang tuanya, jika dukungan emosi dan dukungan penghargaan yang diperoleh kuat, konsep diri positif dapat dimiliki.

Fenomena pekerja anak yang lebih memilih putus sekolah dan bekerja dapat pula dijelaskan dengan teori konsep diri dan dukungan sosial (Dianah, 2010). Pertama, pekerja anak memandang diri sudah cukup dalam tingkat pendidikan, karena merasa telah mampu membaca, menulis, dan sedikit berhitung yang oleh orang tua dianggap cukup sebagai bekal hidup di masa depan. Pandangan tersebut merupakan sebuah penerimaan dalam bentuk dukungan emosi dari orang tua atas apa yang dilakukan pekerja anak. Selanjutnya, dalam pergaulan, keputusan anak untuk putus sekolah dan membantu orang tua mencari nafkah menyebabkan pekerja anak bergaul dengan pekerja lainnya yang memiliki persepsi sama mengenai tingkat pendidikan. Dengan demikian dukungan informasi yang diperoleh pekerja anak hanya berasal dari orang tua, teman-teman sebaya, dan tetangga yang merupakan significant others. Kalaupun pekerja anak bergaul juga dengan orang di luar komunitas, orang-orang tersebut tidak akan banyak mempengaruhi konsep diri pekerja anak, karena konsep diri hanya dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang dihormati.

Konsep diri berasal dari tiga perspektif, yaitu diri dasar, diri sosial, dan diri ideal (Burns, 1984). Perspektif diri dasar pekerja anak yang melihat diri


(33)

sebagaimana adanya memungkinkan pekerja anak memiliki konsep diri rendah lantaran berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Untuk itu penilaian orang lain yang positif (perspektif diri sosial) dapat membantu pekerja anak memiliki konsep diri positif. Status perkawinan orang tua ditemukan tidak berhubungan dengan alasan seorang anak bekerja (Asih, 2007). Karenanya SSE keluarga yang dianggap dapat mempengaruhi konsep diri pekerja anak dapat dilihat dari karakteristik sosial ekonomi yang meliputi jumlah pendapatan orang tua dan tingkat pendidikan orang tua.

Dukungan sosial yang merupakan suatu bentuk dukungan dari orang di luar individu, dapat memberikan sumbangan bagi perspektif diri sosial pekerja anak untuk membentuk konsep diri positif. Jenis dukungan sosial dapat berupa dukungan instrumental, informasi, emosi, dan penghargaan (Ellis dalam Effendi, 1993). Dukungan sosial yang didapatkan pekerja anak dapat membantunya memiliki konsep diri yang tinggi (positif). Konsep diri pekerja anak dapat dilihat dari pandangannya mengenai diri fisik (physical self), diri pribadi (personal self), diri keluarga (family self), diri sosial (social self), dan kepuasan terhadap dirinya (self satisfaction).

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Ket: = berhubungan (diuji) = berhubungan (tidak diuji)

SSE Keluarga  Jumlah Pendapatan 

orang tua 

 Tingkat Pendidikan orang tua 

Konsep Diri Physical SelfPersonal SelfFamily SelfSocial SelfSelf Satisfaction Dukungan Sosial

 Dukungan instrumental

 Dukungan informasi

 Dukungan emosi


(34)

2.3 Hipotesis Penelitian 1. Hipotesis Mayor:

Terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak.

2. Hipotesis Minor:

a. Terdapat hubungan signifikan antara dukungan emosi dan konsep diri pekerja anak.

b. Terdapat hubungan signifikan antara dukungan penghargaan dan konsep diri pekerja anak.

2.4 Definisi Operasional

1. Pekerja anak adalah anak berusia di bawah 18 tahun, memiliki pekerjaan rutin, dan menerima penghasilan dari pekerjaan tersebut.

2. SSE keluarga pekerja anak diukur dari:

a. Pendapatan orang tua, yaitu jumlah uang yang dihasilkan kepala keluarga selama satu bulan bekerja. Dikategorikan menggunakan skala ordinal, berdasarkan UMR Kabupaten Bogor tahun 2010, yaitu Rp 1.056.914,- yang dibulatkan ke bawah menjadi Rp 1.000.000,-. Adapun kategori pendapatan orang tua adalah sbb:

1. Pendapatan kepala keluarga tinggi untuk penghasilan diatas Rp 1.000.000,-.

2. Pendapatan kepala keluarga rendah untuk penghasilan sama dengan atau kurang dari Rp 1.000.000,-.

b. Tingkat pendidikan orang tua, yaitu jenjang pendidikan formal terakhir yang ditempuh orang tua pekerja anak. Dikategorikan menggunakan skala ordinal, dengan spesifikasi sebagai berikut: 1. Jenjang pendidikan formal terakhir orang tua pekerja anak

SMA/sederajat dan setelahnya (tinggi).

2. Jenjang pendidikan formal terakhir orang tua pekerja anak SD/sederajat sampai dengan SMP/sederajat (rendah).

SSE keluarga pekerja anak dianggap tinggi jika Pendapatan kepala keluarga tinggi dan tingkat pendidikan orang tua tinggi. Sebaliknya SSE


(35)

keluarga pekerja anak dianggap rendah jika pendapatan kepala keluarga rendah dan tingkat pendidikan orang tua rendah.

3. Konsep diri pekerja anak adalah organisasi persepsi diri yang dimiliki pekerja anak mengenai dirinya sendiri. Konsep diri pekerja anak diukur menggunakan skala Piers-Harris modifikasi, berisi pernyataan-pernyataan yang disusun seimbang mengenai lima aspek konsep diri, yaitu:

a. Diri fisik (physical self), merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai kesehatan, kekuatan, dan penampilan tubuhnya.

b. Diri personal (personal self), merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai kecakapan dirinya sebagai sebuah pribadi.

c. Diri keluarga (family self), merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai dirinya sebagai anggota keluarga.

d. Diri sosial (social self), merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai kecakapannya dalam berinteraksi sosial dengan orang-orang di sekitarnya yang bukan keluarga.

e. Kepuasan diri (self satisfaction), merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan pandangan pekerja anak mengenai dirinya sebagai pribadi, berkaitan dengan kepuasan/ketidakpuasan diri.

Terdapat enam pernyataan untuk setiap aspek konsep diri. Penghitungan skor untuk setiap respon dilakukan sebagai berikut:

1 = Sangat Tidak Sesuai 2 = Tidak Sesuai 3 = Netral 4 = Sesuai 5 = Sangat Sesuai

Semakin tinggi skor konsep diri yang didapatkan, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Positif atau negatifnya setiap aspek diri


(36)

responden, dilihat dari respon terhadap enam pernyataan mengenai setiap aspek diri, dikategorikan menggunakan skala interval, menjadi: 1. Positif untuk skor 19-30

2. Negatif untuk skor 6-18

Skor konsep diri pekerja anak diklasifikasikan menggunakan skala interval menjadi dua kategori:

1. Konsep diri pekerja anak positif untuk skor 91-150 2. Konsep diri pekerja anak negatif untuk skor 30-90

4. Dukungan sosial merupakan kumpulan informasi yang dimiliki pekerja anak mengenai ada/tidaknya dukungan dari teman, keluarga, dan orang-orang di sekitarnya, berdasarkan penilaian subyektif yang dirasakan pekerja anak (perceived social support). Dukungan sosial diukur dari respon pekerja anak pada pernyataan-pernyataan yang mengandung empat jenis dukungan sosial, yaitu:

a. Dukungan instrumental merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan dukungan dalam bentuk uang, barang, dan pelayanan.

b. Dukungan informasi merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan dukungan dalam bentuk informasi dan saran.

c. Dukungan emosi merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan dukungan dalam bentuk rasa sayang, perhatian, kehangatan, dan penerimaan secara apa adanya.

d. Dukungan penghargaan merupakan pernyataan-pernyataan yang menunjukkan penilaian subyektif pekerja anak mengenai penerimaan dukungan dalam bentuk penghargaan positif, pemberian semangat, persetujuan pendapat, dan perbandingan positif dengan orang lain. Penghitungan skor dukungan sosial pekerja anak untuk setiap jawaban dilakukan sebagai berikut:

1 = Sangat Tidak Sesuai 2 = Tidak Sesuai


(37)

3 = Netral 4 = Sesuai 5 = Sangat Sesuai

Terdapat enam pernyataan untuk setiap jenis dukungan sosial. Skor penilaian subyektif yang dirasakan pekerja anak mengenai keempat jenis dukungan sosial tersebut pada kuesioner menggambarkan tinggi rendahnya dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak. Semakin tinggi skor penilaian subyektif pekerja anak mengenai dukungan sosial yang diterima, semakin kuat dukungan sosial yang dimiliki pekerja anak. Kuat atau lemahnya penerimaan masing-masing jenis dukungan sosial dilihat dari skor respon terhadap pernyataan mengenai setiap jenis dukungan sosial yang masing-masing berjumlah dari enam pernyataan. Skor setiap jenis dukungan sosial diklasifikasikan menggunakan skala interval menjadi dua kategori:

1. Dukungan kuat untuk skor 19-30 2. Dukungan lemah untuk skor 6-18

Skor konsep diri pekerja anak diklasifikasikan menggunakan skala interval menjadi dua kategori:

1. Dukungan sosial pekerja anak kuat untuk skor 73-120 2. Dukungan sosial pekerja anak lemah untuk skor 24-72


(38)

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode survei sensus, yaitu survei yang meliputi seluruh populasi yang diinginkan (Wahyuni dan Muljono, 2007). Metode survei digunakan karena peneliti menginginkan informasi yang banyak dan beraneka ragam guna melihat variasi hubungan dukungan sosial dengan konsep diri pekerja anak. Tipe metode survei yang digunakan adalah tipe explanatory, untuk menjelaskan hubungan antara variabel dukungan sosial dan variabel konsep diri pekerja anak melalui pengujian hipotesa (Singarimbun dan Effendi, 1989).

3.2 Teknik Penentuan Responden

Responden dalam penelitian ini adalah pekerja anak yang berasal dari keluarga dengan SSE rendah di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas berjumlah 37 orang. Untuk menentukan responden, seluruh pekerja anak terlebih dahulu diminta mengisi kuesioner data diri. Terdapat dua pertanyaan tertutup yang menentukan kesesuaian responden dengan definisi operasional, yaitu tanggal dan tahun lahir, pendidikan terakhir orang tua, dan pendapatan orang tua. Didapatkan 32 pekerja anak yang belum berusia 18 tahun, memiliki ayah yang tidak menempuh pendidikan SMA (hanya sampai SMP atau sebelumnya), dengan penghasilan kurang dari atau sama dengan Rp 1.000.000,- yang kemudian dijadikan responden. Dengan demikian penelitian ini menggunakan unit analisis rumah tangga.

3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja), dengan pertimbangan bahwa kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang memiliki jumlah pekerja anak di bidang industri informal terbanyak di Kabupatan Bogor, berdasarkan data pekerja anak pada Program Keluarga Harapan (PKH) Tahun 2007 dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja, dan Transmigrasi Kabupaten Bogor. Desa Bojong Rangkas dinyatakan


(39)

sebagai desa dengan jumlah pekerja anak terbanyak di kecamatan Ciampea, yang sebagian besar bekerja di home industry tas dan dompet. Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei hingga November 2010.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data sekunder yang digunakan adalah literatur-literatur terkait SSE, konsep diri, dukungan sosial, anak, dan pekerja anak. Sebagian besar literatur penelitian didapatkan di perpustakaan Departeman Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat IPB, perpustakaan Fakultas Psikologi UI, dan perpustakaan keluarga. Beberapa literatur mengenai Status Sosial Ekonomi, pekerja anak, dan aturan ketenagakerjaan diperoleh dari Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Bogor, Kantor Kecamatan Ciampea, dan Kantor Desa Bojong Rangkas, serta melalui situs resmi di Internet. Data sekunder yang terkumpul dievaluasi dengan melihat waktu keberlakuan, kesesuaian dengan kebutuhan peneliti, ketepatan data, dan besar biaya (Sarwono, 2006).

Data primer diperoleh melalui kuesioner untuk melihat konsep diri, dukungan sosial, dan SSE responden. Pengumpulan data primer dilakukan baik secara pasif maupun aktif. Pengumpulan data secara pasif dilakukan dengan terstruktur atau resmi dan bersifat rahasia dimana responden tidak diberi informasi mengenai tujuan penelitian yang dilakukan (Sarwono, 2006). Peneliti hanya akan memberi informasi mengenai topik yang akan diteliti agar responden tidak bias dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner. Pengumpulan data secara aktif dilakukan dengan memberikan kuesioner secara langsung pada responden, dan diberikan waktu bagi responden untuk mengisi kuesioner. Teknik tatap muka ini dilakukan agar diperoleh informasi yang akurat dari responden.

3.5 Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Kuesioner yang telah dikumpulkan diolah dalam 7 (tujuh) tahapan, antara lain: 1) editing data, 2) pengembangan variabel, 3) pengkodean data, 4) cek kesalahan, 5) membuat struktur data, 6) cek analisis komputer, dan 7) tabulasi. Pertama, peneliti melakukan editing data meliputi klarifikasi, keterbacaan, konsistensi, dan kelengkapan data yang sudah terkumpul. Selanjutnya variabel


(40)

yang tercakup dalam data dispesifikasi untuk memastikan kelengkapan variabel yang diteliti. Data yang telah terkumpul kemudian diberi kode dan dilakukan pengecekan kesalahan untuk selanjutnya ditransfer ke dalam komputer. Struktur data yang mencakup seluruh data yang dibutuhkan untuk analisis dipindahkan ke dalam komputer dan dilakukan pengecekan analisis komputer untuk memastikan konsistensi dan kelengkapan data. Tahap ketujuh (tabulasi) dilakukan untuk membuat statistik deskriptif variabel-variabel yang akan ditabulasi silang, yaitu dukungan sosial dan konsep diri.

Korelasi atau hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak dianalisa dengan uji parameter Pearson Product Moment Correlation (Korelasi Pearson) menggunakan SPSS versi 17. Uji statistik ini digunakan karena data yang dianalisis menggunakan skala interval (Sarwono, 2006). Rumus yang digunakan adalah:

Besar koefisien korelasi yang dihasilkan akan menentukan hubungan antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak.


(41)

4.1 Gambaran Desa Bojong Rangkas

Desa Bojong Rangkas merupakan Ibu Kota Kecamatan di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor, dengan luas wilayah 104 hektar (Kepala Desa, 2009). Wilayahnya berada pada ketinggian 150 meter di atas permukaan laut yang terbagi dalam 2 Dusun, 8 Rukun Warga (RW), dan 35 Rukun Tetangga (RT). Secara geografis desa ini terletak pada 6,562º Lintang Selatan dan 106,695º Bujur Timur. Jarak Desa Bojong Rangkas ke ibukota kecamatan sekitar 0,5 kilometer, sedang jarak ke ibukota kabupaten sekitar 30 kilometer. Jarak Desa Bojong Rangkas ke Ibu Kota Propinsi (Bandung) adalah 170 kilometer, sedang ke Ibu Kota Negara (Jakarta) adalah 73 kilometer. Batas wilayah desa sebagai berikut: 1. Sebelah utara berbatasan dengan Desa Ciampea dan Desa Benteng

2. Sebelah timur berbatasan dengan Desa Bojongjengkol dan Desa Tegalwaru 3. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cicadas

4. Sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibadak

Berdasarkan Data dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor, Kecamatan Ciampea tercatat sebagai salah satu kecamatan yang memiliki jumlah pekerja di bawah umur terbanyak di Kabupaten Bogor dalam data Program Keluarga Harapan (PKH) 2007. Para pekerja di bawah umur ini terpusat di Desa Bojong Rangkas yang merupakan pusat home industry (industri rumahan) tas di Bogor. Setelah program PKH tahun 2007 pekerja di bawah umur dinyatakan telah tidak ada, namun setelah dilakukan survei, masih ditemukan tujuh pekerja anak dibawah umur (belum berusia lima belas tahun), dan tiga puluh pekerja anak yang berada dalam rentang usia lima belas hingga tujuh belas tahun.

Jumlah penduduk Desa Bojong Rangkas sampai akhir Bulan Desember tahun 2009 tercatat sebanyak 11.243 jiwa. Mata pencaharian utama penduduk berada pada sektor industri. Penduduk Desa yang bekerja pada industri tas berdasarkan Data Pengrajin Tas 2010 berjumlah 538 orang yang tersebar dalam 67 lokasi industri. Kepadatan penduduk Desa Bojong Rangkas 1,08 jiwa/km2

.

Jumlah penduduk menurut struktur umur dapat dilihat pada Tabel 1.


(42)

Tabel 1. Distribusi Penduduk Desa Bojong Rangkas Menurut Struktur Umur Tahun 2009

Kelompok Umur (Tahun) Jumlah Jiwa Jumlah

Laki-Laki Perempuan

0-4 309 310 619

5-9 392 374 766

10-14 482 425 907

15-19 517 512 1029

20-24 594 511 1105

25-29 623 563 1122

30-34 585 537 1122

35-39 541 496 1037

40-44 505 473 978

45-49 470 438 908

50-54 365 322 687

55-59 271 275 546

60 keatas 160 193 353

Jumlah 5814 5429 11243

Sumber: Kepala Desa Bojong Rangkas, 2009

Berdasarkan Tabel 1, 8987 jiwa penduduk Desa Bojong Rangkas merupakan penduduk usia 15-59 tahun. Usia produktif angkatan kerja yaitu usia 15-64 Tahun (www.gemari.or.idartikeldetail.phpid=4343.htm). Artinya 79,9 persen penduduk Desa Bojong Rangkas merupakan penduduk usia produktif. Sebanyak 83,5 persen penduduk usia produktif di Desa Bojong Rangkas merupakan penduduk usia 20-59 tahun. Dengan demikian, seharusnya penduduk usia produktif dapat dioptimalkan untuk menopang perekonomian keluarga, sehingga anak dapat mengenyam pendidikan yang layak.

4.2 Gambaran Industri Tas dan Dompet

Desa Bojong Rangkas dikenal sebagai pusat industri kerajinan tas dan dompet di Bogor yang memasarkan produknya ke wilayah Jabodetabek. Hampir seluruh rumah tangga warga Desa Bojong Rangkas terlibat dalam industri tas dan dompet. Beberapa rumah telah mandiri, baik dalam mendapatkan maupun mengerjakan pesanan tas dan dompet. Terdapat 67 lokasi industri tas dan dompet di Desa Bojong Rangkas, baik industri rumahan, maupun industri kecil yang mempekerjakan puluhan karyawan (Kepala Desa, 2009).

LIFERA adalah industri tas tertua dan terbesar di Desa Bojong Rangkas. LIFERA dirintis sejak tahun 1974 oleh Bp. H. Aak Atmaja dengan modal awal sekitar Rp 200.000,-. Kini LIFERA dikelola oleh anak pertamanya, Ibu H. Yanti.


(43)

Pesanan tas dan dompet yang diproduksi LIFERA berasal dari para supplier tetap yang kemudian memasarkan produk tersebut. Kini kisaran omzet yang dihasilkan LIFERA mencapai kisaran Rp 50.000.000,- sampai Rp 200.000.000,- per bulan. Adapun keuntungan bersih yang diperoleh sekitar dua sampai dengan lima persen dari omset yang dihasilkan.

LIFERA mempekerjakan 28 pekerja tetap, yaitu sepuluh pekerja laki-laki dan tiga belas pekerja perempuan. Pekerja laki-laki bertugas mengoperasikan mesin jahit, memotong bahan, dan mengangkut barang. Pekerja perempuan ditugaskan di bagian finishing, yang bertugas membersihkan benang-benang pada produk tas/dompet, mengemas, dan melekatkan bagian tas.

Selain mempekerjakan pekerja tetap, LIFERA juga menerapkan sistem desentralisasi dalam menyelesaikan pesanan tas dan dompet, yaitu dengan mendistribusikan pesanan ke rumah-rumah warga Desa Bojong Rangkas dan beberapa desa seperti Desa Jonggol, Cileungsi, dan lainnya. Adapun pembayaran yang diberikan pada pekerja tas tidak tetap adalah sistem upah, dihitung berdasar jumlah tas atau dompet yang diselesaikan. Berdasarkan keterangan Ibu Fauziah, penanggung jawab operasional LIFERA, sistem desentralisasi diterapkan karena H. Aak selaku perintis LIFERA ingin memberikan kesempatan pada warga untuk dapat memperoleh penghasilan tanpa harus keluar rumah. Dengan mendistribusikan pesanan ke rumah-rumah warga, seluruh anggota keluarga dapat turut membantu penyelesaian pekerjaan, tanpa mengganggu kegiatan harian. Ibu dapat tetap berperan sebagai ibu rumah tangga, dan anak dapat membantu orang tua sepulang sekolah.

Pemilik Industri tas lainnya yang juga mempekerjakan lebih dari tiga puluh karyawan adalah Pak Rahmat, seorang keturunan Cina-Betawi asal Jakarta. Pak Rahmat memindahkan lokasi usaha pembuatan tas dan dompetnya sejak 1994 dari Jakarta ke Desa Bojong Rangkas, karena dinilai lebih menguntungkan. Beberapa keuntungan mendirikan usaha tas di Desa Bojong Rangkas yang diutarakan Pak Rahmat antara lain bebas dari pungutan liar, bebas dari provokasi Serikat Buruh yang sering membuat karyawan menuntut lebih, dan mudah untuk memperoleh pekerja dengan upah minim. Pak Rahmat memiliki dua lokasi industri tas di Desa Bojong Rangkas, yang masing-masing dimandori oleh


(44)

penduduk asli Desa Bojong Rangkas. Beliau hanya menetapkan upah pengerjaan tas dan dompet. Adapun perekrutan pekerja serta sistem pembayaran upah pekerja diserahkan sepenuhnya pada mandor.

Industri rumahan bermerek yang juga terdapat di Desa Bojong Rangkas antara lain BOLINI, DENIM, MM. Promosi, RIVAL, LENNISA, UDIN COLLECTION, BUKOVIN, CENEL, dan SS. SAYBAN. Industri tas dan dompet lainnya membuka industri rumahan tanpa nama, yang pada umumnya merupakan usaha keluarga. Adapun pesanan tas atau dompet yang didapat, sebagian besar dari industri tas bermerek seperti LIFERA.


(1)

BAB IX

KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain: 1.) Pekerja anak di Desa Bojong Rangkas yang berasal dari keluarga dengan

SSE rendah berjumlah 32 orang, terdiri dari: 15 pekerja anak laki-laki dan 22 pekerja anak perempuan. Pendidikan tidak menjadi prioritas keluarga pekerja anak. Seluruh orang tua pekerja anak berpendidikan rendah. Mayoritas pekerja anak memiliki pendidikan rendah dan telah putus sekolah, hanya dua pekerja anak yang telah menamatkan SMA. Pendapatan orang tua pekerja anak berada dibawah UMR Kabupaten Bogor, begitu pula dengan pendapatan pekerja anak. Pendapatan pekerja anak tidak ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, melainkan berdasarkan pengalaman dan jenis pekerjaan.

2.) Terjadi eksploitasi pada pekerja anak di Desa Bojong Rangkas. Pekerja anak mendapatkan penghasilan yang jauh di bawah UMR, dengan 72 jam kerja selama sepekan. Tidak ada kontrak kerja yang jelas antara pengusaha dan pekerja anak. Selain itu tidak ada pemisahan tempat kerja antara pekerja anak dan pekerja dewasa.

3.) SSE rendah keluarga pekerja anak tidak serta merta membuat konsep diri pekerja anak negatif. Sebagian besar pekerja anak di Desa Bojong Rangkas, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki konsep diri positif dengan proporsi yang berbeda-beda pada setiap aspek diri yang dimiliki. Perbedaan tingkat pendidikan dan pendapatan orang tua tidak mempengaruhi konsep diri pekerja anak. Perbedaan tingkat pendidikan dan pendapatan pekerja anak juga tidak mempengaruhi konsep diri yang dimiliki.

4.) Seluruh pekerja anak memiliki dukungan sosial yang kuat. Meskipun berada dalam keluarga dengan SSE rendah, sebagian besar pekerja anak merasa menerima dukungan instrumental yang kuat. Persentase pekerja anak laki-laki yang memiliki dukungan instrumental, informasi, dan


(2)

penghargaan yang kuat, lebih tinggi dibandingkan pekerja anak perempuan. Pada dukungan emosi, seluruh pekerja anak perempuan memiliki dukungan emosi yang kuat, sehingga persentasenya lebih tinggi dibandingkan pekerja anak laki-laki. Perbedaan tingkat pendidikan dan pendapatan pekerja anak dan orang tuanya tidak berhubungan dengan dukungan sosial yang diterima pekerja anak.

5.) Terdapat hubungan searah yang sangat signifikan pada α=0,01 antara dukungan sosial dan konsep diri pekerja anak. Semakin kuat dukungan sosial yang diterima pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Maka hipotesis mayor diterima. Karena itu dukungan sosial penting bagi anak dengan SSE keluarga yang rendah. Dukungan sosial juga memiliki hubungan searah dengan pandangan pekerja anak terhadap aspek diri fisik, diri keluarga, diri sosial, dan kepuasan diri yang dimiliki, yang sangat signifikan pada α=0,01. Dukungan sosial tidak memiliki hubungan dengan pandangan pekerja anak terhadap aspek diri personal yang dimiliki.

6.) Jenis dukungan sosial yang berhubungan dengan konsep diri pekerja anak adalah dukungan instrumental, dukungan informasi, dan dukungan emosi. Terdapat hubungan searah yang sangat signifikan pada α=0,01 antara dukungan emosi dan konsep diri pekerja anak. Semakin kuat dukungan sosial pekerja anak, semakin positif konsep diri yang dimiliki. Maka hipotesis minor yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan emosi dan konsep diri pekerja anak diterima. Tidak ditemukan hubungan antara dukungan penghargaan dan konsep diri pekerja anak. Maka hipotesis minor yang menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan penghargaan dan konsep diri pekerja anak ditolak.

7.) Dukungan instrumental sebagian besar pekerja anak kuat, meskipun pekerja anak berasal dari keluarga dengan SSE rendah. Terdapat hubungan searah antara dukungan instrumental dan pandangan pekerja anak pada aspek diri keluarga dan diri sosial yang dimiliki. Semakin kuat dukungan instrumental yang diterima pekerja anak, semakin positif


(3)

   

pandangannya terhadap dirinya sebagai anggota keluarga dan makhluk sosial.

9.2 Saran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah prioritas utama dalam keluarga pekerja anak. Bekerja membantu orang tua dipandang lebih bermanfaat dari pada harus bersekolah yang akan menghabiskan banyak biaya. Pandangan yang telah turun temurun tersebut membentuk konsep diri ideal pekerja anak. Karenanya penulis menyarankan beberapa hal, antara lain:

1.) Masyarakat Desa Bojong Rangkas, khususnya keluarga pekerja anak perlu diberikan wawasan mengenai pentingnya pendidikan. Dengan wawasan mengenai pendidikan yang lebih baik, diharapkan diri ideal pekerja anak dapat berubah, sehingga akan melahirkan generasi yang memiliki SSE lebih baik dari generasi pekerja anak saat ini.

2.) Pemeintah perlu mengoptimalkan penduduk usia produktif untuk dapat bekerja, khususnya orang tua pekerja anak, sehingga dapat mengurangi jumlah pekerja anak.

3) Pekerja anak perlu mendapat perlindungan hukum. Pemerintah harus memastikan tidak terjadi pelanggaran terhadap UU mengenai ketenagakerjaan. Selain itu perlu disosialisasikan program pendidikan non formal Kejar Paket B dan C pada keluarga pekerja anak, sebagai solusi agar pekerja anak tidak putus sekolah namun dapat tetap bekerja.

4.) Anak-anak dengan SSE keluarga yang rendah seperti pekerja anak di Desa Bojong Rangkas perlu diberikan dukungan sosial yang kuat. Dukungan sosial membuat kondisi ekonomi tidak serta merta menjadi penghambat masa depan anak. Kuatnya dukungan sosial yang diterima anak dapat membantunya memiliki konsep diri positif. Konsep Diri positif akan membantu anak memandang positif dirinya, sehingga berani menatap positif masa depan. Hal ini memberikan harapan yang baik bagi masa depan anak yang hidup dalam kondisi SSE keluarga yang rendah.


(4)

Anak Panti Asuhan di Panti Asuhan Harapan Remaja, Panti Asuhan Ani’mah, dan Panti Asuhan Kampung Melayu Jakarta. Skripsi. Jakarta: Universitas Persada Indonesia Y.A.I.

Asih, Anny Widhi. 2007. Pekerja Anak dan Kontribusinya Bagi Pendapatan Rumah Tangga, Studi Kasus Pekerja Anak di Desa Cangkuang Kulon, Kecamatan Dayeuh Kolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Astuti, Devi Tri. 1998. Hubungan antara Dukungan Sosial dan Harga Diri pada Anak yang Bekerja di Jalan di Jakarta. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Baron, R.A. dan Byrne, Donn. 2004. Psikologi Sosial Jilid 1, edisi kesepuluh.

Jakarta: Penerbit Erlangga.

Baskara, Tri Cahyo. 2010. Tenaga Kerja Anak dalam Ekonomi Rumahtangga Miskin, Studi Kasus Desa Rawakompeni, Kelurahan Kamal, Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Belum Diterbitkan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Burns, R.B. 1984. The Self Concept: Theory, Measurement, Development, and Behaviour. New York: Longman Inc.

Bursteln, A. Joseph. n.d. Petunjuk Lengkap Mendidik Anak. Jakarta: Mitra Utama.

Dahlan, M. Jawad. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Departemen Pendidikan Nasional 2004. Pendidikan Keluarga Berbasis Gender. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi 2008. Himpunan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Pengawasan Ketenagakerjaan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia.

Dianah, Amalia. 2010. Peran Dukungan Sosial terhadap Konsep Diri Anak dengan Status Sosial Ekonomi Rendah. Studi Pustaka. Bogor: Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. IPB.

Effendi, Tadjuddin Noer. 1993. Sumberdaya Manusia, Peluang Kerja, dan Kemiskinan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

Ellys J. n.d. Kiat-Kiat Meningkatkan Potensi Belajar Anak. Bandung: Pustaka Hidayah.

Gubernur Jawa Barat 2009. Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor: 561/Kep.1665-Bangsos/2009 Tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Jawa Barat Tahun 2010. Bandung: Provinsi Jawa Barat.


(5)

   

Hanggarawati, Utilithia Banguningsih. 2007. Hubungan antara Tingkat Stress dan Persepsi tentang Dukungan Sosial pada Remaja dengan Status Sosial Ekonomi (SSE) Rendah. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia.

Hurlock, Elizabeth. B. n.d. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Indrayanto. 2010. ‘Program BOS dan Wajib Belajar 9 Tahun yang Bermutu’. www.shvoong.comsocial-scienceseducation2025344-program-bos-dan-wajib-belajar.html

Kepala Desa Bojongrangkas. 2009. Laporan Pelaksanaan Tugas Kepala Desa Bojongrangkas Kecamatan Ciampea Tahun 2009. Kabupaten Bogor. Lahey, Benjamin B. 2002. Essentials of Psychology. New York: Mc.Graw-Hill. Mazdalifah. 1999. Hubungan Keterdedahan Tayangan Kekerasan di Televisi

dengan Aspek Pengetahuan, Sikap, dan Tindakan Anak, Kasus Murid SD Negeri 1 Gunung Batu, Bogor Barat. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Musyarofah, Siti Anis. 2006. Strategi Nafkah Rumah Tangga Miskin Perkotan, Studi Kasus Kampung Sawah, Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.

Nolte, Dorothy Law. 1998. Children Learn What They Live. New York: Workman Publishing Company.

Patmonodewo, DR. Soemiarto. 2003. Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Poskota, 14 Mei 2010, ‘ILO Prihatinkan Pekerja Anak’. http://ekerala.net/r.php?url=http://www.poskota.co.id/beritaterkini/2010/0 5/14/ilo-prihatinkan-pekerja-anak&title=pekerja%20anak&type=web. Pramuchtia, Yunda. 2008. Konsep Diri Anak Jalanan. Skripsi. Bogor: Institut

Pertanian Bogor.

Sarason, G.I., Levine, M.H., Basham, B.R., dan Sarason, R.B. 1983 .Assessing Social Support: The Social Support Questionnaire. Journal of Personality & Social Psychology. Volume 44 No.1:130.

Sarwono, Jonathan. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif & Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Setyowanto, Hari. 2011. ‘Siapkan SDM Berkualitas Sambut Bonus Demografi’. www.gemari.or.idartikeldetail.phpid=4343.htm

Singarimbun, M. dan Effendi S. 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia.

Situs Departemen Komunikasi dan Informasi Nasional. ‘Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar’. www.static.depkominfo.go.id/data/perundangan.

Tjipsastra, Tetty Elitasari. 2007. Hubungan antara Konsep Diri, Motivasi Berprestasi dengan Prestasi Belajar Anak-Anak Panti Asuhan dan Perbedaannya dari Anak-Anak yang Diasuh Dalam Keluarga. Tesis. Depok: Universitas Indonesia.


(6)

Undang-Undang Republik Indonesia. 2009. http://tantrapuan. wordpress.com/2009/05/13/undang-undang-republik indonesia-nomor-23-tahun-2002-tentang-perlindungan-anak/.

Wahyuni, Ekawati S. dan Muljono Pudji. 2007. Metode Penelitian Sosial (KPM 398). Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, IPB.

Wiggins, B., Wiggins J. dan Zanden J. 1994. Social Psychology, the Fifth Edition. Mc.Graw-Hill, Inc.

Willis, Sofyan S. 2008. Remaja & Masalahnya: Mengupas Berbagai Bentuk Kenakalan Remaja Seperti Narkoba, Free Sex, dan Pemecahannya. Bandung: ALFABETA.


Dokumen yang terkait

Gambaran Karakteristik Pekerja Anak di Pantai Bunga Desa Bogak Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara Tahun 2010

0 35 131

EKSPLOITASI PEKERJA ANAK DI SEKTOR NELAYAN(Studi Deskriptif Tentang Pekerja Anak di Desa Sukorejo, Kecamatan Kebomas, Kabupaten Gresik)

0 3 2

Pekerja Anak-Anak di Pedesaan (Peranan dan Dampak Anak Bekerja pada Rumahtangga Industri Kecil Sandal : Studi Kasus di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)

1 19 120

Kondisi, Motivasi Kerja dan Keuntungan yang Diberikan Pekerja Anak pada Industri Kecil (Kasus Pekerja Anak pada Industri Sandal di Desa Mulyaharja, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat)

0 10 111

Eksploitasi Buruh Anak Pada Industri Kecil, Studi Kasus Pekerja Anak di Industri Alas Kaki, Desa Pasireurih, Kecamatan Tamansari, Kabupaten Bogor.

0 11 214

Konservasi Lahan Pertanian Dan Dampaknya Trhadap Pelaku Konversi (Studi Kasus Di Desa Tegalwaru Dan bojong Rangkas Kecamatan Ciampea)

3 22 103

Densitas dan Perilaku Nyamuk (Diptera : Culicidae) Di Desa Bojong Rangkas Kabupaten Bogor

1 9 81

Peranan modal sosial dalam industri kecil tas di Desa Rojong Rangkas Kecamatan Ciampea- Bogor

0 3 77

Analisis Pengembangan Usaha Pabrik Tahu Bandung Di Desa Bojong Rangkas Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor

1 13 51

Hubungan Keberdayaan Usaha Industri Mikro Dan Kecil Dengan Pengembangan Ekonomi Lokal (Kasus: Industri Tas Di Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat).

1 14 102